Ilustrasi: M. Iqbal Burhan
KISAH LA GALIGO YANG TERSIRAT R. U Malatong
T
emaram senja perlahan pergi mengantarkan mentari kembali ke peraduannya. Perlahan malam datang menyibakkan tabir yang memisahkan waktu senja, mengundang rembulan merajai angkasa yang kehilangan kekasih. Sepoi angin malam menggetarkan tulang-tulang tangkai pepohonan yang tinggi menjulang nan hijau. Namun tersamarkan oleh legamnya malam dan terabaikan oleh usik-berisik tiupan basing1 dan palingoro2 pengiring musik tari pabbitte passapu3. Hamparan pesta adat dengan dekorasi tradisional khas Kajang, daun areng yang diikat di setiap tiang rumah yang dililiti oleh kain hitam di sepanjang barung-barung tempat para galla4. Lampu yang terbuat dari bambu dengan bahan bakar minyak tanah dipasang di
10/ Yard - Edisi 10, Maret 2019
setiap sudut rumah untuk menerangi legamnya malam. Penduduk desa datang memeriahkan semarak pesta adat, kemudian berkumpul menyaksikan tarian pabbitte passapu untuk menyambut galla. Lukisan malam nan rupawan tergambar dalam polesan tata rias para penari yang berupa daster yang dililit di kepalanya. Konon katanya sebagai simbol ayam La Galigo sewaktu melakukan persabungan ayam dengan ayahnya, Sawerigading. Waktu menunjukkan pukul 10:35 saat galla memberi tanda bahwa acara telah usai. Lalu aku pamit kepada nenek hendak kembali ke rumah. Nenek memberiku tepa5 ditujukan untuk ayah kemudian memberiku pula sarung hitam milik ayah yang tertinggal beberapa hari yang lalu