Warta Kencana Edisi 10/III/2012

Page 1


d aftar isi d aftar isi

10 | Jurnal

Kendalikan Penduduk Jawa Barat, Sekarang!

10 | Lensa

Parade Foto

14 | Jurnal

50 Persen Perempuan Jabar Menikah Muda

16 | Jurnal

Ciamis Makin Pede Genjot KB Pria

17 | Jurnal

Pria Butuh Pilihan Kontrasepsi

18 | Jurnal

Jabar Ingin Warna Baru Program KKB

BERSAMA KRU MUPEN Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bersama Ketua TP PKK Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan berbaur bersama kru Mupen KB saat berlangsungnya Pekan Gebyar Pantura. Heryawan juga menyempatkan diri naik ke atas Mupen dan berpose bersama kru Mupen dari kabupaten dan kota di Jawa Barat.

19 | Jurnal

Koalisi Kependudukan Desak Sentralisasi KB

20 | Jurnal

MUI Perbolehkan Vasekstomi

4 | Laporan Utama

8 | Laporan Utama

22 | Jurnal

7 | Laporan Utama

9 | Jurnal

23 | Serba-serbi

Gebyar Pantura Membangun Desa Pantura Biar KB Makin Pageuh 2

Jurus Baru KIE Bernama Gerebeg Pasar Posyandu Harus Jadi Center of Exellence

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

Optimalkan Puskesmas, Kurangi KB Mobile Apa Itu Unmet Need?


d aftar isi

WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat diterbitkan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan dan keluarga berencana di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan bingkisan menarik dari redaksi. Penasehat Kepala BKKBN Jawa Barat Ir. Siti Fathonah, MPH. Dewan Redaksi Drs. H. Saprudin Hidayat Drs. Ramhat Mulkan, M.Si. Dra. Ida Indrawati Dra. Tetty Sabarniati Drs. H. Yudi Suryadi Drs. Rudy Budiman Drs. Soeroso Dasar, MBA Pemimpin Redaksi Drs. Rudy Budiman Wakil Pemimpin Redaksi Elma Tri Yulianti, S.Psi. Tim Redaksi Arif R. Zaidan, S.Sos. Bambang Dwi Nugroho, S.Ds. Chaerul Saleh Managing Editor Najip Hendra SP Fotografer Dodo Supriatna Humas BKKBN Jabar Tata Letak Litera Media Grafika Sirkulasi Ida Farida Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085 Fax : (022) 727 3805 Email: kencanajabar@gmail.com Percetakan Litera Media - 081320646821

e ditorial

Advokasi dan KIE sebagai Inti Program KKB

A

dvokasi dan KIE atau komu­ni­kasi, informasi, dan edukasi me­ru­pakan inti program ke­pen­dudukan dan keluarga berencana (KKB). Mengapa begitu penting? Me­nurut Kepala Perwakilan Badan Ke­pendudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat Siti Fathonah Fathonah, pada dasarnya BKKBN hanya mengajak, mengadvoksi, meng-KIE, mendidik masyarakat untuk menjadi peserta KB. Sementara bila su­dah pada tahap pelayanan, maka pelaksananya adalah institusi lain, bukan lagi BKKBN. Terkesan subjektif, boleh jadi ka­re­na Fathonah menyampaikan hal itu saat membuka pertemuan kon­solidasi Advokasi dan KIE yang diikuti perwakilan kabupaten dan kota be­berapa waktu lalu. Sayangnya, advokasi dan KIE terkesan kurang strategis di ting­kat kabupaten dan kota. Saat ini, advokasi dan KIE hanya menjadi seksi atau sub bidang di institusi program keluarga berencana (KB). Akibatnya, su­lit bagi tim advokasi dan KIE untuk ber­kreativitas lebih luas. “Advoksi dan KIE seharusnya menjadi bidang. Ini sama pentingnya dengan KB dan KS (Keluarga Sejahtera) yang memang pada jadi bidang. Kalau hanya jadi seksi, ya untung-untungan. Semua bergantung pada kebijakan kepala bi­dang atau OPD KB,” kata Fathonah kala itu. Fathonah punya pengalamannya ketika berkunjung ke sebuah tempat pelayanan KB beberapa waktu lalu. Saat itu ada seorang ibu datang untuk dipasang IUD. Alih-alih meminta pela­yanan, si ibu tersebut malah menangis tersedu-sedu. Setelah ditanya, ternyata dia ketakutan. Fathonah pun inisiatif untuk mengajak si ibu tadi ngobrol ke sana-ke mari. Tidak lama kemudian, proses pemasangan IUD pun selesai. “Lho, sudah selesai? Tanya si ibu tadi. Saya jawab sudah. Ini meng­gambarkan bahwa calon peserta KB tidak mendapatkan pemahaman dan gambaran program secara benar. Di ma­na PLKB atau Pos KB? Nah, para pe­­­kerja lini lapangan inilah yang ber­tugas memberikan KIE kepada ma­sya­rakat,” kata Fathonah. Hmm, boleh jadi sebagian besar ca­lon peserta KB tidak mengetahui alat kontrasepsi yang akan digunakannya. Bahkan, saat yang bersangkutan sudah berada di klinik pelayanan KB. Lagi-lagi, di situlah tugas BKKBN sebenarnya berada. Yakni, membangun kesadaran mengenai pentingnya pembatasan kelahiran sekaligus metode kontrasepsi apa yang tepat digunakan. Kini, saatnya insan BKKBN maupun institusi program KKB, terutama yang ber­kaitann dengan advokasi dan KIE, un­tuk melakukan instrospeksi. Sudah saatnya para pegiat advoksai dan KIE untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Kita harus mampu mengimbangi di­na­ mika. Ketika budaya masyarakat meng­alami pergeseran, maka tugas kita untuk menyesuaikannya. Kita harus menjadi orang-orang kreatif.(*) Rudy Budiman Pemimpin Redaksi

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

3


l aporan utama

Konvoi Mupen KB

Setelah sebelumnya sukses dengan Roadshow Pantai Selatan, tahun ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat menggelar kegiatan serupa di Pantai Utara Jawa (Pantura). Kegiatan yang dikemas dalam paket program Pekan Gebyar Pantura (PGP) 2012 ini dihelat selama lima hari berturut-turut di lima kabupaten di pesisir Pantura.

R

oadshow PGP dilepas secara resmi oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di halaman Gedung Sate, Jalan Diponegoro No 22 Bandung, pada Kamis (18/10) sore. Selanjutnya, tim roadshow Mobil Unit Penerangan (Mupen) melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, dan berakhir pada 23 Oktober 2012 mendatang di Kabupaten Cirebon. Selain itu, terdapat tim statis yang akan berkegiatan selama sepekan penuh di masing-masing kabupaten selama lima hari, 19-23 Oktober 2012. Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah menjelaskan, dalam lima hari tersebut berlangsung kegiatan rutin pelayanan program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) maupun kegiatan lain yang berkaitan dengan aspek kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Sebut saja misalnya pelatihan tata kecantikan

4

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

rambut, pendataan penderita katarak dan bibir sumbing, penyuluhan kesehatan reproduksi, penyuluhan antitraficking, dan penyuluhan pola hidup bersih dan sehat atau PHBS. “Kegiatan ini bukan milik BKKBN semata, melainkan sebuah integrasi program pembangunan Jawa Barat dengan cara melibatkan lintas sektor lainnya. Sedikitnya ada 14 instansi pemerintah di tingkat provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota. Pada dasarnya, setiap institusi akan berkegiatan sesuai program masing-masing. Keterpaduan ini bertujuan membangun sinergi pembangunan itu sendiri,� terang Fathonah. Lebih jauh Fathonah menjelaskan, pembangunan KKB memiliki kontribusi signifikan terhadap upaya peningkatan kualitas penduduk. Sehingga, besarnya penduduk menjadi modal utama pembangunan di Jawa Barat. Seiring dengan hal itu, perlu dilakukan upaya advokasi dan penyebarluasan


l aporan utama

GEBYAR PANTURA MEMBANGUN DESA PANTURA informasi kepada seluruh masyarakat. Fathonah berharap tumbuhnya kesadaran bisa berkembang menjadi gaya hidup keluarga kecil bahagia sejahtera. Disinggung mengenai penentuan desa sasaran Pekan Gebyar Pantura, Fathonah mengungkapkan bahwa hal itu ditetapkan berdasarkan hasil analisis kabupaten bersangkutan tentang kondisi-kondisi yang disesuaikan dengan fokus pembangunan di daerah tersebut. Salah satunya penekanannya pada desa yang memiliki akses rendah terhadap pembangunan. “Puncak kegiatan Pekan Gebyar Pantura ini dilaksanakan di Kabupaten Cirebon. Pada acara puncak ini akan dihadirkan rombongan tim Mupen beserta tim monitoring dari berbagai instansi terkait kegiatan ini untuk samasama menyaksikan laporan hasil PGP. Dalam acara puncak ini akan diselenggarakan kegiatan yang disebut “Grebeg Pasar”. Kegiatan Grebeg Pasar ini merupakan kegiatan yang didukung penuh oleh BKKBN Pusat,” terang mantan Kepala BKKBN Kalimantan Barat ini. Secara lebih khusus, Kepala Bidang Advokasi Penggerakkan dan Informasi BKKBN Jabar Rudy Budiman menjelaskan, Pekan Gebyar Pantura merupakan momentum mendekatkan layanan ber-KB dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), khusus IUD dan implant. Kegiatan ini juga didesain sebagai media pendekatan pembinaan kesertaan kelompok Tri Bina dan usaha peningkatan pendapaatan keluarga sejahtera (UPPKS). “Kami berkomitmen untuk terus mendorong tenaga

lini lapangan dalam melaksanakan layanan KB, keluarga sejahtera, dan data keluarga berbasis teknologi informasi. Pada saat bersamaan, kami juga melakukan serangkaian promosi dan edukasi program KKB berbasis budaya lokal,” papar Rudy. Dalam kerangka menjunjung kearifan lokal itu, imbuh Rudy, pihaknya akan mengajak pimpinan BKKBN dan Gubernur Heryawan berkunjung ke tempat kegiatan hiburan seni budaya tarling. Selain itu, di setiap kabupaten akan digelar pertunjukkan seni tradisional sesuai karakteristik dan kekhasan masing-masing.

Berakhir di Pasar Gebang

Rangkaian PGP berakhir dengan kemeriahan pada Selasa (23/10) pagi hingga siang di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon. Penutupan kegiatan yang berlangsung lima hari sejak Kamis (18/10) tersebut dihadiri tidak kurang dari 1.000 orang. Pada hari yang sama berlangsung Grebek Pasar berupa kunjungan ke pasar tradisional untuk kemudian mengajak pengunjung pasar turut menjadi peserta program keluarga berencana (KB). Tak kurang dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ikut blusukan bersama para ibu yang mendominasi pengunjung pasar. Inspektur Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Ketua DPRD Jabar, Bupati Cirebon, Ketua Tim Penggerak PKK Jabar, dan sejumlah tamu undangan juga ikut menguntit Gubernur berbelanja. Yang menarik, Gubernur Heryawan dan Ketua TP PKK

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

5


l aporan utama Jabar Netty Heryawan menyempatkan diri mengayuh becak di area pasar. Bahkan, duet Heryawan ini berkesempatan menunggangi buroq alias tunggangan raksasa berbentuk kuda terbang. Rombongan kesenian khas pantai utara Jawa (Pantura) ini mengular hingga beberapa puluh meter. Mengekspresikan kegembiraannya bisa berbaur dengan warga Cirebon saat naik buroq, Netty Heryawan sempat berkicau di Twitter. “Hehe, abis ngayuh becak, naik buroq deh :))” celoteh Nyonya Gubernur yang eksis di jejaring sosial tersebut. Gubernur Heryawan sendiri mengaku sangat menyambut baik inisiatif BKKBN dalam penyelenggaraan PGP dan Grebek Pasar. Apalagi, Heryawan mengaku punya program menyerupai grebek pasar yang digagas BKKBN tersebut. Bedanya, grebek pasar milik Gedung Sate tersbut berisi kunjungan ke pasar tradisional untuk memberikan pinjangan lunak kepada pedagang yang pada umumnya kesulitan mengakses modal perbankan. Dalam laporannya, Ketua Panitia PGP 2012 Saprudin

Kru Mupen KB Hidayat menjelaskan, kegiatan selama lima hari berlangsung di lima kabupaten di Pantura. Setelah dilepas Gubernur Heryawan pada Kamis (18/10) sore, tim mobile PGP bergerak menuju Desa Jayasakti, Kecamatan Muaragembong, Kabu­ paten Bekasi. Roadshow berlanjut menuju Desa Segaran di Kabupaten Karawang, Desa Blanakan di Kabupaten Subang, dan Desa Kandang Haur di Kabupaten Indramayu untuk kemudian finish di Desa Gebang Mekar di Kabupaten Cirebon. Selama lima hari tersebut, tim BKKBN dan OPD terkait di setiap kabupaten menggelar sejumlah kegiatan pelayanan dan edukasi masyarakat. Selama lima hari, BKKBN berhasil menjaring 615 peserta baru IUD dan 1.575 implant. Kegiatan lainnya berupa pelayanan peningkatan keterampilan kecantikan dari Dinas Pendidikan, perpustakaan mobile, pelayanan mobile akses internet gratis (mobile community acces point), padat karya berupa plesterisasi sepanjang 150 meter persegi. Selama PGP juga berlangsung peletakanbatu pertama pembangunan posyandu, sosialiasi pengembangan ekonomi produktif, pelayanan informasi pasar kerja, desiminasi perlindungan konsumen berupa sidang tera bagi penimbangan, pemeriksaan penyakit kusta, katarak, dan pilarasi. Tak hanya itu, selama PGP juga berlangsung pemberian

6

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

bantuan dari Pemerintah Provinsi Jabar dan BKKBN. Sebut saja misalnya pemberian obgyn bed, IUD Kit, Implant Kit, BKB Kit, KIE KIT KRR, dan media luar ruang promosi KKB dari BKKBN. Pemberian bantuan operasional Generasi Berencana masingmasing Rp 6 juta di setiap Kabupaten, bantuan operasional kelompok Paguyuban Pria, buku komik trafficking, bantuan keuangan penunjang operasi katarak, dan bantuan gedung dan alat kesehatan untuk empat Puskesmas Poned. Tidak kalah pentingnya pemberian bantuan Bidan Kit untuk 49 puskesmas, pemberian pakaian layak pakai dan sembako, pelampung ban untuk nelayan, dan pembudayaan polyculture udang windu, rumput laut, dan bandeng. PGP makin komplet dengan pementasan KIE Kreatif berbasis budaya lokal dan dialog interaktif antara gubernur dengan warga. “Dari kegiata PGP ini kami menyimpulkan beberapa hal. Yakni, diketahuinya permasalahan yang terjadi di tingkat desa sebagai ujung tombak program KKB. Sebagai tindak lanjut, kami mencoba memberikan wawasan, pengetahuan, kesadaran masyarakat dan petugas bahwa program KB bukan saja pelayanan kontrasepsi, melainkan menyangkut pembangunan keluarga berkualitas hingga pengendalian kependudukan,” ungkap Saprudin. Pria yang akrab disapa Pak Sap ini mengaku menemukan sebuah formula baru dalam pengelolaan program KKB. Yakni, dengan cara melibatkan sejumlah instansi terkait. Dengan begitu, program KKB bukan semata milik BKKBN, melainkan milik semua sektor. “PGP juga berhasil mengidentifikasi masalah dan hambatan dalam pemutakhiran data keluarga. PGP juga berhasil menginisiasi pembentukan kelompok kegiatan ketahanan keluarga di desa sasaran. Fakta lainnya, meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup berwawasan kependudukan, sehingga mampu meningkatkan kepedulian antarsesama dan lingkungan. Pak Gubenur juga merespons sangat baik dengan mengagendakan kegiatan pekan gebyar menjadi program unggulan tiap tahunnya,” papar Pak Sap bangga. Dia mencontohkan, salah satu kepedulian nyata yang muncul dalam pengelolaan program KKB muncul saat rombtransit rombdi Kabupaten Iongan transit di ndramayu. Dalam pertemuan berwama warga, tim pengelola program memaparkan data konkret kependudukan kepada pemangku kepentingan desa. Petugas menunjukkan jumlah keluarga tidak mampu, kondisi rumah warga yang mengkhawatirkan, dan lain-lain. Mengakhiri pemaparan tersebut, petugas KB menjelaskan konsep kebersamaan dalam pengelolaan program, termasuk gotong royong di kalangan warga. “Hasilnya luar biasa. Malam itu memberikan pengelaman luar biasa bagi kami, ternyata kepedulian di antara warga masih tinggi. Ketika disodorkan data kondisi masyarakatnya, sejumlah orang langsung merogoh kocek memberikan sumbangan. Beberapa di antaranya berjanji menyumbang dalam bentuk barang untuk membantu memperbaiki salah satu rumah warga yang kondisinya nyaris ambruk. Ini menunjukkan bahwa kepedulian masih tumbuh di masyarakat,” tandas Sap.(*)


l aporan utama

Biar KB Makin Pageuh J

angan lupa, coblos duren! Coblos nomor tiga! Pamflet kertas warna kecokelatan itu masih menempel di salah satu daun pintu rumah Patori, Kepala Desa Jayasakti, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi. “Saya baru dilantik menjadi kepala desa selama dua minggu. Saya terpilih pada 9 September 2012 lalu,” kata Patori saat berkenalan dengan tim media Pekan Gebyar Pantura (PGP) di rumahnya yang sederhana. Tempelan kertas itu merupakan salah satu sisa-sisa perjuangan Patori merebut kursi kepala desa. Pria bekrumis yang ceplas-ceplos ini secara jujur belum mengetahui secara detil data kependudukan, terlebih data kesertaan program keluarga berencana (KB) di daerah yang dipimpinnya itu. Wajar bila kemudian dia sangat bangga menjadi tuan rumah PGP di Kabupaten Bekasi. Dengan menjadi tuan rumah PGP, mantan sekretaris desa yang sempat dua kali gagal dalam pemilihan kepala desa ini berharap bisa belajar banyak mengenai program KB. Terutama untuk mengajak warga desa yang sebagian besar di antaranya masuk dalam kategori keluarga prasejahtera alias miskin. “KB di Desa Jayasakti ini sejak 1988 Alhamdulillah ada gerakan daripada istilahnya KB, baik itu implant, MOP, suntik, dan sejenisnya yang berkaitan dengan KB. Alhamdulillah Jayasakti pernah mendapatkan ranking baik. Pada 1988, ada gebrakan MOP. Saat itu 90 persen (pasangan) usia subur ikut KB,” ujarnya belepotan. Dia tampak beberapa kali melihat catatan yang ditulis menggunakan pulpen di tangan kirinya. Patori meyakini salah satu hambatan ber-KB bagi warganya terkait masalah ekonomi. Maklum, belum banyak di antara mereka yang mengetahui bahwa alat kontrasepsi bagi masyarakat miskin bisa diperoleh cuma-cuma. “Karena itu, dengan adanya pelayanan KB gratis selama acara ini diharapkan bisa meningkatkan jumlah peserta KB. Pada dasarnya kami siap menjalankan program pemerintah, baik pusat maupun daerah,” tandas Patori mantap. Kepala Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN Jawa Barat yang mendapat tugas menjadi pembina daerah (Binda) Kabupaten Bekasi Ida Indrawati mengamini ucapan Patori. Ida menjelaskan, selama PGP berlangsung pihaknya memang memberikan pelayanan KB gratis kepada masyarakat tidak mampu.

Ida sadar betul kondisi masyarakat binaannya. Dengan sebagian masyarakat bekerja sebagai petani, maka program KB belum dianggap sebagai prioritas. Ida mencatat, sampai saat ini baru ada dua bentuk kewirausahaan yang dikembangkan peserta KB melalui program peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS). “Memang di sini sebagian besar masyarakat masih prasejahtera. Karena itu, yang harus kita dorong adalah kesejahteraannya. Tujuannya agar mereka makin pageuh dalam program KB,” tandas Ida. Gambaran desa yang terbentuk sejak 1979 tersebut bisa diperoleh dengan mengikuti perjalanan panjang PGP dari Bandung. Berangkat dari Gedung Sate pada pukul 16.00, tim baru tiba di Jayasakti sekitar pukul 22.00. Panjangnya perjalanan tidak lepas dari buruknya kondisi jalan ke daerah yang dihuni 6.792 jiwa ini. “Kecamatan Muaragembong ini masuk dalam kategori tertinggal, terpencil, dan perbatasan atau Galciltas. Desa ini memang underdevelop. Jumlah pra-KS sekitas 80 persen dari jumlah penduduk. Nah, kegiatan bertujuan mendinamisasi mekanisme operasional progam KB di daerah galciltas,” papar Ida Indrawati. Ida berharap, mekanisme operasional yang diprakarsai BKKBN ini bisa terus berjalan. “Mudah-mudahan setelah kita pulang dari sini, mekanisme program KB sudah bisa kembali seperti zaman dulu. Itu tujuan kami,” harap mantan Kepala Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembagunan Keluarga ini menambahkan.(*)

Patori, Kepala Desa Jaya Sakti

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

7


l aporan utama

Gerebek Pasar

Jurus Baru KIE Bernama Gerebeg Pasar B

erbagai cara dan terobosan dilakukan untuk mengingatkan dan mendekatkan kembali program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) kepada masyarakat. Kali ini melalui jurus Gerebeg Pasar alias Gerakan Pemberdayaan Keluarga Pas Sasaran. Kegiatan ini pula yang dilaksanakan di Pasar Gebang Cirebon bertepatan dengan berakhirkan perhelatan PGP. Apa dan bagaimana sesungguhnya Gerebeg Pasar itu? Jurus anyar tersebut diurai lengkap melalui rubrik Sekapur Sirih pada website resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Di sana dijelaskan, Gerebeg Pasar merupakan salah satu kegiatan strategis KIE KKB melalui pasar tradisional. Jurus ini merupakan upaya baru untuk menyebarluaskan informasi ke semua segmen masyarakat. Harapannya, di mana pun masyarakat berada, apapun aktivitasnya, akses untuk mendapatkan informasi dan pelayanan KB semakin mudah didapatkan. Dengan semakin sering terpapar informasi tentang program KKB, pada gilirannya masyarakat akan semakin memahami

8

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

pentingnya program KKB sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam keluarga. Salah satu strategi untuk mengefektifkan kegiatan KIE dan pelayanan perlu dilakukan dalam satu waktu tetapi dapat menjangkau sasaran yang luas dan massal. Untuk itu, pemilihan lokasi sangat menentukan efektivitas pelaksanaan kegiatan KIE dan pelayanan KB. Pasar tradisional menjadi lokasi KIE program KKB karena beberapa argumentasi. Pertama, pasar tradisional merupakan tempat bertemunya aktivitas banyak orang seperti pedagang, pembeli, dan penyedia jasa lainnya untuk melakukan transaksi jual-beli dalam memenuhi kebutuhan. Kedua, pasar sebagai penggerak roda perekonomian dari kegiatan perdagangan. Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU, 2010) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI, 2006), jumlah pedagang di 13.450 pasar tradisional di Indonesia mencapai 12,6 juta orang. Pasar tradisional merupakan representasi dari pusat jual-beli masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai wadah utama penjualan produkproduk berskala ekonomi rakyat seperti petani, nelayan, pengrajin, dan home industry. Gerebeg Pasar diharapkan dapat mendekatkan kebutuhan akan informasi dan pelayanan KB kepada ma足 sya足rakat. Dengan begitu, berdampak pada peningkatan keikutsertaan ber-KB dan penurunan fertilitas serta pengendalian pertumbuhan penduduk.(*)


j urnal

Posyandu Harus Jadi Center of Exellence

L

omba Posyandu dan Ke­sa­tu­ an Gerak PKK-KB-Kese­ha­tan bukan semata-ma­ta mencari pemenang da­ri se­buah kompetisi. Ruh kegia­tan itu sendiri terletak pa­da peng­gerakan masyarakat. Lang­­kah ini merupakan salah satu ben­tuk revitalisasi Posyandu. Begitu kata Ketua Tim Peng­ gerak PKK Jawa Barat Net­­ty Pra­ setiyani Heryawan sa­at ber­­­bicara di hadapan ka­der Pos­yan­du di kan­tor Desa Cijeung­jing, Ke­ca­ma­ tan Cijeungjing, Ka­bu­paten Cia­ mis, bebe­rapa wak­tu lalu. Lomba dan kesatuan gerak ini juga untuk me­nunjukkan bah­­­wa organisasi Ny. Netty Heryawan perempuan tu­rut bersama-sama dalam pem­bangunan. Revitalisasi posyandu, papar Netty, bertujuan menjadikan pos pelayanan terpadu tersebut se­ba­gai center of exelllence atau pusat keunggulan. Dengan visi tersebut, maka posyandu dituntut untuk mampu mem­ be­rikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. “Harus ada tempat bertanya bagi masyarakat tentang masalah yang dihadapinya. Posyandu bukan semata-mata tempat pelayanan kesehatan balita dan keluarga berencana, melainkan pusat rujukan informasi keluarga. Untuk itu, kaderkader PKK dan Posyandu harus berusaha mengembangkan kapasitas diri,” papar Netty. Dia mencontohkan, bila sebelumnya masyarakat tidak mengenal penjualan manusia (human trafficking), kini ke­ jahatan tersebut sangat dekat dengan masyarakat. Dia lantas mencontohkan sejumlah kasus penculikan bayi dan anak yang banyak terjadi di masyarakat. Lucunya, dalam banyak kasus, banyak anak terjebak pada kejahatan trafficking karena alasan-alasan sepele. Bahkan yang terdengar konyol sekalipun. Sebut saja misalnya seorang anak menjadi korban trafficking hanya gara-gara ingin naik pesawat terbang atau ingin rebounding alias meluluskan rambut. “Kita harus mewaspadai modus-modus trafficking. Ada

kasus seorang ibu hamil dibujuk untuk mendapatkan pelayanan per­salinan gratis. Modusnya, si ibu diajak ke suatu tempat un­ tuk kemudian diberi obat agar terjadi kontraksi. Setelah lahir, si ibu disodori tagihan untuk mem­­­­bayar. Bila tidak, maka anak­nya akan ditahan sampai si ibu bisa membayar. Dalam kea­ daan lemah dan panik, si ibu meninggalkan anaknya. Dan, itulah terakhir kali dia melihat anaknya,” papar Netty. “Ada lagi, di Banjar seorang ba­yi baru lahir tengah disusui o­leh ibunya di rumah sakit. Tibatiba ada seorang berpakaian pe­rawat datang dan berkata bahwa bayinya akan disuntik Hb (Hemoglobin, red). Si bayi pun diambil dari pangkuan ibunya. Setelah beberapa waktu, anaknya tak kembali. Ternyata si bayi dibawa kabur,” Ketua P2TP2A Jawa Barat ini menambahkan. Untuk mendukung revitalisasi posyandu tersebut, Netty mengaku terus melakukan pembekalan kepada ribuan kader yang tersebar di Jawa Barat. Dari sekitar 200 ribu kader posyandu, pihaknya baru memberikan pelatihan kepada sekitar 11 ribu kader. Artinya, masih banyak kader yang memerlukan pengembangan kapasitas diri. Mahasiswa program doktor salah satu perguruan tinggi terkemuka di Jawa Barat ini mengaku sangat concern dalam pengembangan posyandu karena masa depan sebuah bangsa atau masyarakat sangat bergantung kepada pembinaan atau pendidikan sejak dini. Dengan predikat center of exellence, maka posyandu berupaya memastikan pengembangan potensi anak. “Potensi terbesar sebuah negara itu adalah SDM. SDM berkualitas (maupun sebaliknya) akan menentukan apa yang terjadi pada masa yang akan datang. Ingat, sumber daya alam itu ada habisnya. Di sinilah pentingnya posyandu untuk menyiapkan masa depan,” tegas Bunda PAUD Jabar ini.(NJP)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

9


l aporan utama

Diskusi Kependudukan

Kendalikan Penduduk Jawa Barat, Sekarang!

P

rofil kependudukan Jawa Barat menarik untuk dianalisis. Begitu kata pengamat kependudukan Saut PS Munthe saat menjadi salah satu narasumber dalam round table diccussion yang digelar sebuah stasiun televisi lokal di salah satu rumah makan di Bandung, November lalu. Diskusi yang mengadopsi format sebuah acara di stasiun televisi berita ini menghadirkan Kepala BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah, Kepala BPPKB Jawa Barat Sri Asmawati Kusumawadhani, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Hening Widiatmoko, guru besar ilmu politik Dede Mariana, perwakilan Dinas Kesehatan Jawa Barat, dan sejumlah pengamat kependudukan dan keluarga berencana (KKB) Jawa Barat. Diskusi diawali dengan santap malam dalam balutan nuansa Pasundan. Peduduk Jawa Barat, imbuh Saut, menarik dalam tiga hal. Pertama, laju pertumbuhan penduduk (LPP) yang tinggi. Dari angka LPP 1,89 persen pada Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu, 1 persen di antaranya merupakan angka migrasi. Artinya, pertambahan penduduk lebih banyak

10

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

dipicu masuknya pendatang. Kalau sudah begitu, maka pengendalian penduduk sudah semestinya memperhatikan aspek migrasi itu sendiri. Pengendalian tidak bisa sematamata mengandalkan pada penurunan fertilitas. “Sebagai bangsa Indonesia, Jawa Barat memang harus terbuka bagi semua suku bangsa maupun daerah. Semua warga negara berhak tinggal di seluruh wilayah NKRI. Untuk menyiasatinya, beberapa tahun ke depan perlu ada penduduk yang dipaksa ke luar dari Jawa Barat. Ini penting untuk menjaga keseimbangan,” kata Saut. Kedua, struktur penduduk Jawa Barat yang lebih banyak diisi penduduk usia produktif. Dengan jumlah itu, maka kebutuhan terhadap lapangan kerja menjadi tinggi. Sudah barang tentu kebutuhan konsumsi juga tinggi, lebih tinggi dari kelmpok usia lanjut maupun remaja. “Dari usia produktif tersebut, 15 juta di antaranya adalah perempuan. Nah, 11 juta lagi merupakan kelompok usia subur. Potensi peserta KB diperkirakan sekitar 9 juta orang,” kata Saut.


l aporan utama Ketiga, distribusi penduduk juga menerik untuk dikaji lebih lanjut. Sekitar 58 persen penduduk di Jawa Barat tinggal di perkotaan. Komposisi ini menjadi semacam kritik bagi pemerintah daerah untuk memberikan perhatian kepada daerah perdesaan. Pemerataan pembangunan diyakini Saut bakal mampu menekan gelombang kedatangan warga desa ke kota. Diskusi malam itu makin menghangat ketika Dede Mariana memotret kelembagaan kependudukan dan KB di daerah pascareformasi. Efektivitas program KB selama Orde Baru dibongkar seiring pergantian rezim. Pegawai BKKBN menyebar, terutama petugas lapangan (PLKB). Reformasi menyisakan pekerjaan bagi pengelola program KB. KB dianggap urusan masa lalu. “Di tingkat pusat, KB masih menjadi rebutan antara Kementerian Dalam Negeri dan BKKBN. Di daerah, KB tidak dipahami oleh kepala daerah. Alasannya sederhana, mereka tidak tahu program KB. Di partai politik tak ada yang membicarakan KB, melainkan perebutan kekuasaan. Padahal, penduduk yang besar harus dikelola dengan baik. Potensi besar ini hanya akan berubah menjadi beban manakala tidak dikelola dengan baik,” sesal Dede Mariana. Kondisi ini diperparah dengan beberapa kebijakan yang sebenarnya kontraproduktif dengan program KB. Dia pun mengusulkan agar ke depan ada pembatasan jaminan dari pemerintah kepada anak pegawai negeri sipil. Ke depan, sambung dia, pemerintah seharusnya hanya menanggung satu anak. Sementara itu, saat ini negara menanggung dua anak pegawai negeri. “Kita beruntung Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki perhatian besar pada program KKB. Salah satunya dengan penambahan tenaga lapangan melalui dana APBD. Sayangnya, keberpihakan ini tidak diikuti semua kabupaten dan kota. Ke depan, private sector juga harus turut bertanggung jawab terhadap program KB,” tandas staf ahli Gubenur Jawa Barat ini. Di tempat yang sama, Hening Widiatmoko mengeluhkan derasnya arus migrasi masuk ke Jawa Barat. Pertumbuhan angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan kerja juga tidak berjalan seimbang. Setiap tahunnya terdapat sekitar sekitar 200 ribu masuk ke pasar kerja. “Migrasi paling mengerikan itu ada di Jawa Barat. Kita memang sulit mengendalikan migrasi ini. Kesulitann yang sama untuk membedakan penduduk asli dan pendatang. Di sisi lain, Jawa Barat menjadi menyumbang utama tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sekitar 60 persen TKI berasal dari Jawa Barat,” keluh Widiatmoko. Menanggapi hal itu, Siti Fathonah mengaku terus mengupayakan berbagai cara untuk menggerakkan masyarakat agar mereka menyadari pentingnya program KB. Pelayanan statis maupun mobile terus digalakkan. Ironisnya, masyarakat baru pada tahapan pemahaman itu. “Ketika ditanya, apakah tahu KB? Jawabannya tahu. Namun ketika ditanya apakah ikut KB? Jumlahnya hanya sekitar 65 persen. Di sinilah perlunya campur tangan semua kalangan, termasuk media, untuk menyukseskan program KB,” kata Fathonah.

Sementara itu, Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Barat Ferry Hadiyanto menegaskan, hal paling fundamental yang perlu dilakukan adalah manajemen pengendalilan penduduk. Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus mampu mengendalikan migrasi masuk. Pada saat yang sama, Jawa Barat harus memaksa agar pendatang melakukan migrasi balik ke daerah asal. Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan pemindahan ibu kota provinsi. Bila ide ini terlalu ekstrem, maka cara yang bisa tempuh adalah memindahkan beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tingkat provinsi ke kabupaten dan kota. Pemindahan kantor SKPD diharapkan mampu mengurai konsentrasi kegiatan penduduk di Kota Bandung. “Prinsip migrasi berbasis NKRI menjadi berbahaya bagi Jawa Barat. Dengan dalih memiliki hak yang sama di seluruh wilayah NKRI, pendatang bisa leluasa masuk ke Jawa Barat. Padahal, daya dukung yang dibutuhkan terus berkurang dari waktu ke waktu. Dengan pertimbangan tersebut, perlu adanya pengkajian untuk melakukan uji materi UU Kependudukan, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” tandas Ferry.(*)

Potret Migrasi

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

11


l ensa

Gerebek Pasar

1

Sinergi BKKBN-BPMPD

Talkshow Radio

Sinergi Program KKB Talkshow Radio

KIE Kreatif

Balon KKB 2012

12

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

Pelatihan Kader


l ensa

Genre Goes to School

Duta KKB 2012

Gebyar Pantura

Kunjungan PPKS

Gebyar Pantura

Gebyar Pantura

Car Free Day

Kabaret Triad KRR

Talkshow TV

Kunjungan DPR RI

Lomba Poster KKB

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

13


j urnal

Pelayanan KB

50 Persen Perempuan Jabar Menikah Muda

M

eski tergolong salah satu provinsi maju di Indonesia, rupanya angka pernikahan dini di Jawa Barat masih tinggi. Bahkan, median kawin pertama keluarga di Jawa Barat masih berkutat pada angka 19 tahun. Artinya, lebih dari 50 persen perempuan menikah pada usia di bawah 19 tahun. “Angkanya saya tidak tahu persis. Tapi, dari angka median kawin pertama sudah bisa diperkirakan,” ujar Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jabar Siti Fathonah saat ditemui usai menghadiri peringatan Hari Anak Nasional tingkat Jawa Barat di Sabuga, Bandung, beberapa waktu lalu. Mengapa mereka menikah muda? Menurut Fathonah, keputusan menikah muda sebenarnya bukan keputusan seorang anak, melainkan keputusan orang tua. Merujuk pada data BKKBN, sebagian besar pemicu pernikahan dini adalah faktor ekonomi. Banyak di antara orang tua memilih menikahkan anaknya dengan tujuan mengurangi beban ekonomi keluarga. Dia mencontohkan, ketika sebuah keluarga miskin akan menyekolahkan anaknya, maka harus ada beban keluarga yang dilepas. Akhirnya, kakak si anak yang akan masuk sekolah tadi harus menikah. “Karena itu, saya sangat setuju dengan gagasan Pak Gubernur (Jawa Barat) untuk menggulirkan pendidikan universal 12 tahun. Dengan sekolah hingga SMA, maka setidaknya seorang anak tidak akan menikah. Kalaupun satu tahun setelah lulus SMA menikah, tentu usianya tidak terlalu muda,” kata Fathonah.

14

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

Sejalan dengan upaya pendewasaan usia perkawinan (PUP), terang Fathonah, pihaknya aktif melakukan pembinaan melalui sejumlah program. Salah satunya dengan program Pusat Informasi dan Konseling (PIK) bagi remaja maupun mahasiswa. Dengan tersedianya informasi dan saluran untuk berkonsultasi, Fathonah optimistis akan muncul kegiatankegiatan positif yang bisa diikuti remaja. “Memang harus ada tindakan preventifnya. Itulah yang dilakukan BKKBN. Tugas ini tentu tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan perlu digerakkan semua sekotr agar remaja bisa berkegiatan positif, tidak langsung menikah,” tegas perempuan yang sebelumnya banyak bergelut dengan masalah-masalah remaja saat masih berkantor di BKKBN pusat tersebut. Mengacu kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Program KB dan Keluarga Sejahtera, pada 2014 mendatang ditargetkan pasangan usia subur (PUS) yang istrinya di bawah usia 20 tahun sebesar 3,5 persen. Dari seluruh PUS yang ada, indikator kedua menargetkan 65 persen di antaranya menjadi peserta KB aktif. Sementara PUS yang tidak terlayani (unmet need) ditargetkan hanya tersisa lima persen. “PUS yang istrinya di bawah usia 20 tahun adalah suatu keadaan pasangan suami istri yang istrinya masih di bawah usia 20 tahun yang dapat menyebabkan risiko tinggi bagi seorang ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan. Berdasarkan pertimbangan fisik dan mental, usia terbaik melahirkan adalah antara 20 – 35 tahun, sehingga sangat dianjurkan bagi setiap wanita dapat menikah di atas 20 tahun,” kata Fathonah(NJP)


j urnal

P

ekan Gebyar Pantura (PGP) 2012 tak hanya berhasil mem­ ba­ngun sinergi dengan instansi pe­merintah. Hajat tahunan Badan Ke­ pen­dudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat ini juga sukses membangun kemitraan dengan pihak swasta. Salah satunya jaringan waralaba Apotek K-24. Apotek 24 jam nonstop ini turut hadir menyapa masyarakat Karawang di kompleks percandian Batujaya, tem­ pat berlangsungnya penyambutan tim mobile PGP dan pelayanan kontra­sepsi. Selain berpartisipasi dalam peng­on­ batan gratis bagi masyarakat, K-24 juga mengajak warga di sekitar Batujaya me­ lakukan senam massal. Sambutan ter­ hadap jaringan apotek ini pun meriah. Ditemui di sela kemeriahan PGP Karawang, Business Development Manager Apotek K-24 Marcus Lauren­ tius mengaku bangga bisa turut am­bil bagian dalam kegiatan yang ber­lang­ sung selama lima hari di lima kabupaten ter­sebut. Menurut Marcus, partisipasi K-24 dalam kegiatan PGP merupakan bagian dari kerjasama BKKBN dengan PT K-24 Indonesia, pemilik jaringan waralaba Apotek K-24. “Kami ikut mendukung (kegiatan PGP) karena kami care dengan perogram KB. Selain ikut serta di sini, K-24 aktif menyosialisasikan program KB kepada masyarakat di Jawa Barat maupun Indonesia. Setiap gerai Apotek K-24 rata-rata dikunjungi 200-300 pasien setiap harinya. Dengan jumlah 68 di Jabar dan 302 di Indonesia, maka jumlah masyarakat yang akan mendapat informasi program KB melalui Apotek K-24 pun menjadi sa­ ngat signifikan,” papar Marcus. Tak hanya itu, pihaknya juga tengah mempersiapkan pelayanan KB di setiap gerai Apotek K-24. Pelayanan itu dimungkinkan karena 70 persen gerai K-24 sudah dilengkapi dengan tenaga dokter dan apoteker. Dengan kerjasama tersebut, dokter-dokter K-24 akan dilatih secara khusus untuk bisa memberikan pelayanan kontrasepsi. “Ya, kami memfasilitasi dokter di masing-masing gerai untuk men­ dapatkan pelatihan pemasangan IUD dan implant. Dengan begitu, masyarakat bisa mendatangi klinik KB Apotek

Gerai Apotek K-24

Kini, Apotek K-24 Dilengkapi Klinik KB K-24 untuk mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi. Sebenarnya, selama ini kami juga sudah menyediakan kontrasepsi berupa kondom,” Marcus menambahkan. Pada tahap awal, Apotek K-24 yang su­dah memiliki cabang di seluruh pro­vinsi di Indonesia ini sedang mem­bangun klinik KB di Cipanas, Cianjur. Klinik tersebut merupakan pengembangan gerai K-24 yang sebelumnya sudah berdiri di sana. Pilot project akan terus dikembangkan di setiap gerai. Lebih jauh Marcus menjelaskan, saat ini jaringan Apotek K-24 sudah hadir hingga ke pulau terluar Indonesia. Kehadiran jaringan apotek ini merupakan jawaban atas kesulitan masyarakat dalam mendapatkan obatobatan, terlebih pada malam hari ketika apotek reguler sudah tutup dan harga obat biasanya lebih mahal. “Kami sudah memiliki gerai di Pulau Rote maupun Maumere. Seluruh apotek K-24 juga buka setiap hari selama 24 jam. K-24 itu berarti K-nya komplet, buka 24 jam. Dulu, ketika nyari obat malam hari itu harganya lebih mahal dibanding siang hari. Nah, di K-24 ini harga obat sama baik siang maupun malam,” ujar Marcus promosi.

Sebelumnya, pada akhir Juli 2012 lalu, BKKBN menandatangani kerjasama dengan Apotek K-24 untuk menyelenggarakan layanan KB Mandiri. KB mandiri merupakan KB yang diakses masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah. Masyarakat bebas memilih alat kontrasepsi sesuai kebutuhan dan seleranya. Kebanyakan penggunanya adalah masyarakat yang sudah berkecukupan dan memiliki kesadaran tinggi pentingnya pengendalian jumlah penduduk. “Tren perekonomian negara kita semakin membaik. Kelompok menengah ke atas yang jumlahnya makin meningkat perlu dijawab kebutuhan ber-KB-nya melalui KB mandiri yang alat kontrasepsinya disediakan oleh Apotek K-24,” kata Kepala BKKBN Sugiri Syarief kala itu. Kerjasama ini dilakukan karena apotek K-24 telah memiliki banyak cabang di Indonesia. Teknisnya, BKKBN dan apotek K-24 akan membuat sistem pelaporan. Apabila ada suatu alat kontrasepsi yang tidak tersedia namun banyak diminati masyarakat, maka BKKBN akan mengingatkan. Namun BKKBN tidak membagikan alat kontrasepsi gratis ke pelanggan Apotek K-24.(NJP)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

15


j urnal

Ciamis Makin Pede Genjot KB Pria

B

ila sebelumnya mengajak kaum pria Ciamis meng­ gunakan alat kontrasepsi sangat sangat sulit, kini tidak lagi. Sejak dua tahun terakhir, tren penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pria atau KB Pria mengalami peningkatan. Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pem­ ber­dayaan Masyarakat (BKBPM) Kabupaten Ciamis Dondon Rudiana pun optimistis KB pria makin diminati. “Kalau dulu kita cari dua orang akseptor KB pria sa­ngat sulit. Bisa tidak berhasil. Alhamdulillah sekarang menun­ juk­kan peningkatan. Tahun lalu, dari target 75 orang pe­ser­ ta vasektomi atau MOP (metode operasi pria), kita berhasil mengajak 95 orang,” kata Dondon saat ditemui di sela kunjungan penilaian Lomba Posyandu dan Kesatuan Gerak PKK-KB-Kesehatan di Ciamis, beberapa waktu lalu. Menurut mantan PLKB ini, peningkatan peserta KB pria tidak lepas dari peran sejumlah mitra. Berkat dukungan ulama maupun tokoh agama lain, resistensi masyarakat terhadap program KB pun perlahan surut. Bahkan, BKBPM kini getol memberikan pelayanan di sejumlah tempat ibadah atau kegiatan-kegiatan keagamaan. “Hari minggu kita mengadakan pelayanan setelah acara kebaktian di gereja. Begitu juga pada saat digelarnya acara-acara agama Konghucu. Terus terang kami mendapat perhatian besar dari komunitas Konghucu. Kami kami juga bekerja sama dengan pemuda Kristen. Secara umum, kami mendapat bantuan Fapsedu, mitra program KB dari kalangan pemuka agama,” papar Dondon bangga. Dondon kian sumringah setelah menyimak hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu. Dengan total fertility rate (TFR) 2,04 dan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 0,04, praktis pihaknya tinggal menjaga angka yang ada. Terlebih kesertaan ber-KB secara umum mencapai lebih dari 80 persen. “Dalam tanda kutip, OPD KB di Kabupaten Ciamis sudah tidak perlu lagi karena masyarakat sudah sadar tentang pentingnya program KB. Saat ini sudah berada pada tahap pelembagaan program,” ujarnya bangga. Ditemui di tempat yang sama, Kepala Desa Cijeungjing Adang mengaku bangga karena program KB di daerah yang dipimpinnya sudah berjalan dengan baik. Pria yang menjadi kepala desa selama 13 tahun ini mengklaim kesadaran bahwa banyak anak tetapi tidak terurus lebih mendatangkan mudharat ketimbang manfaat sudah berkembang di masyarakat.

16

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

Bupati Engkon Komara

Program KKB Sangat Strategis

Penduduk dunia terus bertambah, sementara ketersediaan sumber daya alam sangat terbatas. Di sinilah pentingnya program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) berperan untuk mengendalikan jumlah penduduk. Bupati Ciamis Engkon Komara dalam kesempatan yang sama. “Menurut perhitungan para ahli, 50 tahun lagi penduduk dunia akan mencapai angka 9-10 miliar jiwa. Saat ini, jumlah penduduk dunia sekitar 6 miliar. Pertambahan penduduk yang demikian tinggi tersebut membutuhkan ketersediaan pangan maupun kebutuhan lainnya. Padahal, lahan makin tergerus erosi, pohon ditebangi hingga lahan menjadi gundul, sawah berubah jadi mal, dan lain-lain,” ujar Engkon. Yang membuat putra Panjalu ini sedih karena banyak orang tidak menyadari kondisi hal itu. Banyak orang tidak sadar bahwa pertambahan penduduk berbanding terbalik dengan ketersediaan pangan maupun sumber daya alam lainnya. “Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk harus dikendalikan. Bila ledakan penduduk tidak dikendalikan, maka akan muncul sejumlah ancaman berupa kerawanan pangan dan lain-lain. Di sinilah pentingnya program KKB untuk mengendalikan penduduk. Program KKB sangat strategis bagi pembangunan,” tegas pensiunan perwira menengah TNI AD ini.(NJP)


j urnal

Pelayanan KB Pria

Pria Butuh Pilihan

Kontrasepsi S

elama ini hanya tersedia dua jenis alat kontrasepsi bagi pria. Yakni, kondom dan vasektomi atau metode operasi pria (MOP). Padahal, pria membutuhkan lebih banyak pilihan kontrasepsi. Keterbatasan pilihan inilah salah satu pemicu terus munculnya polemik di sekitar keluarga berencana (KB) pria. Demikian kata Ketua Umum Koalisi Kependudukan Dr Sonny HB Harmadi saat ditemui usai menjadi pembicara dalam Seminar Eksekutif Peningkatan Kesertaan KB Pria untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Program KB Bagi Tokoh Agama yang berlangsung di Surabaya, akhir September 2012. Seminar ini diikuti para ketua MUI tingkat provinsi se-Indonesia. “Perdebatan tentang KB sudah selesai. Sebetulnya tidak ada masalah dengan ulama, tidak ada penentangan terhadap KB. Tidak pernah ada penentangan terbuka dari para ulama,” kata Sonny. Masalah yang kemudian muncul, imbuh dia, adalah kurangnya regenerasi ulama. Ulama-ulama yang berperan dalam program KB adalah ulama-uala sepuh, yang sebelumnya ikut dalam program KB. “Kita perlu regenerasi ulama yang lebih muda agar memahami program KB dan mau mendukung program KB. Tugas ulama kan bukan hanya menularkan kepada masyarakat, tetapi juga kepada ulama,” Sonny menambahkan.

Masalah yang kemudian muncul, tandas Sonny, karena alat kontrasepsi tidak ada inovasi. Dari dulu, pria hanya memiliki dua pilihan: kondom atau vasektomi. Padahal, sejumlah wilayah di tanah air memiliki kearifan-kearifan lokal dalam mengatur kelahiran. “Tugas pemerintah mengembagkan riset mengem­bang­ kan alat dan kontrasepsi. Laki-laki tak ada pilihan. Ini yang men­jadikan program KB Pria lemah. Kalau gak suka dua-dua­ nya gimana? Kalau diibaratkan pilkada, mereka bisa saja gol­ put,” kata Sonny lagi. Di tempat yang sama, Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat Dr KH Cholil Nafis menilai rendahnya ke­terlibatan pria dalam ber-KB karena memang tidak ada pilihan bagi pria untuk menggunakan alat kontrasepsi. Di sisi lain, alat kontrasepsi juga masih kerap diidentikkan dengan kaum perempuan. “Kok pria keterlibatan sedikit? Wong laki-laki disuruh pakai kondom terus, vasektomi kan masih menjadi pembahasan di sebagian masyarakat tertentu. Ini memang menjadi pe­ker­ jaan rumah bagi kita. Coba bikin yang lain, yang kalo pakai kon­trasepsi itu lebih enak dan lebih kuat. Pasti lebih banyak yang pakai, daripada beli viagra? Di sinilah perlunya inovasi alat kontrasepsi bagi pria,” kata Cholil. Cholil juga meminta agar konsep KB jangan disalahartikan. Alat kontrasepsi hanya merupakan alat menjarangkan kela­hi­ ran, bukan KB itu sendiri. Karena itu, dia menyesalkan adanya ang­ga­pan KB sebagai alat kontrasepsi semata. “Coba KB dikembalikan ke dalam UU 52, KB berkaitan de­ ngan kesejahteraan, ketahanan, kesehatan reproduksi, dan lain-lain. Nah, kesehatan reproduksi ini kan jangan zinah. Ini sesuai dengan hukum agama. Kalau belum dimiliki jangan dipakai dulu, kalau masih muda jangan dipakai dulu. Itulah kesehatan reproduksi,” tandas Cholil.(NJP)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

17


j urnal

Sri Asmawati Kusumawardhani

Jabar Ingin Warna Baru Program KKB

P

emerintah Provinsi Jawa Barat berharap Workshop Peningkatan Peran Puskesmas dan Bidan di Desa dalam Pelayanan KB yang digelar di Bandung mampu melahirkan warna baru program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Keinginan itu disampaikan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Kepala BPPKB Sri Asmawati Kusumawardhani. “Puskesmas sebagai tenaga dan instalasi kesehatan sampai saat ini belum mampu menjawab tuntutan indeks pembangunan manusia (IPM) karena angka pembagi berupa jumlah penduduk sangat besar. Workshop ini diharapkan dapat melahirkan warna baru, khususnya dalam peningkatan koordinasi pengendalian kependudukan dan program KB,” kata Gubernur. Untuk menggenjot pencapaian IPM, imbuh Gubernur, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan dua kebijakan pem­bangunan KKB. Pertama, revitalisasi program KB. Ke­ dua, penyerasian kebijakan kependudukan. Revitalisasi KB dilakukan melalui pengembangan dan sosialisasi ke­bi­ jakan pengendalian kependudukan, pembinaan dan ke­ mandiran KB, peningkatan promosi dan penggerakkan, peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, dan pelembagaan pola hidup sehat. “Adapun kebijakan penyerasian kebijakan kependudukan dilakukan dengan penyusunan peraturan perundangan pengendalian penduduk. Cara lainnya berupa perumusan kebijakan kependudukan yang bersinergi antara aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas. Upaya lainnya berupa

18

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati semua sektor terkait,” paparnya. Lebih jauh Gubernur mengungkapkan, 12 juta pasangan usia subur (PUS) di Jabar menuntut jangkauan sentuhan pelayanan secara optimal. Upaya tersebut menjadi tidak mudah manakala tidak diiringi dengan terobosan program. “Meramu program pembangunan, khususnya me­ngen­ dalikan jumlah penduduk, bukan hal mudah. Ke­bi­jakan dan stra­tegi yang telah diterapkan selama ini ternyata masih menuntut kerja keras untuk dapat menjawab peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan peningkatan IPM serta mengendalikan pertumbuhan penduduk di Jabar tumbuh agar seimbang,” tandas Gubernur. Sementara itu, Direktur Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah BKKBN Wicaksono menjelaskan workshop diikuti 240 orang. Peserta berasal dari perwakilan seluruh perwakilan provinsi di Indonesia maupun sejumlah institusi yang terkait dengan pelayanan program KB. Hadir pula sejumlah pejabat terkait di lingkungan BKKBN. “Peserta perwakilan provinsi sebanyak 170 orang terdiri atas Kabid KB perwakilan BKKBN provinsi, Kabid KB SKPDKB ka­bupaten dan kota terpilih, Kabid Pelayanan Pesehatan/Ke­ sehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan kabupaten dan kota terpilih, kepala puskesmas terpilih, dan pengurus cabang Ikatan Bidan Indonesia (IBI) kabupaten dan kota. Instansi lainnya antara lain Kementerian Kesehatan, TNI, dan Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri,” terang Wicaksono.(NJP)


j urnal

Koalisi Kependudukan Desak

Sentralisasi KB K

etua Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (Koalisi Kependudukan) Sonny Harry Budiutomo Harmadi mendesak pemerintah mengem­ balikan kebijakan keluarga berencana (KB) nasional menjadi urusan pemerintah pusat. Desakan didasari atas pertimbangan bahwa selama otonomi daerah program KB mengalami stagnasi alias jalan di tempat. “Kebijakan dan institusi KB mau nggak mau harus sen­ tralistis. Saya yakin tidak akan mengalami penolakan dari pe­ me­rintah daerah,” kata Sonny usai membawakan makalah bertajuk Penduduk dan Ketahanan Nasional: Ancaman Ledakan Penduduk? dalam Seminar Eksekutif Peningkatan Kesertaan KB Pria untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Program KB Bagi Tokoh Agama di Surabaya, akhir September 2012 lalu. Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) ini mengaku sudah mengirimkan usulan secara resmi kepada pemerintah. Yakni, usulan revisi mengenai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur kewenangan pusat dan daerah. Cuma saja karena proses amandemen UU memerlukan waktu lama, Sonny meminta semua pihak turut memberikan tekanan. Sonny mencontohkan, membersihkan sampah di ha­la­ man rumah merupakan kewajiban pemilik rumah yang ber­ sangkutan. Artinya, manfaatnya memang dirasakan pemilik rumah itu sendiri. Bila kemudian ada kebgijakan RT atau RW untuk membersihkan rumah warga, maka warga tidak akan menolaknya. Demikian juga dengan program KB yang bermanfaat bagi pemerintah daerah tetapi banyak daerah tak memiliki itikad baik untuk menyukseskan program tersebut. “Program KB itu tidak menghasilkan uang, malah meng­ habiskan uang. Karena itu, tidak menarik bagi kepala daerah. Tidak ada calon kepala daerah yang memasukkan program KB dalam materi kampanyenya,” tandas Sonny. Lebih jauh Sonny menguraikan, kebijakan pengendalian pen­duduk melalui program KB praotonomi daerah dan pas­ caotonomi daerah sangat berbeda. Sebelum otonomi daerah, program KB dilakukan secara nasional, berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan menjadi salah satu indikator kinerja pembangunan di setiap daerah. Wajar bila kemudian berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan manfaatnya dapat dirasakan pada awal tahun 2000. Indonesia berhasil mencegah 80 juta kelahiran bayi. Program KB juga berhasil mengubah pola pikir

masyarakat bahwa jumlah anak lebih sedikit berarti lebih baik. Setelah otonomi daerah bergulir, terjadi penyerahan program KB dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten dan kota. KB pun tidak lagi menjadi program prioritas di kabupaten dan kota. Akibatnya, implementasi program KB menjadi lemah. “Kelemahan itu ditandasi dengan tidak memadainya

Sonny HB Darmadi

alokasi anggaran dalam APBD untuk mendukung program. Kemudian, tidak jelasnya institusi atau kelembagaan yang menangani KB. Kondisi ini diperburuk dengan alokasi sumber daya manusia untuk program KB di daerah menurun drastis. Akibatnya, kinerja program KB yang cenderung stagnan dalam sepuluh tahun terakhir,” ungkap Sonny. Sonny kembali mengingatkan bahaya ledakan penduduk bagi kehidupan manusia. Beberapa di antaranya adalah: (1) Menurunkan daya tampung dan daya dukung lingkungan; (2) Meningkatnya kebutuhan hidup secara cepat; (3) Menciptakan instabilitas keamanan karena terjadi population pressure; (4) Sulitnya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; (5) Berkurangnya kemampuan tabungan nasional; dan (6) Meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Untuk menanggulanginya, Sonny mengusulkan beberapa hal. Selain sentralisasi, dia menuntut adanya perubahan stra­ tegi kampanye dan sosialisasi KB. KB juga tidak semata-mata diasosiasikan dengan keluarga berencana. Kebijakan KB juga perlu melihat kondisi geografis antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia.(NJP)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

19


j urnal

Sekjen MUI HM Ikhwan Sam

MUI Perbolehkan

Vasekstomi

Sejumlah ulama anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan sikap lebih lunak mengenai metode operasi pria (MOP) atau vasektomi. Hal ini mengemuka dalam Seminar Eksekutif Peningkatan Kesertaan KB Pria untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Program KB Bagi Tokoh Agama yang berlangsung di Surabaya akhir September 2012 lalu. Seminar ini diikuti para ketua MUI tingkat provinsi se-Indonesia.

S

ekretaris Jenderal MUI Pusat HM Ikhwan Sam mengungkapkan, si­kap ulama berpijak pada ha­ sil fatwa MUI yang dikeluarkan di Cipa­sung, Ta­sikmalaya, pada 11 juni

20

2012 lalu. Si­dang yang diikuti para ahli fatwa MUI tersebut menyebutkan bah­­wa va­sektomi dibolehkan dengan sya­­rat untuk tujuan yang tidak me­ nyalahi syari’at, tidak menimbulkan ke­

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

mandulan permanen, ada jaminan da­ pat dilakukan rekanalisasi yang dapat mengembalikan fungsi reproduksi se­ perti semula, dan tidak menimbulkan ba­haya (mudharat) bagi yang ber­sang­ kutan. “Saya kira menjadi aib kalau masih ada ulama yang melihat masalah ke­ pen­dudukan itu bukan masalah, dunia masih luas, dan lain-lain. Apalagi ada yang mengatakan, ‘Emang gue pikirin, KKB sudah ada yang menangani.’ Saya yakin tidak ada yang mengatakan itu,” kata Ikhwan di hadapan para ketua MUI provinsi. Ikhwan Sam menjelaskan, sikap MUI terhadap vasektomi berkembang dari waktu ke waktu. Penegasan MUI di­tuangkan kali pertama pada sidang fatwa di Jakarta pada 1979 lalu. Fatwa menghasilkan tiga keputusan; (1) Pe­ man­­dulan dilarang oleh agama. (2) Va­­sektomi dan tubektomi adalah sa­ lah satu usaha pemandulan. (3) Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi atau tubektomi dapat disambung kembali.


j urnal Sikap MUI berkembang. Sidang fatwa yang dilaksanakan di Padang­pan­jang, Sumatera Barat, pada 26 Januari 2009 menghasilkan dua kepu­tusan. Pertama, rekanalisasi atau penyam­bungan kembali saluran sperma yang telah dipotong tidak menjamin pu­lihnya tingkat kesuburan kembali. Kedua, vasektomi tergolong kategori pemandulan yang diharamkan. Pandangan MUI tentang vasektomi mengalami per­ kem­bangan signifikan dalam sidang fatwa yang digelar di Cipasung tahun ini. “Pada da­sarnya masih dilarang te­ta­pi membolehkan dengan be­berapa catatan. Vasektomi juga harus dilakukan secara sukarela dan dilakukan secara cermat. MUI lebih berhati-hati sebagai bentuk tanggung jawab kepada umat,” kata Ikhwan. “Pendapat ulama bersumber pada pengetahun serta halhal terkait dengan peran ulama. Ulama memiliki tangungjawab menjelaskan sesuatu yang ber­kait dengan perintah agama. Peran ualama dalam KB adalah pertimbangan keagamaan. Da­lam hal ini, berkaitan dengan halal-haram, boleh-tidak boleh, kedaruratan, dan kehati-hatian. Ada mekanisme ker­ ja yang akan senantiasa berlaku di kalangan ulama. Ada juga etika, patut tidak patut ulama melakukan itu,” Ikhwan menambahkan. Di tempat yang sama, Ustad Nakha’i MA menjelaskan, pengecualian yang muncul dalam fatwa dengan sendirinya membolehkan vasektomi. Syarat-syarat yang mengemuka dalam fatwa sudah terbantahkan melalui serangkaian uji coba yang dilakukan para ahli urologi. Hasilnya, pelaku va­ sektomi sudah bisa memulihkan fungsi reproduksinya setelah melakukan rekanalisasi atau penyembungan kembali. Sejumlah ulama yang menghadiri pertemuan juga ber­ pendapat yang sama. Beberapa di antaranya adalah Ketua MUI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara yang mengungkapkan bah­wa vasektomi menjadi salah satu solusi menekan ke­ mis­kinan umat di daerah masing-masing. “Saya tadi lebih hati-hati untuk menyebutkan halal. Ternyata para kiai sudah terbuka mengungkapkannya,” kata Nakha’i. Pendapat lebih tegas datang dari Kiai Cholil Nafis PhD, ahli tafsir penulis buku Fikih Keluarga. Berangkat dari fikih sosial yang digagas Kiai Sahal, Cholil mengungkapkan, “Tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (‘amaliatu

al ta’qim) dan aborsi (isqath al-haml wa al ijhadl) untuk kepentingan keluarga (mashlahatu al ‘iyal).” Dengan demikian tidak bertentangan dengan hukum. Lebih jauh dia menjelaskan, fikih sosial ini bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam. Pemecahan problem sosial merupakan upaya memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.

Presentasi Ahli Urologi

“Secara operasional, fikih sosial berusaha mengintegrasikan maqasid al syariah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik fikih. Berarti, hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam illat (alasan) hukum, sehingga diperoleh suatu produk hukum yang berorientasi pada prinsip kemaslahatan umum,” tandas Cholil. Sejalan dengan itu, Cholil menilai ledakan jumlah pen­ du­duk merupakan bagian dari masalah demografi. Tapi, tak hanya itu sebenarnya, problem ini juga berbuntut pada dimensi sosial dan budaya. Lebih khusus, terkait pada sisi perubahan sistem nilai dan norma dalam masyarakat. Karena itu, penanganannya pun diperlukan strategi pendekatan dari berbagai arah secara terintegrasi. Salah satunya melalui pendekatan agama.(NJP)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

21


j urnal

Pentas KIE Kreatif

KIE Kreatif untuk Zero HIV/AIDS

P

eringatan Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2012 tak luput dari perhatian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat. Hajat tahunan dunia ini dimanfaatkan untuk unjuk kabisa KIE kreatif yang di dalamnya memuat pesan-pesan kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan turut hadir dalam kemeriahan di lapangan Gasibu tersebut. Gubernur Heryawan optimistis tahun mendatang Jabar mampu membebaskan diri dari bekapan HIV/ADS. “Walaupun terjadi penambahan jumlah pasien terkena infeksi, namun kita tetap yakin Provinsi Jawa Barat bisa terbebas dari sindrome HIV/AIDS,” tutur Gubernur. Pasien terjangkit HIV/AIDS di Jawa Barat selama satu tahun terkahir yakni sejak 2011 hingga September 2012 mengalami peningkatan 10 ribu jiwa, dari 13 ribu jiwa kini menjadi 14 ribu jiwa. Untuk mewujudkan Jabar Zero dari HIV/AIDS, Heryawan mengimbau agar membiasakan hidup dengan hal-hal yang positif. Sebagai bentuk komitmen terhadap pencegahan dan pemberantasan HIV/AIDS, Pemprov Jabar telah menyediakan anggaran maksimal guna menangani permasalahan penyebaran HIV/AIDS. “Berapapun jumlahnya, kita akan kita anggarkan. Yang penting penderita dapat terus terobati,” tegasnya. Ditemui di tempat yang sama, Kepala Sub Bidang Advokasi dan KIE BKKBN Jabar Elma Triyulianti mengungkapkan keterlibatan pihaknya dalam acara yang digagas Gedung Sate tersebut. Melalui KIE kreatif, jelas Elma, BKKBN ingin

22

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

menyampaikan kepada remaja bahwa keluarga adalah kunci utama pencegah triad kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang di dalamnya menyangkut HIV/AIDS. “Pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya menghindari risiko triad KRR ini merupakan pangkal dari merebaknya pengguna narkoba, meningkatnya penderita HIV dan AIDS, serta meningkatnya jumlah kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua dapat menjadi sumber kejahatan dan kriminalitas di segala lingkungan,” papar Elma. Triad KRR ini dapat berdampak kepada siapa saja, dengan usia berapa pun. Dari kalangan tersebut, yang paling meng­­khawatirkan adalah generasi muda yang notabene merupakan asset dan penerus bangsa. “Saat ini, narkoba, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, HIV dan AIDS, sepertinya sudah bukan hal yang menakutkan dan tabu lagi bagi sebagian masyarakat. Mereka banyak yang beranggapan bahwa itu adalah hal yang biasa. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, meskipun program-program untuk mengatasi dan menanggulangi masalah ini sudah cukup banyak, namun kepedulian masyarakat sepertinya belum signifikan,” ungkap Elma lagi. Elma menegaskan, kunci utama untuk menghindari dampak buruk Triad KRR berada di dalam hati nurani setiap anggota masyarakat itu sendiri. Ini dibentuk dan dimunculkan melalui wahana sebuah keluarga. Komitmen ini tentu akan tercipta bila keluarga tersebut selalu mempunyai cara pandang, pola pikir yang sama dan seimbang dalam menentukan teknik, strategi, dan langkah yang tepat dalam mengelola satu organisasi kecil, yaitu keluarga.(*)


s erba serbi

Apa Itu Unmet Need? Unmet need merupakan salah satu istilah penting dalam program kependudukan dan keluarga berencana (KKB). Secara nasional, unmet need yang ditargetkan sebesar 5 persen pada 2014 baru dapat diturunkan menjadi 8,5 persen. Nah, apa sesungguhnya makna unmet need dalam program KKB itu? Mari kita simak penjelasan yang dimuat dalam webste resmi BKKBN.

S

urvei menunjukkan bahwa banyak perempuan yang secara seksual sudah aktif ingin mencegah ke­ hamilan tetapi tidak menggunakan satu metode kontrasepsi apa pun. Kesenjangan antara keinginan fer­tilitas dan perilaku yang aktual ini kemudian disebut sebagai kesenjangan pengetahuan-sikap dan perilaku atau dikenal dengan knowledge-attitude-practice (KAP) gap. Ini merupakan konsep awal yang merujuk pada suatu kondisi di mana keinginan menghindari atau menunda kelahiran tidak diikuti dengan upaya penggunaan kontrasepsi. Konsep KAP gap yang mengilustrasikan makna unmet need dimulai pada survei pertama fertilitas dan KB pada 1960-an di 41 negara berkembang. Terdapat perbedaan batasan antara tujuan reproduksi perempuan dan perilaku kontrasepsinya. Pengenalan KAP gap merupakan batu loncatan per­kem­ bangan kebijakan dan program kependudukan, terutama di Asia. Rasional ini menjadi titik sentral investasi program ke­ luarga berencana karena menyangkut kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, konsep ini tidak bertahan lama seiring dengan analisis KAP gap di Taiwan oleh Ronald Freedman dkk. Pe­

Pelayanan KB

nelitian ini mengindikasikan bahwa terdapat sekelompok perempuan yang sangat menerima pemahaman tentang kontrasepsi tanpa mengubah jumlah anak yang mereka inginkan dan berkehendak untuk mengakhiri kehamilan tetapi tidak menggunakan metode kontrasepsi. Beranjak dari pendekatan sosio-psikologi, mereka mengidentifikasi kesenjangan antara ‘kebutuhan’ pelayanan kontrasepsi dan ‘perilaku yang tidak terpenuhi’. Pemikiran ini selanjutnya menjadi pusat perhatian dan cikal bakal hubungan antara keinginan dan penggunaan kontrasepsi. Hubungan ini diakomodasi dalam Survey Prevalensi Kontrasepsi yang dimulai pada tahun 1974 sampai dengan 1984. Pada tahun 1978, Westoff melakukan Survey Fertilitas Dunia (World Fertility Survey/WFS) dan mengubah istilah KAP gap menjadi unmet need for family planning. Pada awalnya Westoff tidak memperhitungkan perempuan hamil dan amenore dengan alasan mereka tidak segera membutuhkan kontrasepsi. Kesimpulan ini selanjutnya ditentang oleh Nortman (1982) yang beranggapan bahwa perempuan yang hamil, menyusui dan amenore harus masuk dalam perhitungan unmet need karena kelompok perempuan ini membutuhkan kontrasepsi segera setelah mereka kembali rentan terhadap kehamilan. Ruth Dixon Mueller dan Adrienne Germain (1992) mendemonstrasikan bahwa konsep unmet need berlaku pada seluruh orang yang secara seksual sudah aktif, termasuk sudah menikah atau belum. Bahkan mereka mengklaim bahwa akseptor pun dapat sangat mungkin memiliki unmet need jika mereka menggunakan metode kontrasepsi yang tidak efektif, menggunakan kontrasepsi dengan cara yang salah atau menggunakan kontrasepsi yang tidak aman dan tidak sesuai menurut mereka. Mereka juga menggarisbawahi bahwa konsep unmet need tidak seharusnya dibatasi hanya kepada perempuan, pria pun dapat memiliki unmet need untuk pelayanan kontrasepsi. Govindaswamy menambahkan bahwa kelompok penduduk yang berisiko tinggi seperti perempuan yang terlalu tua atau terlalu muda yang tidak menyadari potensi komplikasi dari kehamilan juga selayaknya dikategorikan sebagai unmet need. Perlu dicatat bahwa Westoff lah yang telah mengembangkan konsep unmet need dan memisahkan pengertian ini menjadi unmet need untuk penjarangan dan untuk pengakhiran kehamilan. (Selengkapnya bisa dibaca pada website BKKBN, dengan alamat www.bkkbn.go.id)

EDISI 10 TAHUN III DESEMBER 2012

23



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.