Warta Kencana Edisi #20 - 2014

Page 1



WARTA MENU UTAMA EDISI INI

A 9

WARTA UTAMA

Episode Baru Review Penghujung RPJMN

5

WARTA UTAMA

11

WARTA UTAMA

12

WARTA UTAMA

Hingga Akhir Tahun Keroyokan di 12 Daerah Jawa Barat Semakin di Depan 10 Ribu Implant, 5 Ribu IUD

da yang berbeda dari telaah alias review program KKBPK tengah tahun 2014 ini. Bila sebelumnya review bisa kelar dalam sekali rapat satu-dua hari, kali ini tidak demikian. Kegiatan pun berlangsung berbulanbulan. Metode ini dipilih untuk memastikan bahwa pengelola program di daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, memahami betul kondisi daerahnya. Pengelola mengatehui masalah yang dihadapi sekaligus berupaya merumuskan langkah yang harus dilakukan.

18 WARTA JABAR 26 WARTA DAERAH Sugilar Pulang Kampung

Baznas Makin Peduli Keluarga Prasejahtera

20 WARTA JABAR 28 WARTA DAERAH Yarena Mengasuh Anak Tanggung Jawab Semua

22

WARTA JABAR 5 Tahun Menunggu BKKBD

Ridwan Kamil Ingin Reformasi Program KB

29 OPINI

Mewaspadai Pertumbuhan Penduduk

14 WARTA UTAMA 24 WARTA DAERAH 31 PERSONA Dari Pegal sampai Benang Nojos

Mengajak Ber-KB dari Udara

Pejuang KB Tiada Akhir

WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat diterbitkan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan bingkisan menarik dari redaksi. Penasehat: Kepala BKKBN Jawa Barat Siti Fathonah Dewan Redaksi: Rahmat Mulkan, Ida Indrawati, Tetty Sabarniati, Yudi Suryadhi, Rudy Budiman, Soeroso Dasar Pemimpin Redaksi Rudy Budiman Wakil Pemimpin Redaksi: Elma Triyulianti Managing Editor: Najip Hendra SP Tim Redaksi: Arif R. Zaidan, Chaerul Saleh, Agung Rusmanto Kontributor: Achmad Syafariel (Jabotabek), Akim Garis (Cirebon), Aa Mamay (Priangan Timur), Yan Hendrayana (Purwasuka), Anggota IPKB Jawa Barat, Rudini Fotografer: Dodo Supriatna Tata Letak: Litera Media Grafika Sirkulasi: Ida Farida Percetakan Litera Media - 022 87801235 www.literamedia.com Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085 Fax : (022) 727 3805 Email: kencanajabar@gmail. com Website: www.duaanak.com

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

3


WARTA REDAKSI

Hari Kontrasepsi Sedunia

B

ila ada pertanyaan, tahukah bahwa dunia memiliki Hari Kontrasepsi? Barangkali tak banyak yang menjawab tahu. Bahkan, bukan tidak mungkin ada yang belum pernah mendengar sekalipun. Padahal, Hari Kontrasepsi boleh jadi menjadi semacam simbol kepedulian masyarakat internasional pada program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). Ya, World Contraception Day (WCD) atau Hari Kontrasepsi Dunia diluncurkan kali pertama di seluruh dunia pada 26 September 2007. Empat tahun sebelumnya, pada 2003 lalu WCD diiniasi di Uruguay. Inisiatif datang dari Schering atau sekarang menjadi Bayer dan Centro Latinamerico Salud de la Mujer (CELSAM). Namun demikian, Hari Kontrasepsi Dunia mulai rutin diperingati mulai 2007. Mulai 2013, Your Life yang sebuah brand yang dikembangkan secara khusus untuk Hari Kontrasepsi Dunia, meluncurkan tema besar yang akan menjadi payung bagi tema-tema tahun berikutnya dan bisa disesuaikan dengan sub tema khusus di negara atau kawasan tertentu. Apa sesungguhnya makna Hari Kontrasepsi Sedunia bagi Indonesia? Jawabannya sederhana, agar kita selalu sadar dan ingat bahwa kontrasepsi adalah kebutuhan utama keluarga dalam rangka membentuk keluarga kecil bahagia sejahtera. Hal ini sejalan dengan tujuan Hari Kontrasepsi Sedunia, yaitu untuk meningkatkan kesadaran semua pihak mengenai kontrasepsi dan meningkatkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Bagi Jawa Barat, Hari Kontrasepsi Sedunia tentu sangat relevan dengan spirit pembangunan KKBPK. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 43 juta jiwa, dengan 12 juta pasangan usia subur (PUS), Hari Kontrasepsi Sedunia merupakan momentum penyadaran pentingnya pengendalian penduduk dan program KB serta pembangunan keluarga. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan pembangunan KKBPK sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat 2013-2018. Pertama, kebijakan revitalisasi program KB dan Kesejahteraan Keluarga, yang dilaksanakan melalui program Pelayanan Keluarga Berencana, dengan sasaran: (1) Meningkatkan kuantitas dan kualitas kesertaan dalam program KB; (2) Menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Kedua, pengokohan ketahanan keluarga melalui pendewasaan usia perkawinan. Jawa Barat juga menunjukkan komitmen pengokohan ketahanan keluarga dalam rumpun pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melalui program peningkatan ekonomi keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera tahap I (KS I) serta pengembangan bina keluarga. Dalam momentum Hari Kontrasepsi Sedunia itulah BKKBN Jawa Barat menggulirkan sebuah gerakan intensif penggarapan program KKBPK di 12 kabupaten dan kota. Ke-12 kabupaten dan kota ini dipilih setelah dilakukan analisis kuadran dan dekomposisi PUS di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Di sisi lain, majalah kesayangan kita juga mengungkap adanya fenomena putus pakai kontrasepsi yang cukup tinggi di masyarakat. Tentu saja, sejumlah berita reguler bakal turut menyapa pembaca. Selamat membaca. Rudy Budiman Pemimpin Redaksi

4

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014


WARTA UTAMA

REVIEW PROGRAM KKBPK

Hingga Akhir Tahun Keroyokan di 12 Daerah Tak lama setelah mengikuti telaah nasional, BKKBN Jawa Barat langsung tancap gas. Analisis kuadran dan dekomposisi pasangan usia subur langsung ditindaklanjuti dengan menentukan daerah mana yang harus jadi prioritas.

K

epala Perwakila Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat KKBN Siti Fathonah mencoba berdamai dengan keadaan. Sadar bahwa kabupaten dan kota merupakan titik pusaran otonomi daerah, Fathonah memilih kalimat moderat untuk mengajak pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) mau bekerja keras

menuntaskan target yang tersisa hingga akhir tahun mendatang. Tak kata perintah atau instruksi. Yang ada adalah ajakan cukup halus. “Yang ingin saya sampaikan hari ini adalah mengajak kawan-kawan saya di kabupaten dan kota menyepakati tentang gerak atau aktivitas atau kegiatankegiatan pokok yang akan dilakukan di sisa semester dua tahun ini. Saya paham betul Bapak dan Ibu di kabupaten memiliki tanggung jawab besar,” kata Fathonah sebelum memaparkan hasil analisis

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

5


WARTA UTAMA kuadran total fertility rate (TFR) dan contraceptive prevalence rate (CPR) pada Rapat Telaah Program KKBPK Semester II Provinsi Jawa Barat di Hotel Topas, Jalan Djunjunan, Kota Bandung, Rabu 27 Agustus 2014. Ajakan “menyepakati” yang menjadi kata kunci Fathonah tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang akan dilakukan di Jawa Barat dalam empat bulan terakhir 2014. Secara lebih khusus, Fathonah menyampaikan adanya 12 kabupaten dan kota yang masuk dalam kelompok sasaran. Sementara sisanya sebanyak 15 kabupaten dan kota masuk kategori safe berdasarkan analisis kuadran TFR-CPR. Data TFR diambil dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012. Adapun CPR bersumber pada hasil Mini Survei (MS) 2013. Kuadran dibagi berdasarkan pada diagram scatter yang menempatkan tingkat kesertaan ber-KB atau CPR pada sumbu y dan angka kelahiran total atau TFR pada sumbu x. Kriterianya, kuadran I memiliki TFR tinggi tapi CPR tinggi, kuadran II memiliki TFR tinggi dan CPR rendah, kuadran III memiliki TFR rendah tetapi CPR rendah, dan kuadran IV memiliki TFR rendah dan CPR tinggi. Kuadran berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Garis kuadran ditarik berdasarkan angka rata-rata provinsi dibandingkan angka kabupaten dan kota. Nah, 12 daerah yang masuk kelompok

6

sasaran merupakan kabupaten dan kota yang masuk dalam kuadran I dan II. Dilihat secara matematik, kuadran I ini boleh dibilang “menyimpang” dari teori program KB. Idealnya, CPR tinggi berbanding lurus dengan rendahnya angka kelahiran. Faktanya, kuadran ini menunjukkan anomali. Kuadran I memiliki CPR tinggi tetapi ternyata TFR-nya juga tinggi. Yang

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

terbilang wajar adalah TFR yang dipicu CPR rendah sebagaimana ditunjukkan kuadran II. “Barangkali memang ini yang sesungguhnya terjadi. Saya malah geumpeur kalau CPR sudah 80 persen atau bahkan 90 persen. Apa saya bersurat saja gitu ya ke Pak Bupati atau Wali Kota meminta menutup kantor KB karena sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Fathonah seraya mengarahkan pointer


WARTA UTAMA

DEKOMPOSISI DAERAH SASARAN

laser ke tampilan kuadran II pada layar presentasi. Kuadran yang dimaksud Fathonah tadi meliputi Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Majalengka. Sementara kuadran I meliputi Kabupaten Cianjur, Garut, Kuningan, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Purwakarta, dan Bandung Barat. Dua kuadran ini berada di atas TFR 2,43 yang

menjadi rata-rata Jawa Barat. “Sebagai contoh, perhatikan Kabupaten Cianjur. Dia memiliki CPR di atas 70 persen, namun TFR-nya hampir menyentuh angka 3. Yang wajar adalah Kabupaten Bogor, dia memiliki TFR tinggi dan sejalan dengan CPR-nya yang rendah di bawah 55 persen. Dan, tentu saja yang paling bagus Kota Bandung dengan TFR di bawah 2 dan CPR hampir 75 persen,” ujar

Fathonah sambil mengajak peserta pertemuan memberikan aplause untuk Kota Kembang.

Analisis Dekomposisi Ini dia yang dimaksud pembeda Jabar dari provinsi lainnya oleh Aidin Tentramin, Inspektur Ketenagaan dan Administrasi Umum BKKBN Pusat sekaligus pembina wilayah Jawa Barat. Ya, analisis dekomposisi

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

7


WARTA UTAMA pasangan usia subur (PUS) dan tahapan keluarga sejahtera (KS). Fokusnya terletak pada kesertaan ber-KB atau CPR pada PUS dari keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan KS I. Melalui analisis ini, Jabar mencoba membedah kelompok sasaran dalam dua kelompok tadi. Metode ini mula-mula memecah PUS berdasarkan pra-KS, KS I, dan KS II. Setiap kelompok tadi dibedah lagi siapa yang menjadi peserta KB dan mereka yang bukan peserta KB. PUS yang tidak menjadi peserta KB ditelisik lebih jauh. Hasilnya, ada di antara mereka yang hamil, menginginkan anak segera (IAS), ingin anak ditunda (IAD), dan tidak ingin anak lagi (TIAL). Masingmasing kelompok ditandai dengan warna berbeda. Dua kelompok terakhir, IAD dan TIAL, dikelompokkan menjadi kelompok yang tidak terlayani (unmet need). Di tingkat provinsi, hasil dekomposisi tersebut menunjukkan adanya perbandingan linear antara tingkat kesejahteraan dengan

kesertaan KB. Semakin tinggi tahapan KS, semakin tinggi kesertaan dalam ber-KB. Pada kelompok pra-KS, peserta aktif (PA) KB berkisar pada angka 60,1 persen. Angka ini naik menjadi 64,8 persen pada kelompok KS I. Lonjakan tampak pada KS II yang mampu mencatat angka fantastis 76,5 persen. PUS yang menginginkan anak segera (IAS) pada kelompok praKS juga tercatat lebih tinggi dari kelompok lainnya, 12,3 persen. Pun dengan angka kehamilan yang menunjuk angka 10,2 persen. Sementara kelompok KS I dan KS II berturut-turut 8,8 persen dan 7,7 persen. Jumlah unmet need pra-KS dan KS I menunjukkan angka yang relatif sama. Sementara dari kalangan KS II tercatat hanya 6 persen. Komposisi lengkap hasil dekomposisi bisa dilihat pada infografik. Pencacahan atau dekomposisi tersebut tak hanya berlaku di tingkat provinsi. Hal yang sama dilakukan di tingkat kabupaten. Data ini kemudian dipadukan dengan hasil pendataan keluarga petugas lini lapangan dalam formulir R/I/KS dan laporan

PESERTA KB BARU

8

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

pengendalian lapangan (Dallap). Paduan data ini lebih mampu meneropong hingga ke tingkat kecamatan dan kelurahan atau perdesaan. Data turunan ini pula yang digunakan untuk menentukan kecamatan sasaran. “Dari 12 kabupaten dan kota yang menjadi prioritas, kami menganalisis lebih jauh. Acuannya adalah rata-rata PA di setiap kabupaten. Kecamatan dengan PA di bawah rata-rata kami kelompokkan sebagai kelompok sasaran. Dengan begitu, tidak semua kecamatan dipukul rata jadi sasaran program,” terang Fathonah. Dia lantas mencontohkan Kabupaten Bogor yang masuk dalam kuadran II. Kabupaten paling gemuk di Jawa Barat ini tercatat memiliki 40 kecamatan dan rata-rata PA 68 persen. Hasilnya, keluarga 14 kecamatan yang kesertaannya di bawah 68 persen. Ke-14 kecamatan inilah yang bakal digenjot dalam sisa tahun 2014 ini. Tak cukup sampai di situ. Kecamatan prioritas di setiap kabupaten sasaran tersebut dianalisis lebih jauh lagi. Kali ini dihitung jumlah desa atau kelurahan, jumlah pengelola lini lapangan seperti petugas lapangan (PLKB), penyuluh KB (PKB), dan tenaga penggerak desa (TPD), kemudian jumlah dokter dan bidan yang telah mendapat pelatihan khusus dari BKKBN. Dari serangkaian dekomposisi tadi, keluarlah potensi sumber daya manusia maupun teritorial. Kelompok sasaran itu tersebar di 12 kabupaten dan kota, 115 kecamatan, 1.185 desa dan kelurahan, melibatkan 829 tenaga lini lapangan, 521 dokter, dan 2.178 bidan.(NJP)


WARTA UTAMA

PEMBAGIAN KUADRAN

Episode Baru Review Penghujung RPJMN Ada yang berbeda dari telaah alias review program KKBPK tengah tahun 2014 ini. Bila sebelumnya review bisa kelar dalam sekali rapat satu-dua hari, kali ini tidak demikian. Kegiatan pun berlangsung berbulanbulan. Kok bisa?

K

apernya gak boleh jawab. Eselon III saya yang harus jawab. Mereka ‘dihakimi’ Pak Fasli Jalal beserta para deputi. Jadi seperti ada ujian tesis. Eselon III harus tahu persis apa yang terjadi di Jawa Barat,” ungkap Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Siti Fathonah sebelum memulai presentasinya pada Rapat Telaah Program KKBPK Semester II Provinsi Jawa Barat di Hotel Topas, Jalan Djunjunan,

Kota Bandung, Rabu 27 Agustus 2014. Menurut Fathonah, metode ini dipilih untuk memastikan bahwa pengelola program di daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, memahami betul kondisi daerahnya. Pengelola mengatehui masalah yang dihadapi sekaligus berupaya merumuskan langkah yang harus dilakukan. Nah, “oleholeh” review nasional itulah yang dibagikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi KKBPK di kabupaten dan kota

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

9


WARTA UTAMA pada rapat siang itu yang turut dihadiri Inspektur Ketenagaan dan Administrasi Umum BKKBN Pusat Aidin Tentramin sekaligus pembina wilayah Jawa Barat.

Terlebih, Indonesia kini sudah mulai memasuki fase bonus demografi yang diperkirakan mengalami puncaknya pada 2029-2035 mendatang.

Dicegat sesaat setelah membuka rapat telaah tersebut, Aidin bercerita lebih banyak ihwal model review program yang dipilih institusinya tahun ini. Alasannya tidak lepas dari agenda pembangunan nasional sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 maupun agenda global yang tertuang dalam tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) 2015.

Saking seriusnya, review program KKBPK tahun ini berlangsung hingga hitungan bulan. Jawa Barat sendiri sukses melewati fase itu pada 24 Juli 2014 lalu, lebih sebulan lalu. Episode terakhir berlangsung 29 Agustus 2014 menghadirkan lima provinsi di bawah binaan Deputi Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK).

“Kenapa dibuat format demikian? Karena 2014 ini merupakan akhir RPJMN 2010-2014. Ada urgensi bagi kita pengelola program KKBPK yang bila dilihat secara nasional katanya geraknya itu lambat sekali. Karena itu, tahun ini diharapkan mampu dipercepat geraknya. Ada upaya akselerasi, percepatan. Apapun yang kita capai pada 2014 merupakan potret pencapaian RPJMN kita selama lima tahun,” kata Aidin. Apapun hasil akhir 2014, imbuh mantan Kepala Perwakilan BKKBN Banten ini, akan menjadi baseline untuk RPJMN 2014-2019. Bila BKKBN bisa mengunci 2014 dengan hasil bagus, maka pekerjaan 2015 sampai 2019 akan semakin mudah. Pencapaian ini juga sangat berpengaruh pada pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang berakhir pada 2025 mendatang. Dampak jangka panjang inilah yang menjadi fokus perhatian BKKBN.

10

Aidin menjelaskan lebih spesifik, setiap provinsi menyampaikan hasil telaah dan menyampaikan rencana enam bulan atau sisa semester kedua dengan menggunakan analisis kuadran. Kuadran dibagi berdasarkan pada diagram scatter yang menempatkan tingkat kesertaan ber-KB atau contraceptive prevalence rate (CPR) pada sumbu y dan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) pada sumbu x. Garis kuadran

Apapun hasil akhir 2014 akan menjadi baseline untuk RPJMN 2014-2019. Bila BKKBN bisa mengunci 2014 dengan hasil bagus, maka pekerjaan 2015 sampai 2019 akan semakin mudah. Aidin Tentramin Inspektur Ketenagaan dan Administrasi Umum BKKBN

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

ditarik berdasarkan angka rata-rata provinsi dibandingkan angka kabupaten dan kota. “Istimewanya dibanding provinsi lain yang hanya mengandalkan analisis kuadran berdasarkan TFR dan CPR, Jawa Barat sudah lebih mempertajam dengan analisis dekompisisi berdasarkan pasangan usia subur (PUS) dan tahapan keluarga sejahtera (KS). Di situ mulai kelihatan tidak saja sasaran bersasarkan dari hasil survei yang biasanya level kabupaten/kota, di Jawa Barat sudah mampu menganalisis berdasarkan data yang lebih rinci dan operasional hingga masingmasing kecamatan, kelurahan, dan desa,” ungkap Aidin. Dia memastikan, hasil telaah provinsi menjadi bahan untuk provinsi itu sendiri. Intinya, mencoba mengenali sasaran lebih spesifik dan lebih terarah. Dengan demikian, diharapkan tidak ada provinsi yang tidak mengenali sasaran prioritasnya masing-masing. “Mereka (pimpinan BKKBN provinsi) membuat untuk masing-masing provinsi dan diuji di hadapan eselon I dan eselon II BKKBN pusat. Proses ini dipimpin langsung kepala BKKBN. Konsep yang dibawa oleh provinsi didiskusikan di tingkat nasional yang melibatkan pejabat nasional. Satu provinsi ada yang tiga jam, empat jam, setengah hari atau bahkan lebih. Bulan puasa kemarin ada yang mulai dari pukul 09.00 dan baru berakhir sampai pukul 23.00 malam. Hasilnya adalah adanya pemahaman yang lebih pas mengenai strategi apa yang dilaksanakan untuk masingmasing provinsi,” jelas Aidin. (NJP)


WARTA UTAMA

SAMBUTAN AIDIN TENTRAMIN

Jawa Barat Semakin di Depan

M

oncernya performa program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) mendapat apresiasi positif Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Inspektur Ketenagaan dan Administrasi Umum BKKBN Pusat Aidin Tentramin pun tak ragu-ragu menyebut kinerja Jawa Barat berada selangkah di depan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Pujian Aidin tersebut disampaikan di hadapan pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi program KKBPK di Hotel Topas, Jalan Djunjunan, Kota Bandung, Rabu 27 Agustus 2014. Aidin hadir untuk membuka Rapat Telaah Program KKBPK Semester II Provinsi Jawa Barat sekaligus

memimpin pembahasan program tersebut bersama pimpinan BKKBN Jabar dan pimpinan SKPD yang membidangi KKBPK se-Jawa Barat. “Bagi Indonesia, Jawa Barat ini kedudukannya istimwa. Dengan penduduk hampir 20 persen, apapun yang dihasilkan Jawa Barat dampaknya akan dirasakan nasional, termasuk dalam program KKBPK kita. Jadi, Insya Allah kalau Jawa Barat mampu menampilkan performance bagus, maka sumbangsih bagi nasional juga bagus. Dan, Alhamdulillah selama ini Jawa Barat selalu memberi kontribusi positif, baik dalam hasil program maupun proses itu sendiri,” kata Aidin disampun aplause peserta rapat. Dilihat dari hasil, terang Aidin, prestasi Jabar dibuktikan

dengan pencapaian kepesertaan program KB atau contraceptive prevalence rate (CPR) dan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR). Mengacu kepada hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, TFR nasional itu masih 2.6, sementara Jawa Barat sudah 2.5 anak per wanita subur. Pun dengan CPR Jabar yang berhasil menyentuh angka 60,3 persen, meninggalkan CPR nasional pada angka 57 persen. “Ini menunjukkan Jawa Barat berada selangkah di depan,” tegas Aidin. Mantan Kepala Perwakilan BKKBN Banten ini juga menjelaskan, bonus demografi Jawa Barat lebih awal dari nasional. Jabar sudah memasuki bonus demografi sejak 2010 lalu, sementara nasional baru memulai pada 2012. Karena itu, kinerja Jabar sangat berperan dalam

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

11


WARTA UTAMA memperbaiki kinerja nasional. Yang tak banyak disinggung, imbuh Aidin, Jawa Barat juga dikenal sebagai pusat inovasi program KKBPK. Dia mencontohkan, penggerakkan advokasi melalui mobil unit penerangan (Mupen) yang keliling hingga ke desa-desa kemudian menjadi program nasional Mupen on the Road. Menyangkut kelemnagaan KB, Aidin menyebut juaranya ada di Jabar. Yakni, Kabupaten Sukabumi yang sukses membidani kelahiran Badan Kependudukan dan Keluarga Berendana Daerah (BKKBD). “Luar biasa, bukan? Banyak hal yang dipelajari nasional atau daerah lain dari Jawa Barat. Termasuk untuk belajar BKKBD ke Jawa Barat. Daerah lain-lain berbondong-bondong belajar ke Sukabumi,” ungkap Aidin. Kepeloporan lain yang kemudian menjadi trade mark program KKBPK di Jawa Barat adalah pengadaan tenaga penggerak desa (TPD). Menurut Aidin, kini banyak provinsi di Indonesia tengah berupaya “meniru” Jawa Barat dalam mengangkat TPD untuk mengatasi kelangkaan petugas lapangan keluarga berencana (PLKB). Aidin percaya TPD merupakan solusi jitu menyiasati semakin menyusutnya jumlah tenaga lapangan KB di Indonesia. Apalagi, pengangkatan PLKB baru bukan hal mudah. “Harus diakui TPD ini luar biasa. Karena harus diakui dalam beberapa tahun daerah kebingungan bagaimana mengatasi kekurangan PLKB. Merekrut PNS untuk menjadi PLKB juga tidak mudah. Kita harus ‘berantem’ dulu dengan Kemen-PAN sana untuk mendapatkan formasi PLKB. Sekalipun dapat formasi, pun nantinya tidak ada jaminan tetap menjadi PLKB. Ada yang sudah diangkat jadi PLKB, sudah dilatih, tetapi setelah dilatih dengan mudahnya pindah ke tempat lain,” kata Aidin. “TPD merupakan inovasi luar biasa untuk mengatasi kesulitan kita mengatasi PLKB. Kita juga meminta provinsi lain untuk belajar ke Jawa Barat. Jangan hanya ke Sukabumi, cobalah ke kabupaten dan kota lain di Jawa Barat untuk melihat penggerakkan yang dilakukan TPD ini,” dia menambahkan. Inovasi lain yang menjadikan Jabar semakin di depan adalah keberadaan Kampung KB. Melalui progam ini, Jabar berhasil mengintegrasikan pembangunan KKBPK secara bersama-sama melibatkan mitra di tingkat lapangan. Kampung KB juga dianggap sejalan dengan ikhtiar nasional untuk merevitalisasi semangat gotong royong yang belakangan makin menguap. (NJP)

12

PEMASANGAN IMPLANT

10 Ribu Implant, 5 Ribu IUD Strategi sudah dipilih. Daerah sasaran sudah ditentukan. Selanjutnya adalah menentukan parameter keberhasilan. Berapa banyak peserta KB baru yang bisa diraih hingga penghujung tahun? BKKBN mencoba memecah target hingga satuan pemerintahan terkecil. Juga melakukan penggarapan khusus memanfaatkan momentum Hari Kontrasepsi Sedunia.

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014


WARTA UTAMA “Target 5.000 ini tidak dipukul rata atau dibagikan begitu saja untuk kabupaten dan kota. Setiap kabupaten dan kota sasaran memiliki target berbeda sesuai dengan jumlah PUS dari keluarga Pra-KS dan KS I maupun tingkat pencapaian sampai Juli 2014. Pembagiannya proporsional saja,” terang Rudy Budiman, Kepala Bidang Advokasi, Penggerakkan, dan Informasi (Adpin) BKKBN Jawa Barat. Pembagian proporsional itu menghasilkan angka berbeda untuk setiap kabupaten kota. Yang menarik, dari 5.000 target peserta yang dipatok selama gebyar Hari Kontrasepsi, 1.025 atau lebih dari 20 persen di antaranya ditujukan di Kabupaten Bogor. Sementara daerah lainnya bervariasi dari hanya 39 peserta hingga ratusan peserta saja. Selain Kabupaten Bogor, daerah lain yang cukup banyak mendapat target adalah Kabupaten Cianjur (887 peserta), Kabupaten Sukabumi (710 peserta), dan Kabupaten Tasikmalaya (635 peserta).

M

enghitung jumlah yang harus “dikejar” hingga akhir tahun mudah saja. Langkah pertama ada kembali ke perkiraan permintaan masyarakat (PPM) yang diketok palu awal tahun lalu. Setelah itu, tengok angka capaian sebagaimana terekam dalam F/I/ Dal dan F/II/KB. Untuk Jawa Barat, bulan terakhir yang bisa dijadikan acuan adalah Juli 2014, bulan terakhir sebelum berlangsungnya rapat telaah atau review program pada Rabu 27 Agustus 2014 lalu. Dari seluruh indikator dalam kontrak kinerja provinsi (KKP) 2014, BKKBN memilih fokus pada dua poin alat kontrasepsi (Alkon) metode jangka panjang: implant dan IUD. Lebih spesifik lagi, dua alkon ini akan dikebut di 12 kabupaten dan kota saran, dengan sasaran khusus unmet need dari keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera (KS) I. Tentu saja indikator lain tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk IUD misalnya, PPM sampai akhir tahun di 12 kabupaten dan kota sasaran adalah 101.320 peserta. Dari target tersebut, sampai Juli 2014 lalu baru tercapai 29.648 peserta. Sisanya sebanyak 71.672 diharapkan dapat terpenuhi hingga Desember 2014 mendatang. Jabar berusaha memotong secara cepat sisa PPM tersebut dengan memanfaatkan momentum Hari Kontrasepsi Sedunia sebanyak 5.000 peserta.

Bidikan implant lebih banyak lagi, mencapai dua kali lipat dari IUD atau mencapai 10 ribu peserta baru. Lagi-lagi Kabupaten Bogor menjadi penyumbang terbesar dengan 2.050 peserta baru. Jumlah ini memangkas sisa PPM yang tersisa hingga Juli 2014 kemarin sebanyak 84.894 peserta. Dengan pengurangan selama gebyar Hari Kontrasepsi Sedunia, diharapkan 74.894 lainnya bisa tuntas sampai Desember mendatang. Rencananya, daerah sasaran tersebut akan “dikeroyok” selama tiga bulan, September sampai November mendatang. Polanya, tim khusus terjun selama lima hari secara serentak. Langkah ini diikuti dengan pelayanan serentak IUD dan implant selama dua hari. Peserta baru tersebut kelak menjalani pembinaan oleh SKPD di masing-masing kabupaten dan kota. “Tim terjun pada pekan pertama dan ketiga setiap bulan selama tiga bulan. Pada saat yang sama, pelayanan terpusat tetap berjalan,” terang Rudy. Untuk mendukung gerakan tersebut, BKKBN melatih tenaga kesehatan, khususnya bidan, di 12 kabupaten dan kota sasaran. Bidan yang dilatih adalah mereka yang bertugs di tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama dan memiliki perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Selama pelatihan, bidan akan diterjunkan untuk praktik selama dua hari di daerah sasaran. Rudy memastikan penggarapan khusus tersebut tidak mengurangi anggaran cukilan yang diluncurkan untuk kabupaten dan kota.(NJP)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

13


WARTA UTAMA

Dari Pegal-pegal sampai Benang Nojos Putus Pakai Kontrasepsi di Jabar Capai 30.8%

PILIHAN KONTRASEPSI

Ternyata alasan seseorang berhenti atau putus pakai kontrasepsi sederhana saja. Selain berhenti karena menginginkan anak dan memutuskan hamil, penyebab lainnya terbilang sepele. Dari yang mengaku pegal-pegal, siklus haid tidak teratur, atau bahkan gara-gara benang nojos saat bersenggama. “…ganti ke pil dulu (dari suntik), jadi pindah ke pil dulu untuk mancing menstruasi (kesuburan). Ini emang saran tenaga medis dan karena cerita-cerita pengalaman orang juga…” “…suami saya aja komplen (saat saya gunakan suntik dan gairah menurun), tapi sekarang enggak

14

(karena sudah alih alkon ke IUD). Sebelumnya suami suka bilang, ini kenapa diem ajah (waktu berhubungan seks)…” “. . . padahal sakit kan enggak, tapi cuma malu kan?! Malu kan (kemaluannya) dipegang didepan orang.” “ . . . hanya emang gemuk.

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

Gemuk buat saya mah gak jadi masalah, saya brenti KB Cuma pengen mens doang, karena badan rasanya sakit-sakit, pegel – pengen biar mensnya keluar…” Itulah beberapa alasan pasangan usia subur (PUS) memutuskan untuk berhenti menggunakan kontrasepsi yang terekam dalam penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE UI) di Jawa Barat. Angka putus pakai kontrasepsi di Jawa Barat mencapai 30,8 persen. Angka ini jauh di atas nasional sebesar 27,1 persen. Dilihat dari alasannya, sebagian besar pasangan usia subur (PUS) memutuskan untuk berhenti


WARTA UTAMA menggunakan kontrasepsi atas alasan ingin hamil (8,8 persen). Untuk kasus ini, tidak alasan yang berkaitan dengan karakteristik kontrasepsi. Pemicu lainnya berkaitan dengan efek samping atau masalah kesehatan (8,5 persen). Ada juga mengalami kegagalan kontrasepsi sekitar 2,4 persen. “Mengapa angka putus pakai ini meningkat? Apakah alat kontrasepsi semakin jelek? Saya tidak melihat itu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, tingkat sensitivitas kenyamanan seseorang ini makin tinggi. Sehingga ada keluhan sedikit, mereka langusng gak mau pakai. Mereka beralih, mencari yang lebih baik, lebih nyaman,” terang peneliti LDFE UI Zainul Hidayat usai mempresentasikan hasil penelitian bertajuk “Analisis Putus Pakai Kontrasepsi di Jawa Barat” di Bandung belum lama ini. Dari kisaran angka 30 persen itu, sambung Zainul, ada sekitar 10-12 persen yang akhirnya drop out (DO). Secara khusus Zainul mencatat, kecenderungan orang-orang yang tidak mau menggunakan lagi kontrasepsi itu adalah orang-orang muda yang terdidik. Mereka memahami siklus kesuburan pada tubun perempuan. Dengan begitu, mereka bisa menentukan waktu berhubungan badan pada saat perempuan tidak subur. Di sisi lain, ada di antara mereka yang memilih kembali ke alam. Mereka percaya bahwa alam sesungguhnya menyediakan kontrasepsi secara alami. Caranya dengan mengonsumsi makanan tertentu yang diketahui mampu menekan tingkat

kesuburan seseorang. Zainul menjelaskan lebih jauh, kasus efek samping yang menjadi pemicu putus pakai kerap ditemukan pada mereka yang menggunakan kontrasepsi hormonal. Yakni, pil dan suntik. Kontrasepsi hormonal, terang Zainul, biasanya sangat sensitif terhadap tekanan daran tinggi dan usia. Ini masalah bagi mereka yang sudah menggunakan cukup lama tapi tidak segera dikontrol tidak dicoba untuk dialihkan. “Saya menemukan salah satu responden yang tibatiba pingsan di tengah jalan. Setelah diperiksa, ternyata dia menggunakan kontrasepsi hormonal cukup lama. Usianya sendiri sudah di atas 40 tahun. Dia merasakan tubuhnya sakit, baik kaki tangan maupun kaki. Ini salah satu contoh kasus saja. Mereka sebenarnya mengeluhkan sakit, tetapi malas memeriksakan diri. Ini bahaya bagi pemakai kontrasepsi itu sendiri,” papar Zainul. Bagaimana dengan kontrasepsi nonhormoal? Pada umumnya

keluhan muncul berkaitan dengan kenyamanan pengguna. Hasil penelitian menemukan adanya fakta menarik tentang IUD. Dulu tidak banyak mengeluhkan IUD. Wajar bila kemudian banyak yang mereferensikan untuk teman atau koleganya. Belakangan banyak keluhan seputar kenyamanan dari pengguna IUD. “Ada yang bilang benangnya sering nojos. Saya secara teknis tidak bisa menjawab, tapi keluhan itu banyak. Sebagai seorang peneliti, saya menilai penyelesaiannya kan gampang. Kenapa harus dibuat benang yang keras ujungnya? Sekarang kan banyak bahan benang yang lebih lembek, lebih lembut. Ini salah satu rekomendasi hasil penelitian,” kata Zainul lagi. Secara umum, penelitian yang dilakukan di Garut, Indramayu, dan Kabupaten Bekasi ini menunjukkan bahwa tingkat putus pakai untuk metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) sangat rendah. Hal ini berbeda dengan kontrasepsi jangka pendek yang rentan putus pakai seperti halnya pil dan suntik. Kalau sudah begitu, sudah sejatinya masyarakat lebih memilih MKJP.(NJP)

PUTUS PAKAI KONTRASEPSI

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

15


WARTA WARTAUTAMA FOTO

JALAN SEHAT KELUARGA

Semarak Harganas XXI API UNGGUN

PAMERAN UPPKS

NONTON BARENG

TARI KOLOSAL

RADIO KOMUNITAS

16

KUIS INTERAKTIF

KAMPUNG KB

TUAN RUMAH

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

TALKSHOW


WARTA FOTO

KUNKER DPR RI

TEMU MEDIA KKB KENCANA

HARGANAS KAB. SUMEDANG

HARGANAS KAB. BANDUNG

Geliat Program KKBPK Jawa Barat CAPACITY BUILDING GENRE

GALERI UPPKS

PELANTIKAN KAPER BKKBN

PELANTIKAN KAPER BKKBN

HARGANAS KOTA BANDUNG

SILATURAHIM IDUL FITRI

REVIEW PROGRAM

KUNKER DPR RI

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

17


WARTA JABAR

PELANTIKAN KAPER BKKBN JABAR

Sugilar Pulang Kampung Gubernur Heryawan Lantik Kepala Perwakilan BKKBN Jabar

B

agi saya, bertugas di Jawa Barat itu seperti pulang kampung. Ini tanah kelahiran saya, lembur kuring,” ujar Sugilar saat ditanya ihwal penunjukkannya sebagai Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat. Ya, Sugilar memang bukan sosok asing di Jawa Barat. Selain pituin urang Jawa Barat, Sugilar juga menghabiskan sebagian besar karier dan pengabdiannya di Jawa Barat. Sugilar secara resmi dilantik Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menjadi Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat di Gedung Sate, Kota Bandung, pada 22 September 2014. Sugilar dilantik menggantikan

18

Siti Fathonah yang pada Jumat 12 September 2014 lalu dilantik menjadi Kepala Pusat Kerjasama Internasional BKKBN Pusat. Fathonah kembali ke BKKBN Pusat setelah mengabdi lebih dari tiga tahun di Jawa Barat sejak dilantik pada 5 Agustus 2011 lalu.

peran BKKBN Jawa Barat lebih optimal. Dia meminta program yang diterapkan lebih tajam. Sebagai provinsi paling banyak penduduk, pria yang akrab disapa Aher ini meminta perpindahan penduduk dapat terkelola dengan baik.

Ada pesan utama yang diberikan Heryawan kepada Sugilar. Yakni, menyangkut pembangunan kependudukan yang menurutnya jarang dibahas banyak orang. Padahal, pembangunan kependudukan sangat penting untuk kemajuan daerah. “Yang diharapkan tentu terus melanjutkan program kependudukan dengan baik. Mana mungkin kita bisa menikmati pembangunan kalau tidak ada pembangunan kependudukan,” tutur Heryawan.

“Ya, tentu lebih efektif lagi ketimbang BKKBN sebelumnya. Penduduknya terdidik dan terkendali dengan baik. Perpindahan penduduk bisa terkelola dengan baik, terlebih usia produktif. Lembaga kependudukan dan keluarga berencana di masing-masing kabupaten dan kota juga harus dioptimalkan,” tutur Heryawan.

Heryawan juga meminta agar

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

Jejak Fathonah Selama memimpin BKKBN Jawa Barat, Siti Fathonah dikenal sebagai pekerja keras dan


WARTA JABAR inovatif. Mengawali karier sebagai peneliti, langkah pertama yang dilakukan Fathonah di Jawa Barat adalah pembenahan data keluarga. Fathonah sadar betul bahwa perencanaan sangat bergantung kepada data. Tak hanya itu, Fathonah juga menggagas sistem pendataan dan pelaporan data melalui ponsel cerdas. Aplikasi ditanam pada ponsel dengan sistem operasi Android dengan label Cepat, Langsung, Informasi Kependudukan dan Keluarga Berencana (CLIKKB). Bermodalkan perapihan data dan penajaman strategi penggerakan program lini lapangan inilah Fathonah mencanangkan 2014 sebagai tahun lapangan. Desa menjadi kata kunci dalam konsep lini lapangan yang diusung BKKBN Jabar. Bagi Fathonah, lini lapangan berkisar dari desa hingga ke bawah untuk kemudian menyentuh keluarga. Sejalan dengan konsep yang diusungnya tersebut, BKKBN Jabar mengagendakan lebih banyak kegiatan yang di dalamnya melibatkan lini lapangan tadi. BKKBN Jabar mencoba menjadi katalisator bergulirnya kembali mekanisme operasional program KB yang dalam beberapa waktu belakangan melempem. Di sisi lain, Fathonah juga getol menyerap informasi publik maupun pemangku kepentingan (stake holders) program KKBPK melalui kegiatan BKKBN Mendengar. Dalam BKKBN Mendengar, para pemerhati atau kritikus dengan leluasa menyampaikan langsung temuan mereka kepada BKKBN. Pada saat yang sama, media massa yang dihadirkan langsung di forum yang sama bisa sekaligus merekam dinamika penyelenggaraan program KKBPK di masyarakat.

Pulang Kampung Sugilar muda mulai menapaki kariernya sebagai pegawai BKKBN Jawa Barat pada 1984 silam. Lima tahun menjadi staf, pada 1989 Sugilar mendapat promosi menjadi Kepala Seksi Koordinasi Program Lapangan di BKKBN Kabupaten Garut. “Selama lima tahun di Garut, saya bergelut dengan kegiatan di lapangan dengan medan yang berat. Saya menyusuri Bungbulang, Pakenjeng, Cisewu, Rancabuaya, dan daerah-daerah lainnya di pinggiran Garut. Apalagi, di Garut banyak terdapat perkebunan yang letaknya terpencil, terisolasi dari pelayanan KB,” kenang Sugilar di Bandung. Sugilar mengaku tengah enjoy berkutat dengan masyarakat

Kuningan, kala itu mulai digulirkan desentralisasi. “Saya diminta Pak Bupati (Kuningan) kala itu untuk terus memimpin SKPD KB di sana. Namun, saya memilih kembali ke ‘markas’ di Bandung. Jabatan turun dari eselon II menjadi eselon III tidak ada masalah. Barangkali memang karena jiwa saya sudah BKKBN,” ujarnya sambil tersenyum. Sugilar lantas dipanggil kembali ke BKKBN pusat untuk ditugaskan menjadi Kepala BKKBN Maluku. Dua tahun membenahi sisa-sisa konflik, Sugilar kembali ke Jakarta menjadi Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Humas (Bihom). “Di Bihom ini lebih banyak mengurusi aspek hukum dan

PELANTIKAN KAPER BKKBN JABAR

di pasisian ketika ditugaskan kembali di kantor wilayah BKKBN (kini kantor perwakilan). “Pola karier di BKKBN memang begitu. Ada semacam zig-zag karier. Staf di provinsi dipromosikan ke kabupaten atau kota, lalu kemudian dikembalikan ke provinsi sebelum kemudian kembali ke kabupaten,” jelasnya. Benar saja, beberapa tahun kemudian Sugilar dipromosikan menjadi Kepala BKKBN Kabupaten Kuningan. Lima tahun memimpin BKKBN Kuningan, Sugilar memilih kembali ke BKKBN Jawa Barat. Pemicunya, menjelang akhir tugasnya di

kehumasan. Organisasi sendiri sebetulnya sudah selesai dengan keluarga Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2010 tentang BKKBN,” tambah Sugilar. Tiga tahun memimpin Bihom, Sugilar kembali lagi dipindahkan menjadi kepala Biro Keuangan dan Pengelolaan Barang Milik Negara. Berkat sentuhan tangan dingin Sugilar, BKKBN berhasil meraih laporan keuangan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). “Selama dua tahun di Biro Keuangan, dua tahun itu pula BKKBN meraih opini WTP,” ujar Sugilar bangga.(NJP)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

19


WARTA JABAR

Karena Mengasuh Anak Tanggung Jawab Semua Aneka temuan kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan fakta mencengangkan. Ternyata, kekerasan turut dilakukan orangorang dekat korban. Pengawasan bersama menjadi keniscayaan. Peran keluarga pun dipertaruhkan.

20

M

ei 2014 menjadi bulan yang buruk bagi dunia anak Jawa Barat. Pada bulan itulah terkuak nyaris 100 kasus kekerasan seksual yang dilakukan Ahmad Sobari alias Emon di Sukabumi. Di tempat lain, sejumlah anak mengalami kekerasan oleh orang-orang dekat mereka. Deretan kasus itu menjadi tamparan keras bagi masyarakat Jawa Barat. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan kasus

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

kekerasan terhadap anak di Jawa Barat menduduki posisi tertinggi nomor tiga di Indonesia. Dari 2,1 juta laporan kekerasan selama 2013, 38 persen terjadi di Jawa Barat, dengan 52 persen di antaranya kekerasan seksual. “Kekerasan seksual pada anak di Jawa Barat sudah sangat mengerikan dan bisa dikatakan pada tahap darurat,” kata Arist seperti dikutip Tempo pertengahan Agustus 2014. Yang mengejutkan, mayoritas pelaku kekerasan seksual ternyata orang-orang terdekat anak, yakni sebesar 82 persen. Predator di


WARTA JABAR 20 Menit Mendampingi Anak digulirkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2014. P2TP2A meneruskan gerakan kultural tersebut dengan menggulirkan program Pengasuhan Anak Berbasis Masyarakat (PABM). Akhir Agustus 2014 lalu, PABM dicanangkan di Aula Barat Gedung Sate, Bandung.

PERINGATAN HARI ANAK

sekitar anak bisa jadi anggota keluarganya sendiri, seperti ayah dan paman. Juga tetangga. Yang perlu diwaspadai, angka yang mengemuka tersebut bisa jadi hanya menggambarkan gunung es. Ada kemungkinan angka kejadiannya lebih besar daripada yang dilaporkan. Dia juga mengatakan kekerasan seksual di Jawa Barat lebih jarang terekspose dibanding di Jakarta.

Pengasuhan Berbasis Masyarakat Catatan Arist itu yang kemudian menjadi kekhawatiran Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan. Netty kemudian menginiasi sebuah gerakan untuk mengajak orang tua lebih memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Gerakan

Dalam keterangan tertulisnya, P2TP2A menjelaskan, inisiasi pengasuhan berbasis masyarakat ini dilatarbelakangi bahwa fakta aktual menunjukkan telah terjadi kekerasan seksual pada anak di delapan kota dan kabupaten di Jawa Barat. Kedelapan daerah itu meliputi: Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Tasikmalaya. Kekerasan berlangsung secara massal maupun secara individu. Dalam kasus tersebut, kekerasan dilakukan orang-orang yang tidak disangka secara akal sehat bahwa mereka akan mampu dan tega untuk melakukan kejahatan kekerasan. Dari laporan yang masuk ke P2TP2A Jawa Barat, ternyata para pelaku adalah orang dekat seperti ayah tiri, guru ngaji, tetangga, kenalan di media sosial, ibu, dan guru sekolah formal. “Anak-anak rentan terhadap segala bentuk kekerasan. Keluarga dan lingkungan yang semestinya menjadi pendukung untuk berkembang menjadi generasi unggul ternyata tidak mereka miliki. Keluarga yang tidak utuh menjadi sangat rentan terhadap permasalahan kekerasan,” tegas Hadadi.

BKB Holistik-Integratif Fenomena di atas mendorong pada sebuah hipotesis bahwa

ketahanan keluarga merupakan solusi hulu dalam mengeliminasi tindak kekerasan pada anak. Bagi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat, upaya penguatan ketahanan keluarga itu diterjemahkan melalui program Bina Keluarga Balita (BKB) yang terintegrasi dengan pendidikan usia dini (PAUD) maupun kesehatan. Integrasi ini menjadi upaya holistik yang dikemas dalam kampanye new initiative BKB Holistik Integratif (HI). Kepala Sub Bidang Ketahanan Keluarga BKKBN Jabar Evi Amalia menjelaskan, BKB HI berlangsung di lima kabupaten dan kota. Kelima daerah itu terdiri atas Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya. Adapun pengembangan BKB non-HI atau BKB dasar dilakukan di 10 kabupaten dan kota. Evi menjelaskan lebih jauh, mengacu kepada Perpres RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang PUD Holistik-Integratif, pengembangan anak usia dini meliputi semua kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling terkait. Aspek perawatan, kesehatan, dan gizi melaui Posyandu, aspek pendidikan melalui kelompok PAUD, dan aspek pengasuhan melalui BKB. Anggota kelompok kerja fungsional Posyandu Jawa Barat ini mengajak para kader Posyandu untuk juga menjadi kader kelompok BKB dalam upaya meningkatkan program pengasuhan anak. Salah satunya dengan memberdayakan para ibu yang anaknya mengikuti program PAUD. Menurutnya, kerja sama kader BKB dan kader Posyandu merupakan bagian dari program PAUD HI. “Pembinaan itu dimulai dari ketahanan dan kesejahteraan keluarga,” kata Evi.(NJP)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

21


WARTA JABAR

BKKBD KAB. SUKABUMI

5 Tahun Menunggu BKKBD BKKBN dianggap tidak bersungguhsungguh memfasilitasi pembentukan BKKBD di kabupaten dan kota. Indikasinya, peraturan pemerintah maupun keputusan kepala BKKBN lainnya mengenai teknis pembentukan BKKBD tak kunjung terbit. Bahkan, BKKBN dianggap enggan melepas kewenangannya di daerah.

22

I

tulah salah satu simpulan hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Umum dan Kependudukan Kementerian Dalam Negeri yang dipaparkan di hadapan sejumlah pejabat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pusat dan perwakilan BKKBN provinsi di Hotel 88, Jakata, Selasa 2 September 2014. Kajian juga menyimpulkan rendahnya komitmen kepala daerah terhadap program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) yang sekarang berkembang menjadi kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). “Sejak otonomi daerah, banyak pemerintah daerah tidak memiliki instansi yang mengurus persoalan KB secara khusus. Komitmen kepala daerah pun dinilai kecil, bahkan makin mengecil. KB

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

dianggap sebagai urusan yang lebih banyak menyedot anggaran,” kata Mohammad Ilham A. Hamudy, ketua tim kajian tentang “Peran BKKBD dalam Mendukung Program KB: Studi tentang Pembentukan Kelembagaan KB di Daerah”. Ilham menjelaskan, studi dilakukan dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dan Kota Bitung, Sulawesi Utara. Menurut Ilham, dua daerah ini dipilih karena dianggap sebagai pelopor pembentukan BKKBD dan dianggap berhasil melaksanakan program KB di daerahnya. Sebagai catatan, sampai 2014 ini telah terbentuk 18 BKKBD di kabupaten dan kota se-Indonesia. Menurutnya, integrasi program KB dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) sebagaimana ditunjukkan di dua daerah yang dikaji lebih disebabkan komitmen kepala daerah dan kompaknya pemangku kepentingan lainnya dalam menyukseskan program


WARTA JABAR KB di daerah masing-masing. Inisiatif dua daerah tersebut, imbuh Ilham, patut mendapat acungan jempol. Dia menyayangkan peran BKKBN yang tidak banyak terlihat dalam pembentukan BKKBD. Pasalnya, regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat sebagai acuan bagi pemerintah daerah belum berjalan efektif. Justru sebaliknya, BKKBN terkesan menghambat pembentukan BKKBD. “Parahnya lagi, BKKBN agaknya enggan melepas kewenangannya. Meski UU No. 52 tahun 2009 sudah menjelaskan secara gamblang eksistensi BKKBN dan BKKBD, implementasi di daerah tidaklah demikian. Di level provinsi, nomenklaturnya masih BKKBN dengan status lembaga vertikal. BKKBN berlindung di balik Pasal 117A Perpres No. 3 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa perwakilan BKKBN berakhir tugasnya sampai terbentuk BKKBD provinsi maupun kabupaten dan kota,” tandasnya. “Itulah sebabnya BKKBN belum menyerahkan semua personel, peralatan, pembiayaan, dan dokumentasi kepada pemerintah provinsi sesuai amanat PP No. 41 tahun 2007. Padahal, harusnya BKKBN di provinsi menjadi lembaga horizontal yang otonom dan sepenuhnya dikelola pemerintah daerah. Terlebih secara teoritik pemerintahan, hanya urusan yang sifatnya absolut yang boleh ada di daerah. Urusan itu meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama,” Ilham menambahkan. Karena itu, BKKBN harusnya legowo menyerahkan urusan pengendalian penduduk dan KB kepada pemerintah daerah. Sejalan dengan itu, pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota wajib menerima secara ikhlas

dan menjalankan dengan penuh tanggung jawab. Selanjutnya, BKKBN cukup melaksanakan fungsinya sebagai perumus, pembina, dan pembimbing kebijakan nasional. Kemudian, penetap norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksana advokasi, koordinasi, komunikasi, informasi, edukasi, dan evaluasi di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan KB.

Tak Ada PP Khusus Simpulan tim kajian langsung mendapat tanggapan. Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Humas BKKBN Setia Edi mengklaim pihaknya sudah berupaya keras mendorong pembentukan BKKBD di setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Alasan tidak segera terbitnya PP, menurutnya hal itu tidak benar. Alasannya, dari 11 PP yang diamanatkan Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan

dijadikan satu, tiga yang menjadi kajian BKKBN juga dijadikan satu. Sekarang semua instansi terkait sudah memberikan paraf, saat ini sudah masuk ke Kementerian Kesehatan. Sedikit hari akan dilanjutkan ke sekretariat kabinet,” ungkap Setia Edi. Menurutnya, BKKBN tidak memiliki kewenangan mengajukan PP karena sesuai UU No. 52/2009, yang berhak mengajukan adalah kementerian yang membidangi kesehatan. Dia berharap dalam waktu dekat PP sebagai turunan UU 52 tersebut dapat segera meluncur. Meski begitu, kelembagaan tidak termasuk PP yang diamanatkan dalam undangundang. Lebih jauh dia menjelaskan, sampai sekarang sudah terbentuk 18 BKKBD di Indonesia, dengan dua di antaranya masih menggunakan Peraturan Bupati (Perbup), bukan Peraturan daerah (Perda). Mengacu kepada PP 41 tahun 2007, program keluarga

RISET BKKBD DI KEMENDAGRI

dan Pembangunan Keluarga tidak ada satu pun yang mengatur tentang kelembagaan. “Ketika kami sosialisasi (mengenai BKKBD) ke daerah, mereka sering bertanya, ‘PP-nya mana?’ Memang benar belum ada satu pun yang keluar. Ada enam rancangan PP yang kemudian

berencana masuk dalam kategori lembaga teknis yang berada satu rumpun dengan pemberdayaan perempuan. Sampai 2013 lalu, terdapat 483 kelembagaan KB dalam beragam bentuk. Mulai dinas, badan, hingga kantor. Bahkan, terdapat lima kabupaten dan kota yang belum memiliki lembaga KB.

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

23


WARTA DAERAH

SIARAN RADIO KOMUNITAS

Mengajak Ber-KB dari Udara

P

emancar yang menjulang lebih dari 20 meter ke udara menjadi satusatunya penanda kehadiran radio komunitas (Rakom) di Kelurahan Nagrak Selatan, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi. Tak ada penunjuk jalan atau papan nama mencolok layaknya radio komersial di kota-kota besar. Inilah Radio CBS yang mengudara ada frekuensi 107.7 FM. CBS sendiri kependekan dari Caraka Buana Suara, nama resmi yang terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Kami ini satu-satunya rakom berizin resmi di Indonesia,” ujar Heri Agus, pengelola Radio CBS, saat menerima kunjungan BKKBN Jawa Barat dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) Kabupaten Sukabumi, pertengahan September 2014.

24

Klaim itu dikuatkan dengan selembar kertas salinan Izin Stasiun Radio (ISR) yang diterbitkan kementerian pimpinan Tifatul Sembiring tersebut. Dilihat dari Nomor Stasiun 0001 sebagaimana ditunjukkan dokumen tersebut boleh jadi memang CBS memang satusatunya rakom pemilik ISR. “Terima kasih sudah mampir ke sini. Di sini beda dengan radio di kota. Ini tempat kumuh,” ujar Heri berterus terang. Pria yang mengaku pernah aktif di salah satu media televisi berita nasional ini mempersilakan tamunya menuju ruang lain yang terpisah sekat papan triplek dengan studio siaran. Obrolan pun mengalir, dari problem klasik rakom hingga dinamika program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). “CBS sudah berkomitmen untuk membantu pemerintah, termasuk

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

mendukung program KB. Bersama dengan anggota JRK Jawa Barat, CBS ikut mendeklarasikan dukungan (terhadap program KKBPK) di Lembang setahun lalu. Kami rutin menggelar talkshow menghadirkan narasumber dari Puskesmas atau orang KB di Nagrak,” jelas Heri. Kepada tetamu, Heri menjelaskan radionya aktif mengudara selama 24 jam setiap harinya. Berbekal tujuh penyiar, CBS getol menyapa masyarakat di sekitarnya. Salah satu program unggulan CBS adalah wayang golek yang diputar setiap malam. Heri lantas menawarkan diri untuk menyiarkan pesan-pesan program KKBPK maupun talkshow di radionya. Belasan kilometer dari Nagrak, gelombang 107,7 FM menyapa warga Kota Sukabumi dari lantai dua Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Syamsudin di Jalan Rumah Sakit. Gelombang yang sama dengan CBS tersebut rupanya milik Bunut FM yang


WARTA DAERAH mengudara di rumah sakit tersebut. Kominfo memang menyediakan tiga frekuensi FM untuk rakom: 107,7-107,9 FM. Dengan ketentuan daya jangkau maksimum rakom hanya 2,5 kilometer, idealnya tak ada dua rakom berebut frekuensi di tengah masyarakat. Dibandingkan dengan CBS, Bunut FM jelas lebih bonafide. Berada satu lantai dengan ruang pertemuan rumah sakit, Bunut FM menempati sebuah ruangan kecil berpenyejuk udara. Sebuah panel berisi peralatan siaran manjadi penanda utama kehadiran radio komunitas yang dikembangkan pihak rumah sakit itu. Ada juga sebuah meja kecil yang dilengkapi dua kursi tempat narasumber menunggu giliran siaran. “Pasien rumah sakit banyak yang datang dari luar Kota Sukabumi. Ini berarti jangkauan kami sebenarnya sangat luas. Pasien maupun keluarga pasien menjadi audiens kami setiap harinya. Materi siaran kami menjadi lebih didengar masyarakat, khususnya mereka yang berada di rumah sakit,” kata Deny, pengelola Bunut FM, saat menyambut tim monitoring BKKBN Jabar dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (BPMKB) Kota Sukabumi. Sesuai dengan tagline Radio Kesehatan yang diusungnya, Bunut memang lebih banyak menyajikan materi seputar dunia kesehatan. Tidak lama setelah tim monitoring meninggalkan studio misalnya, dari radio mobil tertangkap talkshow tentang kehamilan dan kontrasepsi dengan narasumber seorang bidan.

Menyampaikan Informasi, Menggerakkan Masyarakat Berbincang dalam kendaraan menuju Kota Bandung, Kepala

Sub Bidang Advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) BKKBN Jawa Barat Elma Triyulianti mengaku mendapat banyak manfaat dari kunjungannya ke dua studio rakom di Sukabumi. Kebetulan dua rakom yang dikunjunginya memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. CBS berada di perkampungan dan perangkat siaran sederhana, sementara Radio Bunut lebih modern sekaligus ngepop.

mengambang, memiliki potensi menjadi media penggerakkan. Setelah di-KIE melalui udara, masyarakat setempat bisa langsung digiring untuk menjadi peserta KB di daerah bersangkutan. Penyiar bisa secara langsung merujuk pasangan usia subur (PUS) di sekitar pemancar untuk mendatangi tempat pelayanan KB, baik rumah sakit maupun klinik-klinik mandiri alias bidan praktik swasta.

“Dua-duanya memiliki keunggulan dan kelemahan. Bunut FM misalnya, meskipun audiensnya sangat jelas dan terukur, tetapi tidak efektif untuk penggerakkan. Mereka yang menyimak siaran radio di rumah sakit tidak bisa digeneralisasi sebagai masyarakat setempat. Artinya, mereka tidak bisa dijadikan sasaran penggerakkan program atau digiring menjadi peserta KB,” terang Elma.

Mempertajam sasaran itu, BKKBN Jabar menyiapkan instrumen sederhana untuk setiap rakom. Caranya, pengelola radio mengadakan kuis sekaligus hadiah bagi pemenang. Nah, setiap pemenang yang mengambil hadiah ke studio diminta mengisi istrumen tertulis berisi biodata dan kesertaan ber-KB. Melalui cara ini Elma berharap bisa terhimpun data keluarga secara akurat di setiap lokasi rakom. Data ini menjadi bahan bagi pengelola program KKBPK untuk melaksanakan KIE lanjutan atau pelayanan KB itu sendiri.

Program KKBPK yang berbasis keluarga, sambung Elma, terikat dengan tempat pelayanan kesehatan. Dia mencontohkan, keluarga A berdomisili di RT, RW, kelurahan atau desa, kecamatan tertentu bisa diketahui berdasarkan data keluarga. Dalam dimensi program KKBPK, setiap keluarga memiliki petugas lini lapangan yang terikat dengan lokus administratif. “Dalam kasus Radio Bunut, statistik pendengar tidak bisa dikonversi menjadi sasaran penggerakkan program. Pasien dari Kabupaten Sukabumi tidak bisa digiring menjadi peserta KB di Kota Sukabumi. Bila dipaksakan, maka ini akan mengacaukan sistem pencatatan dan pelaporan peserta KB yang selama ini berlaku di BKKBN. Kami melihatnya Radio Bunut cocok untuk KIE,” papar Elma. Lain lagi dengan CBS yang nota bene hadir di perkampungan. Meski massa pendengarnya

Di sisi lain, Elma melihat rakom memiliki karakteristik unik dalam relasi antara penyiar dan pendengar. Sebagai komunitas, sudah barang tentu penyiar dan pendengar saling mengenal satu sama lain. Interaksi tak hanya di udara, melainkan lebih intensif di luar sekat dinding studio. Meski begitu, rakom bukan tanpa masalah. Secara teknis, banyak kendala yang belum bisa ditanggulangi. Sebuat saja misalnya kaitannya dengan rusaknya peralatan, kekosongan pengelola, hingga bubarnya komunitas. Dari aspek sumber daya, rakom memiliki keterbatasan dalam menghadirkan narasumber maupun mengumpulkan masyarakat. “Karena itu, rakom butuh dukungan banyak pihak,” pungkas Elma.(NJP)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

25


WARTA DAERAH

HARGANAS KAB. SUMEDANG

Baznas Makin Peduli Keluarga Prasejahtera Sumedang Garap Khusus Program KKBPK di 1 Kecamatan

R

upanya Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Sumedang ingin memberi makna lebih dalam saat memeringati Hari Keluarga Nasional (Harganas) tahun ini. Lebih dari sekadar seremoni, Harganas ke-21 diperingati dengan cara melakukan pengarapan khusus (Rapsus) pogram kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di satu kecamatan. Seluruh rangkaian mekanisme operasional (Mekop) program

26

KKBPK pun bergulir selama dua hari, 19-20 Agustus 2014. “Sebenarnya kami mengagendakan rapsus berlangsung selama tiga hari. Namun karena rangkaian Harganas XXI dilaksanakan 20 Agustus 2014, akhirnya mekop KKBPK ini dipadatkan menjadi dua hari saja,” terang Kepala BKBPP Kabupaten Sumedang Nana Sutisna melalui Kepala Bidang Keluarga Berencana Hoerul di sela peringatan Harganas di Lapangan Desa Kebon Kalapa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Sumedang. Dalam dua hari tersebut, BKBPP

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

mengumpulkan seluruh petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) maupun tenaga penggerak desa (TPD) dari seantero Kabupaten Sumedang di kecamatan tersebut. Para pengelola program di lini lapangan ini secara “keroyokan” menggarap secara intensif satu kecamatan. Selama dua hari itulah mereka “mondok-moek” di tengah warga, beraktivitas di tengah masyarakat dan menginap di rumah penduduk. Guna memotivasi petugas lini lapangan, panitia melombakan seluruh rangkaian kegiatan tersebut. Terutama TPD, mereka ditantang untuk melakukan


WARTA DAERAH komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada masyarakat. Para juri berasal dari BKBPP Sumedang dan asosiasi profesi PLKB. Hasil KIE tersebut langsung diarahkan untuk menjadi peserta KB dengan cara mengikuti pelayanan kontrasepsi.

ingin melunasi utangnya, membayarnya dengan tenaga atau jasa. Pa, sawios abdi damelkeun tukang sasapu atau naon we, supados tiasa ngalunasan hutang,” timpal Ali menirukan ucapan mereka dikantornya, akhir Agustus 2014.

“Selain rapsus program KKBPK, kami juga melaksanakan seminar pengembangan keriwausahaan bagi anggota kelompok UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). Seminar ini mendatangkan narasumber dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Sumedang dan Griya Supermarket,” papar Nana lebih jauh.

Bantuan- bantuan modal yang bergulir itu tujuan utamanya meningkatkan ekonomi kerakyatan agar menjadi lebih sejahtera dan bisa menularkan lagi pada keluarga lainnya. Dan, yang utamanya adalah mendidik para mustahik dari yang tadinya penerima zakat menjadi muzaki atau pemberi zakat.

Peduli Keluarga Prasejahtera Di sisi lain, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Sumedang makin getol membantu pengembangan usaha kecil dan menengah. Bantuan ini disalurkan dalam skema bantuan pinjaman modal bergulir tanpa agunan dan bunya bagi usaha produktif maupun bantuan langsung bagi keluarga miskin. Bantuan langsung dan tanpa harus dikembalikan biasanya disalurkan bagi para pedagang gorengan, serabi, cendol, dan lain-lain. Setiap pedagang kecil ini menerima bantuan Rp 200500 ribu. Sebagian dari mereka dengan suka cita mengembalikan modal ketika usahanya mulai berhasil. Ketua Baznas Kabupaten Sumedang Ali Bajri menjelaskan, saat ini tak sedikit para pedagang yang terjerat rentenir sudah dibebaskan Baznas. Khusus bagi mereka yang meminjam modal tetapi tdak bisa melunasi hutangnya, Ali menjelaskan, mereka cukup menunjukkan keterangan tidak mampu dari RT/ RW setempat. “Ada juga warga yang keukeuh

“Bantuan tersebut mulai ratusan ribu sampai ada yang sudah Rp 20 juta. Ini salah satu contoh peningkatan usaha tadi, dari mustahik menjadi muzaki. Lama pengembalian maksimal 10 bulan. Termasuk dalam Harganas kemarin, Baznas memberi bantuan usaha pada kelompok UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera) sebesar Rp 20 juta. Ini bentuk kerja sama antara Baznas dan Bdan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) tentang pinjaman dana bergulir bagi kelompok UPPKS dengan sasaran masyarakat prasejahtera dan KS I,” ujarnya. Selain dengan BKBPP, pihaknya pun telah bekerja sama pula dengan RSUD Sumedang untuk memangani pembayaran masyarakat yang belum terdaftar di BPJS. Menurutnya, Baznas telah membantu atau sebagian besar sudah mencoba mengambil alih program pemerintah di bidang sosial kesejahteraan rakyat untuk meningkatkan taraf hidup rakyat kecil. “Kita peduli dengan bantuan kesehatan bagi masyarakat miskin karena tidak semuanya bisa ditangani oleh pemerintah.

Yang harus dibantu, ya kita bantu dan kami siap melayani untuk mencapai tujuan utama dan bersama, yakni menyadarkan masyarakat untuk berzakat dengan pengelola yang amanah. Meski kesadaran masyarakat wajib keluarkan zakat baru 20 persen yang bayar ke Baznas karena ada di antaranya yang bayar langsung,” jelasnya. Tak hanya itu, pengembangan makin konkret dengan dibukanya keran kemitraan dengan peritel modern Griya Supermarket. Jaringan ritel terkemuka ini bersedia menampung sekaligus memasarkan produk UPPKS di Kabupaten Sumedang. Tentu, di dalamnya ada prasyaratprasyarat khusus yang harus dipenuhi kelompok UPPKS, terutama menyangkut standar kualitas produk dan jaminan ketersediaan produk itu sendiri. “Setelah kami cermati, kerjasama ini menjadi yang pertama di Jawa Barat. Kami mencoba memprakarsai kerjasama tiga pihak untuk mendongkrak kesejahteraan keluarga melalui UPPKS ini. Melalui kerjasama ini, kelompok UPPKS di Sumedang bisa mendapatkan bantuan modal sekaligus tersedia jalan bagi pemasaran produk. Mudahmudahan masalah klasik UPPKS berupa modal dan pasar ini bisa terpecahkan,” ujar Nana optimistis. Selain kerjasama tripartit tersebut, BKBPP Sumedang juga menggagas kerjasama antara Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) dengan Karang Taruna. Anggota Karang Taruna yang tersebut di seluruh desa dan kecamatan akan menjadi mitra bagi pengembangan PIKR di daerah masing-masing. Nah, dokumen kerjasama tersebut diteken pada puncak peringatan Harganas XXI dengan turut disaksikan Bupati Sumedang Ade Irawan.(EMI/NJP)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

27


WARTA DAERAH

HARGANAS KOTA BANDUNG

Ridwan Kamil Ingin Reformasi Program KB

W

ali Kota Bandung Ridwan Kamil berjanji memberikan perhatian perhatian khusus kepada program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di Kota Kembang. Upaya ini ditempuh dengan banyak menggulirkan kegiatan yang di dalamnya banyak melibatkan anggota keluarga. “Realisasinya dengan cara mewajibkan mereka untuk lebih banyak berinteraksi dengan keluarga, misalnya ada program makan malam bersama keluarga atau foto bareng keluarga. Minimal dengan makan malam akan timbul percakapanpercakapan kualitatif yang selama ini mungkin hilang. Intinya mah dengan cara-

28

cara kreatif,” kata Ridwan usai memimpin peringatah Hari Keluarga Nasional (Harganas) XXI tingkat Kota Bandung di Hotel Harris, Rabu 20 Agustus 2014. Salah satu ikon kreatif Bandung ini menilai saat ini nilai-nilai keluarga mulai luntur dalam kehidupan sehari-hari. Banyak anak yang kehilangan waktuwaktu berkualitas bersama keluarga. Pada saat yang sama, perilaku anak-anak dan remaja makin memprihatinkan. Salah satunya terlihat dari penggunaan bahasa yang cenderung kasar untuk berkomunikasi dengan sesamanya. “Saya juga mengamati saat ini generasi muda mulai kasar-kasar bahasanya terhadap sesamanya, gitu kan. Kemudian rasa kebangsaan juga kadang-kadang

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

menipis. Karena itu, saya ingin mengembalikan lagi kepentingan bangsa kepada keluarga. Saya titipkan ke kekuatan keluarga. Di Bandung Insya Allah yang namanya PKK dan Keluarga Berencana akan kita reformasi, mengembalikan lagi nilai-nilai keluarga yang sama amati agak luntur,” tegas Kang Emil, sapaan Ridwan Kamil. Di sisi lain, Emil menilai peringatan Harganas XXI merupakan meomentum tepat untuk mengembalikan nilai-nilai keluarga di dalam masyarakat. Terlebih, sambung dia, keluarga merupakan komunitas kecil dalam masyarakat namun memiliki peran sangat strategis. Harganas juga menjadi penghargaan bagi para pengelola program KKBPK di Kota Bandung.(NJP)


OPINI

Mewaspadai Pertumbuhan Penduduk Oleh Husein Fauzan Putuamar Pengurus IPKB dan pengajar pada STIKes Cirebon

Isu kependudukan memang kurang menarik, tidak seperti isu pemilu legislatif atau pemilihan presiden yang baru saja kita laksanakan. Padahal perlu dicatat, sesungguhnya kegagalan penanggulangan penduduk sangat berdampak pada suksesnya sebuah pemilu. Bayangkan, ngurus pemilu 251 juta jiwa saja terkesan semrawut dan karut marut. Apa jadinya pemilu bila penduduk negeri ini tanpa pengendalian?

