4
WARTA UTAMA
ARSITEKTUR BARU PENYULUH KELUARGA BERENCANA
8 10
WARTA UTAMA
19 WARTA UTAMA
WARTA UTAMA
20 WARTA UMUM
12
WARTA UTAMA
Menakar Ulang Bonus Demografi
Mengoptimalkan Bonus Demografi
Sebuah Gerakan Bernama Kampung KB
14 WARTA UTAMA Pengelolaan Kampung KB Butuh Pendampingan
Cover Story Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sukaryo Teguh Santoso saat pemotretan untuk sebuah harian di halaman kantor BKKBN Jawa Barat beberpa waktu lalu. Setelah sempat kosong, BKKBN Jabar kini resmi memiliki nakhoda baru. Teguh meruakan orang lama di BKKBN Jawa Barat, bahkan mengawali karir dari Jawa Barat.
Keroyokan Menggarap Kampung KB
Saat Pak Kades Jatuh Cinta Sama Kampung KB
22
WARTA UTAMA
30
WARTA JABAR
Wawancara Khusus Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat
Jabar Kini Punya 108 Sekolah Siaga Kependudukan
Penasehat KEPALA BKKBN JAWA BARAT Dewan Redaksi SUGILAR, IDA INDRAWATI, DODDY H. GANDAKUSUMAH, YUDI SURYADHI, RAKHMAT MULKAN, PINTAULI R. SIREGAR Pemimpin Redaksi YUDHI SURYADHI Wakil Pemimpin Redaksi ELMA TRIYULIANTI Managing Editor NAJIP HENDRA SP Tim Redaksi ARIF R. ZAIDAN, CHAERUL SALEH, AGUNG RUSMANTO, DODO SUPRIATNA, HENDRA KURNIAWAN, Kontributor ACHMAD SYAFARIEL (JABOTABEK), AKIM GARIS (CIREBON), AA MAMAY (PRIANGAN TIMUR), YAN HENDRAYANA (PURWASUKA), ANGGOTA IPKB JAWA BARAT, HIKMAT SYAHRULLOH Tata Letak LITERA MEDIA Sirkulasi IDA PARIDA Penerbit Perwakilan BKKBN Jawa Barat Percetakan Litera Media - 022 87801235 www.literamedia.com Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 7207085 Fax : (022) 7273805 Email: kencanajabar@gmail.com Website: www.duaanak.com
WARTA KENCANA • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
3
WARTA UTAMA
Safari PLKB/PKB
ARSITEKTUR BARU PENYULUH KELUARGA BERENCANA Senin, 1 Januari 2018, menjadi tanggal bersejarah bagi petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan penyuluh keluarga berencana (PKB) di tanah air. Mulai hari tersebut, tidak kurang dari 15 ribu PLKB/PKB di Indonesia resmi kembali ke rumah lama: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Ya, kembali. Sebelum babak otonomi bergulir, para penyuluh memang berstatus pegawai pemerintah pusat. Di Jawa Barat, terdapat 1.370 PLKB/ PKB yang akan pindah rumah dari kabupaten dan kota masing-masing menjadi pegawai BKKBN.
4
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA Seremoni peralihan status kepegawaian penyuluh Jawa Barat berlangsung dalam iringan upacara adat Sunda sesaat sebelum peringatan puncak Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di kompleks olahraga Arcamanik, Kota Bandung. Serah terima dilakukan antara perwakilan kepala daerah di Jawa Barat dengan BKKBN Pusat yang diwakili Kepala Pusat Pendidikan Pelatihan Kependudukan dan Keluarga Berencana Ipin Zaenal Arifin Husni. Turut menyaksikan antara lain Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Ketua DPRD Jawa Barat Ineu Purwadewi Sundari, dan sejumlah pejabat terkait di Jawa Barat. Ditemui di ruang kerjanya belum lama ini, Sekretaris Perwakilan BKKBN Jawa Barat Doddy Hidayat Gandakusumah menjeaskan, pengalihan PKB/ PLKB ke pemerintah pusat diharapkan dapat memperkuat kembali program KKBPK. Dengan kembalinya pengalihan kewenangan tersebut, BKKBN optimistis pengelolaan PKB/PLKB akan kembali ideal, terutama menyangkut formasi dan kompetensi. Doddy menjelaskan lebih jauh, PKB dan PLKB adalah pegawai negeri sipil yang jadi penyuluh program KKBPK. Bedanya, PKB adalah pejabat fungsional yang punya tunjangan fungsional, sedangkan PLKB belum diangkat sebagai pejabat fungsional. Sesuai UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, tugas PKB/PLKB kian berat. Mereka wajib mendampingi semua keluarga Indonesia dalam semua siklus kehidupannya, mulai dari janin sampai lanjut usia. Saat desentralisasi, sekitar 40.000 PKB/PLKB dari seluruh
daerah di Indonesia dialihkan pengelolaannya ke pemerintah kabupaten/kota. Namun, jumlah PKB/PLKB pada Mei 2017 tersisa 15.458 orang akibat melemahnya komitmen, salah tafsir, dan variasi penafsiran program KB oleh pemerintah daerah, serta motivasi turun akibat penghargaan yang minim. Pengalihan itu berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebenarnya, pengalihan itu sudah direncanakan pada 2016. Keterbatasan anggaran membuat tahapan pengalihan baru bisa dilakukan tahun ini. Namun usai beralih kelola ke Pemerintah Pusat nanti, PKB/PLKB akan tetap bertugas di daerah, karena fungsi pendayagunaan PKB/PLKB tetap ada pada Pemerintah Kabupaten/ Kota. Pengalihan ini juga akan membuat pemda sulit memindahkan PKB/PLKB ke satuan kerja lain, Apalagi, mereka adalah petugas yang dibekali kemampuan dan peralatan khusus sehingga tak bisa diganti sembarang orang. Hal itu juga memungkinkan BKKBN membuat standar kerja nasional PKB/PLKB. Standar itu akan menempatkan PKB/PLKB di balai penyuluhan kecamatan yang menyosialisasikan 60 persen kebijakan KKBPK nasional dan 40 persen program sesuai kebutuhan daerah. Dan dengan sertifikasi tersebut, kedepan diharapkan para PKB/PLKB akan memiliki keterampilan dengan standar yang sama sebagai PKB/ PLKB.
Arsitektur Baru Lebih dari sekadar alih status, perubahan tata kelola petugas lini lapangan merukan sebuah transformasi kelembagaan penyuluh KB. Perubahan ini
sekaligus menjadi momentum mendefinikan kembali penyuluh KB. Kini, tak ada lagi PLKB atau PKB. Yang ada adalah penyuluh KKBPK, yakni PNS dengan jabatan fungsional tertentu yang terkualifikasi dan kompeten untuk diberi tugas, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan penggerakan program KKBPK. Dari sisi manajemen, perubahan meliputi tata kelola menyeluruh, mulai penyusunan dan penetaoan kebutuhan hingga perlindungan. Manajemen lengkapnya bisa dirinci sebagai berikut: 1) Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan; 2) Pengadaan; 3) Pangkat dan Jabatan; 4) Pengembangan Karir; 5) Pola Karir; 6) Promosi; 7) Mutasi; 8) Penilaian Kinerja; 9) Penggajian dan Tunjangan; 10) Penghargaan; 11) Displin; 12) Pemberhentian; 13) Pensiun dan Jaminan Hari Tua; 14) Perlindungan. Sekretaris Utama BKKBN Nofrijal menjelaskan, idealnya seorang penyuluh KKBPK menangani 1-2 desa. Setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa harus 1-2 desa. Pertama, aspek Demografi yaitu jumlah keluarga. Kedua, aspek Wilayah teritori yaitu jumlah desa/kelurahan. Ketiga, aspek geografi yaitu daerah perkotaan, pedesaan dan pedesaan geografis yang tertinggal, terpencil, dan daerah perbatasan. “Mengacu kepada Undangundang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ada relasi pengelolaan dan pendayagunaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Jadi, walaupun tata kelola diurus BKKBN sebagai pemerintah pusat, namun pendayagunaan menjadi
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
5
WARTA UTAMA kewenangan kabupaten dan kota,” papar Nofrijal saat ditemui di sela seminar kependudukan di Jatinangor, Sumedang. Pengelolaan yang dimaksud Nofrijal tersebut meliputi: 1. Perencanaan kebutuhan PLKB/PKB lima tahunan 2. Mengusulkan formasi PKB/ PLKB 3. Rekruitmen 4. Pengangkatan dan Penempatan 5. Peningkatan kapasitas 6. Penentuan standar kompetensi 7. Pengembangan karir 8. Mutasi 9. Penilaian kinerja 10. Sertifikasi 11. Penggajian 12. Pembiayaan operasional 13. Reward and punishment 14. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua 15. Menetapkan NSPK
Seorang PKB/PLKB asal Cirebon Marzuki mengatakan bahwa alih kelola ini baginya adalah hal yang positif bagi kelancaran program KB. Sebagai penyuluh, dia menilai hal ini memberikan tantangan baru karena nantinya muatan yang dilaksanakan tidak hanya terkait dengan Keluarga Berencana (KB) tapi juga menyangkut aspek Kependudukan dan
Kronologi Alih Kelola
“Kalau lihat soal test (sertifikasi) kemarin, dampaknya mungkin bagi kita jadi bisa mengukur sudah sejauhmana pemahaman kita untuk merefresh tugas dan fungsi pokok kita terhadap kelancaran program. Kalo dulu
Penyuluh KKBPK
Adapun pendayaagunaan meliputi: 1. Penempatan PKB/PLKB sesuai dengan rasio kebutuhan lapangan 2. Mutasi wilayah kerja antar kecamatan dalam wilayah Kab/Kota yang sama 3. Peningkatan kapasitas 4. Pembinaan disiplin pegawai 5. Penilaian kinerja (rekomendasi) 6. Penyediaan anggaran operasional 7. Pengembangan pola operasional sesuai dengan kondisi lokal 8. Pembinaan, pengawasan dan monev terhadap keberadaan dan pelaksanaan tupoksi PKB/PLKB
Harapan Baru Arus Bawah Terkait hal ini, berbagai reaksi dan respon pun bermunculan.
6
Pembangunan Keluarga. Marzuki berharap, semua sektor memberikan perhatian penuh terhadap Kampung KB.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA PKB itu penyuluh KB, sekarang muatanya lebih luas, Penyuluh KKBPK. Dimana meliputi aspek Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga. Walaupun leadier sektornya kita, PLKB, diharapkan juga dari sektor yang lain itu memberikan perhatian penuh,” ujarnya. Hal senada diungkapkan oleh PKB/PLKB Kelurahan Larangan dan Kelurahan Kalijaga Kecamatan Rajamukti,Kabupaten Cirebon Supriyatna. Alih kelola ini menurutnya adalah sebuah keuntungan bagi Kabupaten/Kota Cirebon. Bagi PKB/ PLKB seperti dirinya, alih status ini membuat kerjanya lebih terarah, terjamin, terkontrol, serta terfasilitasi dengan baik. “Jadi satu penyuluh KB itu, memegang dua kelurahan. Maka satu tenaga sangat kurang sekali. Yang kedua anggaran pada saat itu juga minim. Yang ketiga sekarang begitu peralihan, maka kelihatan sekarang kita mendapat angin segar. Bisa lebih fokus, lebih memadai, lebih konkret, dan Kita selalu terarah sekarng, selalu kompak. Sangat positiflah itu pak. Karena kami juga kan kerja itu pake kartu, kalo dulu kan seenaknya kita. Kalo sekarang kan ditargetkan harus, Pak!” tuturnya.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
7
WARTA UTAMA
Menakar Ulang Bonus Demografi Bonus demografi akan membuka jendela peluang jika diikuti oleh SDM berkualitas dan kebijakan tepat. Sebaliknya, bonus bakal berubah menjadi bencana jika SDM yang dimiliki tidak berkualitas dan kebijakan tidak tepat.
Tenaga kerja perempuan
8
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA Mengutip pendapat Woongboonsin dalam policy brief BKKBN yang berjudul Bonus Demografi dan Pembangunan Kependudukan Provinsi Jawa Barat, bonus demografi diartikan sebagai keuntungan ekonomi berupa akselerasi pertumbuhan ekonomi yang terjadi akibat perubahan struktur penduduk sebagai hasil penurunan fertilitas dan mortalitas dalam jangka panjang yang ditandai menurunnya proporsi penduduk muda dan meningkatnya usia kerja. Kondisi bonus demografi ditunjukkan dengan rasio ketergantungan yang menurun secara berkelanjutan dan memiliki implikasi meledaknya penduduk usia kerja. Secara teoritis bonus demografi dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi suatu wilayah. Lantas bagaimanakah dampaknya Jawa Barat? Berikut kajian singkatnya.
artinya wanita Jawa Barat memiliki jumlah anak dua atau tiga anak sepanjang masa produksinya.
Kondisi bonus demografi dialami Jawa Barat sejak tahun 2010 lalu, dimana rasio ketergantungan telah mencapai 49,9 dan diprediksikan akan terus menurun sampai pada rasio 46,2 yang akan pada periode 20302035. Secara demografis, kondisi ini sangat baik untuk mendukung kemajuan bangsa karena melimpahnya potensi sumber daya manusia.
a. Jumlah penduduk yang besar
Berdasarkan data Sensus Penduduk (SP) 2010, Jawa Barat memiliki jumlah penduduk sebesar 43.053.732 jiwa dan LPP sebesar 1,89% per tahun. Angka ini mengantarkan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pesatnya pertubuhan penduduk Jawa Barat disebabkan oleh tingginya fertilitas dan migrasi. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa tingkat fertilitas wanita di Jawa Barat adalah 2,5 yang
Namun, untuk dapat memaksimalkan manfaat kondisi bonus demografi ini masih banyak tantangan kependudukan yang harus dihadapi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas penduduk. Dari segi kualitas sumber daya manusia di Jawa Barat diindikasikan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), IPM Jawa Barat pada tahun 2013 menempati urutan ke-17 (73,58) dari seluruh provinsi di Indonesia dan masih berada dibawah IPM secara nasional (73,81). Secara sederhana dampak bonus demografi terhadap pembangunan daerah dapat diidentifikasi melalui analisa SWOT
Kekuatan b. Luas Wilayah, topografi, dan keanekaragaman SDA c. Jumlah penduduk usia produktif besar d. Angka kelahiran dan kematian menurun e. Proporsi belanja dan pendapatan daerah meningkat
Kelemahan a. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk masih rendah b. Terbatasnya penyerapan tenaga kerja c. Asupan giji usia dini minim d. Kemiskinan tinggi e. Kesenjangan antar daerah f. Kesadaran menabung rendah
Peluang a. Kreativitas tinggi b. MEA Berpeluang meningkatkan produktivitas penduduk
c. SDA menjadi modal dasar menggali potensi lokal d. Rasio ketergantungan menurun e. Peran perempuan dalam pembangunan semakin meningkat
Ancaman a. Daya saing penduduk rendah b. Pencemaran lingkungan dan kesehatan masyarakat c. Mobilitas penduduk terus meningkat d. Kepadatan penduduk tinggi dan semakin meningkat e. Kesadaran mengenai kesehatan reproduksi masih rendah f. Perkawinan usia dini masih tinggi Berikut rekomendasi Policy Brief BKKBN 1. Intensifikasi program pengendalian kependudukan 2. Pembuatan kebijakan yang dapat meningkatkan produksi pangan, mendorong investasi padat karya dan membangun jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat. Selain tupemerintah daerah harus dapat memperoleh penghasilan yang cukup sehingga dapat menabung dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Perbaikan kualitas SDM sehingga nantinya akan mampu menciptakan produkproduk inovatif yang memiliki daya saing tinggi. Hla ini dapat dilakukan melalui program pendidikan dan pelatihan dengan disertai konsep kedisiplinan 4. Perencanaan dan pelaksanaan program yang pro pasar dan pro job yang merupakan proyek padat karya sehingga dapat melibatkan PTS untuk ikut bekerja. (HS)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
9
WARTA UTAMA
Kepadatan Bandung tampak dari udara
Mengoptimalkan BONUS DEMOGRAFI Wacana bonus demografi turut mengemuka dalam pertemuan Demography Forum UGM beberapa waktu lalu. Hadir sebagai pembicara kunci, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono mengungkapkan, pemerintah pusat maupun daerah masih belum responsif dalam upaya pemanfaatan bonus demografi. Ia menjelaskan Kemendagri akan memberikan perhatian lebih besar pada bonus demografi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah rencana untuk melakukan pemetaan keahlian penduduk usia produktif sebagai upaya
10
untuk merespons kebutuhan. Mapping atau pemetaan pada sektor yang kontributif pada pertumbuhan ekonomi. Pemetaan perlu dilakukan berdasar pada prioritas kepentingan daerah. Optimalisasi APBD oleh setiap kepala daerah untuk optimalisasi dan antisipasii bonus demografi serta penciptaan lapangan kerja usia produktif. “Hal tersebut menjadi PR yang akan dibahas oleh pemerintah daerah di workshop ini. Pemetaan dilakukan berdasarkan identifikasi rencana pembangunan daerah menuju pemanfaatan bonus demografi,” jelas Soni.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
“Kita perlu menyiapkan secara baik penduduk usia produktif yang memiliki karakteristik sehat, cerdas dan produktif,” ungkap Erwan. Di bagian lain, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia (UI) Sri Moertiningsih Adioetomo mengingatkan adanya ancaman di balik bonus demografi. Tuning, sapaan akrabnya, mewanti-wanti pemerintah agar segera menata enam elemen jika ingin menikmati bonus demografi. “Jadi sampai sekarang, pemerintah baru pada tingkat sadar akan
WARTA UTAMA pentingnya bonus demografi,” kata Tuning kepada tirto.id, di kantor Lembaga Demografi UI. Perubahan struktur umur penduduk yang menyebabkan menurunnya angka beban ketergantungan. Bonus demografi merupakan suatu fenomena, di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Sebab jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sementara proporsi usia muda semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak. Penduduk yang produktif itu berusia 15 tahun hingga 64 tahun. Sementara penduduk tak produktif berusia di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas. Pada tahun 1971, jumlah ketergantungan masih sangat tinggi, yaitu 86 orang tak produktif ditanggung 100 pekerja. Sementara pada tahun 2000, jumlah ketergantungan sudah mulai menurun yaitu 54 ditanggung 100 pekerja. Disinggung mengenai penyebab bonus demografi, dia menjelaskan, di Indonesia disebabkan program keluarga berencana (KB) yang mampu mengubah pola pikir orang tua untuk membangun keluarga kecil dengan dua anak. Ini yang menyebabkan angka kelahiran menurun. Dengan jumlah keluarga kecil, maka kualitas anakanaknya akan lebih tinggi. Oleh karena itu, program KB jangan dianggap sebagai biaya, tapi justru investasi untuk sumber daya manusia. Bonus demografi hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa. Nantinya di Indonesia, begitu melewati tahun 2030, mereka yang usia produktif bakal masuk ke usia non produktif. Sehingga tidak akan terjadi lagi bonus demografi. Keuntungannya, kita berpotensi menaikkan produk domestik bruto (PDB). Memiliki jumlah penduduk usia produktif lebih banyak, lalu mereka mempunyai kesempatan kerja dan produktif, tentu bisa memicu pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, jika pemerintah tidak bisa menyiapkan lapangan pekerjaan, maka banyak pengangguran. Berpotensi meletupnya konflik sosial. Sementara di Indonesia, saat ini orang muda begitu banyak, tapi para pekerja ratarata lulusan sekolah dasar. Karena itu kita mengingatkan para stakeholder untuk melakukan pengembangan sumber daya manusia sejak dini, sehingga ketika pada tahun 2020, kualitas anak Indonesia sudah bagus. Minimal lulusan SMA-lah. Sekarang (pemerintah) baru sadar. Kesadaran itu karena ada yang mau mengingatkan. Kebanyakan orang malas membahas analisa demografi karena tidak ada duitnya. Tapi begitu Tuning buat dalam pengukuhan sebagai guru besar ilmu kependudukan, Kementerian Pendidikan baru terbirit-birit. Ternyata bonus demografi ada di depan mata dan kita nggak siap. Jadi sampai sekarang, pemerintah baru pada tingkat sadar akan pentingnya bonus demografi. “Pemerintah dinilai berhasil menghadapi bonus demografi jika memenuhi enam elemen. Pertama, mencermati perubahan struktur penduduk. Kedua, menjaga kesehatan ibu dan anak, sejak ibu mengandung hingga anak berusia sekitar dua tahun. Ketiga, investasi di bidang pendidikan dengan keahlian dan kompetensi guna meningkatkan kualitas tenaga kerja,” terang Tuning. Selanjutnya, keempat, kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Kelima, good governance serta prosedur investasi yang sederhana. Dan terakhir, pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada tingkat konsumsi. Jadi ibarat sebuah mesin, enam elemen ini harus besinergi secara bersama-sama. Seperti roda yang saling berhubungan, harus bergerak secara bersama. Jika salah satu roda macet, maka yang lain juga macet. Itu konsepnya menghadapi bonus
demografi. Negara mana yang sukses memanfaatkan bonus demografi? Korea Selatan yang sudah sadar sejak tahun 1950. Buktinya, mereka mengirim anak mudanya ke AS untuk belajar dan kemudian balik ke negaranya. Dengan kesadaran seperti itu, mereka memetik hasilnya sekarang. Hal ini berbeda dengan Indonesia. Dulu juga banyak pemuda yang disekolahkan ke luar negeri, tak balik ke sini.
Pedang Bermata Dua Sementara itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bonus demografi ibarat pedang bermata dua, bisa menjadi berkah tetapi juga bisa menjadi bencana. “Bisa jadi masalah jika kalau tidak disiapkan kualitas SDM-nya, ada kesempatan kerja tapi tidak bisa masuk sehingga nganggur, kalau 1-2 orang tidak masalah, kalau banyak jadi masalah besar,” kata Presiden Jokowi ketika menghadiri puncak peringatan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-45 sekaligus membuka Jambore Nasional Kader PKK 2017. Presiden menyebutkan tahun 20202030, Indonesia menghadapi bonus demografi dimana banyak anak muda produktif yang hidup pada era itu. “Artinya kita punya kesempatan yang besar, tetapi jumlah yang besar itu ibarat pedang bermata dua bisa berkah, tapi bisa juga mendatangkan masalah,” kata Presiden di hadapan sekitar 1.600 kader penggerak PKK dari seluruh Indonesia. Menurut Presiden, bonus demografi akan menjadi berkah jika Indonesia bisa mengambil manfaat sehingga muncul kekuatan besar SDM bangsa Indonesia. “Itu menjadi kekuatan besar bangsa ini karena di era persaingan, SDM menjadi kunci, ini tergantung bagaimana kita menyiapkan SDM kita, masih ada waktu 10-15 tahun lagi,” katanya. (UGM/TIRTO)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
11
WARTA UTAMA
Kampung KB di Kabupaten Kuningan
Sebuah Gerakan Bernama
Kampung KB
Tingkat kelahiran yang tinggi terus memacu pertumbuhan penduduk di Indonesia. Saat ini, Indonesia berada di peringkat keempat dalam hal penduduk terbanyak di dunia. Namun, pada saat yang sama pengendalian laju pertumbuhan penduduk
12
seakan-akan mengalami stagnasi. Program keluarga berencana (KB) seolah tidak bergema lagi sejak reformasi. Di sisi lain program yang diinisiasi BKKBN ini pun seakan mengalami penyempitan substansi. Dampaknya, program penuntasan masalah
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
kependudukan ini, dirasa semakin menurun dan tidak progresif. Menyikapi hal ini, Kepala BKKBN Jawa Barat Sukaryo Teguh Santoso mengungkapkan, gairah dan upaya dalam rangka
WARTA UTAMA memang sudah menjadi gerakan nasional, yang ditandai dengan pada 2016 oleh Bapak Presiden di Mertasinga, Kabupaten Cirebon. Sebagai tanda upaya pemerintah dalam rangka memperkuat kembali Program KB dan Pembangunan Keluarga,” ujarnya dalam acara pembukaan Focus Group Discusion (FGD) Penguatan Keberadaan Kampung KB di Jawa Barat. Sukaryo mengatakan, permasalahan kependudukan di Indonesia merupakan hal yang krusial. Karena berbicara persoalan kependudukan juga menurutnya tidak hanya menyangkut pertumbuhan dan pengendaliannya saja, melainkan juga persoalan kualitas penduduk itu sendiri. Sejak diresmikan, Kampung KB dicanangkan Presiden Jokowi untuk menjadi salah satu wadah strategis dalam upaya menyelaraskan program-program lintas sektor. Melalui berbagai program dan kegiatan, diharapkan masyarakat di Kampung KB memperoleh fasilitas dan pembinaan yang berkelanjutan dalam membangun keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.
memperkuat dan menggelorakan kembali keluarga berencana dan pembangunan keluarga perlu dikembalikan pada khittah-nya. Untuk itu, sejak diresmikan pada permulaan tahun 2016 lalu, Teguh mengingatkan bahwa program Kampung KB sejatinya bukan hanya sekedar program, melainkan sudah menjelma menjadi gerakan nasional pemerintah. Kampung KB diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam menyikapi isu stragis soal kependudukan. “Ini hal yang sangat strategis karena Kampung KB sendiri
Dia juga mengingatkan bahwa persoalan kependudukan amat erat kaitannya dengan era bonus demografi yang sedang dan akan dihadapi di masa mendatang. Keberadaan kampung KB dalam hal ini memiliki fungsi untuk mempertahankan dan mengendalikan struktur piramida penduduk. Maka ketika dimensi kependudukan ini tidak diindahkan, artinya sama dengan “menyengsarakan” generasi berikutnya. “Kalo penduduk usia produktif ini tidak kita selamatkan, tidak kita persiapkan, aspek kualitasnya maka bisa jadi usianya produktif, tetapi tidak produktif. Artinya tidak bisa menghasilkan apaapa. Justru akan menjadi ketergantungan yang tinggi, dan
harusnya mereka mendapatkan lapangan kerja yang baik. Untuk itu, dibutuhkan tingkat pendidikan yang baik, juga terkait dengan kesehatan yang baik. Karena itu, tiga hal itu menjadi concern dalam menyikapi bonus demogafi,” tandas Teguh. Kampung KB, imbuh Teguh, merupakan konsep terpadu program KB dengan program pembangunan lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sebagai gerakan nasional, Kampung KB juga hadir dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembinaan ketahanan keluarga. Kemiskinan diukur dengan indikator keluarga prasejahtera atau kategori keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Hasil pendataan keluarga (PK) 2015 menunjukkan, dari 11.633.000 keluarga, 9,7 peren di antaranya masuk kategori prasejahtera. Dalam aspek membina ketahanan keluarga, Teguh menuturkan, Kampung KB menjadi jembatan sekaligus pintu untuk masuknya semua sektor dalam pembangunan. “Sesuai dengan amanat Presiden, Kampung KB itu didesain dalam rangka percepatan untuk mewujudkan agenda prioritas nasional atau Nawacita,” tegasnya. Sejak tahun 2016 lalu, Kampung KB gencar dibentuk di beberapa provinsi di Indonesia. Dalam hal ini semangat BKKBN mendapat dukungan Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP). Direktur YCCP Inne Silviane mengungkapkan, pembangunan tidak akan berjalan apabila kualitas penduduk tidak diperhatikan. Untuk itu, YCCP giat membantu masyarakat khususnya dalam teknis di bidang pelatihan advokasi dan penyusunan rencana kampung KB yang sudah dibentuk bersama BKKBN.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
13
WARTA UTAMA “Saya sepakat dengan Pak Teguh ini bukan main kalau (Kampung KB) bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Ini bukan program, tapi suatu gerakan. Di mana kita membangun desa dari pinggiran dan memperkuat lagi program KB,” tandas Inne. Ihwal kontribusinya, Ine menuturkan sampai saat ini YCCP sudah mendapingi 212 Kampung KB yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Dalam menjalankan programnya, YCCP membentuk kelompok kerja (Pokja) dari tingkat provinsi hingga tingkat desa dan kelurahan. “Di Jawa Barat segera dibentuk kelompok kerja di tingkat provinsi. Saya kira itu adalah potensi yang bisa dioptimalkan,” katanya. Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat Ferry Hadiyanto mengatakan, Kampung KB merupakan instrumen yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Khusus di Jawa Barat, ia menyoroti kebijakan pembangunan yang tidak merata ke seluruh pelosok. Belum lagi, berbagai sektor seperti pendidikan, dan kesehatan di Jawa barat yang belum menunjukkan perubahan yang lebih baik. Untuk itu, sebagai instrumen yang mampu menyentuh berbagai sektor pembangunan, ia berharap Kampung KB mampu memberdayakan seluruh kampung atau daerah yang ada di Jawa Barat. “Kalo berbicara kebijakan pembangunan, ya fertility bisa dihantam oleh kampung KB. Mortality bisa dihantam kampung KB. Nah, migrasi yang paling sulit. Kita mengharapkan dengan kerja keras pembangunan Kampung KB itu 10 tahun mendatang tidak ada lagi urbanisasi besarbesaran karena kampungnya bisa diberdayakan. Kampung KB itu sudah sangat komprehensif sekali,” ujar Ferry.(HS)
14
Mendampingi, Memberdayakan Pengelolaan Kampung KB Butuh Pendampingan
Satu tahun setelah dicanangkan secara nasional, Kampung KB alias Kampung Keluarga Berencana tumbuh dan berkembang secara alamiah di seluruh penjuru tanah air. Sebagian daerah menunjukkan adanya lompatan signifikan. Di bagian lain, Kampung KB tak kunjung beranjak sejak dicanangkan. Untuk tipe kedua ini, pendampingan terstruktur dan berkelanjutan menjadi sebuah kenicayaan. Tentu, semua dalam bingkai ikhtiar bersama menuju pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Pentingnya pendampingan ini menjadi salah satu rekomendasi utama tim peneliti Universitas Padjadjaran (Unpad) usai melakukan riset Kampung KB di
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
Kampung KB Dusun Kamurang, Desa Babakan, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. Dalam laporan tertulisnya, para peneliti mengungkap Kampung KB Dusun Kamurang cenderung stagnan, bahkan menurun. Berdarkan hasil temuan lapangan, pendirian Kampung KB Desa Babakan punya kesan yang berbeda di mata para peneliti, yakni belum matang dan tidak hidup. Perkembangannya kurang progresif. Secara formal struktur kepengurusan organisasi ada, namun kegiatan-kegiatan yang diharapkan menjadi pengungkit program KKBPK, hingga saat ini belum memperlihatkan perkembangan yang diharapkan.
WARTA UTAMA Selain itu, ihwal dukungan anggaran, hasil penelitian mengungkapkan adanya indikasi penggunaan dana yang tidak transparan. Dari awal pembentukan Kampung KB dan Nelayan di Desa Babakan, dalam sebuah FGD (Focus Group Discusion) yang dihadiri seluruh elemen masyarakat sempat tercetus, bahwa anggaran untuk pendirian Kampung KB di desa tersebut dirasa kurang transparan. Seperti contoh kasus misalnya dalam pembuatan Bale Sawala dan Gapura, para pemangku wilayah tak mengetahuinya dengan jelas. Di sisi yang lain, beberapa warga mengeluhkan kurangnya dana untuk pelaksanaan kegiatan. Hal ini sungguh amat disayangkan, mengingat temuan peneliti menyatakan bahwa ibu-ibu kader dengan lantang menyuarakan mereka siap melaksanakan berbagai program asalkan dukungan dana memadai. Kampung KB Babakan
Penilaian ini didasarkan pada misalnya pemenuhan kriteria utama, kriteria wilayah, dan kriteria khusus. Dalam memenuhi indikator kriteria utama, nampaknya Kampung KB Desa Babakan hanya berkutat pada pengkajian kuantitatif, sedangkan dalam juknis pendirian, pemenuhan kriteria utama ini tak hanya membutuhkan kajian kuantitatif, melainkan secara tersirat kajian secara kualitatif perlu dilakukan. Selain itu, dalam pemenuhan kriteria wilayah, Desa Babakan hanya memenuhi tiga kriteria. Ketiga kriteria tersebut secara eksplisit tergambar dari, Dusun Kamurang merupakan daerah pesisir-nelayan, kumuh, dan kawasan miskin. Padahal untuk kriteria wilayah ini cukup dipenuhi dengan satu kriteria saja.
Akurasi data dan informasi menjadi sebuah kunci keberhasilan program, baik dalam segi kuantitas maupun kualitasnya. Dalam hal ini, maka diperlukan kemampuan para pengurus Kampung KB setempat untuk dapat membaca, mencermati, memahami, mengolah, menganalisis, dan menginterpretasikan data sebagai dasar perencanaan. Realitas yang terjadi adalah, para pengurus Kampung KB Desa Babakan belum optimal melaksanakan itu secara komprehensif. Karena masalah yang terjadi adalah kurang akrabnya pengurus Kampung KB maupun petugas lini lapangan terhadap data mikro maupun makro yang ada.
Kasus seperti ini mungkin tak hanya terjadi di Desa Babakan, untuk itu Tim peneliti Unpad dan BKKBN mengusulkan beberapa rekomendasi dalam rangka penguatan fungsi Kampung KB yang ada. Khusus pada kasus Desa Babakan, mereka merumuskan perlunya pendampingan secara kontinyu terhadap jajaran pengurus, para kader, serta para petugas lini lapangan d Kampung KB dan Nelayan Desan Babakan. Aspek yang menjadi sorotan terutama menyangkut pemanfaatan data mikro keluarga, bahkan dari tahap pemilihan data, cara membaca dan mengolah, serta menginterpretasikan dan menyajikan data. Selain itu, untuk lebih memotivasi pengurus juga meningkatkan gairah kerja petugas lini lapangan PLKB, PKB, TPD, TP-PKK serta para Kader, mau tidak mau mengingat kondisi sosial ekonomi yang ada, perlu adanya dukungan dana yang memadai.(HS)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
15
WARTA UTAMA
KAMPUNG KB:
Membangun dari Pinggiran Ada yang menarik dari arah pembangunan yang diusung Presiden Jokowi, yakni membangun dari pinggiran. Konsep ini menjadi semacam antitesis dari pembangunan Indonesia selama ini yang bias urban, hanya menitikberatkan kawasan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan. Sebaliknya, desa, kawasan pesisir, dan perbatasan negara luput dari perhatian pemerintah. Dalam konteks pembangunan KKBPK, konsep itu diwujudkan melalui Kampung KB.
