Sef Menyapa Edisi I 2014

Page 1

Bisnis Syariah: Sebuah Ideal Spiritual Company: Model Usaha Berbasis Syariah


Kata Pengantar

Sambutan Ketua SEF UGM 2014 oleh: Novieka Kurniawan Satori Ilmu Ekonomi - 2012

P

erkembangan ekonomi Islam atau yang lebih tepat dikatakan para ahli sebagai ekonomi islami telah menjamur di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Munculnya berbagai kegiatan ekonomi dengan label syariah seakan menjadi polemik bekepanjangan ketika hanya dianggap sebagai suatu langkah strategi untuk mendapatkan target pasar atau konsumen yang sesuai, dalam hal ini ialah umat muslim. Lalu, bagaimanakah argumen kita sebagai penggiat ekonomi Islam menindaklanjuti merebaknya isu tersebut? Mari kita awali dari sebuah prolog berkembangnya ekonomi Islam di Indonesia dan akan dilanjutkan oleh tulisan-tulisan lain yang terkait di artikel SEF Menyapa edisi perdana tahun 2014 dengan tema Bisnis Syariah (Sharia Compliant Marketing). Periode 1990-an dikenal sebagai awal mula munculnya perbankan syariah di Indonesia. Kemunculan tersebut diawali oleh Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan diikuti oleh bank-bank syariah lainnya. Menindaklanjuti mulai berkembanya berbagai entitas syariah tersebut, maka dibentuklah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai DSN-MUI pada tanggal 10 Februari 1999. Secara garis besar, DSN-MUI bertugas untuk mengklarifikasi “kehalalan�

2

SEF Menyapa | Edisi I 2014

segala bentuk kegiatan ekonomi dari sudut pandang Islam. Terlepas dari sekelumit sejarah perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, hal yang menjadi fokus kita selanjutnya yakni bagaimana mengembangkan apa saja yang dapat menjadi suatu ide atau gagasan ekonomi Islam ke depannya. Tidak hanya berkutat seputar aspek perbankan saja, tetapi juga memunculkan terobosanterobosan baru yang tidak hanya sebatas berlabel syariah semata. Di sektor moneter, ekonomi Islam telah berbicara banyak. Hal itu ditandai dengan tumbuhnya berbagai entitas syariah seperti perbankan syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan yang terbaru adalah konsep MLM syariah. Namun di sektor riil, ekonomi Islam seakan menemui jalan buntu karena harus berhadapan dengan ancaman kegagalan akibat sistem yang belum idle. Tetapi, belakangan ini perkembangan ekonomi Islam di Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya. Salah satu tinjauan ekonomi Islam di sektor riil yang ramai diperbincangkan saat ini adalah bisnis islami atau model perusahaan berbasis syariah. Sektor ini mulai menjadi primadona karena telah terbukti berhasil mewujudkan entrepreneur-entrepreneur muslim yang sukses. Kesuksesan tersebut diperoleh


Kata Pengantar dengan menerapkan prinsip spiritual management dalam pengelolaan usahanya. Lalu apakah bisnis islami sepenuhnya halal dan sesuai syariat? Dalam sudut pandang Islam, Allah SWT telah berfirman dalam QS. AlBaqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa jual beli itu halal, sedangkan riba itu haram (Ahalallahu ba’ia wa harramar ribaa). Melalui ayat tersebut, dapat diambil fadhillah atau intisari kesimpulan dari topik yang dibahas mengenai bisnis berbasis syariah ini. Kemudian, bagaimana konsep dan argumen yang menyatakan suatu bisnis sesuai dengan syariat (halal) atau melanggar syariat (haram)? Nabi Muhammad SAW dalam satu hadistnya menjelaskan bahwa pekerjaan yang paling mulia adalah berdagang atau berjual beli (bisnis)*. Maka dari itu, nikmat Allah SWT manakah yang kita dustakan? Allah SWT sudah berjanji bahwa rezeki kita telah diatur oleh-Nya sehingga kita hanya perlu mengetahui bagaimana cara yang tepat dan sesuai syariat untuk menjemput nikmat dan rezeki yang telah dipersiapkan tersebut. Jawabannya yaitu berbisnislah secara adil dan sesuai syariat Islam. Semoga beberapa tulisan di artikel SEF Menyapa ini dapat memberikan gambaran mengenai bisnis-bisnis yang bagaimana sajakah yang sesuai syariat Islam sehingga kita tidak ragu apabila ingin mengamalkannya dalam praktik jual beli sehari-hari. Selamat dan semangat membaca!

Ketua Umum Novieka Kurniawan Satori Sekertaris Jenderal Azam Akbar Hawariy Redaktur Departemen Kajian SEF UGM Achmad Masyhadul Amin Atika Winastuti Nurindah Sari Basu Gede Pangestu Muhammad Imam Adli Desain dan Layout Departemen Media SEF UGM Guratri Jinggasari Achmad Rizky Fauzi Alamat Musholla Al Banna Lt. 3 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Humaniora 1 Bulaksumur Yogyakarta 55281 Kontak +6282134098914 +6285883903135 email: sef.fe.ugm@gmail.com Twitter: @KSEI_SEFUGM

sef.feb.ugm.ac.id

3


Opini

Bisnis Syariah : Sebuah Ideal

P

oleh: Muhammad Imam Adli Ilmu Ekonomi - 2013

ada beberapa dekade terakhir, berbagai kegiatan yang berlandaskan nilai islam mulai bermunculan di Indonesia. Setelah runtuhnya orde baru yang membawa asas tunggal, kebebasan untuk berpendapat mulai mendapat perhatian sehingga penduduk muslim Indonesia yang merupakan penduduk mayoritas dengan jumlah lebih dari 80%1 mulai menyuarakan agamanya setelah sebelumnya ditutup rapat. Beragam istilah seperti sharia banking, pariwisata syariah, hotel syariah, radio syariah, dan bisnis syariah saat ini sudah tidak asing lagi di telinga sejak runtuhnya orde baru. Perlu diingat bahwa tren alternatif syariah ini diprakarsai oleh sektor riil yaitu sharia banking. Bahkan, bank syariah pertama di Indonesia yakni bank muamalat 2 sudah berdiri sejak tahun 1991, sebelum runtuhnya orde baru. Kemudian, disusul oleh sektor-sektor lain yang bersifat nonriil. Perkembangan alternatif syaria pertama yang berasal dari sektor riil merupakan hal yang wajar, mengingat status bunga bank di dunia Islam masih menjadi bahan perdebatan berbagai mazhab.3 Pada akhirnya, hal tersebut “memaksa” bank syariah dan lembaga keuangan non bunga lainnya untuk didirikan. Tren alternatif syariah pun mulai merambah ke sektor lainnya. Selanjutnya, timbul suatu hal yang menarik untuk didiskusikan yakni apakah

4

SEF Menyapa | Edisi I 2014

makna dari penambahan kata “syariah” di masing-masing sektor tersebut. Adapun persepsi umum yang melekat pada istilah syariah yakni mengindikasikan adanya etika dan hukum islam dalam pelaksanaan sektor tersebut. Misalnya, sharia banking yang menggunakan akad-akad syariah sebagai basis layanan yang ditawarkan dan pasar saham syariah yang menggunakan sukuk sebagai pengganti saham. Berdasarkan pengamatan penulis, hanya sektor yang memiliki perbedaan fundamental antara syariah dan konvensional yang dapat dibedakan secara jelas. Sementara pada sektor lain seperti pariwisata, bisnis, dan lain-lain, terdapat kesan bahwa tidak ada perbedaan berarti selain sebatas nama “syariah”. Ketiadaan standar baku dalam penggunaan nama “syariah” di berbagai sektor, walau terlihat sepele, memiliki efek yang bisa menyebar luas. Perumpamaan sederhananya seperti keberadaan suatu merek di pasar tanpa standar kontrol sama 1

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/ tabel?tid=321 (23/3/2014 – 17.46 WIB)

2 http://campuzherman.blogspot.com/2013/10/ sejarah-perbankan-syaria-di-indonesia.html (23/3/2014 – 18.12WIB) 3 http://hukum-islam.com/2013/03/hukumb u n g a - b a n k- d a l a m - i s l a m / ( 2 3 / 3 / 2 0 1 4 – 18.12WIB)


Opini sekali sehingga kualitas antar produk bisa berbeda jauh. Belum lagi masalah penerapan nilai syariah yang terkadang hanya muncul di permukaan. Ketiadaan kontrol atau standarisasi sering diartikan sebagai inkonsistensi di dunia bisnis yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa tidak percaya dari konsumen. Bahkan dapat dikatakan yang dipertaruhkan adalah nama Islam keseluruhan, sebagai sumber nama syariah yang dibawa. Semangat untuk mengembangkan alternatif syariah di Indonesia bisa saja runtuh hanya disebabkan oleh kesalahan persepsi. Pertanyaan yang kita harus ajukan adalah apakah sebenarnya kata “syariah� yang ditancapkan ke berbagai sektor itu memang dibutuhkan? Jika iya, mengapa kata tersebut dibutuhkan? Sektor riil syariah memang memiliki landasan fundamental yang berbeda jika dibandingkan sistem konvensional, namun bagaimana dengan sektor yang lain? Apakah karena kita ingin menggunakan nama produk dan merek menggunakan bahasa Arab atau karena kita ingin karyawan melakukan pengajian rutin seminggu sekali sehingga penamaan syariah dapat dibenarkan? Apakah penggunaan nama syariah hanya merupakan cara untuk menarik simpati masyarakat, terutama dalam bisnis dimana nama merupakan kesan pertama yang sangat penting? Penulis rasa hal inilah yang menjadi penghambat utama kemajuan sektor syariah: ketiadaan definisi dan kontrol atau standarisasi oleh pihak yang berwenang. Lalu, apakah makna penggunaan nama syariah 4 ? Bagi penulis, penggunaan kata syariah berarti sebuah ideal atau kondisi abstrak logis yang diharapkan didasari oleh hukum agama Islam. Definisi ini diambil dari alasan dasar sektor syariah dikembangkan

ketidakpuasan pada sistem konvensional yang berlaku dan hasrat untuk mengamalkan ajaran Islam pada kehidupan sehari-hari. Persepsi umum dunia Islam berpandangan bahwa banyak nilai-nilai dan norma yang berlaku yang sudah menyimpang dari ajaran Islam sesungguhnya, bahkan di negara Islam sekalipun. Contohnya seperti kebohongan dalam bisnis, korupsi dalam politik, dan masalah makanan haram sudah bukan merupakan hal yang baru. Keberadaan nama syariah seharusnya menandakan tunduknya operasional terhadap syariat Islam, dan menandakan motif yang lebih jauh dari sekadar meraup keuntungan sebanyakbanyaknya. Kata syariah menandakan beroperasinya sebuah ideal dunia Islam yang tak bisa ditegakkan di dunia kapitalis modern kita. Penulis percaya intisari dari makna syariah ini dapat dikembangkan menjadi peraturan, standar, ataupun regulasi dari pemakaiannya. Sejarah industri mengajarkan kita bahwa kemajuan industri sering terwujud dari inovasi yang dibakukan dengan suatu standar, demikian pula dengan industri syariah. Aturan teknis terkait kontrol atau standardisasi tentunya akan berbeda di setiap sektor dan masih akan menjadi bahan perdebatan yang tidak mungkin dibahas secara mendetail di artikel singkat ini. Penulis hanya berharap suatu hari nanti syariah bukan hanya sekadar nama, namun menjadi simbol kondisi ideal praktik ajaran agama islam yang lurus. Marilah kita semua berkontribusi untuk mewujudkannya!

4

Perlu diperhatikan bahwa penulis menyoroti makna penggunaan syaria, bukan dalam tata bahasa pada umumnya.

sef.feb.ugm.ac.id

5


Opini

“Online Shop Syariah� Bisnis Syariah Online oleh:

Annisa Dyara D.

Nabilah Hajar Aflaha

Nisa Amertha Edriyani

Akuntansi – 2013

Akuntansi - 2013

Akuntansi - 2013

S

yariah telah menjadi tren masa kini. Di awali dengan munculnya berbagai bank syariah, kemudian merambah ke dunia bisnis lainnya. Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim tentu saja sangat menyambut hangat kehadiran berbagai kegiatan ekonomi berbasis syariah ini. Menyadari akan adanya perbedaan antara sistem keuangan syariah dengan sistem keuangan konvensional khususnya mengenai sistem ribanya melalui bunga, bank syariah seakan-akan hadir sebagai solusi yang tepat. Masyarakat tentu saja tidak puas apabila hanya bank saja yang memiliki label syariah. Oleh karena itu, sekarang sudah mulai dikembangkan bisnis yang berbasis syariah.

6

SEF Menyapa | Edisi I 2014

Perkembangan bisnis syariah searah dengan perkembangan gaya hidup manusia yang tidak bisa lepas dari teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu ranah bisnis yang di gandrungi anak muda zaman sekarang adalah online shop.

Online Shop adalah toko yang tidak ada wujud fisiknya. Pedagang hanya menjajakan barangnya, yang biasanya di foto lalu di-upload, di internet. Beberapa tempat pemasarannya adalah media sosial yang saat ini banyak digunakan, seperti instagram, twitter, facebook, amazon, tokobagus, kaskus, dll. Lalu, apakah online shop itu sesuai dengan syariat Islam?

Online shop menjajakan barang yang tidak bisa dilihat bagaimana kondisi barang sesungguhnya. Biasanya pedagang akan upload foto barang yang akan dijual dan kita bisa menanyakan karakteristik secara detail dari barang tersebut. Pembelian barang ratarata dibayar secara tunai via ATM. Terkadang ada juga pedagang yang mengharuskan kita membayar DP sebelum barang akan dikirim,


Opini baru setelah DP dibayar barang bisa dikirim. Jual beli secara tidak langsung seperti ini juga dikenal dalam ekonomi Islam. Akad jual beli secara tidak langsung dalam Islam yang umumnya dikenal adalah salam dan istishna’. Secara bahasa, salam (‫)سلم‬ berarti pemberian. Secara istilah, salam merupakan akad jual beli dimana pembeli membayar uang secara tunai (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian pada tanggal yang disepakati. Akad salam ini dibolehkan dalam syariat Islam karena punya hikmah dan manfaat yang besar. Istishna’ hampir sama dengan salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi terlebih dahulu dan diserahkan kemudian. Rukun kedua akad ini yaitu Shighat (ijab qabul), kedua-belah pihak, uang dan barang. Pada zaman Daulah Bani Umayyah, seorang ahli hukum yang juga seorang pedagang bernama Abu Hanifah (80-150 H/ 699- 774 M), tidak terlalu mempersalahkan transaksi salam sepanjang dalam kontraknya betul-betul clearly stated, yaitu ada kejelasan tentang komoditi, jenis, kualitas, kuantitas serta waktu dan tempat penyerahannya. Kita bisa melihat adanya kesamaan proses jual beli online shop dengan jual beli salam atau istishna’. Perbedaannya terdapat pada adanya campur tangan teknologi

dalam proses pemesanannya. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, dari sisi prosesnya, bisnis yang menggunakan media online atau jual beli secara tidak langsung diperbolehkan asalkan kuantitas, kualitas, dan jenis komoditi yang diberikan sama seperti yang ditawarkan serta jelas waktu dan tempat penyerahannya. Apabila syaratsyarat ini tdak dipenuhi, maka jual beli yang terjadi temasuk perbuatan zalim. Sedangkan, hadits riwayat Ishaq dan Al Bazzar mengatakan bahwa Rasulullah melarang jual beli yang kemudian dengan kemudian atau hutang dengan hutang. Salah satu syarat sah ijab qabul seperti yang telah disebutkan di atas adalah tidak ada pembatas antara penjual dengan pembeli. Sedangkan ketika berbelanja online, penjual dan pembeli terhalang oleh jarak. Tidak ada hukum yang pasti mengenai bisnis online berbasis syariah. Dari ulasan di atas tersebut, muncullah satu pertanyaan “Jika online shop itu sendiri masih menimbulkan banyak perdebatan mengenai syariah-tidaknya, maka bagaimana mungkin muncul usaha online shop yang sudah berbasis syariah?” Bagaimana berdagang yang sesuai dengan syariat Islam? Berdagang menurut pandangan Islam memiliki tujuan mencari laba dengan keridhoan Allah SWT. Hal yang di perdagangkan adalah barang dengan barang atau barang dengan uang. Unsurunsur dalam perdagangan adalah ada barang yang halal atau uang, ada penjual dan pembeli, serta ada ijab qabul. Syarat sahnya ijab qabul adalah tidak ada pembatas antara penjual dann pembeli, tidak disela dengan kata-kata atau perbuatan lain, tidak bersyarat, dan tidak dibatasi oleh waktu.

sef.feb.ugm.ac.id

7


Opini

Spiritual Company : Model Usaha Berbasis Syariah

M

oleh: M. Faizal Ramadhan Manajemen - 2012

enjalankan bisnis tentu saja harus berdasarkan prinsip-prinsip yang benar dengan harapan bisnis tersebut mendapatkan profit di kemudian hari. Sebagai seorang muslim, tentu saja kita harus menjalankan bisnis sesuai prinsip-prinsip dan ketentuan yang sudah ditetapkan dalam islam. Spiritual company adalah suatu model perusahaan yang dicetuskan oleh seorang murabi yakni ustad Yusuf Mansur yang selalu mendorong agar kita semua umat islam bisa menjadi seorang pengusaha seperti Rasulullah SAW. Beliau juga ingin menciptakan barisan pengusaha yang berlandaskan pada nilai-nilai islam. Spiritual company memberikan contoh model perusahaan yang berdasarkan pada nilai-nilai islam. Nilai yang paling mendasar di dalam spiritual company adalah nilai-nilai tauhid kepada Allah SWT yang mudah diterapakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bagaimana menjaga solatnya karyawan karena solatnya karyawan tidak hanya sebatas tanggung jawab karyawan tersebut, namun juga menjadi tanggung jawab dari owner perusahaan tersebut. Lalu, bagaimana owner perusahaan juga bertanggung jawab atas bisa atau tidaknya seorang karyawan dalam membaca al-quran. Dalam menjalankan suatu usaha, mendapatkan profit adalah hal yang seharusnya dan semestinya didapatkan oleh owner perusahaan. Tetapi, jika hanya

8

SEF Menyapa | Edisi I 2014

keuntungan yang dikejar, maka berbagai masalah bahkan kerugian akan langsung muncul yang mungkin tidak disadari karena tidak diketahui. Sebagai contoh, seorang owner perusahaan yang bernama Fulan hanya peduli pada keuntungan, tetapi tidak peduli terhadap solatnya karyawan. Padahal, kelak di yaumil hisab yang akan ditanya oleh Allah SWT bukan berapa banyak profit atau hasil penjulan yang diperoleh, melainkan yang akan ditanya adalah ” hai Fulan kamu telah diberikan usaha dan diamanahkan beberapa karyawan yang ikut bersama kamu, lalu bagaimana solatnya? Apakah selama ia bekerja di tempatmu ia menjadi tidak solat?”. Kita tidak bisa menjawab itu adalah tanggung jawab masing-masing karyawan, karena itu adalah bentuk tanggung jawab yang ada di pundak owner atau pemilik perusahaan tersebut. Hal yang ingin dicetak dalam spiritual company tidak hanya sekadar mencetak keuntungan, namun juga mencetak amal saleh dan amal ibadah. Menjadi seorang pengusaha sebaiknya tidak hanya mencetak sejarah di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Misalnya, ketika seorang karyawan suatu perusahaan ditanya oleh Allah SWT di yaumil hisab, “apakah yang didapat setelah kamu bekerja di tempat itu ?”, lalu karyawan menjawab “sejak saya bekerja di perusahaan tersebut saya bisa kredit sepeda motor dan bisa bayar cicilan rumah”. Sudah sewajarnya dan sepatutnya owner perusahaan mensejahterakan karyawannya.


Ilustrasi Namun, pada spiritual company ketika karyawan ditanya dengan pertanyaan yang sama meraka menjawab “setelah saya bekerja di tempat ini saya awalnya tidak bisa baca al quran dan sekarang alhamdulilah saya khatam al-quran”. Bukan hanya karyawan saja yang berterimakasih, tetapi dia lah sang maha Allah SWT. Spiritual company merupakan sebuah model yang dapat diterapkan di berbagai perusahaan baik yang sedang berjalan maupun yang hendak dimulai. Tidak hanya masalah keagamaan, spiritual company juga menyiapkan kurikulum pengajaran yang dapat dibingkai selama satu tahun. Misalnya mengajarkan karyawan how to smile kepada para konsumen, mewajibkan para karyawan untuk solat duha sebagai media absensi, mengadakan ta’lim-ta’lim motivasi dan aplikatif untuk kehidupan sehari hari dan banyak hal lain yang bisa diterapkan. Spiritual company hadir untuk menjalankan nilai-nilai islam dalam usaha atau bisnis. Dengan menerapkan prinsip tersebut, insyaallah Allah SWT akan percaya kepada kita untuk memberikan daerah-daerah atau lahanlahan sebagai usaha milik kita yang akan mendatangkan rezeki yang berkah dan bertambah. Bukan tidak mungkin Allah SWT akan memberikan rezeki yang lebih dari pengusaha yang lainnya karena Allah SWT sudah ridho atas usaha yang kita lakukan. RAIHLAH AKHIRATMU.

