6 minute read

Layanan E-commerce: Problematika Transaksi dan Perlindungan Konsumen

Pada Rabu, 22 September 2021 pukul 10.00 WIB, Legal Talk Society mengadakan sesi ketiga 'Seri Bincang-Bincang Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen’ bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH. Narasumber pada sesi ketiga ini yaitu Dr. Henny Marlyna, S.H., M.H., M.L.I. (Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Indonesia), dan Tulus Abadi, S.H. (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)). Diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui kanal YouTube Legal Talk Society.

Perkembangan teknologi yang pesat menjadikan perilaku konsumsi masyarakat terhadap suatu barang dan/atau jasa mulai beralih pada transaksi melalui perangkat dan prosedur elektronik. Transaksi di e-commerce berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebanyak 215 juta masyarakat Indonesia sudah bisa mengakses internet, 70 persen darinya memiliki smartphone. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan akan semakin banyak masyarakat yang bertransaksi melalui ecommerce di Indonesia. Presiden RI Joko Widodo memperkirakan bahwa pada 2025, Indonesia akan mendapatkan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) dari ekonomi digital sekitar Rp 1,8 kuadriliun.

Advertisement

Risiko Berbelanja via E-commerce

Berbelanja melalui e-commerce dinilai memiliki baik keuntungan maupun risiko yang dihadapi oleh konsumen. Keuntungan yang diperoleh konsumen, contohnya adalah akses mendunia, pilihan yang lebih variatif, dan banyaknya tawaran diskon/promosi dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, terdapat juga risiko yang dihadapi konsumen dalam transaksi e-commerce. Beberapa contoh permasalahan yang seringkali ditemui adalah (1) informasi atau iklan yang tidak benar, (2) produk yang tidak aman, (3) barang tidak diterima, (4) barang diterima namun tidak sesuai dengan yang dipesan atau dalam keadaan rusak, (5) metode pembayaran yang tidak aman, (6) penyalahgunaan atau bocornya data pribadi konsumen, serta (7) ketidakjelasan pilihan dan forum penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen. Ditambah lagi, masyarakat Indonesia masih dinilai belum berdaya penuh untuk memperjuangkan haknya sebagai konsumen (berdasarkan Indeks Keberdayaan Konsumen/IKK), juga belum memiliki literasi digital yang cukup (berdasarkan Indeks Literasi Digital).

Instrumen Hukum Perlindungan Konsumen Pada Transaksi E-Commerce

Transaksi melalui e-commerce salah satunya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE). Berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP PMSE tersebut, transaksi melalui e-commerce merupakan perdagangan yang dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Selain PP PMSE yang mengatur transaksi ecommerce secara spesifik, terdapat pula UU Perlindungan Konsumen sebagai payung hukum perlindungan konsumen di Indonesia yang mengatur hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha secara umum. Berhubung banyaknya produk yang diperjualbelikan serta jasa yang ditawarkan melalui e-commerce, terdapat juga beberapa peraturan sektoral yang perlu diperhatikan dalam upaya perlindungan konsumen dan penegakan hukum. Sebagai contoh, dalam penjualan produk kesehatan, penjual online serta platform perlu mengacu pada UU Kesehatan. Untuk jasa keuangan, terdapat UU Otoritas Jasa Keuangan serta beberapa Peraturan OJK (POJK) tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Demikian juga untuk perlindungan data pribadi, terdapat

UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta PP terkait Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.

Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen umumnya dapat dilakukan melalui pengadilan atau badan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan didasarkan pada hukum acara yang berlaku. Penyelesaian melalui pengadilan juga dapat diajukan dengan pilihan berbagai macam gugatan, mulai dari gugatan perorangan, gugatan sederhana, hingga gugatan class action (gugatan kolektif yang pengajuannya diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat/LPKSM atau instansi terkait).

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan, contohnya melalui (1) mekanisme internal antara konsumen langsung dengan pelaku usaha, atau (2) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase, atau (3) melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) khusus untuk sengketa konsumen terkait jasa keuangan. PP PMSE khususnya di Pasal 72-75 mengatur secara spesifik mengenai penyelesaian sengketa konsumen melalui e-commerce. Para pihak yang bersengketa diperbolehkan memilih baik jalur pengadilan maupun mekanisme penyelesaian sengketa lainnya, sesuai yang disebutkan di atas, termasuk opsi penyelesaian sengketa secara daring (online dispute resolution atau ODR). Adanya ODR akan memudahkan penyelesaian sengketa karena tidak mengharuskan pihak konsumen dan pelaku usaha untuk hadir di tempat yang sama, terutama mengingat karakteristik ecommerce yang lintas batas.

Berkaitan dengan transaksi lintas batas, dalam konteks PMSE internasional (keberadaan salah satu pihak di luar Indonesia), para pihak yang bersengketa diperbolehkan memilih hukum yang berlaku untuk proses penyelesaiannya. Jika tidak melakukan pilihan, maka Hukum Perdata Internasional yang berlaku dalam penyelesaian sengketa tersebut. Lembaga pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa PMSE internasional di Indonesia hanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini berpotensi untuk merugikan konsumen yang berdomisili di luar Jakarta. Namun terdapat juga alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase atau badan di luar pengadilan lainnya. [Ed.]

Sumber: Kin Li dari Unsplash

Apa yang Harus Diperbaiki Berkaitan dengan E-Commerce di Indonesia?

Makin banyaknya konsumen yang bertransaksi via e-commerce, maka kemungkinannya terpapar risiko-risiko yang disebutkan sebelumnya juga semakin besar. Maka itu, terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan untuk menjaga keamanan transaksi e-commerce di Indonesia.

Pertama, diperlukan pemberdayaan konsumen agar lebih cerdas dan teliti saat berbelanja melalui e-commerce. Konsumen perlu dibiasakan untuk membaca setiap informasi mengenai produk dengan cermat, serta lebih selektif dalam memilih pelaku usaha (memastikan legalitas penjual maupun platform) serta dalam memberikan data pribadi saat bertransaksi.

Kedua, pelaku usaha, baik dari pihak penjual maupun platform e-commerce, perlu didorong untuk melakukan tanggung jawab serta kewajibannya sesuai hukum yang berlaku serta beriktikad baik di semua tahapan transaksi dengan konsumen. Ketiga, pemerintah juga berperan penting dalam upaya perlindungan konsumen di ecommerce. Khususnya mengenai penyelesaian sengketa, terdapat urgensi untuk mewujudkan mekanisme ODR yang komprehensif dan efektif. Kemudian, pemerintah juga diharapkan semakin gencar untuk melakukan upaya preventif dan represif dalam perlindungan hukum konsumen pada transaksi e-commerce. Upaya yang dimaksud mulai dari melakukan perubahan UU Perlindungan Konsumen agar relevan cakupannya dalam era ekonomi digital, serta untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Terkait upaya preventif, pemerintah juga diharapkan untuk dapat menjalankan program-program pemberdayaan konsumen agar dapat lebih aktif memperjuangkan haknya, serta meningkatkan kemampuan/literasi digital masyarakat agar lebih banyak mendapatkan manfaat dari perkembangan digital dan jauh dari risikorisikonya, termasuk saat berbelanja melalui ecommerce. [Ed.]

Sumber: Negative Space dari Pexels

Sumber: Marc Mueller dari Pexels Sumber: Dhyamis Kleber dari Pexels

6.815 Aduan Konsumen di BPKN, Sengketa Perumahan Mendominasi

(Fakta Berita – 14 Oktober 2021)

Sejak tahun 2017 hingga 2021, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan telah menerima aduan dari masyarakat sebanyak 6.815 kasus. Laporan kasus terbanyak berasal dari sektor perumahan, yakni sejumlah 2.775 kasus. Namun, Wakil Ketua BPKN, Mufti Mubarok telah mengklaim bahwa sebagian besar konsumen yang mengadu telah terpulihkan haknya. Menurutnya, dengan banyaknya laporan yang masuk mengenai sengketa perumahan, BPKN terus memastikan bahwa penyeleaian sengketa jual beli perumahan dan tanah diselenggarakan dengan baik dan pelayanan akan diorientasikan pada kepentingan konsumen.

Sumber:

https://www.faktaberita.co.id/bpkn-terima6-815-aduan-konsumen-mayoritas-sengketaperumahan/

Perlunya Transformasi Koperasi dan UMKM 5.0

(DetikNews – 14 Oktober 2021)

Pandemi Covid-19 berdampak sangat signifikan terhadap penurunan perekonomian nasional maupun global. Lain halnya dengan Indonesia, dimana koperasi dan Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) menjadi jawaban masih kokohnya kondisi perekonomian negara meski sempat goyang di masa pandemi Covid-19. Sayangnya, seiring makin mutakhirnya teknologi serta cepatnya persebaran informasi dalam era digital, koperasi justru kian melemah. Pergerakannya lambat bahkan terkesan stagnan, sangat kontras dengan perkembangan lembaga keuangan non-bank seperti financial technology (fintech), khususnya layanan peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol). Hingga saat ini, belum terdengar gagasan besar, langkah inovatif atau inovasi luar biasa dari instrumen negara yang mengurusi bidang koperasi, untuk menyelamatkan soko guru ekonomi Indonesia yang mulai ditinggalkan masyarakat setelah beralih pada pinjol dan layanan keuangan alternatif lainnya yang lebih inovatif.

Sumber:

https://news.detik.com/kolom/d5766652/perlunya-transformasi-koperasi-danumkm-50/1

This article is from: