3 minute read

oleh Kholilur Rahman

PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS EFEK SAMPING VAKSIN COVID-19

Kholilur Rahman

Advertisement

Peneliti dan Pemerhati Hukum

“Upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen ataupun masyarakat apabila tidak mendapatkan perlindungan hukum pasca pelaksanaan vaksinasi, maka dapat melakukan upaya hukum yaitu dengan mengajukan gugatan perdata melalui tiga bentuk.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal pertengahan bulan Maret 2020, menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global. Bahkan di Indonesia, Covid-19 ditetapkan sebagai bencana non-alam nasional.

Indonesia telah memulai pelaksanaan program vaksinasi guna mengendalikan dan menanggulangi pertambahan Covid-19 dengan mengeluarkan ketentuan wajib vaksin melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Pasca dikeluarkannya ketentuan wajib vaksinasi tersebut, pelaksanaannya ramai diperbincangkan oleh masyarakat luas, terutama mengenai persoalan efek samping atau ampak dari vaksin itu sendiri.

Dalam perspektif hukum, apabila dianalis dari perlindungan konsumen, masyarakat mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi. Begitu pun apabila konsumen mengalami efek samping vaksin Covid-19, misalnya menimbulkan kecacatan, kematian atau penderitaan lain yang dialami konsumen setelah mengikuti vaksinasi. Demikian muncul pertanyaan: apabila terdapat efek samping setelah vaksinasi siapa yang bertanggung jawab? Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen (selanjutnya ditulis UUPK) secara tegas disebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan ” . Selanjutnya setiap konsumen yang dirugikan, penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Meskipun UUPK telah mengatur secara rigid perihal cara penyelesaian sengketa konsumen, isu efek samping Vaksin Covid-19 ini menjadi menarik apabila ditinjau dari perspektif UUPK. Hal ini dikarenakan pemerintah telah mengambil alih tanggung jawab Vaksin Covid19 termasuk terhadap keamanan (safety), mutu (quality), dan khasiat (efficacy)/imunogenisitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 11A Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Hal ini berarti pemerintah telah memutus hubungan antara “Konsumen ” dengan “Produsen vaksin (pelaku usaha)” , yang kemudian beralih hubungan antara “Konsumen ” dengan “Pemerintah” .

Padahal pada prinsipnya, pengalihan tanggung jawab pelaku usaha telah dilarang dan tidak dibenarkan dalam UUPK. Sebab UUPK menganut prinsip product liability yakni tanggung jawab secara hukum oleh badan usaha yang menghasilkan produk tersebut, sehingga yang berkewajiban memberikan

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa seharusnya tetap berada ditangan pelaku usaha, berdasarkan Pasal 7 huruf f UUPK.

Selanjutnya guna tetap menjaga hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, pemerintah mengeluarkan ketentuan pemberian kompensasi atas kasus kecacatan atau meninggal yang diakibatkan vaksinasi Covid19, yang diatur dalam Pasal 15B Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020. Pertama, bahwa pemerintah akan memberikan kompensasi jika ditemukan adanya kecacatan atau kematian yang terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin Covid-19. Kedua, kompensasi berupa santunan cacat atau santunan kematian; Ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran untuk kompensasi ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Selain ketentuan dasar pemberian kompensasi di atas, ketentuan perihal pelaksanaan atau mekanisme pemberian kompensasi belum diatur secara terperinci. Hal ini dipandang kurang menjamin kepastian hukum bagi konsumen, mengingat bahwa pada prinsipnya “ perlindungan konsumen bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi” . Sehingga banyak masyarakat atau konsumen yang mengalami efek samping setelah vaksinasi tidak memperoleh kompensasi sebagaimana dimaksud, dikarenakan tidak mengetahui proses dan mekenisme pengajuannya.

Selanjutnya apabila terdapat vaksin palsu, ataupun terdapat kesalahan atau kelalaian pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan vaksinasi, pemerintah juga bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UndangUndang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU kesehatan), yaitu atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Konsumen yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi mengacu pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Kesehatan: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen ataupun masyarakat apabila tidak mendapatkan perlindungan hukum setelah pelaksanaan vaksinasi yaitu dengan mengajukan gugatan perdata melalui tiga bentuk yakni: gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. [Ed.]

Sumber: Artem Podrez dari Pexels

This article is from: