2 minute read

Esai

Next Article
Puisi

Puisi

38 Puisi Salam Redaksi Esai

Ketidaktahuan

Advertisement

Sokrates dikenal sebagai bapak dari filsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki gaya berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan di pasar di kota Athena. Ia berjalan berkeliling di pasar dan berteriak berteriak kepada banyak orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya, ”Hai Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates ha- nya menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”

Di Timur, kita mengenal Bodhidharma sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme dari India ke Cina. Mulanya, perkembangan Buddhisme di India di- mulai sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Lalu, bergeser ke China sekitar tahun 200 setelah Masehi. Namun, keha- diran Bodhidharma mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang sudah ada Cina pada masa itu. Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma menjawab, “Tidak ada. ”Sang penguasa pun marah mendengar jawaban itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya tidak tahu.” Dari Sokrates dan Bodhidharma, keduanya sama-sama mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Namun, apa maksud dari jawaban ini? Apakah sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud lain yang ingin mereka sampaikan? Tentang ketidaktahuan, kita hidup di ujung “era manusia”. Humanisme sedang berevolusi menuju sistem nilai baru. Banyak kemarahan lahir dari rahim ketidaktahuan. Maka, benarlah hujjah daripada Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters tentang matinya kepakaran. Era matinya kepakaran ini di tandai oleh dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual.

Para ilmuwan yang tidak lagi menikmati rasa hormat atas posisi otoritatif mereka dalam bidang tertentu, dan banyaknya orang awam yang mengabaikan fakta namun berani berhujjah dengan hal yang bertentangan serupa orang hebat. Kenyataan ini menjadi kita amini kala menengok persoalan substansial— yang melelahkan—di media sosial. Polaritas, perselisihan, dan manipulasi atas kebenaran begitu melimpah. Kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kasus pembunuhan Bri- gadir J, atau misteri kebakaran Gedung Kejaksaan Agung 2020 lalu. Juga penembakan di KM 50. Barangkali kita akan berterima kasih pada pesulap merah yang telah membongkar kejumudan Gus Syamsudin dalam manipulasi pengobatan tradisional yang ia lakukan. Atau ada paradigma keilmuan baru yang ingin disampaikan Gus Syamsudin melalui caranya sendiri. Kini, kita dihadapkan pada sebuah pemahaman tentang bagaimana pengetahuan sejati mampu menjadi sumber dari segala sumber pertang- gungjawaban kebenaran, bukan sumber arogansi. Bukan juga sebagai “yang menyesatkan”. Etika konfusianisme menyebut pengetahuan sejati adalah mengetahui sejauh mana ketidaktahuan seseorang.

This article is from: