Majalah Teknokra Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2021

Page 32

Cerpen

“Sekuat Gapai Bintang” Ilustrasi: Sri Ayu Indah Mawarni

Oleh: Sri Ayu Indah Mawarni

I

ni tentang masa depan Semuanya ada di genggaman Langkah kaki yang menentukan Tinggal kemana 'ku harus berjalan Tapi apa bisa aku berjalan sendirian? Sedangkan yang lain sibuk mentertawakan Aku hanya butuh dukungan Semoga tidak hanya angan

“Bu Lia, duluan ya,” ucap salah satu muridku. “Iya, hati-hati,” jawabku sambil tersenyum. Aku segera naik mobil taksi yang berhenti di depanku untuk segera pergi ke tempat kerjaku selanjutnya. Setetah mengajar, aku harus meng-handle restoran yang cukup ternama di kota ini, malamnya aku disibukkan dengan deadline tulisanku yang dikejar-kejar editor. Aku benar-benar sangat sibuk sekarang. Namaku Lalia. Dulu cita-citaku adalah menjadi seorang guru dan penulis. Cita-cita itu semuanya benar-benar tercapai. Akan kuceritakan bagaimana caraku mewujudkannya. Mengingat dulu, yang kulakukan setiap malam setelah lulus Sekolah Menengah Atas, yaitu melamun di depan jendela. Memandangi cakrawala yang saban malam menunjukan keelokannya. Purnama dengan angkuh menerangkan cahaya emasnya, membuat nyaliku makin terpuruk. Cahaya bintang di sekitarnya juga tak mau kalah. Mereka bertaburan menunjukan keindahannya. Namun, bintang berbeda dengan bulan. Dengan melihat bintang, nyaliku terasa mengangkasa bersama mereka di atas sana. Saat aku kecil, bapak pernah menunjuk bintang-bintang itu sambil mengelus rambut ikalku. “Mbak, coba kamu lihat ke langit,” ucap bapak yang sudah lebih dulu menengok ke atas. Aku kecil langsung menuruti instruksi bapak untuk melihat bintang-bintang yang terhampar di langit gelap. Mataku terus mencari bintang yang redup. Namun, sampai aku merasakan sedikit pegal di bagian tengkuk, aku masih tidak menemukan bintang itu. “Nggak ada, ya?” tanya bapak seolah dia sudah mengetahui apa yang akan aku katakan.

Aku mengangguk. “Bintang di atas sana semuanya berkilau, Mbak,” ucapnya sambil memainkan rambut ikalku. “Salah satunya itu ada kamu.” Aku terlahir di keluarga yang berlatar belakang sangat sederhana atau bisa dikatakan ekonomi rendah. Bapak dan ibuku harus banting tulang sana-sini hanya untuk memberi aku dan adikku makan setiap hari. Hal ini menjadi masalah besar bagiku. Aku sangat ingin menggapai bintangku. Tapi, rasanya sulit. Saat ini aku ingin melanjutkan belajar ke perguruaan tinggi. Saat temantemanku belajar di bimbingan belajar ternama yang menjamin kelulusan siswanya, aku hanya berdiam diri di kamar. Aku harus dipusingkan dengan masalah finansial yang kian rumit. Bapak dan ibuku saja tidak percaya akan mimpiku. Mereka beberapa kali menawariku untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Namun aku menolak keras. Aku sempat kesal. Aku bukan bermaksud untuk durhaka, tapi impianku untuk menaikkan derajat keluarga tak bisa ditunda lagi. Dukung aku, Bapak, Ibu. Jangan bilang aku tak mampu. Jangan hancurkan cita-citaku. Ini mimpi, tapi akan tetap kuraih. Aku hanya butuh doa, cinta, kasih, dan dukungan orang tua. “Tiap hari melamun saja, Mbak, coba cari kerja biar nggak menganggur,” ucap bapak yang kurasa jengkel melihatku setiap hari berdiam diri di rumah. “Lia masih mau kuliah, Pak,” jawabku. “Tinggal tunggu pengumuman.” “Toh kalau misal kamu lolos duitnya darimana, Lia,” ucap ibu masih sibuk melipat tumpukan baju milik tetangga yang menggunakan jasanya. “Lia lagi cari-cari beasiswa, Bu.” “Sudahlah, jangan bermimpi terlalu tinggi, jangan ikut-ikut teman kamu, mereka anak orang kaya, jangan disamakan dengan kita.” Kalimat tersebut terlontar dari mulut ibu. Hatiku serasa ditusuk ribuan jarum. Aku langsung berlari ke kamar. Menangis sejadi-jadinya. Bercerita kepada bintang di atas sana yang tak sabar ingin kupetik. Bintang, aku ingin menggapaimu. Terlalu tinggikah harapku? Aku berharap

semua orang tau. Bahwa aku ingin kuliah dan mengejar cita-cita. Hingga akhirnya kubanggakan orang tua. Aku sudah coba berbagai macam beasiswa. Namun, satupun tak ada yang lolos. Mulai dari beasiswa yang menggunakan prestasi hingga beasiswa miskin, tetap aku tidak diterima. Aku sangat sedih dan hampir menyerah. Meraih bintang yang pernah ditunjuk bapakku dulu itu, rasanya mustahil. Bintang itu terlalu tinggi bagiku. Saat tiba hari pengumuman SBMPTN, aku sangat merasa cemas. Ketakutan pertamaku jikalau teman-temanku lolos dan menyisakan aku yang tidak. Mereka pasti kasihan kepadaku dan berpikir penyebabku tidak lolos karena aku tak ikut bimbel dengan mereka. Perlu diketahui, walaupun aku tak seberapa, aku paling tidak suka dikasihani. Ketakutan keduaku jikalau aku lolos, uang dari mana aku untuk membayar Uang Kuliah Tunggal, indekos, dan biaya hidupku lainnya. Dengan langkah gontai aku pergi ke warung internet dekat rumahku. Kutekan tombol power pada bagian depan Central Processing Unit. Ketika layar sudah sepenuhnya menyala, mulai kutekan tuts menuju laman pengumuman SBMPTN. Aku memejamkan mata saat layar menunjukan hasilnya. Dan ternyata, ketakutan pertamaku hanyalah sebuah kekhawatiran belaka. Karena faktanya, ketakutan keduaku yang menjadi kenyataan. Aku senang bercampur sedih. Aku lolos seleksi SBMPTN. Aku segera mematikan komputer dan pergi ke kasir untuk membayar sewa komputer tadi. Aku berlari pulang, tak sabar ingin memberitahu orang tuaku. “Ejen!” aku memekik memanggil adikku yang sedang mengerjakan PR di depan rumah. Dari raut yang ditunjukkannya, kelihatan sekali dia terkejut dengan suaraku. “Bapak dan Ibu mana?” “Bapak belum pulang,” jawabnya cuek. Dia orangnya memang sangat tidak suka diganggu ketika sedang belajar. “Ibu di dapur,” lanjutnya. Aku langsung berlari menuju dapur. Kulihat ibu sedang memasak sayur sawi. Sayur kesukaanku. Aku berjalan mendekati ibu. Entah mengapa mataku tiba-tiba terasa memanas. Tetes demi tetes air dari

Edisi Khusus Mahasiswa Baru 2021

32


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.