Industri Pangan Masa Depan
Pangan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, berperan sebagai kebutuhan dasar yang menyediakan energi dan vitalitas untuk seseorang dapat hidup sehat aktif dan produktif. Telah banyak diketahui bahwa, di tingkat individu, kesadaran tentang hubungan antara konsumsi pangan dan kesehatan semakin meningkat. Sehingga tuntutan kepada industri untuk menyediakan pangan yang menyehatkan juga meningkat. Khususnya pada masa pandemi COVID-19, tuntutan ini menguat dan diperkirakan akan tetap menguat pada masa pascapandemi.
Semakin disadari pula bahwa pangan ternyata mempunyai pengaruh pada banyak aspek lain dari kehidupan masyarakat. Di tingkat masyarakat ini, pangan juga berfungsi sebagai identitas, sebagai bagian dari budaya. Banyak budaya masyarakat yang berkaitan dengan pangan. Betapa banyaknya berbagai perayaan kehidupan dan budaya masyarakat di berbagai tempat yang melibatkan pangan. Jadi peranan pangan, selain memang sebagai kebutuhan dasar manusia, juga berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, urusan pangan tidak hanya terkait dengan urusan gizi, cita rasa, dan kenikmatan, tetapi juga urusan ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, gaya hidup, keyakinan (agama), dan keberlanjutan.
Pada tingkat negara, ketahanan pangan juga menjadi kebutuhan dasar negara tersebut untuk mempertahankan kelangsungannya. Dengan sistem pangan yang ada sekarang, negara-negara tidak mudah mengisolasi diri, memisahkan dirinya dari pengaruh pangan negara lain. Pangan yang dikonsumsi di suatu negara bisa mempunyai satu atau lebih bahan (bahan baku utama, bahan tambahan, ingridien, kemasan dan bahan lain) yang berasal dari negara lain. Karena itu, bisa dimengerti jika dalam deklarasi yang dihasilkan dari pertemuan di Bali, para pemimpin G20 dunia menyatakan keprihatinannya dengan kondisi ketahanan pangan global sekarang ini, yang kondisinya dipengaruhi secara negatif, menjadi lebih buruk, oleh adanya konflik dan ketegangan.
Selain itu, pemimpin G20 juga menekankan pentingnya aspek keberlanjutan (sustainability) untuk menjamin ketahanan pangan masa depan. Disebutkan pada deklarasi tersebut bahwa perlu komitmen untuk “working together to sustainably produce and distribute food, ensure that food systems better contribute to adaptation and mitigation to climate change, and halting and reversing biodiversity loss, diversify food sources, promote nutritious food for all, strengthen global,
regional, and local food value chains, and accelerate efforts to reduce food loss and waste”. Hal ini menunjukkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keberlanjutan, perubahan iklim, biodiversitas, gizi, pangan lokal, pengurangan pangan hilang dan terbuang, merupakan aspek-aspek penting dalam urusan pangan masa depan. Hal ini juga menunjukkan bahwa urusan pangan adalah tanggung jawab dan urusan semua orang, everyone’s business
Industri pangan, sebagai bagian integral dari sistem pangan, perlu mempelajari dan mengembangkan bisnis pangannya tidak melulu berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga memperkuat peranannya pada aspek sosial, budaya, lingkungan, gaya hidup, keyakinan (agama), dan aspek keberlanjutan masyarakat. Industri pangan masa depan perlu menjalin hubungan adil dengan semua pemangku kepentingan. Industri dituntut menghasilkan pangan aman yang cukup dan menyehatkan bagi semua orang, baik orang yang memproduksinya (termasuk petani, peternak, nelayan, petambak, peladang, pekebun, perajin), mendistribusikannya (pedagang, peritel) dan yang mengonsumsinya (masyarakat). Produk pangan yang dihasilkan industri perlu dirancang untuk memfasilitasi pengembangan diet sehat (healthy diet) oleh masyarakat.
Jadi, industri masa depan juga perlu mengembangkan dan memastikan sistem pangan yang berkelajutan. Sistem pangan yang adil, mampu memasok pangan bagi populasi yang terus bertambah, serta memberikan perlindungan pada planet, sehingga memberikan jaminan kepada generasi mendatang untuk mempunyai sumber daya sistem pangan berkelanjutan pula. Itulah tuntutan kepada industri pangan masa depan. Tuntutan ini sudah mulai terlihat jelas saat ini. Ke depannya, tuntutan ini hanya akan menguat. Karena itu, industri pangan perlu mengantisipasi, menjawab dengan berkontribusi nyata, bersama pemangku kepentingan lainnya, untuk mencapai sistem pangan berkelanjutan.
FoodReview Indonesia selalu berusaha memicu dan memacu kesiapan dan kiprah industri pangan di Indonesia untuk terus berkembang, lebih berkelanjutan dan berdaya saing.
Selamat Tahun Baru 2023. Purwiyatno Hariyadi phariyadi.staff.ipb.ac.id
KEAMANAN DAN MUTU
Indonesia
60
Up
World: Tantangan Keamanan
Pangan
Indonesia spice up the world adalah suatu program yang didukung oleh kementerian dan lembaga, utamanya yang terkait pangan untuk peningkatan kontribusi sektor kuliner bagi perekonomian nasional.
67
UPDATE: Adopsi Standar Keamanan Baru
Akhir tahun 2022 yang lalu telah diselenggarakan Sidang Komisi Codex Alimentarius ke-45 (CAC45), yang terdiri dari sidang pleno dari 21-25 November 2022.
Paket Majalah Cetak FoodReview Indonesia
Dear FoodReview Indonesia, Mohon informasinya, untuk pembelian majalah cetak FoodReview Indonesia dapatkah dibeli dalam paket tertentu? Saya ingin melengkapi koleksi majalah FoodReview Indonesia versi cetak. Terima kasih.
Puti Palembang
Jawab: Majalah FoodReview versi cetak dapat dibeli secara satuan dan juga dalam bentuk paket. Ada dua paket yang kami sediakan yakni paket tahunan yang berisi 12 majalah dan paket beredisi khusus. Untuk paket khusus terdiri dari paket khusus edisi Food Safety, Ingredients, Bakery, Beverage, Dairy, dan lainnya. Lebih lengkap mengenai paket dan harga paket dapat langsung menghubungi kami di nomor WA: +62 811-1190-039.
Q&A
Syarat dan Ketentuan Pengiriman Artikel
Kepada FoodReview Indonesia Saya tertarik untuk mengirim tulisan ke majalah FoodReview Indonesia. Apakah ada syarat dan ketentuan untuk pengiriman tulisan tersebut?
Nabila Bogor Jawab
Terima kasih atas perhatiannya terhadap majalah kami. Kami menerima artikel dalam lingkup ilmu dan teknologi pangan dengan panjang artikel dibatasi maksimum 4 halaman (12,000 karakter), Calibri 11pt spasi 1,5. Untuk keperluan tata letak dan penyuntingan, kami akan melakukan penyesuaian tanpa mengubah makna isi. Artikel yang ditulis kami harapkan disertai dengan nama penulis, lengkap dengan lembaga/ perusahaan/asosiasi tempat penulis beraktivitas. Jika dipandang perlu, artikel bisa juga diberi tambahan daftar referensi –maksimal 5 buah. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan.
Cara Berlangganan Majalah DigitalDear FoodReview Indonesia, Mohon informasinya, bagaimana cara untuk berlangganan majalah digital FoodReview Indonesia? Terima kasih.
Sri Purwokerto
Jawab: Untuk berlangganan majalah Foodreview Indonesia, dapat langsung melalui laman web kami: www.pustakapangan.com. Silakan lakukan registrasi dan majalah baru setiap bulannya akan kami kirim secara otomatis melalui MyLibrary yang dimiliki oleh akun terkait. Dalam akun pustakapangan, pelanggan juga dapat mengunduh gratis majalah Kulinologi dan Food for Kids yang tidak diperjualbelikan di luar laman web pustakapangan.
KIRIMKAN KOMENTAR atau pertanyaan Anda ke Forum FOODREVIEW INDONESIA Jl Binamarga II No. 23, Baranangsiang, Bogor Timur 16143 atau melalui whatsapp: +62 811-1190-039, email redaksi@foodreview.co.id Cantumkan nama lengkap, alamat dan nomor telepon Anda. Semua surat yang masuk akan diedit terlebih dulu dengan
LKST IPB: Wadah untuk
Untuk mendukung program pembinaan dan pengembangan usaha rintisan atau startup, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2022 menggandeng 7 mitra lembaga inkubator. Salah satu mitra inkubator yang ditunjuk pemerintah adalah Science Techno Park/STP IPB University atau Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB.
STP IPB University sudah dirintis sejak 2014 yang awalnya dikelola oleh PT Bogor Life Science & Technology (BLST) yang merupakan holding company milik IPB University. Dalam perjalanannya, dilakukan penyesuaian dan akhirnya STP menjadi bagian dari Lembaga Kawasan Sains dan Teknologi (LKST) IPB.
LKST IPB berperan memfasilitasi perkembangan teknologi dan inovasi
Mencetak
Usaha Rintisan Bidang Agribisnis dan Agroindustri
untuk menghasilkan usaha rintisan dan penguatan sektor industri melalui penyediaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), infrastruktur fisik, dan dukungan manajemen. LKST IPB berfokus mengembangkan produk pertanian tropika, pangan, biosains dan kelautan, Untuk mencari usaha rintisan yang kompeten, LKST IPB rutin menyelenggarakan program inkubasi bisnis. Program pembinaan untuk usaha rintisan ini diadakan setiap tahun dengan rata-rata jumlah usaha rintisan yang berpartisipasi sebanyak 20 usaha. Adapun syarat yang wajib dipenuhi jika ingin mengikuti program inkubasi bisnis ini, di antaranya yakni usaha sudah berjalan minimal 6 bulan, produk inovatif dan prospektif, bidang usaha sesuai dengan fokus IPB University, berlokasi di area JABODETABEK, dan
usia maksimal 38 tahun. Inkubasi bisnis memberikan jasa pendampingan secara terpadu kepada usaha rintisan dengan fokus usaha di bidang agribisnis dan agroindustri dengan masa inkubasi selama 3 tahun.
Ada tiga tahapan proses inkubasi, yakni prainkubasi, inkubasi, dan pascainkubasi (Gambar). Kegiatan prainkubasi meliputi seleksi tenant, need assessment tenant dan penyusunan rencana aksi. Kegiatan inkubasi dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap awal (pelatihan teknis dan manajemen, fasilitasi legalitas usaha dan sertifikasi produk, penyusunan proposa rencana bisnis, uji coba produksi, dan uji coba pasar); pengembangan (produksi awal, pemasaran produk, pengajuan HKI, standardisasi proses produksi, dan sertifikasi produk); dan tahap lanjut (meliputi produksi komersial,
perluasan pasar, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, pengembangan jejaring, pameran serta business matching) dengan masa inkubasi dilakukan paling lama tiga tahun. Adapun kegiatan pascainkubasi meliputi fasilitasi pembiayaan lanjutan, pengembangan jejaring usaha baik skala nasional maupun internasional dan coincubation program.
Selain didukung oleh SDM inkubator yang handal, proses inkubasi didukung oleh stakeholders dalam masalah pendanaan, akses pasar, akses teknologi, akses perizinan usaha dan sertifikasi produk, narasumber, mentor, serta fasilitas dan layanan lain yang mendukung. Ada lebih dari 300 tenant yang telah diinkubasi sejak LKST IPB University berdiri dan mencatat persentase kesuksesan sebesar 70-80%.
Fri-12
Teknologi Pencetakan 3D untuk Industri Pangan
Memasuki revolusi industri generasi keempat, banyak teknologi yang ikut campur dalam suatu produksi, termasuk produksi pangan. Salah satu teknologi yang tengah berkembang dan digunakan untuk mendukung revolusi industri 4.0 adalah teknologi pencetakan 3D (3D printing).
Pencetakan 3D merupakan proses pembuatan objek tiga dimensi dari sebuah desain komputer (computer aided design/CAD) dengan menambahkan material cetak lapis per lapis (layer by layer). Tidak hanya sebatas mencetak di atas kertas, mesin 3D printing mampu mencetak benda sama persis dengan file gambar desain
3 dimensi yang sudah dibuat (soft file). Hasil cetakan 3D printing ini banyak digunakan untuk pembuatan prototipe (model) di berbagai industri seperti otomotif, IoT, kerajinan, pendidikan, medis, aksesori, tableware, perumahan, kemasan, hingga pangan.
Salah satu penyedia jasa pencetakan 3D adalah PT Infinite Inovasi Nusantara. Tak hanya menyediakan jasa pencetakan 3D, Infinite juga menawarkan jasa konsultasi desain, konsep produk, riset produk hingga sebelum akan dicetak. “Awalnya mereka menggunakan teknologi pencetakan 3D untuk membuat dummy product/ prototipe, baru kemudian secara massal memproduksi produk akhir jika dirasa
produk tersebut sudah sesuai dengan standar,” ungkap Al Hadiidtya Armi CEO PT Infinite Inovasi Nusantara. Perusahan yang beroperasi sejak 2019 ini telah memiliki mesin cetak 3D sebanyak 6 buah dengan jenis mesin pencetak FDM untuk material plastik (berbahan plastik PLA, plastik ABS, dan plastik PETG) serta jenis pencetak SLA untuk material resin. “Proses pembuatan prototipe suatu produk dengan teknologi pencetakan 3D sangat cepat dan presisi sehingga bisa memvisualkan desain secara nyata,” jelas Al Hadiidtya. Setelah desain 3D suatu produk/prototipe disetujui, maka akan dimasukkan ke perangkat lunak pencetak untuk kemudian dilakukan pencetakan. Harga jasa untuk pencetakan 3D ini dihitung berdasarkan harga bahan yang digunakan dan belum termasuk biaya jasa desain. Teknologi pencetakan
3D yang ditawarkan oleh PT infinite Inovasi Nusantara ini dapat memenuhi kebutuhan mencetak apapun yang tidak lagi hanya sekadar di atas kertas namun sudah bisa diwujudkan dalam bentuk cetak 3 dimensi yang hasilnya bisa langsung dilihat dan disentuh. Tak sedikit perusahaan yang menciptakan produk-produk unggulan dengan mengandalkan teknologi pencetakan 3D ini. Fri-12
INFO GAPMMI
Rachmat Hidayat (ki) sebagai narasumber dalam FGD bersama Bank Indonesia Kanwil Jatim
• Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan antar Lembaga GAPMMI, Rachmat Hidayat, hadir sebagai narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Timur untuk membahas topik kinerja industri pangan tahun 2022, prospek di tahun 2023, tenaga kerja, investasi, ketergantungan impor bahan baku, serta dukungan kebijakan yang diharapkan dari Pemerintah. Beliau juga hadir memberikan tanggapan dalam Rakor Evaluasi Kinerja Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian di Bogor (8/12).
• Sebagai bentuk dukungan GAPMMI terhadap program-program Kementerian Perindustrian untuk Industri Kecil dan Menengah, Ketua Umum GAPMMI, Adhi Lukman hadir bersama Betsy Monoarfa dan
Perwakilan GAPMMI dalam Gebyar IKMA 2022
Handito Joewono serta Daud Salim (CEO Kristamedia) dalam Acara Penganugerahan Penghargaan di Bidang IKM “Gebyar IKMA 2022” yang meliputi Penghargaan One Village One Product (OVOP), Indonesia Food Innovation (IFI), Indonesia Fashion and Craft Award (IFCA), dan Startup4lndustry, yang diadakan di Jakarta (9/12).
• Ketua Bidang Kerja Sama GAPMMI hadir dalam acara penandatanganan perjanjian kerja sama ‘Gerakan Pencegahan Food Waste’ dalam rangka kewaspadaan pangan dan gizi dengan sembilan organisasi yang memiliki semangat yang sama dalam mengurangi sampah makanan di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya memerangi pangan terbuang (food waste) yang tidak bisa dilakukan secara parsial, perlu dibangun sinergi lintas sektor, baik antar Kementerian/ Lembaga terkait maupun dengan
asosiasi yang bergerak di bidang pangan dan penggiat food waste. Kesembilan organisasi tersebut terdiri dari 6 asosiasi dan 3 lembaga penggiat pangan terbuang, yaitu Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Asosiasi Pengusaha Jasa Boga Indonesia (APJI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), dan Foodbank of Indonesia (FOI), Foodcycle Indonesia, dan Yayasan Surplus Peduli Pangan.
• Perwakilan GAPMMI, Lena Prawira menjadi narasumber dalam Webinar “Halal Business Management Dialogue: Mandatory Halal Certification in Indonesia”, oleh IPMI dengan IHATEC (15/12). Adapun narasumber lain adalah Dr. Soebandriyah, MM. dari BPJPH dan Sancoyo Antarikso dari PERKOSMI. Dalam webinar ini, para narasumber berbagi pengalaman tentang
dinamika dan implementasi regulasi halal terbaru di Indonesia.
• Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman menjadi salah satu narasumber pada acara Markplus Conference 2023. Tampil di Islamic Session “The Foundations of RecoveryHalal Food Indonesia” dan “Indonesia Industry Outlook 2023 Session” dengan para asosiasi.
• Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Desember 2022 sebesar 50,90 atau naik 0,01 dibandingkan nilai IKI pada November 2022 yang mencapai 50,89. IKI memberikan nilai indeks yang dapat diinterpretasikan bahwa jika angka IKI antara 0-50 maka tandanya kontraksi, di angka 50 menunjukkan tingkat stabil, dan di atas 50 menandakan fase ekspansi.
• Dua anggota GAPMMI, Mayora Group bersama Danone Aqua menerima Penganugerahan INDI 4.0 Award Tahun 2022 oleh Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian
Dua Anggota GAPMMI Terima IHYA 2022
Kementerian Perindustrian kembali menganugerahkan Penghargaan Indonesia Halal Industry Awards (IHYA). Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah kepada individu maupun pelaku industri
nasional yang berperan aktif terhadap pengembangan industri halal nasional. Penyelenggaraan IHYA diharapkan dapat memperkuat industri halal serta ekosistem ekonomi syariah. IHYA juga menjadi jenama untuk kemajuan sektor industri halal Indonesia, sekaligus representasi visi Indonesia sebagai pusat produsen halal terkemuka di dunia, seperti yang dikatakan oleh Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita. Dua anggota GAPMMI, PT Niramas Utama memperoleh penghargaan dengan kategori “Best Halal Export”, sementara PT Garudafood sebagai runner up “Best Halal Supply Chain” IHYA 2022. Fri-27
GAPMMI Apresiasi Ekspor Produk UKM ISUTW
GAPMMI sangat mengapresiasi pencapaian gemilang pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang berhasil melakukan ekspor produknya ke mancanegara. Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan UKM, Betsy Monoarfa didampingi Irwan S. Widjaja memenuhi undangan dari Pemilik CV Ikapeksi Agro Industri, Nurjannah Dongoran dalam acara “Pelepasan Ekspor Perdana Kecap Oishii ke Jeddah, Arab Saudi” (27/12). CV Ikapeksi Agro Industri merupakan salah satu UKM yang tergabung dalam program Indonesia Spice Up The World
Pengurus GAPMMI menghadiri acara “Pelepasan Ekspor Perdana Kecap Oishii ke Jeddah, Arab Saudi”
(ISUTW) di bawah binaan GAPMMI sejak 2020. Besar harapan kita semua agar para pelaku UKM ISUTW mengikuti jejak Ikapeksi ini. Fri-27
ASPARMINAS Berkomitmen Memajukan Industri Air Minum Nasional
Didirikan pada September 2022, Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) merupakan perkumpulan independen dan umum dari para produsen air minum kemasan yang terdiri dari pelaku usaha skala besar, menengah dan kecil. Dengan keanggotaan yang bersifat terbuka dan inklusif, dan dilandasi oleh prinsip kesetaraan serta kerja sama di antara produsen air minum kemasan, Asparminas menjadi wadah bagi para anggotanya untuk membahas isu-isu, hambatan, dan tantangan pengembangan industri air minum serta memfasilitasi forum untuk saling bertukar pikiran dalam hal aspirasi, gagasan, dan pemikiran yang diterima. Hal itu mengemuka dalam pertemuan anggota (member gathering) Asparminas bertajuk 'Menciptakan Ekosistem Air Minum kemasan yang Berdaya Saing Tinggi melalui Penerapan Teknologi dan Akses Pasar' di Jakarta pada 15 Desember 2022. Pertemuan anggota yang pertama sekaligus peluncuran
Asparminas tersebut diikuti oleh 51 anggota dari berbagai daerah. Pertemuan yang berlangsung santai dan formal, namun penuh kekompakan, keakraban, dan keramahan tersebut sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan ramah-tamah antara pejabat pemerintah, dewan penasehat, pengurus, anggota kehormatan dan anggota Asparminasi, serta para undangan lainnya. Diskusi menarik dengan suasana penuh keakraban juga terbangun dalam pertemuan pertama Asparminas tersebut, sehingga terjadi kekompakan dan optimisme para anggota untuk terus melanjutkan kerja sama yang saling menguntungkan dan saling mendukung.
Hadir pula dalam acara tersebut antara lain Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian Ir. Putu Juli Ardika, MA, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, BPOM, Dra. Rita Endang, Apt. M.Kes, Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Dr. Rizal E. Halim,
Dewan Pengarah Asparminas Adhi S Lukman dan Haris Munandar, anggota kehormatan Asparminas Budi Dharmawan dan Christine Halim, Analis Standardisasi Ahli Muda Badan Standar Nasional (BSN) Nindya Malvin Trimadya, dan sejumlah undangan penting lainnya. Ketua Umum Asparminas Johan Muliawan mengatakan, jajaran pengurus dan para anggota sangat optimis bahwa dengan kerja sama yang saling menguntungkan, saling dukung untuk kemajuan bersama akan dapat menumbuhkan ekosistem air minum yang kuat. "Dengan kondisi ideal tersebut maka peluang yang ada dapat dimanfaatkan dan hambatan atau tantangan yang muncul dapat diatasi," kata Johan.
Ia juga menegaskan Asparminas yang saat memiliki 51 anggota yang tersebar di 32 kabupaten/kota dari 15 provinsi, akan patuh dan mendukung penuh aturan dan kebijakan pemerintah, baik menyangkut aspek lingkungan hidup, lingkungan sosial, kesehatan, standardisasi, maupun kegiatan usaha.
Sekjen Asparminas Eko Susilo menambahkan, "Asparminas berkomitmen untuk menciptakan ekosistem industri air minum yang setara, inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi dengan fokus pada inovasi teknologi ramah lingkungan untuk tujuan bersama, yaitu kemajuan para anggotanya." Fri-08
Pengoptimalan Hilirisasi Industri Porang
Porang merupakan komoditas dengan potensi ekonomi yang tinggi. Di tingkat industri pangan, porang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung konjak atau tepung glukomanan. Tidak hanya itu, beberapa produk pangan yang mengandung olahan porang antara lain, bubuk jeli, mi shirataki, beras shirataki, konyaku, sosis, bakso, produk bakeri, cokelat, dan masih banyak lainnya. Melihat besarnya potensi ini, sudah semestinya dilakukan upaya hilirisasi yang optimal dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
“Produk olahan porang memiliki pasar ekspor yang cukup besar, seperti glukomanan dan beras porang,” kata Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika dalam Siaran Pers Kemenperin beberapa waktu lalu. Untuk meningkatkan hilirisasi pada sektor tersebut, Putu melanjutkan bahwa telah melakukan beberapa langkah proaktif berkolaborasi dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan. Harapannya, agar bisa mendapatkan solusi yang komprehensif, terutama dalam mengoptimalkan penyerapan porang dalam negeri.
Di Indonesia, berdasarkan data
dari Kementerian Pertanian, tanaman porang saat ini tersebar di beberapa wilayah seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan beberapa daerah lainnya dengan estimasi total luasan sekitar 47.641 hektar. Untuk target hilirasi pada komoditas porang, pada periode 2021-2027, Kemenperin akan menjaga pasar ekspor chip porang dan mulai mengembangkan produk tepung glukomanan serta mengupayakan injeksi teknologi pengolahan porang sebagai target jangka dekat. “Sedangkan untuk jangka menengah, penguasaan teknologi dan susbtitusi impor produk tepung serta mengembangkan industri pengguna tepung glukomanan potensial. Lalu untuk target jangka panjang, mengimplementasi hasil penelitian dan pengembangan industri potensial berbahan baku atau bahan penolong tepung glukomanan,” tutur Putu.
Tidak jauh berbeda, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Emil Satria menyampaikan bahwa pengembangan produk baru berbahan baku porang perlu dilakukan dengan kerja sama berbagai pihak seperti perguruan tinggi dengan industri. Fri-35
Masa Penahapan Kewajiban Sertifikat Halal Produk Pangan
Merujuk pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus memiliki sertifikat halal yakni (1) produk pangan, (2) bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk pangan, (3) produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Ketiga kelompok tersebut perlu memiliki sertifikat halal mengingat masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal yang akan berakhir pada 17 Oktober 2024. “Ketiga kelompok tersebut sudah harus bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Jika ditemukan belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, maka akan ada sanksinya,” tutur Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal (BPJPH), Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham dalam Siaran Pers Kemenag, 7 Januari 2023 lalu.
Aqil melanjutkan bahwa ada beberapa sanksi yang diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Hal ini tidak lain sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PP Nomor 39 Tahun 2021. “Untuk itu, kami mengimbau untuk segera melakukan kewajiban sertifikasi halal bagi seluruh pelaku usaha,” imbuh Aqil. BPJPH juga memiliki Fasilitas Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) bagi UMKM yang mengajukan sertifikasi dengan mekanisme pernyataan halal pelaku usaha (selfdeclare). Fri-35
Nilai Ekspor Produk Perikanan Indonesia
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatatkan nilai ekspor perikanan pada periode Januari-November 2022 sebesar 10,66% lebih tinggi dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Nilai ekspor yang dihasilkan pada periode JanuariNovember 2022 mencapai USD 5,71 miliar, sementara nilai impor di periode yang sama berada pada kisaran USD 0,64 miliar. “Kami masih surplus neraca perdagangan hasil perikanan sebesar USD 5,07 miliar.” Kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Ishartini dalam Siaran Pers KKP beberapa waktu lalu. Komoditas utama ekspor Indonesia di antaranya adalah udang dengan nilai USD1.997,49 juta, tuna-cakalangtongkol senilai USD865,73 juta, cumisotong-gurita sebesar USD657,71 juta, rumput laut sebesar USD554,96 juta dan rajungan-kepiting sebesar USD450,55 juta.
Untuk negara tujuan ekspor utama adalah Amerika Serikat senilai USD2,15 miliar (37,63%), Tiongkok senilai USD1,02 miliar (17,90%), Jepang USD687,13 juta (11,89%), ASEAN USD651,66 juta (11,42%) serta 27 negara Uni Eropa senilai USD357,12 juta (6,26%). Ishartini juga mendorong para pelaku usaha untuk mengetahui mengenai persetujuan kesepakatan
dagang antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa (Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss) yang tergabung dalam EuropeanFree Trade Association (EFTA) melalui Indonesia European - Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Kemudian MozambiquePreferential Trade Agreement (IM-PTA) yang menyepakati penurunan tarif untuk tuna segar, kepiting, dan udang beku serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan perundingan perdagangan bebas antara negara ASEAN (10 negara) dengan lima negara mitra, yaitu Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Australia, dan Selandia Baru.
Ishartini juga mengarahkan jajarannya untuk terus mempromosikan jenama produk perikanan Indonesia dengan tagline “Indonesia Seafood: Naturally Diverse” dan sub-tagline “Safe and Sustainable” di berbagai pameran dan pertemuan internasional. Fri-35
FoodReview Indonesia Webinar
Fats, Oils, and Antioxidants in Food Products
Lemak dan minyak menjadi bahan pangan yang aplikasinya sangat luas digunakan sebagai bahan penggoreng, minyak salad, bakeri, hingga konfeksioneri. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaanya
terutama terkait dengan stabilitas lemak dan minyak. Stabilitas lemak minyak sangat terkait dengan profil asam lemak yang dimiliki. Asam lemak dengan lebih banyak ikatan rangkap akan lebih rentan terhadap oksidasi. Oksidasi pada produk pangan membuat masa simpan
lebih pendek dan juga berdampak pada karakteristik sensori yang menurun seperti munculnya aroma dan rasa yang tidak diinginkan. “Pada produk pangan yang mengandung lemak dan minyak, terjadi beberapa jenis ketengikan yang disebabkan oleh faktor yang berbedabeda,” ujar Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB University, Prof. Dr. Slamet Budijanto dalam FoodReview Indonesia Webinar – Fats, Oils, and Antioxidants in Food Products yang diselenggarakan secara dari beberapa waktu lalu.
Jenis ketengikan yang dimaksud adalah ketengikan hidroliitik yang disebabkan oleh hidrolisis TAG oleh enzim lipase atau karena perlakuan panas. Kemudian terdapat ketengikan oksidatif yang terjadi karena adanya oksidasi asam lemak tak jenuh. “Ketengikan menghasilkan
pembentukan asam dikarbosilat, aldehida, dan keton yang bertanggung jawab atas bau dan rasa yang tidak enak. Dalam perkembangannya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam mencegah oksidasi penyebab ketengikan ini. Beberapa di antaranya adalah dengan mencegah kontak dengan cahaya (menggunakan kemasan dengan warna gelap atau buram, menggunakan mengkelat logam (EDTA), mencegah reaksi dengan logam, dan lain sebagainya pada tahap inisiasi. Sedangkan pada tahap propagasi, hal yang bisa dilakukan adalah dengan menambhkan antioksidan seperti BHA, BHT, dan tokoferol.
Antioksidan alami
Pergeseran gaya hidup konsumen yang lebih mementingkan kesehatan ternyata membawa perubahan cukup signifikan dalam upaya memilih produk pangan. Didukung dengan informasi yang semakin mudah diakses, produk pangan menjadi semakin kompetitif pula untuk dipilih oleh konsumen. Salah satu aspek yang dicari oleh konsumen adalah clean label atau produk dengan ingridien yang dapat dikenali oleh konsumen, pun termasuk pada bahan tambahan pangan (BTP) seperti antioksidan.
“
Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), tertiary butylhydroquinone (TBHQ), butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxtoluene (BHT), propyl gallate, ascorbyl palmitate adalah beberapa jenis antioksidan sintetik yang berpeluang tidak lagi dipilih oleh konsumen saat ini,” kata Lead Scientist,
Drew Elde, Lead Scientist, Food Protection Kalsec
Food Protection Kalsec, Drew Elder. Lebih lanjut, Elder mengatakan bahwa saat ini konsumen lebih tertarik dan memilih berbagai variasi antioksidan yang berasal dari bahan alami seperti dari turunan tanaman rosemary (carnosic acid, carnosol), teh hijau (catechins), acerola cherry (ascorbic acid), tokoferol campuran (minyak nabati) asam askorbat (turunan jagung), dan asam sitrat (fermentasi gula).
Tidak jauh berbeda, Manager, Food Protection (Antioxidant Applications), Kalsec Inc., Jennifer Young juga menjelaskan bahwa antioksidan di atas berasal dari tumbuhan yang secara spesifik dikembangkan untuk menjadi antioksidan alami. “Kalsec memberikan sistem manajemen antioksidan yang telah terbukti efikasi, flavor, dan aroma pada tiga produk utama antioksidan alami yakni Herbalox Rosemary Extract, Duralex Oxidation Management, dan Teabalox Green Tea Extract,” tuturnya.
Jennifer Young, Manager, Food Protection (Antioxidant Applications), Kalsec Inc.
Regulasi antioksidan
Antioksidan termasuk ke dalam bahan tambahan pangan (BTP) yang
digunakan untuk mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi. Pada dasarnya, penggunaan BTP hanya digunakan pada produk pangan jika benar-benar diperlukan secara teknologi. BTP tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang tidak memenuhi syarat, cara kerja yang bertentangan dengan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan kerusakan pangan. “Gunakan BTP termasuk antioksidan yang memiliki izin edar (MS/ ML) dan gunakan dengan takaran penggunaan yang sesuai dengan petunjuk label sediaan BTP serta tidak melebihi batas maksimal,” kata Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan,
Bahan Penolong, Kemasan, Cemaran, dan Cara Ritel Pangan yang Baik, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan, BPOM, Dra. Deksa Presiana, Apt, M.Kes. Penambahan BTP pada produk pangan memiliki beberapa tujuan seperti membentuk pangan, memberikan warna, meningkatkan kualitas pangan, memperbaiki tekstur, meningkatkan cita rasa, meningkatkan stabilitas, dan mengawetkan pangan.
Terkait dengan antioksidan alami, saat ini banyak potensi yang dapat dikembangkan mengingat inovasi bahan alami lokal yang mulai banyak dieksplorasi serta adanya teknologi ekstraksi yang lebih baik untuk memperoleh senaywa yang lebih murni dari bahan baku lainnya. Tidak hanya itu, inovasi teknologi yang lebih baik juga dapat meningkatkan stabilitas BTP antioksidan alami. Namun demikian, perlu juga diingat bahwa penggunaan BTP alami relatif masih kurang efektif dibandingkan dengan sintetik serta BTP alami cenderung bersifat mudah rusak sehingga berpengaruh pada umum simpan yang pendek. Terkait dengan BTP termasuk antioksidan ini telah diatur dalam beberapa regulasi seperti Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, PP No. 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label & Iklan Pangan dan diturunkan ke dalam beberapa Peraturan BPOM yang secara lengkap dapat diunduh dalam lama web: http://jdih.pom/go.id. Fri-35
ARAH KEBIJAKAN Industri Pangan 2023
Industri pangan pada tahun 2023 menghadapi tantangan baru, setelah selama hampir tiga tahun sibuk bertahan dan berupaya pulih dari hantaman pandemi COVID-19. Pada triwulan 3 tahun 2022 (Q3-2022) pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72% (y-on-y), cukup tinggi dibandingkan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara. Sektor industri manufaktur non-migas pada Q3-2022 mencatat pertumbuhan 4,88%, terutama didorong oleh industri logam dasar, mesin dan perlengkapan, alat angkut, dan industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang tumbuh dua digit. Industri pangan tumbuh agak moderat, terutama karena industri pangan tumbuh 3,57%, sedangkan industri tembakau justru mengalami kontraksi 2,94%.
Tantangan lain bagi industri pangan adalah kinerja sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku penting dari industri pangan tumbuh rendah pada Q3-2022, yaitu hanya 1,65% (y-on-y). Itu pun pertumbuhannya tidak merata dan tidak stabil pada setiap subsektor. Dua subsektor penting justru mencatat pertumbuhan negatif, yaitu tanaman pangan dan kehutanan serta penebangan kayu. Tanaman pangan bahkan mengalami kontraksi hebat dan tumbuh negatif 7,97%, sedangkan kehutanan dan penebangan kayu terkontraksi negatif 3,80%. Sifat musiman (seasonality) dari subsektor tanaman pangan dan pertanian secara umum tampak masih sangat dominan.
Siklus tanaman pangan pada Q3-2022 umumnya telah selesai panen, sehingga perbedaan nilai tambah yang menjadi komponen utama dalam pertumbuhan subsektor tanaman pangan tersebut menjadi sangat kecil. Sedangkan subsektor kehutanan secara hakikat memang mengalami kontraksi, bahkan selama dua triwulan berturut-turut, karena volume penebangan kayu telah sangat jauh menurun.
Bahan baku industri pangan yang mengalami pertumbuhan positif dan cukup tinggi pada Q3-2022 adalah subsektor peternakan, perikanan, hortikultura dan perkebunan. Tantangan besarnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi besar bahan baku tersebut untuk menggerakkan industri pangan, setidaknya pada
jangka pendek tahun 2023 dan jangka menengah-panjang ke depan. Strategi kebijakan hilirisasi industri pangan berbasis perkebunan, perikanan, dan peternakan tersebut menjadi kata kunci penting ke depan. Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa industri pangan menjadi salah satu ujung tombak pembangunan industri manufaktur dan bahkan strategi besar industrialisasi di Indonesia.
Artikel ini menganalisis arah kebijakan industri pangan 2023 dan dalam jangka menengah-panjang ke depan. Sinergi kebijakan tingkat makro perekonomian dan tingkat mikro industri pangan menjadi tumpuan harapan ke depan, bahkan menjadi andalan untuk mampu berkontribusi
pada pemulihan ekonomi Indonesia dan ancaman resesi global. Pertama, pembahasan tentang perubahan demografi dan pergeseran piramida penduduk Indonesia dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang potensi peningkatan permintaan pangan fungsional. Kemudian, analisis tentang kinerja dan strategi hilirisasi industri pangan, khususnya yang berbasis perkebunan dan perikanan akan melengkapi substansi kebijakan industri pangan. Penutup artikel ini adalah rekomendasi perubahan ke depan untuk mewujudkan pencapaian industri pangan yang resilien dan berkontribusi pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia.
Perubahan demografi
Sebagaimana diketahui, Indonesia mengalami perubahan drastis dalam jumlah dan profil demografi serta komposisi penduduk. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan atau yang ditunjukkan oleh indikator tingkat kesuburan (total fertility rate, TFR) turun dari sekitar 5,7 pada tahun 1971 menjadi 2,2 pada tahun 2020. Sebagian besar penurunan ini adalah implementasi program Keluarga Berencana sejak tahun 1970-an pada masa pemeritahan Presiden Soeharto. Setelah kejatuhan Rezim Orde Baru atau pada Era Reformasi, Program Keluarga Berencana (KB) sempat tidak menjadi fokus karena strategi pembangunan lebih banyak difokuskan pada pemulihan ekonomi. Akibatnya, mulai tahun 2000, laju penurunan TFR menjadi
terhambat, walau masih di bawah 2,0 dalam 30 tahun ke depan. Sementara itu, angka harapan hidup saat lahir (life expectancy at birth = e0) meningkat dari 40 tahun lebih sedikit menjadi sekitar 70 tahun pada tahun 2020. Perbaikan kesehatan, terutama pada bayi dan balita, berkontribusi terhadap peningkatan tersebut. Diperkirakan dalam 30 tahun ke depan angka harapan hidup saat lahir akan mendekati 80 tahun, suatu peningkatan signifikan. Perubahan demografi Indonesia yang cukup dramatis tersebut ditunjukkan secara jelas pada Gambar 1.
Tahun 1970, struktur penduduk Indonesia didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun) hingga 43,2% karena pada waktu itu masih merupakan tahap awal program KB oleh Rezim Pemerintahan Orde Baru. Setelah TFR Gambar 1. Struktur Umur Penduduk Indonesia, 1950-2020 Sumber: United Nations (2019)
atau angka kelahiran per wanita mampu diturunkan, maka komposisi penduduk usia muda semakin lama semakin turun. Secara sosial, kecenderungan pasangan baru untuk memiliki anak pada jumlah sedikit, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Penurunan tersebut dipoyeksikan akan terus berlangsung hingga di bawah 20% pada tahun 2050
Fenomena sebaliknya juga terjadi cukup masif, terutama karena angka harapan hidup juga berubah dan membaik, sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi selama setengah terakhir. Penduduk lanjut usia (>65 tahun) terus naik, dari 3% pada tahun 1970 menjadi 18% pada 2050 karena kualitas pelayanan kesehatan juga semakin membaik. Bahkan pada periode
2055-2060, proporsi penduduk lanjut usia (lansia) melebihi proporsi kaum muda. Terdapat beberapa konsekuensi ekonomi dan kebijakan dari perubahan demografi seperti itu, diantaranya adalah kebutuhan dan jenis layanan sosial berubah, menjadi lebih ramah (friendly) terhadap penduduk lansia. Pelayanan perlindungan kaum lansia juga pasti berubah, seperti kebutuhan panti lansia, pelayanan kesehatan, transportasi dan lain-lain.
Pada Gambar 1 juga terlihat fenomena bonus demografi (demographic dividend) yang sering menjadi pembahasan serius pada literatur ekonomi pembangunan. Bonus demografi adalah potensi pertumbuhan ekonomi tinggi karena jumlah kelompok pekerja atau usia produktif (15-64 tahun) relatif lebih besar dari kelompok non-pekerja, yaitu penduduk usia muda (0-14 tahun) dan lansia (>65 tahun). Para ekonom menyebutkan potensi pertumbuhan ekonomi karena lebih banyak tenaga kerja tersedia untuk bekerja aktif tersebut hanya berlangsung satu sekali sepanjang sejarah suatu bangsa. Periode bonus demografi di Indonesia diperkirakan akan belangsung pada rentang 2030-2035 atau sekitar waktu tersebut. Bonus demografi akan tergantung pada kualitas pekerja itu sendiri, tingkat pendidikan dan keterampilan serta faktor-faktor lingkungan dan pelayanan terhadap para pekerja. Jika sekian macam prasyarat tersebut tidak mampu dimanfaatkan secara baik, maka potensi pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak akan terjadi,
bahkan menghasilkan persoalan baru yang lebih pelik.
Penyajian data penduduk dan perubahan demografi sering ditampilkan sebagai piramida penduduk Indonesia pada tahun 2020, 2045 dan 2070 pada Gambar 2.
Pada tahun 2020, piramida penduduk Indonesia masih berbentuk cukup umum, bahwa penduduk usia muda cukup besar, bahkan sampai penduduk usia remaja dan dewasa. Tingkat konsumsi atau kebutuhan pangan pada negara berpenduduk remaja ini memang cukup besar, sehingga angka konsumsi beras pada 2020 masih tercatat 29,40 juta ton. Pada tahun 2022, total konsumsi beras masih meningkat hingga 30,21 juta ton, lebih banyak karena jumlah penduduk yang terus naik, walaupun tingkat konsumsi beras per kapital telah turun hingga 94 kg/kapital. Penduduk usia lanjut semakin lama semakin berkurang hingga piramida penduduk pada 2020 berbentuk lancip
hingga berbentuk garis lurus.
Tahun 2045 dan tahun 2070, bentuk piramida penduduk Indonesia berubah menjadi berturut-turut lonjong dan bahkan agak lancip di bawah. Piramida penduduk seperti itu menggambarkan kohor penduduk yang bergerak ke usia menengah, bukan lagi usia muda. Pada tahun 2045, tingkat kelahiran bayi berkurang, bahkan semakin banyak pasangan muda yang memilih untuk mempunyai anak 1-2 orang atau bahkan memilih untuk tidak mempunyai anak. Tahun 2070, piramida penduduk Indonesia akan berubah lagi menjadi agak lancip ke bawah dan ke atas, setelah kohor penduduk bergerak ke lanjut usia. Jenis pangan yang dikonsumsi oleh kelompok dewasa dan lansia tersebut pasti berubah. Mereka lebih banyak akan mengkonsumsi pangan segar dan olahan yang banyak bermanfaat bagi kesehatan dan befungsi untuk meningkatkan vitalitas tubuh atau yang dikenal sebagai pangan fungsional.
Kecenderungan perubahan konsumsi pangan yang mengikuti perubahan demografi atas menjadi peluang besar bagi industri pangan untuk juga bergeser dan fokus untuk memproduksi pangan fungsional.
Industri pangan berbasis
perkebunan dan perikanan
Sektor perkebunan dan perikanan menjadi basis utama industri pangan fungsional yang banyak dapat diproduksi di Indonesia. Pangan fungsional ini yang akan menjadi warna penting dari hilirisasi industri pangan Indonesia ke depan. Cikal bakal pengembangan industri pangan fungsional sebenarnya telah mulai dilaksanakan di Indonesia, karena banyak pelaku industri dan pemerintah telah mulai melakukan transformasi strategi pembangunan industri pangan. Nilai tambah yang dapat dihasilkan dari hilirisasi industri atau pendalaman industri agro, terutama yang berbasis perkebunan dan perikanan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dengan industri sederhana atau pengolahan tingkat pertama.
Pada tahun 2023, arah kebijakan pengembangan industri pangan nasional perlu secara sistematis melanjutkan transformasi dan hilirisasi industri, dalam suatu platform sektor hulu dan sektor hilir yang lebih terintegrasi. Industri pangan ke depan wajib terintegrasi dengan sektor hulu atau sektor pertanian, bahkan sejak tahap perencanaan investasi, koordinasi organisasi dan implementasi investasi
industri pangan tertentu. Setidaknya terdapat tujuh strategi besar pengembangan industri pangan berbasis agro yang diturunkan dari Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2015, sebagai berikut: (1) Peningkatan produktivitas dan keberlanjutan pasokan; (2) Tekonologi cerdas dan presisi untuk nilai tambah; (3) Ketertelusuran produk pertanian yang aman dan halal; (4) Perbaikan daya saing agro-industri untuk pasar
global; (5) Keterpaduan hulu-hilir melalui sistem logistik efisien, (6) Investasi, produksi agro-industri dan perdagangan; (6) Penyediaan dan pengolahan big data yang komprehensif. Permasalahan berlarut-larut yang melingkupi sektor hulu, bahkan dapat mengganggu peta jalan (roadmap) pembangunan industri pangan. Industri pangan nasional memerlukan kepastian dan kontinuitas bahan baku dari sektor hulu. Fenomena disrupsi yang terjadi pada sektor hulu, apa pun penyebabnya, pasti akan memengaruhi
sektor hilir industri pangan turunannya. Misalnya, industri berbasis kelapa sawit mengalami ketidakpastian sangat tinggi ketika tiba-tiba pemerintah memberlakukan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) pada bulan Mei 2022. Walaupun terjadi hanya satu bulan, larangan ekspor CPO dan produk turunannya tersebut justru telah mengganggu kinerja industri pangan dan perdagangan luar negeri dan lainlain. Demikian juga fenomena buruknya dukungan peningkatan produktivitas perkebunan kakao justru telah
mengganggu kinerja industri cokelat, cocoa butter, dan lain-lain. Secara singkat, kinerja industri pangan berbasis perkebunan dan perikanan beserta rencana pengembangannya ke depan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1Industriberbasis kelapa sawit. Pada tahun 2022, luas areal kelapa sawit diperkirakan meningkat melebihi 16,5 juta hektar, dengan produksi 51,3 juta ton CPO atau terdapat peningkatan signifikan dari 46,5 juta ton pada tahun 2021. Produksi CPO sebesar merupakan setengah lebih dari produksi CPO global, karena Indonesia telah lama menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Ketika pandemi COVID-19 melanda ekonomi global, permintaan CPO sempat lesu sebelum akhirnya Indonesia menggenjot pengembangan biofuels B-30. Hasilnya ternyata sangat signifikan, karena harga CPO dan harga minyak goreng naik di
atas 100%. Pemerintah melakukan intervensi kebijakan untuk stabilisasi harga minyak goreng, walau dengan instrumen kebijakan yang berubah-ubah. Awalnya, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada Januari 2022, kemudian berganti menjadi alokasi wajib domestik (domestic market obligation, DMO) dan kewajiban harga domestik (domestic price obligation, DPO). Kebijakan yang tidak terlalu matang tersebut akhirnya justru membuat minyak goreng semakin langka dan harga semakin tidak terkendali. Antrian warga yang ingin membeli miyak goreng terjadi di mana-mana dan sempat menimbulkan implikasi politik yang merisaukan. Pada bulan Maret 2022, kebijakan DMO dan DPO dicabut dan dianggap tidak berlaku. Pemerintah menetapkan HET hanya untuk minyak goreng curah, dengan maksud untuk memberikan subsidi bagi keluarga miskin. Badan
Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) ditugaskan untuk mengganti selisih harga pasar dengan HET pada produsen minyak goreng. Singkatnya, sepanjang tahun 2022, industri berbasis kelapa sawit mengalami drama ekonomi yang sangat dinamis dan berdimensi politik yang sangat kental. Strategi pengembangan sawit berkelanjutan tampak tidak mudah, walaupun ekspektasinya adalah bahwa sawit berkelanjutan akan lebih inklusif dan komprehensif membawa dampak keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan industri pangan berbasis kelapa sawit ke depan diarahkan untuk melakukan diversifikasi industri dan produk hilir andalan, khususnya pangan fungsional berupa oleokimian, asam lemak, vitamin A dan vitamin E, dan lain-lain. Prasyarat untuk melalukan percepatan pembangunan atau debottlenecking untuk menjamin kontinuitas dan kepastian suplai bahan baku adalah reforma total replanting atau peremajaan sawit rakyat, peningkatan status legalformal lahan, terutama yang belum memimiliki status clear and clean untuk dilakukan peremajaan sawit rakyat (PSR).
2Kelapa dalam. Pada 2022, luas areal kelapa dalam sekitar 3 juta ton tersebar di hampir setiap provinsi yang memiliki garis pantai di Indonesia. Produksi kelapa dalam diperkirakan 16,8 juta ton, atau
mengalami penurunan dari 17,1 juta ton pada 2021. Tren penurunan produksi kelapa dalam diperkirakan terus terjadi pada tahun 2023 ini. Ekspor kopra sebagai turunan dari kelapa dalam cukup rendah, hanya beberapa puluh ribu ton saja, sangat kontras dibandingkan dengan kelapa sawit yang mendapat perhatian memadai. Kelapa dalam hampir seluruhnya diusahakan oleh petani atau pekebun kecil, sehingga produktivitas kelapa hanya berkisar 5 ton/ha dan nyaris tidak berubah selama beberapa tahun terakhir. Persoalan peremajaan yang lambat terjadi lebih banyak karena kapasitas pekebun, status legalitas lahan dan nyaris tidak terdapat program pemerintah untuk melakukan peremajaan kelapa dalam sebagaimana pada administrasi sebelumnya. Pada bidang pascapanen, tidak banyak aplikasi teknologi modern untuk menghasilkan kopra putih yang berharga lebih mahal. Hingga saat ini, komposisi kopra hitam masih lebih dominan dibandinkan dengan kopra putih.
Tabel 1. Pengembangan Industri Pangan Berbasis Perkebunan dan Perikanan
Komoditas Lokus Prioritas
Diversifikasi Industri Produk Hilir Andalan
Debottlenecking Hulu, Kontinuitas bahan baku Roadmap menuju 2045
Kelapa Sawit Sumut, Sumsel, Jatim
Pangan Fungsional (Oleokimia fatty acid, Vit A E, dll)
Kelapa Dalam Jatim, Sulut Pangan Fungsional (Medium-chain trigliseride, flour)
Sulut, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTT Olahan ikan, Pengalengan ikan
replanting (PSR), legal, korporatisasi
Peningkatan produktivitas kelapa genjah (hibrida)
KEK Sei Mangke, Tanjung Carat, Gresik, Mojokerto
KEK Gresik, KEK Bitung
Verifikasi-validasi asal bahan baku, ketelusuran dan perbaikan dayasaing sektor
Tuna
Jatim, Sulsel, Jabar, Banten
Pangan Fungsional (Minyak, tepung, gelatin, kolagen)
Jatim-Jateng
Rajungan
Sultra
Pangan Fungsional (Chitosan, chitin, suplemen), farmasi, kosmetik dll
Olahan rajungan (meat, cake, dll), Pangan Fungsional, Suplemen
Sumber: Diolah dari “Roadmap Hilirisasi Industri Pangan 2045” (BKPM, 2022)
Kerjasama investasi, jaringan industri pangan dan pemberdayaan nelayan tradisional
Waspada overfishing, Pantura Jatim-Jateng banyak nelayan tradisional
Dukungan energilistrik, angkutan darat dan laut, dari Muna, Bombana, dll
Peningkatan konsumsi pangan dan kualitas gizi: Kontribusi percepatan penurun stunting
Peningkatan utilisasi industri, kapasitas produksi
KI PIER (PasuruanIndustri Estate Rembang).
Industri Rajungan Rebus dan diawetkan di Kawasn PPS Kendari).
Harga kopra yang stagnan dan rendah menjadi salah satu determinan dari rendahnya kinerja kelapa dalam selama ini. Hal yang cukup menarik adalah bahwa pemerintah saat ini sedang mengembangkan investasi industri pangan berbasis kelapa dalam, khususnya pangan fungsional untuk menghasilkan mediumchain trigeliseride, tepung kelapa (coconut flour) dan lain-lain. Upaya untuk melakukan debottlenecking di sektor hulu melalui peningkatan produktivitas, peremajaan atau revitalisasi perkebunan kelapa, pengembangan kelapa hibrida, dan lain-lain perlu menjadi kebijakan prioritas pada tahun 2023 dan jangka menengah ke depan. Misalnya, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan KEK Gresik ditugaskan sebagai ujung tombak dalam pengembangan industri pangan fungsional berbasis kelapa dalam.
3Tuna-Cakalang-Tongkol. Sampai saat ini, Indonesia sebenarnya masih menduduki peringkat pertama sebagai produsen tuna-cakalangtongkol (TCT) di dunia, dengan kontribusi sekitar 15%, disusul Filipina 7%, Vietnam 6,6%, Ekuador 6% dan sebagainya. Pada tahun 2022, total produksi sekitar 1,4 juta ton dan masih akan meningkat pada 2023 karena potensi produksinya memang sangat tinggi. Potensi produksi TCT di Indonesia sekitar 3,4 juta ton yang sebagian besar berada
di perairan Indonesia Timur dan wilayah lain dengan wilayah pantai dan laut dalam. Sebagian besar atau sekitar 1,2 juta ton (87%) produksi TCT dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dan sekitar 175 ribu ton sisanya (13%) untuk pasar ekspor. Selama 10 tahun terakhir, Tunisia merupakan negara pengekspor ikan tuna (sektor hulu) terbesar dengan kontribusi 24%, sementara pangsa ekspor tuna Indonesia sangat kecil atau hanya sekitar 0,1% dari total perdagangan tuna global. Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan investasi industri pangan berbasis TCT, terutama di Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara Timur, khususnya untuk industri pangan olahan, pengalengan ikan dan lain-lain. Industri pangan berbasis TCT ini dapat berkontribusi
pada peningkatan konsumsi pangan dan kualitas gizi, serta percepatan penurunan stunting. Industri pangan fungsional berbasis TCT berupa minyak ikan, tepung ikan, gelatin, kolagen dan lain-lain dikembangkan di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Banten. Strategi debottlenecking atau pembenahan sektor hulu perikanan, dimulai dari pendampingan dan pemberdayaan nelayan, verifikasi dan validasi bahan baku dalam konteks ketelusuran bahan baku untuk meningkatkan daya saing sektor perikanan dan kelautan secara umum.
4Rajungan. Rajungan adalah bahan industri pangan dengan protein tinggi yang dapat berkontribusi pada peningkatan konsumsi dan kualitas gizi. Produksi terbesar rajungan diperoleh dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712 yang meliputi Perairan Utara Jawa dan Perairan Timur menyumbangkan produksi rajungan sekitar 47,5% dari total produksi rajungan nasional. Sentra produksi rajungan terbesar selanjutnya yaitu WPP 713 dan WPP 711 yang berada di Kepulauan Bangka-Belitung, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Produksi rajungan Indonesia tahun 2022 hanya sekitar 100 ribu ton, jauh menurun dibandingkan dengan produksi tahun 2017 yang mencapai 270 ribu ton. Penurunan ini disebabkan dari fenomena penangkapan berlebihan (overfishing) di beberapa perairan
dangkal sehingga kemampuan reproduksi rajuangan menurun. Produksi rajungan sebagian besar (71%) untuk konsumsi domestik dan 29% sisanya untuk pasar ekspor. Pangsa pasar ekspor rajungan dari Indonesia mencapai 7,6% atau berada pada posisi ke-4 di dunia. Hal yang menarik adalah bahwa neraca perdangangan internasional Indonesia untuk rajungan tercatat sebesar 24 ribu ton, dengan tujuan ekspor Amerika Serikat (47 persen), Tiongkok (25%) dan Malaysia (14%). Arah kebijakan investasi industri pangan berbasis rajungan pada 2023 adalah pada Kawasan Industri PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang) di Pasuruan, Jawa Timur. Industri pangan fungsional yang dikembangkan adalah kitosan, kitin, suplemen, farmasi dan kosmetik.
Investasi industri rajungan rebus di Kendari dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah rajungan sekaligus untuk menghasilkan produk pangan fungsional, suplemen kesehatan dan lain-lain.
Perubahan kebijakan ke depan
Sebagai penutup, beberapa perubahan kebijakan berikut perlu segera dilakukan untuk mewujudkan arah industri pangan tahun 2023 dan jangka menengahpanjang ke depan.
• Pertama, penguatan hilirisasi pangan adalah bagian dari agenda transformasi sistem pangan nasional dan pengembangan pangan fungsional lebih komprehensif.
• Kedua, strategi hilirisasi pangan wajib mempertimbangkan potensi sumberdaya dan kearifan lokal,
meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja baru, dan berkontribusi pada pengembangan wilayah dan ekonomi lokal.
• Ketiga, hilirisasi industri pangan pangan mensyaratkan kepastian hukum dan iklim usaha dalam suatu tata guna lahan, kejelasan zonasi, keseimbangan ekologis dalam pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, berbasis “Satu Data Indonesia” yang bermartabat;
• Keempat, dukungan digitalisasi rantai nilai pangan, konsistensi kebijakan dalam negeri dalam pemberdayaan petani dan nelayan kecil, akses pembiayaan, teknologi perlu terintegrasi dengan strategi penguatan hilirasi pangan yang lebih besar.
Tantangan Industri Pengolahan Pangan 2023: Reformulasi
“
The right to food is the most basic right of all. If we are truly committed to the cause of human rights, we must exercise initiative and leadership and work to eliminate world hunger....”.
Selain udara dan air, pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup tanpa pangan (serta udara dan air). UndangUndang Pangan Republik Indonesia (UU No. 18, 2012) bahkan menyatakan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, jika kita benar-benar berkomitmen pada hak asasi manusia, maka kita harus sangat serius bekerja untuk menghilangkan kelaparan dunia; yang tidak lain adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) ke2 (SDG No. 2) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), delapan tahun yang lalu (2015). Secara khusus SDG No. 2 adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.
Menghilangkan kelaparan
Menghilangkan kelaparan mestinya menjadi komitmen -dan sekaligus misi suci dan mulia- semua pemangku kepentingan bidang pangan. Kenyataannya, sesuai dengan laporan berjudul Food Security and Nutrition in the World yang diterbitkan bersama oleh beberapa badan PBB (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO) pada
tahun 2022, diketahui bahwa dunia belum berhasil menjawab tantangan menghilangankan kelaparan ini. Laporan tersebut justru memberikan peringatan, bahwa tantangan itu semakin besar.
Dalam laporan ini, situasi kelaparan global; yang ditunjukkan dengan angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (prevalence of undernourishment; PoU, %) terangkum dengan jelas pada Gambar 1. Gambar 1 tersebut memperlihatkan adanya tren yang bagus sampai dengan tahun 2014, di mana tercatat dunia mampu mencapai kemajuan signifikan dalam
Gambar 1. Jumlah dan Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan (Prevalence of Undernourishment; PoU) di dunia, 2005 – 2020/2021. Nilai proyeksi untuk tahun 2021 diilustrasikan dengan garis putus-putus. Area yang diarsir menunjukkan batas bawah dan atas dari perkiraan kisaran tersebut. (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO, 2022).
menurunkan angka PoU. Namun mulai tahun 2014, tren turunnya angka PoU ini tidak terlihat lagi. Pada saat itu, khususnya pada tahun 2015, PBB sebetulnya membuat penegasan kembali supaya dunia lebih sungguh-sungguh berupaya menghilangkan kelaparan, dengan menyusun agenda pembangunan berkelanjutan, dan menetapkan 17 SDGs, di mana salah satunya adalah menghilangkan kelaparan di dunia, menuju Zero Hunger (SDG No. 2). Namun demikian, dengan agenda SDGs yang digaungkan PBB, situasi
kelaparan di dunia tidak membaik, tetap stagnan hingga tahun 2018. Bahkan keadaan pangan dunia menjadi memburuk, ditandai dengan angka PoU yang mulai meningkat pada tahun 2018/2019. Pada tahun 2020, meningkatnya angka PoU semakin nyata, menyebabkan jumlah kelaparan menjadi 618.4 juta orang. Semua tren tidak menggembirakan ini terjadi sebelum konflik Rusia-Ukraina, yang mulai pada awal tahun 2022, yang diprediksi dapat lebih memperburuk kondisi pangan dunia.
Dalam hal angka PoU, data dari Badan Pusat Statistik juga menunjukkan fenomena serupa terjadi di Indonesia. Indonesia mengalami penurunan PoU yang melambat dari tahun 2015 ke 2019, dan akhirnya bahkan meningkat pada tahun 2020 (Gambar 2). Kondisi ini, berpeluang menjadi lebih buruk karena adanya konflik dunia, yang dapat memberikan tekanan pada produksi dan logistik pangan, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan angka PoU. Tantangan untuk mencapai SDG No.
2 sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1 dan 2 ini, akan semakin berat karena adanya laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, yang pada akhirnya akan menyebabkan permintaan pangan yang meningkat dengan laju yang lebih besar lagi.
Meningkatkan produksi dan produktivitas
Dengan gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa dunia mempunyai tugas untuk meningkatkan produksi
pangan guna memenuhi pertambahan pemintaan karena pertumbuhan populasi. Untuk melakukan itu, dunia juga harus mengatasi beberapa kendala signifikan, seperti (i) ketersediaan lahan yang semakin menurun, (ii) ketersediaan air yang semakin terbatas, (iii) meningkatnya permintaan penggunaan “bahan pangan” untuk energi (biofuel), (iv) perubahan iklim yang semakin memberikan ketidakpastian, serta (v) masih adanya gaya hidup yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sejak tahun 2019 sampai saat ini, ketersediaan pangan juga terkendala oleh adanya pandemi COVID-19 dan konflik. Menyadari adanya berbagai kendala tersebut, maka selain tantangan menghasilkan produk pangan lebih banyak, dunia juga perlu meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi dalam seluruh rantai pasok
pangan. Gambaran mengenai tantangan di atas perlu dipahami dan dijawab oleh semua insan pangan, di seluruh bagian sistem pangan. Tantangan ini perlu dijawab pula oleh para ahli teknologi pengolahan pangan, dan khususnya kepada sektor industri pengolahan pangan. Bagaimana sektor industri pengolahan pangan (sebagai bagian dari sistem pangan) dapat berkontribusi menjawab tantangan tersebut? Bagaimana menjamin ketersediaan pangan untuk populasi yang terus bertambah? Itulah sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab oleh sektor industri pengolahan pangan (IPP). Industri tidak hanya perlu menjawab dari segi jumlah (kuantitas), pangan saja, tetapi juga memastikan bahwa pangan yang dihasilkan adalah pangan aman dan bergizi, sehingga
dapat memfasilitasi pola makan sehat penduduk (yang jumlahnya semakin bertambah).
Industri pengolahan pangan (IPP)
IPP merupakan komponen penting dari sistem pangan, yang menghubungkan sisi produksi dan sisi konsumsi. Peran utama IPP ini adalah mengelola dan mengubah bahan baku dari sisi produksi, mentransportasikan dan mendistribusikan secera efisien ke sisi konsumsi, sehingga setiap individu mendapatkan akses pangan aman, bergizi secara cukup, untuk memungkinkan hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan SDG No. 2; menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih
baik serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.
Peran ini sangat penting dan strategis untuk menjamin ketahanan pangan suatu negara. Peran strategis IPP ini, antara lain:
• Melakukan penanganan pangan dari sisi produksi (mulai dari penanganan pascapanen, penyimpanan, transportasi, dan lain-lain) dengan menjamin keamanan pangan, serta menjaga, meminimalkan penurunan, dan/atau bahkan meningkatkan mutu dan gizi pangan, serta mengurangi jumlah pangan tercecer/hilang (food loss).
• Memperpanjang umur simpan pangan supaya tetap aman dan tidak mudah rusak, sehingga akan mengurangi jumlah pangan terbuang (food waste).
• Mengembangan sistem transportasi lebih baik, yang pada gilirannya akan memfasilitasi distribusi yang lebih baik pula ke sisi konsumsi.
• Mengembangkan produk pangan yang memiliki karakter sesuai dengan tuntutan sisi konsumsi (misalnya tuntutan kemudahan/kepraktisan, selera/kebiasaan, fungsionalitas/ kesehatan, keterjangkauan/harga, penerimaan sosial dan budaya, dan lainnya) sehingga mampu memfasilitasi diet sehat penduduk. Salah satu peran penting IPP adalah dalam mengurangi jumlah pangan tercecer/hilang dan terbuang (food loss & food waste). Sebagaimana disitasi sebelumnya (Hariyadi, 2022), jumlah pangan tercecer dan terbuang ini cukup
besar, mencapai sekitar 14% tercecer dan sekitar 17% yang lain terbuang siasia. Laporan ReFed, lembaga kolaborasi antara sektor bisnis, lembaga nonprofit dan pemerintah AS, menyatakan bahwa di AS, pangan terbuang ini terjadi di sepanjang rantai pangan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa di AS, kegiatan di produksi on-farm ternyata menyumbang 16% dari total pangan terbuang, di pengecer (ritel) sebanyak 40%, dan di rumah tangga konsumen sebesar 43%. Sebagai perbandingan, sektor industri pengolahan pangan bertanggung jawab atas (hanya) 2% dari total pangan terbuang. Hal ini menunjukkan bahwa optimalisasi peran teknologi dan IPP dapat menjadi langkah strategis untuk berkontribusi dalam sistem pangan berkelanjutan, khususnya untuk mengurangi pangan terbuang sehingga lebih memastikan ketersediaan pangan sesuai dengan tuntutan pertumbuhan populasi penduduk dan sumber daya yang menyusut.
Terlepas dari itu, industri pengolahan pangan memiliki tantangan dan kritik keras dari masyarakat luas, sebagaimana telah dihadapi dan terjadi selama satu dekade ini. Kritik ini berkembang karena adanya anggapan masyarakat bahwa pangan olahan hasil IPP kurang “sehat” dibandingkan pangan segar, dan -ada pula anggapan- semakin tinggi tingkat pengolahannya, maka pangan tersebut akan semakin “tidak sehat”. Adanya anggapan demikian, menghadirkan tantangan khusus, tidak hanya untuk sektor pengolahan pangan, tetapi juga untuk sistem pangan
secara keseluruhan. Di berbagai media (termasuk di media sosial) banyak dijumpai publikasi mengenai “anggapan” tersebut, sehingga dapat menyebabkan memburuknya citra dan reputasi IPP, yang pada gilirannya dapat menegasikan peran pentingnya dalam pengembangan sistem pangan berkelanjutan.
Citra dan reputasi IPP (dan pangan olahan yang dihasilkannya) dapat semakin buruk dengan adanya sistem klasifikasi NOVA, yang membagi pangan menjadi 4 kelompok, berdasarkan tingkat pengolahannya; yaitu (1) pangan mentah dan pangan dengan pengolahan minimal (unprocessed and minimally processed foods), (2) ingridien olahan untuk kuliner (processed
culinary ingredients), (3) pangan olahan (processed foods), dan (4) pangan “ultra-olahan” (“Ultra-processed” foods, UPF). Klasifikasi dan penamaan ultraprocessed food (UPF) ini diusulkan dan dipopulerkan oleh Carlos A Monteiro, Profesor Gizi, dari School of Public Health, University of São Paulo, São Paulo, Brazil.
Sebagaimana namanya, dasar klasifikasi ini adalah tingkat pengolahan, namun deskripsi yang digunakan ternyata tidak demikian. Kelompok UPF dideskripsikan sebagai kelompok pangan yang di dalam daftar bahan yang digunakan mengandung setidaknya satu bahan khas yang mencirikan UPF, yaitu, bahan/ingridien pangan yang
tidak pernah atau jarang digunakan di dapur. Bahan khas penciri UPF tersebut adalah sirup jagung fruktosa tinggi (high fructose corn syrup), minyak-minyak terhidrogenasi atau terinteresterifikasi, protein terhidrolisis, dan bahanbahan yang dirancang untuk membuat produk akhir enak atau lebih menarik (seperti perisa, penguat rasa, pewarna, pengemulsi, garam pengemulsi, pemanis, pengental, dan lain-lain). Secara umum, klasifikasi ini kurang akurat dan berpotensi membingungkan atau menyesatkan, khususnya mengenai peran teknologi "pengolahan" pangan.
Dalam klasifikasi ini disebutkan bahwa UPF bukanlah “pangan yang sesungguhnya”, karena diformulasikan menggunakan bahan-bahan yang sering dimodifikasi oleh proses kimia dan kemudian dirakit bersama menjadi produk pangan (makanan dan minuman) dengan menggunakan bahan tambahan untuk menghasilkan pangan yang menarik dan sangat enak, biasanya diproduksi dan dipromosikan oleh perusahaan raksasa transnasional, sehingga menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan secara intrinsik “tidak sehat”.
Terlihat bahwa deskripsi tentang UPF tidak semuanya terkait langsung dengan pengolahan. Namun istilah yang digunakan adalah "ultra-processed", dan jika produk terdeskripsikan atau tergolongkan sebagai UPF maka, serta-merta dilabel sebagai kelompok pangan yang “tidak sehat”. Sehingga, klasifikasi dan penamaan ini berpotensi menegasikan peran teknologi
"pengolahan" pangan.
Selanjutnya, klasifikasi ini memungkinkan adanya berbagai produk pangan “sehat”, yang karena deskripsinya akan dimasukkan dalam klasifikasi UPF, dan karenanya dianggap “tidak sehat”. Produk pangan berbasis nabati (plant-based foods), misalnya, berdasarkan pada deskripsinya maka akan dikelompokkan sebagai UPF, dengan sendirinya “tidak sehat” dan harus dihindari. Demikian pula dengan pangan yang diperkaya dengan zat gizi khusus untuk tujuan kesehatan tertentu, atau pangan yang mengandung komponen fungsional kesehatan.
Jadi, klasifikasi dan penamaan UPF ini berpotensi menyesatkan dan dapat menurunkan citra, reputasi, dan peran strategis IPP, profesional yang bekerja di IPP, termasuk para ahli teknologi pangan. Lebih lanjut, deskripsi yang kurang tepat ini berisiko mematikan inovasi teknologi pangan menjawab tantangan kebutuhan pangan masa depan yang semakin kompleks.
Reformulasi untuk SDG No. 2
Gambaran itulah yang dimaksud dengan “tantangan” dalam judul artikel ini. Profesional, praktisi industri, dan pakar teknologi pangan harus bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk menjawab tantangan tersebut. Insan pangan harus terus menerapkan prinsip-prinsip ilmu dan pengetahuan tentang penanganan dan pengolahan pangan yang baik secara bertanggung jawab, untuk memberikan
kontribusi nyata bagi pencapaian SDGs, khususnya SDG No. 2. Itulah tantangan keberlanjutan, tidak hanya tantangan untuk menyediakan pangan aman, bergizi dalam jumlah yang cukup, tetapi juga pengaruhnya pada kesehatan dan keberlanjutan sistem pangan.
Jawaban atas kritik dan tantangan tersebut perlu ditunjukkan dengan kontribusi nyata bagi pencapaian ketahanan pangan (memastikan ketersediaan pangan aman dalam jumlah cukup), ketahanan gizi (memastikan terpenuhinya kebutuhan gizi individu) dan pencapaian individu sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.
Salah satu inisiatif yang segera perlu diambil oleh IPP adalah reformulasi atau redesain, baik untuk produk maupun prosesnya, sesuai dengan kaidah-kaidah terkini ilmu dan teknologi pangan dan gizi, termasuk keilmuan sosial, budaya,
keberlanjutan dan lain sebagainya. Dengan kerja sama sistematis antara pakar teknologi pangan dan industri, reformulasi dapat dilakukan dengan tujuan menjadikan pangan lebih aman, bergizi dan lebih “sehat”, namun tetap enak, sesuai dengan kesukaan dan kebutuhan sosial budaya keberlanjutan masyarakat.
Reformulasi dapat dimulai dengan mengurangi kandungan bahanbahan yang perlu dibatasi pada diet masyarakat (constituents to limit) dan/ atau menambahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperbaiki mutu diet masyarakat (nutrients to encourage) sehingga dapat menfasilitasi pola diet yang lebih menyehatkan masyarakat. Termasuk dalam constituents to limit ini adalah gula, garam, lemak (GGL), sedangkan nutrients to encourage ini antara lain adalah serat pangan,
vitamin, mineral, protein dan bahan fungsional kesehatan lainnya. Hal ini tentu harus didasarkan pada ilmu pengetahuan terkini bidang pangan, gizi, dan kesehatan. Selain reformulasi, IPP juga perlu mengambil langkah-langkah yang lebih proaktif dalam memberikan informasi tentang pentingnya diet sehat, serta bagaimana produk pangan yang diproduksinya dapat digunakan dan berkontribusi pada pencapaian diet sehat tersebut.
Tantangan reformulasi masa depan: 2023 dan seterusnya
Tantangan keberlanjutan adalah tantangan masa depan yang besar dan menguat nyata di IPP saat ini dan seterusnya. Peran IPP untuk menyediakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia akan semakin berat, dan ini harus dilakukan dengan
seminimal mungkin dampak negatif bagi lingkungan; baik lingkungan alam, sosial dan ekonomi.
Bagaimana IPP dapat menjawab tantangan keberlanjutan ini? IPP perlu mencari terobosan kreatif dan inovatif untuk itu. Dalam konteks reformulasi seperti didiskusikan di atas, selain aspek gizi, ada beberapa aspek penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam upaya reformulasi oleh IPP, yaitu:
1. Reformulasi untuk meningkatkan penggunaan bahan baku berkelanjutan. Sumber bahan baku adalah salah satu kunci penting keberlanjutan. Masyarakat konsumen
memerlukan informasi tentang asalasal bahan baku, apakah berasal dari bahan lokal, organik, apakah diperoleh dengan mekanisme perdagangan adil, atau apakah diproduksi menggunakan praktik pertanian berkelanjutan. Semua informasi yang menjawab pertanyaan ini menjadi semakin penting. Secara umum terdapat permintaan kuat dari masyarakat supaya IPP semakin banyak menggunakan bahan lokal, bahan yang dikenal, bahkan bahan yang diproduksi oleh orang/institusi yang dikenal pula oleh konsumen lokalnya.
2. Reformulasi pengemasan. Dalam kaitannya dengan tuntutan keberlanjutan, penggunaan kemasan pangan perlu mendapatkan perhatian khusus (Hariyadi, 2022). Masyarakat konsumen semakin menuntut kemasan pangan yang lebih berkelanjutan, lebih dapat didaur ulang, dapat dibuat kompos, lebih ringan, dan semakin dapat digunakan kembali. Inovasi untuk menggunakan kemasan lebih sedikit, tetapi tetap memberikan perlindungan terhadap produk pangan yang dikemas merupakan tantangan berkelanjutan lainnya.
3. Reformulasi dengan pemanfaatan pangan nabati. Pengembangan sistem produksi pangan berbasis nabati adalah salah satu pendekatan IPP untuk keberlanjutan dalam sistem nilainya, terutama dengan memanfaatkan sumber daya
4.
tanaman yang selama ini kurang termanfaatkan (underutilized) atau bahkan tersisihkan (neglected). Banyak sumber daya tanaman lokal yang berpotensi untuk dikembangkan, termasuk budaya dan kebiasaan lokal mengonsumsi pangan nabati.
Reformulasi rantai pasok
pangan. Dalam hal ini, IPP perlu pula mereformulasi sistem pangannya, dengan memperkuat jejaring lokal, memanfaatkan potensi bahan lokal, serta terlibat dalam kegiatan penguatan sistem pangan lokal. Sistem rantai pasok demikian berpotensi pula untuk menyederhanakan sistem logistik pangan, mengurangi jumlah
pangan hilang dan terbuang, serta menumbuhkan ekonomi lokal dan melibatkan masyarakat lokal, khususnya petani produsen bahan baku pangan.
Akhirnya, sebagai bagian integral dari sistem, IPP perlu bekerja sama dan berkolaborasi dengan semua komponen sistem, petani, konsumen, penyandang dana, pemerintah, bisnis dan LSM, untuk bersama-sama membangun sistem pangan yang berkelanjutan. Idealnya, sistem pangan yang berfungsi secara berkelajutan tidak hanya memasok pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga memelihara kehidupan itu sendiri.
Plant-Based Dessert:
Ingredients Matter
Selama beberapa tahun terakhir, tren makanan penutup atau desserts telah berevolusi secara drastis, tidak hanya eksklusif untuk vegan dan vegetarian namun menyasar pula target pasar secara umum.
Hal ini juga didukung oleh konsumen yang mencari produk makanan penutup dengan kriteria memberi kesenangan dan memanjakan selera, serta kaya zat gizi namun terjangkau dan memenuhi unsur etika dalam proses produksinya.
Berdasarkan laporan Mintel 2021 tentang The Future of Yoghurt & Desserts dijelaskan bahwa selama wabah COVID-19, pencarian konsumen terkait dengan klaim ‘kesehatan dan kenyamanan’ adalah yoghurt dan makanan pencuci mulut lainnya yang
bergizi, memanjakan, dan terjangkau. Tidak hanya itu, konsumen juga semakin peduli atas topik manfaat gizi dan dampak lingkungan dari susu.
Mintel juga memperkirakan dalam lima tahun ke depan dan seterusnya, produsen harus mencari cara untuk mengembangkan solusi fungsional dan personal. Merek atau brand juga harus merespons dengan solusi ‘nabati bergizi’ yang memberikan manfaat kesehatan fungsional seperti menyehatkan mata, meningkatkan kepadatan tulang, atau memperkuat sistem kekebalan
tubuh. Gagasan-gagasan tersebut yang menjadikan plant-based dessert menjadi tren yang melahirkan berbagai peluang dan tantangan.
Food Engineer sekaligus Gelymar Market Manager, Carolina Torres Horton menuturkan bahwa terdapat tiga faktor kunci dibalik ledakan plant-based dessert, yakni i) konsumen yang sadar kesehatan mencari manfaat gizi dari pola makan nabati; ii) alternatif untuk produk indulgent berbahan susu bagi konsumen yang harus menghindari produk susu dan turunannya; serta iii) kesadaran lingkungan seputar kesejahteraan hewan dan planet.
“Semakin populernya gaya hidup vegan dan meningkatnya permintaan akan alternatif susu telah menempatkan plant-based desserts sebagai tren terbesar di industri pangan di Amerika Utara dan Eropa. Kesadaran kesehatan yang meningkat telah mendorong produsen untuk memilih bahan yang lebih sehat dan mengembangkan formulasi pencuci mulut rendah lemak,” ujar Carolina. Plant-based dessert, lanjut Carolina, dengan cepat
mengatasi persepsi negatif seputar tekstur dan rasa. Produk ini dianggap sebagai alternatif yang sempurna untuk suguhan yang biasanya sarat dengan krim, telur, mentega, dan bahan-bahan menyehatkan lainnya. Selain itu, produk plant-based dessert yang ada di pasaran dianggap mampu memberikan kualitas rasa dan daya tarik visual dibandingkan makanan penutup tradisional.
Pertimbangan konsumen memilih produk pangan nabati umumnya adalah untuk alasan kesehatan dan keberlanjutan, namun mereka juga memilih produk yang memuaskan keinginan. Saat mengembangkan plant-based dessert yang menyehatkan dan memanjakan, tantangan sebenarnya adalah memastikan pengalaman yang realistis dan menyenangkan, yang dapat meniru produk dairy. Produk dengan sifat yang mudah dioles (spreadable) atau mudah disobek (sliceable) harus memiliki karakteristik mouthfeel dan profil sensoris yang diharapkan. Oleh karenanya, tekstur menjadi atribut penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan produk.
Bahan nabati seperti biji-bijian,
polong-polongan, buah-buahan, dan sayuran biasanya memberikan tekstur lembek yang tidak memiliki faktor gigitan (bite) dan rasa lembut (creaminess) seperti yang ditemukan pada produk dairy. “Sebagai tantangan tambahan, pemilihan bahan nabati untuk makanan penutup harus diistimewakan agar selain memiliki fungsional yang tinggi, juga tidak berdampak negatif terhadap cita rasa. Untuk mengatasi tantangan tersebut, dapat dipilih bahan-bahan alami dan fungsional,” jelas Carolina. Dalam rentang bahan fungsional, karagenan menonjol dalam kategorinya sebagai hidrokoloid alami, organik, dan non-alergen yang dipilih oleh konsumen halal, khoser, dan vegan untuk berbagai penggunaan dalam industri pangan dan farmasi. Karagenan adalah rumput laut merah yang telah melalui proses pemurnian menjadi bahan yang dilihat konsumen pada label produk pangan yang mereka beli. Berkat kapasitas pembentuk gel dan kemampuannya untuk berinteraksi dengan protein, karagenan menjadi solusi ingridien plant-based dessert yang secara khusus digunakan pada
produk rendah gula dan lemak, di mana tujuannya adalah untuk mendapatkan tekstur seperti suguhan aslinya. Carolina menjelaskan, tekstur krim yang didapat dari formulasi menggunakan karagenan berkisar dari lembut hingga gel yang keras, tergantung pada campuran dari jenis karagenan yang dipilih. Karena interaksinya dengan bahan-bahan yang tepat dalam formulasi, karagenan dapat menghasilkan produk yang stabil dengan umur simpan yang panjang dan mencegah penyimpangan tekstur selama siklus rantai pangan.
Bahan tambahan plant-based dessert
Univar Solutions Sr. Manager Application Development, Charles Purcell, membagi bahan tambahan plant-based dessert menjadi empat kategori yakni pemanis, pembentuk
tekstur, flavor, dan fortifikan. Pemanis atau sweeteners ini dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan karakteristiknya yakni bergizi, intensitas tinggi, dan alami atau natural. Pemanis untuk plant-based dessert dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemanis untuk plant-based dessert Sweetener Type Gula (Sukrosa) Nutritive
Sirup Jagung (Sirup glukosa) Cair & Padat Nutritive
Sirup Jagung Tinggi Fruktosa Nutritive Alulosa Nutritive
Sirup Agave (Cair & Kering) Nutritive
Stevia Natural HIS Erythritol/Campuran stevia
Sumber: Charles, Univar Solutions (2022)
Natural HIS
Sedangkan untuk kualitas tekstur dan flavor, masing-masing saling berkaitan satu sama lain. “Tekstur sangat memengaruhi pelepasan flavor, jadi formulator harus memastikan dan mencocokkan profil rasa dengan tekstur yang tepat. Dalam hal ini penambahan pati juga dapat meningkatkan sifat krim atau creaminess dan pembentuk gel sekaligus menurunkan keseluruhan biaya formula,” kata Charles. Karagenan sangat diandalkan sebagai bahan pembentuk tekstur dalam produk plant-based dessert yang sedikit lebih unggul dibandingkan hidrokoloid lain karena kontribusinya terhadap tekstur lembut. Namun, hidrokoloid tambahan seperti pati dapat ditambahkan ke profil ‘body’ dan rasa. Pembentuk tekstur untuk plant-based dessert dapat dilihat pada Tabel 2.
Penambahan flavor cukup subjektif dan tergantung pada target pasar akhir. Flavor untuk plant-based dessert dibagi menjadi dua jenis yakni alami dan sintetis atau artifisial, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Terakhir, fortifikasi plant-based dessert selalu menjadi pertimbangan dalam mengembangkan produk yang sukses. Fortifikasi vitamin dan mineral dapat membantu mencapai nilai gizi yang diinginkan.
“Untuk membuat plant-based dessert dengan tekstur sempurna, flavor dan kemanisan yang pas, serta dengan nilai gizi yang baik, tergantung pada pemilihan dan pencocokan ingridien yang tepat. Hal ini tentunya penuh tantangan. Jika perlu, lakukan kolaborasi dengan akademisi, market researcher, dan pemangku kepentingan lainnya,” pungkas Charles. Fri-37
Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia
GAPMMI SUKSES ADAKAN CEO FORUM
Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid juga turut hadir memberikan sambutannya secara daring.
GAPMMI sukses mengadakan acara CEO Forum di Jakarta
Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) sukses mengadakan acara CEO Forum pada tanggal 1 Desember 2022 yang lalu. Acara yang dilaksanakan di Grand Ballroom Kempinsky Hotel. Menteri Perindustrian RI, Agus Gumiwang Kartasasmita didampingi Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, hadir memberikan sambutan dan arahan secara langsung di hadapan lebih dari 150 CEO anggota GAPMMI. Selain itu hadir pula Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani dan Wakil Ketua Umum KADIN yang juga ex-Chairwoman B20, Shinta Widjaja Kamdani. Pada kesempatan yang sama, Menteri
Ketua Umum APINDO memberikan paparan tentang inkonsistensi regulasi cipta kerja dan potensi beban demografi, dilanjutkan oleh Ibu Shinta Widjaja Kamdani yang memberikan informasi terkini mengenai hasil kegiatan B20 di Bali.
Dalam CEO Forum GAPMMI, Menperin memberikan apresiasi atas pencapaian dan usaha yang dilakukan pelaku industri pangan serta asosiasi tersebut. Ia pun berharap agar pencapaian itu dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan untuk ke depannya seperti sebelum Covid-19 yang pernah mencatatkan pertumbuhan di angka 7% hingga 9%.
Menurutnya, GAPMMI sebagai wadah pengusaha di bidang industri pangan mempunyai peran yang sangat strategis sebagai mitra pemerintah untuk mengembangkan industri daya saing industri pangan di tanah air. “Partisipasi aktif dari asosiasi dan para pelaku industri dalam memberikan masukan
kepada pemerintah sangat diperlukan agar kebijakan pengembangan industri tepat sasaran,” tuturnya.
Agus menyampaikan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk terus mendorong daya saing industri pangan, diantaranya dengan memacu penerapan industri 4.0 pada subsektor manufaktur tersebut. Fasilitasi yang disediakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam rangka percepatan implementasi industri 4.0 di industri pangan antara lain melalui pelaksanaan bimbingan teknis transformasi industri 4.0 bagi manajer dan rekayasa, verifikasi Indonesia Industri 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) dan pendampingan dalam penerapan industri 4.0 dengan target 800 perusahaan pada tahun 2022 dan 2023.
Tak hanya itu, Kemenperin juga telah meluncurkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang merupakan indikator derajat keyakinan atau tingkat optimisme industri manufaktur terhadap kondisi perekonomian dan juga merupakan gambaran kondisi industri pengolahan serta prospek kondisi bisnis di Indonesia. Pada November 2022, nilai IKI berada di posisi 50,89, menandakan sektor industri masih berada di jalur ekspansi.
Lebih lanjut, Ketua Umum GAPMMI Adhi S Lukman mengapresiasi upaya yang telah dilakukan Kemenperin untuk mendorong industri nasional agar terus tumbuh di tengah ketidakpastian global, mulai dari dukungan implementasi industri 4.0, membuat instrumen untuk mengetahui kondisi riil industri dalam negeri, hingga dukungan ketersediaan bahan baku.
“Kami sangat berharap dukungan pemerintah untuk bisa mendorong industri pangan terus tumbuh, kami perlu dukungan ketersediaan bahan baku sehingga bisa menjadi pendorong kepastian berusaha di Indonesia, kami yakin Kemenperin adalah pemangku kepentingan kami yang selalu mendukung industri pangan untuk terus berkembang,” sebutnya. Fri-27
Sekretariat GAPMMI
ITS Office Tower Lt. 8 Unit 16, Nifarro Park Jl. Raya Pasar Minggu KM. 18, Jakarta Selatan 12510 Telp/Fax. (021) 29517511; Mobile. 08119322626/27 Hp. 08156720614 Email: gapmmi@cbn.net.id Website: www.gapmmi.id
Indonesia spice up the world adalah suatu program yang didukung oleh kementerian dan lembaga, utamanya yang terkait pangan untuk peningkatan kontribusi sektor kuliner bagi perekonomian nasional.
Salah satu targetnya adalah peningkatan jumlah ekspor rempah dan bumbu Indonesia sebesar USD 2 miliar pada tahun 2024. Selain itu, hadirnya 4.000 restoran Indonesia di luar negeri menjadi target dari program ini. Peluncuran Indonesia spice up the world telah dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 4 November 2021 di Dubai. Sejak saat itu pemantauan terhadap perkembangan
industri rempah dan bumbu lebih mendapat perhatian. Ekspor rempahrempah Indonesia pada Januari-Agustus 2021 tercatat sebesar US$ 499,1 juta dan nilai tersebut tumbuh sebesar 12,88% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2020.
Upaya peningkatan ekspor rempah dan bumbu tentunya harus dibarengi dengan peningkatan kualitas dan keamanan rempah dan
bumbu. Permasalahan kualitas dan keamanan rempah dan bumbu dapat diamati sejak prapanen sampai dengan pascapanen, sehingga hal ini membutuhkan penanganan yang komprehensif sepanjang rantai pangan pengolahan tersebut. Rempah-rempah yang tidak tertangani dengan baik rentan terhadap kontaminasi mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan maupun penyebab foodborne disease. Hal ini menunjukkan perhatian dan penanganan yang serius perlu dilakukan terhadap bahaya bersumber mikroba tersebut beserta toksin yang dihasilkannya.
Kontaminasi mikroba pada rempah-rempah
Rempah-rempah sebagai contoh adalah pala yang merupakan komoditas ekspor unggulan karena Indonesia termasuk salah satu negara produsen dan pengekspor biji dan fuli pala terbesar dunia. Pala merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan kapang, bila kandungan air dan kelembapan lingkungan tidak dijaga dengan baik. Kapang yang dapat tumbuh di pala tidak saja dari jenis kapang perusak tetapi juga kapang toksigenik. Di antara kapang toksigenik yang dijumpai pada pala adalah Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Alfatoksin utamanya dari jenis B1 merupakan mikotoksin yang paling toksik di antara beberapa mikotoksin yang dikenal mengontaminasi pangan. Penetapan batas maksimum cemaran aflatoksin pada rempah-rempah bubuk termasuk
pala adalah aflatoksin B1 maksimal sebesar 15 ppb dan aflatoksin total sebesar 20 ppb.
Permasalahan kontaminasi ini adalah karena sebagian besar (99%) pala diproduksi oleh perkebunan rakyat yang belum semuanya menerapkan pengendalian penanganan pala dengan baik. Penanganan pascapanen pala di tingkat petani dan pengumpul di sentra produksi pala sebagian besar dilakukan secara tradisional karena terbatasnya sarana dan prasarana serta minimnya pengetahuan tentang pascapanen. Sebagai upaya untuk menghasilkan pala yang aman dan bermutu, Kementan sudah menerbitkan pedoman bagi petani/ kelompok tani, petugas lapangan dan pelaku
usaha dalam menerapkan perlakuan pascapanen yang baik dan benar mengacu pada prinsip Good Handling Practice (GHP) melalui Permentan No. 53/2012 tentang Penanganan Pascapanen Pala. Kelemahan petani dan pengumpul umumnya pada aspek sarana dan prasarana, sedangkan pada tingkat eksportir umumnya kelemahan pada aspek pengawasan oleh pembina. Tahap kritis rantai pasok pala meliputi pemanenan dan pengeringan di tingkat petani, penerimaan, pengeringan dan penyimpanan di tingkat pengumpul serta penerimaan dan pengiriman di tingkat eksportir.
Secara umum mikroba yang dapat mengontaminasi rempah-rempah dari jenis bakteri patogen adalah Salmonella.
Kasus keracunan karena konsumsi rempah yang tidak higienis pernah dilaporkan pada periode tahun 1972 hingga 2012 yaitu terjadi 28 Kejadian Luar Biasa (KLB) yang disebabkan oleh rempah-rempah dengan korban penderita sebanyak 2.228 orang dan 134 orang di antaranya harus masuk rumah sakit dan 2 orang meninggal dunia. Mikroba yang teridentifikasi sebagai penyebabnya adalah Salmonella spp. (77 %), Bacillus cereus (20 %), dan Clostridium perfringens (3 %). Pelaporan kasus keracunan ini diduga di bawah kasus yang sebenarnya karena permasalahan pelaporan atau juga dikarenakan rempah-rempah umumnya hanya ditambahkan dalam jumlah yang sedikit pada pangan.
Pada rempah-rempah yang diekspor dan masuk ke USA, Food and Drug Administration (FDA) telah menemukan 3,3% dari 299 pengkapalan cabe kering terdeteksi Salmonella walau dengan kadar yang rendah yaitu bervariasi dari 6,0 × 104 hingga 0,09 MPN/g padahal Salmonella disyaratkan negatif pada pangan. Jenis mikroba patogen lain yang dapat mengontaminasi rempah-rempah umumnya seperti dilaporkan pada kasus keracunan tersebut adalah dari jenis mikroba pembentuk spora seperti B.cereus dan C. perfringens. B. cereus
dapat dijumpai dengan jumlah yang tinggi pada rempah-rempah, namun prevalensinya sangat bervariasi antar sampel. Selain itu juga dimungkinkan dijumpai dalam jumlah yang sangat rendah pada sampel yang lain. Mikrobiologi kriteria untuk rempah-rempah Di Indonesia, aturan mengenai batas kontaminasi mikroba maupun cemaran kimia telah diatur oleh BPOM, dan Tabel 1 memberikan gambaran hal ini. Umumnya sampel yang harus
12.1.1
Semua herba kering (termasuk bentuk utuh dan bubuk
Herba dan Rempah
ALT
5 2 104 koloni/g 105koloni/g ISO 4833-1
Enterobacteriaceace 5 2 103 koloni/g 104 koloni/g ISO 21528-2
Salmonella 5 0 negatif/25g NA ISO 6579
ALT
Rempah kering (termasuk bentuk utuh dan bubuk
12.1.1
Bumbu dan Kondimen
Bumbu dan kondimen siap pakai bubuk (kering)
Bumbu dan kondimen siap pakai pasta (bersih)
5 2 105koloni/g 106koloni/g ISO 4833-1
Enterobacteriaceace 5 2 103 koloni/g 104koloni/g ISO 21528-2
Salmonella 5 0 negatif/25g NA ISO 6579
Bacillus cereus 5 2 104 koloni/g 105koloni/g SNI ISO 7932 Clostridium perfringens 5 2 105koloni/g 104 koloni/g SNI ISO 7937
Kapang dan khamir 5 2 103 koloni/g 104 koloni/g SNI ISO21527-1
ALT 5 2 3x105 koloni/g 106koloni/g ISO 4833-1
Enterobacteriaceace 5 2 2x103 koloni/g 104koloni/g ISO 21528-2 Salmonella 5 2 negatif/25g NA ISO 6579
Bacillus cereus 5 0 104 koloni/g 105koloni/g SNI ISO 7932
Clostridium perfringens 5 2 103 koloni/g 104 koloni/g SNI ISO 7937
Kapang dan khamir 5 2 4x103 koloni/g 104 koloni/g SNI ISO 21527
ALT 5 2 103 koloni/g 104 koloni/g ISO 4833-1
Enterobacteriaceace 5 2 102 koloni/g 103 koloni/g ISO 21528-2
Salmonella 5 0 negatif/25g NA ISO 6579 Clostridium perfringens 5 2 102 koloni/g 103 koloni/g SNI ISO 7937 Kapang dan khamir 5 2 102 koloni/g 103 koloni/g SNI ISO 21527-1
diambil sebanyak 5 sampel untuk sekali uji dengan batas yang bervariasi bergantung dari mikrobanya. Pada penggunaan untuk rempah siap saji (ready-to-eat spices), maka dapat mengacu pada Codex yang menentukan sampling plan untuk rempah adalah n=10 dengan pengambilan sampel 25 g dan c = 0 seperti yang diaplikasikan untuk kontaminasi Salmonella sp. pada cabai. Selanjutnya untuk pedoman sampling dapat dilihat pada FAO/WHO microbiological sampling tool (http:// www.fstools.org/sampling/).
Penanganan yang direkomendasikan
Berdasarkan adanya potensi bahaya tersebut, hal ini menunjukkan
pentingnya pengendalian rempahrempah termasuk rempah-rempah yang akan diekspor. Pengendalian harus dimulai dari budidaya tanaman rempah yang sudah menerapkan prinsip good practices. Titik kritisnya adalah
pengendalian kelembapan udara karena dengan kelembapan yang tinggi maka pada umumnya mikroba akan lebih mudah tumbuh. Proses pengeringan juga merupakan proses yang sangat penting dalam penanganan pascapanen rempah-rempah. Manajemen keamanan pangan yang komprehensif yang meliputi good hygiene practices (GHP), good manufacturing practices (GMP) dan hazard analysis and critical control points (HACCP), harus diaplikasikan dengan konsisten. Selanjutnya untuk memastikan tidak ada bahaya mikroba yang berasal dari bubuk rempah-rempah dalam pangan siap saji, maka proses persiapan, pemasakan dan konsumsi juga harus dilakukan dengan benar. Perhatian ekstra harus diberikan bila bubuk rempah-rempah ini hendak ditambahkan pada pangan yang siap santap yang tidak segera disantap
karena kondisi pangan selama waktu tunggu tersebut yang memungkinkan bagi pertumbuhan mikroba kontaminan.
Referensi: Citanirmala NMV, Rahayu WP, Dewanti-Hariyadi RD, 2016. Kajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 untuk Pengendalian Aflatoksin pada Pala. Jurnal Mutu Pangan, 3(1): 58-64. ISSN 23555017.
FAO and WHO. 2022. Microbiological hazards in spices and dried aromatic herbs. Meeting report. Microbiological Risk Assessment Series No. 27. Rome. https://doi.org/10.4060/cb8686en
Gurtler JB, Keller SE. 2019. Review Annu Rev Food Sci Technol. Mar 25 (10):409-427. doi: 10.1146/annurevfood-030216-030000. PMID: 30908948
Peraturan BPOM. 2019. No. 13 Tahun 2019 Tentang Batas Maksimal Cemaran Mikroba Dalam Pangan Olahan Van Doren JM, Blodgett RJ, Pouillot R, Westerman A, Kleinmeier D, Ziobro GC, Ma Y, Hammack TS, Gill V, Muckenfuss MF, Fabbri L. 2013. Prevalence, level and distribution of Salmonella in shipments of imported capsicum and sesame seed spice offered for entry to the United States: Observations and modeling results. Food Microbiology, 36(2): 149–160.
CODEX UPDATE: Adopsi Standar Keamanan Baru
Akhir tahun 2022 yang lalu telah diselenggarakan Sidang Komisi Codex Alimentarius ke-45 (CAC45), yang terdiri dari sidang pleno dari 21-25 November 2022 (secara daring dan luring), dan dilanjutkan adopsi laporan sidang pada pada 1213 Desember 2022 (secara daring). Pada sidang tersebut, proses adopsi laporan yang dilakukan, ternyata belum dapat diselesaikan. Karena itu, penyelesaian adopsi laporan dilakukan dengan menggunakan proses tertulis, khususnya untuk mereviu bagian
tersisa dari laporan akhir yang tidak dapat didiskusikan dalam waktu yang tersedia.
Namun demikian, secara umum dapat dilaporkan bahwa sidang Komisi Codex Alimentarius telah berhasil mengadopsi berbagai standar keamanan pangan baru. Standar baru tersebut terdiri dari teks pedoman, kode praktik, stantard komoditas, batas maksimum residu pestisida dam batas maksimum kontaminan. Disamping itu, CAC45 juga menyepakati beberapa pekerjaan baru untuk pengembangan standar/teks
lainnya. Secara detail, hasil-hasil sidang CAC45 adalah sebagai berikut:
1. Daftar standar dan teks terkait yang berhasil adopsi secara final (Langkah 8 atau 5/8), adalah:
• Revision to the Standard for Named Vegetable Oils (CXS 210-1999): Essential composition of sunflower seed oils
• Guidelines for Ready-to-Use Therapeutic Foods (RUTF
• Guidelines for the Management of Biological Foodborne Outbreaks
• Revision to the General Principles of Food Hygiene (CXC 1-1969
• Standard for Onions and Shallots
• Standard for Berry Fruits
• Code of Practice for the Prevention and Reduction of Cadmium Contamination in Cocoa Bean
• Maximum level (ML) for cadmium in cocoa powder (100% cocoa solids on a dry matter basis)
• Maximum levels for lead in cerealbased foods for infants and young children, white and refined sugar, corn and maple syrups, honey and sugarbased candies
• Maximum levels (MLs) for methylmercury in orange roughy and pink cusk eel
• Maximum levels (MLs) for total aflatoxins in maize grain, destined for further processing; flour meal, semolina and flakes derived from maize; husked rice; polished rice; sorghum grain, destined for further processing; cereal-based food for infants and young children (excluding
foods for food aid programs); and cereal-based food for infants and young children for food aid program
• Guidelines for the Recognition of Active Substances or Authorized Uses of Active Substances of Low Public Health Concern that Are Considered Exempted from the Establishment of Maximum Residue Limits or Do Not Give Rise to Residues
• Maximum residue limits (MRLs) for different combinations of pesticides/ commodity(ies)
• Revision of Classification of Food and Feed (CXA 4-1989): definitions for edible offal, fat, meat and muscle, including the definitions for the portion of the commodity to which maximum residue limits (MRLs) apply and which is analyzed for fat and muscle
• Revision of the Classification of Food and Feed (CXA 4-1989): Consequential
amendment to Class D, Processed Food of Plant Origin. Inclusion of additional commodities for citrus fruits pulps (dried) and oils (edible) and soya flour
• Standard for Dried Floral PartsSaffron
• Standard for Dried Seeds - Nutmeg
• Standard for Dried or Dehydrated Chilli Pepper and Paprika
• Regional Standard for Dried Meat
• Guidelines for Developing Harmonised Food Safety Legislation for the CCAFRICA Region
2. Daftar standar dan teks terkait yang berhasil diadopsi pada Langkah 5, adalah:
• Draft revision to the Standard for Named Vegetable Oils (CXS 210-1999): Inclusion of avocado oil
• Draft Standard for Fresh Dates
• Maximum level (ML) for lead in ready-
to-eat meals for infants and young children
• Draft Code of Practice for Prevention and Reduction of Mycotoxin Contamination in Cassava and Cassava-Based Products
• Draft Standard for Dried Small Cardamom
• Draft Standard for Spices Derived from Dried Fruits and Berries (Part AAllspice, Juniper berry, Star anise)
• Draft maximum residue limits (MRLs) for zilpaterol hydrochloride (kidney, liver, muscle)
Selain itu, sejumlah pekerjaan baru pengembangan standar juga disepakati, yaitu:
• Amendment/revision to the Standard for Named Vegetable Oils (CXS 2101999) to include: Camellia seed oil; Sacha inchi oil; and High oleic acid soya bean oil
• Amendment/revision to the Standard for Fish Oils (CXS 329-2017) - Inclusion of Calanus oil
• Development of a Regional Standard for Castilla Lulo
• Development of a Standard for Fresh Curry Leaves
• Development of Principles and Guidelines on the Use of Remote Audit and Verification in Regulatory Frameworks
• Alignment of food hygiene texts with the revised General Principles on Food Hygiene (CXC 1-1969).
Uraian lebih detail dan lengkap dapat diperoleh di laman CAC45. Hariyadi, P.
MINI DIREKTORI
PT REL-ION STERILIZATION SERVICES
Eliminasi Bakteri Patogen, Sterilisasi, Polimerisasi 021-88363728, 021-8836 3729 021-88321246 yayuk@rel-ion.co.id www.rel-ion.com
PT. Mitra Kualitas Abadi (Catalyst Consulting) Training, Consulting, Assesment/audit, Mystery Shopping Provider 089-9999-7867 info@catalystconsulting.id www.catalystconsulting.id Catalyst Consulting consulting.catalyst
PT. ESCO CHEMICALS MITRAUTAMA Food Ingredients and Additives Company
(021) 22223455, (021) 29670163 0817-844438 info@escochemicals.co.id www.escochemicals.co.id
PT. Sarana Karya Utama
Toll Manufacturing (Beverages) 031-3981571 sku@sakatama.com www.sakatama.com
PT INDESSO NIAGATAMA & PT INDESSO CULINAROMA
INTERNASIONAL Snack Seasonings, Savory Ingredients, Aroma Chemicals, Essential Oils & Food Ingredients 021 386 3974 021 385 0538 contact@indesso.com www.indesso.com
Ottera
Oterra is the largest provider of naturally sourced colors worldwide 65-6631 9294 sgcaso@chr-hansen.com https://oterra.com
GNT Group B.V.
EXBERRY® is the leading brand of Coloring Foods for the food and beverage industry. Coloring Foods are made from fruits, vegetables, and edible plants using a physical manufacturing process processed with water. +65 6659 4180 info-singapore@gnt-group.com www.exberry.com
Beverage Reformulation
Industri minuman memiliki banyak tantangan yang perlu dijawab. Dalam beberapa tahun terakhir, industri minuman juga mengalami perubahan yang lebih berkelanjutan akibat dari pola adaptasi yang dituntut oleh preferensi dan permintaan konsumen. Konsumen menjadi lebih cerdas dalam memutuskan suatu pembelian, di mana hal ini mengarah pada produsen yang juga perlu melakukan penyesuaian terhadap segala hal mulai dari reformulasi hingga pemilihan kemasan yang digunakan. Konsumen juga lebih sering mencari produk minuman yang memberikan fungsionalitas tambahan untuk kesehatan-kebugaran tubuh. Namun demikian, dalam melakukan reformulasi diperlukan banyak pertimbangan dan persiapan yang tidak mudah dilakukan. Untuk itu, pengetahuan akan suatu produk dan ingridien lain yang digunakan menjadi penting untuk dapat melakukan proses reformulasi pada produk minuman dapat dihasilkan. Pada edisi mendatang, FoodReview Indonesia akan mengulas beberapa hal terkait dengan reformulasi pada produk minuman beserta dengan peluang dan tantangan yang mengiringi pengembangannya. Harapannya, pembahasan ini akan menjadi inspirasi untuk dapat terus meningkatkan daya saing industri dan produk pangan di Indonesia.
Pemasangan iklan, pengiriman tulisan atau berita seputar teknologi dan industri pangan, silakan hubungi:
FOODREVIEW INDONESIA
telepon (0251) 8372333 | +62 811 1190 039 email: redaksi@foodreview.co.id & marketing@foodreview.co.id Cantumkan nama lengkap, alamat, email dan nomor telepon Anda.