![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/41740aa11312be8d59ba563f3c89c962.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
10 minute read
Salam Redaksi
Langkah Merajut Kata
Langkah pertama merupakan awal dan penentu adanya bagian akhir. Langkah pertama disambut hujan dan sedikit gemuruh. Dalam perjalanan menyusuri badai, kami bertemu beberapa kali sambaran halilintar yang membiaskan isi kepala.
Advertisement
Walaupun jatuh bangun menimpa, kami tetap bergandeng tangan dan saling menguatkan satu sama lain.
Setelah mengarungi badai, kami bertemu secercah cahaya. Di mana kepala, badan dan tangan kembali bersatu.
Dalam edisi 24 ini, Tim Buletin Amanat menelusuri rutinitas mahasiswa UIN Walisongo dalam berdiskusi di kelas. Terdengar klise, tetapi, siapa sangka jika diskusi menjadi ajang pertaruhan antara nilai dan ilmu.
Output dari diskusi dipertanyakan, apakah hanya sebuah formalitas atau memang unsur pertukaran pemikiran terjadi secara intens? Kali ini Buletin edisi 24 menyajikanya dalam sebuah laporan.
Selain membahas seputar diskusi dalam perkuliahan, rubrikasi lain seperti Artikel, Resensi Buku, Resensi Film, Cerpen, Puisi, Opini, Sosok, dan Esai disajikan untuk pandangan dan informasi baru untuk disimak lebih jauh.
Selamat membaca.
Dengung Intelektual yang Memudar
Proses diskusi pembelajaran di kelas rawan dimanfaatkan. Sebagian mahasiswa hanya berniat mencari nilai semata.
(Dok. Khusus) ( Amanat/Rozikin)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/8744738f352b86aaa3862d407d635db6.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Di sebuah ruang kelas Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), tak banyak yang bisa dilakukan oleh Shofia Zulfa Ika selain membolak-balikkan makalah di mejanya. Sepuluh menit lebih mahasiswa Ilmu Hukum (IH) semester lima tersebut selesai presentasi makalah di depan kelas, belum ada respon atas materi diskusi yang telah dipaparkan. Padahal sebelum dipresentasikan, ia telah mengirim makalah di grup WhatsApp kelas. Hingga dosen memulai untuk memantik proses diskusi, barulah beberapa mahasiswa satu per satu mulai mengajukan pertanyaan. Sayang, pertanyaan itu tak harus membuat- nya berpikir keras, lantaran jawaban yang dicari telah tercantum dalam makalah yang ia tulis.
Shofia menganggap, mahasiswa yang terlibat diskusi di dalam kelas justru terkesan lebih mencari
Dengung Intelektual yang Memudar
Proses diskusi pembelajaran di kelas rawan dimanfaatkan. Sebagian mahasiswa hanya berniat mencari nilai semata.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/7748bba2ec6d8f65893a6ffdc5222051.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
nilai dibanding esensi diskusi itu sendiri. “Untuk iming-iming nilai, bagus agar mahasiswa mau berdiskusi. Tetapi kebanyakan dari yang saya lihat itu, mahasiswa yang aktif bertanya jawabannya sudah disampaikan dalam materi. Tapi tidak semua mahasiswa seperti itu”, ucapnya, Kamis, (09/12/2021).
Tak jauh beda dengan Shofia, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Tiara Setianingrum, tak sepakat dengan orientasi mahasiswa dalam berdiskusi di kelas yang kini cenderung mementingkan nilai bagus dibandingkan memperoleh gagasan baru dari hasil diskusi di kelas.
Tiara dalam wawancara dengan Tim Buletin Amanat mengakui, jika nilai memang menjadi salah satu orientasi mahasiswa agar lebih aktif berdiskusi di kelas. Akan tetapi, keaktifan itu tak sepatutnya dimanfaatkan untuk memperoleh nilai bagus dan mengesampingkan pengetahuan yang diperoleh dari hasil diskusi.
Menurutnya, mahasiswa yang memiliki nilai bagus di kelas secara tidak langsung memiliki kualitas pengetahuan yang bagus pula. Ia justru menyayangkan mahasiswa yang memiliki nilai bagus di kelas namun berbanding terbalik dengan pengetahuan yang diperolehnya.
“Jaminan nilai bagi saya bagus. Mayoritas orientasi mereka juga ke nilai. Tapi ada yang dipaksapaksain. Misal nanya yang bukan karena dia pengen tau, tapi lebih ke pengen nampang aja”, jelasnya.
Kamis, (09/12/2021).
Strategi Dosen
Ketertarikan mahasiswa terhadap nilai dibanding pengetahuan baru dari proses diskusi di dalam kelas telah menjadi persoalan umum di lingkup perguruan tinggi, termasuk UIN Walisongo.
Jejak pendapat yang dilakukan Tim Buletin Amanat pada 23 Desember 2021 hingga 4 Januari 2022, dengan responden 302 mahasiswa semester satu, tiga, dan lima dari delapan fakultas di UIN Walisongo menunjukkan 30 persen mahasiswa aktif berdiskusi di kelas hanya untuk menambah nilai. Sementara, sebanyak 70 persen memilih mengedepankan pengetahuan baru yang didapat dari hasil diskusi.
Oleh sebab itu, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Adeni menggunakan strategi khusus mengatasi mahasiswa yang kurang antusias dalam mengikuti diskusi di dalam kelas. Ia membagi mahasiswa dalam beberapa kelompok dan mewajibkan setiap kelompok berkontribusi aktif dalam proses diskusi. Sebagai penghargaan, Adeni memberi nilai individu kepada mahasiswa yang aktif berdiskusi.
“Menurut saya hal tersebut memberikan motivasi bagi mahasiswa, karena mahasiswa akan tertarik jika ada rewardnya”, kata Adeni saat ditemui di kantornya pada Rabu (22/12/2021).
Setali tiga uang, Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Saminanto menyayangkan mahasiswa yang tak memiliki motivasi untuk mengikuti diskusi sebagai proses pem-
Saminanto
Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Sains dan Teknologi (FST)
belajaran di kelas. Apapun motivasi yang dibawa, Saminanto menekankan perlunya mahasiswa terlibat aktif dalam proses diskusi. “Jadi saya kira motivasi itu boleh apalagi mahasiswa motivasinya nilai. Lama-lama motivasi itu akan hilang dengan suasana diskusi yang kondusif dan dibutuhkan. Apalagi dengan kelompok diskusi yang nyaman. Dia nanti akan selalu aktif dan enjoy. Daripada mahasiswa hanya diam dan jadi troublemaker,” katanya, Selasa (16/08/2022).
Menurut Saminanto, ketidakaktifan mahasiswa dalam pembelajaran model diskusi di kelas semakin memprihatinkan di masa kenormalan baru. Pasalnya, mahasiswa harus menjalani sistem pembelajaran yang terus berubah. Belum selesai persoalan belajar daring, mahasiswa harus kembali dihadapkan kuliah luring masa kenormalan baru.
“Tapi, di awal kenormalan baru kita kaget. Mau tidak mau dituntut untuk melakukan daring walaupun di awal-awal, luring juga dituntut. Kenyamanan diskusi di kelas juga hilang,” sambungnya. Zakiyah Daradjat, dalam buku Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan menerangkan bahwa pendidik merupakan individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan untuk peserta didiknya.
Namun pada prakteknya di era kenormalan baru, untuk mencapai hasil kualitas pembelajaran sebagaimana yang disampaikan Zakiyah Darajat, mahasiswa masih belum maksimal, terutama pembelajaran mata kuliah praktikum. Namun, Saminanto begitu pun dosen lain selalu mendorong mahasiswa untuk terlibat aktif dalam diskusi. Proses diskusi, lanjutnya, akan melatih mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dengan pikiran terbuka.
“Jangan hanya menggugurkan kewajiban. Tapi juga harus dilihat pada esensi diskusi itu sendiri,” ucapnya.
Mentalitas
Jon Rimer dan Madeline Balaam dalam Class Participation and Shyness: Affect and Learning To Program (2011) mengatakan bah-
wa perguruan tinggi dalam proses pembelajarannya berusaha memberi mahasiswa kesempatan untuk terlibat secara kritis dengan mata pelajaran melalui diskusi. “Proses tersebut dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa lebih dalam dan dapat membangun sebuah konstruksi dari pengetahuan yang mereka dapat,” tulisnya.
Namun, penelitian Rimer dan Balaam menunjukkan banyak mahasiswa yang menghindari keterlibatan dirinya untuk berinteraksi secara pribadi ke dalam proses diskusi.
Ada rasa malu dan kurangnya kepercayaan diri berpengaruh terhadap keaktifan seseorang khususnya ketika sedang berada di dalam kelas untuk diskusi. Menurut Ri- mer dan Balaam, mahasiswa pemalu menghadapi persoalan dalam situasi tertentu, misalnya saat berbicara dengan dosen, atau saat berada dalam diskusi di sebuah acara seminar.
Mentalitas semacam itu tak ter- lepas dari peralihan pembelajaran dari SMA ke dunia perkuliahan yang masih melekat, terutama bagi mahasiswa baru yang belum mengenal dan beradaptasi dengan sistem pembelajaran di kampus. Hasil penelitian Wahyuddin dan Tria Nurwadha dalam jurnal Cendikia Sekolah Tinggi Agama Islam Majene menyebut transisi dari sekolah menengah ke perguruan tinggi menjadi penyesuaian yang sulit bagi mahasiswa, termasuk dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Mahasiswa baru masih terbiasa dengan pola pembelajaran kelas model SMA, di mana guru lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Ditemui di ruang kelas, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan (FITK) Kasan Bisri, mengatakan ketika mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas, mahasiswa tidak serta merta bisa mengungkapkan gagasannya.
“Di kelas ternyata memang mahasiswa tidak begitu bisa mengungkapkan gagasan dalam berdiskusi. Sehingga kadangkala dosen itu kebingungan untuk bagaimana agar diskusi itu hidup, bagaimana mahasiswa itu berani menyampaikan gagasan”, katanya,
Rabu (15/12/2021). Kasan menambahkan, mental semacam ini harus dihilangkan dari diri mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus keluar dari zona nyaman untuk menciptakan perubahan itu. “Hancurkan dinding itu sebisa mungkin, dan puaskanlah rasa penasaranmu”, tuturnya.
Pengaruh Organisasi Mahasiswa
Keseriusan dan keaktifan mahasiswa dalam mengikuti proses diskusi memiliki keterkaitan dengan organisasi yang diikuti mahasiswa. Baderel Munir dalam buku Six Dimensions Organization (2012) menyatakan organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra memiliki pengaruh besar dalam membangun keaktifan diskusi mahasiswa di dalam kelas menjadi lebih berkua- litas. Menurutnya, organisasi mahasiswa bisa membentuk dan merubah pola pikir mahasiswa menjadi lebih kritis.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema- U), Shofiyul Amin mengatakan diskusi yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa berbeda dengan proses diskusi di dalam kelas. Diskusi organisasi mahasiswa, katanya, dilandasi atas niatan membuka wawasan dan pemikiran membentuk sikap kritis mahasiswa.
Hal itu berbanding terbalik dengan diskusi di kelas yang dalam beberapa kasus, mahasiswa lebih memilih mencari nilai dibanding pengetahuan yang diperoleh dari hasil diskusi. “Diskusi tidak hanya untuk mencari nilai saja, tapi untuk penanaman kapasitas intelektual masing-masing individu”, ucapnya. Selasa, (09/08/2022).
Dalam konfirmasi terpisah, ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PAI, Reineta Dian Kusumawati melihat ada perbedaan siginifikan bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi dengan mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam organisasi. Baginya, lingkungan organisasi memiliki peran vital dalam membentuk karakter dan idealisme mahasiswa.
“Mahasiswa yang ikut organisasi dan tidak akan berbeda, tergantung dari lingkungan, literasi, dan intelektual yang dimiliki”, tambahnya.
Nur Rozikin
Pesta Kematian Etika
Sebagaimana kita tahu, problem etika makin ke sini justru tak lagi mendapat tempat tertinggi dalam kehidupan.
Ruang maya kita tidak pernah sepi dari lalu lintas informasi yang menimbulkan kontroversi. Ada saja kabar yang menjadi viral lantaran begitu banyak warganet berkomentar. Belum lama ini misalnya, publik heboh dengan isu perselingkuhan antara Artis Reza Arap dengan penyanyi kondang, Rossa. Kabar dugaan perselingkuan tersebut, bahkan sempat menempati urutan pertama trending di media sosial Twitter. Tentu saja, Reza banjir hujatan, sementara istrinya Wendy Walters diselimuti empati. Tulisan ini tidak akan menyudutkan Reza atau membela Rossa, tetapi mencoba memotret feno- mena warganet yang tak berubah. Maksudnya begini, bukankah kabar soal perselingkuhan atau perceraian sudah sangat sering terjadi di dunia artis? Banyak yang melakukan hal tersebut demi meningkatkan popularitas dan rating acara televisi. Kehidupan artis di depan kamera atau di dunia nyata sering kali tidak ada bedanya. Lantas mengapa masyarakat harus menganggap hal tersebut sebagai “kebenaran” yang patut dibela atau dicerca? Pun jika isu perselingkuhan Reza Arap benar, apa kepentingan publiknya? Warganet acap kali mengomentari moral seseorang dengan memenggal etika publik. Demi
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/7ecb9157ea0611b090e76e6c12216612.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
(Amanat/Imamul) membela yang belum tentu benar, mereka melakukan tindakan yang merugikan sesama. Media sosial adalah ruang maya di mana masyarakat dari bera- gam usia berkumpul menjadi satu. Sadar atau tidak; hujatan, makian, atau hinaan, akan di- baca anakanak dan remaja, lalu kata-kata buruk tersebut akan berkontribusi dalam pembentukan karakter mereka ke depan. Makin ke sini, publik kita memang makin mudah berkomentar tentang apa pun; politik, perilaku keagamaan, bahkan sampai ke kehidupan privat seseorang. Komentar itu kadang berupa pujian, tetapi tak sedikit pula yang berbau provokasi, hujatan, dan ujaran kebencian. Di sini, pers/media massa berbasis daring juga berkontribusi besar dalam menciptakan “keramaian semu”. Para jurnalis menyediakan bahan bakar yang membuat kobaran hujatan terus menyala. Pers lupa atau sengaja melupakan kriteria pemberitaan yang ada kaitan- nya dengan kepentingan publik, lalu mengikuti isu yang asal viral demi SEO.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221112080842-27f217c040adea50abe9fb100cfedb82/v1/c889ba372788a335cb25d62ff47fc13c.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Degradasi moral
Sebagaimana kita tahu, problem etika makin ke sini justru tak lagi mendapat tempat tertinggi dalam kehidupan. Di hadapan kecanggihan teknologi, manusia seolah
digiring menuju jurang degradasi moral paling dalam. Media sosial pada dasarnya bersifat ambivalen, yang memliki dampak positif sekaligus nega- tif. Di satu sisi, medium tersebut memberikan kemudahan ma- syarakat berinteraksi dan men- dapatkan informasi, tetapi di sisi lain juga menampilkan banyak perilaku buruk. Baik agamawan maupun filsuf sepakat bahwa etika adalah persoalan penting dalam tatanan kehidupan. Etika akan membentuk dan membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Pembahasan tentangnya telah disinggung sejak zaman Yunani Kuno oleh Phytagoras, Plato, dan Aristoteles. Phytagoras menyebut etika sebagai prinsip ideal tertinggi dalam hidup. Plato mendefiniskan etika sebagai bentuk perlawanan terhadap pengekangan akal budi (rasio) dan hawa nafsu. Aristoteles juga membahas etika dalam konsep eudaimonia atau jalan menuju kebahagiaan. Dari pendapat Plato saja tersirat sebuah arti bahwa seseorang yang tidak beretika sama saja tidak memiliki akal, padahal ciri itu yang membedakan manusia de- ngan makhluk lainnya. Mungkinkah media sosial akan membawa manusia ke hutan rimba, di mana satu sama lain saling memangsa (baca: menjatuhkan)?
Kepalsuan
Media sosial bagaimana pun bentuknya menawarakan “topeng” yang bisa dipakai penggunanya. Seseorang di dunia nyata bisa menjadi begitu lain di dunia maya. Jika demikian adanya, pernyataan Novelis Oscar Wilde patut menjadi perenungan bersama, “Orang tidak sepenuhnya menjadi dirinya ketika ia bicara atas nama dirinya. Be- rilah ia topeng maka ia akan me- ngatakan kebenaran.” Kata-kata dari Oscar Wilde tersebut mengilhami banyak film sukses di layar kaca, seperi Joker (2019), V for Vendetta(2005), dan The Fifth Estate (2013). Namun, kutipan tersebut juga bisa digunakan untuk membaca fenomena warganet hari ini. Naluri “buas” manusia menda- patkan tempat yang begitu luas di media sosial. Lantas, masa depan macam apa yang sedang kita bentuk sekarang jika kondisi ini terus dipertahankan?