d aftar isi WARTA KENCANA Media Advokasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Jawa Barat diterbitkan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Barat bekerjasama dengan BKKBN Jawa Barat untuk keperluan penyebarluasan informasi dan kajian kependudukan dan keluarga berencana di Jawa Barat. Warta Kencana hadir setiap dua bulan. Redaksi menerima kiriman artikel, liputan kegiatan, dan foto kegiatan kependudukan atau keluarga berencana. Redaksi akan memprioritaskan kiriman dari daerah. Setiap pemuatan akan mendapatkan bingkisan menarik dari redaksi. Penasehat Kepala BKKBN Jawa Barat Ir. Siti Fathonah, MPH. Dewan Redaksi Drs. H. Saprudin Hidayat Drs. Eli Kusnaeli, M.Pd. Dra. Ida Indrawati Dra. Tetty Sabarniati Drs. H. Yudi Suryadi Drs. Rudy Budiman Drs. Soeroso Dasar, MBA Pemimpin Redaksi Drs. Rudy Budiman Wakil Pemimpin Redaksi Elma Tri Yulianti, S.Psi. Tim Redaksi Arif R. Zaidan, S.Sos. Bambang Dwi Nugroho, S.Ds. Chaerul Saleh Managing Editor Najip Hendra SP Fotografer Toni Patoni Dodo Supriatna Humas BKKBN Jabar Tata Letak Litera Media Grafika Kontributor Nurjaman, S.Pd. IPKB Jawa Barat Sirkulasi Ida Farida Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 720 7085 Fax : (022) 727 3805 Email: kencanajabar@gmail.com
Konsolidasi IPKB Jabar
Menu Edisi Ini Editorial
Membangun Penduduk Berkualitas
Wawancara
Kepala Daerah Harus Punya Visi Kependudukan
Laporan Utama
Rapor Biru KB Jawa Barat Tahun Ini Ditarget 1.760.380 Orang Empat Tahun Jelang Tumbuh Seimbang Wawasan Kependudukan Berawal dari Pendidik BKKBD Sukabumi (Ditarget) Terbentuk Tahun Ini
Lensa
Rechecking PKK-KB-Kesehatan Kegiatan-kegiatan BKKBN Jawa Barat
Jurnal
Jabar Jawara Media Luar Ruang BKKBN Jabar Lantik Pejabat Eselon III dan IV Komitmen Tingkatkan Kemitraan Lini Lapangan Sugiri Syarief Champion Ibu Melahirkan
3 4 8 10 14 15 16 12 13 17 18 19 20
Wacana
Jawa Barat Bisa Jadi Provinsi Pertama yang Terancam Ledakan Penduduk
Serba Serbi
Manik Laluna: Semua Indah pada Waktunya
21 23
Percetakan Litera Media 022-73944665
2
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
e ditorial
Membangun
Penduduk Berkualitas
B
arangkali ada baiknya bila kita terus mengingat-ngingat hasil penelitian Prof. Ascobat Gani, pakar kependudukan Universitas Indonesia (UI). Melihat perbandingan jumlah penduduk DKI Jakarta dalam dua kali sensus penduduk (SP), 1990 dan 2000, Ascobat Gani menemukan angka Rp 6,8 triliun. Angka itulah yang berhasil dihemat DKI Jakarta ketika berhasil menunda 1,8 juta kelahiran. Mari kita berandai-andai. Kalau saja duit Rp 6,8 triliun digunakan untuk membangun puskesmas dan sekolah, maka sekurang-kurangnya akan berdiri 6.000 bangunan puskesmas atau sekolah dasar. Jangan bandingkan dengan biaya renovasi ruang rapat Badan Anggaran di DPR RI karena sebagusbagusnya puskesmas atau bangunan SD tak akan sampai angka Rp 20 miliar. Atau bila dibandingkan dengan anggaran program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di Jawa Barat yang setahun sekitar Rp 100 miliar, barangkali anggaran setengah abad sudah terpenuhi. Andai saja semua masyarakat tahu hitung-hitungan itu, maka mereka akan berpikir ulang tentang jumlah anak yang diinginkan. Boleh jadi sebagian besar di antara mereka secara bulat langsung menjadi peserta KB. Hasilnya, total fertility rate (TFR) tak akan lagi menggelembung, laju pertambahan penduduk (LPP) tak lagi berlari kencang, masyarakat hidup rukun sejahtera. Kalau sudah begitu, seperti ditegaskan Kepala BKKBN Sugiri Syarief, BKKBN “siap mundur� ke belakang. BKKBN hanya memberikan pembinaan teknis manakala masyarakat sudah siap dan mampu menggerakkan program maupun kegiatan secara mandiri. Ah, tapi itu cuma berandai-andai. Faktanya, TFR Jawa Barat masih 2,48; LPP masih 1,89 persen; kematian bayi maupun ibu melahirkan masih tinggi. Dan, barangkali karena fakta-fakta itu pula yang menjadikan BKKBN masih berdiri sampai hari ini. Dan, barangkali karena itu pula insan BKKBN atau pelaksana program KB di kabupaten dan kota harus senantiasa siap menjadi garda terdepan dalam agenda pembangunan kependudukan. Hasil SP 2010 mengingatkan kita semua bahwa pekerjaan masih sangat berat, perlu kerja keras dan tentu saja kerja cerdas. Itulah sebenarnya pekerjaan rumah bagi kita semua. Persoalan kependudukan dan KB yang demikian kompleks itu mendorong kita untuk terus membangun jejaring demi terwujudnya sinergi program di masyarakat. Ada banyak permasalahan yang terjadi dalam dinamika pengelolaan program KKB. Dari hasil pencapaian 2011 –juga pencapaian tahun sebelumnya– kita belajar lagi memetakan pekerjaan 2012 yang sudah kita mulai. Problematika kependudukan itulah yang menjadi menu utama dalam majalah kita edisi ini. Di luar itu, edisi ini juga membedah persoalan kelembagaan di daerah. Tentu kami tak melupakan kegiatan apa saja yang telah dilakukan di awal tahun 2012 ini. Jujur saja, kami masih menunggu sumbangsih dari daerah untuk turut membangun penduduk berkualitas melalui media ini. Akhirul kalam, Selamat Membaca!
Rudy Budiman Pemimpin Redaksi
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
3
w awancara
Wawacara Khusus dengan Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat Dr. Ferry Hadiyanto, SE, MA.
Kepala Daerah Harus Punya Visi Kependudukan Kompleksitas permasalahan kependudukan di Jawa Barat sejatinya bisa diurai secara sederhana sehingga bisa ditemukan benang merah penyelesaiannya. Terlebih dalam konteks otonomi daerah yang memungkinkan setiap daerah mengembangkan kebijakan sesuai karakteristik masing-masing. Beberapa solusi itulah yang disodorkan Dr. Ferry Hadiyanto, M.A., Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat yang lebih dari 12 tahun lalu menjadi peneliti di Pusat Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Padjadjaran (Unpad). Berikut petikan wawancara Warta Kencana yang dilakukan di kampus Magister Ilmu Ekonomi Unpad, 13 Januari 2012 lalu. Menurut Anda, apa yang kependudukan di Jawa Barat?
menjadi
persoalan
Persoalan mendasar kependudukan di Indonesia ini berangkat dari tidak adanya satu lembaga khusus, sebutlah kementerian, yang secara khusus menangani kependudukan. Saat ini, kependudukan ditangani keroyokan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan
4
Perempuan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan BKKBN. Hasilnya menjadi tidak fokus. Hal ini kemudian berimbas ke daerah. Sementara di Jawa Barat, problem utama kita sebenarnya bukan masalah kelahiran dan kematian, melainkan pengendalian (penduduk). Secara historisgeografis, Jabar merupakan daerah yang bersinggungan langsung dengan ibu kota negara, Jakarta. Itu yang menyebabkan Jawa Barat menjadi sangat penting
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
w awancara kedudukannya. Karena itu, pengendalian ini menjadi harus dilakukan. Posisi ini berkaitan erat dengan migrasi, baik dari daerah lain maupun limpahan penduduk DKI yang kepadatannya sangat tinggi. Konsekuensinya, kebutuhan terhadap perumahan maupun area bisnis terus meningkat. Kepadatan pun tak bisa dihindari. Bagaimana dengan fertilitas? Kalau kita bicara fertilitas, melihat dari data lima tahun terakhir, tampak sudah mengalami banyak penurunan. Itu juga merupakan kesuksesan di BBKBN dan Dinas Kesehatan dalam mengendalikan tingkat kelahiran bayi hidup. Dari riset terakhir yang dilakukan Unpad, angka kematian bayi termasuk kecil. Kabupaten dan kota di Jabar sudah relatif mampu mengendalikan angka kematian bayi. Artinya, kelahiran dan kematian sebagai penambah jumlah penduduk relatif dapat dikontrol. Tapi yang tidak bisa dikontrol itu adalah migrasi. Bagaimana pengendalian itu dilakukan? Pengendalian itu ada dua, aspek individual dan aspek kota-kota berupa tata ruang wilayah. Pengendalian individu bisa dilakukan dengan cara-cara represif seperti pengetatan administrasi kependudukan di daerah. Artinya, ada pembatasan bagi pendatang? Bisa dengan pembatasan, bisa juga penerapan retribusi lebih tinggi, sanksi-sanksi, dan sebagainya. Nah, kebetulan ada e-KTP yang juga program nasional. Itu dapat juga dijadikan sebagai instrumen yang tetap untuk melakukan represi terkait dengan administrasi kependudukan. Ini suatu momen sesunggguhnya. Jadi, gak perlu modal sendiri, dalam arti tidak menghabiskan modal APBD untuk membenahi administrasi kependudukan. E-KTP dapat dijadikan instrumen untuk recycling data kependudukan di kabupaten dan kota. Meraka yang tidak memiliki domisili tetap itu akan terusir dengan sendirinya. Karena dia tidak bisa bikin e-KTP, tidak bisa nembak. Dia harus tercatat terlebih dahulu sebagai orang yang berdomisili tetap. Kalau kemudian dia baru datang sebulan lalu, setengah tahun lalu, satu tahun lalu, itu dia tidak bisa nanti tahun ini dia bikin e-KTP. Dia harus memilih apakah akan membuat KTP di daerah asal atau penduduk musiman Kota Bandung misalnya. Kalau domisili tetap harus memiliki tempat tinggal tetap, milik sendiri atau ngontrak. Jadi, tunawisma semacam itu gak bisa. Mereka akan dilihat dan diserahkan ke Kementerian Sosial. Program e-KTP ini diharapkan tuntas tahun 2012. Kalau ini bisa dilakukan 2012, saya yakin sekali bahwa masalah pengendalian penduduk sedikit banyak dapat diatasi. Prinsipnya, pengendalian itu salah satunya bisa dilakukan dengan pembenahan administrasi kependudukan.
Soal retribusi itu? Ketika seseorang dia tidak memiliki KTP tetapi dia tetap bertempat tinggal, maka kecamatan bisa melakukan pemajakan atau retribusi. Seperti pembuatan kartu tinggal sementara dibebankan retribusi tinggi. Jadi dia mikir dua kali. Misalnya nanti surat tinggal sementara itu Rp 500 ribu, dia mikir dua kali datang ke Bandung. Nembak pun kan pasti lebih mahal. Yang berkaitan dengan tata ruang? Tata ruang regional harus dibuat secara spesifik. Mana yang kemudian akan jadi pusat penduduk bermukim, pusat penduduk berusaha, dan juga media-media di mana penduduk itu berinteraksi dalam melakukan mobilitas penduduknya. Contohnya, kalau memang seandainya Pantura itu akan dijadikan suatu wilayah industri, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan kabupaten terkait harus memikirkan pembuatan settlement. Jadi, gak bisa kemudian dibiarkan kawasan penduduknya itu di sekitar pabrik atau kawasan industri itu sendiri. Nah, itu harus dibuat perencanaannya. Karena kalau tidak, kalau itu dibiarkan, maka akan begitu semerawut dan amburadul. Faktanya, RTRW itu hampir dipunyai setiap daerah? Dalam pelaksanaannya, peraturan daerah tentang RTRW atau rencana tata ruang wilayah selalu kalah oleh kepentingan lain. Pemerintah inkonsisten terhadap produk hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Di sinilah perlunya paradigma kependudukan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kependudukan haruslah jadi penentu determinan dalam pengambilan kebijakan. Sekarang, kependudukan ini bisa kalah oleh faktor lain seperti faktor ekonomi, sosial, politik, kepermintahan, dan sebagainya. Siapa yang seharusnya menjamin sebuah aturan dapat dilaksanakan? Ya harus dari decision maker, dalam hal ini penguasa daerah. Jadi, bupati, wali kota, dan gubernur harus memiliki visi kependudukan. Kunci adalah bahwa kepala pemerintahan di tingkat provinsi, kabupten, dan kota di Jawa Barat harus memliki visi tentang pengendalian penduduk. Sepanjang dia tidak punya visi tetang pengendalian penduduk, maka jangan harap bahwa pembangunan kabhupaten kota dan juga provinsi di Jawa Barat bisa mengalami akselerasi. Bisa diartikan tidak ada political will dari penguasa? Mungkin ada tetapi mungkin seringkali diabaikan. Sebenarnya mungkin sudah ada, tapi ketika pengambilan kebijakan itu diambil sering kali aspek kependudukan diabaikan. Kepala daerah lebih mengedapankan faktor
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
5
w awancara atau variabel determinan yang lain. Bisa jadi, kondisi muncul karena tidak adanya lembaga yang memberikan informasi. Kepala daerah tidak mendapatkan informasi yang cukup bagus bagaimanana bahaya ketika penduduk tidak dikendalikan. Di sisi lain, tidak ada advokasi dari lembaga lain atau perguruan tinggi tentang bahaya dan juga kemunduran pembangunan apabila penduduk ini tidak dikontrol. Apakah saat ini perguruan tinggi kurang berperan dalam pengendalilan penduduk? Peran perguruan tinggi sebenarnya kita lihat sudah mulai banyak menunjukkan concern terhadap kependudukan. Terbukti dengan beberapa universitas memiliki pusat-pusat kajian tentang kependudukan. Jurnal Kependudukan Unpad yang berisi hasil-hasil riset kependudukan itu termasuk yang tertua di Indonesia. Referensi penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi sebenarnya juga tidak kurang. Masalahnya, universitas
berusaha memberikan dorongan untuk memperkuat link and match antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah, khususnya menyangkut tentang masalah kependudukan. Mudah-mudahan bisa. Tapi itu tadi, kuncinya ada di match, bukan hanya link. Link sudah ada dari dulu, tapi match adalah pekerjaan berikutnya. Dua belah pihak mesti pas visi dan kerangka pikirnya. Artinya, antara akademisi dan bupati atau Bapeda di daerah harus memiliki visi yang sama. Match sendiri belum terjadi antarlembaga pemerintah kan? Masalah kependudukan itu ada tiga, kelahiran, kematian, dan migrasi. Dari tiga tugas pokok dan fungsi besar itu kemudian dibagi-bagi secara eksplisit kepada masing-masing penanggung jawab satuan perangkat perangkat daerah (SKPD). Kelahiran itu bisa ke Dinas Kesehatan dan BKKBN daerah atau SKPD yang menaungi tentang KB. Lalu, masalah kematian nanti bisa ke Dinas
Koalisi Kependudukan Jawa Barat itu hanya bisa sampai memberikan rekomendasi karena pengambilan kebijakan memang murni berada di tingkat pemerintah daerah. Ketika rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti menjadi sebuah kebijakan, ya useless hasil riset itu. Itulah mungkin hilangnya link and macth antara perguruan tinggi dan pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Nah, seiring kurangnya perhatian pemerintah terhadap kependudukan berarti semakin memperbesar faktor hilangnya link and match antara perguruan tinggi dan pemda untuk masalah kependudukan. Perguruan tinggi pun menjadi sangat sulit mencari sumber pendanaan untuk penelitian kependudukan. Tapi (penelitian kependudukan) tidak berhenti. Kini, dengan hadirnya Koalisi Kependudukan kita
6
Kesehatan dan BKKBN juga. Kemudian, migrasi menjadi bagian dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Lembaga terakhir ini cukup memikirkan administrasi dan migrasi saja. Konsentrasinya ke sana. Sehingga, bagi-bagi tugas dan wewenang itu tidak saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang lain karena masing-masing sudah ada areanya. Sementara saat ini masih terdapat irisan antarlembaga di daerah. Misalnya kelahiran yang harus dilaporkan, sertifikasi anak, dan sebagainya. Kemudian kematian masih di Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Hal-hal itulah yang harus dibenahi. Jadi beda antara menghitung report kematian penduduk dengan aspek pertamanan dan pemakaman. Saat ini seolah-olah menghitung aspek penduduk itu dari pemakaman umum.
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
w awancara Undang-undang No. 52 tahun 2009 secara tegas tentang BKKBD, pendapat Anda? Secara nasional memang masih belum ada lembaga khusus. Namun karena kita itu berada pada iklim desentralisasi, harusnya kepala daerah itu berani untuk mengambil kebijakan sendiri. Bila di tingkat nasional tidak ada Kementerian Kependudukan, bukan berarti di tingkat SKPD tidak ada Dinas Kependudukan yang menangani menyangkut ketiga aspek kependudukan tersebut. Menurut saya, justru desentralisasi itu dijadikan momentum keberanian pemda untuk memenuhi kebutuhan daerahnya. Saya ambil contoh, Kabupaten Sukabumi itu saat ini sedang menggodok pembentukan BKKBD. Berarti pemerintah daerahnya sudah berpikir maju. Tidak mengikuti apa yang dilakukan nasional. Bagi saya, tidak jadi masalah. Ingat, nanti yang akan mendapatkan buah baik atau positifnya itu pemerintah daerah itu sendiri. Itu maksud saya. Dan sebetulnya aspek kependudukan itu sudah established sejak Orde Baru. Sejak saat itu sudah ada PKK, posyandu, juru penerang kependudukan, dan juga administrasi kependudukan. Semua itu sudah terbangun dari RT sampai kecamatan. Menurut saya tinggal kita menjalani.
saya melihat daerah-daerah maju itu tidak lepas dari baiknya tata kelola kependudukan yang dilakukan pemerintah daerahnya. Jadi, daerah-daerah yang memiliki pembangunan cepat, pembangunan baik, pasti alokasi APBD untuk kependudukan itu besar. Alokasi kesehatannya itu besar. Administrasi penduduknya juga lebih baik. Kali ini soal Koalisi Kependudukan, apa yang akan dilakukan? Koalisi Kependudukan Jawa Barat menilai bahwa kependudukan merupakan faktor sentral dalam pembangunan. Kami yang tergabung di sini, di antaranya dari Unpad, ITB, UPI, UIN Bandung, Unla, Unjani, Universitas Pakuan, dan beberapa anggpta lainnya, ingin memberikan sumbangsih bagi pembangunan kepen dudukan di Jawa Barat. Jadi, koalisi ini merupakan wadah dari pemikir-pemikir untuk bisa berkontribusi secara nyata dan positif terhadap kependudukan. Adapun yang akan kami lakukan di antaranya berusaha melakukan beberapa riset dan pengamatan perkembangan aspek kependudukan. Itu yang pertama. Lalu yang kedua, memberikan dan juga mengevaluasi kebijakan-kebijakan dan kerja-kerja pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, terkait dengan kependudukan. Ketiga, berusaha memberikan advoksi secara langsung kepada masyrakat.
Pembangunan bisa baik kalau input penduduknya juga baik.
Undang-undang juga mengusung visi kependudukan menjadi sentral pembangunan, Anda memaknainya seperti apa? Jadi gini, pembangunan itu salah satu input-nya adalah penduduk. Pembangunan bisa baik kalau input penduduknya juga baik. Karena itu agar kita bisa memastikan bahwa penduduk yang dimiliki Jawa Barat itu adalah penduduk yang baik atau berkualitas, maka segala aspek yang menyangkut tentang penduduk itu harus dipikirkan. Untuk memastikan bahwa penduduk kita itu baik dan berkualitas, berarti harus ada pemikiran, kebijakan, dan intervensi untuk menjadikan penduduk Jawa Barat itu baik dan berkualitas. Hal itu menyangkut pendidikannya, kesehatannya, kesejahteraan sosialnya, penjaminan-penjaminan hidupnya, dan sebagainya. Nah karena ini menjadi pokok penting, maka se gala aspek perilaku penduduk itu menjadi penentu dalam kehidupan ekonomi dan juga kehidupan dalam pembangunan. Itulah kita sebut people center development. Kalau ternyata kebijakannya itu salah dan menghasilkan penduduk yang tidak baik dan tidak berkualitas, maka dampaknya bisa langsung ke pembangunan itu sendiri. Ini sebenarnya dapat dilihat dari aspek desentralisasi. Untuk melihat kemajuan pembangunan daerah dibandingkan daerah lain, coba lihat aspek penduduknya. Sejauh ini,
Ngomong-ngomong, sejak kapan menggeluti tema kependudukan ini?
Anda
tertarik
Kependudukan dimulai saya geluti pada 1999. Waktu itu saya jadi sekretaris Health Economic Center, pusat kajian tentang ekonomi kesehatan. Kerja sama antara Unpad dengan WHO. Sekitar tahun 2000-2003 saya diberi amanat sebagai Sekretaris Pusat Penelitian Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Unpad. Waktu itu ketuanya adalah Prof. Armida Alisjahbana yang sekarang Kepala Bappenas. Disertasi saya itu banyak menyangkut tentang aspek kependudukan di Indonesia, judulnya Life Cycle Consumption. Beberapa variabelnya seperti jumlah anak itu apakah menentukan siklus dari pada konsumsi masyarakat atau tidak. Saya tiba pada kesimpulan bahwa untuk negara ber kembang seperti Indonesia, memang harus dimulai dari penduduknya itu sendiri. Jadi percuma kita bicara hal-hal yang terkait dengan makro kalau tidak ada kebijakankebijakan yang terkait dengan tataran kependudukan. Karena kependudukan sangat menentukan apakah arah pembangunan Indonesia itu menjadi lebih baik atau ti dak. Dari situlah saya semakin concern pada persoalan kependudukan. (*)
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
7
l aporan utama
Rapor Biru KB JAWA BARAT Tambah 1,7 Juta Peserta Baru, Lampau Target 2011 Dari 10 indikator utama, Jabar sukses melampaui angka perkiraan permintaan masyarakat (PPM) yang dijadikan target tahun berjalan. Hanya ada satu sub indikator yang menyisakan angka merah alias di bawah target.
W
ajah Siti Fathonah tampak sumringah saat ditanya pencapaian kinerja program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) sepanjang tahun 2011. Meski belum genap setahun menjadi Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat, keberhasilan ini memang tak lepas dari tangan dinginnya dalam memimpin hajat besar penyelenggaraan KKB di provinsi dengan penduduk lebih dari 43 juta jiwa ini. Dicegat seusai pengambilan sumpah 10 pejabat eselon III dan IV di lingkungan BKKBN Jabar pada 2 Februari 2012 lalu, Fathonah tampak tergesa-gesa mengantar salah seorang tamu ke ruang kerjanya. Tidak lama kemudian, barulah Fathonah kembali meladeni wawancara di ruang tunggu pimpinan. “Sebentar saja ya,� ujar perempuan yang selalu hangat dengan senyuman tersebut. Fathonah lantas menjelaskan sejumlah pencapaian indikator utama program KB di provinsi berpenduduk paling gemuk di Indonesia ini. Dari 10 indikator utama, terang Fathonah, Jabar sukses melampaui angka perkiraan permintaan masyarakat (PPM) yang dijadikan
8
target tahun berjalan. Hanya ada satu sub indikator yang menyisakan angka merah alias di bawah target. Jumlah peserta baru KB juga bertambah signifikan. Bila PPM hanya mematok angka 1.623.130 peserta baru (PB), realisasinya mencapai 1.705.834 PB atau sekitar 105,10 persen. Dengan tambahan tersebut, jumlah peserta aktif (PA) di Jawa Barat menjadi 7.014.713 orang. Dibanding jumlah pasangan usia subur (PUS) di Jawa Barat sebanyak 9.140.776 orang per Desember 2011, berarti 76,74 persen PUS sudah menjadi peserta KB. Memang, pengguna kontrasepsi jangka pendek masih dominan. KB suntik tercatat menjadi penyumbang utama dengan 900 ribu orang, diikuti KB pil sebanyak 491,719 orang. Semula, suntik dan pil ditarget 844.636 orang dan 485.189. Persentase pencapaian keduanya masing-masing 106,55 persen dan 101,35 persen. Itu bukan persentase terbaik. KP pria berupa MOP dan kondom menorehkan angka pencapaian lebih baik lagi. MOP atau vasektomi sukses meraih angka 109,44 persen, bertambah 4.104 orang dari target semula 3.750 orang. Persentase paling mentereng juga milik KB pria: kondom. Dari PPM 55.951 orang, jumlah peserta baru mencapai 63.565 orang atau mencapai 113,35 persen. Metode kontrasepsi jangka panjang atau MKJP tentu tak kalah dalam menunjukkan performa. Secara keseluruhan, peserta baru MKJP tahun 2011 mencapai 250.550 orang. Dibanding target PPM 237,354 orang, pencapaian MKJP berkisar pada angka 105,56 persen. Adapun satu sub indikator yang masih memiliki nilai merah adalah Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja kategori Tegar. Dari target 119 PIK Remaja Tegar, tahun 2011 lalu hanya sanggup pada angka 87 atau sekitar 73,11 persen. Meski begitu, indikator PIK
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
l aporan utama
Pelayanan KB di Masyarakat
Remaja masih lebih tinggi dari MKJP karena kategori tumbuh dan tegak sukses melampaui PPM. PIK Remaja Tumbuh bertambah 1.227 dari target semula 1.177 PIK atau sekitar 104,25 persen. Sementara PIK Remaja Tegak bertambah 287 dari target 215 PIK atau 133,49 persen. “Remaja ini sangat penting untuk digarap. Ya, nasib program KB ke depan itu ditentukan oleh mereka. Mereka yang akan menentukan angka fertilitas atau TFR (total fertility rate, red), bukan lagi pasangan usia subur (PUS) sekarang. Karena itu, remaja sangat penting memiliki pemahaman tentang kependudukan dan KB,� Fathonah menegaskan. Di bagian lain, Laporan Indikator Kinerja Utama Program KB Tahun 2011 yang dirilis BKKBN Jawa Barat menunjukan, keluarga yang memiliki balita yang aktif menjadi anggota Bina Keluarga Balita (BKB) berjumlah 755,774 keluarga atau sekitar 102,60 persen dari target semula sebanyak 736,618 keluarga. Sementara BKB percontohan di Jawa Barat per Desember 2011 berjumlah 1.262 BKB, sedikit lebih banyak dari angka PPM sebanyak 1.250 BKB. Kemudian, jumlah keluarga yang memiliki remaja aktif menjadi anggota Bina Keluarga Remaja (BKR) mencapai lebih dari 500 ribu orang. Laporan juga mencatat jumlah BKR Percontohan dan Bina Keluarga Lansia (BKL) di Jawa Barat saat ini masing-masing berjumlah 682 dan 658 lembaga. Jumlah ini di atas angka target masing-masing sebanyak 625 lembaga. KB memang tak lagi melulu berkutat pada masalah kontrasepsi. Dalam perkembangannya, BKKBN juga berupaya membangun ketahanan keluarga. Salah satunya melalui program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang hingga akhir tahun
lalu tercapat 9.706 kelompok di Jawa Barat. Angka yang tercatat pada Direktori Data Basis Online ini lebih tinggi dari perkiraan semula sebanyak 9.677 kelompok. Bagaimana dengan pasangan usia subur (PUS) dari kalangan prasejahtera dan sejahtera pertama (Pra-KS/ KS I)? Dalam laporan yang sama, jumlah PUS kategori Pra-KS dan KS I yang menjadi peserta KB sekitar 94,64 persen. Artinya, hampir seluruh anggota UPPKS dari kalangan kurang sejahtera ini sudah menjadi peserta KB. Laporan pencapaian juga memberikan gambaran persebaran di setiap kabupaten dan kota di Jawa Barat. Untuk indikator MKJP misalnya, hampir seluruh daerah menunjukkan performa meyakinkan. Kecuali Kota Bekasi, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Garut, seluruhnya berhasil melampaui angka 100 persen. Sementara lima daerah tadi berturut-turut mencatatkan pencapaian masing-masing 93,95 persen, 81,43 persen, 97,89 persen, 65,97 persen, dan 95,64 persen. Bila dicermati, tiga daerah pertama merupakan kawasan industri yang berekor ke pesisir utara Jawa. Sementara dua daerah berikutnya berada di tengah hingga pesisir selatan. Secara geografis, Sukabumi selatan dan Garut selatan merupakan daerah dengan akses penghubung antardesa atau kecamatan terbilang sulit. Adapun Bekasi merupakan pusat industri yang menjadi magnet bagi kehadiran migran dari berbagai daerah di tanah air. Sementara Subang dan Karawang merupakan daerah dengan portofolio program KB kurang meyakinkan. Sementara itu, Kabupaten Tasikmalaya berhasil mencatatkan diri sebagai daerah dengan performa paling spektakuler. Dari target MKJP 7.711 orang,
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
9
l aporan utama daerah yang kental dengan kultur pesantren ini berhasil menambah 14.132 PB atau mencapai 187,27 persen. Meski mendapat angka merah dalam MOP, Tasikmalaya meraih angka fantastis untuk IUD. Dari target 3.017 orang, PB yang berhasil digaet mencapai 7.747 orang atau menyentuh angka 256,78 persen. Wow!
Perhatian Khusus Pemerintah Pusat Tak hanya Fathonah yang bungah melihat hasil pencapaian indikator utama KB Jabar. Hal yang sama juga diungkapkan Kepala BKKBN Sugiri Syarief sesaat setelah menerima anugerah Champion for Safe Motherhood di Hotel Horison Bandung pada Rabu malam, 1 Februari 2012. Pria asal Pringsewu Lampung ini tampak semangat saat dimintai tanggapannya tentang KB Jawa Barat. “Jawa Barat dengan penduduk lebih dari 43 juta jiwa tentu sangat penting bagi program KB nasional. Bila Jabar ini fertilitasnya jelek, maka pengaruh terhadap nasional besar sekali. Lebih dari itu, Jabar juga merupakan penyangga utama program KB. Karena itu, kami di pusat selalu memberikan perhatian khusus bagi Jawa Barat,” kata Sugiri. Salah satu perhatian itu, imbuh Sugiri, adalah dengan menggarap daerah-daerah yang selama ini belum terjamah. Sebut saja misalnya pesisir pantai baik di selatan maupun utara dan pedesaan di punggungan gunung. Kawasan yang diidentifikasi sebagai daerah tertinggal dan terpencil tersebut menjadi prioritas BKKBN. “Tahun lalu sudah ada roadshow pantai selatan dari Sukabumi sampai Ciamis. Saya pikir tahun ini harus menyisir darah terpencil di pegunungan. Prioritas juga diarahkan pada pantai utara,” tambah Sugiri yang sesaat sebelumnya membuka Pertemuan Evaluasi Penggarapan KB Kepulauan Tahun 2011.(NJP)
10
Tahun Ini Ditarget 1.602.096 Peserta Baru D
alam sebuah kunjungannya ke Rancabuaya di selatan Garut pertengahan April tahun lalu, Siti Mufattahah, anggota Komisi IX DPR RI, pernah mengungkapkan uneg-unegnya. Kepada Warta Kencana, kader Partai Demokrat itu berharap jumlah peserta KB berlipat seiring naiknya anggaran yang digelontorkan untuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Dibanding 2010, tahun 2011 anggaran BKKBN naik hingga dua kali lipat. Kami di DPR berharap peserta KB juga naik dua kali lipat,” kata Siti kala itu. Pertanyaannya, benarkah perhitungan jumlah peserta baru (PB) keluarga berencana (KB) sesederhana itu? Tentu tidak, ada banyak indikator yang menentukan keberhasilan program KB. Terlebih di era otonomi daerah yang menjadikan program KB seperti terpinggirkan selama beberapa tahun belakangan. Faktanya, banyak peraturan di daerah yang
berpotensi menjadi penghambat program KB di daerah. “Hampir 80 persen perda di seluruh daerah bertentangan dengan program Keluarga KB. Misalnya kita sediakan dana untuk operasi wanita, tapi dana kita Rp 900 ribu. Sementara, tarif di perda masih dua juta hingga dua setengah juta,” ungkap Sugiri usai membuka Rapat Kerja Nasional Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana 2012 di kantor BKKBN, Rabu 8 Februari 2012. Dengan nada lebih tegas, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono menuding kegagalan program KB karena rendahnya komitmen pemerintah daerah. “Kita sadari dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir pelaksanaan program KB kurang memberikan hasil yang kita harapkan,” ujar Agung yang ikut dalam rakernas di BKKBN. “Program KB dianggap kurang populer di mata masyarakat karena
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
l aporan utama kurang memperoleh dukungan sumber daya yang memadai dari Pemerintah Daerah,” tambah politisi Partai Golkar ini. Pertanyaan berikutnya, berapa jumlah peserta baru KB di Jawa Barat tahun 2012 ini? Jawaban dari pertanyaan itulah yang digodok dalam pertemuan Konsolidasi Program dan Anggaran Tahun 2012 yang diikuti kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) KB kabupaten dan kota se-Jawa Barat di kantor BKKBN Jawa Barat pada 31 Januari 2012. Hasilnya berupa angka perkiraan permintaan masyarakat (PPM) 2012. Dalam dokumen PPM yang salinannya diperoleh Warta Kencana disebutkan, total PB KB yang menjadi target tahun ini sebanyak 1.602.096 orang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih mengandalkan kontrasepsi jangka pendek berupa suntik dan pil, masing-masing sebanyak 683.440 orang dan 600,710 orang. Sementara metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) berupa IUD, MOW, dan implant hanya 251.516 orang. Adapun KB pria yang terdiri atas MOP dan kondom tidak lebih dari 71.500 orang. PPM provinsi tersebut kemudian di-break down menjadi target-target kabupaten dan kota. Hasilnya, setiap daerah mendapat “jatah” berbeda mulai yang terkecil 5.806 orang (Kota Cirebon) hingga paling banyak 183.129 orang (Kabupaten Bogor). Munculnya angka-angka ini bisa dimengerti ketika menengok hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu. Kota Cirebon dengan jumlah penduduk 295.764 jiwa memiliki laju pertumbuhan penduduk (LPP) 0,84 persen. Sementara Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk 4.763.209 jiwa mencatat LPP tinggi 3,13 persen, jauh di atas LPP Jawa Barat sebesar 1,89 persen. Dari SP 2010 juga bisa diketahui bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah dengan penduduk terbesar di Jawa Barat.
Menjemput Calon Peserta KB
Keluarga Prasejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) yang berhak mendapatkan pelayanan KB secara gratis mendapat perhatian khusus dalam PPM 2012. BKKBN Jawa Barat mengalokasikan 793.273 PB tahun ini merupakan Pra KS dan KS I, dengan 201.500 di antaranya merupakan kontrasepsi jangka panjang. Sementara KB pria hanya sekitar 10 ribu orang. Sisanya merupakan kontrasepsi jangka pendek berupa suntik dan pil. Untuk mengejar PPM tersebut, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mengalokasikan dana tidak kurang dari Rp 100 miliar untuk Jawa Barat. Jumlah tersebut belum termasuk dana alokasi khusus (DAK) program KKB yang berikan langsung kepada kabupaten dan kota sebesar Rp 28,9 miliar dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 9,9 miliar. BKKBN Jabar mengalokasikan dukungan alat dan obat kontrasepsi (alokon) berupa IUD, pil, suntikan, implant, kondom, dan fallopering. Sejalan dengan angka PPM, alokon yang diberikan pun
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
masih didominasi pil dan suntik, masing-masing 10.894.529 strip dan 5.519.280 vial. Sisanya berupa IUD (109.095 set), implant (122.134 set), kondom (248.432 lusin), dan fallopering (12.190 set). “Tahun ini kita menargetkan adanya peningkatan kualitas pelayanan. Karena itu, kita meng agendakan capacity building be rupa sejumlah pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Khusus yang menyangkut pelayanan, BKKBN akan menyelenggarakan pelatihan bagi bidan dan dokter,” terang Siti Fathonah, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat, saat ditemui usai pelantikan pejabat eselon III dan IV pada 2 Februari 2012 lalu. Capacity building yang dimak sudkan Fathonah meliputi pe latihan IUD dan implant bagi bidan dan dokter, pelatihan KIP/K ABPK bagi bidan, pelatihan MOP bagi dokter, dan pelatihan MOW bagi dokter. Untuk keperluan itu, BKKBN mengalokasikan dana sekitar Rp 8 miliar. Belum lagi berupa pelatihan dan orientasi bagi pengelola lini lapangan maupun pengelola remaja.(NJP)
11
l ensa
Rechecking PKK-KB-Kesehatan
Kabupaten Bekasi
Kabupaten Cianjur
Kabupaten Sumedang
12
Kota Bandung
Kabupaten Cirebon
Kabupaten Sukabumi
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
l ensa
Talkshow Bersama Wagub
Sosialisasi MDK Online
Mengunjungi KB Perusahaan
Bersama Kader Keluarga
Konsolidasi Program
Talkshow di Pusat Belanja
Pelantikan Eselon II dan IV Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
13
l aporan utama
Kegiatan Posyandu
Empat Tahun Jelang Tumbuh Seimbang
I
ndonesia sudah mematok target pertumbuhan penduduk diproyeksikan terwujud pada 2015 mendatang. Indikatornya berupa ketercapaian total fertility rate (TFR) 2,1 dan net reproduction rate (NRR)=1. Selain tertuang dalam visi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), target tersebut juga tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Bagaimana dengan Jawa Barat? Merujuk pada hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, TFR Jawa Barat masih berada pada kisaran 2,48. Angka tersebut menunjukan TFR Jabar selama empat tahun terakhir hanya menurun 0,12. “Jadi, wajar saja dengan penurunan TFR sekecil ini, jumlah penduduk Jabar tinggi,” ujar Eli Kusnaeli, Kepala Bidang Pengendalilan Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat, saat ditemui di ruang kerjanya awal Februari ini. Dibandingkan dengan proyeksi penduduk tumbuh seimbang (PTS) 2015, berarti BKKBN Jawa Barat masih terpaut hampir 0,4. Dengan asumsi bisa berkurang secara konstan, berarti setiap tahunnya harus turun 0,1. “Faktanya kita tidak bisa turun secepat itu,” ungkap Eli. Meskipun demikian, Eli mengingatkan, jika TFR ini tak segera ditekan maka akan berpengaruh pada laju pertumbuhan penduduk (LPP). TFR menyumbang 0,8 persen dari total LPP Jabar pada 2010 yang mencapai 1,8. Akhirnya, juga berakibat pada tak terkendalinya jumlah penduduk.
14
Mortalitas juga mempunyai peranan penting sebagai penentu komposisi penduduk. “Tinggi rendahnya mortalitas penduduk suatu daerah tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan penduduk, tetapi juga merupakan barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Dengan memperhatikan trend mortalitas masa lampau dan estimasi di masa mendatang dapatlah dibuat sebuah proyeksi penduduk wilayah bersangkutan,” tutur Eli. Merujuk pada hasil SP 2010, di Jabar anak lahir hidup berjumlah pada kelompok usia 10-19 tahun berjumlah 62.005 jiwa dengan 1.908 di antaranya meninggal dunia. Sedangkan di usia 20-49 tahun, jumlahnya 6.864.020 jiwa dengan jumlah kematian 439.382 jiwa. Sementara itu, untuk kelompok usia 50 tahun ke atas ada 5.268.500 kelahiran hidup dengan jumlah kematian 763.276. “Posisi tertinggi ada di tingkat kematian bayi di umur 50 ke atas,” kata Eli. Nilai ini, menurut Eli masih cukup mengingat perbandingannya sekitar 1:10 kelahiran. Akan tetapi, jika melihat piramida penduduk SP 2010, dari seluruh penduduk Jabar itu jumlah penduduk 50-75 tahun ke atas sebesar 7 persen atau 3,01 juta jiwa. Sedangkan, untuk usia 20-50 sebesar 64 persen, 27.55 juta jiwa. Selanjutnya untuk usia 0-20 tahun kurang lebih 29 persen, 12.48 juta jiwa. Sepintas dapat diproyeksikan 10-15 tahun ke depan jumlah usia subur (20-50) tahun akan semakin melonjak tajam. “Pekerjaan BKKBN pun akan semakin bertambah seiring penambahan jumlah usia subur itu,” ujar Eli. (NJM)
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
l aporan utama
Wawasan Kependudukan Berawal dari Pendidikan
K
epala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief tampak santai saat menjawab pertanyaan wartawan usai membuka Pertemuan Evaluasi Penggarapan KB Kepulauan di Bandung, 1 Februari 2012 lalu. “Bedanya tinggal tambah satu deputi, yaitu deputi kependudukan,” ujar Sugiri ketika seorang pekerja media bertanya apa yang baru setelah kependudukan menjadi domain BKKBN. Ketika jawaban berlanjut mengenai apa yang dilakukan BKKBN untuk mengendalikan penduduk, lagi-lagi Sugiri menjawab santai. “Ya, melalui program KB. Gampang sekali jawabannya,” timpal Sugiri. “Kuncinya terletak pada sejauh mana masyarakat memiliki wawasan kependudukan,” Sugiri menambahkan. Penegasan pentingnya wawasan kependudukan ini disampaikan Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Perwakilan Provinsi Jawa Barat Drs. Eli Kusnaeli, MPd. Mahasiswa program doktor salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung ini menjelaskan, bidang pengendalian penduduk yang dipimpinnya menangani tiga pekerjaan, yakni penetapan paramater kependudukan, analisis dampak kependudukan, dan pendidikan kependudukan. “Pendidikan kependudukan itu merupakan upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap semua stake holders tentang pembangunan yang berwawasan kependudukan. Wawasan kependudukan ini menjadi modal dasar dalam membangun paradigma penduduk sebagai subjek utama dalam pembangunan,” papar Eli. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 yang dirilis tahun lalu, imbuh Eli, semakin mengukuhkan bahwa kependudukan penting untuk menjadi wawasan bersama. Dengan jumlah penduduk lebih dari 43 juta jiwa, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi terpadat di tanah air. Ya, lebih dari 18 persen penduduk Indonesia yang berjumlah 237,556 juta jiwa tinggal di Jawa Barat. “Angka 43,053 juta jiwa ini menuntut peran serta semua pihak untuk mengendalikan
penduduk. Upaya ini perlu dukungan semua pemangku kepentingan pembangunan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Jumlah penduduk yang besar menimbulkan masalah serius di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, agama, serta lingkungan. Apalagi jika tidak dibarengi dengan peningkatan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan,” imbuh Eli. Eli kemudian merinci pola-pola pendidikan kepen dudukan yang bisa dikembangkan BKKBN, baik langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, pendidikan kependudukan dilakukan dengan memasukkan materi kependudukan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan BKKBN. Secara khusus, muatan kependudukan akan m e n j a d i bagian dalam program PIKRemaja atau
Drs. Eli Kusnaeli, M.Pd. Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
15
l aporan utama pusat informasi dan konseling bagi generasi muda. Bentuk lainnya melalui Satuan Karya Pramuka Keluarga Berencana (Saka Kencana). Hal yang sama juga dilakukan di dalam institusi keluarga, meliputi bina keluarga balita (BKB) hingga bina keluarga lansia (BKL). Pendidikan secara langsung, sambung Eli, dilakukan melalui orientasi dan pelatihan tentang konsep dasar demografi dan analisis kependudukan. BKKBN juga tengah berupaya merintis kerjasama dengan perguruan tinggi untuk memasukan konten kependudukan dalam kurikulum pendidikan, terutama untuk program studi yang relevan. “Dalam beberapa pertemuan tentang pendidikan kependudukan mengemuka dua opsi. Pertama, pendidikan kependudukan diupayakan menjadi semacam mata kuliah umum yang diberikan kepada semua mahasiswa di perguruan tinggi. Kedua, kependudukan cukup menjadi bagian dari beberapa mata kuliah yang relevan, sehingga tidak perlu ada mata kuliah khusus tentang pendidikan kependudukan. Sekarang masih digodok, hasilnya belum keluar,” papar Eli. Dalam kesempatan terpisah, peneliti Pusat Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Padjadjaran Dr. Ferry Hadiyanto, MA menegaskan bahwa kebijakan kependudukan yang salah akan menghasilkan penduduk tidak berkualitas. Hal ini akan berdampak langsung kepada pembangunan itu sendiri. “Percuma kita bicara hal-hal yang terkait dengan makro, kebijakankebijakan yang terkait dengan aspek moneter, kalau misalkan tidak ada kebijakan-kebijakan yang benar terkait kependudukan. Karena apa? Karena dia yang menentukan apakah arah pembangunan Indonesia itu menjadi lebih baik atau tidak,” tegas Ferry.(NJP/NJM)
16
H. Ade Mulyadi (kanan)
et Ditarg
a
BKKBD Sukabumi Terbentuk Tahun Ini
P
eraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan UndangUndang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini. Demikian bunyi Pasal 62 Undangundang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Oktober 2009 lalu. Kalimat itu tak lebih dari bahasa formal undang-undang. Faktanya, undang-undang tersebut tak kunjung memiliki peraturan turunan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) yang secara tegas menjadi instrumen penyelenggaraan program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di daerah masih harapan semata. Hingga Desember 2011, baru terbit satu Perpres Nomor 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perpres tersebut ditindaklanjuti Peraturan Kepala BKKBN Nomor 72, 82, dan 92. Menanggapi hal itu, sejumlah eksekutor program di daerah menilai molornya peraturan turunan berakibat pada lambannya performa pelayanan KKB. Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP)
Kabupaten Sukabumi Ade Mulyadi misalnya, menilai kehadiran BKKBD merupakan kebutuhan mendesak. Alasannya, persoalan pengendalian penduduk merupakan hal mendasar pembangunan. “Siapa yang akan menjalankan pengendalian penduduk kalau bukan BKKBD? Apakah kependudukan dan catatan sipil? Tidak akan. Pembentukan BKKBD itu perintah undangundang. Undang-undang 52/2009 memerintahkan pembentukan BKKBD di daerah. Lagi pula, melihat Pasal 54 UU 52/2009 itu tidak ada keharusan menunggu PP (peraturan pemerintah, red). Tidak ada itu,” ungkap Ade saat berbincang dengan Warta Kencana di sela pertemuan Konsolidasi Program dan Anggaran Tahun 2012 di kantor BKKBN Perwakilan Provinsi Jawa Barat, 31 Januari 2012 lalu. Berbekal keyakinan itu, Ade dan kawan-kawan inisiatif menyusun draft rancangan peraturan daerah (Raperda) BKKBD. Saat ini, draft tersebut sudah masuk ke panitia khusus (Pansus) DPRD Sukabumi. Rencananya, raperda akan dibahas pada masa persidangan pertama tahun ini. Kalaupun di kemudian hari bertentangan dengan peraturan di atasnya, Ade menjawab dengan
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
j urnal ringan, “Ya ubah lagi saja. Saya target Maret sudah jadi perda.” Nada optimistis Ade rupanya bukan isapan jempol belaka. Jauh sebelum mengajukan raperda, Ade sudah terlebih dahulu menggalang dukungan kepada anggota pansus. Langkah advokasi juga dilakukan kepada pihak-pihak yang berpotensi menghambat perjalanan raperda. Ade sudah menyodorkan beberapa solusi terkait keberadaan urusan pemberdayaan perempuan (PP) yang selama ini berada satu rumpun dengan KB. “PP itu kan spirit, mestinya memang masuk ke dalam seluruh dinas atau lembaga. Itu saya kategorikan sebagai unsur staf, karena itu adanya di bagian Sekretariat Daerah. Bagian ini tugasnya memberikan masukan kepada kepala daerah dalam pengambilan keputusan terkait pemberdayaan perempuan, perlindungan perempuan, perlindungan anak, dan sebagainya,” papar Ade. “Alternatif lain, bisa saja PP itu menjadi kantor, Kantor Pemberdayaan Perempuan. Alternatif ketiga, menjadi bidang di BPMPD untuk tindakan preventif. Atau bila lebih berorientasi kuratif bisa masuk menjadi bidang di Dinas Sosial,” tambah pejabat yang mengawali karier di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) tersebut. Yang senada diungkapkan Kepala Sub Bidang Data Advokasi/ KIE dan IMP Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMDPKB) Kabupaten Majalengka Ichwan yang ditemui secara terpisah. Ichwan menilai momenklatur kependudukan saat ini bisa dibilang tidak ideal. Dia mencontohkan, sebuah sub bidang di kabupaten dan kota harus melaksanakan kegiatan dua hingga tiga direktorat di BKKBN pusat. Cuma saja, kelembagaan BKKBD sangat bergantung kepada political will dari para pengambil kebijakan. Di sisi lain, perangkat lunak berupa peraturan pendukung juga belum tersedia. “Peraturan pemerintah berupa penjabaran Undang-undang 52/2009 sampai saat ni belum ada. Dengan demikian, pemerintah daerah hanya bisa menunggu,” ungkap Ichwan.(NJP)
Skuad Advokasi 2011
Jabar Jawara Media Luar Ruang
S
emarak program kependu dukan dan keluarga berencana (KKB) di Jabar sepanjang tahun 2011 rupanya tak luput dari perhatian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN Perwakilan Provinsi Jawa Barat yang selama ini menjadi ujung tombak penyelenggaraan program dianggap sukses menggairahkan kembali program KKB melalui media luar ruang. Kinerja BKKBN Jabar sepanjang tahun itulah yang kemudian didaulat menjadi Juara 1 Tingkat Nasional Tampilan Media Luar Ruang Tahun 2011. Penghargaan diberikan Kepala BKKBN Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA bertepatan dengan penyelenggaraan rapat kerja nasional (Rakernas) KKB pada 8 Februari 2012 di Jakarta. Selain piagam penghargaan, BKKBN Jabar juga menerima satu paket kamera DSLR keluaran terbaru. “Tentu menjadi sebuah kebanggan bagi kami di Jawa Barat atas apresiasi BKKBN pusat terhadap penggunaan media luar ruang sebagai penyampai pesan program KKB di Jawa Barat. Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas maupun kuantitas media luar ruang di
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
tahun yang akan datang,” ungkap Ela Triyulianti, Kepala Sub Bidang Advokasi dan KIE BKKBN Jawa Barat, saat ditemui di kantornya, Senin (13/2) pagi. Bagi Elma, media luar merupakan sarana strategis untuk menyampaikan pesan KKB kepada masyarakat. Selain bisa dibaca secara langsung, tampilan media luar ruang membawa efek ganda berupa semakin semaraknya program KKB di Jawa Barat. Beberapa media luar ruang yang selama ini dikembangkan BKKBN Jabar antara lain berupa spanduk, baligo, umbul-umbul, dan lain-lain. Kebanggan serupa diungkap kan Toni Patoni, koordinator tim media luar ruang BKKBN Jabar yang selama ini berjibaku di lapangan setiap kali penyelenggaraan kegiatan. Bagi Toni, penghargaan ini menjadi semacam penegasan bahwa kerja kerasnya tidak siasia. “Media luar ruang sepertinya sepele, cuma pasang umbul-umbul atau spanduk dan baligo. Padahal, media itulah yang memiliki manfaat langsung bagi pencitraaan program KKB. Bila melihat media luar ruang semarak, masyarakat menilai program KKB masih eksis,” tegas Toni yang tercatat sebagai petugas terlama di Advoksi dan KIE BKKBN Jawa Barat.(NJP)
17
j urnal
Pelantikan pejabat eselon III dan IV
BKKBN Jabar Lantik Pejabat Eselon III dan IV
S
ejumlah pejabat Eselon III dan VI di lingkungan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat secara resmi mengalami mutasi jabatan. Pelantikan berlangsung secara khidmat di Aula Prabu Siliwangi Kantor BKKBN Provinsi Jawa Barat, Kamis pagi 2 Februari 2012 lalu. Pelantikan ini menjadi bagian dari pengisian kekosongan jabatan sekaligus penyegaran organisasi. “Hal ini bertujuan mempercepat pekerjaan yang akan kami mulai awal 2012 ini,” ujar Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Ir. Hj. Siti Fathonah, MPH saat ditemui sesaat setelah pengambilan sumpah jabatan. Fathonah menjelaskan, penyegaran dilakukan guna menghindari kejenuhan karena terlalu lama berkutat dalam pekerjaan yang sama dalam waktu yang cukup lama. Mantan kepala kepala perwakilan BKKBN Kalimantan Barat ini memastikan mutasi jabatan dilakukan dalam rangka pembangunan kapasitas (capacity building), bukan dalam kerangka memberikan hukuman seseorang. Semua itu, imbuh Fathonah, bermuara pada kemajuan organisasi dan perbaikan kualitas kinerja. Dalam kerangka mutasi jabatan tersebut terdapat beberapa pejabat yang mendapat promosi. Rakhmat Mulkan yang semula Kepala Sub Bidang Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah dan Swasta menempati pos baru
18
sebagai Kepala Balai Diklat Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Bogor. Posisi Rakhmat digantikan Harriet Qie yang semula merupakan staf Sub Bidang KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus. Promosi juga terjadi di Sub Bidang Bina Hubungan Antar Lembaga dan Bina Lini Lapangan. Iman Hikmat yang semula staf dipromosikan menjadi kepala sub bidang. Sementara Kepala Bidang Advokasi, Pergerakan, dan Informasi yang ditinggalkan Sukaryo Teguh Santoso kini diisi Rudi Budiman yang sebelumnya Kepala Balai Diklat KKB Bogor. Perubahan lainnya, Kepala Sub Bidang Ketahanan Remaja kini diisi Linda Herliany. Linda mengisi posisi yang ditinggalkan Elma Triyulianti D yang menjadi Kepala Sub Bidang Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Sub bidang ini sebelumnya diisi Syarifudin yang mengisi pos Kepala Sub Bidang Data dan Informasi yang ditinggalkan Edy Purnomo menjadi Kepala Sub Bidang KB Jalur Wilayah dan Sasaran khusus. Di posisi berikutnya, Kepala Sub Bidang Penyelenggara dan Evaluasi Siti Rachmi Dahlan bertukar posisi dengan Kepala Bidang Program dan Kerja Sama Lena Siti Marliana. “Bapak dan Ibu bukan orang baru yang bekerja di sini. Kita terbiasa dengan program-program kependudukan dan KB. Karena itu, tidak ada alasan masih belajar,” tandas Fathonah (NJM)
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
j urnal
Komitmen Tingkatkan Kemitraan Lini Lapangan
Pengelola program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di lini lapangan merupakan mitra strategis yang berperan besar bagi keberhasilan program. Karena itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Provinsi Jawa Barat bertekad untuk terus meningkatkan kemitraan dengan ujung tombak di lapangan tersebut.
K
epala Sub Bidang Hubungan Antarlembaga dan Bina Lini Lapangan BKKBN Jabar Dra. Hj. Linda Herliany menegaskan hal itu saat ditemui di sela rapat kerja Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) dan Forum Pos KB Jawa Barat di kantornya, 1 Februari 2012, hari terakhir Linda bertugas di jabatannya tersebut. Linda menjelaskan, rapat kerja merupakan kegiatan rutin tahunan yang di dalamnya membahas evaluasi pelaksanaan program dan pembahasan rencana kerja dua organisasi yang bergerak di lini lapangan tersebut. “Keberhasilan Jawa Barat melampaui target pencapaian kontrak kinerja provinsi (KKP) sesungguhnya tidak lepas dari peran aktif PLKB dan Pos KB.
Mereka yang setiap hari berjibaku dengan masyarakat tanpa kenal lelah. Dengan begitu, menjadi kewajiban BKKBN Jabar untuk terus menjalin kemitraan dengan mereka. Pembangunan kemitraan menjadi sangat penting karena mereka sebenarnya bukan bawahan dari BKKBN provinsi. Dalam konteks otonomi daerah, mereka adalah milik pemerintah kabupaten dan kota. Dan, BKKBN menilai mereka adalah mitra strategis,” tegas Linda. Di tempat yang sama, Ketua IPeKB Jabar Didi Suhadi meminta pemerintah memerhatikan petugas lapangan keluarga berencana (PLKB). Sejak bergulirnya otonomi daerah, jumlah PLKB di kabupaten dan kota terus merosot. Selain karena pensiun, banyak di antara
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
PLKB yang mengalami mutasi pegawai. Di sisi lain, beban kerja terus bertambah. “Dulu kami sulit keluar dari PLKB. Sementara di era otonomi daerah sekarang, PLKB bisa dengan mudah mengajukan mutasi. Tentu saja tidak menyalahi ketentuan perundangundangan,” kata Didi. Didi bercerita, bila sebelumnya setiap PLKB mengurus satu desa, kini bisa dua hingga tiga desa. Bahkan, di Kabupaten Karawang terdapat PLKB yang menangani satu kecamatan. Karena itu, IPeKB secara kelembagaan merekomendasikan para bupati atau wali kota segera menambah PLKB. Meski begitu, pihaknya tidak bisa memaksa karena penambahan pegawai merupakan kewenangan daerah yang disesuaikan dengan kemampuan anggaran masing-masing. “Kami bersyukur sejak dua tahun terakhir mendapat bantuan tenaga penggerak desa (TPD) dari Gubernur. Mereka sangat membantu tugas-tugas PLKB, terutama di daerah-daerah yang rasio PLKB terhadap desa atau kelurahannya masih jauh. Secara kelembagaan, IPeKB terus membantu teman-teman TPD
19
j urnal untuk mengembangkan kapasitas diri mereka,” papar PLKB Kota Cirebon ini. Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan IPeKB adalah dengan mengikutsertakan TPD ke dalam IPeKB. Meski terbatas sebagai anggota luar biasa, namun TPD memiliki kesempatan yang sama untuk berkiprah di organisasi pengelola KB lini lapangan tersebut. Di bagian lain, Didi mengungkapkan pihaknya terus melakukan konsolidasi menyongsong sejumlah agenda besar tahun ini. Hingga akhir 2011 lalu, baru 11 kabupaten dan kota yang sudah terbentuk pengurus sekaligus memiliki badan hukum berupa pencatatan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). Sementara sisanya ditargetkan tuntas tahun ini. “Dengan tercatat di Bakesbangpol, IPeKB siap menja– lankan kegiatan-kegiatan yang diberikan BKKBN maupun pemerintah daerah. Salah satunya pelaksanaan Jumbara atau Jumpa Bakti Gembira yang tahun ini rencananya ditugaskan ke IPeKB,” ujar Didi penuh semangat. Sementara itu, Ketua Umum Forum Pos KB Jawa Barat AK Twissje Inkiriwang mengatakan sampai saat ini masih ada petugasnya yang harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mencapai daerah sasaran. Beberapa daerah hanya bisa dilalui menggunakan ojeg yang memerlukan biaya tidak sedikit. “Bukan berarti oriented money, tapi kesejahteraan petugas pun perlu diperhatikan,” ujar Twissje. Padahal, lanjut Twissje, mereka berangkat dengan harapan dapat membantu kesejahteraan masyarakat. Setiap hari menenteng akseptor ke daerah-daerah, meskipun mereka tidak punya dana khusus untuk melakukan rutinitas itu. “Meskipun demikian, saya yakin mereka rela melakukannya. Ini harus menjadi evaluasi bagi temanteman di atas sana,” ungkap Twissje. Twissje mengaku terus memberikan memotivasi kepada petugas lapangan. Meskipun dana bantuan operasional belum tentu turun, tetapi program KB harus tetap berjalan. “Sepanjang ini kami hanya dapat memberikan motivasi,” kata Twissje.(NJM)
20
Penyerahan sertifikat Champion for Safe Motherhood
Sugiri Syarief Champion Ibu Melahirkan
K
epedulian Kepala BKKBN Sugiri Syarief terhadap keselamatan ibu melahirkan mendapat apresiasi Global White Ribbon Alliance (GWRA) dan Aliansi Pita Putih untuk Indonesia (APPI). Baik pribadi maupun perannya sebagai kepala BKKBN, Sugiri dianggap berperan besar terhadap program Keselamatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Kibbla) sehingga layak mendapatkan sertifikat Champion for Safe Motherhood. “Selaku pribadi dan kepala BKKBN, Syugiri Syarief tak pernah putus memberikan support kepada APPI sebagai perwakilan WRA di Indonesia terhadap semua kegaiatan yang mengarah kepada semua keselamatan ibu dan bayi baru lahir, ” ungkap Ketua Umum APPI Sunitri Widodo saat menyerahkan sertifikat di sela Pertemuan Evaluasi Penggarapan KB Kepulauan Tahun 2011 di Bandung, 1 Februari 2012. Sugiri juga dianggap berjasa memfasilitasi sekretariat APPI hampir di setiap daerah di Indonesia. Selain Sugiri, sertifikat Champion juga diberikan kepada Sri Hartati Pandi, sosok pejuang peduli kematian ibu dan bayi di Indonesia. Keduanya
termasuk 12 tokoh yang berjasa terhadap Kibbla penerima sertifikat Champion. Tokoh lain yang pernah mendapat sertifikat ini antara lain mantan kepala BKKBN Haryono Suyono, Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih, dan Ketua Kowani Linda Agum Gumelar. Di bagian lain, Sunitri mengungkapkan, setiap tahun diperkirakan terdapat 5 juta ibu hamil di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 15 ribu-17 ribu yang meninggal akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas. Artinya, setiap ibu meninggal dua jam. Sementara target MDGs menetapkan angka kematian ibu (AKI) 102/100 ribu kelahiran hidup. Sementara hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan AKI di Indonesia masih berkisar pada angka 228/100 ribu kelahiran hidup. “Kondisi ini jelas memerlukan terobosan guna percepatan penurunan AKI. Nah, kepedulian Sugiri Syarief diharapkan mampu memotivasi semua pihak untuk lebih gencar lagi berkampanye terhadap risiko-risiko kehamilan dan persalinan,” ungkap Sunitri.(NJP)
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
w acana
Jawa Barat Bisa Jadi Provinsi Pertama yang Terancam Ledakan Penduduk Oleh
Nugraha Setiawan - Drs. Rudy Budiman - Resti Pujihasvuty, S.Si.
Dengan populasi yang terhitung besar dibandingkan provinsi lain, jumlah penduduk yang banyak dan luas wilayah yang terbatas menjadikan Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi dengan kepadatan penduduk tidak seimbang. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, Jawa Barat dengan jumlah penduduk lebih dari 43 juta jiwa hampir menyumbang 20 persen dari total penduduk Indonesia.
J
awa Barat menghadapi masalah kependudukan sangat kompleks dari mulai angka fertilitas yang masih tinggi terutama di kelompok wanita status kawin usia 20-24 tahun, median umur kawin pertama yang masih rendah, rata-rata jumlah anak ideal yang masih tinggi, dan pemakaian kontrasepsi yang belum merata di semua kelompok umur, jenjang pendidikan, dan tingkat ekonomi Jawa Barat menjadi faktor-faktor yang dapat mengancam terjadinya ledakan penduduk. Masalah Kependudukan Masalah kependudukan utama yang dihadapi di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi dan kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk, semakin besar usaha yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat kesejahteraan tertentu dan semakin besar usaha yang diperlukan untuk mencapai pemerataan
kesejahteraan rakyat. Penyebaran penduduk yang kurang seimbang juga mempersulit pemanfaatan sumber alam dan sumber daya manusia bagi pembangunan. Di daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, timbul tekanan yang besar bagi tanah, hutan dan air serta sumbersumber alam lainnya. Sementara sumber daya manusia di daerah jarang penduduk masih belum termanfaatkan sepenuhnya. Dengan populasi yang terhitung besar dibandingkan provinsi lain, Jawa Barat menghadapi masalah kependudukan yang kompleks. Selama lima dasawarsa terakhir jumlah penduduk Jawa Barat terus meningkat pesat meski laju pertumbuhan penduduk menunjukkan kecenderungan menurun. Data Sensus Penduduk tahun 2000 dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2000) sebesar 35.729.237 jiwa, terjadi kenaikan dalam sepuluh tahun hasil Sensus penduduk tahun 2010 menjadi sebesar 43.021.826 jiwa (BPS, 2010). Data hasil sensus menunjukkan setiap sepuluh tahun terjadi kenaikan kurang lebih 7 juta jiwa. Jika dihitung sejak tahun 1971 sampai 2010 (kurang lebih 30 tahun) terjadi kenaikan kurang lebih 21 juta. Jika dilihat total fertility rate (TFR) tahun 1971 sebesar 6 sampai tahun 2007 (SDKI 2007) sebesar 2,3 (TFR Adjusted) maka dengan program keluarga berencana dapat dikatakan sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menekan jumlah penduduk. Berdasarkan hasil SDKI, jika dibandingkan dengan TFR secara nasional, Angka TFR Jawa Barat selama tiga tahun periode SDKI dari 1991, 1994, dan 1997 masih di atas angka TFR nasional, sedangkan selama dua periode SDKI terakhir berada pada posisi stagnan dan sama dengan angka TFR nasional yaitu 2,3, ini berarti bahwa secara ratarata seorang wanita di Jawa Barat mempunyai dua anak atau lebih selama masa reproduksinya. Jika dilihat menurut kelompok umur, angka fertlitas
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
21
w acana di Jawa Barat paling tinggi pada kelompok umur wanita muda usia 20-24 tahun, pada kelompok ini terjadi 142 kelahiran per 1.000 wanita. Bila dibandingkan dengan angka nasional pada kelompok umur yang sama, angka kelahiran di Jawa Barat masih lebih tinggi dibanding angka kelahiran nasional yaitu 132 kelahiran per 1.000 wanita. Tingginya angka kelahiran pada wanita usia muda mungkin disebabkan oleh pola kawin yang terjadi di Jawa Barat Jika dipetakan, kabupaten atau kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di antaranya adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi, Garut, dan Kota Bandung. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor hampir sama dengan jumlah penduduk provinsi Sumatera Barat, Kalbar, NTB, dan NTT. Oleh karena itu diharapkan di wilayah yang padat penduduk ini lebih diprioritaskan. Peningkatan jumlah penduduk Jawa Barat berbanding terbalik dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1971 sampai 2010. Meskipun laju pertumbuhan penduduk yang semakin menurun, yakni dari 2,66 pada periode tahun 1971-1980 sampai dengan 1,89 pada periode tahun 2000-2010, tapi tidak berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah penduduk. Jawa Barat merupakan provinsi yang menempati jumlah penduduk terbanyak dan hampir menyumbang 20 persen dari jumlah total penduduk Indonesia pada tahun 2010. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa jika masalah kependudukan di Jawa Barat tidak bisa segera diatasi, maka Jawa Barat bisa menjadi provinsi pertama yang terancam ledakan penduduk pada 20 tahun ke depan. Oleh karena itu, kajian mengenai fertilitas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya perlu kita pelajari terutama oleh para pemangku dan pembuat kebijakan. Bongaarts (1978, dalam Lucas, 1990:56) mengurangi variable-variabel yang berpengaruh terhadap fertilitas menjadi delapan variabel yang terpenting dalam mempengaruhi fertilitas dan dua di antaranya adalah perkawinan dan kontrasepsi. Pola Kawin di Jawa Barat. Salah satu variabel yang berhubungan dengan pola kawin dan menjadi salah satu indikator demografi yang penting adalah median umur kawin pertama. Median umur kawin pertama di Jawa Barat pada SDKI tahun 2007 lebih rendah, yaitu 18,9 tahun dibanding dengan median umur kawin pertama nasional yaitu 19,8 tahun. Ini berarti pola kawin muda masih banyak terjadi di Jawa Barat. Perkawinan mempunyai hubungan yang kuat dengan fertilitas. Umumnya wanita yang menikah pada usia lebih muda, mempunyai waktu yang lebih panjang untuk hamil selama masa reproduksinya. Karena masyarakat Jawa Barat kebanyakan wanitanya menikah pada usia muda, maka memang terbukti jika angka kelahirannya pun lebih tinggi dibanding dengan masyarakat diprovinsi lain yang wanitanya melakukan perkawinan pertama kali pada usia
22
yang relatif tua. Jika dilihat dari median umur kawin pertama di Jawa Barat, secara umum wanita di perkotaan menikah 2,7 tahun lebih lambat dibandingkan dengan wanita di perdesaan (20,3 tahun dibandingkan dengan 17,6 tahun). Median umur kawin pertama cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan wanita. Ini berarti pola kawin muda banyak terjadi di wilayah perdesaan dengan tingkat kekayaan yang rendah dan tidak sekolah atau tidak tamat SD. Selain pola kawin muda yang terjadi di Jawa Barat, ternyata untuk rata-rata jumlah anak ideal yang diinginkan wanita di Jawa Barat masih cukup tinggi dan sama dengan rata-rata jumlah anak ideal secara nasional yaitu 2,8. Ini berarti bahwa kebanyakan wanita di Jawa Barat menginginkan anak dua sampai dengan tiga anak. Dan jika dibandingkan dengan angka fertilitas atau kelahiran, rata-rata jumlah anak ideal yang diinginkan lebih tinggi dibanding dengan rata-rata jumlah anak yang dimiliki dan ini merupakan ancaman kedepan terhadap bertambahnya jumlah penduduk. Pemakaian Kontrasepsi di Jawa Barat Informasi mengenai tingkat pemakaian kontrasepsi (prevalensi kontrasepsi) adalah penting untuk mengukur keberhasilan program KB. Prevalensi kontrasepsi didefinisikan sebagai proporsi wanita kawin umur 15-49 tahun yang waktu SDKI memakai salah satu alat atau cara KB. Uraian berikut menyajikan tingkat, kecenderungan dan keragaman pemakaian kontrasepsi menurut karakteristik latar belakang pada wanita berstatus kawin. Informasi tentang prevalensi pemakaian kontrasepsi di antara wanita status kawin menurut karakteristik latar belakang. Hasilnya dapat memberi gambaran tentang pemakaian kontrasepsi di antara peserta KB dalam perbedaan kelompok. Mengacu kepada SDKI 2007, pemakaian kontrasepsi di daerah perkotaan (63 persen) cenderung sama dengan daerah perdesaan (60 persen). Prevalensi terendah peserta KB terjadi pada kelompok umur 15-19 tahun (49 persen), tidak sekolah (46 persen), dan kelompok indeks kekayaan kuintil terbawah (miskin) (48 persen). Sehubungan dengan hasil tersebut maka dalam rangka meningkatkan kesertaan ber-KB, penekanan konseling dan KIE KB ditujukan terutama kepada wanita di perdesaan yang berpendidikan rendah dan tidak mengabaikan pula yang berpendidikan tinggi dan ekonomi rendah. Tentunya penyampaian pesan informasi dikemas sederhana dan mudah dipahami sesuai dengan kemampuan mereka yang berpendidikan rendah dan disesuaikan dengan budaya umumnya.(*) *Artikel ini merupakan Policy Brief ditulis berdasarkan data SDKI tahun 2007. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
s erba serbi
Manik Laluna
Semua Indah pada Waktunya
Album bertajuk Indah pada Waktunya (2006) dari band La Luna seolah menggambarkan manfaat program pendewasaan usia perkawinan.
S
ebut kata La Luna. Kita langsung terbayang sebuah band pop beranggotakan tiga pria dan seorang wanita cantik sebagai vokalisnya. Sang vokalis bernama lengkap Manik Purwakhrisna (33). Dari bibir Manik, selama 12 tahun kiprah band ini meluncur sejumlah lagu yang pernah hits dan masih eksis di blantika musik Indonesia. Misalkan saja, Penggalan Kisah Lama, Selepas Kau pergi, hingga yang terkini berjudul Lara Hati. Ditemui di Hotel Santika, Kota Tasikmalaya, pertengahan Oktober tahun lalu, ada yang berbeda dari tampilan Manik. “Saya baru saja 'hijrah'. Sekarang saya memutuskan mengenakan jilbab,” tuturnya sambil tersenyum. “Insya Allah, ini bakal seterusnya. Jilbab ini juga nggak bakalan jadi penghalang buat saya terus berkiprah di dunia musik,” lanjutnya. Warta Kencana mendapat kesempatan mewawancarai ibu satu anak ini menjelang acara seminar Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang diselenggarakan Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai Rangkaian Peringatan HUT ke-10 Kota Tasikmalaya. Hari itu Manik didaulat sebagai salah satu narasumber seminar. Bersama Ketua P2TP2A Provinsi Jawa Barat Hj. Netty Prasetiyani Heryawan, finalis Putri Indonesia 2011, dan salah satu dokter spesialis obsetri dan ginekologi, mereka membahas topik pentingnya program pendewasaan usia perkawinan dan menjaga kesehatan reproduksi
bagi remaja. Di depan ratusan remaja Tasikmalaya, Manik mengungkapkan bahwa menunda pernikahan punya banyak manfaat. “Kita, kaum perempuan punya waktu untuk menemukan siapa pasangan tepat yang sesuai buat kita,” jelasnya. Manik yang menikah menjelang usia 30 ini mengaku merasa pas saat menikah. “Pas pingin nikah, pas ngerasa siap nikah, pas juga dapat pasangan yang tepat,” jelasnya. “Saya sih ngerasanya nggak telat, justru umur segitu juga usia sudah matang,” tegasnya. Apa yang disampaikan Manik memang sejalan dengan program yang terus didengungkan pemerintah ihwal pentingnya pendewasaan usia perkawinan. PUP adalah salah satu program KB yang mengupayakan generasi muda untuk menunda kawin di usia muda. Dalam tinjauan kesehatan, idealnya usia menikah wanita adalah 20 tahun dan laki-laki 25 tahun. Alasannya, pada usia tersebut, pasangan yang menikah bisa lebih matang secara psikologis, dan organ reproduksinya telah siap secara biologis. Lebih lanjut Manik mengatakan, tidak tergesagesa menikah juga memberikan kesempatan pada remaja untuk menyalurkan bahkan mengembangkan hobi dan minat yang dimilikinya. “Kalau kita punya hobi dan minat di bidang tertentu, kemudian bisa mengembangkannya, tentu itu bakal jadi hal menyenangkan,” tambahnya. Manik memang tak asal bicara. Dia sudah membuktikan semua itu. Punya hobi menyanyi dari kecil, akhirnya bisa tersalurkan dengan maksimal. Pen capaiannya di bidang musik boleh dikatakan membanggakan. “Kalau segala sesuatunya terencana, pada akhirnya semua indah pada waktunya,” pungkasnya. (ZDN)
Warta Kencana I EDISI 6 TAHUN III JANUARI-FEBRUARI 2012
23