3 minute read

oleh Ronaldo Dwi Putro

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU USAHA SMARTPHONE BLACK MARKET DI E-COMMERCE

Ronaldo Dwi Putro

Advertisement

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

“BPSK mempunyai kewenangan untuk memanggil pelaku usaha dan melakukan penyelesaian berdasarkan kesepakatan para pihak apakah mau melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Seperti yang diketahui bahwa badan ini dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya yang cenderung murah.

Putusan Mahkamah Agung No.527 K/Pdt/2006 menyebutkan istilah black market sebagai sebuah aktivitas perdagangan ilegal. Black market atau pasar gelap menjadi “ alternatif” bagi masyarakat untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan. Alasan utama barang black market diminati karena harganya yang lebih murah meskipun memiliki risiko yang tinggi. Adanya barang black market melanggar hak konsumen yang seharusnya mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang telah dibeli sesuai dengan Pasal 4 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Pada 18 April 2020 diberlakukan di Indonesia aturan International Mobile Equipment Identity (IMEI) bertujuan sebagai senjata untuk memerangi peredaran smartphone black market yang merugikan konsumen dan negara. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan peredaran smartphone black market mencapai 9 sampai 10 juta unit dan berpotensi merugikan negara sebesar 2,81 triliun rupiah pertahun. Berlakunya aturan ini membuat smartphone berkode IMEI yang masuk daftar hitam di Indonesia akan diblokir oleh perangkat Equipment Identity Register (EIR) sesuai Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2020.

Dalam konteks hukum, dikenal istilah “ point d’interet, point d’ action ” atau “tiada kepentingan, maka tidak ada aksi" yang menggambarkan gugatan diajukan untuk mempertahankan hak yang dilanggar. Dalam istilah yuridis, pada Pasal 1 angka 2 UUPK mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Sementara, pelaku usaha sebagai pihak yang menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UUPK. Konsumen mendapatkan perlindungan hukum ketika memperoleh barang atau jasa dengan cara membeli dan terikat dalam suatu perjanjian jual-beli dengan pelaku usaha.

Transaksi antara konsumen dan pelaku usaha melalui e-commerce sering membuat konsumen mengalami kerugian, sebab hanya dapat melihat barang yang hendak dibeli melalui gambar yang telah disediakan oleh penjual. Seperti yang dialami oleh Faisal, smartphone yang dibeli ternyata merupakan barang ilegal sebab nomor IMEI perangkatnya tidak terdaftar di Indonesia. Faisal tidak mengetahui hal tersebut sebab pelaku usaha mencantumkan bahwa IMEI smartphone yang dibeli sudah terdaftar di Indonesia. Oleh karena itu, Faisal sebagai konsumen dirugikan akibat ulah pelaku usaha tersebut. Peristiwa hukum yang terjadi pada Faisal dan pelaku usaha disebut sebagai sengketa konsumen sebab sengketa terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen akibat mengkonsumsi barang sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

Berdasarkan kasus yang dialami Faisal, salah satu haknya sebagai konsumen dalam Pasal 4 angka 3 UUPK dilanggar oleh pelaku usaha ini, yaitu mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai smartphone yang ia beli, sebagaimana kewajiban dari pelaku usaha. Pelaku usaha tersebut juga telah melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK yaitu memperdagangkan smartphone yang tidak sesuai standar yang dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengacu Pasal 45 ayat 1 dan 2 UUPK penyelesaian sengketa konsumen terbagi dalam dua jalur yaitu penyelesaian melalui litigasi dan non-litigasi. Litigasi yaitu dengan menggugat pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum sedangkan non-litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Kewenangan BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf a UUPK yaitu melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf a UUPK maka Faisal dapat mengajukan sengketa konsumen ke BPSK. BPSK mempunyai kewenangan untuk memanggil pelaku usaha dan melakukan penyelesaian berdasarkan kesepakatan para pihak apakah mau melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Seperti yang diketahui bahwa badan ini dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya yang cenderung murah. Setelah diadakan sidang maka selambat-lambatnya 21 hari kerja majelis menjatuhkan putusan yang bersifat final dan memiliki kekuatan hukum mengikat sesuai yang tercantum dalam Pasal 54 ayat (3) UUPK dan Pasal 42 ayat (1) Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

Jika terbukti melanggar UUPK maka BPSK berwenang memberikan sanksi kepada pelaku usaha tersebut. Sanksi yang diberikan yaitu sanksi perdata berupa ganti rugi atas kerugian konsumen akibat menggunakan smartphone tersebut (product liability), berupa mengembalikan sejumlah uang yang dikeluarkan atau mengganti smartphone sejenis atau setara nilainya, sesuai Pasal 19 ayat 1 dan 2 UUPK. BPSK juga berwenang menetapkan ganti rugi paling banyak sejumlah Rp 200.000.000,00 sebagai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 60 ayat 1 dan 2 UUPK apabila pelaku usaha melanggar Pasal 19 ayat 2 UUPK.

Pemberian seluruh ganti rugi di atas tidak menghapuskan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Mengacu pada Pasal 62 ayat 1 UUPK maka sanksi pidana yang dapat diberikan yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00. [Ed.]

Sumber: Felipe Paes dari Pexels

This article is from: