6 minute read

Feature 27

Next Article
Cerpen 30

Cerpen 30

diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, Pygmy Owl Coffee adalah burung hantu kerdil.

“Sesuai dengan ukuran kedai kopi ini. Walaupun burung hantu itu kerdil, ia mampu terbang tinggi dengan kecerdasan yang dimiliki. Begitu halnya kafe ini, walaupun kecil tapi semoga namanya bisa tinggi mengudara,” tutur Aditya. Sementara itu, imbuh Aditya, seluruh perabot dan pernak-pernik di Pygmy Owl Coffee terbuat dari kayu dan menjadi salah satu keunikan kedai miliknya.

Advertisement

Semangat Bisnis dan Literasi

Ada satu yang menarik dari keinginan Aditya untuk mendirikan kedai Pygmy Owl Coffee. Mahasiswa semester tujuh itu memiliki semangat bisnis kepedulian tinggi terhadap literasi kaum muda-mudi.

Dari penuturannya, Aditya sering meng-habiskan waktu belajar bisnis melalui koleksi buku pribadinya yang kini ditempatkan di kedai kopi miliknya. Aditya sengaja menempatkan puluhan buku miliknya di rak bagian depan kedai kopi agar pengunjung bebas membaca buku di tempat. Buku-buku tersebut, kata Adi- tya telah memberi banyak pers- pektif dan kekuatan pada dirinya untuk terus berkembang. “Buku Rich Dad Poor Dad misalnya, menjelaskan bagaimana uang bekerja buat kita, bukan kita yang bekerja buat uang. Apalagi anak muda, bukan lagi saatnya untuk berfoya-foya, tapi bagaimana bisa berinvestasi buat masa depan. Dari situlah saya ingin berwirausaha,” jelas Aditya Selain buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki dan Sharon Lechter, ada buku berjudul Start with Why: How Great Leaders Inspire Eve- ryone to Take Action karya Simon Sinek berpengaruh besar dalam kehidupannya. Menurutnya, buku tersebut dapat menyadarkan pembaca bahwa kata “why” mampu merubah langkah kehidupan manusia.

“Jadi kita akan tahu mau melangkah ke mana ke depan. Itu menjadi motivasi saya untuk mendirikan kedai ini,” ucap Aditya.

Menusuk Batin yang Diam

|| Niken Sekti Khanifah || rut. Sementara Lisa, dengan posisi berlutut di sebelah Pak Putra, matanya menatap kosong ke tubuh bapaknya, Wajahnya begitu basah.

egerombol warga tengah

Sberjalan mengelilingi kampung di gelap malam. Sebagian dari mereka mengenakan sarung yang dikalungkan di pundak, ada yang mengenakan kupluk, dan ada pula yang membawa senter. Mereka, lima orang laki-laki paruh baya, berjalan mengawasi sekitar sambil mengobrol hangat untuk melawan dingin malam. Malam itu seolah seperti malam biasanya, tak ada hal

( Amanat/Imamul )

aneh yang terjadi. Namun tiba-tiba terdengar samar teriakan, sepertinya perempuan. Mereka bergegas menuju sumber suara yang ternyata berasal dari rumah Pak Putra. Pintu rumah yang masih terkunci dari dalam didobrak paksa oleh mereka. Terlihat Pak Putra tergeletak bersimbah darah di ruang tengah. Terdapat tiga luka tusuk tepat di bawah dada dan pePerempuan yang mulai mengincak masa remaja itu seperti setengah kerasukan setan. Semua perkataan dan pertanyaan dari warga yang datang tak sedikitpun masuk ke telinganya. Sebatang vas bunga jatuh dari tangan mungilnya yang melemas. Sementara itu, tubuh Bu Tika sudah tergeletak dengan pisau dapur terlepas dari genggaman tangannya. Ia sudah tak sadarkan diri.

Sore, seminggu yang lalu. Klakson mobil berbunyi dari depan garasi, itu Pak Putra yang baru pulang dari bekerja. Istrinya kemudian muncul membuka gerbang garasi, menyambut dengan hangat kedatangannya. Namun Ia tak begitu antusias atas sambutan sang istri. Raut

wajahnya kusut dan letih, mulutnya tak mengeluarkan kata barang sepatah. Di luar sedang hujan deras. Suara rintik mennggeletuk di atap rumah, menerobos ke dalam seperti musik abstrak di tengah keheningan. Hawa dingin dari luar berusaha merangsek masuk.

Rupanya, di dalam rumah jauh lebih dingin daripada di luar. Pak putra melangkahkan kaki satu persatu menuju toilet yang berada di dalam ruang tidur. Namun, baru melangkahkan satu kaki dari pintu toilet, pak putra terpeleset dan pantatnya terbentur cukup keras di lanta, Bu Tika lantas menjemput ke toilet dan membantu suaimanya. “Buk, kamu ini tadi seharian ngapain aja si. Bersihin dong lantainya, tau licin gak!” Bentakannya terdengar keras hingga terdengar di telinga Lisa yang sedang menonton televisi di ruang tengah.. “Maaf yah,” istrinya hanya bisa pasrah. Usai mandi, Pak Putra duduk di sofa ruang tengah di samping Lisa. Meskipun begitu, tak ada obrolan dari kedua anak-bapak itu.. Bu Tika memberikan datang dari daput membawa secangkir teh untuk suaminya. “Ini yah” Tak sengaja, Bu Tika tersandung meja kecil, dan, crat... Teh yang masih panas itu tumpah di tubuh suaminya. Sejurus kemudian tamparan tangan lelaki kekar itu mendarat di pipi Bu Tika. Si suami memuntahkan segala bentuk makian ke wajah Bu Tika. Entah seta napa yang merasuki lelaki tersebut, ia seperti lupa bahwa yang dihadapi tak lain istrinya sendiri. Lagi-lagi, Lisa menyaksikan secara langsung ibunya di siksa. Batas kesabaran telah tenggelam sangat dalam oleh amarah. Matanya yang memerah terpejam sesaat, dan bangkit dari kursi. Giliran setan yang berada di tubuhnya yang keluar memaki lelaki yang biasa dipanggilnya ayah, mengamuk. Plak…Tamparan kali ini menerjang pipi Lisa. Ia terjerembab ke sofa setelah didorong dengan kasar. “Ayah sialan!” “Anak kurang ajar!,” Setelah kedua perempuan di rumahnya terkapar, Pak Putra pergi dari rumah. Seorang tetangga yang mendengar kerubutan segera tau apa yang terjadi. Ada yang kemudian datang ke rumah untuk menenangkan Bu Tika dan Lisa. Hampir semua tetangganya tau pertengkaran yang sering terjadi rumah itu. Mereka seringkali menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi di rumah tangga keluarga Pak putra. Tetapi selalu dijawab enteng oleh Bu Tika. Lisa sendiri telah sangat sabar menghadapi sifat keras sang ayah. Ia juga kerap menjadi pelampiasan kemarahan ayahnya. Tetapi ia berusaha memaklumi, bahwa ada

32 Puisi Editorial Cerpen hal dibalik perubahan sifat ayahnya yang menjadi sangat tempramen usai kejadian lima tahun yang lalu. Tak ada yang tau pasti alasannya. Keesokan harinya, kejadian yang dialami keluarga pak putra saat itu tersebar dari mulut ke mulut oelh tetangganya. Ibu-ibu yang sedang berbelanja, yang sedang merumpi di teras-teras rumah ketika sore, bahkan bapak-bapak di pos ronda tak ketinggalan membicarakan keluarga Pak Putra. Beberapa hari kemudian barulah alasan tersebut sedikit-demi sedikit terungkap. Saat itu kondisi Bu Tika seperti orang yang mengalami depresi. Bertahun-tahun diperlakukan kasar oleh suaminya, hingga kejadian terakhir, kepalanya membentur lantai ketika didorong jatuh. Ia banyak melamun, tatapannya kosong, dan tak pernah menangis. Entah apa yang ada di pikirannya. Lisa duduk di sampingnya, di ruang tamu. Air matanya satu dua menetes pelan membasahi pipi. Kemudian menguap oleh amarah yang keluar dari dalam dirinya. Amarah yang ditujukan ayahnya sendiri. Selama ini, ia menahan amarahnya karena selalu teringat perkataan ibunya. Sayang, ayahmu pikirannya sedang ruwet, jadi maklumi sikapnya ya, Ibu gapapa kok, kata ibunya ketika Lisa protes kenapa ibunya selalu terima dimarahi oleh ayahnya. Seperti biasa, suasana rumah begitu hening. Kali ini Lisa hanya bisa diam melihat ibunya hanya diam. Pertanyaan-pertanyaan hangatnya tak mampu menembus dinginnya sikap Bu Tika. Dalam keheningan, pintu rumah tiba-tiba terbuka tanpa ada suara orang mengetok, Lelaki paruh baya itu langsung menerjang Bu Tika. Lisa reflek mendorongnya hingga ia terpental ke lantai. Tetapi lelaki itu kembali bangkit dan berlutut kepada Bu Tika. Cengkramannya begitu kuat hingga Lisa tak mampu menariknya. “Maafin aku bu, maafin,” lelaki itu terus merengek meminta maaf. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan air mata. Meskipun sudah kerap kali kata maaf itu keluar, dan hanya keluar tanpa ada perbaikan setelahnya, permintaan sore itu terlihat begitu tulus. Bahkan setelah serangkaian makian dari Lisa menyerbu dan usaha untuk memisahkan lelaki itu dari Ibunya dengan dorongan dan tarikan dilancarkan. Lelaki itu tak bergeming, pun Bu Tika. Tetes-tetes air mata itu pada akhirnya mampu memecahkan ego setiap manusia. Membentuk sebuah karya yang begitu indah. Air mata sore itu mampu mendinginkan dada dan kepala yang membara. Meskipun tetap saja, belum mampu mengembalikan senyum Bu Tika. Lisa pada akhirnya memeluk ayah dan ibunya, tidak begitu lama. Kini mereka duduk di kursi sama rata. Kata-kata yang

This article is from: