PREVIEW REFERAT OTOTOKSISITAS

Page 1

REFERAT

GANGGUAN PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN AKIBAT

OTOTOKSISITAS

Disusun oleh:

Lantika Dhia Nareswari

(031052110025) Pembimbing : dr. Dwi Agustawan Nugroho, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RSUD BUDHI ASIH JAKARTA

PERIODE 14 NOVEMBER – 16 DESEMBER 2022

1

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

GANGGUAN PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN AKIBAT

OTOTOKSISITAS

Lantika Dhia Nareswari (031052110025)

Disusun untuk memenuhi tugas referat dan sebagai syarat mengikuti ujian akhir pada

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT, RSUD Budhi Asih Jakarta

periode 14 November – 16 Desember 2022

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Dwi Agustawan Nugroho, Sp.THT-KL selaku dokter

pembimbing Bagian Ilmu Penyakit THT RSUD Budhi Asih, pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 1 Desember 2022

Pembimbing

dr. Dwi Agustawan Nugroho, Sp.THT-KL

2
3 DAFTAR ISI REFERAT ................................................................................................................................ 1 LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... 2 DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 3 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 6 2.1 ANATOMI TELINGA DALAM ..................................................................................... 6 2.2 FISIOLOGI KESEIMBANGAN 9 2.3 FISIOLOGI PENDENGARAN ....................................................................................... 9 2.4 DEFINISI OTOTOKSISITAS 10 2.5 EPIDEMIOLOGI OTOTOKSISITAS 11 2.6 ETIOLOGI OTOTOKSISITAS ..................................................................................... 12 2.7 PATOFISIOLOGI OTOTOKSISITAS 14 2.8 PENEGAKKAN DIAGNOSIS OTOTOKSISITAS ...................................................... 18 2.8.1 Anamnesis 18 2.8.2 Pemeriksaan Fisik 18 2.8.3 Pemeriksaan Penunjang 19 2.9 MANIFESTASI KLINIS OTOTOKSISITAS ............................................................... 21 2.10 TATALAKSANA DRUG-INDUCED OTOTOKSISITAS ......................................... 22 2.11 PROGNOSIS OTOTOKSISITAS 23 2.12 PENCEGAHAN OTOTOKSISITAS ........................................................................... 23 BAB III KESIMPULAN ....................................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 26

BAB I PENDAHULUAN

Ototoksisitas merupakan suatu gangguan pada telinga yang disebabkan oleh zat kimia atau obat-obatan yang dapat merusak telinga bagian dalam atau saraf vestibulocochlear, yang bertugas mengirim sinyal pendengaran dari telinga bagian dalam ke otak. Istilah ototoksisitas

telah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan dan potensi terjadi ototoksik semakin

meningkat seiring bertambahnya obat-obatan yang lebih poten1 Obat yang memiliki potensi menyebabkan reaksi toksik terhadap struktur telinga dalam mencakup vestibulum, koklea, otolith, dan kanalis semisirkularis disebut sebagai obat ototoksik. Kali pertama gejala ototoksik

berupa gangguan pendengaran dan vestibuler ditemukan pada tahun 1945 sejak ditemukannya antibiotik streptomisin (golongan aminoglikosida) sebagai obat tuberkulosis paru 1,2

Di negara berkembang, penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida seringkali digunakan pada penyakit seperti tuberkulosis paru, pneumonia, diare, dan lainnya dengan angka kejadian ototoksisitas pada antibiotik golongan ini cukup tinggi Aminoglikosida

merupakan salah satu antibiotik yang memiliki potensi kokleotoksik dan vestibulotoksik serta therapeutic window yang sempit namun antibiotik ini masih digunakan untuk terapi pathogen

Gram negatif terutama yang resisten terhadap beberapa obat, selain itu harganya yang murah

menjadi alasan obat ini tetap digunakan Ototoksisitas akibat obat lain seperti kina, salisilat dan oleum chenopodium diketahui menimbulkan gejala tinnitus, berkurangnya pendengaran dan gangguan vestibuler. Golongan loop diuretics juga menjadi perhatian, pengaruh terhadap ototoksisitas yang terjadi memiliki mekanisme yang berbeda dibandingkan dengan antibiotik golongan aminoglikosida.1–3

Otoksisitas dapat menimbulkan gejala gangguan pendengaran, keseimbangan, ataupun keduanya dalam sementara waktu atau bahkan permanen. Berkurangnya pendengaran akibat obat ototoksik bersifat tuli sensorineural dam dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah

penggunaan obat ototoksik. Gangguan pendengaran dan/atau keseimbangan akibat

penggunaan obat ototoksik dapat mempengaruhi aspek komunikasi dan fungsi sosial

kehidupan atau kualitas hidup seorang pasien. Deteksi dini pada gejala ototoksisitas pada

pemakaian obat yang memiliki potensi obat ototoksik dapat meminimalkan terjadinya

gangguan keseimbangan dan pendengaran secara permanen. Oleh karena itu, referat kali ini

membahas secara menyeluruh ototoksisitas akibat obat terkait definisi, epidemiologi, penyebab, mekanisme, gejala, kriteria diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan

4

hingga prognosis.1,3

Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang obat-obatan

yang menyebabkan ototoksisitas, sehingga dapat mendeteksi, diagnosis dan penatalaksanaan yang baik dan juga untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di departemen Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam tinjauan pustaka ini dibahas tentang definisi, etiologi, insidens, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan terapi dari obat-obat ototoksik

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DALAM

Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum vestibulocochleare berhubungan dengan penerimaan bunyi dan pemeliharaan keseimbangan. Auris interna yang tertanam di dalam pars petrosa, salah satu bagian tulang temporal, terdiri dari kantong-kantong dan pipapipa labyrinthus membranaceus. System selaput ini berisi endolimfe dan organ-organ akhir untuk pendengaran dan keseimbangan. Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang diliputi oleh perilimfe terbenam di dalam labyrinthus osseus.4

2.1.1 Labyrinthus osseus (Tulang Labirin)

Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian lateral pars petrosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna terdiri dari 3 bagian, yaitu:

6
Gambar 1. Anatomi telinga dalam Gambar 2. Anatomi tulang pendengaran

A. Cochlea

Bagian labyrinthus osseus unu yang berbentuk seperti keong, berisi duktus cochlearis, bagian auris interna yang berhubungan dengan pendengaran. Cochlea membuat 2,5 putaran, mengelilingi sumbu tulang yang disebut modiolus dan berisi terusan-terusan untuk pembuluh darah dan saraf. Putaran cochlea basal yang lebar menyebabkan terbentuknya promontorium pada dinding medial cavitas timpani 4

B. Vestibulum

Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm) berisi utriculus dan sacculus, bagian-bagian peranti keseimbangan. Ke anterior vestibulum bersinambungan dengan cochlea tulang, ke posterior dengan canals semicirculares ossei, dan dengan fossa crani posterior melalui aqueductus vestibule. Aqueductus vestibule melintas ke permukaan posterior pars petrosa dan di sini bermuara di sebelah postero-lateral meatus acusticus internus. Di dalamnya terdapat ductus endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.4

C. Canales semicirculares ossei

Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dan canalis semicircularis lateralis berhubungan dengan vestibulum labyrinthi ossei. Canals semicircularis ossei terletak posterosuperior terhadap vestibulum yang merupakan tempat bermuaranya canals semicircularis ossei; ketiga terusan ditempatkan tegak lurus satu terhadap yang lain. Dengan demikian stereometris mereka menempati tiga bidang. Masing-masing terusan berupa kira-kira dua pertiga dari sebuah lingkaran dengan diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu ujung yang melebar sebagai ampulla.4

2.1.2 Labyrinthus Membranaceus

Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa yang saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di dalam labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang meliputinya. Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian utama.4

• Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum labyrinthi ossei yang saling berhubungan.

• Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis ossei

• Duktus cochlearis di dalam cochlea.

7

2.1.3 Meaticus acusticus interna

Meaticus acusticus internus adalah sebuah terusan sempit yang melintas ke lateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam pars petrosa. Lubangnya terdapat pada bagian posteromedial tulang tersebut, sejajar dengan meatus acusticus eksternus. Ke arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar tulang yang berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya dari auris interna. Melalui lembar tulang tersebut melintas nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabang-cabang nervus vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluh-pembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus vestibularis.4

2.1.4 Vaskularisasi dan Inervasi Telinga Dalam

Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, utrikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlear. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus Vena dialirkan ke V. Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior 4

N. Vestibulokohlearis (N. Akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N. Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N. Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus 4

8

2.2 FISIOLOGI KESEIMBANGAN

Sinyal-sinyal sensorik dari telinga dalam, retina, dan system musculoskeletal diintegrasikan dalam SSP agar dapat mengontrol arah pandangan, posisi serta gerak tubuh dalam ruang. Bila disebutkan system vestibularis maka yang dimaksud tidak hanya reseptor saja, namu juga jaras-jaras SSP yang terlibat dalam pengolahan sinyal-sinyal aferen dan aktivasi motorneuron. Reseptor system ini adalah sel rambut yang terletak dalam Krista kanalis semisirkularis dan macula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut (yaitu perubahan dalam kecepatan sudut), sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linear, khususnya percepatan linear dan terhadap perubahan posisi kepala relative terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan linear ini disebabkan oleh geometri dari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel rambut.5

2.3 FISIOLOGI PENDENGARAN

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.5

9

Gambar 3. Fisiologi sistem pendengaran

2.4 DEFINISI OTOTOKSISITAS

Ototoksisitas adalah degenerasi seluler koklea dan/atau jaringan vestibular yang menyebabkan penurunan fungsionalnya, karena penggunaan agen terapeutik tertentu. Obat ototoksik dapat bekerja pada koklea, sistem vestibular atau keduanya. Drug induced ototoxity dapat didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia 6,7

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai:

• Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

• Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan

10

• Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai berikut:

CTCAE:

• Derajat 1: ambang dengar turun 15-25dB dari pemeriksaan sebelumnya (1 tahun), diratarata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

• Derajat 2: ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan sebelumnya (1 tahun), diratarata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

• Derajat 3: penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar (>20dB bilateral pada frekuensi percakapan, >30dB unilateral pada frekuensi percakapan)

• Derajat 4: penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar dan implan kokhlea.

Brock’s:

• Derajat 0: ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

• Derajat 1: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

• Derajat 2: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

• Derajat 3: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

• Derajat 4: ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000H

2.5 EPIDEMIOLOGI OTOTOKSISITAS

Ototoksisitas akibat obat dapat terjadi pada semua kelompok usia. Menurut studi metaanalisis, ototoksisitas akibat obat kemoterapi atau golongan cisplatin dan/atau carboplatin terjadi sebanyak 43,71%- 56,05% Namun, beberapa penelitian telah melaporkan peningkatan ambang pendengaran hingga 100% dari pasien kanker yang diobati dengan cisplatin, sementara itu diperkirakan 63% dengan aminoglikosida (streptomisin, neomisin, tobramisin, kanamisin, paromomisin, spketinomisin, gentamisin, netilmisin, dan amikasin) dan 6-7% dengan diuretik. Toksisitas vestibuler yang terjadi akibat aminoglikosida dilaporkan kisaran 0-7% dan toksisitas koklea sekitar 2%.2,6,8

Pada penelitian cross sectional dengan populasi besar, gejala ototoksisitas berupa gangguan pendengaran dan tinnitus pada penggunaan antibiotik golongan makrolida

ditemukan sebanyak 25%. Berdasarkan studi kohort besar, obat ototoksik yang sering

11

dikonsumsi oleh pasien lansia yang sering menyebabkan ototoksik adalah antiinflamasi nonsteroid (75,2%), asetaminofen (39,9%) dan diuretik (35,6%). Selain itu, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan riwayat merokok juga dikaitkan dengan penggunaan obat ototoksik. Tingkat keparahan gangguan pendengaran akibat obat ototoksik bergantung pada dosis dan jumlah kumulatif serta dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: usia, jenis kelamin, jenis obat, rute pemberian, durasi terapi, bio-availability obat dan kondisi komorbid seperti gagal jantung kongestif, gagal ginjal, hipertensi, serta kerentanan genetik.6,9,10

2.6 ETIOLOGI OTOTOKSISITAS

Berbagai obat dan bahan kimia dapat merusak telinga bagian dalam dan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural, tinitus, dan terkadang vertigo 11

Gambar 4. Tabel daftar obat-obatan risiko ototoksik

2.6.1 Antibiotik Aminoglikosida.

Streptomisin, gentamisin, dan tobramisin terutama bersifat vestibulotoksik. Mereka secara selektif menghancurkan sel-sel rambut tipe I dari crista ampullaris tetapi, jika diberikan dalam dosis besar, juga dapat merusak koklea. Neomisin, kanamisin, amikasin, sisomisin, dan dihidrostreptomisin adalah kokleotoksik. Mereka menyebabkan penghancuran selektif sel-sel rambut luar, mulai dari kumparan basal dan berlanjut ke puncak koklea 11,12

Pasien yang sangat berisiko adalah mereka yang:

12

• memiliki gangguan fungsi ginjal,

• orang lanjut usia di atas usia 65 tahun,

• secara bersamaan menerima obat ototoksik lainnya,

• telah menerima antibiotik aminoglikosida,

• menerima obat ototoksik dosis tinggi dengan kadar serum obat yang tinggi, dan

• memiliki kerentanan genetik terhadap aminoglikosida. Di sini antibiotik mengikat ribosom dan mengganggu sintesis protein, sehingga menyebabkan kematian sel koklea.

Gejala ototoksisitas, gangguan pendengaran, tinitus, dan/atau pusing dapat bermanifestasi selama pengobatan atau setelah menyelesaikan pengobatan (toksisitas tertunda) 11

2.6.2 Diuretik

Furosemide, bumetanide dan asam ethacrynic disebut loop diuretic karena mereka memblokir transportasi ion natrium dan klorida dalam lengkung Henle yang naik. Mereka diketahui menyebabkan edema dan perubahan kistik pada stria vascularis dari saluran koklea. Dalam kebanyakan kasus, efeknya dapat dibalik tetapi kerusakan permanen dapat terjadi. Gangguan pendengaran mungkin bilateral dan simetris atau kadang tiba-tiba muncul.11

2.6.3 Salisilat

Gejala ototoksisitas salisilat adalah tinitus dan gangguan pendengaran sensorineural bilateral terutama yang mempengaruhi frekuensi yang lebih tinggi. Tempat pengujian lesi menunjukkan keterlibatan koklea, tetapi mikroskop cahaya dan elektron gagal menunjukkan perubahan morfologi pada sel rambut. Mungkin mereka mengganggu pada tingkat enzimatik. Gangguan pendengaran akibat salisilat bersifat reversibel setelah obat dihentikan. SNHL (Sensory Neural Hearing Loss) juga dicatat dengan NSAID lainnya, mis. naproxen, juga dicatat dengan NSAID lainnya, mis. naproxen, piroksikam dan ketorolak tetapi bersifat reversible 11,12

2.6.4 Kuinin

Gejala ototoksik akibat kina adalah tinnitus dan gangguan pendengaran sensorineural, keduanya bersifat reversibel. Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerugian permanen.

Gejala umumnya muncul dengan pengobatan berkepanjangan tetapi dapat terjadi dengan dosis yang lebih kecil pada mereka yang rentan. Ketulian kongenital dan hipoplasia koklea telah

dilaporkan pada anak-anak yang ibunya menerima obat ini selama trimester pertama

13

kehamilan. Efek ototoksik kina disebabkan oleh vasokonstriksi pada pembuluh darah kecil di koklea dan stria vaskularis 11

2.6.5 Chloroquine dan Hydroxychloroquine

Efeknya mirip dengan kina dan menyebabkan SNHL reversible.12

2.6.6 Deferoxamine (Desferrioxamine)

Ini adalah zat pengkelat besi yang digunakan dalam pengobatan pasien thalasemia yang menerima transfusi darah berulang dan pada gilirannya memiliki beban besi yang tinggi. Seperti cisplatin dan aminoglikosida, deferoxamine juga menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi. Timbulnya gangguan pendengaran tiba-tiba atau tertunda. Itu permanen tetapi dalam beberapa kasus dapat dibalik ketika obat dihentikan. Ini menyebabkan toksisitas pada saraf; anak-anak lebih terpengaruh.12

2.6.7 Obat dan zat lainnya

Kasus tuli yang terisolasi telah dilaporkan dengan eritromisin, ampisilin dan kloramfenikol, indometasin, fenilbutazon, ibuprofen, antitoksin tetanus, propranolol dan propiltiourasil. Alkohol, tembakau, dan ganja juga menyebabkan kerusakan pada telinga bagian dalam terkadang ketulian permanen dapat terjadi.11

2.6.8 Obat tetes telinga

Penggunaan obat topikal di telinga tengah juga dapat menyebabkan kerusakan koklea dengan penyerapan melalui jendela oval dan bulat. Ketulian telah terjadi dengan penggunaan chlorhexidine yang digunakan dalam persiapan saluran telinga sebelum operasi atau penggunaan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik aminoglikosida, mis. neomisin, framisetin, dan gentamisin. Potensi ototoksik juga terdapat pada obat tetes telinga yang mengandung polimiksin B, propilen glikol, dan agen antijamur. Gunakan hanya tetes ototopikal yang disetujui untuk infeksi telinga tengah 11

2.7 PATOFISIOLOGI OTOTOKSISITAS

Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum begitu jelas.

Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal, yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah. Pasien-pasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan

14

pendengaran hingga defisit mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearing level) pada frekuensi percakapan.11,13

Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat pengikatan obat dengan glikosaminoglikan stria vaskularis, yang menyebabkan perubahan strial dan perubahan sekunder sel-sel rambut. Antibiotik ototoksik menyebabkan hilangnya pendengaran dengan mengubah proses-proses biokimia yang penting yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel secara tiba-tiba.11,13

Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah hilangnya sel-sel rambut yang dimulai dari basal koklea, kerusakan seluler pada stria vaskularis, limbus spiralis dan selsel rambut koklea dan vestibuler. Kerusakan vestibuler juga merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida dan awalnya menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah ketidakmampuan sistem okuler untuk menjaga horizon yang stabil 12

2.7.1 Aminoglikosida

Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan kokhleovestibuler. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat nefrotoksiksitas dan ototoksisitas.

Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di basal kokhlea.2

Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah pemberian aminoglikosid dihentikan 2

Mekanisme ototoksisitas aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada proses sistesis protein di mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level seluler, gangguan dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya sel rambut luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebeas di telinga dalam dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan mampu menstimulasi kematian sel secara langsung. Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang utama dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsik yang diperantarai oleh

15

mitokondria. Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat besi dan tembaga semakin

menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari kaskade tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea yang berakibat gangguan dengar permanen.2

Ototoksisitas aminoglikosid bersifat multifaktorial dan penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Beberapa penelitian menyelidiki tentang pemberian iron chelators dan antioksidan selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang mungkin dapat mencegah gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki kemungkinan terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada pilihan terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu pencegahan adalah hal yang sangat penting 2

Ototoksisitas yang terjadi pada koklea, vestibuler dan Nervus Auditorius dapat terjadi karena pemakaian sistemik dan topical. Aminoglikosida membentuk kompleks dengan logam transisi seperti besi dan tembaga, kompleks ini merupakan aktif redoks yang bila bereaksi dengan donor elektron seperti asam arakidonat akan membentuk reactive oxygen species (ROS) atau radikal bebas seperti superoksida, radikal hidroksi dan hidrogen peroksida. Reactive oxygen species bertanggung jawab terhadap kerusakan sel yang disebabkan oleh aminoglikosida. Reactive oxygen species menyebabkan pertahanan antioksidan melemah dan mengubah keseimbangan glutation. Reactive oxygen species akan mengaktifkan C Jun N terminal kinase (JNK) yang mempengaruhi transkripsi gen pada nukleus dan mengaktifkan apoptosis dan nekrosis dari sel rambut koklea. Sel rambut luar dari koklea lebih sensitif terhadap radikal bebas dibandingkan sel rambut dalam dan sel penyangga. Sel rambut luar di bagian basal lebih sensitif bila dibandingkan bagian apex. 2,14

Mekanisme yang terjadi di vestibuler kurang dieksplorasi oleh peneliti, tetapi diasumsikan mekanisme yang sama terjadi di kedua organ telinga bagian dalam kurang lebih sama. 14

Tetes telinga yang mengandung aminoglikosida lebih sering dilaporkan menyebabkan toksisitas vestibuler. Tetes telinga mencapai telinga bagian dalam melalui beberapa cara, yaitu melewati membran foramen rotundum, ligamen anular dari stapes, mikrofraktur kongenital atau didapat, lubang pada kapsul otik dan yang terakhir kemungkinan berasal dari pengambilan sistemik oleh mukosa telinga tengah. 3

Tetes telinga topical yang mengandung neomysin dan gentamisin pada keadaan membran timpani yang perforasi akan membuat obat tersebut melewati membran foramen rotundum, yang merupakan point potensial antara telinga tengah dan telinga dalam dan akhirnya mencapai labirin membranosa. 3

Terapi topikal kulit dapat menyebabkan penurunan pendengaran bila bagian yang

16

diterapi sangat luas karena memungkinkan terjadinya absorbsi sistemik yang tinggi, misalnya pada luka bakar yang luas dan irigasi luka peritoneal 3

2.7.2 Loop Diuretik

Efek ototoksisitas diuretik nampaknya berhubungan dengan stria vaskularis yang dipengaruhi oleh perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi perubahan potensial pada endolimfe. Diuretik lain seperti ethacrynic acid, ternyata meningkatkan permeabilitas stria vaskularis, memungkinakan terjadinya difusi aminoglikosid ke endolimph. Efek ototoksik yang disebabkan oleh ethacrynic acid terjadi secara bertahap dan efeknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan furosemide atau bumetanide. Secara keseluruhan efek ototoksik akibat diuretik bersifat sementara 2

2.7.3 Obat Kemoterapi (Antineoplastik)

Mekanisme ototoksik obat kemoterapi diperantarai oleh terbentuknya radikal bebas dan proses kematian sel. Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media dan menyebabkan kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal kokhlea. Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam kokhlea setelah terpapar oleh sisplatin. NADPH oxidase adalah enzim yang mengkatalisasi pembentukan radikal superokside. Salah satu bentuk NADPH oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga dalam dan adalah sumber yang penting dari pembentukan radikal bebas di kokhlea yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Radikal bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel secara apoptosis yang diperantarai oleh mitokondria dan caspase yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan dengar yang permanen 2

2.7.4 Salisilat

Asam salisilat dapat masuk dengan cepat ke kokhlea dan kadar di perilimfe setara dengan kadar di serum. Kadar yang semakin meningkat dapat menyebabkan tinitus dan biasanya gangguan dengar sensorineral yang sementara dengan gambaran audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan multilokasi. Kelainan morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil OAE juga menunjukkan adanya abnormalitas sel rambut luar kokhlea, penurunan aliran darah kokhlea juga diduga mempunyai peranan. Perubahan biokimia, dan permeabilitas sel rambut luar yang tidak normal juga dapat berpengaruh 2

Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan

17

terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang sebabkan telah terjadi perubahan

struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah: Degenerasi stria vaskularis (kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik); Degenerasi sel epitel sensori (kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat penggunaan antibiotika aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks); Degenerasi sel ganglion (kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel epitel sensori) 15

2.8 PENEGAKKAN DIAGNOSIS OTOTOKSISITAS

2.8.1 Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan suara berdenging yang dapat terjadi hilang timbul pada saat terapi atau bahkan menjadi intens dan persisten pada saat terapi dihentikan. Penurunan pendengaran mungkin terjadi asimtomatik dan selanjutnya bila obat diteruskan. Pada pemakaian topikal telinga yang mengandung aminoglikosida, penurunan pendengaran unilateral lebih mungkin terjadi dan gejala ini tidak seberat pada manifestasi ototoksisitas vestibuler pada telinga tersebut. Obat yang memengaruhi fungsi keseimbangan akan menyebabkan gangguan keseimbangan dengan gejala kepala terasa ringan dan bila melihat obyek jauh terlihat berlompatan pada saat kepala digerakkan.15

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Obat ototoksik adalah obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea dan sistem vestibuler. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. Kerusakan pada struktur- struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan.3

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan vestibuler

standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler.

Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari.“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi

adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien

dengan gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.3,15

18

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat, awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau condong ke salah satu sisi, apabila pasien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama. Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.12

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan The National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai:

• Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

• Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan

• Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon

A. Audiometri Nada Murni

Aminoglikosida mengganggu pendengaran pada frekuensi tinggi di awal pengobatan, sehingga sebaiknya dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni sebagai baseline pada frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz, 4 kHz, 6 kHz dan 8 kHz sebelum memulai pengobatan sampai

2 minggu pertama terapi dijalankan. Monitoring gangguan pendengaran dilakukan selama terapi, yaitu setiap minggu sampai 6 bulan setelah terapi dihentikan. Audiometri nada murni dasar sangat dibutuhkan sebelum pemberian aminoglikosida, terutama pada penderita manula yang kemungkinan sudah menderita kondisi penurunan pendengaran frekuensi tinggi sebelumnya.12

Gangguan pendengaran yang terjadi adalah sensorineural, yakni deteksi dini ototoksisitas aminoglikosida akan menghasilkan peningkatan ambang dengar 15 db atau lebih pada 6 kHz dan 8 kHz dibandingkan audiometri nada murni sebelumnya, baik unilateral atau

19

bilateral. Hal ini dapat terjadi 5-7 minggu sejak permulaan terapi dengan aminoglikosida.

Audiometri nada murni frekuensi tinggi diatas 8 kHz terbukti dapat mendeteksi ototoksisitas aminoglikosida lebih dini, tetapi alat ini membutuhkan kalibrasi frekuensi yang teratur dan earphone yang khusus sehingga tidak banyak rumah sakit yang memiliki fasilitas ini.12

Kriteria yang dipakai oleh American Speech Language Hearing Association (ASHA) dalam menentukan kecurigaan ototoksisitas pada penggunaan aminoglikosida ada tiga, pertama bila terjadi peningkatan ambang dengar sebesar 20 dB pada satu frekuensi, kedua peningkatan ambang dengar sebesar 10 dB pada dua frekuensi berdekatan dan terakhir adalah kehilangan respon pada tiga frekuensi. Derajat ototoksisitas didefinisikan oleh Brock sebagai berikut : 7

• Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

• Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

• Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

• Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

• Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz

Penggunaan audiometri frekuensi tinggi (8.000-12.000Hz) sebagai prediktor ototoksisitas akibat penggunaan obat, namun seringkali sulit dilakukan secara rutin pada praktek sehari-hari. Audiometri konvensional (250-8.000Hz) masih sering digunakan untuk memantau pasien sebelum dan sesudah penggunaan obat ototoksik seperti gentamisin dan sisplatin. Beberapa pusat penelitian melakukan satu kali pemeriksaan audiometri sebelum terapi dan beberapa pemeriksaan audiometri serial dan pemantauan kadar obat dalam serum.7

B. Otoacoustic Emission (OAE)

Otoacoustic emission (OAE) merupakan produk akustik dari gerakan sel rambut luar koklea. Otoacoustic emission lebih sensitif dalam mendeteksi disfungsi auditori daripada audiometri nada murni frekuensi tinggi selama terapi. 7

Ada dua macam OAE yaitu transient evoked otoacoustic emission (TEOAE) dan distortion product otoacoustic emission (DPOAE). Distortion product otoacoustic emission lebih sensitif daripada TEOAE, karena DPOAE dapat mendeteksi lesi kecil di sepanjang organ

Corti atau mendeteksi perubahan aktivitas sel rambut luar sebelum lesi cukup besar untuk dideteksi dengan audiometric. Tes ini relatif terjangkau, cepat, objektif, praktis dan tidak

20

membutuhkan ruang kedap suara, sehingga menjadikan tes ini sangat berguna, bahkan dalam mendeteksi ototoksisitas pada pasien yang tidak dapat memberikan respon subjektif yang dapat dipercaya.7

C. Tes penunjang keseimbangan

Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk evaluasi sistem keseimbangan secara objektif di antaranya adalah elektronystagmografi (ENG), kursi berputar (rotational chair), tes sakulokolik, vestibular evoked potentials dan computerized dynamic posturography (CDP). Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengukur kemampuan secara kuantitatif dan objektif, tetapi pemeriksaan di atas membutuhkan ruangan khusus sehingga tidak praktis dilakukan dan tidak banyak institusi yang memiliki alat tersebut.7

D. BERA (Brain Evoked Response Audiometry)

Beberapa kasus ditemukan bahwa toksisitas memengaruhi komponen saraf auditori tanpa merusak sel rambut koklea. Hal ini dikenal dengan neuropati auditori. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang signifikan pada audiometri nada murni dengan hasil OAE yang normal atau pass. Pemeriksaan terbaik dalam memonitor efek toksik pada Nervus Auditorius adalah dengan BERA. Kerusakan yang terjadi pada Nervus Auditorius atau brainstem ditunjukkan melalui peningkatan waktu laten. Pemeriksaan ini perlu dilakukan bila ada indikasi.7

2.9 MANIFESTASI KLINIS OTOTOKSISITAS

Tinitu s dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral . Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia (pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.12,13

Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli

21

sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.12,13

Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.12

2.10 TATALAKSANA DRUG-INDUCED OTOTOKSISITAS

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat diketahui secara audiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri 12

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory tranining, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca

bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan

koklea (Cochlear implant) 12

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan

alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory tranining, termasuk cara menggunakan sisa

pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca

bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan

koklea (Cochlear implant) 12

Penurunan pendengaran sensorineural yang permanen dapat diatasi dengan alat bantu

dengar atau implan koklea. Monitoring fungsi pendengaran selayaknya dilakukan selama terapi

sampai beberapa bulan setelah terkena efek ototoksik dari aminogliksida. Toksisitas vestibular

diterapi dengan rehabilitasi vestibuler yang mempercepat kompensasi vestibuler. Fungsi vestibuler dapat kembali sampai 12 bulan setelah vestibulotoksisitas terjadi 7

Toksisitas salisilat dapat dipantau dari kadar elektrolit serum dan administrasi cairan,

22

dengan penambahan alkali diuresis, jika diperlukan. Administrasi oksigen dan ventilasi mekanis juga mungkin diperlukan dalam kasus yang parah 16

2.11 PROGNOSIS OTOTOKSISITAS

Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk. Beberapa pasien dapat mengalami perbaikan setelah penghentian penggunaan obat. Penghentian penggunaan obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala dalam beberapa hari, meskipun kerusakan vestibular dan kokhlear yang berkaitan dengan aminoglikosida, diuretik, cisplatin dapat menghasilkan ataksia

ataupun tuli permanen 16

2.12 PENCEGAHAN OTOTOKSISITAS

Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan

penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang pendengaran dan vertigo. Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejalagejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan.17

Penelitian pada binatang menunjukkan adanya manfaat dari pemberian antioksidan, vitamin E, alpha lipoic acid, ebselen, ginkgo biloba untuk mencegah efek ototoksik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan 17

A. Aminoglikosida

Pencegahan dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal serta pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi. Identifikasi pasien dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien tersebut. Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus diedukasi untuk menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea

akibat bising.17

Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan aminoglikosid sehingga

konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan meningkatkan risiko ototoksik.

23

Maka fungsi ginjal sebaiknya diawasi dengan jadwal sebagai berikut :17

• Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :

o Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2 kali seminggu.

o Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali seminggu

• Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil : periksa kadar kreatinin 2 hari sekali.

• Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak terduga : periksa kadar kreatinin setiap hari.

Pencegahan ototoksisitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan penggunaan dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan menghindari penggunaan intravena dengan tetesan cepat. Pasien dengan faktor risiko tinggi seperti gagal ginjal, penggunaan

aminoglikosid pada saat bersamaan harus diperhatikan karena penggunaan obat aminoglikosid dan diuretik secara bersamaan tidak dianjurkan.17

C. Obat Kemoterapi

Pada pasien yang akan menerima obat kemoterapi usahakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan sebelum, selama dan sesudah terapi bahkan sampai 6 bulan kemudian. Anjurkan

pasien untuk menghindari suasana yang bising sampai 6 bulan sesudah terapi selesai. 2 Berbagai obat kemoprotektor menunjukkan penggunaan antioksidan untuk mengurangi efek ototoksik dari sisplatin. Penelitian pada hewan dengan menggunakan vitamin E, L-N-Acetyl cysteine dan sodium thiosulfate, D-methionine, salisilat, iron chelators, caspase atau calpain inhibitors,dan bahkan terapi gen menunjukkan hasil yang bermanfaat memastikan teori ini. Sebagian besar penelitian dilakukan pada binatang, sehingga diperlukan penelitian lanjutan pada manusia untuk membuktikan apakah temuan ini dapat berarti secara klinis dapat mengurangi efek ototoksisitas cisplatin.7

24
B. Loop Diuretik

BAB III KESIMPULAN

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga yang disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam atau saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan pendengaran dari telinga bagian dalam ke otak.

Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran, keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen. Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat kimia yang ada di lingkungan. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat ototoksik.

Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum begitu jelas. Patologinya meliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal, yang diikuti oleh sel rambut dalam. Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashiruddin J, Alviandi W, Bramantyo B. Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2020.

2. Sofyan. Ototoksisitas. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2011.

3. Fransiska F. Ototoksisitas Aminoglikosida. kesdok. 2019;1:37–47.

4. White HJ, Helwany M, Biknevicius AR, Peterson DC. Anatomy, head and neck, ear organ of Corti. 2023;

5. de Nava ASL, Lasrado S. Physiology of Ear. StatPearls. 2022.

6. Ganesan P, Schmiedge J, Manchaiah Vinaya and Swapna S, Dhandayutham S, Kothandaraman PP. Ototoxicity: A challenge in diagnosis and treatment. J Audiol Otol. 2018;22:59–68.

7. Ototoxicity. Medscape.com. 2022.

8. Dillard LK, Lopez-Perez L, Martinez Ricardo X and Fullerton AM, Chadha S, McMahon CM. Global burden of ototoxic hearing loss associated with platinum-based cancer treatment: A systematic review and meta-analysis. Cancer Epidemiol. 2022;79:102203.

9. Vanoverschelde A, Oosterloo BC, Ly NF, Ikram MA, Goedegebure A, Stricker Bruno

H and Lahousse L. Macrolide-associated ototoxicity: a cross-sectional and longitudinal study to assess the association of macrolide use with tinnitus and hearing loss. J Antimicrob Chemother. 2021;76:2708–16.

10. Joo Y, Cruickshanks KJ, Klein BEK, Klein R, Hong O, Wallhagen M. Prevalence of ototoxic medication use among older adults in Beaver Dam, Wisconsin. J Am Assoc Nurse Pract. 2018;30:27–34.

11. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of ear, nose & throat and head & neck surgery - Ebook. 8th ed. New Delhi, India: Elsevier; 2021.

12. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Penyakit THT-KL

FKUI. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.

13. Adam GL, Boeis LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.

14. Fu X, Wan P, Li P, Wang Jinpeng and Guo S, Zhang Y, An Y, et al. Mechanism and prevention of ototoxicity induced by aminoglycosides. Front Cell Neurosci. 2021;15:692762.

15. Meutia SNR, Adawiyah R, Tette D, Sofyan A. Obat Ototoksik. Jurnal Medical Profession. 2022;4:32–5.

26

16. Setiani P, Wisyastuti K, Witari NP. Drug-Induced Vestibulotoksik dan Ototoksik. Universitas Udayana: Departemen Neurologi; 2017.

17. Faibanks DNF. Antimicrobial Therapy in Otolaryngology-Head and Neck Surgery edisi ke 13. 2007.

27

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.