![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/e5e798822f47d6a6aafff6fd437a831c.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
3 minute read
Resensi Buku 18
tanpa meninggalkan kebijakan dan ke- bajikan sebagai prinsip hidup. Mengapa harus hidup dengan pemikiran mereka? Saat ini, banyak orang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tetapi masih kurang inisiatif untuk mencari tahu validitas dan aku- rasinya. Berita-berita bohong yang tersebar luas masih ditelan mentah-mentah begitu saja, sehingga mudah sekali mendistraksi pemikiran khalayak dengan tujuan politis belaka.
Dengan menjadikan selalu berpikir kritis dan humanis sebagai prinsip hidup, kita dapat meminimalkan penyebaran hoax yang dapat merugikan manusia.
Advertisement
Sayangnya, penyampaian dalam buku ini tak berbeda jauh la- yaknya motivasi yang dilontarkan oleh para motivator ulung. Ferdinand lebih memilih kata “Anda” yang justru menciptakan jarak antara penulis dan pembaca. Seolah-olah, penulis ingin menitah pembaca agar berlaku begini dan begitu. Selain itu, penggunaan kata ganti kedua juga menyiratkan superioritas dari penulis, seolah ia telah berhasil mengamalkan semua perkataannya. Bagi sebagian orang, tipe penulisan yang demikian justru terkesan omong kosong belaka alih-alih meyakinkan pembaca. Kendati demikian, buku Berpikir ala Einstein, Bertindak ala Gandhi dapat dijadikan salah satu refe- rensi untuk lebih me-ngenal pemikiran dua tokoh besar yang sumbangsihnya bagi dunia tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahasa yang digunakan pun terbilang ringan dan mudah dipahami.
Apabila sebuah gagasan tidak masuk akal sejak kali pertama maka tidak ada harapan untuknya.” Albert Einstein
Potret Perlawanan Perempuan di Budaya Patriarki
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/54c02a61f523d478ff0a087da7296714.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Judul film: Yuni
Sutradara: Kamila Andini
Produser: Ifa Isfansyah dan Chand Parwez Servia
Penulis: Kamila Andini dan Prima Rusdi
“Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan. (One is not born a women, but becomes one)”.
Simone De Beauvoir
Produksi: Kharisma Starvision Plus
Durasi: 122 menit
Pemeran: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Neneng Wulandari, Vania Aurell, Boah Artika, Anne Yasmine, Asmara Abigail, dan Nazia Toyib
Resentator: Muhammad Khasan Sumarhadi enggambarkan kisah remaja perempuan bernama Yuni (Arawinda Kirana) yang mengalami kegundahan dalam menenM tukan masa depan. Sosok Yuni digambarkan seperti memakan buah simalakama, dimana ia harus memilih diantara dua pilihan sulit di dalam hidupnya. Melanjutkan pendidikan atau menikah di usia muda mengikuti tradisi di lingkungan tempat ia tinggal.
Yuni mengangkat segelintir isu perempuan dengan berbagai persoalan yang harus mereka hadapi di tengah masyarakat. Dari permasalahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), seks edukasi yang masih tabu, tun- tutan menikah muda, hingga poligami. Meskipun Yuni tidak menyatakan sebagai film feminis secara terang-terangan, isu yang dibahas didalamnya melebihi label itu sendiri.
Selain itu, pada awal film menyinggung tentang tes keperawanan yang diwajibkan bagi siswa perempuan yang menunjukkan bahwa keperawanan masih dianggap sebagai tolak ukur pantas atau tidaknya pe- rempuan dinikahi. Hal ini digambarkan ketika Yuni dilamar oleh Mang Dadang yang akan mem- berikan seluruh hartanya untuk Yuni jika ia tidak pernah berhubungan dengan siapapun sebelumnya.
Mitos dan pamali yang tumbuh subur di masyarakat membuat pendirian dan ambisi Yuni untuk mengejar mimpinya menurun. Seperti pamali menolak tiga kali lamaran pria akan menyebabkan seorang perempuan sulit menda- patkan jodoh dan tidak akan pernah menikah.
Di dalam film, Yuni dilamar oleh dua pria yaitu Iman yang belum pernah ia kenal dan Mang Dadang yang akan membe- rikan sejumlah harta demi menikahi Yuni. Kisah Yuni dan teman-temannya di dalam film men- jadi gambaran realita kehidupan perempuan di daerah tertentu yang masih meng- atasnamakan adat dan budaya.
Kepercayaan terhadap mitos yang tinggi membuat sebagian perempuan tidak sadar bahwa dirinya memiliki pilihan yang beragam untuk merubah nasib.
Yuni menjadi salah satu film feminis yang lantang namun tidak bising dalam me- nyampaikan cerita. Penonton tidak me- nemukan jargon-jargon isu yang membuat film terasa seperti kampanye.
Karakter Yuni diceritakan secara sederhana, namun setiap bingkai dan adegan menyadarkan penonton bahwa
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/ec6c4f0571b2a56149318df1915b2ad1.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
isu perempuan ini nyata terjadi.Yuni diibaratkan sebagai sebuah puisi. Seperti narasi film yang menyertakan karya penyair Sapardi Djoko Damono. Bait-bait puisi dirangkai mengikuti alur cerita dengan pesan dan makna di dalamnya.
Perempuan Memiliki Kebebasan
Dalam berbagai aspek kehidupan dan ruang lingkup seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan hukum budaya patriarki masih terus tumbuh.
Perkembangan budaya patriarki tentu menimbulkan berbagai masalah sosial. Ketidakadilan gender menjadi faktor pendukung tumbuh budaya patriarki.
Di beberapa daerah tak jarang perni- kahan dimaknai sebagai penyelamat transaksional.
Film ini terlalu banyak mengangkat poin-poin isu kekerasan seksual namun sejatinya film Yuni kaya akan kepadatan isi yang mena- rik.
Secara halus menunjukkan realita bahwa perempuan masih dilihat seperti barang yang diperjualbelikan.
Film Yuni membawa pesan feminisme menampilkan tokoh perempuan yang bisa bekerja sama dan mandiri.