![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/15de1881b9cbddbaa4b15d5a3ef8df15.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
2 minute read
Resensi Film 21
Masing-masing karakter hadir dalam film ini membawa beban kehidupan yang mereka pikul. Seperti sosok Suci Cute (Asmara Abigail) dengan dialog khasnya “freedom abis!” mempresentasikan sosok pe rempuan yang mencari kebebasan dan pilihan untuk mengendalikan hidupnya sendiri.
Begitu pula dengan Ibu Lies (Marissa Anita) yang menunjukkan kepada Yuni bahwa perempuan memiliki pilihan selain menikah di usia muda.
Advertisement
Tokoh lain seperti Pak Damar (Dimas Aditya) guru idola Yuni dan Yoga (Kevin Ardilova) menjadi karakter pendukung dalam kisah perjalanan hidup Yuni. Dengan alur yang yang lambat namun tidak tergesa-gesa, durasi 122 menit mungkin akan sedikit membosankan bagi sebagian orang. Namun, pesan yang di- sampaikan bisa dicerna meskipun tidak secara gamblang.
Namun, karena film ini menggunakan bahasa daerah Jawa Serang penonton akan terdengar asing ketika mendengarnya. Meskipun demikian, Film Yuni merupakan film berbahasa daerah Jawa Serang pertama di Indonesia. Bebe- rapa film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah sebe- lumnya seperti Turah (2016) dan Yowis Ben (2018) .
Sejumlah masalah yang dihadapi oleh remaja perempuan digambarkan dalam film Yuni sejatinya masih jarang disinggung dalam dunia perfilman Indonesia.
Kehadiran Yuni membuka ruang diskusi baru yang lebih segar dan dibumbui lanskap budaya Kabupaten Serang yang belum banyak diangkat ke layar lebar.
Film Yuni (2021) berhasil memperoleh beberapa penghargaan di film Indonesia Piala Maya (2022) dengan kategori Best Actress in Leading Role, Best Editing, Best Feature Film, Best Director, Best Original Screenplay, Best Poster Design, dan Best Camera System. Serta penghargaan Festival Film Indonesia 2021 kategori pemeran utama perempuan terbaik oleh Arawinda Kirana.
Ironi Generasi “Penghamba” Eksistensi
Dalam pelaksanaannya makan cantik dianggap bisa menggambarkan kelas atas sebagai identitas menjadi citra sosial yang melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat.
Di Era yang serba digital seperti sekarang, sering kali kita menemukan beragam postingan makanan yang dibingkai secara cantik dan menarik. Bera- gam postingan ini nyatanya ampuh mempengaruhi pengguna jejaring sosial media untuk me- yakini bahwa makanan itu terlihat enak dan lezat, meskipun kenyataanya tidak demikian.
Fenomena memotret dan me- ngunggah makanan di sosial media ini sering kali disebut dengan istilah makan cantik. Menurut Herlinda (2015) makan cantik ialah sebuah konsep yang dibuat oleh kelas tertentu di daerah Senopati, Jakarta Selatan. Masyarakat tersebutlah yang menyebarluaskan kegiatan ‘makan cantik’ di sosial media. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara memposting sebuah foto dari makanan yang mereka pesan pada café yang estetik dengan interior yang indah atau biasanya dilakukan di restoran-restoran mewah kelas menengah dan atas, kemudian dipos- ting ke dalam sosial media mereka.
Realitas yang dihadirkan dalam media sosial menjadi acuan utama, seolah-olah menampilkan keyakinan bahwa apa yang ada di dunia maya adalah nyata seperti yang ditam- pilkan. Sehingga apa yang tidak ditampilkan di media