Warta Kencana Edisi #11 2013

Page 1


daftar isi

Warta Kencana Redaksi

Start Warta Utama Bebenah Manajemen Bermula dari Peta PUS Warta Utama Dua Tahun yang Penuh Tantangan

4

8

Warta Edisi Ini

30

Warta Daerah Membangun Sinergi dari Lini Paling Bawah

10

Warta Khusus Apa Kabar SPM Program KB?

20 Warta Jabar Implant Mampir di Mana? 2

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

11 Taku Kita Dobel Populasi Mengancam Jawa Barat Warta Jabar PKK Mitra Terbaik BKKBN Jabar

22


dari redaksi WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat diterbitkan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan dan keluarga berencana di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan bingkisan menarik dari redaksi. Penasehat Kepala BKKBN Jawa Barat Ir. Siti Fathonah, MPH. Dewan Redaksi Drs. H. Saprudin Hidayat Drs. Rahmat Mulkan, M.Si. Dra. Ida Indrawati Dra. Tetty Sabarniati Drs. H. Yudi Suryadi Drs. Rudy Budiman Drs. Soeroso Dasar, MBA Pemimpin Redaksi Drs. Rudy Budiman Wakil Pemimpin Redaksi Elma Triyulianti, S.Psi., MM. Managing Editor Najip Hendra SP Tim Redaksi Arif R. Zaidan, S.Sos. Bambang Dwi Nugroho, S.Ds. Chaerul Saleh Kontributor Ahmad Syafaril (Jabotabek) Akim Garis (Cirebon) Mamay (Priangan Timur) Yan Hendrayana (Purwasuka) Anggota IPKB Jawa Barat Fotografer Dodo Supriatna Tata Letak Litera Media Grafika Sirkulasi Ida Farida Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085 Fax : (022) 727 3805 Email: kencanajabar@gmail.com

Dari SDKI untuk MDGs

P

reliminarry report Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 membawa kabar buruk. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KKB) belum sesuai harapan. Merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, target indikator total fertility rate (TFR) sebesar 2.1 pada tahun 2014 baru tercapai 2.6 pada tahun 2012, Jawa Barat sendiri masih berkutat pada angka 2,5; Target indikator ASFR 15-19 tahun sebesar 30/1000 wanita pada tahun 2014 baru tercapai 48/1000 wanita; Target Angka pemakaian kontrasepsi atau contraceptive prevalence rate (CPR) sebesar 65 persen pada tahun 2014 tercapai 57,9 persen, Jawa Barat sendiri masih berkutat pada angka 60,3 persen; sedangkan target unmet need sebesar 5 persen pada tahun 2014 juga baru dicapai sebesar 8,5 persen, angka unmet need Jawa Barat berada pada angka 11 persen. Angka-angka tersebut seolah memberikan konfirmasi bahwa program KKB masih jalan di tempat. Inilah tantangan berat untuk meyakinkan masyarakat bahwa program KKB akan mempunyai dampak yang sangat kompleks terhadap kesejahteraan masyarakat. Dalam paparan Rakernas Program KKB 2013, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyadari bahwa advokasi dan KIE yang dilakukan stake holders dan mitra kerja belum optimal bersinergi. Advokasi dan KIE di lini lapangan juga relatif lemah karena masih terbatas pada aspek kognisi dan afeksi. Isu advokasi dan KIE masih kurang fokus dan masih terbatas pada pesan inti, janji, dan pendukung, belum pada pesan aksi. Di sisi lain, tujuan pembangunan milenium (Millenium Develepment Goals) 2015 yang menjadi konvensi internasional hanya menyisakan dua tahun lagi. Pencapaian MDGs tentu tak bisa ditawar. Kalau sudah begitu, perlu kerja keras semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Memang itulah pilihan itu.(*)

Rudy Budiman Pemimpin Redaksi

Percetakan Litera Media - 081320646821

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

3


warta utama

Bebenah Manajemen Bermula dari Peta PUS Jabar Masuk 10 Provinsi Prioritas Program KKB Pencapaian kontrak kinerja provinsi (KKP) tahun 2012 lalu tak terlalu moncer dibanding tahun-tahun sebelumnya. Toh, rapor tahunan tersebut tak lantas membuat suasana kantor BKKBN Jawa Barat gerah. Angka rendah tapi akurat jauh lebih baik daripada angka tinggi tapi hasil manipulasi data.

T

idak lama setelah dilantik menjadi Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat di Gedung Sate pada 5 Agustus 2011 lalu, Siti Fathonah langsung mendeklarasikan programnya. Warta Kencana mencatat saat itu bekas Kepala BKKBN Kalimantan Barat ini mengaku memiliki dua agenda utama: pemberian layanan berkualitas dan peningkatan kualitas data. Janji itulah yang rupanya terus dipegang Fathonah memasuki semester keempatnya berkantor di Jalan Surapati Nomor 122 Bandung. Nah, ketika pencapaian KKP 2012 hanya menyentuh angka 98,54 persen untuk pencapaian mix-kontrasepsi, Fathonah menanggapinya dengan santai. Terlebih ketika di-breakdown angka minor di bawah 100 persen itu didominasi peserta KB metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Dalam laporan evaluasi program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Jawa Barat 2012 yang disampaikan

4

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Pembangunan Program KKB 2013 di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat awal Februari 2013 lalu tampak, total pencapaian peserta baru KB mix-kontrasepsi sebesar 98,54 persen. Angka 98,54 persen merupakan rerata pencapaian IUD (108,95 persen), metode operasi wanita (MOW) atau tubektomi (109,71 persen), metode operasi pria (MOP) alias vasektomi (100,28 persen), kondom (87,94 persen), implant (95,59 persen), suntik (118,83 persen), dan pil (74,35 persen). Mengacu laporan tersebut, jumlah peserta baru KB pada 2012 lalu sebanyak 1,578 juta dari total perkiraan permintaan masyarakat (PPM) sebanyak 1,602 juta. Meski MKJP hanya menyisakan rapor hijau bagi implant, performa MKJP secara keseluruhan masih minim. Selama 2012 lalu, hanya terjaring 261.512 peserta baru MKJP. Dibanding total peserta baru sebanyak 1.578.689 orang, maka proporsinya hanya sekitar 16,57 persen. “Kita pahami banget bahwa Jabar ya seperti ini. saya harus benar-benar bebenah menatanya. Saya menyebutnya bebenah manajemen. Semua base on factual. Pakai data basis. Gunakan data yang benarbenar agar kita tidak salah langkah,� tegas Fathonah menanggapi pencapaian KKP 2012 tersebut. Dia mencontohkan, dalam kunjungannya ke daerah di Jawa Barat beberapa waktu lalu menemukan angka partisipasi aktif (PA) KB sebesar 80 persen. Tentu, angka tersebut membuatnya risau.


warta utama

Data Peserta Program KB

Secara teori, imbuh dia, angka 80 persen berarti sudah mapan. Dengan begitu, tidak diperlukan lagi adanya BKKBN atau adanya orang yang berteriak tentang perlunya pemakaian alat kontrasepsi. “Saya bilang tidak perlu lagi melayani yang sebetulnya unmet need, kan tampaknya paling orang hamil. Dari 20 persen tersebut pasti ada orang hamil, ada orang membandel gak mau sama sekali ikut KB, ada lagi unmet need, ada lagi infertilitas alias kemandulan. Di kota itu angka infertilitas bisa 10 persen. Apabila data itu di-break down, tidak mungkin 10 persen hamil. Dari 10 persen dari 600 ribu, berarti 60 ribu. Kalo 10 persen hamil maka gak mungkin bersamaan,� ujar Fathonah dengan nada tinggi. Dalam beberapa kesempatan, Fathonah menemukan adanya pencatatan ganda. Peserta KB ganti cara kerap dianggap sebagai peserta baru. Akibatnya, peserta baru terus naik sementara jumlah peserta KB tetap. Dari lima peserta baru IUD misalnya, temuan Fathonah ada yang benar-benar baru hanya satu orang. Sementara sisanya peralihan dari suntik atau pil ke MKJP. Untuk membenahi data kependudukan, imbuh dia, maka pihak pertama yang harus berbenah adalah mereka yang bergerak di lini lapangan. Sebut saja misalnya Pos KB, TPD, petugas lapangan (PLKB), dan lain-lain. Mereka itulah yang memasukkan data ke

level atasnya. Bila datanya benar, maka rekapnya juga benar. Nah, salah satu upaya penataan tersebut adalah dengan revitalisasi peta pasangan usia subur (PUS) di Jawa Barat. Melalui peta PUS ini diharapkan akan lahir data akurat yang kemudian menjadi data operasional. Fathonah menargetkan, bebenah peta PUS ini bakal tuntas pada kuarter pertama tahun ini. Data update itu yang kelak akan digunakan para penggerak di lini lapangan. “Artinya, kawan-kawan kita di lapangan akan digerakkan untuk memelihara kualitas data itu. Dan, kemudian data itu kita pergunakan untuk menggerkkan masyarakat agar masyarakat ber-KB. Itu untuk yang belum. Mereka yang sudah ber-KB kita upayakan gerakan itu untuk beralih ke MKJP. Setelah mereka jadi akseptor kita tidak ingin dong mereka drop out. Untuk itu, ada pembinaan lini lapangan,� terang Fathonah. Disinggung target pencapaian tahun 2013, Fathonah memperkirakan, PPM peserta baru berkisar pada angka 1.545.306 orang. Jumlah itu terdiri atas 117.548 IUD (7,63 persen), 13.946 MOW (0,91 persen), 5.249 MOP (0,34 persen), 85.589 Implant (5,55 persen), 688.672 suntik (44,70 persen), 597.117 pil (38,75 persen), dan 32.738 kondom (2,12 persen). Bila diklasifikasi, MKJP 14,43 persen, non-85,57, dan KB pria 2,46 persen. Meski jumlahnya lebih sedikit dari pencapaian 2012 lalu, Fathonah berjanji untuk lebih meningkatkan pelayanan. EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

5


warta utama

Penajaman Strategi Penggarapan Menanggapi laporan sementara Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012, Fathonah mengaku sudah melakukan analisis secara resmi. Hasil identifikasi itulah yang kemudian menjadi isu strategis BKKBN tahun 2013 ini. Berpijak pada isu strategis sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua laporan ini, BKKBN melakukan penajaman-penajaman strategi penggarapan Program KKB. Pertama, melaksanakan pembinaan dan peningkatan kesertaan ber-KB melalui intensifikasi penggarapan pembangunan KKB di 10 provinsi penyangga utama yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Fokus dari penggarapan 10 propinsi ini akan ditekankan kepada penguatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam pelayanan KB Paska Persalinan dan Paska Keguguran, Teknik Kontrasepsi Terkini (CTU) ; menjamin ketersediaan alokon di klinik KKB; mempersiapkan pelayanan KB berkualitas melalui BPJS; penguatan regulasi pelayanan KB di fasyankes dengan merujuk SOP pelayanan statis di luar Klinik, Permendagri dan Permenkes; serta pelatihan teknis bagi PLKB/PKB terutama untuk pembinaan peserta KB aktif.

6

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

“Selain itu, kami juga akan meningkatkan pelayanan KB yang berkualitas pada pasangan usia subur paritas rendah atau PUSMUPAR dengan mengintensifkan pelayanan statis dan pelayanan KB bagi PUS KS II ke atas melalui KB perkotaan dan KBswasta,� papar Fathonah. Kedua, mengembangkan dan melaksanakan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan, melalui penyediaan Informasi kependudukan yang efektif dengan menggunakan SIM yang ada bagi para pengambil kebijakan seperti Presiden, Menteri, DPR, TOGA dan TOMA; Menetapkan Parameter Dasar Pembangunan Kependudukan; Menetapkan format standar profil kependudukan; Menyusun pedoman perhitungan proyeksi penduduk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.; Melakukan penghitungan proyeksi penduduk tingkat nasional dan provinsi.; Mengembangkan kebijakan kemitraan yang komprehensif yang menguntungkan kedua belah pihak ; dan Mengembangkan Grand Desain Pengembangan Pusat Studi Kependudukan. Ketiga, meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, melalui peningkatan penggarapan remaja dalam rangka meningkatkan pendewasaan usia


warta utama

Rakerda Program KKB Jawa Barat perkawinan dan menekan fertilitas pada WUS 1519 tahun dengan mengintensifkan Program GenRe melalui pembentukan PIK Remaja/PIK Mahasiswa mulai dari tingkat pendidikan SLTP baik melalui jalur masyarakat, pendidikan maupun agama terutama di 10 provinsi penyangga utama. Strategi diyakini penting karena 10 tahun ke depan mereka akan menjadi pasangan usia subur yang potensial untuk menambah jumlah penduduk. Di samping itu, pemberdayaan keluarga dalam pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak juga merupakan upaya strategis untuk pembinaan peserta KB aktif sekaligus mendidik keluarga untuk memberikan hak-hak anak secara holistik dan komprehensif. Pembinaan peserta KB aktif juga dilakukan melalui pembinaan ketahanan keluarga dan pemberdayaan ekonomi keluarga, dengan melibatkan keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I dalam UPPKS. Untuk pelayanan keluarga dalam memperoleh semua informasi tentang perencanaan dan pembinaan keluarga kami akan terus mengembangkan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera di seluruh Indonesia. Keempat, melaksanakan promosi dan penggerakan masyarakat, melalui perubahan mind set tentang pelembagaan dan pembudayaan “Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera melalui slogan “ Dua Anak Cukup� dan melakukan perubahan fokus advokasi dan KIE dari

above the line ke below the line. Dengan demikian informasi yang bersifat edukasi bagi keluarga dalam merencanakan keluarganya dapat tersedia di lini lapangan. Kelima, Menyediakan dan menyebarluaskan data dan informasi kependudukan dan KB dengan meningkatkan kualitas pencatatan dan pelaporan dengan memperkuat sistem pendataan keluarga, dan melakukan rasionalisasi mekanisme operasional pengendalian lapangan; Keenam, Meningkatkan kapasitas SDM dan penelitian serta pengembangan program KKB, melalui: capacity building bagi pengelola program KKB di kab/kota terutama SKPD KB sesuai tupoksinya dan memperkuat serta fasilitasi Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan. Meski tidak terdapat disparitas yang begitu tinggi antarkawasan di Jawa Barat, tahun ini BKKBN Jabar bakal fokus pada penggarapan daerah Jabar Tengah. Kawasan ini untuk membedakan dengan Jabar Selatan dan Pantai Utara Jawa. Salah satu agendanya, pada pertangahan tahun ini akan digelar road show mobil unit penerengan (Mupen) menyusuri kabupaten dan kota di Jawa Barat bagian tengah. Daerah tersebut meliputi Kuningan, Majalengka, Sumedang, Bandung Raya, Cianjur, dan Bogor.(NJP)

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

7


warta utama

Dua Tahun yang Penuh Tantangan Belajar dari Laporan Pendahuluan SDKI 2012

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2012 memang belum secara resmi dirilis ke publik. Namun demikian, laporan pendahuluan survei lima tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut sudah bisa diketahui. Secara nasional, hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa indikator pembangunan KKB yang menjadi tanggung jawab Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) seperti angka kelahiran total alias total fertility rate (TFR), angka kelahiran total untuk usia 15-19 tahun atau age specific fertility rate (ASFR), peserta aktif atau contraceptive prevalence rate (CPR) program keluarga berencana (KB), dan pasangan yang belum terlayani (unmet need) belum sesuai dengan sasaran akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (PJMN) II (2010 – 2014).

Siti Fathonah

T

arget indikator TFR sebesar 2,1 pada 2014 baru tercapai 2,6 pada 2012; Target indikator ASFR 15-19 tahun sebesar 30/1000 wanita pada tahun 2014 baru tercapai 48/1000 wanita; Target CPR sebesar 65 persen pada 2014 tercapai 57,9 persen; sedangkan target unmet need sebesar 5 persen pada 2014 juga baru dicapai sebesar 8,5 persen. Dalam paparan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program Kependudukan dan KB di Jakarta pada 30 Januari 2013 lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana menyiratkan nada pesimistis saat mencermati angka-angka tersebut. Untuk TFR, ASFR 15-19, CPR, dan unmet need Menteri Armida menilainya sangat sulit tercapai. Bagaimana dengan Jawa Barat? Memang, terdapat penurunan TFR dari 2,6 pada SDKI 2007 menjadi 2,5 pada SDKI 2012. Melihat trend perkembangan TFR di Jawa Barat, penurunan ini tentu kurang menggembirakan. Menyimak hasil TFR Jabar pada SDKI 2003 lalu pada angka 2,8, berarti dalam 10 tahun

8

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013


warta utama terakhir Jabar belum berhasil penurunkan satu poin pun. “Samasama dua sampai tiga anak,” kata Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah saat pertemuan pengelola media di Balai Latihan dan Pengembangan KB Nasional, Jalan Sederhana, Bandung, 4 Februari 2013 lalu. Fathonah juga mengaku kurang happy melihat trend penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pasangan usia subur (PUS) Jawa Barat. Meski angka peserta aktif atau PA mengalami kenaikan, namun hal itu masih didominasi kontrasepsi tradisional. Kontrasepsi jenis ini naik dari 61,1 persen menjadi 62,2 persen. Adapun penggunaan kontrasepsi modern stagnan pada angka 60,3 persen. Mirisnya, ternyata jumlah PUS yang belum terlayani kontrasepsi malah naik. “Angla unmet need Jawa Barat ini naik dari 10,2 persen menjadi 11 persen. Dari jumlah tersebut, unmet need untuk membatasi kelahiran naik dari 5,6 persen pada SDKI 2007 menjadi 7,5 persen pada SDKI 2012. Adapun mereka yang berniat menjarangkan kelahiran turun dari 4,6 persen meniadi 3,5 persen. Ini menunjukkan masih banyak masyarakat Jawa Barat yang berniat menggunakan kontrasepsi tetapi belum terlayani. Ini harus menjadi perhatian kita semua. Saya berpikir keras agar kontrasepsi di Jawa Barat bisa diberikan secara gratis kepada seluruh PUS,” tandas Fathonah. “Jika kita menyimak hasil sementara SDKI 2012 tersebut, maka kita sedang menghadapi tantangan yang sangat berat untuk meyakinkan masyarakat bahwa program KKB akan mempunyai dampak yang sangat kompleks terhadap kesejahteraan masyarakat. Selama ini, kita sudah merasa bekerja secara maksimal dan dengan semangat yang tinggi selama 10 tahun belakangan ini, namun hasilnya masih belum seperti yang diharapkan,” Fathonah menambahkan.

Isu Strategis 2013 Fathonah yang sepekan sebelumnya baru saja mengikuti Rakernas Program KKB mengungkapkan, BKKBN telah mengidentifikasi beberapa isu strategis yang perlu mendapatkan dukungan komitmen politis dari pemerintah pusat dan daerah serta komitmen operasional dari seluruh stake holders. Isu-isu strategis tersebut meliputi: Stagnansi TFR dan CPR memang menjadi catatan merah bagi kinerja BKKBN; Meningkatnya angka kesuburan pada usia

remaja yang ditandai dengan peningkatan ASPFR 15-19 tahun; Meningkatnya angka kesuburan remaja di mana ada kecenderungan PUS muda baik di perkotaan maupun di perdesaan meningkat. Demikian pula terjadi pada masyarakat yang berstatus sosial dan berpendidikan tinggi. Kemudian, meningkatnya jumlah anak ideal yang ingin dimiliki yang merupakan indikasi bahwa pelembagaan dan pemberdayaan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera perlu diperkuat kembali, terutama bagi generasi muda penerus bangsa Indonesia yang tangguh dan berdaya saing. Pembinaan Program KKB perlu mendapatkan perhatian serius. Upaya keras untuk mendapatkan peserta KB baru nampaknya belum diimbangi dengan upaya pembinaannya. Akibatnya, kesertaan aktif ber-KB cenderung stagnan dan dampaknya angka kelahiran tidak berubah. Menyikapi hal itu, BKKBN Jabar menetapkan sejumlah kebijakan dan strategi pembangunan program KKB pada 2013 ini. Kebijakan itu meliputi: (1) Sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kependudukan; Menyediakan profil dan parameter kependudukan, serta menyebarluaskan data dan informasi KB; (3) Melaksanakan promosi dan penggerakan masyarakat; (4) Melaksanakan pembinaan dan peningkatan kesertaan ber-KB; (5) Meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga; (6) Meningkatkan kapasitas SDM dan penelitian serta pengembangan program KKB. Adapun strategi yang ditempuh meliputi: (1) Sinergitas pengelolaan program KKB di kabupaten dan kota maupun provinsi; (2) Peningkatan kualitas data; (3) Optimalisasi lini lapangan. Langkah ini dilakukan dengan penggerakan lini lapangan dalam upaya pembinaan kelangsungan ber-KB dan penggerakan lini lapangan dalam meningkatkan peserta KB, khususnya MKJP. “Lini lapangan ini merupakan garda terdepan pembangunan KKB. Program KKB memerlukan komunikasi personal, dan itu hanya bisa dilakukan pengelola lini lapangan seperti PLKB, PKB, TPD, kader, Pos KB, dan lain-lain. Karena itu, kebijakan 2013 ini lebih banyak diarahkan kepada pengelola lini lapangan itu.(NJP)

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

9


warta khusus

Apa Kabar SPM Pelayanan KB?

O

tonomi daerah sempat menjadi mimpi buruk bagi kelangsungan program keluarga berencana (KB) di daerah. Kegamangan makin menjad-jadi saat organisasi perangkat daerah (OPD) yang menangani KB disapih dari induknya, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Bak anak ayam kehilangan induk, OPD KB kehilangan orientasi program. Tak hanya itu, petugas lapangan atau PLKB yang selama ini menjadi motor penggerak di lini lapangan menyusut drastis tergerus kebijakan mutasi pegawai. Beruntung, performa program KB mulai menggeliat selama beberapa tahun terakhir. Rentang waktu yang disebut Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jabar Soeroso Dasar sebagai periode “cacat sejarah” program KB perlahan menunjukkan perbaikan. Komitmen pemerintah daerah terhadap program KB mulai tampak. KB pun berhasil mendapatkan tempat sebagai urusan wajib pemerintah daerah. Muncullah Badan KB dengan sejumlah nomenklatur berbeda di kabupaten dan kota. Tuntaskah urusan kelembagaan “urusan wajib” pemerintah ini? Tentu saja tidak. Ada saja tumpang tindih di sana-sini. Karut-marut penempatan pegawai menambah benang kusut pelayanan KB di daerah. Tak ada ukuran baku untuk menentukan keberhasilan

10

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

program KB di suatu daerah. Barangkali itulah salah satu alasan BKKBN untuk mengeluarkan panduan tolok ukur pelayanan melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang KB dan Keluarga Sejahtera yang mulai dirilis 2010 lalu, setahun setelah Undangundang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Apa saja isinya? Mari kita simak jeroan panduan SPM ini. Dalam panduan tersebut dijelaskan, SPM KB dan KS merupakan tolok ukur kinerja pelayanan KB dan keluarga sejahtera yang diselenggarakan pemerintah daerah. Pelayanan yang dimaksudkan dalam SPM ini ini meliputi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) KB, penyediaan obat dan alat kontrasepsi, dan penyediaan informasi data mikro. SPM ini merupakan pelayanan dasar kepada masyarakat. Hal ini mencerminkan fungsi pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sesuai namanya, SPM merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara. Ada tiga jenis layanan dasar dengan sembilan indikator kinerja di dalamnya. Pelayanan KIE memiliki tujuh indikator, penyediaan alat dan obat kontrasepsi satu indikator, dan satu indikator penyediaan informasi data mikro. Seluruh indikator tersebut ditargetkan tuntas pada 2014 mendatang. Indikator pertama pelayanan KIE meliputi cakupan


warta khusus pasangan usia subur (PUS) yang istrinya di bawah usia 20 tahun sebesar 3,5 persen. Dari seluruh PUS yang ada, indikator kedua menargetkan 65 persen di antaranya menjadi peserta KB aktif. Sementara PUS yang tidak terlayani (unmet need) ditargetkan hanya tersisa lima persen. Indikator juga nenetapkan 70 persen cakupan Bina Keluarga Balita (BKB) menjadi peserta KB aktif. Sementara 87 persen cakupan PUS peserta KB ditargetkan menjadi anggota Unit Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Untuk mendukung kinerja tersebut, rasio penyuluh KB atau petugas lapangan KB terhadap desa atau kelurahan alah 1:2. Artinya, satu penyuluh atau PLKB mengurusi dua desa atau kelurahan. Mereka diharapkan bisa dibantu masing-masing seorang petugas Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD) untuk setiap desa. Berikutnya untuk penyediaan alat dan obat kontrasepsi ditetapkan BKKBN mampu memenuhi permintaan masyarakat sebesar 30 persen. Sisanya dilakukan oleh swasta. Sementara penyediaan informasi data mikro diharapkan bisa dilayani secara menyeluruh atau 100 persen. Dalam beberapa kesempatan, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah menegaskan, penyediaan informasi merupakan prasyarat utama untuk memberikan pelayanan KB berkualitas kepada masyarakat. Ke depan, Fathonah menargetkan seluruh data mikro bisa disajikan secara online. Dia juga berjanji untuk menjaga akurasi data yang disajikan kepada publik tersebut. Di bagian lain, Fathonah menjelaskan pembagian tugas antara pemerintah daerah dan pusat dalam

A

Komunikasi Informasi dan Edukasi Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera (KIE KB dan KS)

1. Cakupan Pasangan Usia Subur yang isterinya dibawah usia 20 tahun 3,5%. 2. Cakupan sasaran Pasangan Usia Subur menjadi Peserta KB aktif 65%. 3. Cakupan Pasangan Usia Subur yang ingin ber-KB tidak terpenuhi (Unmet Need) 5%. 4. Cakupan Anggota Bina Keluarga Balita (BKB) ber-KB 70%. 5. Cakupan PUS Peserta KB Anggota Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang ber-KB 87%. 6. Ratio Petugas Lapangan Keluarga Berencana/ Penyuluh Keluarga Berencana (PLKB/PKB) 1 Petugas di setiap dua Desa/Kelurahan. 7. Ratio Pembantu Pembina Keluarga Berencana (PPKBD) satu petugas di setiap Desa/Kelurahan.

memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Bila sebelumnya KB menjadi “monopoli” BKKBN, kini sebagian besar tugas itu diserahkan kepada pemerintah daerah. Wajar bila kemudian SPM KB dan KS mengatur pelaksanaan di tingkat kabupaten dan kota. Meski begitu, pusat tetap mendapat kewenangan secara proporsional. “SPM KB dan KS ini menjadi tanggung jawab bupati dan wali kota di daerah yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan satuan kerja perangkat daerah (SPKD) yang bersangkutan. SPM juga menjadi acuan dalam penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Para kepala daerah ini melaporkan pelaksanaan SPM sesuai pedoman yang telah ditentukan,” jelas Fathonah. Lalu, di mana peran BKKBN? Setidaknya terdapat tiga hal yang dilakukan BKKBN sebagai representasi pemerintah pusat. Pertama, melakukan monitoring dan evaluasi. Kedua, pengembangan kapasitas daerah melalui fasilitasi petunjuk teknis, bimbingan teknis, dan pemberian orientasi dan pelatihan. Ketiga, pendanaan program yang berkaitan dengan penetapan kebijakan, pembinaan dan fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan, dan fasilitasi. “Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM digunakan sebagai masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah. Tentu, fasilitasi pengembangan kapasitas daerah sudah memperhitungkan kemampuan daerah. Maklum, tidak semua daerah atau kepala daerah memiliki kemampuan yang sama dalam melaksanakan SPM,” urai Fathonah. (NJP)

SPM KB/KS

B

Penyediaan Alat dan obat Kontrasepsi 8. Cakupan penyediaan alat dan obat Kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat 30% setiap tahun.

Penyediaan Informasi Data Mikro 9. Cakupan penyediaan informasi data mikro keluarga di setiap Desa/ Kelurahan 100% setiap tahun.

C

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

11


tamu l ensa kita

Ganjar Kurnia

Wawancara khusus dengan Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA

Dobel Populasi Mengancam Jawa Barat Tidak banyak orang menyadari betapa ledakan penduduk menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia di dunia. Pun bagi Jawa Barat. Dengan laju penduduk 1,89 persen per tahun, maka dalam 37 tahun ke depan penduduk akan naik menjadi dua kali lipat. Itulah salah poin penting yang disampaikan Rektor Unpad Ganjar Kurnia dalam media gathering yang diprakarsai Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jabar di Bandung awal Februari 2013 lalu. Berikut petikan wawancaranya.

12

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013


tamu kita Bonus demografi dianggap sebagai periode emas bagi sebuah negara, bagaimana menurut Anda? Bonus demografi kerap dimaknai secara keliru. Yang namanya bonus itu menguntungkan. Nah, bonus demografi merugikan. Makanya saya langsung menyebut bahaya bonus demografi. Mengapa begitu? Karena bonus demografi pada dasarnya hanya berbicara proporsi. Dalam konteks itu, bonus demografi berarti rasio ketergantungan kecil. Artinya, jumlah usia produktif lebih banyak dibanding usia nonproduktif seperti anak-anak dan lanjut usia (Lansia). Proporsi memang kecil, tapi angka absolutnya tetap besar. Penduduk usia itu belum tentu bekerja. Investasi tetap besar. Bahaya juga berlaku bagi Jawa Barat? Iya dong. Apalagi Jawa Barat yang penduduknya (menurut Sensus Penduduk 2010) mencapai lebih dari 43 juta jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk atau LPP 1,89 persen, yang lebih mengkhawatirkan bagi Jawa Barat adalah bahaya dobel populasi (double population growth). Mengacu kepada rumus perhitungan demografi, LPP 1,89 persen maka populasi ganda diperkirakan akan datang dalam 37 tahun ke depan. Bila jumlah penduduk Jabar saat ini sekitar 45 juta jiwa, maka 37 tahun ke depan mencapai 90 juta jiwa. Kekhawatiran makin menjadi-jadi melihat fakta bahwa angka partisipasi kasar sekolah juga rendah. Dengan APK 7,2 tahun, berarti bonus demografi Jabar akan dihuni oleh mereka yang lulusan SD dan SMP. Apa yang bisa mereka kerjakan? Apalagi, komitmen pemerintah daerah terhadap kependudukan juga menurun dibandingkan pada masa Orde Baru lalu. Saya bukan menyarankan harus seperti Orde Baru, tetapi sekarang perlu komitmen besar pemerintah untuk menyelesaikan masalah kependudukan. Konkretnya seperti apa bahaya tersebut? Sebut saja kebutuhan pangan yang berlipat di satu sisi tetapi ketersediaan lahan berkurang di sisi lain. Karut marut tata ruang juga diyakini menjadi pemicu semakin amburadulnya wajah Jawa Barat. Saya punya mengalaman menarik ketika menyaksikan penguburan seorang warga Cicadas, Kota Bandung. Saking padatnya, pasaran (keranda mayat, red) tidak bisa masuk gang. Keranda dipindahkan dari atap ke atap rumah tetangganya. Barangkali ke depan mayat pun harus berjalan sendiri. Hehehe‌ Belum lagi ketersediaan pemakaman yang semakin sulit. Ini salah satu bahaya bonus demografi. Karena itu, saya menilai istilah bonus demografi itu

menyesatkan. Bila dalam pandangan umum bonus itu memberi keuntungan, bonus demografi justru membahayakan. Istilah “bonus� itu sendiri sering dianggap membawa manfaat. Padahal, efek dari bonus demografi tersebut acapkali mengancam dan berbahaya. Jadi, bonus demografi ini menguntungkan atau merugikan? Kita juga tidak yakin apakah dengan bonus demografi ini kita akan mendapatkan manfaat atau tidak. Konsep bonusdemografi itu begini, jumlah usia tanggungan yang dibebankan kepada jumlah usia produktif (15-64 tahun) sangat sedikit. Ini selalu dikatakan keuntungan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan rasio ketergantungan tersebut. Masalahnya, usia prduktif belum tentu bekerja semuanya. Hal tersebut dilihat dari fakta angka pengangguran di Jawa Barat. Di Indonesia saja, jumlah penduduk usia kerja diperkirakan akan meningkat drastis menjadi 170,9 juta pada tahun 2015, dan akan terus meningkat menjadi 195,2 juta pada tahun 2020, dan menurun menjadi 191,5 pada tahun 2050 nanti. Jumlah sebesar itu memerlukan kebutuhan hidup. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jawa Barat memiliki presentasi sekitar 47,82 persen untuk angka usia sekolah kisaran 16-18 tahun. Namun, kenyataan yang ada, angka produktivitas kerja untuk usia SMA/SMK berada di peringkat ketiga terendah di seluruh Indonesia. Rata-rata, mereka hanya menghabiskan sekitar 8 tahun untuk menempuh pendidikannya. Jadi, sebagian besar angka lulusan sekolah hanya sebatas SD, dan SMP Kembali ke masalah dampak, masalah apa lagi yang bisa muncul? Dampaknnya memang banyak sekali. Kebutuhan pangan sudah jelas. Untuk 43 juta jiwa penduduk saja, Jawa Barat sudah impor pangan. Bagaimana dengan 90 juta penduduk kelak? Jelas bahaya kelaparan sedang mengincar kita. Berapa beras yang dibutuhkan, telur yang harus didatangkan, daging yang mesti diimpor, sayuran, buah-buahan, dan lainlain. Ancaman makin nyata karena tidak ada lagi lahan yang ditanami pangan. Rasio manusia terhadap lahan makin tidak rasional. Ke depan, orang tidak makan bukan kerena tidak punya uang, tapi tidak ada yang bisa dibeli. Begitu juga dengan hunian. Orang mau beli rumah tapi rumah sudah tidak ada. Pada saat yang sama, kendaraan bermotor tumbuh berbanding terbalik dengan ruas jalan. Kendaraan terus bertambah setiap tahun, sementara ruas jalan segitu-gitu saja. Sudah EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

13


tamu kita pasti kemacetan bakal terjadi di mana-mana. Bukan tidak mungkin kita akan terkunci di jalan raya, mobil tidak bisa bergerak ke mana-mana saking macetnya. Bahkan, bisa saja kita sudah terkunci di jalan begitu jeluar dari gang rumah kita. Produksi sampah juga dipastikan meningkat. Setiap rumah tangga sudah pasti memproduksi sampah setiap harinya. Kalau sekarang saja Kota Bandung kewalahan mengatasi sampah, bagaimana dengan nanti? Mau dibuang ke mana? Sarimukti sudah penuh. Ini harus menjadi perhatian semua pihak.

Masih sejalan dengan tata ruang, pertimbangan pembangunan juga harusnya satuan jumlah penduduk. Saya ambil contoh misalnya puskesmas, selama ini kan satuannya kecamatan. Satu kecamatan satu puskesmas. Padahal, jumlah penduduk satu kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak sama. Harusnya rasio puskesmas terhadap penduduk. Setiap sekian jumlah penduduk dibangun satu puskesmas. Begitu juga dengan sarana pendidikan. Setiap jumlah penduduk sekian, maka harus ada sekian sekolah. Ini sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 52 bahwa penduduk merupakan titik sentral pembangunan.

Bagaimana dengan rasio petugas? Ini juga menjadi masalah. Berapa polisi yang dibutuhkan untuk mengatur lalu lintas? Atau, berapa Satpol PP yang harus disiapkan untuk menjaga ketertiban. Polisi sudah pasti kewalahan. Mungkin ke depan polisi tidak bisa lagi melakukan tilang karena terlalu banyak yang harus diawasi. Terlalu banyak yang melakukan pelanggaran. Jadi, kembali masalah tadi, bonus demografi ini menyesatkan karena jumlah absolut penduduk tetap tinggi. Strukturnya saja yang berubah. Ini menyangkut tata ruang, bagaimana seharusnya? Tata ruang wilayah menjadi sangat penting. Sekarang saja kemacetan timbul bukan dipicu oleh jumlah kendaraan semata. Faktor lainnya adalah tata ruang, di mana kompleks perumahan dibangun nyaris di sepanjang jalan. Wajar bila kemudian kemacetan terjadi di setiap mulut jalan yang menghubungkan jalan perumahan dengan jalan raya. Seharusnya, ada rencana tata ruang yang lebih teratur. Ini tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya. Di mana daerah untuk permukiman, di mana daerah untuk industri, pendidikan, dan seharusnya. Ketika sekarang semua terkonsetrasi di satu titik, maka kemacetan atau kepadatan menjadi sulit diurai.

Anda sebagai ahli orang perguruan tinggi sekaligus ahli demografi, apa yang bisa dilakukan? Saya ya begini, bicara ke mana-mana tentang bahaya ledakan penduduk. Itu yang bisa dilakukan para ahli atau peneliti. Kami bukan pengambil kebijakan. Tugas kami adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya pengendalian penduduk. Nah, perguruan tinggi bisa mengambil peran lebih banyak. Unpad misalnya, aktif melakukan riset kependudukan melalui Pusat Penelitian Kependudukan. Saya peneliti di sana. Perguruan tinggi juga menginisiasi kursus-kursus demografi bagi pemangku kepentingan atau para pejabat. Kalau BKKBN tidak mendanai, Unpad siap melakukannya sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan kepala daerah atau pengambil kebijakan? Tanya mereka dong, bukan saya. Hehehe‌ Yang pasti mereka harus punya visi kependudukan. Jangan-jangan Anda tertarik jadi kepala daerah juga? Ah, ada-ada saja.

Media Gathering 14

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013


tamu kita Tentang Ganjar Kurnia Nama Lengkap Jabatan Alamat Kantor E-mail

Prof.Dr.Ir. Ganjar Kurnia, DEA. Guru Besar Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132 ganjark@unpad.ac.id

Riwayat Pendidikan Universitas

Bidang

Tahun Lulus

S1

Fakultas Pertanian Unpad

Sosial Ekonomi

1979

S2

Universitas Paris X Nanterre

Sosiologi & Ekonomi Masyarakat

1983

S3

Universitas Paris X Nanterre

Sosiologi Pedesaan

1987

Tingkat

Pendidikan Informal

1. Training Demografi di Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1980) 2. Training Teaching by Objective - Unpad (1981) 3. Training Cum-Workshop Community Development. Searca (1982)

Riwayat Pekerjaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Dosen Fakultas Pertanian Unpad ( 1979 s.d Sekarang) Pejabat Sementara PD III Fakultas Pertanian Unpad (1982) Dosen Pascasarjana Unpad (1990 s.d Sekarang) Dosen Pascasarjana PU (1991-1998) Dosen Tamu Sespimpol (1998-1999) Koordinator Peneliti Penyerahan Irigasi Kecil di Jawa Barat pada Internasional Management Institut (1988 s.d 1989) Kepala Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Padjadjaran (1995 s.d Sekarang) Konsultan Bank Dunia untuk WATSAL (1999) Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebudayaan Jawa Barat Universitas Padjadjaran (2000 s.d 2004) Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian unpad (2003 s.d 2004) Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Peneliti Unpad ( 1990 s.d Sekarang) Guru Besar Sosiologi Pertanian Universitas Padjadjaran (2003) Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Paris (2004 s.d 2007) Rektor Universitas Padjadjaran (Periode 2007 s.d 2011) Rektor Universitas Padjadjaran (Periode 2011 s.d 2015)

Penelitian dam Bidang Kependudukan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Penelitian Mobilitas Penduduk di Jawa Barat, Bappeda (1981) Penelitian Perkawinan & Perceraian di Jawa Barat. Kantor Menteri Negara KLH (1989) Evaluasi Pemanfaatan Inpres Desa di Jawa Barat selama Pelita IV, Bandes Propinsi DT I Jawa Barat. (1991) Penyusunan Indikator Keserasian Sosial. Kantor Menteri Negara KLH (1991) Evaluasi Pelaksanaan Registrasi Penduduk di Kabupaten Sumedang. Menteri Negara KLH (1991) Evaluasi Pelaksanaan Registrasi Penduduk di Kabupaten Subang, Menteri KLH (1992) Need Assesment Pelaksanaan UPPKA di Jawa Barat, BKKBN Propinsi DT I Jawa Barat. (1992) Evaluasi Pelaksanaan Registrasi Penduduk di Kabupaten Majalengka, Kuningan dan Bandung, Biro Pemerintahan Umum Propinsi DT I Jawa Barat. (1993) Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Kawasan Terpadu di Kabupaten Sukabumi dan Lebak, Bappeda Tk.I Jawa Barat .(1993) Need Assesment Pelayanan Keluarga Berencana di RSS dan Perumnas, BKKBN Pusat (1993) Evaluasi Pemanfaatan Inpres Desa di Jawa Barat selama Pelita V, Bandes Propinsi DT I Jawa Barat (1994) Penelitian Pemanfaatan Kelembagaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Registrasi Penduduk di Jawa Barat. BKKBN Pusat . (1994) Prospek Kependudukan Propinsi DT I Jawa Barat pada Pelita VII, PDP Unpad dan Biro Pemerintahan umum Pemda DT I Jawa Barat (1998)

14. Studi Dinamika Sosial Ekonomi Jawa Barat, Bappeda jawa Barat (2000) 15. Studi Jenis-Jenis Kesenian tradisional di Jawa Barat. DIKTI (2000) 16. Profil Pemuda Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Jawa Barat (2003)

Organisasi Profesi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Ketua Umum Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Jabar (1995 s.d 2004) Sekretaris I IPADI Pusat (1998 s.d Sekarang) Pengurus Ikatan Sosiologi Indonesia Jawa Barat (1995 s.d 1997) Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia (JKII) sebagai Dewan Pengarah (1991 s.d 2003) & Sekretaris Ekskutif (1998 s.d 2001) Pengurus ICID – Indonesia Koalisi Mitra Peduli Kependudukan Jawa Barat (MILIK) sebagai Ketua Umum (2002 s.d 2004) Dewan Pengarah Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta (2000 s.d sekarang)

Organisasi Nonprofesi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Sekretaris Tim Ahli Bimas Departemen Pertanian (1997 s.d 2000) Staf khusus Rektor Unpad (1998 s.d 2007) Anggota Tim Ahli Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (2002 s.d sekarang) Wakil Ketua Komite Perencanaan Jawa Barat (2003 s.d 2004) Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia (ICMI) Orwil Jabar (2007 s.d Sekarang) Anggota Dewan Pakar Badan Musyawarah Masyarakat (BAMUS)Tatar Sunda Pusat ( 2008 s.d 2011) Anggota Dewan KONI Jabar (2008 s.d 2011) Anggota Dewan Kurator Yayasan Pusat Kebudayaan (2007 s.d sekarang) Ketua Yayasan Bujangga Manik (2009 s.d Sekarang) Ketua Forum Konferensi Internasional Budaya Sunda (2010) Majelis Pembimbing Daerah , Gerakan Pramuka Daerah Jawa Barat (2010-2015) Anggota Dewan Riset Jawa Barat (2010-2011) Anggota Dewan Pakar DPD Masyarakat Agrobisnis & Agroindustri Jawa Barat (2007-2011)

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

15


sejuta warta

Pemilihan Duta KKB

Pelantikan Pegawai

Penggarapan KB Pria

16

Rakerda KKB Jabar

Rakerda KKB Jabar

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

Eagle Award Jr.

Rakerda Kota Tasiklamaya


sejuta warta

Radio Komunitas

Media Gathering

Bhakti IBI 2013

Pokjayan BKR “Star Jabar”

Rakor Penelitian Konsolidasi Ulama

Konsolidasi Data Informasi

Mukerwil Aisyiyah

Rakerda KKB Jabar

Bhakti IBI 2013

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

17


warta jabar

Dua Anak Cukup, Titik! IPKB Konsolidasi Kawal Pembangunan KKB di Jawa Barat Ada yang baru dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memasuki tahun 2013 ini. Tagline, ya tagline alias semboyan kampanye program. Setelah sebelumnya lebih moderat dengan Dua Anak Lebih Baik, kini BKKBN kembali ke tagline sebelumnya: Dua Anak Cukup.

R

ebranding motto tersebut kali pertama diperkenalkan dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) di Jakarta pada akhir Januari lalu. Tagline tersebut terus disosialisasikan kembali dalam serangkaian rapat kerja daerah (Rakerda) di tingkat provinsi mapun kabupaten dan kota. Jurnalis dan pemerhati program KKB yang tergabung dalam Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) mendapat penjelasan perubahan tagline tersebut saat berlangsungnya coffee morning yang di dalamnya mendiskusikan isu-isu strategis advoksi dan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pertengahan Maret 2013 lalu. Hadir dalam kesempatan tersebut pengurus daerah IPKB Jawa Barat dan pengurus cabang dari kabupaten dan kota di Jawa Barat. “Perubahan tagline tersebut merupakan salah satu isu utama program KKB di Jawa Barat. Tahun ini, BKKBN Jawa Barat mengusung tiga agenda utama, meliputi peningkatan kualitas data keluarga, pengarusuatamaan KB metode kontrasepsi jangka panjang atau MKJP, dan penggerakkan lini lapangan atau below the line. Tagline dua anak cukup untuk memberikan penegasan pesan program KKB kepada masyarakat,” kata Kepala Sub Bidang Advokasi dan

18

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

KIE BKKBN Jawa Barat Elma Triyulianti yang pagi itu hadir mewakili Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat. Mengapa kembali ke dua anak cukup? Ada apa dengan dua anak lebih baik? Menjawab pertanyaan itu, Elma beralasan tagline dua anak lebih baik dianggap terlalu moderat, sehingga mereka yang memiliki lebih dari dua anak menganggapnya sebagai imbauan belaka. Belum lagi bila tagline tersebut diucapkan secara berbeda, maka maknanya akan lain. “Dua anak lebih baik bisa saja diucapkan dengan intonasi berbeda menjadi dua anak lebih, baik. Nah, tagline baru ini selain lebih lebih tegas diharapkan tidak menimbulkan multitafsir gara-gara diucapkan dengan intonasi berbeda. Dua anak cukup, titik!” tegas Elma. Lebih jauh Elma menjelaskan, peningkatan kualitas data penggerakkan lapangan tidak hanya bisa dilakukan BKKBN semata. Maklum, keberadaan lini lapangan program KKB tidak lagi di bawah kendali lembaga

dan lini


warta jabar vertikal ini. Sejak bergulirnya otonomi daerah, program KKB merupakan domain pemerintah daerah. Wajar bila kemudian maju mundurnya program KKB sangat bergantung pada komitmen kepala daerah yang bersangkutan. Sejalan dengan paradigwa below the line, sambung Elma, pihaknya berharap IPKB mampu berperan lebih dengan cara penggerakkan melalui isu-isu KKB di daerah. Di sisi lain, IPKB diharapkan tetap menjadi bagian upaya advokasi program KKB melalui isu-isu strategis di lini atas (above the line). “Bagi BKKBN, peran IPKB sangat penting. IPKB merupakan mitra strategis dalam membangun program KKB di Jawa Barat. Ke depan, kami berharap IPKB mampu menggaungkan kembali isu-isu program KKB secara lebih masif. Terus terang kami merasa terpukul dengan hasil SDKI 2012 kemarin yang menunjukkan angka TFR kita masih stagnan. Mudahmudahan kita bisa terus bersinergi,” harap Elma.

memproyeksikan penduduk Jawa Barat pada 2035 akan berjumlah 65 juta jiwa. Angka tersebut mengasumsikan LPP sekitar 1 persen. Nah, IPKB berkepentingan untuk mengawal proyeksi itu,” tandas Soeroso. Tak hanya itu, penulis buku KB Berdiri Dikubur Berdiri ini mengingatkan bahwa 2013-2014 merupakan tahun politik yang langsung atau tidak langsung bersentuhan dengan program KKB. Pengalaman membuktikan, program KKB bukan isu seksi yang menarik bagi para politikus. Sangat jarang politikus membicarakan program KKB, apalagi memasukkannya dalam materi kampanye mereka.

Isu Strategis Program KKB Jawa Barat Berbincang dengan sejumlah koleganya, Ketua IPKB Jawa Barat Soeroso Dasar mengungkapkan sejumlah isu strategis program KKB di Jawa Barat dalam beberapa tahun ke depan. Salah satunya menyangkut penyediaan 2 juta lapangan kerja yang nota bene merupakan janji kampanye gubernur terpilih Ahmad Heryawan. Bagi konsultan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar ini, pembukaan lapangan kerja baru lebih kompleks dari sekadar dibukanya lapangan kerja itu sendiri. Dia mencontohkan, industri pengolahan merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbanyak di Jawa Barat. Sialnya, sektor inilah yang selama ini menjadi pemicu migrasi masuk (in-migration). Migrasi masuk sudah barang tentu berbanding lurus dengan kebutuhan pangan hingga perumahan dan inftrastruktur pendukung lainnya. “Kebijakan ini menjerat kependudukan. Kecuali bila 2 juta lapangan kerja itu tidak memicu migrasi masuk. Berapa ton beras yang harus disiapkan? Berapa ribu rumah yang harus dibangun? Pemerintah perlu mempertimbangkan hal itu,” tegas Seoroso. Isu lain yang menjadi sorotan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini adalah ancaman ledakan penduduk yang membayangi Jawa Barat. Mengutip pakar demografi yang juga Rektor Unpad, Ganjar Kurnia, dia memprediksi dalam 37 tahun ke depan bakal terjadi double population growth. Artinya, dalam 37 tahun ke depan penduduk Jawa Barat akan bertambah dua kali lipat. “Dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) tetap 1,89 persen, maka pada 2040 mendatang penduduk Jawa Barat akan bertambah menjadi 90 juta jiwa. Sementara itu, grand design kependudukan nasional

Soeroso Dasar Ada lagi isu strategis yang pernah diluncurkan Kepala Perwakilan BKKBN Jabar pada saat Rakerda Program KKB awal Februari 2013 lalu. Yakni, KB gratis. Soeroso optimistis bila KB gratis direalisasikan maka angka kesertaan ber-KB akan lebih baik. Selama ini, KB gratis hanya diberikan kepada keluarga miskin. Ke depan, Soeroso berharap KB gratis berlaku untuk seluruh keluarga Jawa Barat. “Kalau pendidikan bisa gratis, Jampersal bisa gratis, mengapa KB tidak? Bila KB tidak digratiskan, bukan tidak mungkin ancaman double population growth benar-benar terjadi,” kata Soeroso. Di sisi lain, Soeroso menjelaskan, konsolidasi IPKB yang dilaksanakan hari itu bertujuan menyelaraskan sekaligus merumuskan agenda stratgis pembangunan KB di Jawa Barat. Sebagai organisasi independen yang berkomitmen pada program KKB, IPKB berkepentingan untuk mengawal kebijakan pembangunan yang berpihak pada program KKB. Beberapa agenda IPKB dalam mengawal pembangunan KKB antara lain penguatan organisasi di kabupaten dan kota. IPKB juga akan berencana melaksanakan penguatan kapasitas anggota melalui pelatihan demografi dan program KB. Agenda lainnya berupa lomba penulisan kependudukan bagi kalangan media, IPKB Award bagi pengurus cabang IPKB, kemitraan radio komunitas, dan lain-lain.(NJP) EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

19


warta jabar

Implant Mampir di Mana? Catatan dari Bakti IBI Jawa Barat 2012 Penutupan Bakti Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa Barat 2012 yang dirangkaikan dengan pembukaan acara serupa tahun ini seolah membisikan nada sumbang di balik distribusi implant di Jawa Barat.

N

ada minor ini terendus ketika melihat pencapaian Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) Jawa Barat yang masih menyisakan sisa garapan. Dari target peserta baru program keluarga berencana (KB) pengguna alat kontrasepsi implant sebanyak 91.426 orang, realisasinya hanya 87.390 atau sekitar 95,59 persen. Angka tersebut mengundang pertanyaan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siti Fathonah. Pertanyaan ini muncul karena pihaknya selalu mendistribusikan implant ke seluruh kabupaten dan kota di Jabar secara utuh alias 100 persen. Di sisi lain, muncul keluhan ketiadaan alat kontrasepsi (Alkon) hormonal tersebut dari para bidan anggota IBI. Logikanya, dengan kiriman 100 persen dan tambahan pengadaan pemerintah kabupaten dan kota, kekurangan implant tak semestinya terjadi. “Ternyata kawan-kawan bidan masih kesulitan mendapatkan

20

implant. Masalahnya terletak pada distribusi. Setelah dipelajari, ternyata benar masalahnya distribusi. Implant ‘seret’ sampai ke bidan. Kasus ini hampir merata di kabupaten dan kota,” kata Fathonah usai membuka acara Bakti IBI Jabar di Bandung, 12 Februari 2013 lalu. Di mana mampirnya implant gratisan yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tersebut? Fathonah memperkirakan alkon kirimannya tertahan di gudang organisasi perangkat daerah (OPD) yang menangani KB di kabupaten atau kota. Aturan mainnya, BKKBN hanya berkewajiban mengirim sampai ke gudang OPD KB kabupaten atau kota. Sementara itu, pengiriman dari OPD KB ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) atau tempat pelayanan lainnya menjadi tanggungan pemerintah daerah. Yang lebih membuat keder Fathonah adalah ketika dia berkunjung ke sejumlah

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

puskesmas di kabupaten dan kota. Suatu ketika, dia menemukan adanya tumpukan implant di gudang puskesmas. Implant itulah kiriman BKKBN tersebut. Pada saat yang sama, dokter menggunakan implant lain yang bukan kiriman BKKBN. Mengaku penasaran, dia lantas bertanya kepada sang dokter. Jawabannya ngawur. Menurut dokter tadi, kualitas implant kiriman BKKBN tidak sebaik implant yang digunakannya. “Saya langsung minta ditunjukkan perbedaan implant dari BKKBN dan implant yang digunakan dokter. Ternyata sama saja. Banyak implant terbuang percuma gara-gara kelebihan stok. Padahal, banyak bidan praktik mandiri kesulitan mendapatkan implant,” Fathonah kesal. Menyiasati agar kasus serupa tidak terulang, salah satunya dengan menertibkan data distribusi alat kontrasepsi. Tahun 2013 ini BKKBN Jabar menjajaki distribusi langsung kepada vendor pelayanan KB. Selain mempercepat pengiriman, pihaknya juga berharap bisa mendapatkan laporan lebih cepat pula. Dia optimistis pola ini akan lebih tepat sasaran. Cara ini juga ditempuh dengan menguatnya misi


warta jabar kualitas pelayanan. Meningkatnya pelayanan diyakininya menjadi saran efektif bagi masyarakat untuk ber-KB. Pemakaian kontrasepsi yang memnberikan rasa aman merupakan sebuah tuntutan bagi para pelaku pelayanan.

Mobil Unit Pelayanan pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Angka 120 ribu IUD dan 87 ribu peserta tentu bukan angka kecil. Apalagi bila dihubungkan dengan misi lain Jawa Barat untuk menekankan peningkatan kualitas data pemakaian kontrasepsi. Artinya, akurasi data menjadi sebuah tuntutan. Niat baik lembaga pemerintah nonkementerian yang identik dengan warna biru tua dan biru muda diawali dengan menjalin kerjasama dengan Pengurus Daerah IBI Jawa Barat. Bagi BKKBN Jabar, para anggota korps buah delima ini merupakan mitra strategis program KB di masyarakat. “Kalau mereka kehabisan stok persediaan alat kontrasepsi, mereka akan merespons ke kami. Selanjutnya BKKBN akan berkoordinasi

Yang paling penting bagi saya adalah quality, kualitasnya. Maka menurut saya, bila para bidan dan dokter itu sudah dilatih maka efek samping atau kegagalan bisa diminimalisasi. Siti Fathonah

Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat

dengan kabupaten dan kota. Kabupaten dan kota itu yang kemudian mendistribusikannya kepada bidan,” papar Fathonah memberikan gambaran pelaksanaan kesepakatan antara BKKBN dengan IBI.

Demi Mendongkrak MKJP Mengingat betapa strategisnya peran bidan, BKKBN pun terus memberikan perhatian kepada vendor pasif pelayanan KB tersebut. Salah satu perhatian itu berupa pelatihan kepada tenaga medis, baik dokter maupun bidan. Tahun ini misalnya, BKKBN Jabar berencana memberikan petihan kepada 177 dokter dan 573 bidan. Selain mendapatkan pelatihan mengenai kontrasepsi terbaru, 1.522 tenaga medis juga mendapatkan pelatihan komunikasi interpersonal dengan alat bantu pengambilan keputusan. Apakah seri pelatihan yang dihelat setiap tahun tersebut berdampak langsung terhadap naiknya pemakaian MPJP? Fathonah tidak memberikan garansi. Bagi magister kesehatan masyarakat jebolan Paman Sam tersebut, pelatihan lebih diarahkan kepada peningkatan

“Yang paling penting bagi saya adalah quality, kualitasnya. Maka menurut saya, bila para bidan dan dokter itu sudah dilatih maka efek samping atau kegagalan bisa diminimalisasi. Itu kita rasakan. Nggak terlalu banyak kegagalan kontrasepsi. Masyarakat pun tidak perlu khawatir akan timbulnya efek samping pemakaian alkon,” tegas Fathonah. Belajar dari pengalaman, BKKBN bakal lebih mendorong lini lapangan untuk berperan lebih masif dalam mengadvokasi dan KIE atau komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat. Aktor lini lapangan inilah yang berkewajiban memberikan pemahaman kepada calon peserta KB. “Bidan dalam posisi pasif. Vendor ini hanya menunggu pasien atau peserta datang ke tempat pelayanan. Siapa yang datang ke pelayanan, tentunya kita harus melakukan upaya penggerakkan agar calon akseptor ini mau menggunakan alkon jangka panjang dan datang ke bidan atau dokter. Nah, upaya penggerakkan inilah yang kita tumpukkan kepada kawan-kawan lini lapangan, seperti PLKB, kader, pos KB, dan siapa pun yang ada di grass root atau lini lapangan akan kita manfaatkan,” kata Fathonah. Bila kemudian bidan akhirnya memberikan pelayanan KB jangka pendek, mantan Kepala BKKBN Kalimantan Barat mengaku tidak bisa menyalahkan bidan. Apalagi untuk kasus seretnya alkon. Bagaimanapun, sambung dia, penggunaan suntik atau pil dalam ber-KB masih lebih baik ketimbang tidak menjadi peserta KB sama sekali. (NJP)

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

21


warta jabar

PKK Mitra Terbaik BKKBN Jabar

A

da banyak mitra strategis Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di Jawa Barat. Dari sederet mitra itu, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Jawa Barat dianggap sebagai mitra kerja terbaik tingkat provinsi untuk tahun 2012 lalu. BKKBN pun mendaulat Ketua TP PKK Jabar Netty Prasetiyani Heryawan untuk menerima penghargaan istimewa tersebut pada saat Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 di Aula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jabar pada 5 Februari 2013 lalu. Pada kesempatan yang sama, terungkap fakta bahwa pemerintah provinsi Jawa Barat sukses menorehkan dua penghargaan di tingkat pusat. Pertama, penghargaan Pengelolaan Program Kerja Terbaik yang diserahkan oleh Menko Kesra Agung Laksono. Kedua, penghargaan sebagai Provinsi Terbaik Kedua dalam Advokasi dan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) program KKB. Inspektur Utama BKKBN Mieke Selfia Sangian yang menyerahkan penghargaan pada acara tersebut mengungkapkan, keterpilihan Jawa Barat merupakan hasil sinergi positif unsur-unsur pemerintah dan masyarakat. Mieke mencontohkan, prestasi Jabar dianggap moncer karena mulai dari ketahanan

22

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

TP PKK Jawa Barat

keluarga sampai partisipasi pria dalam KB maupun pembinaan keluarga. Usai menerima penghargaan, Netty Heryawan menilai prestasi yang dicapai Jabar ini tidak dapat dipisahkan dari adanya dukungan struktural dari pemerintah dan dukungan kultural dari masyarakat. Kesadaran kedua belah pihak akan peran masingmasing ini rupanya membawa hasil positif. “Pemerintah mendukung program pengendalian kependudukan ini melalui kebijakan dan anggaran. Adapun masyarakat mendukung melalui orang-orang dari lingkaran mereka sendiri yang terjun menjadi kader PKK dan KB,” papar Netty. Netty menambahkan, Jawa Barat merupakan satusatunya provinsi yang membuat terobosan dengan menambah tenaga lapangan, seperti kader PKK, KB, dan Posyandu. Selain itu, tokoh agama dan tokoh masyarakat pun ikut terjun dalam menyosialisasikan program pemerintah ini. Namun, Netty menolak jika gencarnya sosialisasi program KB ini disebut represif atau memaksa masyarakat. “Kebijakan represif pun tidak akan berguna, jika masyarakat belum menyadari pentingnya pengendalian kependudukan ini. Masyarakat harus tahu, kalau begini terus, Bandung bisa penuh, sampaisampai tidak ada lagi jalan untuk kendaraan. Oleh karena itu, yang terpenting adalah adanya komunikasi personal ke masyarakat,” tandas Netty.(NJP)


warta daerah

Ulama Pertanyakan Eksistensi BKKBN Masa-masa kemesraan ulama dengan BKKBN seperti tinggal kenangan. Bila dulu para ulama bergerilya bersama petugas lapangan KB di tengah masyarakat, kini tidak ada lagi pemandangan itu. Program KB pun meredup. Wajar bila kemudian ulama menyarankan BKKBN untuk ngaji kepada Orde Baru.

M

asih terbayang dalam benak KH Jaffar Sidiq Aqiel Siraj, pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon, ketika seorang santrinya diminta pulang oleh orang tuanya. Apa yang membuat Buya sulit melupakan momen itu? Alasannya sederhana. Kala itu, santriwati Pondok Pesantren Kempek tersebut baru saja mendapatkan beasiswa untuk meneruskan sekolah ke sebuah perguruan tinggi. Apa lacur, beasiswa urung diambil. “Saya bilang, Anda itu beruntung mendapatkan beasiswa. Anak saya saja kuliah dengan biaya sendiri. Tapi, bagaimana lagi? Orang tuanya yang memaksa dia harus pulang. Dia harus bergantian dengan adik-adiknya untuk meneruskan sekolah,” kata Buya Jaffar saat ditemui seusai salat Jumat di pesantren yang dipimpin di Desa Kempek, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada 8 Maret 2013 lalu. Pengalaman kecil kakak kandung Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqiel Siraj itu menyiratkan pesan bahwa upaya pendewasaan usia perkawinan (PUP) tidak cukup pada tataran remaja. Bagi Buya Jaffar, orang tua atau wali murid merupakan bagian tidak terpisahkan dari PUP. Alasannya, keputusan untuk menikah atau kawin tidak semata milik anak, melainkan milik orang tua atau bahkan lingkungan. Dengan nada tegas, Buya Jaffar menyimpulkan bahwa perkawinan pada usia muda rentan terhadap masalah. Terutama menyangkut kualitas keluarga itu sendiri. “Anak yang berkualitas itu lahir dari air mani yang berkualitas pula. Untuk menghasilkan mani berkualitas diperlukan asupan berkualitas, kematangan emosional. Bagaimana mau berkualitas kalau ketika dinikahkan mereka masih labil secara

emosional,” tandas Buya Jaffar. Dalam konteks ini, Buya Jaffar baik secara personal maupun sebuagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon mengaku setuju dengan adanya upaya pemerintah dalam mendongkrak usia perkawinan. Cuma saja, dia memberi catatan khusus. “Bila alasannya makan, saya tidak setuju. Ingat, rejeki sudah dijamin Allah swt. Saya setuju atas alasan kualitas dan kesehatan. Anak berkualitas itu lahir dari keluarga berkualitas. Selain pendidikannya, juga kecerdasan emosionalnya. Dalam aspek kesehatan, melahirkan pada usia ideal akan melahirkan anak yang sehat. Melahirkan terlalu sering juga kan mengancam kesehatan ibu. Untuk itu, saya setuju pendewasaan usia perkawinan dan program keluarga berencana,” ujarnya penuh semangat. “Saya percaya bahwa perkawinan ideal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki merupakan hasil penelitian para ahli. Untuk itu, saya mendukungnya. Kita harus memberikan penyadaran

Jaffar Aqiel Siraj EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

23


warta daerah bahwa menikah tidak cukup atas nama cinta. PUP merupakan upaya melahirkan keluarga berkualitas,” Buya Jaffar menambahkan. Putra pendiri Majlis Tarbiyatul Mubtadiien (MTM) Pondok Pesantren Kempek KH Aqiel Siraj ini menyangkan pemerintah sendiri tidak kompak dalam mengupayakan PUP. Sebuat saja misalnya keberadaan Undangundang Perkawinan yang mengatur batas usia perkawinan bagi perempuan pada 16 tahun dan bagi laki-laki pada usia 19 tahun. Hal ini jelas kontradiktif dengan spirit PUP itu sendiri. Di sisi lain, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dianggapnya sudah melupakan mitra yang dibangunnya seperti pada masa Orde Baru. Buya lantas menceritakan pengalamannya bergerilya bersama BKKBN mengajak

masayarakat untuk ikut program keluarga berencana (KB). Dia mengaku masih ingat betul ketika menyambangi kegiatan pos pelayanan terpadu (Posyandu) atau keliling memberikan ceramah pentingnya program KB. “Sekarang BKKBN ada di mana? Dulu kegiatan posyandu di manamana, sekarang mana? BKKBN seperti sudah melupakan mitranya. Untuk membangkitkan kembali program KB diperlukan adanya kemitraan antara BKKBN dengan para ulama maupu pihak-pihak lain yang berhubungan dengan masyarakat,” tandas dia. Apa yang dilakukan Buya untuk mendukung PUP? “Saya selalu mengimbau kepada santri agar terus menempuh pendidikan. Logikanya, kalau mereka berhenti dari pesantren dan pulang ke rumahnya, apa yang mereka lakukan? Apalagi bagi perempuan,

tidak lama kemudian akan menikah. Apalagi bagi keluarga yang tidak mampu. Mereka harus memberangkatkan anaknya ke pesantren secara bergantian. Alasannya biar adil. Bemang begitu faktanya, kita tidak bisa mengabaikan keberadaan orang tua dalam mengupayapan PUP,” ungkap Buya. Ada pesan menarik yang disampaikan Buya Jaffar kepada pemerintah untuk merevitalisasi program KB. Menurutnya, pemerintah harus ngaji lagi kepada Orde Baru, belajar kepada pengalaman pemerintah Orde Baru dalam menjalankan program KB. Namun demikian, tidak semua kebijakan Orde Baru bisa diadopsi. Alasannya, pada era otonomi daerah, pemerintah daerahlah yang kini dituntut berperan lebih banyak dalam pembangunan program KB.(NJP)

BKKBN Gelar Tri Lomba Kependudukan Penulisan Kreatif – Pidato – Weblog

J

angan biarkan ide menguap begitu saja. Segera tuangkan dalam bentuk tulisan kreatif, pidato yang memikat, atau blog yang ciamik. Mereka yang berhasil menuangkan gagasan orisinalnya secara sistematis dan keren berpeluang membawa pulang hadiah jutaan rupiah dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kepala Sub Bidang Pendidikan Kependudukan Perwakilan BKKBN Jawa Barat Wawan Ridwan menjelaskan, sebelum dikirim ke tim penilai pusat yang dipimpin Arswendo Atmowiloto, pihaknya akan menyeleksi terlebih dahulu di tingkat provinsi. Jangan salah, pemenang di tingkat provinsi juga akan diganjar hadiah jutaan rupiah pula. Bila di tingkat pusat pemenang pertama akan mendapat hadiah Rp 7 juta, pemenang tingkat provinsi akan mengantongi uang tunai Rp 2,5 juta. Dengan begitu, pemenang provinsi yang kemudian menang

24

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

di Jakarta bisa membawa pulang hingga Rp 10 juta. “Lomba terdiri atas penulisan kreatif, pidato, dan blog. Semuanya mengusung tema Kependudukan di Indonesia. Lomba diperuntukkan bagi remaja (15-19 tahun) dan dewasa muda (20-24 tahun). Tim penilai akan memilih 10 besar dari 33 provinsi yang akan dilombakan untuk menjadi pemenang tingkat nasional. Pemenang terbaik tingkat Nasional I, II dan III akan diundang untuk mengikuti sejumlah acara kenegaraan bersama Presiden,” terang Wawan. Kecuali blog, seluruh kontestan mengirimkan karyanya ke kantor Bidang Pengendalian Penduduk Perwakilan BKKBN Jawa Barat, Jalan Surapati Noomor 122 Bandung, paling lambat diterima 27 Juni 2013. Peserta juga bisa mengirimkan karnya melalui email dengan alamat: penduk_jabar@ yahoo.com. Informasi dan ketentuan lomba bisa diakses melalui website BKKBN Jabar dengan URL www.jabar.bkkbn.go.id. (*)


warta jabar

Pemilihan Duta KKB 2013

Karena Budaya Mereka Menikah Muda 60% Kontestan Duta KKB Presentasi Lebih dari Satu Bahasa Asing

A

da yang membuat puyeng Siti Fathonah, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat, ketika mencermati laporan sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Rupanya pengetahuan tentang usia kawin ideal masih belum sejalan dengan fakta fertilitas di Jawa Barat. Ketika responden ditanya kapan usia kawin ideal bagi perempuan, maka jawabannya adalah 20 tahun. Ironisnya, media usia kawin pertama di Jawa Barat sungguh jeblok. Setali tiga uang dengan angka fertilitas. Alihalih turun, angka fertilitas usia 15-19 tahun malah naik dari 36 tahun menjadi 48 per 1.000 kelahiran. “Ini menyangkut budaya. Tidak cukup 10-15 tahun untuk mengubahnya,” keluh Fathonah saat dicegat sesaat sebelum menutup rangkaian pemilihan Duta Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) tingat Provinsi Jawa Barat di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 19 Maret 2013.

Secara kultural, nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Jawa Barat memang kurang mendukung bagi pendewasaan usia perkawinan (PUP). Fathonah mencontohkan ungkapan populer “Banyak anak banyak rejeki.” Wajar bila kemudian banyak remaja memutuskan menikah begitu lulus sekolah menengah atas (SMA) atau bahkan yang belum menyentuh pendidikan 12 tahun tersebut. Masalah kian pelik ketika digiring ke ranah agama. Ungkapaan daripada zina, misalnya. Katakata itu menjadi pil pahit bagi program PUP. Pil makin terasa pahit manakala menengok Undangundang Perkawinan yang memperbolehkan seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun. “Padahal Undang-undang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak merupakan usia nol hingga 18 tahun,” kata Fathonah yang ikut menggagas program Pusat Informasi Konseling Remaja (PIKR) tersebut. “Nikah muda di Jawa Barat lebih dipicu akibat culture, turun temurun. Sejumlah orang tua meminta EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

25


warta jabar anaknya menikah setelah lulus SMA dengan alasan orang tuanya harus mengurus adik-adiknya. Di sinilah tantangannya. Perlu penanaman nilai dalam keluarga itu sendiri. Banyak value yang tidak berpihak pada PUP di Jawa Barat,” Fathonah menambahkan. Dia lantas membeberkan angka median kawin pertama di Indonesia. “Jawa Barat nomor satu dari bawah,” ujarnya sambil mengulum senyum. Dengan angka 18,7 tahun, Jawa Barat berada di posisi buncit. Padahal, angka nasional nyaris

Linda Herliany mendekati angka 20 tahun. Bahkan, beberepa provinsi di antaranya sudah bertengger di atas angka 20 tahun. DKI Jakarta misalnya, media kawin pertama ibu kota ini sudah mapan di posisi 23 tahun. Pun dengan Sulawesi Utara dan Yogyakarta yang sukses melewati angka 20 tahun. “Kita hanya bisa membela diri dengan mengatakan bahwa perempuan Jawa Barat memang cantik-cantik,” lagi-lagi Fathonah tersenyum. Berharap kepada Duta Remaja dan Mahasiswa Sadar benang kusut terlalu sulit diurai, BKKBN pun menaruh asa tinggi kepada Duta KKB, baik remaja maupun mahasiswa, untuk menjadi pionir di lingkungan masing-masing. Para duta inilah yang diharapkan menjadi model remaja ideal sekaligus motivator bagi sebayanya. Melalui mereka inilah PUP diperkenalkan. Bagi Duta Mahasiswa, peran mereka juga dituntut lebih dengan kewajiban ikut memberikan perhatian kepada remaja lainnya. “Melalui ajang ini dihadarapkan lahir generasi yang bertanggung jawab terhadap kesehatan reproduksi, tanggung jawab mereka terhadap sesasama mahasiswa, bahkan care terhadap adik-adiknya, generasi di bawah mereka. Tidak setiap orang memiliki kesempatan

untuk menjadi seorang mahasiswa,” harap Fathonah.

memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis.

Bagi Fathonah, program Generasi Berencana (Genre) yang salah satu agendanya berupa pemilihan Duta KKB merupakan salah satu cara yang ditempuh BKKBN dalam pembangunan KKB bagi kalangan muda. Sejumlah agenda lainnya juga digenjot untuk menyosialisasikan kesehatan reproduksi. Para duta inilah kelak mengemban tanggung jawab sebagai ujung tombak di kalangan sebayanya.

Lebih jauh Linda menjelaskan, pemilihan Duta KKB Jabar tahun ini diikuti 63 peserta dari 26 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Dari jumlah tersebut, 24 di antaranya merupakan mahasiswa. Namun begitu, kategori remaja juga terdapat mereka yang sudah menyandang status mahasiswa. Bedanya, remaja yang mahasiswa ini datang dari komunitas PIKR. Sementara 24 mahasiswa lainnya berasal dari Pusat Informasi Konseling Mahasiswa (PIKM).(NJP)

“Ini trigger saja untuk program kesehatan reproduksi remaja, banyak juga program lainnya. Jenisnya bermacam-macam, ini mengambil khusus di level mahasiswa. Ada beberapa kriteria untuk menentukan pemenang. Intinya adalah wawasan mereka tentang isu-isu mengenai kespro remaja, juga menguji kecerdasan dan pemahaman mereka tentang kespro. Ada juga wawasan lain yang lebih umum,” papar perempuan yang lebih suka disapa Bunda ini. Bahasa Inggris Jadi Prasyarat Utama Kepala Sub Bidang Bina Ketahanan Remaja BKKBN Jabar Linda Herliany menjelaskan, pemilihan tahun ini mewajibkan peserta unjuk gigi dalam bahasa Inggris. “Di tingkat nasional, sebagian besar peserta menguasai bahasa asing secara aktif lebih dari tiga bahasa. Alhamdulillah, penguasaan bahasa Inggris peserta Jabar tahun ini lebih baik dibanding tahun sebelumnya,” terang Linda sumringah. Linda yang ditemui usai babak perkenalan peserta menjelaskan, sekitar 60 persen peserta yang didominasi kategori remaja ini menguasai bukan hanya bahasa Inggris. Sejumlah peserta mencoba memperkelankan diri mereka dalam dalam bahasa Belanda, Arab, Jepang, Prancis, Korea, Mandarin, dan lainlain. Ada juga yang mengenalkan diri dalam dua bahkan tiga bahasa sekaligus. Peserta asal Kabupaten Kuningan misalnya, mengenalkan dirinya menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Duo bahasa InggrisArab juga digunakan peserta pria wakil Kabupaten Bogor. Sementara peserta perempuan Kabupaten Bogor

Pemenang Duta KKB 2013 Kategori Mahasiswa Arief Kurnia Miharja (KBB) Arlan Hardiyan (Kota Depok) Abdullah M Naufal (Kab. Bogor) Farhanisa S Maimoon (Kota Depok) Shanty Ratna Gumilar (Kota Tasikmalaya) Sarah Nurfadilah (Kab. Bekasi)

Kategori Remaja Yafet (Kab. Purwakarta) Ricky Aristyandi (Kab. Karawang) Riki Riswanto (Kab. Bandung) Bianka Ayu Panggih (Kota Bandung) Azizah Fauziah (KBB) Maylina (Kab. Indramayu)


warta jabar

Siap Sukseskan Jawa Barat di Ajang Tingkat Nasional Duta Remaja dan Mahasiswa KKB Jawa Barat Terpilih Dari Kegiatan Pemilihan Duta Remaja dan Mahasiswa Tingkat Provinsi Jawa Barat, 18-20 Maret 2013, Empat orang duta terpilih siap bertarung dan sukseskan Jawa Barat di ajang tingkat Nasional.

E

mpat orang ini dipilih Dewan juri yang diketuai Mien Julietty – beranggotakan empat orang juri lainnya – berdasarkan pengetahuan dan wawasan para nomine dalam program KKB, Genre dan PIK, Kebudayaan, Bahasa Inggris dan wawasan tentang Kesehatan Reproduksi (Kespro). Di final hadir pula Kepala BKKBN Jawa Barat, Siti Fathonah yang menjadi juri kehormatan. Poin-poin inilah yang kelak akan melekat pada tugas para duta KKB ke depannya. Proses nominasi sendiri berlangsung selama tiga hari, mulai dari hari Senin hingga hari Rabu di Grand Hotel Lembang, Bandung Barat. Mereka yang terpilih adalah empat yang terbaik diantara 41 nomine duta remaja dan 28 nomine duta mahasiswa tingkat kabupaten/ kota. Duta remaja putra dan putri masingmasing diraih Yafet dari Kabupaten Purwakarta dan Bianka Ayu Panggih dari Kota Bandung. Sementara duta mahasiswa Jawa Barat akhirnya dianugerahkan pada Arief Kurnia Miharja dari kabupaten Bandung Barat dan Farhannisa Suri Maimoon, asal Kota Depok. Yafet, nama singkat ini adalah Duta Remaja Putra terpilih untuk tingkat Jawa Barat. Enerjik dan komunikatif menjadi pembawaannya yang dominan. Itu pula yang memukau dewan juri sehingga pegiat PIK/R Purwakarta ini terlihat lebih menonjol. Lainnya,

Pemilihan Duta KKB 2013

kelancaran berbahasa inggris, wawasan akan program dan keterampilannya di bidang seni Jaipongan dan Pencak Silat menjadikannya sukses menyisihkan 16 orang nomine lainnya. Terpilih sebagai Duta Remaja putri, Bianka Ayu Panggih sukses menyisihkan 23 kontestan lainnya. Pelajar SMA 22 Bandung ini memiliki pembawaan yang ceria, tak heran karena dia memiliki hobi bermusik dan menari. Penguasaan bahasa inggris ternyata tak membuatnya lupa akan budaya sendiri. Hal itu terlihat dalam penampilannya yang elegan saat berbalut busana daerah Sunda. Selain wawasan, salah satu keunggulannya sehingga terpilih sebagai Duta Remaja Putri adalah segudang aktivitas sosial yang diikutinya. Lama Aktif di pramuka, mojang Bandung ini pernah diberi penghargaan atas kiprahnya sebagai Relawan Antinarkoba di kotanya. Untuk Duta Mahasiswa, rasanya pemilihan Arief Kurnia Mihardja tak perlu diragukan lagi. Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro di Institut teknologi Bandung ini telah meraih berbagai penghargaan bergengsi. Satu di antaranya adalah sebagai Duta Bahasa Favorit Pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2012. Arief juga pernah menyabet pemenang kedua Mandiri Young Technopreuner Award 2012, yang membuat dia mendapatkan dana hibah sekitar 1 milyar rupiah untuk membangun kawasan yang dia kelola. Tentu saja di bidang keluarga berencana, Jajaka Sunda dengan segudang kemampuan ini merupakan Duta Mahasiswa Generasi Berencana Terpilih untuk Kabupaten Bandung Barat. Sebagai pasangannya, Farhanissa Suri Maimoon, asal Kota Depok tentu saja tak kalah mentereng prestasinya. Mahasiswi Prodi Sastra Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini telah berkecimpung di PIK-M sejak 2012, di bawah naungan Lembaga Demografi UI. Selain prestasinya sebagai model di berbagai ajang lomba, berbagai aktivitas ekstrakurikuler yang diikutinya sukses membuatnya terpilih sebagai Duta Mahasiswa Putri Generasi Berencana Jawa Barat. Meskipun kelahiran Medan, Nisa, begitu dia dipanggil, siap untuk mengharumkan nama Jawa barat di ajang pemilihan nasional. (ZDN) EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

27


warta daerah

Dari Majelis Taklim Hingga Gereja dan Vihara Cara KBPP Kota Tasikmalaya Genjot Program KB Setiap tempat adalah forum KB alias keluarga berencana. Prinsip itulah yang kemudian mendorong Kepala Kantor Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPP) Kota Tasikmalaya Nunung Kartini untuk terus mengampanyekan pentingnya pengendalian penduduk dan program KB pada setiap kesempatan.

L

idahnya sudah hapal betul angka-angka statistik program KB di daerah seluas 184,38 kilometer persegi tersebut. Angka-angka itulah yang dijadikan menu setiap kali berhadapan dengan massa. Perempuan yang akrab disapa Bu Haji ini menyampaikan faktafakta demografi tersebut di rapatrapat resmi, pengajian, hingga peresmian proyek. “Mari kita lihat angka kelahiran bayi pada 2011 lalu. Dengan kelahiran setahun 10.469 bayi, berarti setiap jamnya lahir 1,2 bayi. Angka ini berhasil ditekan melalui program KB. Dengan angka ber-KB 90.578 pasangan, maka kelahiran tercegah mencapai 22.474 bayi,” tandas Nunung berpi-api. Nunung yang pada 19 Februari 2013 lalu berbicara pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Sektral Bidang KB dan PP yang bersamaan dengan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Program KB dan Kesehatan mengungkap fakta mencengangkan. Dia mengasumsikan program KB tidak dilaksanakan sehingga angka 22.474 bayi dibiarkan lahir.

28

Nunung Kartini Hasilnya, maka dalam enam tahun ke depan akan hadir 21.361 murid baru sekolah dasar (SD). Dengan murid sebanyak itu, Pemerintah Kota Tasikmalaya membutuhkan 534 ruang kelas baru (RKB) dan guru baru sebanyak 1.068 orang. Wow! Lingkungan hidup juga menerima dampak tidak kalah serius. Kelahiran sebanyak itu akan menambah “produksi” sampah sekitar 11 ton per hari atau 337 per bulan. “Bisa dibayangkan, berarti dalam satu tahun produksi sampah mencapai 4.045 ton. Sampah sebanyak itu mau dibuang ke mana?” Nunung menambahkan. Ditemui usai acara yang diikuti aparat kewilayahan dan pimpinan pusat kesehatan masyarakat

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

(Puskesmas) tersebut, Nunung lantas menceritakan beberapa kegiatan yang dilaksanakan kantornya sepanjang 2012 lalu. Pernah pada hari dia menyambangi majelis taklim yang dihelat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tasikmalaya. Memang lembagalembaga keagamaan inilah salah satu mitra idola Nunung untuk menyosialisasikan program KB. “Acaranya dilaksanakan di Masjid Agung setiap Rabu. Bila biasanya pengajian rutin tersebut diisi kajian tafsir, hari itu saya menyampaikan ceramah bab KB. Jeda beberapa bulan kemudian, saya mendapat kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada ibu-ibu pengajian dengan cara menghadirkan mobil pelayanan KB di halaman masjid. Alhamdulillah sambutannya luar biasa,” ujarnya sumringah. Strategi menggandeng kalangan agamawan bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Nunung mengaku mendengar dari pernyataan seorang wartawan tentang adanya penolakan ulama terhadap program KB. Alihalih miris, Nunung yang malah menjadikan pernyataan tersebut jadi motivasi. Dia pun merasa perlu terjun langsung memimpin advokasi program KB untuk bagi setiap pemangku kepentingan. Selain menyambangi ulama, dia juga sowan ke kalangan agama lain di Kota Santri. Sebut saja misalnya kebaktian minggu Katolik dan Protestan atau pertemuan kaum


warta daerah Konghucu. Yang menarik, selain mendapat sambutan hangat, Nunung cs mendapat dukungan luar biasa. Dia mencontohkan, suatu ketika pihaknya bekerjasama dengan kalangan Konghucu menggelar pelayanan KB di vihara. Nah, mulai konsumsi, pengadaan tenda, spanduk, dan lain-lain sudah disediakan pihak vihara. Praktis, Nunung hanya tinggal memarkir mobil pelayanan di halaman vihara dan menyediakan tenaga medis. “Mulai 2011 lalu saya menggencarkan pelayanan KB bekerja sama dengan kalangan agama. Mereka ternyata welcome. Mereka senang karena merasa keberadaannya diakui pemerintah. Opini yang mengatakan tokoh agama resisten terhadap program KB ternyata salah. Dengan alasan visi Kota Tasikmalaya sebagai kota islami, ada yang mengatakan bahwa tokoh agama menolak. Saya dobrak itu. Saya datangi masjid, gereja, vihara, dan forum-forum keagamaan lainnya,” tegas Nunung.

KB Gratis Apa yang ditemukan Nunung setelah “blusukan” di kota yang dihuni 635.424 jiwa tersebut? Selain menemukan bantahan terhadap klaim penolakan kalangan agawaman, peraih gelar magister bidang pendidikan ini menemukan satu fakta lainnya: masyarakat masih sangat mengharapkan pelayanan KB secara gratis. Nunung pun mengaku bisa memahami hal itu. Menurut Nunung, Kota Tasikmalaya memang memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur bahwa pelayanan gratis hanya diberikan bagi pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Selebihnya, pelayanan kesehatan dan KB dikenakan restribusi. Nah, pelayanan mobile yang digabungkan dengan kegiatan mengabaikan restribusi itu. Calon peserta KB bisa mendapatkan pelayanan cumacuma. “Alat kontrasepsinya memang

Pelayanan KB di Masjid Agung Tasikmalaya (atas). Pelayanan KB di Gereja Sion Tasikmalaya (kanan).

disediakan gratis oleh BKKBN melalui Kantor KBPP. Namun, selain pemegang Jamkesmas dan Jamkesda dikenakan restribusi pelayanan,” Nunung memberikan klarifikasi. “Wajar bila masyarakat yang tidak memiliki Jamkesmas dan Jamkesda ingin dilayani gratis pada saat pelayanan safari,” dia menambahkan. Sadar akan hal itu, KBPP pun getol menjalin jejaring dengan sejumlah pemangku kepentingan. Dalam makna positif, Nunung boleh dibilang melakukan apapun untuk menggalakkan program KB. Tak ada alasan kekurangan anggaran untuk usaha menekan laju pertumbuhan penduduk (LPP) ini. Meski anggaran kantornya kembang-kempis, Nunung secara lincah menggandeng lembaga lainnya, pemerintah maupun swasta. Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu pihaknya menggelar pelayanan terpusat di Gedung Juang. Gedung itu dipilih bukan tanpa alasan. Akhir tahun itu anggaran kantornya habis digunakan untuk membiayai program selama setahun. Untuk menyiasatinya, dia menggandeng Kodim Tasikmalaya yang nota bene

pemilik gedung tersebut. “Kalau menyewa harganya Rp 4 juta,” bisik Nunung. Selesai urusan tempat, Nunung masih merasa perlu gong kegiatan akhir tahun tersebut berlangsung lebih wah. Tim KBPP langsung gerilya mencari dukungan. Di antara mitra yang berhasil digaet tersebut adalah Perum Pegadaian. Perusahaan pelat merah itulah yang kemudian menyediakan doorprize, seperti televisi dan tetek bengek hadiah lainnya. Ada juga pengembang perumahan yang ambil bagian dengan menyediakan payung cantik untuk peserta baru KB. “Ini kali pertama Pegadaian ikut pelayanan KB. Kami menyediakan waktu 15 menit kepada Pegadaian untuk menyosialisasikan programnya. Nah, di depan juga disediakan pencucian emas. Jadi, setelah mendapat pelayanan mereka bisa mencuci emas secara gratis di stand Pegadaian. Sinergi ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Tahun ini kami akan terus mengembangkan kemitraan dengan berbagai kal angan agar masyarakat bisa mendapatkan pelayanan KB secara gratis dan berkualitas,” ujar Nunung bangga.(NJP)

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

29


warta daerah

Membangun Sinergi dari Lini Paling Bawah Belajar dari Puskesmas di Kota Bogor

E

skpresi Lindawati, Kepala Puskesmas Bogor Timur, tampak gregetan ketika menceritakan pengalamannya selama dua pekan melakukan kunjungan lapangan di wilayah kerjanya. Dokter gigi magister kesehatan masyarakat ini mengaku tidak habis pikir ketika menemukan keganjilan di tengah masyarakat miskin. Keganjilan itu memang lumrah di tengah masyarakat. Sejumlah keluarga miskin yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya masih kesulitan ternyata memiliki lebih dari dua anak. Lindawati menduga faktor budaya tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial ini. “Coba Bapak bayangkan, seorang penunggu parkir motor di Katulampa anaknya sudah tiga orang. Padahal, dia masih muda. Kalau dihitung, pendapatan suaminya dari menunggu parkir itu berapa? Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan asupan gizi anaknya dengan baik? Ketika saya tanya mengapa punya anak banyak, dia hanya tersenyum,� Lindawati menceritakan pertemuannya dengan sebuah keluarga di dekat Bendung Katulampa, Bogor.

program pemerintah. Pengalamannya selama mengelola puskesmas bersertifikat ISO tersebut menunjukkan adanya keengganan keluarga menjadi peserta KB dengan alasan ini-itu. Kalaupun mau, sebagian besar di antaranya memiliki kontrasepsi jangka pendek berupa pil dan suntik. “Banyak faktor yang menyebabkan sebuah keluarga miskin punya anak banyak. Kemungkinankemungkinan itu pada umumnya antara lain berupa faktor pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang memadai, juga budaya atau tradisi yang hidup di masyarakat. Meski termasuk kota, di Bogor saja sejumlah kalangan menganggap bahwa banyak berarti banyak rejeki,� Lindawati mencoba memberikan analisis. Dalam dekapan budaya patriaki, sambung Lindawati, perempuan juga tidak berdaya menghadapi keinginan laki-laki. Dia mencontohkan,

Sebagai pengelola puskesmas, ibu muda ini memang nyaris setiap hari berhadapan dengan masalah kelahiran atau setidak-tidaknya kehamilan. Maklum, pihaknya mendapat titah wajib dari negara untuk memberikan pelayanan keluarga berencana (KB), sejak kehamilan hingga pascapersalinan. Jampersal alias jaminan persalinan mengharuskan tenaga kesehatan untuk memberikan layanan persalinan secara cumacuma kepada seluruh perempuan melahirkan. Dalam benak Lindawati, fasilitas cuma-cuma dianggap kurang klop dengan spirit pengendalilan penduduk melalui program KB. Padahal, dua-duanya

30

EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

Lindawati


warta daerah rumah keluarga yang di dalamnya terdapat ibu hamil tersebut menjadi alat kontrol tenaga kesehatan. Idealnya, stiker tersebut cukup menjadi entry point dibangunnya sinergi antara lini lapangan kesehatan dan KB. Bagi petugas kesehatan, informasi yang disajikan lembar tersebut bermanfaat dalam penanganan persalinan aman dan sehat. Ya, stiker tersebut memuat informasi nama ibu, taksiran persalinan. penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi, dan calon pendonor darah.

Kantong Ibu Hamil sejunmlah ibu melahirkan memutuskan tidak ber-KB karena dilarang suami. Padahal, alat kontrasepsi suntik atau pil tidak memerlukan persetujuan suami. “Harusnya (Jampersal) untuk dua anak, seperti semboyan BKKBN. Karena Jampersal itu gratis, harusnya setelah melahirkan ada penekanan lebih kepada ibu melahirkan harus ber-KB. Kalau lebih dari dua, harus KB mantap atau MKJP. Kalau belum dua, diinformasikan untuk ber-KB non-MKJP. Masyarakat harus diedukasi bahwa peran orang tua itu bukan hanya memberi makan, tapi pendidikan sampai mengantar seseorang berhasil,” ujar Lindawati penuh semangat. Sadar kompleksnya masalah, Lindawati menilai sudah saatnya semua lini bahu-membahu menyukseskan program KB. Bila selama ini KB identik dengan urusan BKKBN atau Kementerian Kesehatan, ke depan KB harus menjadi urusan bersama. Sinergi pun menjadi sebuah keharusan. Bahkan, sejak lini paling bawah sekalipun. Sinergi harus dibangun antar petugas, baik mereka yang berafiliasi dengan kesehatan maupun sektor lainnya. “Intinya edukasi kepada masyarakat supaya masyarakat bisa ber-KB. Edukasi harus dilakukan oleh Dinas Pendidikan melalui sekolah atau Kementerian Agama melalui madrasah dan KUA. Harusnya KUA mengedukasi perencanaan kehamilan keluarga tersebut. Dengan begitu, sebelum menikah sudah mendapatkan informasi mengenai perencanaan kehamilan, jarak ideal punya anak, dan lain-lain,” tandas dia.

Menaksir Kelahiran dari Stiker Merah Jambu Tengoklah beberapa rumah di Kota Bogor. Di sana tampak stiker merah muda dengan gradasi biru di tepi atas dan bawahnya. “Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi,” demikian tulisan yang tertera di atas stiker. Stiker yang ditempel bagian dengan

Bagi petugas lapangan KB atau PLKB, informasi tersebut memandu kapan harus berkomunikasi, memberikan informasi, dan mengedukasi (KIE) ibu hamil tentang peogram KB. Meski PLKB memiliki data keluarga, informasi ibu hamil tersebut sejatinya menjadi komplementer terhadap kelemahan data atau sumber daya PLKB yang terus tergerus. Dengan munculnya tanggal perkiraan persalinan, seorang PLKB bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai meng-KIE. Seorang bidan yang ditemui di Puskesmas Puloarmin, Kota Bogor, stiker ibu hamil ini memungkinkan PLKB untuk melakukan KIE jangka panjang. Sasaran pun tak melulu ibu hamil, melainkan anggota keluarga lainnya. Maklum, ibu hamil atau ibu melahirkan bukan satu-satunya pengambil keputusan dalam ber-KB. “Ke sini PLKB datang hanya saat safari pelayanan dan mengambil laporan bulanan,” keluh bidan paruh baya tersebut. Penggunaan kontrasepsi sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkah dari upaya lembaga kesehatan mengupayakan kehamilan aman dan sehat. Dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak yang menjadi pegangan ibu hamil di dalamnya sudah memasukkan informasi tentang alat kontrasepsi. Tentu, tidak dilengkapi dengan rasionalisasi perlunya pengendalilan penduduk atau analisis dampak kependudukan terhadap masalah kehidupan. Tak hanya itu, puskesmas juga memiliki instrumen pengendalilan persalinan berupa kantung ibu hamil. Sesuai namanya, taksiran kelahiran ini berisi 12 kantong sesuai nama bulan. Melalui kantong ini bidan bisa mengetahui kapan seorang ibu mulai hamil dan perkiraan waktu melahirkan. Melengkapi perangkat, puskesmas memiliki setumpuk formulis isian. Hasil pencatatan diolah hingga kemudian melahirkan sejumlah diagram dan grafik. Sebut saja misalnya grafik peserta aktif KB per kelurahan hingga grafik cakupan KB menurut kontrasepsi. Mereka juga mencatat sesuai kohort KB, bayi atau kelahiran. “Setiap ibu hamil dicatat dalam enam buku berbeda. Kadang waktu kami habis untuk urusan administrasi,” ujar bidan puskesmas yang belum ISO tersebut.(NJP) EDISI 11 TAHUN IV FEBRUARI 2013

31



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.