3 minute read

Ekspresi

Next Article
Salam Kami

Salam Kami

Tepis Paradigma Masyarakat tentang Seniman

Oleh : Diah Prastiwi

Advertisement

Sejak kecil, Agung Hero Hernanda hidup di lingkungan seni. Ayahnya merupakan seorang seniman musik tradisional asal Sumatera Barat dan ibunya seorang seniman tari, secara tak langsung membuatnya mulai tertarik menggeluti dunia seni. Dasar seni tradisional yang dimiliki kedua orang tuanya membuatnya semakin penasaran untuk belajar. Menurutnya, musik tradisional itu unik dan mahal. Perjalanannya dimulai saat ia duduk di bangku SMA, saat itu alat musik pertama yang ia pelajari ialah Bansi. Untuk merealisasikan kesungguhannya dalam seni, ia melanjutkan sekolah di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang jurusan Karawitan pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2013. Selanjutnya ia melanjutkan studi pascasarjana di tempat yang sama dengan program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni. Perjuangannya membuahkan hasil saat ia berhasil tepilih sebagai salah satu pemusik muda dari sepuluh negara Asia Tenggara untuk mewakili Indonesia dalam program C ASEAN Consonant pada tahun 2015 di Bangkok dan berkelanjutan hingga sekarang. Di ajang seni Internasional yang bergerak di bidang budaya-budaya negara Asia Tenggara itu, ia menampilkan musik-musik tradisional Indonesia, sepert Kendang Sunda, Saluang, Kecapi, Bandi dan Perkusi. “Berawal dari rekomendasi guru saya untuk ikut seleksi yang mana pada waktu itu yang menyeleksi adalah Prof. Franki Raden, seorang seniman akademisi dan etnomusikolog di Indonesia. Saya tidak tau persis berapa orang yang masuk penjaringan dalam seleksi itu. Karena semua diatur oleh Prof. Franki Raden sebagai advisor dari Indonesia untuk project ini.” ujarnya. Dosen Program Studi Pendidikan Musik (PSPM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) ini juga telah memperoleh banyak penghargaan dan ikut berpartisipasi dalam event-event bergengsi di dunia seni baik di skala nasional maupun internasional. Ia pernah menjadi peserta Sawahlunto International Music Festival tahun 2012 dan 2013, Brave Festival bersama Balega Group, Wroclaw Polandia tahun 2014, penampilan langsung di Workpoint Thailand padatahun 2019 serta banyak prestasi lainnya. Pria yang mengagumi Alm. I Wayan Sadra ini mengakui kesulitannya dalam menjadi seorang pekerja seni. Saat berkarir di dunia seni, tak jarang ia dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apalagi semasa ia kecil, ia tinggal di lingkungan yang masih menganggap pekerja seni merupakan pekerjaan yang meragukan. “Saya di kampung dulu masyarakat berpikir, ‘Kamu seniman? Seniman mau jadi apa?’ Jangankan itu, waktu kuliah di seni ditanya juga, ‘Kamu kuliah di seni mau jadi apa? Apakah dengan menjadi seniman bisa mencukupi dan menjamin kehidupanmu?’ begitu paradigma orang,” ungkapnya. Saat ini ia berpindah dari daerahnya ke tempat lain dengan harapan ketika ia pulang bisa merubah pandangan masyarakat terhadap dirinya yang kini sukses menjadi seniman. “Sama-sama

kita ketahui pandangan masyarakat biasanya kalau belum jadi polisi, PNS, dokter, itu belum sukses. Harapannya ketika saya pulang nanti bisa menjawab keraguan masyarakat," ujarnya. Saat ia dipercaya menjadi komposer, ia kesulitan untuk memperoleh data. Ia harus menggali latar belakang musik yang akan ia garap dan paham kultur di daerah yang akan ia tuju. Selain itu, ia juga kesulitan dalam berbahasa karena khususnya di daerah Lampung yang memiliki berbagai macam bahasa yang digunakan. “Misal kita garap musik Lampung, otomatis kita harus belajar dulu musik Lampung, kita harus datang ke daerah-daerah, harus riset, harus paham bahasanya, setiap daerah ada cara-cara yang berbeda,” ucapnya. Selain itu, saat ia diberi kepercayaan mewakili Indonesia untuk tampil di negara lain, ia merasa kesulitan dalam berbahasa. “Kita hanya bisa berbahasa Inggris untuk sehari-hari, tapi ketika masuk ke dalam ranah profesional kita harus juga paham istilah-istilah musik dalam bahasa Inggris,” katanya. Ia berharap generasi milenial lebih mengenal dan mencintai budaya. Apalagi sekarang era digital, instan, dan modern yang merupakan ancaman besar terhadap identitas kita jika generasi penerus tidak mengenal budaya leluhurnya. “Ibaratkan pohon akan terlihat lebih kokoh, walaupun diterpa angin dan badai pun akan tetap berdiri kokoh, karena ditahan oleh akar yang kokoh juga,” pungkasnya= Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2021 12

This article is from: