3 minute read

oleh Amalia Zulfa Pritasari

Next Article
di Indonesia

di Indonesia

MENILIK EFEKTIVITAS UU PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Amalia Zulfa Pritasari

Advertisement

Redaksi Legal Talk Society (LTS)

“Adanya opsi menggunakan jalur litigasi dan non-litigasi dapat dianggap sebagai solusi yang ditawarkan pemerintah jika terjadi pelanggaran hak atau kerugian yang secara internal tidak dapat diselesaikan secara internal oleh pelaku usaha dan konsumen.

Urgensi perlindungan konsumen mulai banyak diperbincangkan di kalangan publik dan mendapat perhatian dari masyarakat. Salah satunya adalah kasus yang terjadi pada Genny Grattiani yang melalui kuasa hukumnya mengadukan pengembang perumahan elit, Rolling Hills di KJIE (Karawang Jabar Industrial Estate) ke Polda Jabar atas dugaan pelanggaran haknya sebagai konsumen. Pada Juli 2020, Genny melakukan pembayaran pertama atas dua kavling rumah di kawasan elit tersebut dan pihak pengembang menjanjikan mulainya pembangunan rumah pada bulan Oktober. Namun, hingga 1,5 tahun dan Genny telah melunasi pembayaran hampir 80%, rumah tersebut belum juga dibangun. Selain itu, pengembang juga urung menunjukkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah diterbitkan oleh Pemkab Karawang. Sebelum mengadukan pada Polda Jabar, Genny telah mengajukan kasus ini pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Bandung. (Pojok Jabar, 25/09/2021)

Dalam rangka menciptakan siklus usaha yang sehat di Indonesia, pemerintah telah menjadikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai payung hukum perlindungan konsumen, dimana salah satu hal yang diatur adalah terkait dengan penyelesaian sengketa konsumen. Pada hakikatnya, UUPK tidak membatasi secara spesifik apa definisi dari sengketa konsumen. Namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001, sengketa konsumen didefinisikan sebagai sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.

Sengketa konsumen bisa terjadi karena adanya indikasi pelanggaran atas hak konsumen, misalnya kewajiban yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kembali pada kasus yang disebutkan di awal artikel ini, pihak pengembang tidak memenuhi hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai rumah yang dibeli oleh konsumen tersebut. Di sini juga terlihat bahwa pihak pelaku usaha tidak beritikad baik dalam memberikan kejelasan atau transparansi mengenai status izin perumahan pada pihak konsumen.

Konsumen yang dirugikan karena haknya tidak terpenuhi perlu mendapatkan perlindungan sesuai undang-undang. Perlindungan hukum pasca terjadinya sengketa sering kita sebut dengan perlindungan hukum represif. Dalam UUPK, perlindungan hukum represif tercantum dalam Bab X Pasal 45-48 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Undang-undang ini memberi kesempatan bagi konsumen yang dirugikan untuk dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atau melalui badan peradilan umum. Pada bab selanjutnya, UUPK mengatur tentang keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) yang menjadi lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Salah satu tugas dan wewenang dari BPSK adalah melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi.

Kedudukan BPSK sebagai pihak ketiga menjadi sangat strategis dan dibutuhkan mengingat hanya BPSK yang ditunjuk oleh UUPK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Jadi pada prinsipnya, UUPK menawarkan dua cara dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Jalur non-litigasi selalu digambarkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mekanismenya melibatkan pihak ketiga yang netral dan mengutamakan kesediaan dan kerja sama pihak pertama dan kedua, membuat jalur ini lebih banyak ditempuh daripada jalur litigasi.

Berkaca pada kasus yang dialami oleh Genny, ia dengan kuasa hukumnya sudah melakukan langkah yang tepat dan sistematis dalam menjalankan prosedur penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Dari kasus ini, kita juga dapat belajar bahwa penting untuk memahami hak dan kewajiban pihak konsumen maupun pelaku usaha yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintah serta lembaga terkait mempunyai tugas untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya perlindungan konsumen, khususnya pemahaman bahwa optimalisasi penanganan keluhan konsumen kepada pelaku usaha harus didahulukan untuk menghindari sengketa yang lebih besar di ranah hukum. Hal ini bisa menjadi upaya preventif supaya pelanggaran hak ataupun terjadinya kerugian terutama pada konsumen dapat dihindari. Jika keluhan konsumen tidak dapat diselesaikan langsung dengan pelaku usaha, maka timbul sengketa antara kedua belah pihak. Sebagai lembaga yang lahir karena adanya UUPK, BPSK selayaknya menjadi gerbang utama yang berintegritas dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Apabila dengan jalur non-litigasi sengketa belum terselesaikan, maka langkah terakhirnya adalah membawa sengketa tersebut pada jalur litigasi.

Menurut penulis, UUPK sudah cukup baik mengatur mekanisme penyelesaian sengketa konsumen. Adanya opsi menggunakan jalur litigasi dan non-litigasi dapat dianggap sebagai solusi yang ditawarkan pemerintah jika terjadi pelanggaran hak atau kerugian yang secara internal tidak dapat diselesaikan oleh pelaku usaha dan konsumen. Lembaga penyelesaian sengketa, contohnya BPSK dalam tulisan ini, sebagai pihak ketiga berperan dalam membantu konsumen dan pelaku usaha untuk menyamakan prinsip mengenai hak dan kewajiban masing-masing, berpedoman pada asas dan tujuan UUPK. Hal ini penting agar sengketa dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. [Ed.]

Sumber: Janco Ferlic dari Pexels

This article is from: