3 minute read
PANGAN FUNGSIONAL: PERLU KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
“Let food be thy medicine and medicine be thy food”
Secara turun-temurun, banyak masyarakat telah lama mengenal dan meyakini bahwa beberapa jenis pangan dapat digunakan untuk keperluan mencegah dan bahkan mengobati penyakit. Pandemi COVID-19 selama dua tahun belakangan ini justru semakin memperkuat keyakinan masyarakat mengenai peran pangan pada kesehatan. Beberapa lembaga berwenang dalam bidang kesehatan juga menyarankan konsumsi berbagai jenis pangan tertentu untuk membantu tubuh melawan COVID-19. Sesungguhnya, sudah sejak lama saran tersebut disampaikan oleh Hippocrates, Bapak Kedokteran, sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini.
Advertisement
Daripada harus mengonsumsi obat untuk menyembuhkan penyakit lebih baik mengonsumsi pangan “tertentu” untuk mencegah jatuh sakit. Pangan “tertentu” inilah yang dalam literatur ilmiah sering disebut sebagai pangan fungsional (PF).
Jadi, apa pangan fungsional (PF) itu? Sayangnya, pertanyaan sederhana ini sulit dijawab karena definisi tentang PF ini beragam. Tidak ada satu definisi PF yang diterima oleh masyarakat global, baik di ranah ilmiah, industri maupun di pemerintahan.
Umumnya disepakati bahwa, walaupun erat dengan kesehatan, PF adalah pangan, bukan obat. Artinya, sebagaimana pangan pada umumnya, PF ini (i) dapat dikonsumsi sebagai bagian dari menu/diet regular seharihari, (ii) memiliki karakteristik sensoris (kenampakan, warna, tekstur, ukuran, konsistensi, cita rasa, dll.), dan (iii) memenuhi persyaratan keamanan, gizi dan mutu, sebagai pangan pada umumnya. Namun, PF harus (i) mengandung senyawa atau komponen tertentu yang memiliki potensi meningkatkan kesehatan dan mengurangi risiko penyakit, dan (ii) konsentrasi senyawa atau komponen tertentu tersebut pada tingkat yang aman dan cukup untuk memberikan khasiat kesehatan yang diinginkan. Senyawa atau komponen tertentu tersebut dapat berupa zat gizi, serat pangan, fitokimia, atau mikroba probiotik.
Menurut UU No. 18, 2012 tentang “pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”. Indonesia jelas kaya dengan keanekaragaman sumber daya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan yang khas dan mengandung senyawa atau komponen tertentu yang memiliki potensi meningkatkan kesehatan dan mengurangi risiko penyakit. Kekayaan ini merupakan potensi unik dan dapat menjadi daya saing yang kuat bagi produk Indonesia. Bahkan kekayaan ini berkembang menjadi budaya dan telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat (dan industri) dalam bentuk jamu dan produk tradisional lainnya.
Kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan dalam bentuk PF. Pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan hal ini sebagai
Hippocrates (460 SM-370 SM) salah satu faktor pertumbuhan ekonomi (dan kesehatan) baru. Walaupun saat ini tidak (atau belum) ada sistem regulasi di dunia yang secara tegas mendefinisikan dan menggunakan istilah PF ini, tetapi menyadari betapa besarnya kekayaan sumber daya & budaya PF ini, maka Indonesia perlu memulainya sendiri. Indonesia perlu serius mempertimbangkan pengembangan ekosistem yang kondusif untuk pengindustrian PF. Perlu pula dikembangkan kebijakan dan regulasi untuk mendorong (misalnya dengan skema insentif) industri -khususnya industri kecil lokal, untuk memproduksi/ mengembangkan PF berbasis sumber daya dan kearifan lokal.
Pemerintah perlu pula menggalakkan dan mempromosikan riset dan inovasi yang memungkinkan industri memberikan pilihan produk PF beragam kepada masyarakat. Untuk itu, perlu pula didorong berbagai kegiatan riset, seperti riset eksplorasi sumber daya lokal bahan baku PF, meliputi sumber daya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, kelautan, peternakan, eksplorasi dan identifikasi kearifan lokal dalam bidang PF, eksplorasi dan evaluasi aspek kesehatan masyarakat lokal dalam kaitannya dengan budaya dan kearifan lokal PF, sampai pada kajian aspek sosial ekonomi, analisis pasar, kelembagaan dan kajian kebijakan untuk peningkatan daya saing (industri) PF.
Perlu pula dikembangkan skema pendidikan dan promosi kepada masyarakat untuk memberikan dukungan pada industri dan produk PF lokal. Tidak kalah pentingnya, pemerintah juga perlu mengembangkan skema perlindungan terhadap berbagai kekayaan sumber daya PF yang beraneka ragam. Jangan sampai terjadi, kekayaan tersebut justru dimanfaatkan oleh negara lain. Ini merupakan ancaman serius, dan hal ini sudah pernah terjadi. Ke depan, pemerintah perlu lebih siap, karena minat dunia internasional terhadap PF ini sangat besar. Laporan Bank Dunia (2006) yang berjudul “Health Enhancing Foods: Opportunities for Strengthening the Sector in Developing Countries” telah secara jelas mengindentifikasi bahwa pengembangan PF ini merupakan kesempatan bagi negara berkembang. Bank Dunia mencatat bahwa pada tahun 2006 tersebut, telah terjadi peningkatan minat PF yang tinggi, sehingga memicu meningkatnya jumlah industri yang memproduksi PF, dan meningkat pula perdagangan internasionalnya. Data Bank Dunia ini diperoleh sebelum pandemi COVID-19. Kondisi sekarang, minat tentang PF ini semakin meningkat sebagaimana dilaporkan oleh berbagai lembaga bisnis di dunia.
Semoga sajian FoodReview Indonesia kali ini dapat memicu dan memacu industri PF di Indonesia, untuk terus berkembang dan berdaya saing.
Purwiyatno Hariyadi phariyadi.staff.ipb.ac.id