6 minute read

di Indonesia

HAK-HAK KONSUMEN: REGULASI DAN JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM DI INDONESIA

Pada Kamis, 22 Juli 2021 pukul 10.00 WIB, Legal Talk Society mengadakan sesi pertama 'Seri Bincang-Bincang Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen’ bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit(GIZ) GmbH. Narasumber pada sesi pertama ini yaitu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li (Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) dan Dr. David M. L. Tobing, S.H., M.Kn (Praktisi Hukum Perlindungan Konsumen, Partner ADAMS & Co). Diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui kanal YouTube Legal Talk Society.

Advertisement

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur mengenai upaya negara dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, mulai dari hak dan kewajiban para konsumen maupun pelaku usaha, sampai dengan penyelesaian sengketa. Perlindungan konsumen di Indonesia dijamin juga dengan adanya lembaga-lembaga seperti: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Kementerian Perdagangan dalam pengembangan kebijakan dan pengawasan perlindungan konsumen; Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penanganan sengketa konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan; serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam menyuarakan kepentingan serta memberdayakan konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik regulasi maupun perangkatnya sudah ada, namun pada implementasinya, kesadaran masyarakat sebagai konsumen untuk memahami dan mencermati hak-haknya masih kurang, begitu pun mengenai mekanisme perlindungan konsumen menurut hukum di Indonesia. Kesadaran yang masih minim tersebut seringkali menimbulkan permasalahan.

Jaminan Perlindungan Konsumen dalam UUPK

UUPK secara rinci telah menjamin keamanan dan keselamatan konsumen, misalnya dengan hak atas informasi yang benar dan jujur. Konsumen juga mendapat kepastian hukum saat bertransaksi, yaitu hak untuk mendapatkan ganti rugi jika barang/jasa yang dibeli tidak sesuai. Selain itu, konsumen juga memiliki kewajiban, seperti yang disebutkan di Pasal 5 UUPK, misalnya untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa. Konsumen dapat lebih meningkatkan kesadaran dan literasi terkait hukum perlindungan konsumen di Indonesia serta melakukan pengecekan ulang sebelum membeli.

Di samping hak dan kewajiban konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam UUPK, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha. Pelaku usaha wajib memiliki perizinan umum terkait badan usahanya dan perizinan khusus terkait praktik usahanya. Selain itu, pelaku usaha juga wajib mendaftarkan atau melaporkan produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. UUPK juga melarang perilaku pelaku usaha sebagai berikut: (1) informasi dan iklan yang menyesatkan atau tidak sesuai produk aslinya; (2) penolakan pemberian ganti rugi; (3) pencantuman klausula eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha ke konsumen; dan lain-lain. Masing-masing konsumen dan pelaku usaha telah memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap harus ada itikad baik dalam melakukan jual beli atau aktivitas lainnya untuk menghindari terjadinya sengketa.

UUPK telah mengakomodasi banyak hal, akan tetapi saat ini perlu dilakukan pembaruan terutama terkait pengaturan terhadap platform digital, mengingat pesatnya

perkembangan e-commerce dan financial technology. Perkembangan transaksi online juga memunculkan model-model bisnis serta aktor-aktor baru dalam proses jual beli, misalnya dengan adanya influencer yang memberikan testimoni produk, yang terkadang tidak sepenuhnya jujur dan dapat menyesatkan konsumen. Selain isu aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal, salah satu tren lain yang perlu disoroti adalah penjualan kosmetik melalui share in jar (pengeceran kosmetik) tanpa izin BPOM. Walaupun digemari konsumen, penjualan produk melalui share in jar adalah melalui kemasan yang baru yang tidak memiliki izin edar, serta keaslian produk dapat dipertanyakan. Hal ini juga belum diatur lebih lanjut dalam UUPK.

Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa menurut UUPK bisa dilakukan melalui pengadilan atau luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu melalui BPSK, dilakukan dengan cara mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Pasal 54 UUPK menjelaskan bahwa hasil putusan dari BPSK terkait penyelesaian sengketa bersifat final dan mengikat. Namun terdapat inkonsistensi pada sifat hasil putusan dari BPSK tersebut, dimana dalam Pasal 56 menjelaskan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah menerima hasil penyelesaian. Oleh karena itu, diberlakukan PERMA No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, yang mengatur bahwa untuk putusan BPSK yang akan diajukan banding dapat mengikuti ketentuan dalam PERMA tersebut. Namun mengingat bahwa tidak semua konsumen dapat mengeluarkan biaya yang banyak untuk pengajuan proses banding, maka BPKN mengusulkan untuk merevisi PERMA No. 1 Tahun 2006 agar putusan Pengadilan tentang pemeriksaan keberatan terhadap putusan BPSK dengan tuntutan material di bawah Rp. 200 juta bersifat final dan mengikat.

Sumber: Pixabay

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan lebih lanjut diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Gugatan Sederhana. PERMA tersebut mengatur mengenai penyelesaian perkara sederhana dan cepat dimana hanya sampai tingkat keberatan di Pengadilan Negeri tanpa upaya hukum kasasi. Terdapat satu ketentuan dalam PERMA No. 2 Tahun 2015 yang mengatur mengenai syarat Penggugat dan Tergugat harus berwilayah hukum yang sama. Ketentuan tersebut membatasi konsumen untuk mengajukan gugatan sederhana, karena berdasarkan UUPK, konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan di wilayah hukum konsumen. Menyikapi hal tersebut, PERMA No. 2 Tahun 2015 dilakukan revisi menjadi PERMA No. 4 Tahun 2019 dengan perubahan pengaturan khusus untuk sengketa gugatan konsumen. Dalam PERMA No. 4 tahun 2019 terdapat beberapa perubahanperubahan yang berfokus pada hukum acara yang cepat, berbiaya ringan dan mengutamakan kemudahan bagi konsumen, yaitu: (1) nilai gugatan material maksimum berubah dari Rp. 200 juta menjadi Rp. 500 juta; (2) konsumen dapat mengajukan gugatan kepada tergugat dengan wilayah hukum yang berbeda, dimana konsumen sebagai penggugat dapat menunjuk kuasa hukum yang berada di wilayah hukum tergugat; (3) adanya teguran (aanmaning) dan sita jaminan untuk menjamin efektivitas; (4) segala prosedur administrasi dan persidangan dilakukan secara elektronik melalui Sistem Administrasi dan Persidangan Secara Elektronik (SIPP). Lebih lanjut mengenai SIPP diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2019 mulai dari e-filing, e-payment, e-summons dan elitigation.

Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa konsumen seharusnya tidak membatasi upaya pelaku usaha untuk menanggapi dan menyelesaikan komplain konsumen secara internal. Semakin cepat komplain ditangani, terutama bila terjadi kelalaian dari pihak pelaku usaha, maka akan meminimalisasi terjadinya sengketa, juga waktu dan sumber daya untuk menanganinya melalui prosedur non-litigasi atau litigasi. Ini merupakan bagian dari upaya pelaku usaha dalam menjamin hak konsumen untuk didengarkan pendapat dan keluhannya. [Ed.]

Sumber: Wallace Chuck dari Pexels

Sumber: Pixabay

Markas Pinjaman Online Ilegal Digerebek Polres Jakarta Pusat

(CNN Indonesia – 14 Oktober 2021)

Polres Metro Jakarta Pusat menangkap 56 karyawan yang tengah beraktivitas dalam sebuah kantor pinjaman online (pinjol) ilegal di suatu ruko di bilangan Jakarta Barat. Karyawan-karyawan tersebut bertugas dalam bagian penawaran hingga penagihan. Penggerebekan dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat yang diselidiki lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Dalam kasus ini, pelaku dapat dijerat sanksi berdasarkan UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen.

Sumber:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/2021 1014110002-12-707654/puluhan-penagih-pinjoldigerebek-saat-beraksi-di-meja-kerja

Sumber: Tom Fisk dari Pexels

Mayoritas Penduduk Muslim, Indonesia Duduki Peringkat Satu Pasar Konsumen Halal Dunia

(Antara News – 14 Oktober 2021)

Wakil Ketua Komisi Kerja sama dan Kelembagaan BPKN, Ermanto Fahamsyah menyatakan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan konsumen halal terbesar di dunia. Ia menambahkan, besar jumlah konsumsi masyarakat muslim bahkan mampu mencapai 144 Miliar Dolar AS. Berdasarkan bukti tersebut, Indonesia juga telah mampu menduduki peringkat empat dalam indikator Ekonomi Islam Global pada tahun 2020 hingga 2021. Selain Ermanto, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan bahwa sekitar 87,2% mayoritas muslim akan membutuhkan produk halal, baik diminta ataupun tidak. Hal ini akan mendorong pihak penawar barang ataupun jasa untuk melakukan sertifikasi halal yang perlu diawasi implementasinya di lapangan.

Sumber:

https://www.antaranews.com/berita/2459125/ bpkn-sebut-indonesia-duduki-peringkat-satupasar-konsumen-halal-dunia

This article is from: