Buletin SKM Amanat Edisi 24

Page 24

buletin

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

Dengung Intelektual yang Memudar
Edisi 24 - Oktober 2022 ISSN: 0853-487X
Pesta Kematian Etika Tetap Berdiri di Tengah Keterbatasan Diri Merawat Literasi dalam Secangkir Kopi
6 - 11| Laporan Utama 12- 14 | Artikel 35-37 | Sosok Sang Juara yang Sempat Ragu Kuliah Pesta Kematian Etika Dengung Intelektual yang Memudar Editorial 4 Salam Redaksi 5 Rehat 15 Fotografi 16 - 17 Resensi Buku 18 - 20 Resensi Film 21 - 24 Opini 25 - 26 Feature 27 - 29 Cerpen 30 - 33 Puisi 34 Esai 38 DAFTAR ISI Pemimpin Umum Rizki Nur Fadilah Redaktur Nur Aeni Safira, Nurul Fitriyanti, Rizkiyana Maghfiroh Pemimpin Redaksi Imamul Muqorrobin Sekretaris Redaksi Kiki Yuli Rosita Reporter Imamul M, Nur Rozikin, Kiki Yuli R, Eva Salsabila A, Alvi Ainal M, M. Khasan S, Lawinda R, Niken Sekti K, Erlita Mirdza S, Layouter Alvi Ainal Mardiyah, Imamul Muqorrobin Fotografer Imamul Muqorrobin Illustrator Lawinda Rahmawati, Imamul Muqorrobin Staf Ahli Agus Salim , M. Azam Ashari, Sigit Aulia F, Khalimatus Sadiyah

Pertaruhan dalam Kelas

Diskusi merupakan wadah untuk saling bertukar pikiran dan melatih daya kritis mahasiswa. Melalui diskusi peran mahasiswa sebagai calon pemimpin diasah untuk berkontribusi dan berkolaborasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Akan tetapi, dalam berjalannya waktu diskusi yang ada di lingkup kelas berbanding terbalik dengan arti diskusi itu sendiri.

Diskusi di ruang kelas saat ini kebanyakan hanya dijadikan untuk mengejar nilai semata. Dari hasil penelusuran Tim Buletin Amanat di lapangan menunjukkan bahwa 30 persen mahasiswa aktif berdiskusi hanya untuk mendapatkan nilai. Sementara, sebanyak 70 persen mahasiswa mengedepankan pengetahuan baru yang didapat dari hasil diskusi.

Kepasifan dalam berdiskusi makin memprihatikan seiring dengan berkembangnya waktu. Di samping itu, tuntutan untuk mendapatkan nilai masih menjadi ajang perebutan.

Meskipun tidak ada kewajiban tertulis untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi. Akan tetapi, sudah sepatutnya seorang mahasiswa untuk memulai peran sebagai calon pemimpin. Tidak sekadar duduk, mendengarkan, kemudian melupakan dan acuh terhadap sekitar.

Lingkungan perkuliahan sudah seharusnya menyediakan ruang terbuka untuk berdiskusi bersama tentang berbagai hal. Ruang diskusi yang dibuka sudah sepatutnya diisi dengan berbagai pemikiran dan pendapat yang akan menciptakan perubahan di kemudian hari. Tidak sekadar formalitas belaka.

Edisi 24 | Oktober 2022 Editorial
4 Redaksi Editorial
Ilustrasi: Imamul Muqorrobin

Langkah Merajut Kata

Langkah pertama merupakan awal dan penentu adanya bagian akhir. Langkah pertama disambut hujan dan sedikit gem uruh. Dalam perjalanan menyusu ri badai, kami bertemu beberapa kali sambaran halilintar yang membiaskan isi kepala.

Walaupun jatuh bangun menimpa, kami tetap bergandeng tangan dan saling menguatkan satu sama lain.

Setelah mengarungi badai, kami bertemu secercah cahaya. Di mana kepala, badan dan tangan kembali bersatu.

Dalam edisi 24 ini, Tim Bule tin Amanat menelusuri rutinitas mahasiswa UIN Walisongo dalam

berdiskusi di kelas. Terdengar klise, tetapi, siapa sangka jika diskusi menjadi ajang pertaruhan antara nilai dan ilmu.

Output dari diskusi dipertanyakan, apakah hanya sebuah formalitas atau memang unsur pertukaran pe mikiran terjadi secara intens? Kali ini Buletin edisi 24 menyajikanya dalam sebuah laporan.

Selain membahas seputar diskusi dalam perkuliahan, rubrikasi lain seperti Artikel, Resensi Buku, Resensi Film, Cerpen, Puisi, Opini, Sosok, dan Esai disajikan untuk pandangan dan informasi baru un tuk disimak lebih jauh.

Selamat membaca.

Edisi 24 | Oktober 2022 Salam Redaksi
5 Redaksi Salam Redaksi

Dengung Intelektual yang

Proses diskusi pembelajaran di kelas rawan dimanfaatkan. Sebagian mahasiswa hanya berniat

i sebuah ruang kelas Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), tak banyak yang bisa dilakukan oleh Shofia Zulfa Ika selain membolak-balikkan makalah di mejanya. Sepuluh menit lebih mahasiswa Ilmu Hu kum (IH) semester lima tersebut selesai presentasi makalah di depan kelas, belum ada respon atas materi diskusi yang telah dipapar kan. Padahal sebelum dipresentasikan, ia telah mengirim makalah

di grup WhatsApp kelas. Hingga dosen memulai untuk memantik proses diskusi, barulah beberapa mahasiswa satu per satu mulai mengajukan pertanyaan. Sayang, pertanyaan itu tak harus membuatnya berpikir keras, lantaran jawaban yang dicari telah tercantum dalam makalah yang ia tulis.

Shofia menganggap, mahasiswa yang terlibat diskusi di dalam ke las justru terkesan lebih mencari

Edisi 24 | Oktober 2022
6 Laporan Utama
D (Dok. Khusus)

yang Memudar

berniat mencari nilai semata.

nilai dibanding esensi diskusi itu sendiri. “Untuk iming-iming nilai, bagus agar mahasiswa mau berdi skusi. Tetapi kebanyakan dari yang saya lihat itu, mahasiswa yang aktif bertanya jawabannya sudah disampaikan dalam materi. Tapi ti dak semua mahasiswa seperti itu”, ucapnya, Kamis, (09/12/2021).

Tak jauh beda dengan Shofia, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Tiara Se-

tianingrum, tak sepakat dengan orientasi mahasiswa dalam berdiskusi di kelas yang kini cenderung mementingkan nilai bagus dibandingkan memperoleh gagasan baru dari hasil diskusi di kelas.

Tiara dalam wawancara dengan Tim Buletin Amanat mengakui, jika nilai memang menjadi salah satu orientasi mahasiswa agar lebih aktif berdiskusi di kelas. Akan tetapi, keaktifan itu tak sepatutnya dimanfaatkan untuk memperoleh nilai bagus dan mengesampingkan pengetahuan yang diperoleh dari hasil diskusi.

Menurutnya, mahasiswa yang memiliki nilai bagus di kelas secara tidak langsung memiliki kualitas pengetahuan yang bagus pula. Ia justru menyayangkan ma hasiswa yang memiliki nilai bagus di kelas namun berbanding terbalik dengan pengetahuan yang diperolehnya.

“Jaminan nilai bagi saya bagus. Mayoritas orientasi mereka juga ke nilai. Tapi ada yang dipaksapaksain. Misal nanya yang bukan karena dia pengen tau, tapi lebih ke pengen nampang aja”, jelasnya.

Edisi 24 | Oktober 2022
7 Laporan Utama

Kamis, (09/12/2021).

Strategi Dosen

Ketertarikan mahasiswa terhadap nilai dibanding pengetahuan baru dari proses diskusi di dalam kelas telah menjadi persoalan umum di lingkup perguruan tinggi, termasuk UIN Walisongo.

Jejak pendapat yang dilakukan Tim Buletin Amanat pada 23 Desember 2021 hingga 4 Januari 2022, dengan responden 302 mahasiswa semester satu, tiga, dan lima dari delapan fakultas di UIN Walisongo menunjukkan 30 pers en mahasiswa aktif berdiskusi di kelas hanya untuk menambah nilai. Sementara, sebanyak 70 persen memilih mengedepankan pengeta huan baru yang didapat dari hasil diskusi.

Oleh sebab itu, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Adeni menggunakan strategi khusus mengatasi mahasiswa yang kurang antusias dalam mengikuti diskusi di dalam kelas. Ia membagi mahasiswa dalam beberapa kelompok dan mewajibkan setiap kelompok berkontribusi ak-

“ Jangan hanya menggunakan kewajiban. Tapi juga harus dilihat pada esensi diskusi itu sendiri ”

Saminanto

Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST)

tif dalam proses diskusi. Sebagai penghargaan, Adeni memberi nilai individu kepada mahasiswa yang aktif berdiskusi.

“Menurut saya hal tersebut memberikan motivasi bagi mahasiswa, karena mahasiswa akan tertarik jika ada rewardnya”, kata Adeni saat ditemui di kantornya pada Rabu (22/12/2021).

Setali tiga uang, Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Saminanto menyayangkan mahasiswa yang tak memiliki motivasi untuk mengikuti diskusi sebagai proses pem-

Edisi 24 | Oktober 2022
Laporan
8
EditorialUtama
Laporan Utama

belajaran di kelas. Apapun motivasi yang dibawa, Saminanto menekankan perlunya mahasiswa terlibat aktif dalam proses diskusi. “Jadi saya kira motivasi itu boleh apalagi mahasiswa motivasinya nilai. Lama-lama motivasi itu akan hilang dengan suasana diskusi yang kondusif dan dibutuhkan. Apalagi dengan kelompok diskusi yang nyaman. Dia nanti akan selalu aktif dan enjoy. Daripada mahasiswa hanya diam dan jadi troublemaker,” katanya, Selasa (16/08/2022).

Menurut Saminanto, ketidakaktifan mahasiswa dalam pembelajaran model diskusi di kelas semakin memprihatinkan di masa kenormalan baru. Pasalnya, mahasiswa harus menjalani sistem pembelajaran yang terus berubah. Belum selesai persoalan belajar daring, mahasiswa harus kembali dihadapkan kuliah luring masa kenormalan baru.

Zakiyah Daradjat, dalam buku Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan menerangkan bahwa pendidik merupakan individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan untuk peserta didiknya.

Namun pada prakteknya di era kenormalan baru, untuk mencapai hasil kualitas pembelajaran sebagaimana yang disampaikan Zakiyah Darajat, mahasiswa masih belum maksimal, terutama pembelajaran mata kuliah praktikum. Namun, Saminanto begitu pun dosen lain selalu mendorong mahasiswa untuk terlibat aktif dalam diskusi. Proses diskusi, lanjutnya, akan melatih mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dengan pikiran terbuka.

“Jangan hanya menggugurkan kewajiban. Tapi juga harus dilihat pada esensi diskusi itu sendiri,” ucapnya.

“Tapi, di awal kenormalan baru kita kaget. Mau tidak mau dituntut untuk melakukan daring walaupun di awal-awal, luring juga dituntut. Kenyamanan diskusi di kelas juga hilang,” sambungnya.

Mentalitas

Jon Rimer dan Madeline Balaam dalam Class Participation and Shyness: Affect and Learning To Program (2011) mengatakan bah-

Edisi 24 | Oktober 2022 9
Laporan LaporanEditorialUtamaUtama

wa perguruan tinggi dalam proses pembelajarannya berusaha mem beri mahasiswa kesempatan untuk terlibat secara kritis dengan mata pelajaran melalui diskusi. “Proses tersebut dapat meningkat kan kemampuan berpikir siswa lebih dalam dan dapat membangun sebuah konstruksi dari pengetahuan yang mereka dapat,” tulisnya.

Namun, penelitian Rimer dan Balaam menunjukkan banyak ma hasiswa yang menghindari keterlibatan dirinya untuk berinteraksi secara pribadi ke dalam proses diskusi.

Ada rasa malu dan kurangnya ke percayaan diri berpengaruh terhadap keaktifan seseorang khusus nya ketika sedang berada di dalam kelas untuk diskusi. Menurut Rimer dan Balaam, mahasiswa pe malu menghadapi persoalan dalam situasi tertentu, misalnya saat berbicara dengan dosen, atau saat berada dalam diskusi di sebuah acara seminar.

Mentalitas semacam itu tak terlepas dari peralihan pembelajaran dari SMA ke dunia perkuliahan yang masih melekat, terutama

bagi mahasiswa baru yang belum mengenal dan beradaptasi dengan sistem pembelajaran di kampus. Hasil penelitian Wahyuddin dan Tria Nurwadha dalam jurnal Cendikia Sekolah Tinggi Agama Islam Majene menyebut transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi menjadi penyesuaian yang sulit bagi mahasiswa, termasuk dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Mahasiswa baru masih terbiasa dengan pola pembelajaran kelas model SMA, di mana guru lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran.

Ditemui di ruang kelas, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan (FITK) Kasan Bisri, mengatakan ketika mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas, mahasiswa tidak serta merta bisa mengungkapkan gagasannya.

“Di kelas ternyata memang mahasiswa tidak begitu bisa mengung kapkan gagasan dalam berdiskusi. Sehingga kadangkala dosen itu kebingungan untuk bagaimana agar diskusi itu hidup, bagaimana mahasiswa itu berani menyampaikan gagasan”, katanya,

Edisi 24 | Oktober 2022 10
Laporan LaporanEditorialUtamaUtama

Rabu (15/12/2021). Kasan menambahkan, mental semacam ini harus dihilangkan dari diri mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen perubah an harus keluar dari zona nyaman untuk menciptakan perubahan itu. “Hancurkan dinding itu sebisa mungkin, dan puaskanlah rasa pe nasaranmu”, tuturnya.

Pengaruh Organisasi Mahasiswa

Keseriusan dan keaktifan maha siswa dalam mengikuti proses diskusi memiliki keterkaitan dengan organisasi yang diikuti mahasiswa. Baderel Munir dalam buku Six Dimensions Organization (2012) menyatakan organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra memiliki pengaruh besar dalam membangun keaktifan diskusi mahasiswa di dalam kelas menjadi lebih berkualitas. Menurutnya, organisasi mahasiswa bisa membentuk dan merubah pola pikir mahasiswa menjadi lebih kritis.

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema- U), Shofiyul Amin mengatakan diskusi yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa berbeda dengan proses diskusi di dalam kelas. Diskusi

organisasi mahasiswa, katanya, dilandasi atas niatan membuka wa wasan dan pemikiran membentuk sikap kritis mahasiswa.

Hal itu berbanding terbalik dengan diskusi di kelas yang dalam beberapa kasus, mahasiswa lebih memilih mencari nilai dibanding pengetahuan yang diperoleh dari hasil diskusi. “Diskusi tidak hanya untuk mencari nilai saja, tapi untuk penanaman kapasitas intelektual masing-masing individu”, ucapnya. Selasa, (09/08/2022).

Dalam konfirmasi terpisah, ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PAI, Reineta Dian Kusumawati melihat ada perbedaan siginifikan bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi dengan mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam organisasi. Baginya, lingkungan organisasi memiliki peran vital dalam membentuk karakter dan idealisme mahasiswa.

“Mahasiswa yang ikut organisasi dan tidak akan berbeda, tergantung dari lingkungan, literasi, dan intelektual yang dimiliki”, tambahnya.

Nur Rozikin

Edisi 24 | Oktober 2022
11 LaporanEditorialUtama Laporan Utama

Pesta Kematian Etika

Sebagaimana kita tahu, problem etika makin ke sini justru tak lagi mendapat tempat tertinggi dalam kehidupan.

Ruang maya kita tidak pernah sepi dari lalu lintas informasi yang menimbulkan kontroversi. Ada saja kabar yang menjadi viral lantaran begitu banyak warganet berkomentar.

Belum lama ini misalnya, publik heboh dengan isu perselingkuhan antara Artis Reza Arap dengan penyanyi kondang, Rossa. Kabar dugaan perselingkuan tersebut, bahkan sempat menempati urutan pertama trending di media sosial Twitter. Tentu saja, Reza banjir hujatan, sementara istrinya Wendy Walters diselimuti empati.

Tulisan ini tidak akan menyudutkan Reza atau membela Rossa, tetapi mencoba memotret fenomena warganet yang tak berubah. Maksudnya begini, bukankah kabar soal perselingkuhan atau per ceraian sudah sangat sering terjadi di dunia artis?

Banyak yang melakukan hal terse but demi meningkatkan popularitas dan rating acara televisi. Kehidupan artis di depan kamera atau di dunia nyata sering kali ti dak ada bedanya. Lantas mengapa masyarakat harus menganggap hal

tersebut sebagai “kebenaran” yang patut dibela atau dicerca?

Pun jika isu perselingkuhan Reza Arap benar, apa kepentingan pub liknya?

Warganet acap kali mengomentari moral seseorang dengan memenggal etika publik. Demi

Edisi 24 | Oktober 2022 12 Artikel

membela yang belum tentu benar, mereka melakukan tindakan yang merugikan sesama.

Media sosial adalah ruang maya di mana masyarakat dari beragam usia berkumpul menjadi satu.

Sadar atau tidak; hujatan, makian, atau hinaan, akan di- baca anak-

anak dan remaja, lalu kata-kata buruk tersebut akan berkontribusi dalam pembentukan karakter mereka ke depan.

Makin ke sini, publik kita memang makin mudah berkomentar tentang apa pun; politik, perilaku keagamaan, bahkan sampai ke kehidupan privat seseorang. Komentar itu kadang berupa pujian, tetapi tak sedikit pula yang berbau provokasi, hujatan, dan ujaran kebencian.

Di sini, pers/media massa berbasis daring juga berkontribusi besar dalam menciptakan “keramaian semu”. Para jurnalis menyediakan bahan bakar yang membuat kobaran hujatan terus menyala.

Pers lupa atau sengaja melupakan kriteria pemberitaan yang ada kai tan- nya dengan kepentingan publik, lalu mengikuti isu yang asal viral demi SEO.

Degradasi moral

Sebagaimana kita tahu, problem etika makin ke sini justru tak lagi mendapat tempat tertinggi dalam kehidupan. Di hadapan kecanggihan teknologi, manusia seolah

Edisi 24 | Oktober 2022
13 Artikel
(Amanat/Imamul)

digiring menuju jurang degradasi moral paling dalam.

Media sosial pada dasarnya ber sifat ambivalen, yang memliki dampak positif sekaligus negatif. Di satu sisi, medium tersebut memberikan kemudahan masyarakat berinteraksi dan mendapatkan informasi, tetapi di sisi lain juga menampilkan banyak perilaku buruk.

Baik agamawan maupun filsuf sepakat bahwa etika adalah perso alan penting dalam tatanan kehidupan.

Etika akan membentuk dan mem bawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Pembahasan tentangnya telah disinggung sejak zaman Yunani Kuno oleh Phytago ras, Plato, dan Aristoteles.

Phytagoras menyebut etika se bagai prinsip ideal tertinggi dalam hidup. Plato mendefiniskan etika sebagai bentuk perlawanan terhadap pengekangan akal budi (rasio) dan hawa nafsu. Aristoteles juga membahas etika dalam konsep eu daimonia atau jalan menuju kebahagiaan.

Dari pendapat Plato saja tersirat sebuah arti bahwa seseorang yang tidak beretika sama saja tidak memiliki akal, padahal ciri itu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Mungkinkah media sosial akan membawa manusia ke hutan rimba, di mana satu sama lain saling memangsa (baca: menjatuhkan)?

Kepalsuan Media sosial bagaimana pun ben tuknya menawarakan “topeng” yang bisa dipakai penggunanya. Seseorang di dunia nyata bisa menjadi begitu lain di dunia maya.

Jika demikian adanya, pernyataan Novelis Oscar Wilde patut menjadi perenungan bersama, “Orang tidak sepenuhnya menjadi dirinya ketika ia bicara atas nama dirinya. Berilah ia topeng maka ia akan mengatakan kebenaran.”

Kata-kata dari Oscar Wilde terse but mengilhami banyak film sukses di layar kaca, seperi Joker (2019), V for Vendetta(2005), dan The Fifth Estate (2013). Namun, kutipan tersebut juga bisa digunakan untuk membaca fenomena warganet hari ini.

Naluri “buas” manusia mendapatkan tempat yang begitu luas di media sosial. Lantas, masa depan macam apa yang sedang kita bentuk sekarang jika kondisi ini terus dipertahankan?

Edisi 24 | Oktober 2022 14 Artikel
Imamul M.
Imamul Muqorrobin

Fotografi

Wisatawan dan pemandangan sekitar Brown Canyon Kiri : Proyek galian pertambangan dan pekerja tambang. Kanan :

Brown Canyon

Brown Canyon terletak di Rowosari, Kec. Tembalang, Kota Semarang. Dinamakan Brown Canyon karena mirip dengan Grand Canyon yang ada di Arizona, Amerika Serikat. Tempat ini adalah proyek galian pertambangan yang tanpa sengaja menjadi tempat wisata lalu menarik turis lokal maupun asing karena keindahan alam dan tanpa dipungut biaya.

( Amanat/Imamul)

Tetap Berdiri di Tengah Keterbatasan Diri

Barangkali kita sering mendengar pernyataan bahwa orang yang cerdas secara intelektual, memiliki kecer dasan emosional yang rendah; pun sebaliknya. Pernyataan terse but diamini oleh kha layak sehingga lambat laun seolah menjadi fakta mutlak. Padahal, jika bisa menguasai kedua-nya—intelektual dan kemanusiaan kenapa harus terkungkung pada salah satunya saja? Pada buku Berpikir

ala Einstein, Ber tindak ala Gandhi, Ferdinand mengemas perjalanan hidup dua tokoh besar yang berpengaruh dalam bidang keilmuan dan kemanusiaan yang dapat dijadikan inspi rasi untuk menguasai dua aspek tersebut— kognitif dan humanis.

Masa kecil Einstein yang berbeda dari sebaya—diduga mengalami autisme dan disleksia,mem buat dia lebih banyak menyendiri dan membaca buku. Dari

kebiasaan membcanya itulah, Einstein melahirkan berbagai pemikiran- nya, khususnya dalam bidang Sains. Bahkan, pe mikiran-pemikiran Einstein dijadikan acuan dan referensi bagi cendekiawan setelahnya. Dari Einstein, kita dapat mempelajari bahwa setiap anak itu unik dan memiliki dunianya sendiri. Keliru jika mencerca, menghukum, dan membatasi imajinasi anak, tanpa memberikan

Edisi 24 | Oktober 2022 Judul : Berpikir ala Einstein & Bertindak ala Gandhi Penulis : J. Ferdinand Setia Budi Penerbit : DIVA Press Tahun Terbit : 2016 (Cetakan Pertama) ISBN : 978-602-296-195-6 Tebal : 180 hlm. Genre : Motivasi/Pengetahuan Umum Resentator : Erlita Mirdza Septyasningrum
( Dok. Internet ) Resensi Editorial 18 Resensi Buku

bimbingan.

“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Sebab, imaji nasi tidak terbatas.” … Imajinasi tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Sementara, penge tahuan dibatasi oleh konsep, teori, serta membutuhkan lang kah-langkah tertentu. [100-101]

Sedangkan Mahatma Gandhi yang lahir dan tumbuh di negara kultural, harus hidup nelangsa di bawah penjajahan Inggris. Jiwa humanismenya tergerak menyaksikan pertumpahan darah di tanah airnya. Akan tetapi, atas kebijakan nya, Gandhi percaya bahwa melawan penjajahan dengan perang bukan solusi tepat dan akan menimbulkan lebih banyak korban. Gandhi memilih jalan lain berupa Satyagra ha (devotion to the

truth)—demonstrasi tanpa kekerasan.

“Jadilah bagian dari perubahan yang in gin Anda saksikan di du- nia ini.” –Gandhi [156]

Dari buku Berpikir ala Einstein, Ber- tindak ala Gandhi, dipaparkan pula bahwa dukungan material maupun emosional dari keluarga yang didapat Einstein dan Gandhi merupakan privilege yang belum tentu dimiliki oleh semua anak.

Sebab, ada keterli batan orang tua di balik layar yang selalu memberikan ban tuan, dukungan, dan dorongan semangat. … Bukan tidak mungkin Einstein dapat menjadi seperti yang Anda kenal apabila ia hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak kooperatif. Ia mungkin akan tumbuh

menjadi manusia yang mengalami penderitaan tiada akhir akibat putus asa saat ditolak oleh berbagai sekolah. [h. 23]

Relevansi Buah Pikir Einstein-Gandhi

Buku ini terbagi men jadi dua bagian yang masing-masingnya dibagi lagi menjadi tiga bab. Pada bab pertama, fokus pada biografi tokoh, disu sul dengan pemikiran dan sikap dari tokoh yang patut dijadikan contoh. Terakhir, pada bab ketiga, Ferdinand mencantumkan ku- ti pan-kutipan inspiratif dari masing-masing tokoh.

Pemaparan yang runut—meski tak begitu lengkap—mengenai perjalanan hidup Einstein dan Gandhi, dapat menggerakkan pembaca untuk terus mengasah kemampuan berpikir,

Edisi 24 | Oktober 2022 SalamResensiRedaksi 19 Resensi Buku

tanpa meninggalkan kebijakan dan kebajikan sebagai prin sip hidup.

Mengapa harus hidup dengan pemikiran mereka? Saat ini, banyak orang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tetapi masih kurang inisiatif untuk mencari tahu validitas dan akurasinya. Berita-berita bohong yang tersebar luas masih ditelan mentah-mentah begitu saja, sehingga mudah sekali mendistraksi pemikiran khalayak dengan tujuan politis belaka.

Dengan menjadikan selalu berpikir kritis dan humanis sebagai prinsip hidup, kita dapat meminimalkan penyebaran hoax yang dapat merugikan manusia.

Sayangnya, penyampaian dalam buku ini tak berbeda jauh

Apabila sebuah gagasan tidak masuk akal sejak kali pertama maka tidak ada harapan untuknya.” -

la- yaknya motivasi yang dilontarkan oleh para motivator ulung. Ferdinand lebih memi lih kata “Anda” yang justru menciptakan jarak antara penulis dan pembaca. Seolah-olah, penulis ingin menitah pembaca agar berlaku begini dan begitu.

Selain itu, penggunaan kata ganti kedua juga menyiratkan superi oritas dari penulis, seolah ia telah berhasil mengamalkan semua perkataannya.

Bagi sebagian orang, tipe penulisan yang

demikian justru ter kesan omong kosong belaka alih-alih meyakinkan pembaca.

Kendati demikian, buku Berpikir ala Einstein, Bertindak ala Gandhi dapat dija dikan salah satu referensi untuk lebih me-ngenal pemikiran dua tokoh besar yang sumbangsihnya bagi dunia tidak perlu dipertanyakan lagi.

Bahasa yang digu nakan pun terbilang ringan dan mudah dipahami.

Edisi 24 | Oktober 2022
Resensi Editorial 20 Resensi Buku
( Dok.
Albert Einstein
Internet )

Potret Perlawanan Perempuan di Budaya Patriarki

Judul film: Yuni

Sutradara: Kamila Andini

Produser: Ifa Isfansyah dan Chand Parwez Servia

Penulis: Kamila Andini dan Prima Rusdi

Produksi: Kharisma Starvision Plus

Durasi: 122 menit

Pemeran: Arawinda Kira na, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Neneng Wulandari, Vania Aurell, Boah Artika, Anne Yasmine, Asmara Abigail, dan Nazia Toyib

Resentator: Muhammad Khasan Sumarhadi

“Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan. (One is not born a women, but becomes one)”.

Simone De Beauvoir

Menggambarkan kisah remaja perempuan bernama Yuni (Arawinda Kirana) yang mengalami kegundahan dalam menen tukan masa depan. Sosok Yuni digambarkan seperti memakan buah simalakama, dimana ia harus memilih diantara dua pilihan sulit di dalam hidupnya. Melanjutkan pendidikan atau menikah di usia muda mengikuti tradisi di lingkungan tempat ia tinggal.

Edisi 24 | Oktober 2022
21 Resensi Film ( Dok.
)
Internet

Yuni mengangkat segelintir isu perempuan dengan berbagai persoalan yang harus mereka hadapi di tengah masyarakat. Dari permasalah an Kekerasan da lam Rumah Tangga (KDRT), seks edukasi yang masih tabu, tuntutan menikah muda, hingga poligami. Meskipun Yuni tidak menyatakan sebagai film feminis secara terang-terangan, isu yang dibahas didalamnya melebihi label itu sendiri.

ketika Yuni dilamar oleh Mang Dadang yang akan memberikan seluruh hartanya untuk Yuni jika ia tidak pernah berhubungan dengan siapapun sebelumnya.

Selain itu, pada awal film menyinggung tentang tes keperawanan yang diwajibkan bagi siswa perempuan yang menunjukkan bahwa keperawanan masih dianggap se bagai tolak ukur pan tas atau tidaknya perempuan dinikahi. Hal ini digambarkan

Mitos dan pamali yang tumbuh subur di masyarakat membuat pendirian dan ambisi Yuni untuk mengejar mimpinya menurun. Seperti pamali meno lak tiga kali lamaran pria akan menyebab kan seorang perem puan sulit mendapatkan jodoh dan tidak akan pernah menikah.

Di dalam film, Yuni dilamar oleh dua pria yaitu Iman yang be lum pernah ia kenal dan Mang Dadang yang akan membe- rikan sejumlah harta demi menikahi Yuni. Kisah Yuni dan teman-temannya

di dalam film menjadi gambaran realita kehidupan perempuan di daerah tertentu yang masih meng- atasnamakan adat dan bu daya. Kepercayaan terhadap mitos yang tinggi membuat sebagian perempuan tidak sadar bahwa dirinya memiliki pilihan yang be ragam untuk merubah nasib. Yuni menjadi salah satu film feminis yang lantang namun tidak bising dalam menyampaikan cerita. Penonton tidak menemukan jargon-jar gon isu yang membuat film terasa seperti kampanye. Karakter Yuni diceritakan secara sederhana, namun setiap bingkai dan adegan menyadar kan penonton bahwa

Edisi 24 | Oktober 2022 Resensi 22 Resensi
Film

isu perempuan ini nyata terjadi.Yuni diibaratkan sebagai sebuah puisi. Seperti narasi film yang menyertakan karya penyair Sapardi Djoko Damono. Bait-bait puisi dirangkai mengikuti alur cerita dengan pesan dan makna di dalamnya.

Perempuan Memiliki Kebebasan

Dalam berbagai aspek kehidupan dan ruang lingkup seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan hukum budaya patriarki masih terus tumbuh.

Perkembangan budaya patriarki tentu menimbulkan berbagai

masalah sosial. Ketidakadilan gender menjadi faktor pendukung tumbuh budaya patriarki. Di beberapa daerah tak jarang pernikahan dimaknai sebagai penyelamat transaksional.

Film ini terlalu banyak mengangkat poin-poin isu kekerasan seksual namun sejatinya film Yuni kaya akan kepadatan isi yang menarik. Secara halus menun jukkan realita bahwa perempuan masih dilihat seperti barang yang diperjualbelikan.

Film Yuni memba wa pesan feminisme menampilkan tokoh perempuan yang bisa bekerja sama dan mandiri.

Edisi 24 | Oktober 2022
SalamResensiRedaksi 23 Resensi Film ( Dok. Internet )

Resensi

Masing-masing karak ter hadir dalam film ini membawa beban kehidupan yang mereka pikul. Seperti sosok Suci Cute (Asmara Abigail) dengan dialog khasnya “free dom abis!” mempresentasikan sosok pe rempuan yang mencari kebebasan dan pilihan untuk mengendalikan hidupnya sendiri.

Begitu pula dengan Ibu Lies (Marissa Anita) yang menunjukkan kepada Yuni bahwa perempuan memiliki pilihan selain menikah di usia muda.

Tokoh lain seperti Pak Damar (Dimas Aditya) guru idola Yuni dan Yoga (Kevin Ardilova) menjadi karakter pendukung dalam kisah perjalanan hidup Yuni. Dengan alur yang yang lambat na mun tidak tergesa-ge-

sa, durasi 122 menit mungkin akan sedikit membosankan bagi sebagian orang. Namun, pesan yang disampaikan bisa dicerna meskipun tidak secara gamblang.

Namun, karena film ini menggunakan bahasa daerah Jawa Serang penonton akan terdengar asing ketika mendengarnya. Meskipun demikian, Film Yuni merupakan film berbahasa daerah

Jawa Serang pertama di Indonesia. Beberapa film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah sebelumnya seperti Turah (2016) dan Yowis Ben (2018) .

Resensi Film dalam dunia perfilman Indonesia. Kehadiran Yuni membuka ruang diskusi baru yang lebih segar dan dibumbui lanskap budaya Kabupaten Serang yang belum banyak diangkat ke layar lebar. Film Yuni (2021) berhasil memperoleh beberapa penghargaan di film Indonesia Piala Maya (2022) dengan kategori Best Actress in Leading Role, Best Editing, Best Feature Film, Best Director, Best Original Screenplay, Best Poster Design, dan Best Camera System. Serta penghargaan Festival Film Indonesia 2021 kategori pemeran uta ma perempuan terbaik oleh Arawinda Kirana.

Edisi 24 | Oktober 2022
Sejumlah masalah yang dihadapi oleh remaja perempuan di gambarkan dalam film Yuni sejatinya masih jarang disinggung 24

Ironi Generasi “Penghamba” Eksistensi

Dalam pelaksanaannya makan cantik dianggap bisa menggambarkan kelas atas sebagai identitas menjadi citra sosial yang melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat.

Di Era yang serba digital seperti sekarang, sering kali kita menemukan beragam postingan makanan yang dibingkai secara cantik dan menarik. Bera- gam postingan ini nyatanya ampuh mempengaruhi pengguna jejaring sosial media untuk me- yakini bahwa makanan itu terlihat enak dan lezat, meskipun kenyataanya tidak demikian.

Fenomena memotret dan mengunggah makanan di sosial me dia ini sering kali disebut dengan istilah makan cantik. Menurut Herlinda (2015) makan cantik ialah sebuah konsep yang dibuat oleh kelas tertentu di daerah Senopati, Jakarta Selatan. Ma-

syarakat tersebutlah yang menyebarluaskan kegiatan ‘makan cantik’ di sosial media. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara memposting sebuah foto dari makanan yang mere ka pesan pada café yang estetik dengan interior yang indah atau biasanya dilakukan di restoran-restoran mewah kelas menengah dan atas, kemudian diposting ke dalam sosial media mereka.

Realitas yang dihadirkan dalam media sosial menjadi acuan utama, seolah-olah menampilkan keyakinan bahwa apa yang ada di dunia maya adalah nyata seperti yang ditam- pilkan. Sehingga apa yang tidak ditampilkan di media

Edisi 24 | Oktober 2022 Opini
25 Opini
(
Amanat/ Imamul
)

sosial bukanlah realitas dari yang sebenarnya sampai memunculkan hiperealitas di masyarakat.

Lalu apa itu Hiperealitas?

Jean Baudrillard (1983) berpendapat mengenai konsep Simu lacra yakni mengenai media massa yang dicirikan oleh realitas asli (Hiperealitas) dan simulasi (Simulation). Konsep ini mengacu pada suatu realitas baik virtual ataupun artificial dalam komunikasi massa dan konsumsi massa.

Realitas itu membentuk manusia dalam berbagai bentuk simulasi. Simulasi merupakan suatu realitas yang pada dasarnya bukan realitas sesungguhnya. Ia hanya realitas yang dibentuk oleh kesadaran manusia melalui media massa.

Fenomena makan cantik yang sering kali kita temui dalam kehidupan media sosial merupakan sebuah bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Dalam pelaksanaannya makan cantik dianggap bisa menggambarkan kelas atas sebagai identitas menjadi citra sosial yang melambangkan eksistensi dan kelas sosial masyarakat.

Oleh sebab itu simulasi menjadi hal penting dalam pembentukkan hiperrealitas. Dimulai dengan pemilihan tempat yakni, pemilihan

restoran yang menyajikan interior ruangan yang modern, lalu penyu jian makanan yang menarik dengan platting yang classy. Dan simulasi ini dilakukan dengan memotret foto dari makanan tersebut dengan caption yang menarik serta tambahan location, agar orang yang melihat menjadi terpengaruh dan tertarik terhadap foto dan tempat tersebut.

Namun kenyataannya makan cantik yang di post dalam media sosial adalah hal yang berbeda dari kenya- taannya. Karena terdapat perbedaan kondisi pelaku pada apa yang di posting dengan kondisi nyata. Simulasi yang dilakukan oleh pelaku makan cantik di sosial media menampilkan kondisi kelas sosial atas, namun ternyata pelaku makan cantik bukan dari kelas sosial tersebut.

Di dunia maya masyarakat bisa dengan bebasnya berekspresi sesuai dengan kelas sosialnya. Namun, hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra dalam segi pengartiannya, yang di mana bahwa tidak semua yang kita lihat sama dengan apa yang terjadi sebenarnya. Pada titik itulah kita harus bijak dalam menyikapi segala sesuatu yang tidak kita lihat secara nyata.

Kiki Yuli Rosita

*Penulis adalah mahasiswa program studi Sosiologi 2020

Edisi 24 | Oktober 2022
26
Opini

Merawat Literasi dalam Secangkir Kopi

Aroma seduhan kopi Latte dan Espresso menguar dari mesin penggilas kopi manual brew ketika kami memasuki ruangan berukuran 3x7 meter di pinggir jalan Prof. Hamka Ngaliyan, Semarang. Di meja dekat pintu, dua pria berambut gondrong dan bertopi putih tak henti-hentinya menjelajahi halaman

demi halaman buku yang sedari tadi dibaca. Tiga pria di meja yang lain, saling berbalas argumentasi dalam forum diskusi mini.

Di sudut kiri kami, deretan kopi berbagai varian dengan puluhan buku yang tergantung di rak dinding berpadu mengobati dahaga literasi kaum muda-mudi di kedai

Pygmy Owl Coffee. Sebuah kedai kopi yang mengusung konsep small Coffee shop, hasil adopsi dari Coffee shop Thailand yang lebih mementingkan kepuasan pelanggan dan mengabaikan ukuran tempat.

Meski kondisi kedai Pygmy Owl Coffee tak seluas kedai kopi pada umumnya,

Edisi 24 | Oktober 2022 27 Feature
( Amanat/ Rozikin) Berawal dari keresahan yang dialami, muncul ide dalam benak Aditya untuk membuka kedai kopi sendiri dengan segmentasi ketenangan & ketentraman

namun menawarkan suasana berbeda. Selain dilengkapi dengan pendingin ruangan, pengunjung bebas mengakses wifi dan dimanja kan berbagai ma cam buku bacaan yang menarik. Juga dilengkapi beberapa alat musik yang bisa dimainkan.

“Saya ke sini hampir setiap hari, kadang tiga kali atau empat kali dalam seminggu. Itu yang membuat saya betah,” ucap Aldi Putrancha, salah satu pelanggan di kedai Pygmy Owl Coffee pada Kamis (07/04).

Aldi Putrancha dan kolega yang memang tak terlalu menyukai kebisingan saat membaca buku dan bertukar gagasan di kedai kopi, memilih Pygmy Owl Coffee sebagai tempat merawat literasi yang kini rawan memudar. Di sini, kata Aldi,

pelanggan bisa bebas membaca buku dan menuangkan pikiran dalam kesunyian serta didukung keindahan tata ruang yang membuat kedai semakin nyaman.

Ketertarikan Aldi menjadi pelanggan tetap di kedai Pygmy Owl Coffee bermula saat ia mengantar saudaranya ke pasar Ngaliyan. Aldi yang melihat dekorasi lampu burung hantu yang dirambati tanaman hijau dan akar gantung dari seberang jalan, lantas dibuat penasaran.

“Saya awalnya lihat pas mengantarkan saudara di pasar situ, tak sengaja lihat te-rus mampir. Tempatnya memang kecil, tapi nyaman,” katanya.

Pemilik kedai Pyg my Owl Coffee, Aditya Aji Pamung kas mengaku keingi nan mendirikan

kedai kopi bermula dari pengalamannya yang tak menemu kan ketenangan di kedai kopi sewaktu mengerjakan tugas perkuliahan. Aditya begitu disapa, justru dihadapkan kondisi keramaian kedai kopi yang membuat fokus dan konsentrasinya hilang.

Berawal dari keresahan yang dialami, muncul ide dalam benak Aditya untuk membuka kedai kopi sendiri dengan segmentasi pada ketenangan dan ketentraman batiniah dengan konsep ruangan minimalis, nyaman dan mengutamakan keindahan tata ruang “Jadi kami menawarkan suasana yang berbeda,” kata Adit.

Aditya menuturkan, pemberian nama Pygmy Owl Coffee diambil dari nama burung, “Owl”. Jika

Edisi 24 | Oktober 2022 28 Feature

diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, Pygmy Owl Coffee adalah burung hantu kerdil.

“Sesuai dengan ukuran kedai kopi ini. Walaupun burung hantu itu kerdil, ia mampu terbang tinggi dengan kecerdasan yang dimiliki.

Begitu halnya kafe ini, walaupun kecil tapi semoga namanya bisa tinggi mengudara,” tutur Aditya.

Sementara itu, imbuh Aditya, seluruh per abot dan pernak-per nik di Pygmy Owl Coffee terbuat dari kayu dan menjadi salah satu keunikan kedai miliknya.

Semangat Bisnis dan Literasi

Ada satu yang menarik dari keinginan Aditya untuk mendirikan kedai Pygmy Owl Coffee. Mahasiswa semester

tujuh itu memili ki semangat bisnis kepedulian tinggi ter hadap literasi kaum muda-mudi.

Dari penuturannya, Aditya sering meng-habiskan waktu belajar bisnis melalui koleksi buku pribadinya yang kini ditempatkan di kedai kopi miliknya. Aditya sengaja menempatkan puluhan buku miliknya di rak bagian depan kedai kopi agar pengunjung bebas membaca buku di tempat. Buku-buku tersebut, kata Aditya telah memberi banyak perspektif dan kekuatan pada dirinya untuk terus berkembang.

“Buku Rich Dad Poor Dad misalnya, men jelaskan bagaimana uang bekerja buat kita, bukan kita yang bekerja buat uang. Apalagi anak muda, bukan lagi saatnya

untuk berfoya-foya, tapi bagaimana bisa berinvestasi buat masa depan. Dari situlah saya ingin berwirausaha,” jelas Aditya

Selain buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki dan Sharon Lechter, ada buku berjudul Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action karya Simon Sinek berpengaruh besar dalam kehidupannya. Menurutnya, buku tersebut dapat menyadarkan pembaca bahwa kata “why” mampu merubah langkah kehidupan manusia.

“Jadi kita akan tahu mau melangkah ke mana ke depan. Itu menjadi motivasi saya untuk mendirikan kedai ini,” ucap Aditya.

Edisi 24 | Oktober 2022
29 Feature Nur Rozikin

Menusuk Batin yang Diam

Segerombol warga tengah berjalan mengelilin gi kampung di gelap malam. Sebagian dari mereka mengenakan sarung yang dikalungkan di pundak, ada yang mengenakan kupluk, dan ada pula yang membawa senter. Mereka, lima orang laki-laki paruh baya, berjalan mengawasi sekitar sambil mengobrol hangat untuk melawan dingin malam. Malam itu seolah seperti malam biasanya, tak ada hal

( Amanat/Imamul )

aneh yang terjadi. Namun tiba-tiba terdengar samar teriakan, sepertinya per empuan. Mereka bergegas menuju sumber suara yang ternyata berasal dari rumah Pak Putra.

Pintu rumah yang masih terkunci dari dalam didobrak paksa oleh mereka. Terlihat Pak Putra tergeletak bersim bah darah di ruang tengah. Terdapat tiga luka tusuk tepat di bawah dada dan pe

rut. Sementara Lisa, dengan posisi berlutut di sebelah Pak Putra, matanya menatap kosong ke tubuh bapaknya, Wajahnya begitu basah.

Perempuan yang mulai mengincak masa remaja itu seperti setengah kerasukan setan. Semua perkataan dan pertanyaan dari warga yang datang tak sedikitpun masuk ke telinganya. Sebatang vas bunga jatuh dari tangan mungilnya yang melemas. Sementara itu, tubuh Bu Tika sudah tergeletak dengan pisau dapur terlepas dari genggaman tangannya. Ia sudah tak sadarkan diri. *** Sore, seminggu yang lalu. Klakson mobil berbunyi dari depan garasi, itu Pak Putra yang baru pulang dari beker ja. Istrinya kemudian muncul membuka gerbang garasi, menyambut dengan hangat kedatangannya. Namun Ia tak begitu antusias atas sambutan sang istri. Raut

Edisi 24 | Oktober 2022
30 Cerpen

wajahnya kusut dan letih, mulutnya tak mengeluarkan kata barang sepatah. Di luar sedang hujan deras. Suara rintik mennggeletuk di atap rumah, menerobos ke dalam seperti musik abstrak di tengah keheningan. Hawa dingin dari luar berusaha merangsek masuk.

Rupanya, di dalam rumah jauh lebih dingin daripada di luar. Pak putra melangkah kan kaki satu persatu menuju toilet yang berada di dalam ruang tidur. Namun, baru melangkahkan satu kaki dari pintu toilet, pak putra terpe leset dan pantatnya terbentur cukup keras di lanta, Bu Tika lantas menjemput ke toilet dan membantu suaimanya. “Buk, kamu ini tadi seharian ngapain aja si. Bersihin dong lantainya, tau licin gak!” Bentakannya terdengar keras hingga terdengar di telinga Lisa yang sedang menonton televisi di ruang tengah.. “Maaf yah,” istrinya hanya bisa pasrah.

Usai mandi, Pak Putra duduk di sofa ruang tengah di samping Lisa. Meskipun begitu, tak ada obrolan dari kedua anak-bapak itu.. Bu Tika memberikan datang dari daput membawa secan gkir teh untuk suaminya.

“Ini yah” Tak sengaja, Bu Tika tersand ung meja kecil, dan, crat... Teh yang masih panas itu tumpah di tubuh suaminya. Sejurus kemudian tam paran tangan lelaki kekar itu mendarat di pipi Bu Tika. Si suami memuntahkan segala bentuk makian ke wajah Bu Tika. Entah seta napa yang merasuki lelaki tersebut, ia seperti lupa bahwa yang dih adapi tak lain istrinya sendiri.

Lagi-lagi, Lisa menyaksikan secara langsung ibunya di siksa. Batas kesabaran telah tenggelam sangat dalam oleh amarah. Matanya yang me merah terpejam sesaat, dan bangkit dari kursi. Giliran setan yang berada di tubuhn ya yang keluar memaki lelaki

yang biasa dipanggilnya ayah, mengamuk. Plak…Tamparan kali ini men erjang pipi Lisa. Ia terjerem bab ke sofa setelah didorong dengan kasar. “Ayah sialan!” “Anak kurang ajar!,” Setelah kedua perempuan di rumahnya terkapar, Pak Putra pergi dari rumah. Seorang tetangga yang men dengar kerubutan segera tau apa yang terjadi. Ada yang kemudian datang ke rumah untuk menenangkan Bu Tika dan Lisa. Hampir semua tetangganya tau pertengkaran yang sering terjadi rumah itu. Mereka seringkali menanyakan masalah apa yang sebenarnya terjadi di rumah tangga kel uarga Pak putra. Tetapi selalu dijawab enteng oleh Bu Tika. Lisa sendiri telah sangat sabar menghadapi sifat keras sang ayah. Ia juga kerap men jadi pelampiasan kemarahan ayahnya. Tetapi ia berusaha memaklumi, bahwa ada

Edisi 24 | Oktober 2022
31 Cerpen

hal dibalik perubahan sifat ayahnya yang menjadi sangat tempramen usai kejadian lima tahun yang lalu. Tak ada yang tau pasti alasannya.

Keesokan harinya, kejadian yang dialami keluarga pak putra saat itu tersebar dari mulut ke mulut oelh tetang ganya. Ibu-ibu yang sedang berbelanja, yang sedang merumpi di teras-teras rumah ketika sore, bahkan bapak-bapak di pos ronda tak ketinggalan membicara kan keluarga Pak Putra. Beberapa hari kemudian ba rulah alasan tersebut sedik it-demi sedikit terungkap. Saat itu kondisi Bu Tika seperti orang yang mengala mi depresi. Bertahun-tahun diperlakukan kasar oleh suaminya, hingga kejadian terakhir, kepalanya memben tur lantai ketika didorong jatuh. Ia banyak melamun, tatapannya kosong, dan tak pernah menangis. Entah apa yang ada di pikirannya. Lisa duduk di sampingnya, di ruang tamu. Air matan ya satu dua menetes pelan

membasahi pipi. Kemudian menguap oleh amarah yang keluar dari dalam dirinya. Amarah yang ditujukan ayahnya sendiri. Selama ini, ia menahan amarahnya kare na selalu teringat perkataan ibunya.

Sayang, ayahmu pikirannya sedang ruwet, jadi maklumi sikapnya ya, Ibu gapapa kok, kata ibunya ketika Lisa protes kenapa ibunya selalu terima dimarahi oleh ayahnya.

Seperti biasa, suasana rumah begitu hening. Kali ini Lisa hanya bisa diam melihat ibunya hanya diam. Per tanyaan-pertanyaan hangat nya tak mampu menembus dinginnya sikap Bu Tika. Dalam keheningan, pintu rumah tiba-tiba terbuka tan pa ada suara orang menge tok, Lelaki paruh baya itu langsung menerjang Bu Tika. Lisa reflek mendorongnya hingga ia terpental ke lantai. Tetapi lelaki itu kembali ban gkit dan berlutut kepada Bu Tika. Cengkramannya begitu kuat hingga Lisa tak mampu menariknya.

“Maafin aku bu, maafin,” lelaki itu terus merengek me minta maaf. Sekujur tubuhn ya basah oleh keringat dan air mata. Meskipun sudah kerap kali kata maaf itu kel uar, dan hanya keluar tanpa ada perbaikan setelahnya, permintaan sore itu terlihat begitu tulus.

Bahkan setelah serangkaian makian dari Lisa menyerbu dan usaha untuk memisah kan lelaki itu dari Ibunya dengan dorongan dan tari kan dilancarkan. Lelaki itu tak bergeming, pun Bu Tika. Tetes-tetes air mata itu pada akhirnya mampu memecah kan ego setiap manusia. Membentuk sebuah karya yang begitu indah. Air mata sore itu mampu mendingink an dada dan kepala yang membara. Meskipun tetap saja, belum mampu mengem balikan senyum Bu Tika.

Lisa pada akhirnya memeluk ayah dan ibunya, tidak begitu lama. Kini mereka duduk di kursi sama rata. Kata-kata yang

Edisi 24 | Oktober 2022
Puisi Editorial 32 Cerpen

panjang keluar dari mulut Pak Putra.Ia menceritakan semua kejadian yang me nekannya selama beberapa tahun terkahir. Cerita yang sebenarnya Sebagian tel ah diketahui oleh istrinya. Namun bagamana dengan, Lisa? Benar-benar cerita yang baru baginya.

Begitu terkejutnya Lisa saat itu, mengetahui kenyataan bahwa ayahnya menjadi korban bullying di kantor tempatnya bekerja. Be rawal kesalahan kecil yang dibuat dan bumbu-bumbu kedengkian salah satu rekan kerja membuat ia selalu ditekan oleh seisi kantor. Semakin lama, hari-hari yang dijalaninya di kantor semakin berat. Namun Pak Putra harus tetap bertahan untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ia begitu mencintai mereka. Tekanan yang ia terima di kator menumpuk setiap harinya. Pada akhirnya pecah. tak lagi ia mampu membendung kebencian

yang bertambah-tambah. Se jak saat itu, rumah tempat ia pulang, menjadi pelampiasan yang sempurna setelah seha rian berada di tempat seperti neraka. Pertikaian seringkali pecah di rumah itu. Lisa, gadis yang baru beranjak remaja tak pernah tau men gapa semua itu terjadi.

Menyaksikan ibunya tercinta dibentak, dimaki, bahkan dipukul seorang yang ia panggil ayah. Suara yang keluar dari makian ayah dan tangisan ibu selalu menusuk batinnya. Tetapi ia hanya bisa diam, entah kenapa. Dan terjadilah, kejadian sore itu. Ayahnya dipecat setelah terjadi pertengkaran besar di kantornya. Kemarahan itu seperti biasa terbawa ke ru mah, menghantam batin dan fisik ibunya hingga kondisin ya menjadi seperti sekarang. *** Malam di hari berikutnya, ketika Lisa, Ibu dan Ayahnya sedang terlelap, dua orang bertopeng dan berpaikan serba hitam menyelinap

masuk. Kedua orang terse but menyeggol gelas hingga membangunkan seisi rumah. Pak Putra membangunkan istrinya dan segera keluar kamar ke ruang tengah. Begi tupun Lisa. Dua orang bertopeng dan berpakaian hitam itu lantas menyerang Pak Putra. Tiga tikaman pisau menusuk di bawah dada dan perutnya. Kedua orang itu langsung kabur meninggalkan ru ang tengah. Istrinya hanya menyaksikan dengan tatapan kosong. Dicabutnya pisau yang ter tancap diperut, tanpa sedikit pun rasa ngeri. Namun ketika pisau itu tercabut, sontak ia menjerit begitu keras. Sekujur tubuhnya melemas dan ia jatuh pinsan.

Lisa yang melihat kejadian itu, hanya menjerit kesetan an. Ia hampiri tubuh penuh darah tersebut. Ketika sudah ramai warga yang datang, ia telah kehilangan suaranya.

Edisi 24 | Oktober 2022
SalamPuisiRedaksi 33 Cerpen

Sesuatu Monolog Keselarasan

Oh Sesuatu…

Tak mampu kuutarakan, tak kuasa kuucapkan Hadirnya, kerap mengganjal dalam relung sanubari Sesekali ia terlintas dalam benak tapi tak mudah ditebak

Jika kau tanya; Bagaimana ia terhadapku?

Lidahku dibuatnya kelu, otakku seakan buntu Sukar untuk menjelaskan segalanya

Benakku kerap menuai tanya Akankah keselarasan yang ramai-ramai digaungkan belakangan ini Berperikemanusiaan

Tapi kenyataannya, tidak demikian Dimanakan keselarasan itu? Benarkah selama ini yang dikata orang perihal keselarasan?

Oh Sesuatu…

Tak bisakah kau biarkan diri ini merdeka saja?

Lalu pergi, tanpa perlu menyisakan luka Aku ingin bebas, tanpa perlu merasa was-was

Apakah itu hanya ilusi? Ataukah hanya omong kosong sang ahli durjana, Yang tidak ayal sebatas bualan semata Masih adakah keselarasan dalam jagat loka?

( Amanat/Rozikin )

*Eva Salsabila Azzahra

Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Edisi 24 | Oktober 2022 Puisi
Editorial
34 Puisi

Sang Juara yang Sempat Ragu Kuliah

Kegigihan Avi Viqi berlatih dan pengalaman kejuaraan ORSENIK tahun 2017 telah mengantarkannya dengan berbagai kejuaraan mendapatkan bantuan beasiswa. Saat masuk ke dunia perkuliahan sosok Avi tumbuh menjadi mahasiswa dengan segudang prestasi. Selama menjadi mahasiswa ia telah berhasil menorehkan 11 kejuaraan.

AviViqi Fatwa berdiri di podium teratas mengangkat piala kemenangannya dalam 11K

Solo Open UNS 2020 di Solo. Siapa sangka sosok Avi sempat mengurungkan niat untuk melanjutkan ke bangku kuliah. Meng ingat keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung kala itu.

Dengan dukungan dari kedua orang tua mampu meyakinkan Avi untuk berkuliah. Biaya kuliah Avi

Perjalanan Avi di dunia atletik bermula dari Orientasi Olahraga, Seni, Ilmiah, dan Kebudayaan (ORSENIK) pada tahun 2017. Ia mengikuti cabang olahraga lari 200m dan berhasil meraih juara 2.

Edisi 24 | Oktober 2022 35 Sosok
(
Dok. pribadi )

Bakat di dalam dirinya semakin terasah setelah mengikuti UKM Resimen Mahasiswa (Menwa). Mengawali perjalanannya menu ju pembentukan fisik, mental, kepemimpinan, manajemen waktu, serta kedisiplinan yang ia terapkan dalam sehari-hari. Atlet asal De mak tersebut mengaku sebelumnya tidak memiliki background pendidikan militer sama sekali.

Adapun kejuaraan yang diperoleh Avi seperti Juara 1 lomba lari “Pasopati Fight Run 8Km” UNY kategori Resimen Mahasiswa (Nasion al) Mei 2019, Juara 1 LLA “Lomba Lintas Alam 10Km” Jalaka Paragri IV di UNEJ kategori Resimen Mahasiswa (Nasional) Juli 2019, Juara 2 “Lomba Long March Merah Putih Nasional 18 Km” LMMPN di Universitas Madiun 2019 kategori Resimen Mahasiwa (Nasional), dan lain lain.

Meskipun begitu, Avi bukan tidak pernah gagal. Dalam beberapa pertandingan dia harus dihadapkan dengan kegagalan.

Namun, berkat mental juara yang Avi terapkan dalam hidupya dia selalu menjadikan kekalahan itu sebagai pemantik semangat untuk memperbaiki diri.

Selalu terapkan mindset bahwa kita diciptakan untuk menang bukan untuk kalah, Sudah basah menyelam sekalian ambil mutiara di dasar laut dan itu adalah hasil dari perjuangan kalian” Avi Viqi Fatwa

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Setiap orang mempunyai pemak naan terhadap kekalahan dan kemenangan yang dialami dalam sebuah perlombaan. Selalu meng ingat perjuangan orang tua hingga titik terakhir membuat Avi mudah menghadapi tantangan dalam per siapan maupun proses perlombaan.

Avi sempat mengalami cidera saat latihan bahkan mendekati hari perlombaan yang saat itu diadakan di UNS. Namun, Avi tetap bersikukuh untuk mengikuti lomba tersebut.

Saat pertandingan berlangsung cidera di kakinya semakin parah

Edisi 24 | Oktober 2022 Sosok Editorial 36 Sosok

sebelum mendekeati garis finis. Avi merasakan sakit dua kali lipat dibangingkan waktu pertama ia mengalami cidera.

Sempat hampir hilang kendali di saat-saat terakhir menuju finis, seniornya yang bertugas menjadi pendamping mengingatkan kembali tentang tujuan utamanya mengikuti perlombaan. Usahanya membuahkan hasil dengan ia keluar sebagai juara satu.

Meskipun disibukkan dengan berbagai latihan dan kerja sampingan Avi tidak melupakan tujuan awalnya ke pergi ke Semarang. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 2021. Saat itu, ia telah memiliki toko di aplikasi belanja online

(Shopee) yang ia rintis sendiri hingga kini dan telah menjadi star seller.

Layaknya tombak dan panah yang memiliki ujung runcing untuk membidik, begitu juga manusia. Perjuangan menuju sukses harus melalui proses, segala proses yang telah dilewati pasti akan membuah kan hasil.

Percaya dengan kemampuan diri, “Selalu terapkan mindset bahwa kita diciptakan untuk menang bukan untuk kalah, sudah basah menyelam sekalian ambil mutiara di dasar laut dan itu adalah hasil dari perjuangan kalian,” pungkasnya.

SalamSosokRedaksi 37 Sosok
Lawinda Rahmawati

Ketidaktahuan

Sokrates dikenal sebagai bapak dari filsafat barat. Ia hidup seki tar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki gaya berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ru ang-ruang tertutup lainnya, melainkan di pasar di kota Athena.

Ia berjalan berkeliling di pasar dan ber teriak berteriak kepada banyak orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya ke padanya, ”Hai Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”

Di Timur, kita mengenal Bodhidharma sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme dari India ke Cina. Mulanya, perkembangan Buddhisme di India dimulai sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Lalu, bergeser ke China sekitar tahun 200 setelah Masehi. Namun, kehadiran Bodhidharma mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang sudah ada Cina pada masa itu.

Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk makan ber sama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma menjawab, “Tidak ada. ”Sang penguasa pun marah menden gar jawaban itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidhar ma, ”Saya tidak tahu.”

Dari Sokrates dan Bodhidharma, keduanya sama-sama mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Namun, apa maksud dari jawaban ini? Apakah sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud lain yang ingin mereka sam paikan?

Tentang ketidaktahuan, kita hidup di ujung “era manusia”. Humanisme sedang berevolusi menuju sistem nilai

baru. Banyak kemarahan lahir dari rahim ketidaktahuan. Maka, benarlah hujjah daripada Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters tentang matinya kepakaran. Era matinya kepakaran ini di tandai oleh dialog publik yang tidak memiliki ketelitian intelektual.

Para ilmuwan yang tidak lagi menik mati rasa hormat atas posisi otoritatif mereka dalam bidang tertentu, dan banyaknya orang awam yang meng abaikan fakta namun berani berhujjah dengan hal yang bertentangan seru pa orang hebat.

Kenyataan ini menjadi kita amini kala menengok persoalan substansial— yang melelahkan—di media sosial. Polaritas, perselisihan, dan manipulasi atas kebenaran begitu melimpah. Kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kasus pembunuhan Brigadir J, atau misteri kebakaran Ge dung Kejaksaan Agung 2020 lalu. Juga penembakan di KM 50.

Barangkali kita akan berterima kasih pada pesulap merah yang telah membongkar kejumudan Gus Syam sudin dalam manipulasi pengobatan tradisional yang ia lakukan. Atau ada paradigma keilmuan baru yang ingin disampaikan Gus Syamsudin melalui caranya sendiri.

Kini, kita dihadapkan pada sebuah pemahaman tentang bagaimana pengetahuan sejati mampu menjadi sumber dari segala sumber pertanggungjawaban kebenaran, bukan sumber arogansi. Bukan juga sebagai “yang menyesatkan”. Etika konfusian isme menyebut pengetahuan sejati adalah mengetahui sejauh mana ketidaktahuan seseorang.

Edisi 24 | Oktober 2022
SalamPuisiRedaksi 38 Esai

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.