![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/63e43f3b7cb31cfdda0540eeac00664c.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
2 minute read
Fotografi 16
Brown Canyon
Brown Canyon terletak di Rowosari, Kec. Tembalang, Kota Semarang. Dinamakan Brown Canyon karena mirip dengan Grand Canyon yang ada di Arizona, Amerika Serikat. Tempat ini adalah proyek galian pertambangan yang tanpa sengaja menjadi tempat wisata lalu menarik turis lokal maupun asing karena keindahan alam dan tanpa dipungut biaya.
Advertisement
( Amanat/Imamul)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/90488b72cfa61633aaef4a2ca967d16d.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Tetap Berdiri di Tengah Keterbatasan Diri
Barangkali kita sering mende- ngar pernyataan bahwa orang yang cerdas secara intelektual, memiliki kecerdasan emosional yang rendah; pun sebaliknya. Pernyataan tersebut diamini oleh khalayak sehingga lambat laun seolah menjadi fakta mutlak. Padahal, jika bisa menguasai kedua-nya—intelek- tual dan kemanusiaankenapa harus terkungkung pada salah satunya saja? Pada buku Berpikir ala Einstein, Bertindak ala Gandhi, Ferdinand mengemas perjalanan hidup dua tokoh besar yang berpengaruh dalam bidang keilmuan dan kemanusiaan yang dapat dijadikan inspirasi untuk menguasai dua aspek tersebut— kognitif dan humanis. Masa kecil Einstein yang berbeda dari sebaya—diduga mengalami autisme dan disleksia,membuat dia lebih banyak menyendiri dan membaca buku. Dari kebiasaan membca- nya itulah, Einstein melahirkan berbagai pemikiran- nya, khususnya dalam bidang Sains. Bahkan, pemikiran-pemikiran Einstein dijadikan acuan dan referensi bagi cendekiawan setelahnya. Dari Einstein, kita dapat mempelajari bahwa setiap anak itu unik dan memiliki dunia- nya sendiri. Keliru jika mencerca, meng- hukum, dan membatasi imajinasi anak, tanpa memberikan
Judul : Berpikir ala Einstein & Bertindak ala Gandhi Penulis : J. Ferdinand Setia Budi Penerbit : DIVA Press Tahun Terbit : 2016 (Cetakan Pertama) ISBN : 978-602-296-195-6 Tebal : 180 hlm. Genre : Motivasi/Pengetahuan Umum Resentator : Erlita Mirdza Septyasningrum
bimbingan. “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Sebab, imajinasi tidak terbatas.” … Imajinasi tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Sementara, pengetahuan dibatasi oleh konsep, teori, serta membutuhkan langkah-langkah tertentu. [100-101] Sedangkan Mahatma Gandhi yang lahir dan tumbuh di negara kultural, harus hidup nelangsa di bawah penjajahan Inggris. Jiwa humanismenya tergerak menyaksikan pertumpahan darah di tanah airnya. Akan tetapi, atas kebijakannya, Gandhi percaya bahwa melawan penjajahan dengan perang bukan solusi tepat dan akan menimbulkan lebih banyak korban. Gandhi memilih jalan lain berupa Satyagraha (devotion to the truth)—demonstrasi tanpa kekerasan. “Jadilah bagian dari perubahan yang ingin Anda saksikan di du- nia ini.” –Gandhi [156] Dari buku Berpikir ala Einstein, Ber- tindak ala Gandhi, dipaparkan pula bahwa dukungan material maupun emosional dari keluarga yang didapat Einstein dan Gandhi merupakan privilege yang belum tentu dimiliki oleh semua anak.
Sebab, ada keterlibatan orang tua di balik layar yang selalu memberikan bantuan, dukungan, dan dorongan semangat. … Bukan tidak mungkin Einstein dapat menjadi seperti yang Anda kenal apabila ia hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak kooperatif. Ia mungkin akan tumbuh menjadi manusia yang mengalami penderitaan tiada akhir akibat putus asa saat ditolak oleh berbagai sekolah. [h. 23]
Relevansi Buah Pikir Einstein-Gandhi
Buku ini terbagi menjadi dua bagian yang masing-masingnya dibagi lagi menjadi tiga bab. Pada bab pertama, fokus pada biografi tokoh, disusul dengan pemikiran dan sikap dari tokoh yang patut dijadikan contoh. Terakhir, pada bab ketiga, Ferdinand mencantumkan ku- tipan-kutipan inspiratif dari masing-masing tokoh.
Pemaparan yang runut—meski tak begitu lengkap—me- ngenai perjalanan hidup Einstein dan Gandhi, dapat menggerakkan pembaca untuk terus mengasah kemampuan berpikir,