DUNIAMU

UNTUK

Wallahualam bishawab…

sef.feb.ugm.ac.id

9


Opini

Dilema Manajer: Profit atau Akhlak?

D

oleh: Sulistyawati D. Apriliani Akuntansi – 2013

i era modern ini, minimarket menjamur di Indonesia. Kebutuhan manusia yang terus meningkat dan beraneka ragam menjadikan prospek bisnis ini cerah. Bisnis ini rupanya menduduki posisi penting dalam menunjang kegiatan belanja harian rumah tangga. Tren belanja nyaman, teknologi memadai, tata ruang yang cantik, dan pelayanan yang baik menjadi andalan minimarket. Pesatnya perkembangan bisnis minimarket tentunya tak lepas dari peran manajer. Manajer yang menjalankan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan ini menanggung amanah yang besar. Sebagai pemimpin perusahaan, manajer akan mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah ,diri sendiri, dan stakeholders. Tercantum dalam Q.S. Al-An’am (6): 165 “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.� Allah SWT telah mengizinkan manusia untuk bertebaran di bumi mencari nafkah. Tentunya dengan cara yang telah disyariatkan. Sayang sekali, seiring perkembangan zaman, tidak sedikit manusia yang semakin menempatkan material di atas

10 SEF Menyapa | Edisi I 2014

segalanya. Mengeruk keuntungan dengan berbagai cara sehingga sering merugikan pihak lain. Dengan berpatokan pada profitoriented, moral pun sering disepelekan. Dalam hal ini, manajer dihadapkan dengan trade-off antara mencari laba tinggi atau menjaga akhlak dan aqidah. Dalam bisnis minimarket, pengelolaan yang kembali pada koridor Islam sangat diharapkan. Terlebih masalah manajerial produk. Kita dapat melihat bahwa banyak barang yang sebenarnya tidak baik dikonsumsi masyarakat namun cukup strategis penjualannya, yakni rokok. Sangat jelas bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan paru-paru. Akan tetapi menjadi pemandangan lumrah ketika banyak pelanggan mondar-mandir ke minimarket untuk mendapatkan rokok. Memang sangat laris dengan varian rokok yang banyak. Kemudahan yang ditawarkan minimarket dalam hal memenuhi kebutuhan manusia juga sekaligus memudahkan para perokok menggadaikan kesehatannya. Hal ini tentunya sangat miris. Etalase-etalase minimarket juga diwarnai barang-barang impor yang terkadang belum mendapatkan etiket halal dari MUI. Jika konsumen tidak berhatihati maka akan terjerumus pada konsumsi makanan syubhat. Kita akan bertanya-tanya, siapakah yang harus bertanggung jawab bila


Opini makanan yang tidak jelas ke-halal-annya itu bersarang di tubuh kita? Tidak hanya itu, aneka minuman beralkohol dipajang secara bebas bahkan mudah terjangkau. Kita patut menyayangkan penegakan peraturan yang terkesan lunak mengenai peredaran berbagai minuman beralkohol yang jelas-jelas dapat merusak moral masyarakat. Tidak hanya masalah wujud produk, praktik manipulasi harga juga kerap dilakukan. Terkadang ada minimarket nakal yang mencantumkan harga lebih murah di etalase daripada harga sebenarnya yang ada pada database perusahaan. Meskipun hanya selisih harga sedikit saja namun tetap merugikan pihak konsumen.

Memang sulit bagi manajer untuk mengambil keputusan terutama masalah profit-target. Mendirikan minimarket mandiri berbasis syariah bisa menjadi langkah awal manajer yang mampu membuat keputusan ekstrem untuk tidak mengikuti arus bisnis ritel liberal lain. Apabila minimarket mandiri ini semakin maju maka dapat mendirikan waralaba sehingga mampu menyebarkan keajaiban syariah Islam. Sebagai manajer yang mengindahkan syariat Islam, menegakkan akhlak dan aqidah menjadi harga mati. Dengan menjual barang halal dan thoyyib kepada konsumen pasti tetap mendatangkan profit. Tetap istiqamah di jalan Allah, profit dunia dan akhirat Insya Allah tergapai.

sef.feb.ugm.ac.id

11



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.