8 minute read
Cerpen
Oleh: Sri Ayu Indah Mawarni
Advertisement
Ilustrasi: Sri Ayu Indah Mawarni Ini tentang masa depan
Semuanya ada di genggaman
Langkah kaki yang menentukan Tinggal kemana 'ku harus berjalan Tapi apa bisa aku berjalan sendirian? Sedangkan yang lain sibuk mentertawakan Aku hanya butuh dukungan Semoga tidak hanya angan
“Bu Lia, duluan ya,” ucap salah satu muridku.
“Iya, hati-hati,” jawabku sambil tersenyum.
Aku segera naik mobil taksi yang berhenti di depanku untuk segera pergi ke tempat kerjaku selanjutnya. Setetah mengajar, aku harus meng-handle restoran yang cukup ternama di kota ini, malamnya aku disibukkan dengan deadline tulisanku yang dikejar-kejar editor. Aku benar-benar sangat sibuk sekarang.
Namaku Lalia. Dulu cita-citaku adalah menjadi seorang guru dan penulis. Cita-cita itu semuanya benar-benar tercapai. Akan kuceritakan bagaimana caraku mewujudkannya.
Mengingat dulu, yang kulakukan setiap malam setelah lulus Sekolah Menengah Atas, yaitu melamun di depan jendela. Memandangi cakrawala yang saban malam menunjukan keelokannya. Purnama dengan angkuh menerangkan cahaya emasnya, membuat nyaliku makin terpuruk.
Cahaya bintang di sekitarnya juga tak mau kalah. Mereka bertaburan menunjukan keindahannya. Namun, bintang berbeda dengan bulan. Dengan melihat bintang, nyaliku terasa mengangkasa bersama mereka di atas sana. Saat aku kecil, bapak pernah menunjuk bintang-bintang itu sambil mengelus rambut ikalku.
“Mbak, coba kamu lihat ke langit,” ucap bapak yang sudah lebih dulu menengok ke atas.
Aku kecil langsung menuruti instruksi bapak untuk melihat bintang-bintang yang terhampar di langit gelap. Mataku terus mencari bintang yang redup. Namun, sampai aku merasakan sedikit pegal di bagian tengkuk, aku masih tidak menemukan bintang itu.
“Nggak ada, ya?” tanya bapak seolah dia sudah mengetahui apa yang akan aku katakan. Aku mengangguk.
“Bintang di atas sana semuanya berkilau, Mbak,” ucapnya sambil memainkan rambut ikalku. “Salah satunya itu ada kamu.”
Aku terlahir di keluarga yang berlatar belakang sangat sederhana atau bisa dikatakan ekonomi rendah. Bapak dan ibuku harus banting tulang sana-sini hanya untuk memberi aku dan adikku makan setiap hari. Hal ini menjadi masalah besar bagiku. Aku sangat ingin menggapai bintangku. Tapi, rasanya sulit.
Saat ini aku ingin melanjutkan belajar ke perguruaan tinggi. Saat temantemanku belajar di bimbingan belajar ternama yang menjamin kelulusan siswanya, aku hanya berdiam diri di kamar. Aku harus dipusingkan dengan masalah finansial yang kian rumit.
Bapak dan ibuku saja tidak percaya akan mimpiku. Mereka beberapa kali menawariku untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Namun aku menolak keras. Aku sempat kesal. Aku bukan bermaksud untuk durhaka, tapi impianku untuk menaikkan derajat keluarga tak bisa ditunda lagi.
Dukung aku, Bapak, Ibu. Jangan bilang aku tak mampu. Jangan hancurkan cita-citaku. Ini mimpi, tapi akan tetap kuraih. Aku hanya butuh doa, cinta, kasih, dan dukungan orang tua.
“Tiap hari melamun saja, Mbak, coba cari kerja biar nggak menganggur,” ucap bapak yang kurasa jengkel melihatku setiap hari berdiam diri di rumah.
“Lia masih mau kuliah, Pak,” jawabku. “Tinggal tunggu pengumuman.”
“Toh kalau misal kamu lolos duitnya darimana, Lia,” ucap ibu masih sibuk melipat tumpukan baju milik tetangga yang menggunakan jasanya.
“Lia lagi cari-cari beasiswa, Bu.”
“Sudahlah, jangan bermimpi terlalu tinggi, jangan ikut-ikut teman kamu, mereka anak orang kaya, jangan disamakan dengan kita.”
Kalimat tersebut terlontar dari mulut ibu. Hatiku serasa ditusuk ribuan jarum. Aku langsung berlari ke kamar. Menangis sejadi-jadinya. Bercerita kepada bintang di atas sana yang tak sabar ingin kupetik. Bintang, aku ingin menggapaimu. Terlalu tinggikah harapku? Aku berharap semua orang tau. Bahwa aku ingin kuliah dan mengejar cita-cita. Hingga akhirnya kubanggakan orang tua.
Aku sudah coba berbagai macam beasiswa. Namun, satupun tak ada yang lolos. Mulai dari beasiswa yang menggunakan prestasi hingga beasiswa miskin, tetap aku tidak diterima. Aku sangat sedih dan hampir menyerah. Meraih bintang yang pernah ditunjuk bapakku dulu itu, rasanya mustahil. Bintang itu terlalu tinggi bagiku.
Saat tiba hari pengumuman SBMPTN, aku sangat merasa cemas. Ketakutan pertamaku jikalau teman-temanku lolos dan menyisakan aku yang tidak. Mereka pasti kasihan kepadaku dan berpikir penyebabku tidak lolos karena aku tak ikut bimbel dengan mereka. Perlu diketahui, walaupun aku tak seberapa, aku paling tidak suka dikasihani.
Ketakutan keduaku jikalau aku lolos, uang dari mana aku untuk membayar Uang Kuliah Tunggal, indekos, dan biaya hidupku lainnya.
Dengan langkah gontai aku pergi ke warung internet dekat rumahku. Kutekan tombol power pada bagian depan Central Processing Unit. Ketika layar sudah sepenuhnya menyala, mulai kutekan tuts menuju laman pengumuman SBMPTN. Aku memejamkan mata saat layar menunjukan hasilnya. Dan ternyata, ketakutan pertamaku hanyalah sebuah kekhawatiran belaka. Karena faktanya, ketakutan keduaku yang menjadi kenyataan. Aku senang bercampur sedih. Aku lolos seleksi SBMPTN.
Aku segera mematikan komputer dan pergi ke kasir untuk membayar sewa komputer tadi. Aku berlari pulang, tak sabar ingin memberitahu orang tuaku.
“Ejen!” aku memekik memanggil adikku yang sedang mengerjakan PR di depan rumah. Dari raut yang ditunjukkannya, kelihatan sekali dia terkejut dengan suaraku. “Bapak dan Ibu mana?”
“Bapak belum pulang,” jawabnya cuek. Dia orangnya memang sangat tidak suka diganggu ketika sedang belajar. “Ibu di dapur,” lanjutnya.
Aku langsung berlari menuju dapur. Kulihat ibu sedang memasak sayur sawi. Sayur kesukaanku. Aku berjalan mendekati ibu. Entah mengapa mataku tiba-tiba terasa memanas. Tetes demi tetes air dari
kedua mataku tak bisa kutahan untuk keluar. Aku teringat ucapan ibu tempo hari yang sempat membuatku patah semangat.
“Kenapa?” tanya ibu yang melihatku berjalan ke arahnya sambil
menangis.
“Lia lolos tes kuliah, Bu,” kataku sambil memeluk ibu.
Ibu diam. Dia hanya mengelus-elus punggungku. Tak lama kemudian terdengar isakan. Ibu menangis. Aku ingin melepaskan pelukan, namun ditahan oleh ibu. Dia terus memelukku erat sambil terisak dan sesekali mengusap air matanya.
“Ibu bangga sama kamu,” ucapnya. Untuk pertama kalinya aku menangis sejadi-jadinya di pelukan ibu. Kami berdua menangis haru bercampur senang. Aku adalah orang pertama di keluargaku yang akan menginjakkan kaki di bangku kuliah.
“Ada apa ini? Kok pada nangis?” ucap bapak yang baru pulang kerja. Dia masuk bersama Ejen dan duduk di meja makan sederhana kami.
Aku dan ibu melepas pelukan dan mengusap air mata kami masing-masing. Aku mendekat ke bapak dan Ejen. Sedangkan ibu mematikan kompor lalu menyusulku ke meja makan.
“Kenapa?” tanya bapak sekali lagi ketika aku dan ibu sudah duduk bersamanya.
“Lia lulus tes kuliah, Pak,” jawab ibu.
“Wah, Mbak, hebat sekali anak gadis Bapak,” ucap bapak sambil mengelus rambutku yang berantakan akibat lari-lari tadi. “Jurusan apa, Mbak?”
“Pendidikan guru matematika, Pak,” jawabku. “Hore! Mbak Lia nanti jadi guru di sekolah Ejen,” ucap adikku itu tampak sumringah. “Aamiin.” Aku, bapak dan ibu menjawabnya bersamaan. Dari kejadian ini aku merasa sangat bersalah kepada kedua orang tuaku. Aku sadar bahwa sebenarnya bapak dan ibu selalu mendukungku. Aku bisa lolos seleksi SBMPTN karena doa restu orang tua yang tidak pernah terputus. Bahkan doa orang tuaku mengalahkan tempat bimbel terbaik itu. Aku sangat bangga kepada diriku. Temanku yang bimbel di tempat terbaikpun tidak lolos. “Bayarannya gimana, Pak?” tanyaku hati-hati karena takut merusak suasana.
“Gampang itu, kamu belajar saja yang benar,” jawab bapak.
Setelahnya kami makan malam bersama. Sebenarnya aku masih kepikiran dengan biaya kuliah. Dari mana bapak dan ibu dapat uang untuk kuliahku, sedangkan untuk makan saja kami kesusahan. Tapi, untuk malam ini, aku ingin melupakan hal itu. Aku akan segera menggapai bintang itu.
Terima kasih Bapak, Ibu. Betapa dahsyatnya doa orang tua. Aku benar-benar merasakannya. Aku yakin, saat mereka menyuruhku bekerja waktu itu, semata-mata hanya untuk menguji mentalku. Syukurlah aku kuat dan tidak mudah menyerah. Sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk biaya kuliah. Bintang, tunggu aku! “Mbak, sudah sampai,” ucap pengemudi taksi yang kutumpangi.
Aku melihat ke luar untuk memastikan, dan benar sudah sampai di restoran tempat kerjaku. Aku terlalu masuk ke dalam masa empat tahun yang lalu. Masa lalu yang menjadikan aku seperti sekarang. Segera kubayar ongkos dan turun. Aku masuk ke restoran dengan terburu-buru dan langsung berlari ke kamar kecil untuk menukar pakaianku.
“Maaf telat,” ucapku kepada Robi, rekan kerjaku.
“Kamu masih jadi guru di sekolah anak jalanan itu?” tanya Robi.
“Masih dong,” jawabku.
“Ngapain sih? Mending kamu di sini dari pagi buat nambah-nambah gaji kamu,” Robi memandangku serius. “Lagian, disana kamu nggak digaji,” lanjutnya.
Aku mengerti maksud Robi, agar aku tidak terlalu lelah. Temanku satu ini sebenarnya baik. Tapi kadang suka berlebihan terhadapku. Bukan cuma sekali ini dia menyuruhku berhenti mengajar di sekolah jalanan yang kurintis bersama tiga temanku yang lain. Sekolah itu berdiri empat tahun lalu, saat awal-awal masuk kuliah. Seperti yang kuceritakan tadi, keluargaku kekurang finansial. Aku juga tidak mendapatkan beasiswa. Aku tidak mau memaksa keadaan. Akhirnya aku putuskan untuk tidak kuliah. Realistis saja, orang tuaku susah dan adikku harus tetap sekolah. Namun, lagi-lagi, kembali ke cita-cita awalku untuk menjadi guru. Aku tetap harus menggapai bintangku. Walaupun tidak kuliah, aku masih bisa menjadi guru. Setidaknya bagi mereka yang kurang beruntung. Anak-anak jalanan yang tidak mampu belajar di sekolah formal.
“Aku jadi guru di sana bukan karena uang, Rob,” jawabku. “Kamu tau, kan, aku ingin jadi guru. Dengan cara ini aku bisa mewujudkannya.”
Kalau aku sudah bicara demikian, Robi hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Dia tidak bisa bicara apapun lagi. Dia pasti dongkol denganku. Bukannya aku keras kepala, tapi pendirianku memang kuat sekuat batu karang. Tak mudah goyah. Aku percaya, ada masanya sekolah jalananku besar. Tak kalah elite dengan sekolah-sekolah mahal.
Gawaiku berdering manandakan ada notifikasi. Segera kunyalakan benda berbentuk pipih itu, melihat ada informasi apa yang di kirimkan untukku. Mataku membulat sempurna melihat isinya. Sebuah e-mail dari penerbit yang menyampaikan pesan bahwa buku pertamaku akan segera lahir. Aku menjerit senang, membuat Robi terkejut. Untungnya restoran sedang tidak ada pengunjung.
“Kenapa?” tanya Robi yang terlihat cemas.
Aku segera menunjukan isi yang di kirimkan beberapa saat lalu. Robi juga menunjukkan raut bahagianya. Dia adalah orang satu-satunya yang tahu betul ceritaku. Tempatku berbagi keluh kesah. Tempatku bercerita tentang pagiku yang harus mengajar, lalu siang aku harus menjadi kasir di restoran yang sama dengan tempatnya bekerja, hingga malamnya aku harus segera menyelesaikan naskah novelku. Ia juga sangat tahu betapa rewelnya aku semenjak novel itu kukirimkan ke penerbit tiga bulan lalu. Tempatku bercerita kekhawatiranku jika novel itu di tolak.
“Kamu hebat, Lia.” Robi mengelus rambutku pelan.
Tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur kepada Tuhan. Aku tidak sabar pulang ke rumah untuk memberitahu ibu, bapak dan juga Ejen tentang hal ini. Cita-citaku benar-benar terwujud walapun tidak semulus jalan tol. Aku benar-benar menjadi guru dan sebentar lagi aku benar-benar menjadi penulis. Buku dengan titel “Sekuat Gapai Bintang” akan segera lahir=