A

dalah Prof. Dr. Ganjar Kurnia, seorang pakar demografi yang kini Rektor Universitas Pajajaran Bandung, dalam sebuah prolog seminar kependudukan beberapa waktu lalu pernah bercerita. Sang professor itu mengisahkan sebuah penelitian klasik tentang pengaruh kepadatan penduduk terhadap prilaku kehidupan manusia. Studi eksperimen itu, Calhoun, mencoba mendesain sebuah perkampungan buatan yang laik huni hanya oleh 45 ekor tikus. Selama proses studi berlangsung, kebutuhan air dan makanan disuplai secukupnya. Sehingga binatang percobaan ini memungkinkan tumbuh dan berkembang biak secara alami. Namun, sungguh sangat mengejutkan! Ketika populasi tikus itu telah berkembang mencapai sekitar jumlah dua kali lipat, berbagai reaksi aneh atau “kelainan” mulai muncul. Konon sebagian dari mahluk percobaan itu bertingkah berlebihan, termasuk overseksual. Sebagian lagi berkelakuan homoseksual. Bahkan, ada yang menjadi kanibal. Mereka memangsa

tikus-tikus kawan bahkan mungkin saudaranya. Studi itu juga mengungkapkan bermacam-macam kejadian, yang sekaligus mengisyaratkan “lonceng kiamat” bagi kehidupan generasi para tikus berikutnya. Lebih jauh digambarkan, apabila bayi-bayi tikus yang dilahirkan itu tidak segera mati, maka hidup dalam keadaan fisik yang tidak normal. Menjelang studi itu berakhir, seluruh populasi tikus berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, mengenaskan, dan menyengsarakan. Bahkan, semuanya di ambang kematian. Tidak kurang dari 30 tahun yang lalu, gambaran persoalan akibat pertumbuhan penduduk, telah mendapat perhatian dunia, terutama setelah dipublikasi adanya isu global Limits to Growth, hasil penelitian kelompok Massachuttes Institute of Technology (MIT), suatu kelompok kerja dari Roma yang mengemukakan dalam bahasa sederhana bahwa kekenderungan-kecenderungan pembangunan yang dilakukan oleh umat manusia seperti di lakukan pada masa lampau, maka pertumbuhan bumi ini akan melampaui batas-batas

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

29


OPINI kemampuan. Sehingga akan mengalami bencana dalam beberapa generasi mendatang (kiamat?), setelah kelompok MIT meneliti secara global dengan model komputer terhadap pertumbuhan di bumi, yang meliputi pertumbuhan penduduk, pengadaan pangan, penggunaan sumber daya alam, pengembangan industri dan moneter, serta polusi. Apabila diamati secara seksama, sebab utama bencana itu logis merupakan sebab akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, di samping timbulnya egoisme dan keserakahan umat manusia. Sehingga, kurang peduli terhadap kepentingan generasi mendatang. Barangkali banyak benarnya pepatah yang mengatakan bahwa bumi ini bukan warisan nenek moyang, melainkan pinjaman anak cucu kita.

Lonjakan Penduduk Dalam sebuah media, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) merilis data dari Peserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang memperkirakan jumlah penduduk dunia pada Oktober 2011 mencapai tujuh miliar jiwa. Hampir dua abad yang lalu, bumi yang kita pijak hanya berpenghuni sekitar satu miliar saja. Sekitar 97 tahun kemudian, jumlah planet bumi ini dihuni dua miliar manusia. Artinya, setiap tahun selama periode itu rata-rata pertumbuhan penduduk sekitar sebesar 10 juta jiwa. Pada 1999, jumlah penduduk di alam raya ini mencapai enam miliar. Berarti pertumbuhan penduduknya rata-rata per tahun mencapai tidak kurang dari 83 juta. Dan, 12 tahun kemudian penduduk dunia mencapai tujuh miliar dengan pertumbuhan per tahun masih sama.

30

Uraian di atas menunjukkan bahwa hanya dalam 12 tahun, penduduk dunia meningkat sebanyak satu miliar jiwa. United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat bahwa saat ini pertumbuhan penduduk dunia terbilang ekstracepat. Bayangkan, pertumbuhan penduduk satu miliar dilahirkan hanya dalam periode tahun 1999-2011, atau 12 tahun saja. Pada periode itu, jumlah penduduk dunia naik dari enam miliar menjadi tujuh miliar jiwa. Sesungguhnya kondisi angka “tujuh miliar” antara lain masih diliputi dengan kemiskinan penduduk yang cukup ekstrem, ketidaksetaraan, tingginya angka mortalitas dan fertilitas. Potret lain yang dapat dilihat adalah semakin bertambahnya jumlah penduduk dibawah usia 25 tahun yang saat ini mencapai tiga miliar, dan 1,8 miliar di antaranya berada pada usia 10-24 tahun. Ironisnya, tingkat pengangguran di kalangan mereka minimal dua kali lipat di bandingkan tingkat pengangguran secara umum. Lebih ironis lagi, 40 persen pengidap baru HIV (virus penyebab AIDS) adalah remaja usia 15 -24 tahun. Potret lain menunjukan 16 juta remaja perempuan tiap tahun menjadi ibu dengan komplikasi kehamilan dan persalinan. Hal ini menyebabkan terjadi kematian maternal di kalangan remaja di sejumlah negara berkembang. Pada sisi lain penduduk lanjut usia (Lansia) jumlahnya semakin tinggi. Indonesia merupakan negara dengan porsi lansia nomor empat terbesar di dunia, seperti halnya jumlah penduduk secara keseluruhan setelah China, India dan Amerika. Hanya saja persoalan lansia di Indonesia kurang mendapat perhatian. Konon di Singapura atau Amerika Serikat, jalan–jalan dibuat sesuai kebutuhan lansia maupun masyarakat umum. Sehingga para lansia merasa

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014

diperlakukan secara adil dan terhormat. Tumbuhnya kota-kota di berbagai negara turut menjadi pemicu membludaknya penduduk. Di mana pun di belahan bumi planet ini, kota sementara ini benarbenar dijadikan tempat lebih dari separuh penduduk dunia berebut rizki untuk mempertahankan hidup. Pada satu sisi, kota menawarkan perbaikan kualitas hidup, namun dalam sisi lain kota juga yang berpotensi mendera kehidupan manusia itu sendiri. Masalah pemukiman, penyediaan air bersih, polusi, dan berbagai akibat sosial yang ditimbulkan, diperkirakan akan menjadi persoalan yang serius pada masa kini dan akan datang. Macet dan banjir di Jakarta saja sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah Gubernur Jokowi, yang kita tidak tahu sampai kapan penyelesaiannya. Melihat fenomena itu, solusi yang perlu dan segera adalah program pengendalian pertumbuhan penduduk yang konsisten di berbagai daerah kabupaten/kota. Persoalan kependudukan bukan persoalan sektoral tetapi sudah menjadi isu global. Sebut saja laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,49 persen per tahun, artinya populasi Indonesia bertambah 3,5 juta hingga 4,0 juta per tahun. Kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan penduduk dunia. Dengan demikian, maka programprogram pembangunan yang dilakukan seyogyanya lebih mengutamakan keberpihakan kepada persoalan kependudukan, atau dengan istilah lain adalah program yang berorientasi kependudukan. Sehingga, pembangunan yang dilakukan pemerintah merupakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Semoga!


WARTA PERSONA

Saprudin Hidayat

Pejuang KB Tiada Akhir

S

aprudin Hidayat tampak sumringah ketika dicegat DUAANAK. COM di tengah hirukpikuk sidang paripurna istimewa pengambilan sumpah jabatan DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB) di Grand Hotel Lembang, Senin siang, 25 Agustus 2014. Dia pun dengan senang hati meladeni wawancara singkat di ruang konvensi yang disulap menjadi arena sidang tersebut. Ya, siang itu Saprudin Hidayat merupakan satu dari

50 anggota DPRD KBB yang dilantik untuk masa bakti lima tahun ke depan. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Pak Sap ini lama berkecimpung di dunia kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). Lama malang-melintang di Jawa Barat, bekas Sekretaris BKKBN Jabar ini menutup kariernya sebagai pelaksana tugas (Plt) Kepala Perwakilan BKKBN Aceh. “Saya ini 30 tahun mengelola program KB. Dari pengalaman itu saya menyimpulkan bahwa pembangunan KB atau KKBPK itu tidak cukup dilakukan eksekutif. Perlu upaya bersama untuk membangun kependudukan dan KB ini. Itulah salah satu alasan saya terjun menjadi politikus dan mencalonkan menjadi anggota legislatif. Saya bersyukur akhirnya saya terpilih,” kata Saprudin. Urang Cililin pituin ini mengaku bersyukur telah berkecimpung dalam pembangunan KKBPK. Pengalaman itu menjadi bekal berharga untuk menjalani tugas baru sebagai wakil rakyat. Pengalaman itu pula yang mengantarkan pada sebuah simpulan bahwa pembangunan KKBPK atau program pembangunan lainnya sesungguhnya bermuara pada satu tujuan. Yakni, kesejahteraan masyarakat. Apalagi, sambung dia, program KKBPK yang digulirkan di

Indonesia sejak 1970 lalu secara tegas menyebutkan tujuan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang dikenal dengan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS). Program ini juga memberikan perhatian lebih pada aspek pembangunan keluarga yang di dalamnya mengusung program keluarga sejahtera. “Pengalaman selama bertugas ngurus KB ini makin kaya setelah saya melakukan kunjungan langsung dari rumah ke rumah. Untuk mendapatkan pelayanan BPJS kan harus ada kartu keluarga, padahal mereka tidak mencatatkan pernikahannya secara resmi. Akibatnya, mereka tidak bisa memiliki kartu keluarga. Sudah barang tentu mereka tidak bisa mengikuti BPJS. Ini salah masalah administrasi kependudukan yang harus dibenahi,” kata Saprudin. Legislator portofolio Partai Hanura ini menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pembangunan KKBPK di KBB. Sesuai tugas pokok dan fungsi legislatif, Saprudin memastikan bakal menjadi pengawas yang baik untuk pelaksanaan pembangunan KKBPK. “Saya ini pejuang KB. Sampai akhir jabatan nanti akan terus memperjuangkan KB. Tentu saja dengan tetap memberikan perhatian pada pembangunan sektor lain di KBB,” ujar Saprudin. (DUAANAK.COM)

NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER 2014 • WARTA KENCANA

31


WARTA UTAMA

32

WARTA KENCANA • NOMOR 20 • TAHUN V • SEPTEMBER - 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.