Buletin LegalTalk

Page 24

B U L E T I N H U K U M --EDISISPESIALEDISISPESIALHUKUMPERLINDUNGANKONSUMEN HUKUMPERLINDUNGANKONSUMEN Vol. 2 No. 11, V2021 ol. 2 No. 11, 2021 OKTOBER OKTOBER 2021 2021 ISSN 2797 9792 Perlindungan Data Pribadi Konsumen dalam RUU ASEAN Agreement on Electronic Commerce (AAEC) OPINI Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi RESENSI BUKU Seri Bincang-Bincang LTS Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen di Kanal Youtube "Legal Talk Society" Perlindungan Hukum E-Commerce Perlindungan Konsumen atas Efek Samping Vaksin COVID-19

PENGANTAR REDAKSI Para pembaca Buletin LegalTalk, kali ini LTS menerbitkan Buletin Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen (Volume 2 Nomor 11, Oktober 2021) yang didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui proyek ASEAN Jerman PROTECT. Buletin LegalTalk Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen ini memuat artikel artikel dalam rubrik opini. Masing masing artikel opini ini membahas beberapa persoalan hukum perlindungan konsumen yang saat saat ini membutuhkan perhatian lebih besar dari pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya Dalam edisi ini juga dimuat dua resensi buku. Buku pertama adalah buku yang disunting oleh Prof. Dr. Johannes Gunawan, S.H., LL.M dan Prof. Dr. Bernadette M. Waluyo, S.H.,M.H.,CN dengan judul “Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi” sedangkan buku kedua adalah buku karya Dian Mega Erianti Renouw dengan judul “Perlindungan Hukum E commerce: Perlindungan Hukum Pelaku Usaha & Konsumen E Commerce di Indonesia, Singapura, dan Australia”. Selain itu, Buletin LegalTalk edisi ini juga memuat memuat kompilasi persoalan hukum yang terjadi selama satu pekan terakhir dalam rubrik LTS Highlight Tim Redaksi Buletin LegalTalk mengucapkan terima kasih kepada para penulis dan tentu pembaca setia Buletin LegalTalk. Kami berharap dapat terus berkontribusi dalam menyebarluaskan gagasan, pandangan keilmuan, ataupun kritik dan saran terhadap persoalan hukum di masyarakat Semoga tulisan tulisan yang termuat dalam Buletin LegalTalk Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen kali ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sekalian Terima kasih dan selamat membaca Salam Penanggung Jawab Petrus Richard Sianturi Redaksi Nur Rahmadayana Siregar Thogu Ahmad Siregar Rafella Winarta Amalia Zulfa Pritasari Desain & Tata Letak Thogu Ahmad Siregar Media Sosial Thogu Ahmad Siregar Email Redaksi legaltalksociety@gmail.com Ketentuan Penulisan Maksimal 2 halaman A4, Spasi 115, Cambria, 12 pt Sertakan foto dan biografi singkat. Artikel yang tidak sesuai ketentuan otomatis tidak dimuat. Redaksi akan menyunting artikel yang dimuat tanpa mengubah substansi. Isi tulisan merupakan tanggung-jawab penulis. ISSN 2797-9792 Tentang Sampul: Sumber: Cottonbro dari Pexels Diterbitkan oleh Penerbit Baca Tulis Indonesia Isi di luar tanggung jawab penerbit

PENGANTAR REDAKSI OPINI Perlindungan Data Pribadi Konsumen dalam RUU ASEAN Agreementon Electronic Commerce (AAEC) oleh Muhammad Ihzal Rifaya..........3 Perlindungan Konsumen atas Efek Samping Vaksin COVID-19 oleh Kholilur Rahman..........6 Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Smartphone Black Market di E-commerce oleh Ronaldo Dwi Putro..........8 Menilik Efektivitas UU Perlindungan Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh Amalia Zulfa Pritasari..........10 Langkah Hukum dalam Kondisi Dana Nasabah Bank yang Hilang oleh Rizky Karo Karo..........12 BINCANG-BINCANG LTS Hak-Hak Konsumen: Regulasi dan Jaminan Perlindungan Hukum di Indonesia..........16 Transaksi di Media Sosial: Risiko dan Perlindungan Data Konsumen..........20 Layanan E commerce: Problematika Transaksi dan Perlindungan Konsumen..........23 RESENSI BUKU Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi oleh Nur Rahmadayana Siregar..........27 Perlindungan Hukum E-Commerce oleh Rafaella Winarta..........29 2 ISSN 2797-9792 Vol. 2 No. 11, 2021 Oktober, 2021

Perlindungan hukum bagi konsumen adalah suatu persoalan besar khususnya dalam persaingan global yang terus berkembang. Perlindungan hukum sangat dibutuhkan dalam persaingan dan banyaknya produk serta layanan konsumen Melalui Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau ASEAN Agreement on Electronic Commerce (AAEC) yang berada di bawah pilar peningkatan konektivitas dan kerjasama sektoral Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2025. MEA ingin mentransformasikan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang kompetitif, dan terintegrasi dengan ekonomi global, serta menjadi kawasan dengan tingkat pembangunan ekonomi yang meratadan berkurangnya kesenjangan sosial tanpa mengesampingkan perlindungan data pribadi konsumen. Berangkat dari hal tersebut, tepatnya pada tangal 7 September 2021 dalam rapat Pembicaraan Tingkat I Komisi VI DPR RI dan Pemerintah sepakat untuk menyetujui RUU AAEC, untuk sejalanjutnya dibahas pada Pembicaraan Tingkat II dalam rangka Pengambilan Keputusan pada Rapat Paripurna DRP RI untuk disahkan menjadi undang undang. PMSE merupakan bagian dari ekonomi digital yang telah berkembang sangat pesat dan menjadi elemen penting dalam perkembangan perekonomian global saat ini. Implementasi RUU AAEC diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk membantu Indonesia dalam mendorong pemulihan ekonomi pasca Covid 19. Hal itu dapat diwujudkan lewat peningkatan nilai perdagangan barang dan jasa melalui pemanfataan PMSE bagi peningkatan daya saing pelaku usaha dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), untuk dapat berpartisipasi dalam rantai nilai global Namun, kenyataanya masih marak kasus pembobolan data pribadi konsumen dalam platform e commerce di Indonesia. Menurut Databoks (2021), sekitar 152 juta data konsumen bocor dalam e commerce dalam periode dua tahun terakhir, di antaranya Tokopedia, Bhineka, dan Bukalapak. Persetujuan ASEAN tentang PMSE juga mengatur mengenai perlindungan terhadap konsumen daring yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) AAEC tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Negara negara anggota wajib memberikan perlindungan kepada konsumen daring setara dengan perlindungan konsumen dalam bentuk perdagangan lainnya. Di Indonesia sudah ada pengaturan yang perlindungan kepada bentuk

memberikan

konsumen dalam

perdagangan konvensional maupun PMSE. Pengaturan tersebut diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) 3 PERLINDUNGAN DATA PRIBADI KONSUMEN DALAM RUU ASEAN AGREEMENT ON ELECTRONIC COMMERCE (AAEC) Muhammad Ihzal Rifaya Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga “RUU tentang persetujuan tentang ASEAN Agreement on Electronic Commerce ini berkaitan dengan transaksi perdagangan antar-wilayah ASEAN melalui sistem elektronik, sehingga penting bagi pemerintah untuk memperhatikan pelindungan terhadap data pribadi khususnya dalam konteks transaksi daring yang dilakukan para konsumen.”

diperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen jo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Fakta yang terjadi, masih terdapat permasalahan yang sering dialami konsumen e commerce walaupun di dalam UU Perlindungan Konsumen sudah diundangkan, diantaranya informasi yang tidak benar/jelas, iklan yang meyesatkan, barang tidak diterima atau diterima tetapi tidak sesuaipesanan, barang diterima dalam keadaan rusak dan pengiriman yang lama, risiko penipuan akibat akun penjual dan ulasan palsu, risiko bocornya data pribadi konsumen Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online, ternyata pelaku dapat dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 28 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Faktanya, UU ITE ini tidak hanya berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah Indonesia melainkan juga bisa di luar wilayah hukum Indonesia yang disebutkan dalam pasal 2 UU ITE, yaitu bahwa “undang undang ini

merugikan kepentingan Indonesia” Perlu diketahui, undang undang yang satu dengan yang lain akan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan seperti UU Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan UU ITE maupun KUHP Hal ini bertujuan agar tercapai suatu sistem yang komprehensif dan menciptakan kepastian hukum. Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronik memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli. Jadi, ada baiknya kita lebih selektif dalam melakukan transaksi secara online dengan mengedepankan aspek keamanan dalam bertransaksi. Dapat disimpulkan bahwa, RUU tentang persetujuan tentang ASEAN Agreement on Sumber: Joshua Sortino dari Unsplash

Gudang Shopee Express Terbakar, Jubir Shopee Pastikan Barang Pelanggan Aman (Kompas com 7 Oktober 2021) Beredar video gedung Shopee Express yang terbakar pada Rabu, 6 Oktober 2021. Video tersebut dibenarkan oleh Juru Bicara Shopee saat dikonfirmasi pada keesokan harinya. Juru Bicara tersebut menyatakan, barang barang konsumen juga berhasil diselamatkan dan dalam keadaan aman. Pihak Shopee juga memastikan, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran di gudang Shopee Express Penjaringan dan proses pengiriman pesanan barang juga dipastikan tidak terganggu Sumber: https://kompas com/tren/read/2021/10/07/1129 00865/viral video gudang shopee express terbakar barang konsumen dipastikan aman Trip.com Dapat Somasi Setelah Tak Beri Kepastian Tentang Pengembalian Dana Konsumen (Tempo 24 September 2021) LBH Konsumen Jakarta selaku Kuasa Hukum dari Rahmat Ridwan melayangkan surat somasi terhadap situs Trip.com September lalu. Direktur Eksekutif LBH Konsumen Jakarta Zentoni menerangkan bahwa surat somasi ini dilayangkan terhadap situs Trip.com karena tidak ada kepastian pengembalian uang atas pemesanan dua kamar di Swiss Belresort Dago Heritage Bandung dengan No. Pemesanan 14647424194 atas nama Rani Aprilani untuk menginap pada tanggal 29 30 Mei 2021 Kasus ini diawali dengan pembatalan sepihak terkait booking yang diajukan Rani yang membuatnya mengalami kerugian sebanyak Rp 1 832 217 Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1509919/tidakada kepastian pengembalian duit trip com dapat somasi Sumber: Angela Roma dari Pexels Sumber: Moein Meradi dari Pexels 5

SAMPING VAKSIN

6 PERLINDUNGAN KONSUMEN

melalui

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal pertengahan bulan Maret 2020, menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) sebagai pandemi global. Bahkan di Indonesia, Covid 19 ditetapkan sebagai bencana non alam nasional. Indonesia telah memulai pelaksanaan program vaksinasi guna mengendalikan dan menanggulangi pertambahan Covid 19 dengan mengeluarkan ketentuan wajib vaksin melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid 19 Pasca dikeluarkannya ketentuan wajib vaksinasi tersebut, pelaksanaannya ramai diperbincangkan oleh masyarakat luas, terutama mengenai persoalan efek samping atau ampak dari vaksin itu sendiri. Dalam perspektif hukum, apabila dianalis dari perlindungan konsumen, masyarakat mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi Begitu pun apabila konsumen mengalami efek samping vaksin Covid 19, misalnya menimbulkan kecacatan, kematian atau penderitaan lain yang dialami konsumen setelah mengikuti vaksinasi. Demikian muncul pertanyaan: apabila terdapat efek samping setelah vaksinasi siapa yang bertanggung jawab? Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen (selanjutnya ditulis UUPK) secara tegas disebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Selanjutnya setiap konsumen yang dirugikan, penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Meskipun UUPK telah mengatur secara rigid perihal cara penyelesaian sengketa konsumen, isu efek samping Vaksin Covid 19 ini menjadi menarik apabila ditinjau dari perspektif UUPK Hal ini dikarenakan pemerintah telah mengambil alih tanggung jawab Vaksin Covid 19 termasuk terhadap keamanan (safety), mutu (quality), dan khasiat (efficacy)/imunogenisitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 11A Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid 19 Hal ini berarti pemerintah telah memutus hubungan antara “Konsumen” dengan “Produsen vaksin (pelaku usaha)”, yang kemudian beralih hubungan antara “Konsumen” dengan “Pemerintah” Padahal pada prinsipnya, pengalihan tanggung jawab pelaku usaha telah dilarang dan tidak dibenarkan dalam UUPK. Sebab UUPK menganut prinsip product liability yakni tanggung jawab secara hukum oleh badan usaha yang menghasilkan produk tersebut, sehingga yang berkewajiban memberikan ATAS EFEK COVID-19 Kholilur Rahman Peneliti dan Pemerhati Hukum “Upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen ataupun masyarakat apabila tidak mendapatkan perlindungan hukum pasca pelaksanaan vaksinasi, maka dapat melakukan upaya hukum yaitu dengan mengajukan gugatan perdata tiga bentuk.”

Sumber: Artem Podrez dari Pexels

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa seharusnya tetap berada ditangan pelaku usaha, berdasarkan Pasal 7 huruf f UUPK. Selanjutnya guna tetap menjaga hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, pemerintah mengeluarkan ketentuan pemberian kompensasi atas kasus kecacatan atau meninggal yang diakibatkan vaksinasi Covid 19, yang diatur dalam Pasal 15B Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020. Pertama, bahwa pemerintah akan memberikan kompensasi jika ditemukan adanya kecacatan atau kematian yang terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin Covid 19. Kedua, kompensasi berupa santunan cacat atau santunan kematian; Ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran untuk kompensasi ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan Selain ketentuan dasar pemberian kompensasi di atas, ketentuan perihal pelaksanaan atau mekanisme pemberian kompensasi belum diatur secara terperinci. Hal ini dipandang kurang menjamin kepastian hukum bagi konsumen, mengingat bahwa pada prinsipnya “perlindungan konsumen bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Sehingga banyak masyarakat atau konsumen yang mengalami efek samping setelah vaksinasi tidak memperoleh kompensasi sebagaimana dimaksud, dikarenakan tidak mengetahui proses dan mekenisme pengajuannya. Selanjutnya apabila terdapat vaksin palsu, ataupun terdapat kesalahan atau kelalaian pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan vaksinasi, pemerintah juga bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU kesehatan), yaitu atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau. Konsumen yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi mengacu pada ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Kesehatan: Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya Upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen ataupun masyarakat apabila tidak mendapatkan perlindungan hukum setelah pelaksanaan vaksinasi yaitu dengan mengajukan gugatan perdata melalui tiga bentuk yakni: gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. [Ed.]

8 PERTANGGUNGJAWABAN

Putusan Mahkamah Agung No.527 K/Pdt/2006 menyebutkan istilah black market sebagai sebuah aktivitas perdagangan ilegal. Black market atau pasar gelap menjadi “alternatif” bagi masyarakat untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan Alasan utama barang black market diminati karena harganya yang lebih murah meskipun memiliki risiko yang tinggi Adanya barang black market melanggar hak konsumen yang seharusnya mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang telah dibeli sesuai dengan Pasal 4 angka 3 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada 18 April 2020 diberlakukan di Indonesia aturan International Mobile Equipment Identity (IMEI) bertujuan sebagai senjata untuk memerangi peredaran smartphone black market yang merugikan konsumen dan negara Data Kementerian Perindustrian menunjukkan peredaran smartphone black market mencapai 9 sampai 10 juta unit dan berpotensi merugikan negara sebesar 2,81 triliun rupiah pertahun. Berlakunya aturan ini membuat smartphone berkode IMEI yang masuk daftar hitam di Indonesia akan diblokir oleh perangkat Equipment Identity Register (EIR) sesuai Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2020. Dalam konteks hukum, dikenal istilah “point d’interet, point d’action” atau “tiada kepentingan, maka tidak ada aksi" yang menggambarkan gugatan diajukan untuk mempertahankan hak yang dilanggar. Dalam istilah yuridis, pada Pasal 1 angka 2 UUPK mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat Sementara, pelaku usaha sebagai pihak yang menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UUPK. Konsumen mendapatkan perlindungan hukum ketika memperoleh barang atau jasa dengan cara membeli dan terikat dalam suatu perjanjian jual beli dengan pelaku usaha. Transaksi antara konsumen dan pelaku usaha melalui e commerce sering membuat konsumen mengalami kerugian, sebab hanya dapat melihat barang yang hendak dibeli melalui gambar yang telah disediakan oleh penjual Seperti yang dialami oleh Faisal, smartphone yang dibeli ternyata merupakan barang ilegal sebab nomor IMEI perangkatnya tidak terdaftar di Indonesia Faisal tidak mengetahui hal tersebut sebab pelaku usaha mencantumkan bahwa IMEI smartphone yang dibeli sudah terdaftar di Indonesia. Oleh karena itu, Faisal sebagai konsumen dirugikan akibat ulah pelaku usaha tersebut. Peristiwa hukum yang terjadi pada Faisal dan pelaku usaha disebut sebagai sengketa konsumen sebab sengketa terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen akibat mengkonsumsi barang sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 HUKUM PELAKU USAHA SMARTPHONE BLACK MARKET DI E-COMMERCE Dwi Putro Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya mempunyai kewenangan untuk memanggil pelaku usaha dan melakukan penyelesaian berdasarkan kesepakatan para pihak apakah mau melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Seperti yang diketahui bahwa badan ini dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya yang cenderung murah.”

Ronaldo

“BPSK

(product liability), berupa mengembalikan sejumlah uang yang dikeluarkan atau mengganti smartphone sejenis atau setara nilainya, sesuai Pasal 19 ayat 1 dan 2 UUPK. BPSK juga berwenang menetapkan ganti rugi paling banyak sejumlah Rp 200.000.000,00 sebagai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 60 ayat 1 dan 2 UUPK apabila pelaku usaha melanggar Pasal 19 ayat 2 UUPK. Pemberian seluruh ganti rugi di atas tidak menghapuskan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan Mengacu pada Pasal 62 ayat 1 UUPK maka sanksi pidana yang dapat diberikan yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00. [Ed.] Sumber: Felipe Paes dari Pexels

Berdasarkan kasus yang dialami Faisal, salah satu haknya sebagai konsumen dalam Pasal 4 angka 3 UUPK dilanggar oleh pelaku usaha ini, yaitu mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai smartphone yang ia beli, sebagaimana kewajiban dari pelaku usaha. Pelaku usaha tersebut juga telah melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK yaitu memperdagangkan smartphone yang tidak sesuai standar yang dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang undangan Mengacu Pasal 45 ayat 1 dan 2 UUPK penyelesaian sengketa konsumen terbagi dalam dua jalur yaitu penyelesaian melalui litigasi dan non litigasi. Litigasi yaitu dengan menggugat pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum sedangkan non litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Kewenangan BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf a UUPK yaitu melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Sebagaimana diatur dalam Pasal 52 huruf a UUPK maka Faisal dapat mengajukan sengketa konsumen ke BPSK BPSK mempunyai kewenangan untuk memanggil pelaku usaha dan melakukan penyelesaian berdasarkan kesepakatan para pihak apakah mau melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Seperti yang diketahui bahwa badan ini dapat menyelesaikan suatu sengketa dengan cepat, tepat, dan biaya yang cenderung murah. Setelah diadakan sidang maka selambat lambatnya 21 hari kerja majelis menjatuhkan putusan yang bersifat final dan memiliki kekuatan hukum mengikat sesuai yang tercantum dalam Pasal 54 ayat (3) UUPK dan Pasal 42 ayat (1) Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Jika terbukti melanggar UUPK maka BPSK berwenang memberikan sanksi kepada pelaku usaha tersebut Sanksi yang diberikan yaitu sanksi perdata berupa ganti rugi atas kerugian konsumen akibat menggunakan smartphone tersebut

beritikad baik dalam memberikan kejelasan atau transparansi mengenai status izin perumahan pada pihak konsumen. Konsumen yang dirugikan karena haknya tidak terpenuhi perlu mendapatkan perlindungan sesuai undang undang. Perlindungan hukum pasca terjadinya sengketa sering kita sebut dengan perlindungan hukum represif. Dalam UUPK, perlindungan hukum represif tercantum dalam Bab X Pasal 45 48 yang mengatur tentang penyelesaian sengketa Undang undang ini memberi kesempatan bagi konsumen yang dirugikan untuk dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atau melalui badan peradilan umum. Pada bab selanjutnya, UUPK mengatur tentang keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa EFEKTIVITAS UU PERLINDUNGAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Zulfa Pritasari

Amalia

pelaku

kerugian yang secara internal tidak dapat diselesaikan secara internal oleh usaha dan konsumen.”

10 MENILIK

Urgensi perlindungan konsumen mulai banyak diperbincangkan di kalangan publik dan mendapat perhatian dari masyarakat Salah satunya adalah kasus yang terjadi pada Genny Grattiani yang melalui kuasa hukumnya mengadukan pengembang perumahan elit, Rolling Hills di KJIE (Karawang Jabar Industrial Estate) ke Polda Jabar atas dugaan pelanggaran haknya sebagai konsumen. Pada Juli 2020, Genny melakukan pembayaran pertama atas dua kavling rumah di kawasan elit tersebut dan pihak pengembang menjanjikan mulainya pembangunan rumah pada bulan Oktober. Namun, hingga 1,5 tahun dan Genny telah melunasi pembayaran hampir 80%, rumah tersebut belum juga dibangun Selain itu, pengembang juga urung menunjukkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah diterbitkan oleh Pemkab Karawang. Sebelum mengadukan pada Polda Jabar, Genny telah mengajukan kasus ini pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Bandung. (Pojok Jabar, 25/09/2021) Dalam rangka menciptakan siklus usaha yang sehat di Indonesia, pemerintah telah menjadikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai payung hukum perlindungan konsumen, dimana salah satu hal yang diatur adalah terkait dengan penyelesaian sengketa konsumen Pada hakikatnya, UUPK tidak membatasi secara spesifik apa definisi dari sengketa konsumen. Namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001, sengketa konsumen didefinisikan sebagai sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa. Sengketa konsumen bisa terjadi karena adanya indikasi pelanggaran atas hak konsumen, misalnya kewajiban yang tidak dilakukan oleh pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kembali pada kasus yang disebutkan di awal artikel ini, pihak pengembang tidak memenuhi hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai rumah yang dibeli oleh konsumen tersebut Di sini juga terlihat bahwa pihak pelaku usaha tidak

KONSUMEN DALAM

Redaksi Legal Talk Society (LTS)

“Adanya opsi menggunakan jalur litigasi dan non-litigasi dapat dianggap sebagai solusi yang ditawarkan pemerintah jika terjadi pelanggaran hak atau

perlindungan konsumen, khususnya pemahaman bahwa optimalisasi penanganan keluhan konsumen kepada pelaku usaha harus didahulukan untuk menghindari sengketa yang lebih besar di ranah hukum Hal ini bisa menjadi upaya preventif supaya pelanggaran hak ataupun terjadinya kerugian terutama pada konsumen dapat dihindari. Jika keluhan konsumen tidak dapat diselesaikan langsung dengan pelaku usaha, maka timbul sengketa antara kedua belah pihak. Sebagai lembaga yang lahir karena adanya UUPK, BPSK selayaknya menjadi gerbang utama yang berintegritas dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Apabila dengan jalur non litigasi sengketa belum terselesaikan, maka langkah terakhirnya adalah membawa sengketa tersebut pada jalur litigasi Menurut penulis, UUPK sudah cukup baik mengatur mekanisme penyelesaian sengketa konsumen. Adanya opsi menggunakan jalur litigasi dan non litigasi dapat dianggap sebagai solusi yang ditawarkan pemerintah jika terjadi pelanggaran hak atau kerugian yang secara internal tidak dapat diselesaikan oleh pelaku usaha dan konsumen. Lembaga penyelesaian sengketa, contohnya BPSK dalam tulisan ini, sebagai pihak ketiga berperan dalam membantu konsumen dan pelaku usaha untuk menyamakan prinsip mengenai hak dan kewajiban masing masing, Sumber: Janco Ferlic dari Pexels

UUPK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Jadi pada prinsipnya, UUPK menawarkan dua cara dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

Konsumen (BPSK) yang menjadi lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) Salah satu tugas dan wewenang dari BPSK adalah melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi.

Jalur non litigasi selalu digambarkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan Mekanismenya melibatkan pihak ketiga yang netral dan mengutamakan kesediaan dan kerja sama pihak pertama dan kedua, membuat jalur ini lebih banyak ditempuh daripada jalur litigasi. Berkaca pada kasus yang dialami oleh Genny, ia dengan kuasa hukumnya sudah melakukan langkah yang tepat dan sistematis dalam menjalankan prosedur penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK. Dari kasus ini, kita juga dapat belajar bahwa penting untuk memahami hak dan kewajiban pihak konsumen maupun pelaku usaha yang telah diatur dalam peraturan perundang undangan

Kedudukan BPSK sebagai pihak ketiga menjadi sangat strategis dan dibutuhkan mengingat hanya BPSK yang ditunjuk oleh

11

Bank dilindungi oleh 1 Undang undang No 10 Tahun 1998 jo Undang undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan); 2 Undang undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlinkos), dan 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK Perlinkos). Terdapat 9 hak konsumen sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 LANGKAH HUKUM DALAM KONDISI DANA NASABAH BANK YANG HILANG Rizky Karo Karo Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan; Pemberi Bantuan Hukum di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH UPH "Apabila terjadi kejahatan terhadap nasabah Bank yang merupakan bentuk penipuan atau bukan kesalahan dari nasabah itu sendiri, Bank wajib menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, melakukan investigasi dengan cermat, serta memberikan ganti rugi kepada nasabah sesuai nominal kehilangan tersebut." 12

Konsumen berada di posisi lemah dibanding pelaku usaha. Secara umum, konsumen adalah individu yang cenderung kurang memahami hukum atau menyadari hak-haknya. Bayangkan, jika terjadi sengketa dalam transaksi, konsumen yang sudah menderita kerugian material harus berhadapan dengan pelaku usaha atau perusahaan, badan hukum yang memiliki kekuatan, misalnya modal besar untuk melakukan proses hukum Bank dan nasabah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan Nasabah (dalam tulisan ini juga dimaksud sebagai konsumen) memercayakaan uangnya atau asetnya ke Bank untuk disimpan dan diinvestasikan. Bank mengelola simpanan tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang tentang Perbankan. Lantas, bagaimana jika uang atau simpanan nasabah tersebut hilang bukan karena kesalahan nasabah? Kesalahan konsumen yang dimaksud yakni saat konsumen memberitahukan password kartu ATM kepada orang lain, atau kode akses mobile banking berikut dengan One Time Password (OTP) Namun, jika dikritisi lebih lanjut, konsumen dapat juga tidak sadar jika ditipu oleh ‘oknum’ yang mengaku sebagai customer service Bank sehingga memberikan data pribadinya. Menurut pendapat penulis, walaupun dapat dibilang ini kesalahan konsumen, namun konsumen juga menjadi korban sehingga bank yang bersangkutan atau lembaga yang berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memberikan perlindungan kepada korban tersebut dan meningkatkan literasi keuangan digital kembali kepada konsumen sektor jasa keuangan. Menurut Bijak Ber eBanking yang diterbitkan oleh OJK pada 2015, modus yang sering digunakan bermacam macam, tergantung pada jenis layanan perbankan yang diberikan. Misalnya terdapat modus skimming (menggunakan skimmer untuk merekam data nasabah dari kartu ATM), card trapping (menggunakan alat untuk menyangkutkan kartu dalam mesin ATM) atau call center palsu Menggunakan mesin EDC, selain skimming, terdapat juga modus penggunaan card reader ilegal. Melalui internet banking, penipuan yang umumnya terjadi adalah phishing, penggunaan layanan e mail dan/atau typosite atau situs web palsu, serta malware dan virus dalam software. Terakhir, modus yang umum terjadi melalui SMS dan mobile banking dilakukan dengan pencurian ponsel dan pembajakan nomor ponsel. Hak Konsumen Nasabah atau konsumen

Berdasarkan Pasal 37B ayat (1) UU Perbankan “Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan”

Langkah Hukum Langkah hukum yang dapat ditempuh oleh nasabah atau konsumen perbankan jika kehilangan uang secara tiba tiba, yakni menceritakan kronologis dengan cermat, membawa bukti bukti untuk membuat aduan. Pertama, segera buat laporan ke Bank yang bersangkutan, baik melalui call center resmi atau mendatangi langsung, sebaiknya dalam hari yang sama atau paling lambat sehari setelahnya.

Sumber: Felipe Paes dari Unsplash

UU Perlinkos, dua di antaranya: 1. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; dan 2. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

13

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 22 tahun 2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, penyelenggara dalam hal ini Bank wajib menangani dan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan oleh konsumen Jika tidak dilakukan, maka Bank dapat dikenakan sanksi administratif seperti teguran tertulis, penghentian sementara sebagaian atau seluruh kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin (Pasal 35). Kedua, segera buat laporan ke kantor Polisi terdekat menyatakan bahwa uang yang hilang bukan karena kesalahan nasabah. Ketiga, segera buat aduan ke OJK, ataupun Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). Aduan kepada OJK ini dilakukan jika penyelesaian internal antara konsumen dan Bank yang bersangkutan tidak menemukan jalan keluar Penyelesaian kemudian akan dibantu oleh mediator Pengaduan kepada OJK dapat disampaikan melalui situs https://konsumen.ojk.go.id/formpengaduan atau kontak 157. Kantor LAPSPI sendiri beralamat di Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Jakarta. Dengan demikian, menurut pendapat penulis, apabila terjadi kejahatan terhadap nasabah Bank yang merupakan bentuk penipuan atau bukan kesalahan dari nasabah itu sendiri, Bank wajib menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, melakukan investigasi dengan cermat, serta memberikan ganti rugi kepada nasabah sesuai nominal kehilangan tersebut [Ed.]

Memakai masker dengan benar Menjaga kebersihan tangan Menjaga jarak Mengurangi mobilitas Menjaga pola makan sehat dan istirahat cukup Menjauhi kerumunan Taati Protokol Kesehatan (6M): UPDATE UCOVID-19 PDATE COVID-19 Positif Sembuh Meninggal 5.000.000 4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000 0 4.231.046 4.067.684 142.811

Kementerian Perdagangan: Mayoritas Depot Isi Ulang Air Galon di Indonesia Tidak Higienis (Merdeka com 13 Oktober 2021) Melalui Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan bahwa terdapat 31.553 dari 60.272 Depot Air Minum (DAM) yang tidak laik Higienitas Sanitas Pangan (HSP). Masih banyak DAM yang menyediakan galon bermerek yang melanggar ketentuan dan merugikan perusahaan pemilik galon. Menanggapi hal ini, Kemendag ingin terus berkomitmen untuk menggalakkan kegiatan perlindungan konsumen, meliputi pendidikan usia dini, pembinaan pelaku usaha untuk pemenuhan standar dan pengendalian mutu, pengawasan barang beredar, dan pengukuran takaran secara tepat Sumber: https://www.merdeka.com/uang/hanya 28719 depot isi ulang air galon di indonesia yang higienis.html?page=1 Permintaan Rumah Meningkat, Pengembang Bodong Kembali Berulah (Kompas.com 10 Oktober 2021) Tingginya kebutuhan kepemilikan rumah ditangkap sebagai peluang bagi pengembang perumahan nakal dengan berbagai modus Salah satunya adalah dengan menawarkan konsep cicilan rendah dengan tenor panjang melalui skema cicilan tanpa melalui bank. Para pengembang yang bermasalah rata rata menyasar konsumen yang membeli rumah kecil (maksimal bertipe 36) dengan kisaran harga Rp 140 juta Rp 250 juta per unit. Selain itu, para konsumen dibuat tak berdaya secara hukum karena tidak adanya tanda tangan notaris saat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Sumber: https://www kompas com/properti/read/2021 /10/10/060000121/pengembang bodong kembali berulah bikin rei tambah gerah Sumber: Jeffrey Czum dari Pexels Sumber: Ecuen dari Pexels 15

Undang

16 HAK-HAK KONSUMEN: REGULASI DAN JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM DI INDONESIA Pada Kamis, 22 Juli 2021 pukul 10.00 WIB, Legal Talk Society mengadakan sesi pertama 'Seri Bincang-Bincang Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen’ bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit(GIZ) GmbH. Narasumber pada sesi pertama ini yaitu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li (Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) dan Dr. David M. L. Tobing, S.H., M.Kn (Praktisi Hukum

Perlindungan Konsumen, Partner ADAMS & Co). Diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui kanal YouTube Legal Talk Society. Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur mengenai upaya negara dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum untuk perlindungan kepada konsumen, mulai dari hak dan kewajiban para konsumen maupun pelaku usaha, sampai dengan penyelesaian sengketa Perlindungan konsumen di Indonesia dijamin juga dengan adanya lembaga lembaga seperti: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Kementerian Perdagangan dalam pengembangan kebijakan dan pengawasan perlindungan konsumen; Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penanganan sengketa konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan; serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam menyuarakan kepentingan serta memberdayakan konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik regulasi maupun perangkatnya sudah ada, namun pada implementasinya, kesadaran masyarakat sebagai konsumen untuk memahami dan mencermati hak-haknya masih kurang, begitu pun mengenai mekanisme perlindungan konsumen menurut hukum di Indonesia Kesadaran yang masih minim tersebut seringkali menimbulkan permasalahan. Jaminan Perlindungan Konsumen dalam UUPK UUPK secara rinci telah menjamin keamanan dan keselamatan konsumen, misalnya dengan hak atas informasi yang benar dan jujur. Konsumen juga mendapat kepastian hukum saat bertransaksi, yaitu hak untuk mendapatkan ganti rugi jika barang/jasa yang dibeli tidak sesuai. Selain itu, konsumen juga memiliki kewajiban, seperti yang disebutkan di Pasal 5 UUPK, misalnya untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa. Konsumen dapat lebih meningkatkan kesadaran dan literasi terkait hukum perlindungan konsumen di Indonesia serta melakukan pengecekan ulang sebelum membeli Di samping hak dan kewajiban konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam UUPK, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha. Pelaku usaha wajib memiliki perizinan umum terkait badan usahanya dan perizinan khusus terkait praktik usahanya. Selain itu, pelaku usaha juga wajib mendaftarkan atau melaporkan produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. UUPK juga melarang perilaku pelaku usaha sebagai berikut: (1) informasi dan iklan yang menyesatkan atau tidak sesuai produk aslinya; (2) penolakan pemberian ganti rugi; (3) pencantuman klausula eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha ke konsumen; dan lain lain. Masing masing konsumen dan pelaku usaha telah memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, namun tetap harus ada itikad baik dalam melakukan jual beli atau aktivitas lainnya untuk menghindari terjadinya sengketa. UUPK telah mengakomodasi banyak hal, akan tetapi saat ini perlu dilakukan pembaruan terutama terkait pengaturan terhadap platform digital, mengingat pesatnya

memberi

PERMA No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, yang mengatur bahwa untuk putusan BPSK yang akan diajukan banding dapat mengikuti ketentuan dalam PERMA tersebut Namun mengingat bahwa tidak semua konsumen dapat mengeluarkan biaya yang banyak untuk pengajuan proses banding, maka BPKN mengusulkan untuk merevisi

PERMA No. 1 Tahun 2006 agar putusan Pengadilan tentang pemeriksaan keberatan terhadap putusan BPSK dengan tuntutan material di bawah Rp. 200 juta bersifat final dan mengikat. Sumber: Pixabay

17

perkembangan e commerce dan financial technology. Perkembangan transaksi online juga memunculkan model model bisnis serta aktor aktor baru dalam proses jual beli, misalnya dengan adanya influencer yang memberikan testimoni produk, yang terkadang tidak sepenuhnya jujur dan dapat menyesatkan konsumen. Selain isu aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal, salah satu tren lain yang perlu disoroti adalah penjualan kosmetik melalui share in jar (pengeceran kosmetik) tanpa izin BPOM Walaupun digemari konsumen, penjualan produk melalui share in jar adalah melalui kemasan yang baru yang tidak memiliki izin edar, serta keaslian produk dapat dipertanyakan. Hal ini juga belum diatur lebih lanjut dalam UUPK.

Penyelesaian Sengketa Konsumen Penyelesaian sengketa menurut UUPK bisa dilakukan melalui pengadilan atau luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu melalui BPSK, dilakukan dengan cara mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Pasal 54 UUPK menjelaskan bahwa hasil putusan dari BPSK terkait penyelesaian sengketa bersifat final dan mengikat. Namun terdapat inkonsistensi pada sifat hasil putusan dari BPSK tersebut, dimana dalam Pasal 56 menjelaskan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah menerima hasil penyelesaian. Oleh karena itu, diberlakukan

18

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan lebih lanjut diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Gugatan Sederhana. PERMA tersebut mengatur mengenai penyelesaian perkara sederhana dan cepat dimana hanya sampai tingkat keberatan di Pengadilan Negeri tanpa upaya hukum kasasi Terdapat satu ketentuan dalam PERMA No 2 Tahun 2015 yang mengatur mengenai syarat Penggugat dan Tergugat harus berwilayah hukum yang sama Ketentuan tersebut membatasi konsumen untuk mengajukan gugatan sederhana, karena berdasarkan UUPK, konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan di wilayah hukum konsumen. Menyikapi hal tersebut, PERMA No. 2 Tahun 2015 dilakukan revisi menjadi PERMA No. 4 Tahun 2019 dengan perubahan pengaturan khusus untuk sengketa gugatan konsumen. Dalam PERMA No. 4 tahun 2019 terdapat beberapa perubahan perubahan yang berfokus pada hukum acara yang cepat, berbiaya ringan dan mengutamakan kemudahan bagi konsumen, yaitu: (1) nilai gugatan material maksimum berubah dari Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta; (2) konsumen dapat mengajukan gugatan kepada tergugat dengan wilayah hukum yang berbeda, dimana konsumen sebagai penggugat dapat menunjuk kuasa hukum yang berada di wilayah hukum tergugat; (3) adanya teguran (aanmaning) dan sita jaminan untuk menjamin efektivitas; (4) segala prosedur administrasi dan persidangan dilakukan secara elektronik melalui Sistem Administrasi dan Persidangan Secara Elektronik (SIPP) Lebih lanjut mengenai SIPP diatur dalam PERMA No 1 Tahun 2019 mulai

dari e filing, e payment, e summons dan e litigation. Tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa konsumen seharusnya tidak membatasi upaya pelaku usaha untuk menanggapi dan menyelesaikan komplain konsumen secara internal. Semakin cepat komplain ditangani, terutama bila terjadi kelalaian dari pihak pelaku usaha, maka akan meminimalisasi terjadinya sengketa, juga waktu dan sumber daya untuk menanganinya melalui prosedur non litigasi atau litigasi Ini merupakan bagian dari upaya pelaku usaha dalam menjamin hak konsumen untuk didengarkan pendapat dan keluhannya. [Ed.] Sumber: Wallace Chuck dari Pexels

bpkn sebut indonesia duduki peringkat satu pasar konsumen halal dunia Markas Pinjaman Online Ilegal Digerebek Polres Jakarta Pusat (CNN Indonesia 14 Oktober 2021) Polres Metro Jakarta Pusat menangkap 56 karyawan yang tengah beraktivitas dalam sebuah kantor pinjaman online (pinjol) ilegal di suatu ruko di bilangan Jakarta Barat Karyawan karyawan tersebut bertugas dalam bagian penawaran hingga penagihan Penggerebekan dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat yang diselidiki lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Dalam kasus ini, pelaku dapat dijerat sanksi berdasarkan UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen. Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/2021 1014110002 12 707654/puluhan penagih pinjol digerebek-saat beraksi di meja kerja Sumber: Pixabay Sumber: Tom Fisk dari Pexels 19

Mayoritas Penduduk Muslim, Indonesia Duduki Peringkat Satu Pasar Konsumen Halal Dunia (Antara News 14 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi Kerja sama dan Kelembagaan BPKN, Ermanto Fahamsyah menyatakan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan konsumen halal terbesar di dunia. Ia menambahkan, besar jumlah konsumsi masyarakat muslim bahkan mampu mencapai 144 Miliar Dolar AS. Berdasarkan bukti tersebut, Indonesia juga telah mampu menduduki peringkat empat dalam indikator Ekonomi Islam Global pada tahun 2020 hingga 2021. Selain Ermanto, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan bahwa sekitar 87,2% mayoritas muslim akan membutuhkan produk halal, baik diminta ataupun tidak. Hal ini akan mendorong pihak penawar barang ataupun jasa untuk melakukan sertifikasi halal yang perlu diawasi implementasinya di lapangan. Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2459125/

TRANSAKSI DI MEDIA SOSIAL: RISIKO DAN PERLINDUNGAN DATA KONSUMEN

20

Dibalik fungsi media sosial yang juga dapat digunakan sebagai media untuk bertransaksi online, terdapat salah satu risiko bagi konsumen yaitu berkaitan dengan kesadaran privasi atau perlindungan data pribadi yang masih rendah, serta kurangnya pemahaman hak dan kewajiban saat melakukan transaksi Perlindungan hukum untuk menjamin hak hak konsumen Perlindungan konsumen secara umum menjamin hak konsumen baik saat tidak ada konflik, maupun saat terjadi konflik atau pelanggaran hak konsumen. Saat tidak ada konflik atau sebelum pembelian dilakukan konsumen, konsumen dilindungi berdasarkan hak-haknya yang ditetapkan sesuai undang undang yang berlaku dan/atau pengaturan mandiri pelaku usaha (dikenal juga sebagai hukum positif) Jika hak konsumen tidak dipenuhi atau dilanggar, maka sengketa terjadi dan dapat diselesaikan melalui jalur litigasi di pengadilan atau jalur penyelesaian non litigasi melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Cottonbro dari Pexels

Tujuan penggunaan media sosial dari masing masing aktor ini pun berbeda beda. Pelaku usaha khususnya menggunakan media sosial untuk melakukan penjualan, membuat iklan dan personalisasi Sehingga terlihat bahwa media sosial juga dapat dijadikan wadah untuk transaksi jual beli, sebagai alternatif selain e commerce atau e marketplace

Sumber:

Media sosial menjadi salah satu inovasi modern yang memungkinkan penggunanya berkomunikasi dengan orang orang dari berbagai belahan dunia berbeda dalam waktu nyata Media sosial juga memungkinkan penggunanya membuat komunitas online untuk memberikan informasi, gagasan, pesan pribadi dan konten lainnya Oleh sebab itu, media sosial dapat didefinisikan sebagai aplikasi berbasis internet yang mendorong interaksi penggunanya, sekaligus berisi konten yang diciptakan oleh penggunanya sendiri (user generated content). Saat ini, media sosial dimanfaatkan oleh berbagai aktor, misalnya individu, pelaku usaha, bahkan pemerintah.

Pada Kamis, 19 Agustus 2021 pukul 13.00 WIB, Legal Talk Society mengadakan sesi kedua 'Seri Bincang-Bincang Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen’ bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit(GIZ) GmbH. Narasumber pada sesi ini yaitu Alfatika Aunuriella Dini, S.H., M.Kn., Ph.D (Dosen, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) dan Wahyudi Djafar (Direktur Eksekutif, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM). Diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui kanal YouTube Legal Talk Society.

Langkah Menjamin Perlindungan Data

Pribadi Konsumen Untuk mengatasi permasalahan permasalahan tersebut dapat dilakukan beberapa langkah sebagai upaya untuk menjamin perlindungan data pribadi konsumen, yaitu (1) reformasi peraturan perundang undangan oleh pemerintah, (2) pembaruan kebijakan internal pelaku usaha dan (3) pendidikan bagi konsumen. Penetapan regulasi data pribadi oleh pemerintah penting untuk menjamin hak konsumen. Selain diperlukannya percepatan pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi, peraturan perundang undangan sektoral juga perlu diperbarui, khususnya mengenai tanggung jawab platform sebagai pengelola atau pengendali data, juga aturan mengenai pemberian akses data kepada pihak yang berwenang dalam kondisi tertentu Pelaku usaha juga berperan dalam upaya perlindungan data pribadi, khususnya dalam penerapan kebijakan internalnya. Pelaku usaha perlu melakukan integrasi prinsip prinsip dan instrumen perlindungan data dalam kebijakan privasi, terutama terkait dengan kewajibannya sebagai pengelola/pengendali data. Penting juga bagi platform untuk mengimplementasikan konsep privacy by design dan privacy by default, yang menerapkan prinsip prinsip perlindungan data dan privasi dalam desain platform, atau sebagai standar mekanisme pengaturannya (tanpa perlu diubah oleh konsumen) ToS juga perlu diperbarui agar mudah dipahami konsumen, serta menyediakan mekanisme komplain dan pemulihan.

21

Berkenaan dengan upaya perlindungan konsumen, sehingga diperlukan adanya perlindungan data pribadi, khususnya dalam penggunaan media sosial, harus dijamin oleh penyedia platform sebagai perantara pelaku usaha dan konsumen (intermediary) dengan mematuhi prinsip perlindungan data atau hukum yang berlaku. Salah satunya diwujudkan melalui kebijakan penggunaan dan privasi, yang umumnya menganut prinsip minimalisasi pengumpulan data (sesuai tujuan spesifik), penggunaan dan retensi data secara transparan (seizin pemilik data), dan penyimpanan yang aman Sayangnya, seringkali kebijakan privasi diformulasikan kurang baik dan menarik. Selain tidak sepenuhnya menurunkan prinsip prinsip perlindungan data, kebijakan privasi juga terkadang sulit dipahami (misalnya, menggunakan bahasa yang rumit atau terlalu panjang). Khususnya di Indonesia, saat ini belum tersedia UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif, sehingga rumusannya seringkali berbeda beda tiap platform Hal ini juga menjadi salah satu alasan kebijakan privasi platform kurang memadai Terhadap kasus kelalaian atau kebocoran data pribadi, sejauh ini hanya terdapat pengaturan melalui UU ITE serta Perkominfo No. 20 Tahun 2016, yang mewajibkan konsumen sebagai pemilik data untuk mengajukan gugatan perdata jika ada kegagalan upaya perlindungan data pribadi. Dapat dikatakan bahwa belum ada mekanisme yang lebih preventif, misalnya dalam pengaturan kebijakan privasi oleh platform, ataupun yang menjamin perlindungan serta mekanisme pemulihan/ganti rugi saat terjadi penyalahgunaan data, misalnya dalam kasus penipuan atau pencurian data/identitas Selain kebijakan privasi, acuan perlindungan data pribadi konsumen yang lain adalah melalui term of services (ToS), yang umumnya kita temukan saat mengunduh aplikasi dan diminta memberikan akses untuk data data pribadi tertentu. ToS umumnya ditetapkan secara sepihak oleh penyedia layanan tanpa opsi lebih lanjut bagi pengguna layanan. Alhasil, konsumen seakan “diwajibkan” untuk menyetujui ToS untuk menggunakan layanan aplikasi tersebut. Demikian, diperlukan pengaturan ToS yang dapat menyetarakan kedudukan konsumen sebagai pengguna data dan penyedia layanan sebagai pengelola data

Terakhir, ko literasi digi dan pem penggunan ini dapat perusahaan asosiasi pe Diskusi dit konsumen media sos pembayara sebaiknya barang da platform, a konsumen yang relev menghinda penipuan untuk men menggunaka mencampu tidak men untuk sem Gunakan sehingga a misalnya d nomor O password perangkat mengakses pribadi ki kebocoran privasi kita informasi d publik. [Ed 22 Sumber: Karolina Garabowska dari Pexels

jasa

Jasa

23

LAYANAN E-COMMERCE: PROBLEMATIKA TRANSAKSI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Pada Rabu, 22 September 2021 pukul 10.00 WIB, Legal Talk Society mengadakan sesi ketiga 'Seri Bincang-Bincang Edisi Spesial Hukum Perlindungan Konsumen’ bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH. Narasumber pada sesi ketiga ini yaitu Dr. Henny Marlyna, S.H., M.H., M.L.I. (Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Indonesia), dan Tulus Abadi, S.H. (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)). Diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui kanal YouTube Legal Talk Society. Perkembangan teknologi yang pesat menjadikan perilaku konsumsi masyarakat terhadap suatu barang dan/atau jasa mulai beralih pada transaksi melalui perangkat dan prosedur elektronik. Transaksi di e commerce berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sebanyak 215 juta masyarakat Indonesia sudah bisa mengakses internet, 70 persen darinya memiliki smartphone. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan akan semakin banyak masyarakat yang bertransaksi melalui e commerce di Indonesia. Presiden RI Joko Widodo memperkirakan bahwa pada 2025, Indonesia akan mendapatkan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) dari ekonomi digital sekitar Rp 1,8 kuadriliun Risiko Berbelanja via E commerce

e commerce,

Berbelanja melalui e commerce dinilai memiliki baik keuntungan maupun risiko yang dihadapi oleh konsumen. Keuntungan yang diperoleh konsumen, contohnya adalah akses mendunia, pilihan yang lebih variatif, dan banyaknya tawaran diskon/promosi dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, terdapat juga risiko yang dihadapi konsumen dalam transaksi e commerce. Beberapa contoh permasalahan yang seringkali ditemui adalah (1) informasi atau iklan yang tidak benar, (2) produk yang tidak aman, (3) barang tidak diterima, (4) barang diterima namun tidak sesuai dengan yang dipesan atau dalam keadaan rusak, (5) metode pembayaran yang tidak aman, (6) penyalahgunaan atau bocornya data pribadi konsumen, serta (7) ketidakjelasan pilihan dan forum penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen. Ditambah lagi, masyarakat Indonesia masih dinilai belum berdaya penuh untuk memperjuangkan haknya sebagai konsumen (berdasarkan Indeks Keberdayaan Konsumen/IKK), juga belum memiliki literasi digital yang cukup (berdasarkan Indeks Literasi Digital). Instrumen Hukum Perlindungan Konsumen Pada Transaksi E-Commerce Transaksi melalui e commerce salah satunya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE). Berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP PMSE tersebut, transaksi melalui e commerce merupakan perdagangan yang dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Selain PP PMSE yang mengatur transaksi e commerce secara spesifik, terdapat pula UU Perlindungan Konsumen sebagai payung hukum perlindungan konsumen di Indonesia yang mengatur hak dan kewajiban konsumen pelaku usaha secara umum. Berhubung banyaknya produk yang diperjualbelikan serta yang ditawarkan melalui terdapat juga beberapa peraturan sektoral yang perlu diperhatikan dalam upaya perlindungan konsumen dan penegakan hukum Sebagai contoh, dalam penjualan produk kesehatan, penjual online serta platform perlu mengacu pada UU Kesehatan Untuk jasa keuangan, terdapat UU Otoritas Keuangan serta beberapa Peraturan OJK (POJK) tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Demikian juga untuk perlindungan data pribadi, terdapat

serta

24

Berkaitan dengan transaksi lintas batas, dalam konteks PMSE internasional (keberadaan salah satu pihak di luar Indonesia), para pihak yang bersengketa diperbolehkan memilih hukum yang berlaku untuk proses penyelesaiannya. Jika tidak melakukan pilihan, maka Hukum Perdata Internasional yang berlaku dalam penyelesaian sengketa tersebut. Lembaga pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa PMSE internasional di Indonesia hanya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Hal ini berpotensi untuk merugikan konsumen yang berdomisili di luar Jakarta Namun terdapat juga alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase atau badan di luar pengadilan lainnya. [Ed.]

UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta PP terkait Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Penyelesaian sengketa konsumen umumnya dapat dilakukan melalui pengadilan atau badan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan didasarkan pada hukum acara yang berlaku Penyelesaian melalui pengadilan juga dapat diajukan dengan pilihan berbagai macam gugatan, mulai dari gugatan perorangan, gugatan sederhana, hingga gugatan class action (gugatan kolektif yang pengajuannya diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat/LPKSM atau instansi terkait). Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan, contohnya melalui (1) mekanisme internal antara konsumen langsung dengan pelaku usaha, atau (2) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase, atau (3) melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) khusus untuk sengketa konsumen terkait jasa keuangan.

PP PMSE khususnya di Pasal 72 75 mengatur secara spesifik mengenai penyelesaian sengketa konsumen melalui e commerce. Para pihak yang bersengketa diperbolehkan memilih baik jalur pengadilan maupun mekanisme penyelesaian sengketa lainnya, sesuai yang disebutkan di atas, termasuk opsi penyelesaian sengketa secara daring (online dispute resolution atau ODR). Adanya ODR akan memudahkan penyelesaian sengketa karena tidak mengharuskan pihak konsumen dan pelaku usaha untuk hadir di tempat yang sama, terutama mengingat karakteristik e commerce yang lintas batas

Sumber: Kin Li dari Unsplash

25

.

Apa yang Harus Diperbaiki Berkaitan dengan E-Commerce di Indonesia? Makin banyaknya konsumen yang bertransaksi via e commerce, maka kemungkinannya terpapar risiko risiko yang disebutkan sebelumnya juga semakin besar. Maka itu, terdapat beberapa hal yang perlu ditingkatkan untuk menjaga keamanan transaksi e commerce di Indonesia. Pertama, diperlukan pemberdayaan konsumen agar lebih cerdas dan teliti saat berbelanja melalui e commerce Konsumen perlu dibiasakan untuk membaca setiap informasi mengenai produk dengan cermat, serta lebih selektif dalam memilih pelaku usaha (memastikan legalitas penjual maupun platform) serta dalam memberikan data pribadi saat bertransaksi. Kedua, pelaku usaha, baik dari pihak penjual maupun platform e commerce, perlu didorong untuk melakukan tanggung jawab serta kewajibannya sesuai hukum yang berlaku serta beriktikad baik di semua tahapan transaksi dengan konsumen Ketiga, pemerintah juga berperan penting dalam upaya perlindungan konsumen di e commerce. Khususnya mengenai penyelesaian sengketa, terdapat urgensi untuk mewujudkan mekanisme ODR yang komprehensif dan efektif. Kemudian, pemerintah juga diharapkan semakin gencar untuk melakukan upaya preventif dan represif dalam perlindungan hukum konsumen pada transaksi e commerce Upaya yang dimaksud mulai dari melakukan perubahan UU Perlindungan Konsumen agar relevan cakupannya dalam era ekonomi digital, serta untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi Terkait upaya preventif, pemerintah juga diharapkan untuk dapat menjalankan program program pemberdayaan konsumen agar dapat lebih aktif memperjuangkan haknya, serta meningkatkan kemampuan/literasi digital masyarakat agar lebih banyak mendapatkan manfaat dari perkembangan digital dan jauh dari risiko risikonya, termasuk saat berbelanja melalui e commerce [Ed.] Sumber: Negative Space dari Pexels

Perlunya Transformasi Koperasi dan UMKM 5.0 (DetikNews 14 Oktober 2021) Pandemi Covid 19 berdampak sangat signifikan terhadap penurunan perekonomian nasional maupun global Lain halnya dengan Indonesia, dimana koperasi dan Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) menjadi jawaban masih kokohnya kondisi perekonomian negara meski sempat goyang di masa pandemi Covid 19. Sayangnya, seiring makin mutakhirnya teknologi serta cepatnya persebaran informasi dalam era digital, koperasi justru kian melemah. Pergerakannya lambat bahkan terkesan stagnan, sangat kontras dengan perkembangan lembaga keuangan non bank seperti financial technology (fintech), khususnya layanan peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol). Hingga saat ini, belum terdengar gagasan besar, langkah inovatif atau inovasi luar biasa dari instrumen negara yang mengurusi bidang koperasi, untuk menyelamatkan soko guru ekonomi Indonesia yang mulai ditinggalkan masyarakat setelah beralih pada pinjol dan layanan keuangan alternatif lainnya yang lebih inovatif. Sumber: https://news.detik.com/kolom/d 5766652/perlunya transformasi koperasi dan umkm 50/1 6.815 Aduan Konsumen di BPKN, Sengketa Perumahan Mendominasi (Fakta Berita 14 Oktober 2021) Sejak tahun 2017 hingga 2021, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan telah menerima aduan dari masyarakat sebanyak 6 815 kasus Laporan kasus terbanyak berasal dari sektor perumahan, yakni sejumlah 2 775 kasus Namun, Wakil Ketua BPKN, Mufti Mubarok telah mengklaim bahwa sebagian besar konsumen yang mengadu telah terpulihkan haknya. Menurutnya, dengan banyaknya laporan yang masuk mengenai sengketa perumahan, BPKN terus memastikan bahwa penyeleaian sengketa jual beli perumahan dan tanah diselenggarakan dengan baik dan pelayanan akan diorientasikan pada kepentingan konsumen. Sumber: https://www faktaberita co id/bpkn terima 6 815 aduan konsumen mayoritas sengketa perumahan/ Sumber: Marc Mueller dari Pexels Sumber: Dhyamis Kleber dari Pexels 26

Siregar

Buku ini berisi pengetahuan baru bagi para pembaca terkait hukum perjanjian, dikemas secara jelas dalam 4 (empat) bab pembahasan. Pada Bab I membahas gambaran umum tentang perjanjian, perjanjian baku dan klausula baku, penulis dalam bab ini mencoba menggambarkan pengertian perjanjian, perjanjian baku dan klausula baku serta peraturan perundang undangan tentang perjanjian baku disertai perlindungan konsumennya Pengertian perjanjian dijabarkan penulis sebagai kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang saling mengikatkan diri sehingga timbul perikatan antara para pihak. Penulis dalam bab ini juga membahas adanya asas perjanjian, keabsahan perjanjian, akibat perjanjian, penafsiran perjanjian, perbuatan melanggar perjanjian atau wanprestasi, gugatan dan pembelaan pihak yang melanggar perjanjian atau wanprestasi.

PERJANJIAN

Buku “Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi” merupakan karya dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yaitu Prof Dr Johannes Gunawan, SH , LL M (Guru Besar Hukum Perikatan dan Hukum Konsumen) dan Prof Dr Bernadette M Waluyo, SH , MH , CN , (Guru Besar Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata dan Hukum Perlindungan Konsumen), bersama 4 kontributor lainnya, yakni Prof. Dr. phil. Budiono Kusumohamidjojo, S.H., Dr. David M.L.Tobing, S.H., M.Kn., Dr. Megawati Simanjuntak, SP. M.Si., dan Dr. Johanes Widijantoro, S.H., MH. Buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai penggunaan perjanjian baku di Indonesia dan kaitannya dengan perlindungan konsumen, juga persoalan umum dan tantangan spesifik di era digital, serta beberapa rekomendasi untuk mengatasinya Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih sebagaimana dijelaskan Pasal 1313 KUHPerdata. Penulis memahami perjanjian baku (standard form ) sebagai suatu perjanjian yang berbagai ketentuannya dibuat secara sepihak BAKU: MASALAH DAN SOLUSI Nur Rahmadayana Redaksi Legal Talk Society (LTS) Judul: Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi Penerbit: Pelangi Grafika, bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft fur International Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Penulis Utama: Prof. Dr. Johannes Gunawan, S.H.,LL.M; Prof. Dr. Bernadette M. Waluyo, S.H.,M.H.,CN Tebal Buku: xiv + 158 Halaman Tahun Terbit: 2021 ISBN: 978-602-74627-7-9

27 oleh suatu pihak tertentu, yang akan digunakan untuk bertransaksi dengan banyak pihak lain yang berkepentingan dengan pokok yang sama dari perjanjian yang pihak tertentu itu menawarkannya, selagi “the other party has little or no ability to negotiate more favorable terms and is thus placed in a “take it or leave it” position” .

contracts/standardized contracts

Pernjelasan perjanjian baku digambarkan secara rinci dengan menuliskan sejarah singkat perjanjian baku dan macam macam jenis perjanjian baku Bab II membahas masalah penggunaan perjanjian baku Selain kendala umum dalam penyalahgunaan perjanjian baku di berbagai sektor, terdapat juga masalah masalah lain seperti (1) rendahnya kesadaran dan pemahaman penggunaan perjanjian baku oleh konsumen, (2) kesimpangsiuran pengaturan perjanjian baku, serta (3) kurang terstrukturnya lembaga pengawasan.

ASEAN Jerman PROTECT yang dilaksanakan oleh Deutsche Gesellschaft fur International Zusammenarbeit (GIZ) GmbH dan didanai oleh Kementerian Federal untuk kerja sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ). [Ed.]

Hal menarik dari buku ini telah menjelaskan perjanjian baku digital, yang dibahas lebih lanjut di Bab II Tidak bisa dipungkiri bahwa digitalisasi telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari hari masyarakat Indonesia Perjanjian baku digital digunakan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), biasanya dalam bentuk kontrak elektronik.

28

dengan keabsahan serta penyelesaian sengketa perjanjian baku digital, yang dijelaskan dalam buku ini secara lugas, disertai dengan aturan aturan hukum yang mengatur transaksi elektronik. Buku ini ditulis secara aktual, mulai dari pembahasan mengenai perjanjian baku sebelum adanya UUPK di Indonesia hingga rekomendasi dari penulis untuk memperbarui UUPK beserta regulasi sektoral terkait lainnya. Mencoba menggambarkan situasi hukum perjanjian dan perlindungan konsumen di Indonesia dari masa ke masa. Buku ini akan lebih menarik jika terdapat pembahasan tentang perjanjian baku dan hubungannya dengan aturan lain, misalnya Hukum Pidana, Hukum Adminitrasi Negara, dengan dukungan teori yang memadai Terlepas dari itu buku ini menjadi salah satu refrensi bacaan bagi semua kalangan yang diharapkan dapat mengedukasi masyarakat umum dan menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku kebijakan terkait dengan perjanjian baku dan perlindungan konsumen ke depannya. Hal tersebut dapat dilihat dari rekomendasi yang dijelaskan di Bab IV dalam buku ini, mencakup perubahan regulasi, pembinaan terhadap pelaku usaha, serta peningkatan kesadaran konsumen mengenai klausula baku Penulisan buku ini didukung oleh proyek

Beberapa masalah yang sering ditemui terkait

Selanjutnya, Bab III membahas solusi penggunaan perjanjian baku Beberapa contoh yang ditawarkan termasuk perubahan undang undang perlindungan konsumen, peningkatan kompetensi dan kejelasan pengawasan perjanjian baku, serta mekanisme penyelesaian sengketa perjanjian baku Bab ini menguraikan lima faktor yang menjadi kendala penegakan Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) khusus berkaitan dengan perjanjian baku yaitu gramatika undang undang, sistematika undang undang, tanggungjawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, dan kelembagaan. Buku ditutup dengan Bab IV yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis.

halaman Tahun Terbit:

Taman Pustaka Penulis: Dian

+

E Commerce

PERLINDUNGAN HUKUM E-COMMERCE

E-Commerce

Renouw Tebal Buku:

Penerbit:

dan

Rafaella Winarta Redaksi Legal Talk Society (LTS) Perlindungan Hukum : Perlindungan Hukum Usaha Konsumen di Indonesia, Singapura, Australia Yayasan Mega Erianti X 206 2017, cet.1 9789799677297

29

perkembangan hukum yang mengatur e commerce di negara negara seperti Singapura dan Australia dan bagaimana Indonesia masih menggunakan UU ITE Bab kedua membahas landasan teori dan metode penelitian dari buku ini Buku ini ditulis dengan teori hukum responsif dan teori perbandingan hukum dengan metode penelitian kajian literatur. Bab ini juga menjabarkan poin poin yang menjadi perbandingan hukum penulis seperti kerangka hukum e commerce negara anggota PBB, keunggulan e commerce, peluang dan tantangan e commerce, serta potensi resiko dalam e commerce. Adapula dasar hukum yang menjadi perbandingan di buku ini adalah UU ITE, Singapore Electronic Transaction Act 1998, dan Australia Electronic Transaction Act 1999, serta UNCITRAL Model Law 1996 Bab ketiga berjudul “Bentuk-bentuk Transaksi E Commerce dan E Risk” membahas bentuk dan risiko dari e commerce secara umum di beberapa negara. Bab ini menjelaskan secara singkat masing masing bentuk transaksi e commerce seperti business to business, business to customer, customer to customer, dan customer to business. Perdagangan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang tidak lepas dari kegiatan sehari hari Setiap orang pasti melakukan transaksi baik dalam bentuk barang atau jasa Seiring dengan perkembangan zaman, kemudahan teknologi saat ini memungkinkan masyarakat untuk berbelanja atau bertransaksi tanpa meluangkan waktu perjalanan dan dapat dilakukan darimana dan kapan saja. Namun, di balik kemudahan tersebut, transaksi elektronik memiliki risiko yang tidak dapat dihindari, mulai dari penipuan karena barang tidak dilihat secara fisik hingga bocornya data pengguna. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memberlakukan hukum terkait yang dapat melindungi pengguna maupun penjual daring, serta hukum yang dapat beradaptasi dengan perubahan di masa depan karena teknologi yang masih terus berkembang Buku ini dibagi menjadi tujuh bab. Bab pertama membahas revolusi e commerce dan evolusi hukum. Bab ini menjelaskan perubahan pada dunia perdagangan yang mulai berkembang ke arah teknologi digital dan jenis jenis e business yang semakin beragam. Bab ini juga menjelaskan

Pelaku

&

ISBN:

Judul:

Dijabarkan pula dalam bab ini mengenai risiko dalam e commerce dari segi keamanan, bisnis, hukum, dokumen elektronik, dan teknologi Bab keempat membahas perlindungan hukum e commerce di Indonesia, khususnya pasal pasal dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang

. Bab kelima

membahas perlindungan hukum e commerce di Singapura yang memiliki dasar hukum di Electronic Transaction Act 1998 (ETA 1998). Bab ini membahas pasal pasal terkait e commerce dalam ETA 1998 serta komponen lain seperti adanya Badan Sertifikasi atau Certification Authority melalui Case Trust sebagai lembaga akreditasi Bab keenam berjudul “Perlindungan Hukum E Commerce Australia” membahas Electronic Transaction Act 1999 yang menjadi dasar hukum transaksi elektronik di Australia Bab ini membahas secara rinci ayat ayat dalam undang undang tersebut serta dibentuknya Dewan Pembuktian Elektronik Nasional pada 30 Sumber: Karolina Garabowska dari Pexels

tahun 1999 untuk pembuktian tanda tangan elektronik dibawah pengawasan Policy and Root Registration Authority Terakhir, bab ketujuh berisi analisis singkat serta kesimpulan dan saran terhadap perlindungan hukum e commerce dari penulis Hasil kajian ini membuahkan beberapa saran yang dapat membantu Indonesia dalam meningkatkan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha maupun konsumen dalam transaksi online. Penulis menyarankan agar Indonesia dapat mengadaptasi ketentuan yang sudah berhasil dari Singapura serta membentuk sebuah lembaga akreditasi seperti CaseTrust di Singapura. Buku ini merupakan bahan literatur yang bagus terutama bagi mahasiswa atau ahli yang sedang melakukan penelitian berupa perbandingan hukum Indonesia dengan negara lain Selain itu, buku ini juga dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat awam yang bergelut dalam dunia bisnis elektronik atau ingin menambah wawasan mengenai hukum e commerce dan perlindungan konsumen. [Ed.]

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berkaitan dengan transaksi e commerce

KIRIM ARTIKEL KKE IRIM ARTIKEL KE llegaltalksociety@gmail.com egaltalksociety@gmail.com Artikel diterima paling lambat Selasa, 21 Oktober 2021

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.