Tahun 1983 lalu, 32 tahun sebelum Jokowi-Jusuf Kalla dilantik menjadi duet nakhoda negeri ini, Robert Chambers menulis sebuah buku yang di dalamnya berisi sebuah “panduan” bagaimana seharusnya pembangunan dilakukan. Rural Development: Putting The Last First demikian judul buku yang diterbitkan Longman Scientific and Technical tersebut. Empat tahun kemudian, 1987, buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia oleh LP3ES dengan judul Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang.
Mulai dari Belakang Chambers melihat kemiskinan luar biasa di desa-desa Dunia Ketiga. Sebagai seorang
16
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA aktivis, Chamber menilai hal itu sebagai suatu penghinaan. Bukan hanya karena tidak dibenarkannya suatu tindakan perampasan, penderitaan, dan kematian –yang sebetulnya dapat dicegah, melainkan kondisi demikian berdampingan dengan kemakmuran yang dialami oleh segelintir orang. Ratusan juta orang mengalami kemiskinan sebagai sesama penduduk bumi, yang harus bergulat setiap hari dengan usaha keras untuk mendapatkan sesuap nasi, tidak berdaya dengan serangan penyakit, dan harus merelakan kematian anak-anak mereka.
tergantung mereka sendiri. Pemerintah diminta melihat suatu proses belajar yang terbalik. Jargon “kita harus mendidik petani”, “memberantas kemiskinan masyarakat desa”, “membantu memberikan modal”, “memberdayakan mereka”, sesungguhnya merupakan konsep orang luar dalam melakukan pemberdayaan dalam rangka mengentaskan kemiskinan yang dialaminya. Namun, kita harus berpikir ulang dengan jargon yang pernah kita dengungkan tersebut, sebaliknya kita harus merendah dan belajar dari bawah.
“Program KB ada di situ. Pembangunan keluarga dan program kependudukan ada di situ. Pilot project-nya satu kampung dulu, di daerah padat penduduk dan miskin,” ujar Surya Kepala BKKBN Chandra Surapati beberapa waktu lalu.
Di lain pihak, sedikit orang mengalami kemakmuran dengan menguasai berbagai sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya ekonomi, sumber daya politik, sumber daya sosial. Jika orang kaya masa depanya bisa terang benderang, maka kondisi sebaliknya bagi orang miskin. Masa depannya gelap gulita, nasibnya belum jelas, dan penanggulangan untuk mengentaskan kemiskinannya masih kelabu, bahkan banyak yang belum tersentuh pembangunan itu sendiri.
Belajar dari bawah adalah cara belajar yang langsung dari orang desa, dengan mencoba memahami sistem pengetahuan yang dimilikinya dan menggali ketrampilan teknisnya. Selain itu, belajar dari bawah mengandung makna bahwa orang luar harus belajar menghayati kehidupan orang miskin di perdesaan, mencoba merasakan kehidupan dari sisi orang yang menderita. Dalam sudut pandang lain, membangun harus dimaknai sebagai upaya memberdayakan, berdaya bersama. Konsep ini pula yang nampaknya mencoba digagas Jokowi-JK dalam agenda pembangunan lima tahun masa pemerintahannya.
Dalam kesempatan terpisah, Surya menjelaskan, bahwa konsep Kampung KB sejalan dengan program Nawacita yang diusung Jokowi-JK. Rangkuman visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong tersebut dikonkretkan dengan sembilan agenda pembangunan. Poin ketiga dari sembilan agenda tersebut adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daaerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”
Kehidupan miskin demikian membelit masyarakat perdesaan sehingga mereka dalam kondisi kemiskinan. Sebagian besar sulit keluar dari jeratan kemiskinan, bahkan hidup dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty). Jika orang tuanya miskin, generasi berikutnya menjadi miskin. Dengan kemiskinannya itu, anak orang miskin tidak mendapatkan akses pendidikan yang cukup, ketrampilan yang memadai, sehingga kawin di usia dini, tanpa pekerjaan, dan akhirnya berada dalam kubangan kemiskinan. Nah, menurut Chambers, untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan, sesungguhnya
Membangun dari Pinggiran Sebagaimana pernah diungkap dalam majalah ini beberapa waktu lalu, Kampung KB dibangun di wilayah padat penduduk, seperti perkampungan nelayan atau sejenisnya. Kampung KB jadi percontohan program KKBPK. Program keluarga sejahtera, kampanye pembinaan anak, dan kampanye menjadi orang tua hebat akan mengisi kampung ini.
Lebih dari itu, Surya menyebut Kampung KB merupakan sebuah cara BKKBN dalam menggalakkan program revolusi mental berbasis keluarga. “Presiden menekankan, kami harus kerja keras untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk,” kata Surya.
“Ukuran pembangunan sekarang kita geser, jangan hanya beradsarkan pertumbuhan ekonomi makro yang ternyata sulit menetes ke bawah. Kenapa kita tidak membangun dari bawah, dari desa. Membangun dari Pinggiran sebagaimana menjadi agenda pembangunan Nawacita. Jangan hanya infrastruktur, tetapi juga manusianya. Inilah yang kita sebut dengan Kampung KB,” tandas. Surya tidak memungkiri bahwa konsep Kampung KB yang diusung BKKBN sebenarnya sudah hadir di Jawa Barat dalam beberapa tahun
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
17
WARTA UTAMA terakhir. Prakarsa Jawa Barat tersebut ditransformasi menjadi agenda nasional. “Mari kita membangun Indonesia dari desa. BKKBN merencanakan dan telah disetujui Presiden Jokowi untuk meluncurkan program Kampung KB pada Januari 2016 mendatang. Rencananya, Kampung KB diluncurkan Presiden Jokowi di Kabupaten Pangandaran atau Kabupaten Cirebon. Ini akan menjadi pilot project di Indonesia,” ujar Surya disambut tepuk tangan meriah ribuan petugas lini lapangan KB.
sebelumnya, jelas ini merupakan lompatan besar. Menurut UU ini, urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana masuk dalam klasifikasi urusan wajib nonpelayanan dasar. Ini merupakan bagian dari urusan pemerintahan konkuren, yakni adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan ini diatur dalam Pasal 11 dan 12. Pengendalian penduduk dan KB menjadi bagian dari 18 urusan wajib di luar pelayanan dasar.
Kampung KB di Kabupaten Sumedang
Babak Baru Program KB Di bagian lain, Surya mengingatkan bahwa program KB bukan semata-mata urusan pemerintah pusat. Babak baru ini datang seiring lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). UU ini secara tegas mengelompokkan urusan pengendalian penduduk dengan keluarga berencan (KB). Dibanding UU Pemda
18
“Prorgram kependudukan dan KB menjadi hal yang wajib dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Untuk pusat sendiri mengelola 10 subkewenangan, antara lain adalah petugas lapangan KB, penyuluh KB akan dikembalikan dan dikelola oleh pusat. Jadi mereka nanti adalah aparatur sipil negara, pegawai pusat yang direkrut oleh pusat dan dilatih, serta diberikan sertifikasi KB dan penyuluh KB,” jelasnya.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
Lebih spesifik pembagian urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana dijelaskan dalam matriks pada lampiran UU Pemda. Mengacu kepada matriks tersebut, urusan pengendalian penduduk dan KB meliputi empat sub urusan, meliputi: 1) Pengendalian penduduk; 2) Keluarga berencana; 3) Keluarga sejahtera; 4) Standardisasi dan sertifikasi. Dari empat sub urusan tersebut, pemerintah pusat memiliki kewenangan paling besar, terutama dalam KB dan standarisasi dan sertifikasi. Bahkan, poin keempat ini mutlak urusan pemerintah pusat. Khusus sub urusan KB, pemerintah pusat memiliki kewenangan dan bertangung jawab atas lima aspek, pemerintah provinsi dua aspek, dan pemerintah kabupaten/ kota sebanyak empat aspek. Pemerintah provinsi “hanya” berwenang dalam 1) Pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pengendalian penduduk dan KB sesuai kearifan budaya lokal; 2) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan tingkat daerah provinsi dalam pengelolaan pelayanan dan pembinaan kesertaan ber-KB. Di sisi lain, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyediaan alat dan obat kontrasepsi untuk kebutuhan pasangan usia subur (PUS) nasional. Sementara pemerintah kabupaten dan kota bertanggung jawab dalam pengendalian dan pendistribusian kebutuhan alat dan obat kontrasepsi serta pelaksanaan pelayanan KB di Daerah kabupaten/kota. (NJP)
WARTA UTAMA
Kampung KB di Kota Banjar
KEROYOKAN
Menggarap Kampung KB Partisipasi Lintas Sektor Baru 10% Kampung KB sejatinya menjadi hajat banyak pemangku kepentingan pembangunan di daerah. Ini sejalan dengan titah Presiden Jokowi yang meminta agar Kampung KB hadir sebagai pusat kegiatan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, geakan nasional yang dicanangkan Jokowi di Jawa Barat tersebut seolah-olah masih milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Hitung-hitungan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Sukaryo Teguh Santoso, partisipasi aktif dari lintas sector baru berkisar pada angka 10
persen. Sementara sisanya masih melulu BKKBN. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi mitra kerja BKKBN untuk terus-menerus melakukan advokasi kepada pemangku kepentingan lain. “Idealnya seluruh sektor terlibat di Kampung KB. Kementerian PMK sebenarnya sudah mendesain agar seluruh kementerian dapat berkomitmen di Kampung KB. Tapi fakta di lapangan masih belum,” kata Teguh di hadapan media se-Bandung Raya beberapa waktu lalu. Lebih jauh ia menerangkan sektor yang paling kelihatan baru BKKBN dan Dinas Kesehatan. Sebaliknya yang masih minim adalah dukungan untuk pengembangan infrastruktur di Kampung KB. Namun demikian pihaknya berkeyakinan kedepan ada
banyak peluang seluruh sektor dapat berkolaboarasi. Salah satu yang potensial menurutnya adalah melalui pemanfaatan potensi dana desa untuk membiayai program Kampung KB. Menurutnya tidak hanya infrastruktur Kampung KB saja yang dapat dibiayai oleh dana desa, tapi juga bisa untuk memenuhi sarana dan prasarana lainnya di Kampung KB, termasuk dalam mendukung operasional para kader. Kemudian saat ditanya apa yang menjadi sasaran akhir dari Kampung KB, Teguh menjelaskan bahwa makna Kampung KB adalah pelembagaan pembudayaan KB dalam arti luas, tidak dipandang sebatas kontrasepsi saja. (HK)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
19
WARTA UTAMA
SAAT PAK KADES JATUH CINTA SAMA KAMPUNG KB
Dokumen Anggaran Kampung KB
A
rdi Suhardi Wijaya sama sekali tak memiliki rekam jejak mengelola program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). Maklum, sebagian besar hidupnya dihabiskan di lautan lepas. Sebagai prajurit Tentara Nasionbal Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Ardi menganggap samudera sebagai bagian hidup tak terpisahkan. Itu dulu. Kini, Kepala Desa Bendungan, Kecamatan Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, ini begitu kesengsem para pembangunan KKBPK, khususnya Kampung KB.
20
Dari mana Ardi mengenal Kampung KB? Rupanya belum begitu lama. Kurang dari dua tahun lalu, pensiunan TNI AL mengaku mendapat undangan untuk mengikuti pelatihan program KKBPK di Bandung. Dari situlah Pak Kades ini mengenal Kampung KB. Sepulang pelatihan, ketertarikan itu ditindaklanjuti dengan banyak mempelajari Kampung KB. “Setelah adanya pencanangan Kampung KB oleh Presiden di Cirebon, para kepala desa di Kabupaten Kuningan mendapat
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
semacam sosialisasi program Kampung KB. Saya sebagai Kades di sini langsung mengajukan diri,” ujar Ardi saat diminta menceritakan perjalanan Kampung KB di desanya, beberapa waktu lalu. “Ide-ide saya ternyata mendapat sambutan hangat dari aparat desa dan juga masyarakat. Mereka setujui membentuk Kampung KB. Ini jelas merupakan kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan saya dan keluarga,” Ardi menambahkan.
WARTA UTAMA Ditemui di Sekretariat Kampung KB Desa Bendungan, Ardi tampak begitu semangat mengawal salah satu program andalan Presiden Joko Widodo ini. Pria yang kini mendekati usia delapan dekade ini meyakini membangun Kampung KB sangat besar manfaatnya bagi pembangunan bangsa. Alasannya, Kampung KB benar-benar mengajak warga untuk berdaya bersama memajukan dan meyejahterakan warganya.
Rinciannya, dari jumlah total mendekati Rp 200 juta, Ardi mengalokasikan khusus biaya operasional Kampung KB sebesar Rp 50 juta. Jumlah ini belum termasuk anggaran pembangunan fisik Bale Sawala atau ruang pertemuan sekaligus sekretariat Kampung KB sebesar Rp 85 juta. Ada lagi biaya program kesehatan yang berhubungan erat dengan Kampung KB maupun pembangunan KKBPK pada umumnya.
“Sebab kalau Kampung KB maju, desa juga akan bagus. Kemudian,
Ke depan, Kades yang hanya bersedia memimpin warga
Tak cuma janji, Ardi meneguhkan komitmennya dalam membangun Kampung KB dengan cara mengalokasikan anggaran khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Jumlahnya besar, mendekati angka Rp 200 juta. Memang, bukan semuanya untuk Kampung KB, melainkan pembangunan KKBPK pada umumnya.
Sementara itu, penyuluh KB Kecamatan Lebakwangi Yeti Cahyati menjelaskan, pembentukan Kampung KB di Desa Bendungan dimulai dengan arahan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Kuningan untuk menindaklanjuti pembentukan Kampung KB. Desa Bendungan dipilih berdasarkan sejumlah pertimbangan. Salah satunya keberpihakan aparat desa dalam membantu mengembangkan Kampung KB itu sendiri. “Setelah itu, Kepala UPTD menunjuk saya untuk melakukan advokasi kepala desa. Saya menyampaikan dan meminta dukungan tentang penunjukkan Desa Bendungan sebagai daerah yang ditetapkan untuk membentuk Kampung KB. Prosesnya berjalan, saya advokasi tidak hanya satu kali. Alhamdulillah hasilnya menggembirakan,” ungkap Yeti.
Ardi Suhardi Wijaya
kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara menjadi bagus. Sebab, ujung tombak pembangunan sebuah bangsa ini ada di desa. Makanya kita mencoba bagaimana menyukseskan program ini dengan segala keterbatasan pengetahuan, keterbatasan dana, dan seterusnya,” tandas Ardi.
tidak ada yang tidak sekolah,” tandas Ardi optimistis.
selama saru periode ini akan mengembangkan Kampung KB sebagai pusat keunggulan pembangunan masyarakat. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan itu, maka Ardi berupaya memperkuat program-program yang berhubungan dengan ekonomi warga. Salah satunya dengan memberikan semcam bantuan permodalan bagi warga Kampung KB untuk mengembangkan usahanya. “Usahanya maju, artinya ada manfaat, dan ada income. Makanya porsinya akan lebih besar ke ekonomi. Bagaimana supaya meningkat taraf hidupnya, itu saja. Kalau di bidang pendidikan, Alhamdulillah
Sebagai “senjata” dalam melakukan advokasi, sambung Yeti, dia menyajikan data desa setempat berdasarkan hasil Pendataan Keluarga (PK) 2015 lalu. Data PK 2015 memandu kepada setiap orang, terlebih pemangku kepentingan, untuk mengembangkan daerahnya berdasarkan kondisi faktual. Sebut saja misalnyua jumlah kepala keluarga, jumlah jiwa, jumlah anak, tahapan kemiskinan, dan lain-lain. “Saya tunjukkan data, kepala desa merespons. Beliau mengumpulkan aparat desa untuk kemudian memberikan arahan bahwa Desa Bendungan akan membangun Kampung KB. Setelah itu, barulah langkahlangkah teknis pembentukan dimulai,” papar Yeti.(NJP)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
21
WARTA UTAMA
22
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA
Wawancara Khusus Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Drs. S. Teguh Santoso, M.Pd.
Pekerjaan Besar
KB Besar Jawa Barat
Setelah sempat kosong selama dua bulan, Perwakilan BKKBN Jawa Barat secara resmi memiliki nakhoda baru seiring dilantiknya Sukaryo Teguh Santoso oleh Gubernur Ahmad Heryawan pada 4 Oktober 2017 lalu di Gedung Sate. Apa yang akan dilakukan Teguh saat pulang ke kandang lama, berikut petikan wawancara khusus Warta Kencana bersama Sukaryo Teguh Santoso usai pisah-sambut Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat di salah satu hotel di Bandung.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
23
WARTA UTAMA Lama di Jakarta dan sempat menyeberang ke Kalimantan, apa yang Anda rasakan ketika kembali ke Jawa Barat? Ya, kalau kembali ke Jawa Barat tuh seperti urang balik ke kandang, hehehe... Pulang kampung, lah. Tapi memang ada pertanyaan besar buat saya ketika kembali ke Jawa Barat. Biasanya kalau putra daerah pulang ke Jawa Barat itu menjelang purnabakti atau pensiun. Tiga tahun atau dua tahun mau pensiun baru pulang. Bahkan, ada yang satu tahun mau pensiun. Saya merasa mungkin lembaga punya misi tersendiri. Paling tidak saya menganggap bahwa ini menjadi sebuah pembelajaran buat saya. Sebagai penerus kali ya, generasi penerus kenapa harus ke Jawa Barat. Perjalananya cukup panjang. Tetapi, saya melihat mungkin karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki tantangan yang cukup besar. Artinya, bukan karena saya putra daerahnya. Bukan. Tapi, karena lihat konteks Jawa Barat dalam perspektif program kependudukan, KB, dan pembangnan keluarga. Bagaimana Anda melihat Jawa Barat saat ini? Jawa Barat memiliki heterogenitas tantangan, sehingga ini bagus untuk pembelajaran. Tantangan yang saya maksud apa? Dari dimensi kependudukan, Jawa Barat itu penduduknya kan seperlima dari penduduk Indonesia. Kalau sekarang berandai-andai 40 juta, artinya pertumbuhannya cukup tinggi. Karakteristik pertumbuhan Jawa Barat dipengaruhi dua hal besar, pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan alamiah ini salah satunya dari kelahiran, kemudian migrasi dari
penduduk yang masuk tinggi. Dua-duanya ini tak bisa dilepas. Migrasi yang tinggi itu berdampak. Pertama, migran itu biasanya cari kerja. Kalau sudah cari kerja, biasanya perlu perumahan. Karakteristik migran itu penduduk produktif, bahkan kaum muda. Nah, ini berarti kawin gitu, kan. Tantanganya, kalau kawin pasti reproduksi, sehingga ini akan berdampak pada kelahiran. Kelahiran di Jawa Barat bisa jadi tidak hanya penduduk asli yang tidak ter-cover program, tapi juga ada migran-migran baru ini. Ini saya melihat sebagai sebuah tantangan luar biasa saat ini. Nah, jika melihat karakteristik seperti itu, berarti juga nanti terkait dengan bagaimana upaya pengaturan kelahiran. Program KB, kan? Ada kebutuhan yang tinggi terhadap pengaturan kelahiran, penggunaan alat kontrasepsi, dan sebagainya. Kedua, dari struktur penduduk Jawa Barat saat ini. Satu dari empat penduduk Jawa Barat itu remaja atau usia muda, 15-21 tahun. Ini penduduknya seperempat. Apa artinya ini?! Mengintervensi remaja ini terkait dengan pembentukan keluarga berkualitas. Mereka itu kan akan menikah. Coba bayangkan, ini kan bagian dari penduduk produktif. Kita di Jawa Barat ini penduduk produktif dua kali lipat dibandingkan dari penduduk nonproduktif. Namun demikian, ini adalah sebuah bonus, peluang yang baik apabila kualitasnya ditentukan. Kualitas ini ditentukan pada masa remaja sebenanrnya. Dia butuh pekerjaan misalnya, dia butuh kesehatan, butuh pendidikan, dan lain-lain. Pekerjaan untuk nanti dia hidup, kesehatan agar mereka jangan sampai sakit-sakitan, pendidikan untuk nanti
Pelantikan oleh Gubernur Jawa Barat
24
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA berperan dalam mencari pekerjaan, dan lain-lain. Jadi, saya pikir penduduk usia muda ini menjadi tantangan yang luar biasa. Selain itu, kita juga punya penduduk lansia yang tidak sedikit. Berbicara Jawa Barat itu sebenarnya merefleksikan penduduk Indonesia. Secara nasional, tren lansia ini cukup tinggi juga. Kecenderunganya usia lanjut ini akan terus naik. Kenaikan usia lanjut ini, apa artinya?! Ini kan gak mungkin toh usia lanjut usia ini dipaksa kerja lagi. Artinya, pemerintah ini harus turun untuk menjadikan penduduk yang lanjut ini tetap sehat, sehingga tidak menjadi beban negara. Nah kemudian dari kualitas. Data sekarang mungkin tidak jauh beda dengan dulu. Bila kita lihat ukuranya IPM (indeks pembangunan manusia, red), angkanya harapan hidup Jawa Barat meskipun naik, tapi tetap saya katakan masih rendah. Secara kualitas, rata-rata lamanya sekolah Jawa Barat itu masih rendah. Angkanya pada kisaran tujuh, artinya kelas satu SMP. Artinya belum lulus SMP, baru kelas tujuh. Itu kualitas! Kemudian angka harapan hidup. Itu juga masih rendah. Daya beli bisa jadi daya beli tinggi. Tapi karena sebenarnya mereka yang berada di wilayah industri. Padahal yang dimaksud dengan daya beli itu adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itu juga masih rendah. Itulah yang menyebabkan indikator komposit IPM itu rendah. Apa artinya penduduk besar di Jawa Barat tetapi dengan kualitas rendah? Ini tantangan tersendiri, baik kuantitas, kualitas, maupun mobilitas. Nah mobilitas terkait dengan tadi. Kita itu kan perbatasan ibu kota. Banyak pabrik di Jawa Barat. Ini yang akan memicu mobilitas. Semakin banyak infrastruktur yang dibangun, berarti mencirikan bahwa mobilitas itu tinggi. Penduduk tidak merata persebaranya. Jadi, kalau kita lihat Jawa Barat dari Kuningan sampai dengan Bekasi, ini semua ini mengarah ke Bekasi. Akibatnya kepadatan muncul di Bekasi dan sekitarnya. Sehingga pemerintah itu perlu bikin infrastruktur. Untuk apa? Persebaran akses lah, untuk jalan. Jadi, cirinya mobilitas tidak merata, pasti infrastrukturnya menjadi prioritas. Nah kemudian dimensi lain dari kependudukan adalah penataan administrasi kependudukan yang belum selesai sampai sekarang. Ini semua sektor sedang mengmbangkan datanya masing-masing. Sehingga para pengambil kebijakan susah. Dalam hal ini BKKBN concern terdap data PK (pendataan keluarga, red). Itu untuk operasional program. Data keluarga BKKBN untuk operasional, bukan untuk mengambil keputusan. Artinya apa, PLKB
sebelum melakukan KIE atau pelayanan, mereka menggunakan data PK. Kemudian nanti dari aspek program ketahanan keluarga kita juga harus lihat, persoalan kawin-cerai misalnya. Apa peran BKKBN dalam menyikapi tantangantantangan itu? Kembali pada yang tadi, saya kembali ke Jawa barat itu bukan karena putra daerahnya. Karena saya sebagai generasi penerus, BKKBN merasa perlu menurunkan Teguh ke wilayah besar yang tantanganya cukup majemuk. Ini untuk pembelajaran. Nah apa yan harus kita lakukan? Sebenarnya BKKBN sudah clear. Bahwa sampai 2020 mendatang, kita ingin mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dengan karakteristik NRR=1, TFR=2,1. Ini perlu disasar program kita. Pertama, pendewasaan usia perkawinan. Salah satu prioritas kita adalah pendewasaan perkawinan. Kedua, pengaturan kelahiran. Bagaimana menjamin orang-orang yang sudah menggunakan kontrasepsi itu sehat. Kemudian ketahanan keluarga. Yang sudah berkeluarga ini bagaimana parentingnya, bagaimana ketahanan keluarga berfungsi secara optimal. Kemudian pemberdayaan ekonomi keluarga. Nah, dari kesekian program itu kelihatanya ada sebuah program yang prioritas, merupakan implementasi pengejewantahan dari holistik-integratif. Oke, itu PTS tadi itu ya! Artinya dari dimensi kependudukan BKKBN harus menyukseskan penduduk seimbang akhir 2019. Tidak hanya itu, BKKBN juga diberikan mandat untuk menyukseskan sembilan agenda prioritas, Nawacita. Sudah clear lah itu adanya. Artinya BKKBN itu diberikan mandat yang besar tidak hanya aspek dimensi kependudukan. Maka intervensi kampung KB, yang merupakan ikon Jawa Barat- yang sekarang jadi ikon nasional- ini menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Memahami program prioritas Kampung KB itu bukan mengintervensi kampung, tapi bagaimana menumbuhkan kegotong-royongan. Bagaimana mempertahankan dan meningkatkan peserta KB lagi. Campaign terhadap usia perkawinan, pembinaan ekonomi keluarga, dan ketahanan keluarga itu di kampung KB, sekaligus dalam rangka membangun karakter keluarga yang ada di situ. Kampung KB sedikit? Sekarang boleh dikatakan sedikit, tapi mungkin nanti 2019 setiap desa harus ada kampung KB! Itu sebagai sebuah model intervensi, bukan program kampung KB itu. Model intervensi program KB yang bersinergi dengan sektor lainnya. Saya pikir Jawa Barat sudah tepat. Yang saya gambarkan tadi itu sudah berjalan di Jawa Barat. Tinggal bagaimana
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
25
WARTA FOTO mantenaince sambil mempersiapkan SDM kita. SDM tenaga lapangan, SDM kita untuk mengawal kebijakan itu tadi. Terkait kepesertaan KB yang cenderung stagnan, apa yang akan Anda lakukan? Kepesertaan KB itu dampak dari demand and supply. Demand itu dalam konteks bagaimana kita menggerakan masyarakat melalui KIE, melalui advokasi, agar orang itu mengerti. Dari sisi supply, berarti pemenuhan kebutuhan. Untuk menjadi peserta KB itu kita memerlukan apa, alat kontrasepsi apa, dan lain-lain. Tidak hanya alat kontrasepsi, tapi juga aksesnya. Apakah misalnya dekat dengan masyarakat atau tidak. Misalnya kontrasepsi cukup tapi tidak sampe ke tempat pelayanan, mengapa? Bukan tidak mungkin malah numpuk di gudang. Ada yang begitu! Sehingga, persoalan akses juga menjadi penting.
Sehingga, bila kita berbicara peserta KB rendah, tidak bisa hanya dilihat dari satu dimensi. Alkonnya ada, nggak? Sarananya ada, nggak? Mungkin KIE (komunikasi, informasi, edukasi) juga kurang. Oh, KIE nya cukup, bisa jadi yang tidak ada sarana tenaga, dana, dan sumber daya lain-lain. Jadi kalo melihat peserta KB ini, dua dimensi: demand and supply. Satu lagi, pelaporan. Dilaporkan atau tidak hasil pelayanan KB tersebut? Terbukti lho cakupan proses pelaporan kita itu masih di bawah 60 persen. Laporan pelayanan alat kontrasepsi itu mengukur peserta KB aktif dan DO. Jadi, kalau itu masih 60 persen, beraeti 40 persen masih tidak dilaporkan. Artinya, ada wilayah, ada desa, ada faskes, tidak melaporkan. Bisa jadi peserta KB-nya banyak tapi tidak dilaporkan. Nah, maka menurut saya dalam konteks peningkatan peserta KB, demand and supply tadi, KIE-nya harus kenceng menusuk ke bawah dan riil. Tidak hanya informatif, tetapi juga edukatif. Pemenuhan sarana prasarana juga tidak hanya ada, tapi juga mudah diakses. Jadi betul-betul kalau sarana alat kontrasepsi maupun obat itu ada di faskes, lah. Selanjutnya, pencatatan pelaporan. Untuk itu, kita memerlukan tenaga lapangan yang andal. Tenaga lapangan sekarang pindah ke pusat, seperti apa perubahan tata kelolanya? Waktu saya Direktur Bina Lapangan punya misi tuh tiga. Pertama, proses alih kelola PLKB harus selesai dalam tahun 2017. Kedua, menyelesaikan sertifikasi bagi PLKB. Itu amanat dari Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga, kampung KB. Apanya kampung KB? Pedoman-pedoman, kumpulan regulasi, pokoknya tentang kampung KB. Mau tidak mau sampai akhir Desember harus clear. Saya masuk memang waktu itu Februari akhir, sampai Agustus alhamdulillah proses alih kelola pengalihan PLKB selesai. Tidak sampai satu tahun sudah 100 persen. Secara administratif, berita acara peralihan status 15.352 PLKB sudah masuk ke pusat. Kedua, target renstra menetapkan sertifikasi selesai 40 persen selama 2017-2019. Saya itu kemarin bikin sistemnya tiga bulan, tidak usah menunggu sampe 2019. Bulan Oktober 100 persen sertifikasi. Seluruh PKB PLKB tersertifikasi. Kita punya database-nya. Mana PLKB yang diatas standar atau yang perlu pengembangan. Ini penting karena ke depan pengembangan SDM kita berbasis kompetensi. Jadi kita gak bisa merancang pelatihan itu sama karena kebutuhan pelatihan PLKB itu harus sesuai kompetensi. Ini
26
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA FOTO diamanatkan undang-undang juga, kan. Maka bisa jadi PLKB ini butuhnya pelatihan terkait dengan kompetensi teknis pengambilan keputusan, katakanlah berbicara KIE, kompetensi manajerial, analilitical thinking, dan lain-lain. Jadi, kita tidak bisa lagi memformat aparatur sipil negara kita! Semua harus berdasarkan kompetensi. Untuk itu perlu peta, jadi yang saya katakan tadi sertifikasi itu memetakan. Alhamdulillah 100 persen tersertifikasi. Oh satu lagi, pendayagunaan. Ini kan diberi mandat juga Desember. PLKB ditarik itu kan konsekuensinya per 1 Januari oleh kita (BKKBN) full. Penggajian, manajemen, tetang penyuluh KB itu menjadi tanggung jawab BKKBN. Karena itu, perlu infrastruktur dan regulasi. Pendayagunaan sebagai wewenang kabupaten itu bagaimana. Waktu itu saya begitu masuk lini lapangan ditanya, “Bisa nggak menyelesaikan lini lapangan?” Saya bilang bisa. Alhamdulillah pada 31 Agustus 2017 peraturan kepala BKKBN tentang pendayagunaan selesai, sudah ditetapkan. Sekarang tinggal menunggu proses sosialisasi tentang apa kewenangankewenangan kabupaten/kota terhadap PLKB. Perubahan-perubahan yang terjadi di lini lapangan itu tujuaannya agar ke pendayagunaan PLKB lebih efektif, efisien. Kemudian kampung KB. Ini proyek panjang. Ini pekerjaan panjang untuk kampung KB. Inpres atau perpres kampung KB ini kan sebagai payung saja, tetapi tidak menjadikan tidak ada inpres tidak jalan. Jawa Barat membentuk kampung KB kan bukan berdasarkan inpres. Berdasarkan apa? Berdasarkan ide kreativitas teman-teman di Jawa Barat saja sebenarnya. Nah, sebenarnya itu yang perlu dicontoh itu. Apa yang membedakan Jawa Barat dengan Kalimantan Timur yang pernah Anda pimpin sebelumnya? Kalimantan Timur itu karakternya berbeda. Kalimantan kan penduduknya hanya 3,5 juta jiwa. Tapi luas wilayahnya itu 1,5 Pulau Jawa. Walaupun begitu, IPM di sana nomor empat secara nasional. Pendidikan bagus, rata-rata sekolahnya bagus, kesehatan bagus, sehingga kebijakan di sana gubernurnya welcome terhadap pendatang. Pokoknya silakan orang-orang masuk sebanyak mungkin ke Kaltim, welcome. Tapi saya selalu mengingatkan, “Pak Gubernur, Kaltim itu memang butuh penduduk. Tetapi kalau kita setting areanya, sebenarnya 70 persen dari luas Kaltim itu wilayah koservasi. Nah yang dihuninya itu hanya 30 persen.
Dari 30 persen tersebut, 10 persennya dihuni orang bule.” Karena itu, kalau dibiarkan maka habis itu! Kaltim itu penyangga paru-paru dunia untuk menjaga iklim global. Nah, ini tantangannya di sana. Berhadapan dengan pemerintah daerah selalu KB itu gak penting. Mereka bilang, “KB itu gak penting, Pak Teguh. Kami belum banyak penduduk, tanah kami masih luas.” Saya selalu menjawab, “Iya, Bapak. Bapak belum banyak penduduk. Tapi penduduk yang seperti apa yang dibutuhkan Kaltim? Tentu saja penduduk berkualitas.” Maka, KB di Kalimantan Timur itu kualitas, bukan jumlahnya. Kualitas jawabanya! Meski begitu, alhamdulillah diterima. Dibanding Jawa Barat, jelas persoalanya berbeda. Ini yang kemudian mempengaruhi decision maker yang menganggap KB itu gak perlu karena penduduknya sedikit. Kalau di Jawa Barat, KB sangat penting karena penduduknya sangat banyak. Perspektifnya itu. Walaupun begitu, mau banyak atau mau sedikit, kalau kita mau berbicaranya kualitas, sama saja. Pada saat dilantik di Gedung Sate, ada pesan khusus dari Gubernur Heryawan? Tadi sudah jelas. Pak Gubernur menegaskan aspek kependudukan harus lebih menonjol. Kalau kita berbicara aspek kependudukan, KB tuh ambil bagian di situ. KB harus dibaca KB besar, bukan KB kecil seperti dalam Undangundang 52 (Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
27
WARTA UTAMA dan Pembangunan Keluarga), yaitu upaya penjarangan atau pengaturan. KB itu dalam konteks family planning, perencanaan keluarga. Oleh karena itu, lebih tepat KB itu dalam konteks ini adalah KB dalam undang-undang Nomor 10 (Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera) yang menekankan peningkatan peran serta partisipasi masyarakat melalui PUP, pengaturan kelahiran, pembangunan ketahanan keluarga. Jadi kalau kita sudah melihat seperti itu, maka kita berbicara KB dalam bentuk KB yang lazimnya sekarang KB itu bukan jumlah anak. KB itu mengatur kelahiran sangkan ibu yang melahirkan itu tetap sehat, anak yang dilahirkan juga terpenuhi kebutuhanya dengan baik, sehingga duaduanya menjadi berkualitas. Bukan KB (hanya) dua anak cukup! Sebenarnya (KB) menurut Pak Gubernur itu prinsipnya -sudah lama sejak beliau jadi gubernur- perencanaan keluarga, pendidikan keluarga. Saya setuju itu! Pesan Pak Gubernur berikutnya, BKKBN harus lebih proaktif. Pertahankan, dalam artian yang sebelumnya itu sudah aktif, maka pertahankan yang sudah bagus itu. Namun karena lingkungan itu dinamis, maka yang sudah bagus itu pertahankan, syukur-syukur tingkatkan. Spesifik dari Bu Netty (Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan) sangat banyak berharap tentang keberadaan tenaga TPD. TPD harus kita perkuat. Kembali pada fitrahnya penggerak, bukan hanya mengajak memakai alat kontrasepsinya itu. Bagaimana campaign itu menjadi tupoksi TPD juga. Jabar kahiji. Sangkan Jabar kahiji, urang kudu ngahiji, kan!
28
TEGUH SANTOSO Resmi Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat
Gubernur Minta Fokus Pembangunan Kependudukan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat resmi memiliki bos anyar setelah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan melantik Sukaryo Teguh Santoso menjadi Kepala Perwakilan BKKBN Jabar di Gedung Sate, Rabu 4 Oktober 2017. Pelantikan Teguh mengakhiri kekosongan jabatan kepala perwakilan sejak dua bulan terakhir sejak ditinggal Sugilar yang memasuki usia pensiun. Pelantikan turut dihadiri forum komunikasi pimpinan daerah dan sejumlah pejabat tinggi pratama di Jawa Barat. Tampak juga sejumlah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di kabupaten dan kota se-Jawa Barat. Usai dilantik, Teguh langsung mengikuti pisah-sambut yang dirangkainkan dengan konsolidasi program KKBPK Jawa Barat di sebuah hotel di Bandung.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
Teguh bukanlah orang baru di lingkungan BKKBN Jawa Barat. Mengawali karir sebagai penyuluh keluarga berencana pada 1993 silam, Teguh menghabiskan sebagian besar karirnya di Jawa Barat. Barulah pada akhir 2011 lalu Teguh promosi menjadi Kepala Sub Direktorat Advokasi dan Pencitraan BKKBN Pusat. Lima tahun kemudian, Teguh mendapat promosi menjadi Kepala Perwakilan BKKBN Kalimantan Timur. Setahun di Bumi Bornoe, Teguh ditarik ke Jakarta untuk memimpin peralihan status pegawai petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan PKB. Sukses memimpin peralihan status sekitar 15 ribu PLKB/PKB di tingkat nasional, Teguh dikirim ke Jawa Barat. “Saya seperti pulang kandang,” ujar Teguh saat berbincang dengan duaanak.com usai pisah sambut tadi malam. “Ini menjadi tantangan tersendiri karena Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
WARTA UTAMA baik. Laju pertumbuhan yang tinggi di Jabar ini bukan berarti tidak tertangani dengan baik,” kata Aher. Aher melanjutkan, penduduk yang banyak harus menjadi potensi yang positif terutama dalam menghadapi bonus demografi di mana jumlah penduduk akan didominasi usia produktif. “Kita ingin penduduk yang banyak ini menjadi potensi yang positif apalagi kependudukan saat ini kan menghadapi bonus demografi di mana 35 persen penduduk kita berada dalam usia produktif,” ujarnya.
paling banyak di Indonesia. Seperlima penduduk Indonesia itu ada di Jawa Barat. Bagi saya ini pembelajaran,” Teguh menambahkan. Sebagai nakhoda baru, imbuh Teguh, pihaknya akan melanjutkan program yang telah berjalan baik dari kepala BKKBN Jabar sebelumnya termasuk fokus pada pembangunan kependudukan. “Yang kedua memperkuat lini lapangan, seperti tenaga penyuluh, penyiapan sarana prasarana dan pembinaan ketahanan keluarga itu yang akan kita lakukan dan tahun ini Jabar saya pikir sudah mapan sehingga kita akan selesaikan sampai akhir 2017. Untuk 2018 akan kita bicarakan kemudian,” jelasnya. Berikutnya adalah meningkatkan kesertaan ber-KB di Jabar saat ini sudah berkisar pada angka 62 persen. “Yang harus digenjot saya pikir segmen kelompok muda karena 1 dari 4 penduduk itu kan usia remaja, itu yang menjadi sasaran utama di samping mempertahankan bagaimana
pasangan usia subur yang sudah aktif menggunakan alat kontrasepsi,” terangnya. Prioritas lainnya adalah pihaknya akan membuat kampung KB sebagai pendekatan holistikintegratif yang merupakan program nasional, di mana ia menargetkan satu kampung KB per satu kecamatan seJabar. “Kampung KB ini ikon program KB sekaligus bagian dari sembian prioritas pembangunan pemerintahan Jokowi-JK,” tandas Teguh. Sementara itu, dalam sambutannya Gubernur Heryawan meminta Teguh untuk lebih fokus pada pembangunan kependudukan mengingat laju pertumbuhan penduduk di Jabar yang cukup tinggi. Pelantikan ini menurutnya memiliki arti yang strategis bagi Jabar sebagai Provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia. “Fokus ke depan BKKBN saya kira pembangunan kependudukan, jadi harus dirumuskan dengan
Usia produktif tersebut akan produktif terhadap perkembangan ekonomi dan pembangunan manakala dididik agar memiliki kapasitas dan keahlian memadai. “Oleh karena itu, tugas kita adalah dari sisi kependudukan mari kita manfaatkan bonus demografi ini supaya tidak jadi petaka tapi jadi keberkahan, kebaikan, dan bermanfaat bagi masyarakat,” ucapnya. Pembangunan kependudukan kata Aher, tidak hanya bagaimana membangun program keluarga berencana, angka kelahiran dan alat kontrasepsi semata, melainkan harus secara utuh tentang bagaimana membangun generasi masa depan dengan perencanaan yang lebih baik. Menurut Aher, sehebat apapun pembangunan infrastruktur seperti jalan, pendidikan dan kesehatan tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat apabila kependudukan tidak tertata dengan baik. “Karena itu saya minta supaya koordinasi ditingkatkan dengan berbagai pihak supaya ada kesadaran penuh bahwa pembangunan kependudukan adalah hal yang sangat penting,” tuturnya.(DUAANAK.COM)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
29
WARTA JABAR
Ular tangga kependudukan dan Genre
Jabar Kini Punya
108 Sekolah Siaga Kependudukan
30
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
Upaya pengarusutamaan pendidikan kependudukan di Jawa Barat kini maju selangkah lagi. Langkah maju ini sejalan dengan hadirnya 108 Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) di SMP dan SMA seJawa Barat. Jumlah ini belum termasuk SSK di Kabupaten Sukabumi yang sejak awal memelopori gerakan ini.
WARTA JABAR Jawa Barat dengan penduduk sebesar 46,7 juta jiwa menempatkannya sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia, atau setera dengan seperlima penduduk Indonesia. Kondisi ini tidak hanya menyangkut jumlah, tetapi terkait juga dengan masalah laju pertumbuhan yang tinggi, persebaran yang tidak merata, serta kualitas sumber daya manusia (SDM) yang relatif rendah. Situasi ini tentu membutuhkan respons cepat dan tepat dari berbagai sektor, termasuk di dalamnya sektor pendidikan. Inilah yang kemudian melatarbelakangi Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Jawa Barat untuk mengembangkan model pendidikan kependudukan melalui SSK. Berbicara saat membuka Workshop Pembinaan Kelompok Siaga Kependudukan se-Jawa Barat melalui SSK belum lama ini, Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Sukaryo Teguh Santoso mengungkapkan sampai akhir 2017 ini Jawa Barat tercatat memiliki 108 SSK. Jumlah ini terdiri atas 54 SMP dan 54 SMA yang tersebar di Jawa Barat. Teguh, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa SSK merupakan sebuah model sekolah yang mengintegrasikan pendidikan kependudukan dan keluarga berencana ke dalam beberapa mata pelajaran. Menariknya, muatan kependudukan tidak melulu hadir dalam satu mata pelajaran, melainkan menjadi muatan sejumlah mata pelajaran berbeda. Sebut saja misalnya biologi, geografi, bahasa, hingga matematika. Melengkapi muatan tersebut, sekolah yang telah ditetapkan dengan SSK juga memiliki pojok kependudukan (population corner) sebagai
pusat sumber daya informasi kependudukan di sekolah yang bersankutan. Masalah kependudukan dan KB dibawa ke sekolah menjadi penting mengingat kelompok umur sekolah, khususnya usia 10-21 tahun, tergolong kelompok remaja dengan komposisi sangat signifikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Teguh menyebut 25 persen dari struktur penduduk Jawa Barat merupakan remaja. “Artinya, satu dari empat penduduk Jawa Barat adalah remaja. Ini menjadi sasaran strategis dalam mendaratkan isu-isu kependudukan kepada siswa,” kata Teguh. SSK bertujuan agar peserta didik dapat memahami masalahmasalah kependudukan dan keluarga berencana sejak dini. Pemahaman ini menjadi bekal merencanakan masa depan, termasuk dalam penyiapan kehidupan berkeluarga kelak. “Harapannya model SSK ini berdampak pada sikap siswa memandang kependudukan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi dapat ia tularkan untuk orang lain,” tandasnya.
Sinergi Pendidikan Kependudukan Ditemui di tempat yang sama, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk Perwakilan BKKBN Jawa Barat Wawan Ridwan menjelaskan, 108 SSK terpilih merupakan kelanjutan dari program Genre Inisiatif yang sudah terlebih dahulu bergulir di Jawa Barat. Sekolah itu pula yang kemudian ditetapkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat sebagai SSK.
“Ini kelanjutan MoU antara BKKBN dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu. Di Jawa Barat, MoU permintah pusat tersebut diturunkan menjadi program SSK. Dengan demikian, keberadaan SSK memiliki kekuatan hukum sekaligus memberikan kepastian dalam keberlanjutan program,” papar Wawan Ridwan. Wawan menjelaskan adanya perbedaan mendasar antara Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) dengan SSK. Meski sama-sama lahir dari rahim BKKBN, PIKR yang merupakan produk program Generasi Berencana (Genre) menjadikan siswa atau anak didik sebagai aktor utama. Sebaliknya, SSK menempatkan guru sebagai aktor utama. Genre mengusung konsep dari, oleh, dan untuk siswa. Adapun SSK mengembangkan konsep dari dan oleh guru untuk siswa. Mengapa guru? Ya, SSK berkaitan dengan proses pewarisan atau transfer pengetahuan dan kesinambungan mata pelajaran yang memang menjadi domain guru. Guru juga memiliki “masa orbit” di sekolah jauh lebih lama daripada siswa. Dengan demikian, SSK tidak bergantung pada lamanya seorang peserta didik menempuh pendidikan di sekolah. “Siswa itu datang dan pergi setiap tahun. Praktis hanya tersedia waktu tiga tahun bagi anak-anak, sehingga ini akan menghambat skenario SSK yang telah disiapkan. Kita harus menyiapkan kader setiap tahun. Sementara dengan konsep SSK yang dikembangkan saat ini, guru bisa memasukkan muata kependudukan ke dalam mata pelajaran kapan saja, sepanjang tahun, selama topik yang
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
31
WARTA JABAR disajikan relevan dengan materi kependudukan,” terang Wawan. Setidaknya terdapat tujuh mata pelajaran yang di dalamnya bisa disusupi materi kependudukan. Yakni, geografi, biologi, sosiologi, antropologi, IPS, IPA, bahkan matematika. Yang membuat Wawan tercengang, ternyata sejumlah guru mata pelajaran rumpun bahasa juga tertarik untuk menjadikan kependudukan sebagai muata dan mata pelajaran yang diampunya. “Mata pelajaran Bahasa Indonesia ternyata ada menulis dan mengarang tentang kependudukan. Itu di kurikulumnya gitu. Lalu matematika, mulai kelas XI ada teknik menghitung pryeksi penduduk. Siswa diminta menghitung proyeksi penduduk tingkat RT, RW, desa, bahkan di tingkat kecamatan. Dengan metode penghitungan proyeksi yang benar, siswa akan tahu proyeksi penduduk 10 tahun yang akan datang seperti apa,” papar Wawan. “Malah ada beberapa dari teman-teman guru bahasa Sunda datang ke saya meminta dimasukkan dari tim SSK. Alasannya, mereka ingin mengajak siswa mengembangkan karangan tentang kependudukan dalam bahasa Sunda,” saurna teh. Wawan menegaskan, SSK tidak mengubah kurikulum. Yang kemudian dilakukan adalah menambahkan atau memperkuat muatan kependudukan pada sejumlah mata pelajaran. Hasil identifikasi menunjukkan adanya tujuh mata pelajaran yang memiliki hubungan dengan materi kependudukan seperti disinggung di atas. Meski
32
begitu, masalah kependudukan sebenarnya merupakan tema universal yang bisa masuk ke dalam mata pelajaran.
Population Corner Lebih jauh Wawan menjelaskan, salah satu ikon SSK adalah hadirnya pojok kependudukan (population corner). Pojok ini berupa gazebo atau ruangan khusus yang di dalamnya menyajikan data kependudukan, baik lokal maupun kependudukan dunia. Bahan-bahan dasar tadi disiapkan BKKBN yang kemudian dikembangkan pihak sekolah. Dalam perkembangannya, pojok ini mengghadirkan informasiinformasi kependudukan hasil pekerjaan siswa pada saat mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran yang bersangkutan. Untuk keperluan tersebut, population corner mempersenjatai diri dengan aneka sumber daya informasi dan pendukung lainnya. Informasi itu dibagi ke dalam beberapa rumpun, seperti foto, peta, grafik, dan ornamen kependudukan lainnya. Informasi dalam bentuk foto tersebut antara lain mengenai kesehatan reproduksi remaja, kelahiran sehat, kematian akibat langsung dan tidak langsung, perkawinan dini, perkawinan dewasa, pertumbuhan penduduk, migrasi atau mobilitas, daerah kumuh, korban tawuran, kemacetan lalulintas, dan lain-lain. “Kami di BKKBN memiliki data keluarga yang sudah dioleh menggunakan Devinfo. Data ini berasal dari Pendataan Keluarga 2015 lalu. Data bisa diakses berdasarkan keluarga maupun satuan wilayah administrasi. Jadi, siswa bisa tahu data kependudukan di RT masingmasing atau RW masing-masing dan seterusnya. Jadi, ketika
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
berbicara data atau contoh kasus, maka basisnya adalah lokasi tempat tinggal mereka. Tidak lagi contoh-contoh global seperti Amerika atau negara lain,” papar Wawan. Data ini diperkuat dengan hasil olahan data tingkat kabupaten, seperti peta persebaran penduduk, pertumbuhan, kepadatan, migrasi, usia kawin, tingkat kesertaan KB, kualitas SDM, komposisi, dan lain-lain. Grafik berupa persebaran, pertumbuhan, kepadatan, migrasi, usia kawin, angka ketergantungan, kesertaan KB, komposisi penduduk, angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), dan lain-lain. Ornamen lain berupa brosur/artikel/buletin/ majalah, spanduk, banner, film kependudukan, pameran/bazaar, lomba (Population Cup), lagulagu motivasi kualitas penduduk, novel kependudukan, buku referensi, dan lain-lain. “Population corner dilengkapi dengan fasilitas laptop, wireless, infokus, papan-papan demografi, dan fasilitas lainnya. Sebagai tempat konseling, di sana si anak bisa berkonsultasi tentang kependudukan, KB, dan kesehatan, pertanian, atau apa saja yang berhubungan dengan kependudukan,” jelas Wawan. SSK juga memberikan warna lain dengan menghadirkan para petugas KB di sekolah. Para petugas ini bisa menerima konsultasi di pojok kependudukan atau bahkan menjadi guru tamu di kelas. Untuk keperluan itu, guru berkoordinasi dengan UPT KB di kecamatan untuk menghadirkan petugas lapangan di sekolah. Dengan begitu, tidak melulu guru yang menyampaikan materi kependudukan di kelas.
WARTA JABAR Lebih dari itu, siswa diajak terlibat aktif dalam mekanisme operasional program KKBPK melalui tugas terstruktur dari guru bersangkutan. Cara ini ditempuh agar sekolah benarbenar hadir di masyarakat. Anak-anak mengetahui dengan baik kondisi demografi di lingkungan masing-masing. Praktik pendataan keluarga ini berlangsung di RT masingmasing. Hasilnya dianalisis dan disajikan di hadapan siswa lain. Layaknya petugas KB, siswa turut membuat peta keluarga, grafik kesertaan ber-KB, dan lain-lain. “Misalnya dia menganalisis mengapa penduduk di atas 50 tahun tinggi dan kebanyakan perempuan. Ternyata penduduk peduduk di RT saya itu kebanyakan penduduk usia lanjut dan anak-anak. Ke mana yang produktifnya? Ternyata mereka berangkat ke Jakarta atau ke Jeddah misalnya. Kemudian apa yang harus dilakukan kepada usia lanjut atau anak-anak. Ternyata perkawinan anak usia dini menjadi penyebabnya. Anak sampai bisa menganalisis seperti itu,” ujar Wawan. Tak berlebihan kiranya ketika Wawan menyebut SSK merupakan cara lain menghasilkan petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) di tengah sulitnya menambah jumlah petugas lini lapangan. Bila SSK sudah berjalan di semua sekolah, maka Ade optimistis setiap tahunnya bakal menghasilkan ratusan bahkan ribuan “PLKB” muda.
Oleh-oleh dari Australia Belakiangan muncul pertanyaan, dari mana SSK berasal? Jawaban ini datang dari Endang Saepudin, salah satu pengembang awal SSK
di Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPKB) Kabupaten Sukabumi yang belum lama ini memasuki masa purnabakti. Endang bercerita, ketika organisasi perangkat daerah (OPD) yang membidangi keluarga berencana (KB) berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD), muncul bidang baru: Pengendalian Penduduk. Bidang anyar ini inisiatif mengembangkan sebuah bahan ajar materi kependudukan untuk kalangan pelajar sekolah menengah. Tak mau dipusingkan dengan birokrasi yang berbelit, BKKBD langsung menjalin kerjasama dengan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Geografi SMA. Para guru Geografi inilah yang pertama-tama mendapat sosialisasi materi kependudukan. Mereka itu pula yang menjadi kader andalan dalam menyebarluaskan gagasan SSK di sekolah. “Kebetulan pada saat itu ada guru-guru di Cisolok melakukan studi banding ke Adelaide, Australia. Di sana mereka mendapati sebuah konsep pendidikan kependudukan di sekolah. Dari sana pula bentuk pojok kependudukan diambil. Boleh dibilang, cikal-bakal SSK itu tidak lain adalah oleh-oleh dari Australia yang kemudian dikembangkan agar lebih sesuai dengan kondisi Kabupaten Sukabumi,” papar Endang. Bersama-sama dengan guruguru Geografi tersebut, BKKBD menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) pengintegrasian kependudukan dan KB dengan mata pelajaran. Akhirnya terbentuk sebuah buku dengan didanai APBD. Buku ini kini
menjadi pegangan bagi SSK di tanah air. “Pada intinya kita menginginkan anak untuk memahami fenomena sosial di lingkungan masing-masing dan diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Artinya, tidak memunculkan mata pelajaran baru dan bukan pula muatan lokal (mulok). SSK ini intinya dengan empat metoda, pertama dengan metode klasikal, kemudian ada brainstorming, ada diskusi, kemudian outdor activity. Jadi siswa dibawa keluar ruang, datang ke kantor UPT untuk mengutip data ke kantor kecamatan,” Endang menjelaskan. Hasil kunjungan tersebut, sambung Endang, diolah, dianalisis, kemudian lahirlah piramida penduduk. Piramida ini dipresentasikan oleh siswa. Kemudian ada juga pemberian kematerian melalui game, learning by playing, berupa ular tangga kependudukan. Ini juga yang diadopsi BKKBN dan disebarluaskan ke semua provinsi. “Muncul testimoni dari anak dengan mengutip data domisili setempat. Jadi ending dari ini adalah pemahaman dan sikap terhadap masalah kependudukan, kemudian out come-nya adalah pendewasaan usia perkawinan ideal: 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Bergeser saja satu tahun dari 17 ke 18 pengaruhnya terhadap total fertility rate (TFR) besar sekali. Bayangkan di Sukabumi saja sekitar 2000 siswa setiap tahun keluar. Kalau mereka sudah paham betul dari sekarang, kelak kemudian hari perencanaan berkeluarga tidak perlu lagi penyuluhan dari PLKB dan bidan,” pungkas Endang.(HK/ NJP)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
33
WARTA Khusus Wawancara JABAR
Ketua Dharma Wanita Persatuan Perwakilan BKKBN Jawa Barat Dra. K. Dewi Kurniaty Teguh Santoso
Intinya Membangun Ketahanan Keluarga Lama tak terdengar kiprahnya, kini Dharma Wanita Persatuan BKKBN Jawa Barat tengah mengambil ancang-ancang untuk meneguhkan diri sebagai organisasi istri ASN yang profesional untuk memperkuat peran serta perempuan dalam pembangunan bangsa. Apa saja yang akan dilakukan, berikut petikan wawancara Warta Kencana dengan Ketua DWP Perwakilan BKKBN Jawa Barat Kunkun Dewi Kurniaty belum lama ini.
34
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA JABAR Mengapa DWP penting untuk dikembangkan di BKKBN Jawa Barat? Tujuan utama tentunya untuk menciptakan ketahanan keluarga. Itu sudah pasti. Dalam hal ini, mendukung tugas para suami. Jadi, keterlibatan dalam dinas suami. Tentu ini berpengaruh sekali terhadap kinerja suami dalam menjalankan tugasnya sebagai ASN. Nah, untuk tujuan tersebut dibutuhkan seorang istri yang cerdas. Dalam hal ini, DWP berupaya menjadikan perempuan supaya lebih cerdas, lebih menambah ilmunya. Untuk apa? Untuk ketahanan keluarga, demi keterlibatan membangun bangsa. Jadi, dalam hal ini tidak sekedar abring-abringan, tetapi lebih kepada bagaimana cara merangkul istri-istri ASN supaya mereka wawasanya lebih luas. Dalam arti tidak sekedar saya sebagai seorang “istri”. Tapi kita ingin juga mengembangkan sumber daya manusianya supaya dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonominya mereka lebih sejahtera. Begitu. Sejahtera bukan berarti banyak duit. Sejahtera baik fisik, mental, dan spiritual. Pola pikir juga harus sejahtera, dong. Jangan sampai jadi anggota DWP tapi tidak tahu apa-apa. Kemudian, kalau mendukung suami dalam hal apa juga jadi tidak tahu gimana caranya. Dengan demikian, peran istri sangat besar dalam kemajuan suami. Itu kerasa sekali. Itu yang saya rasakan. Bagaimana mungkin seorang suami bisa sukses tanpa dukungan dari istrinya. Bagaimana juga suami tidak mungkin berdiri sendiri. Istri dan suami harus saling mendukung. Taruhlah sekarang misalnya suami sibuk di luar. Nah, DWP merangkul ibu-ibunya, merangkul istri-istri ASN, kemudian merangkul juga karyawati yang ada di dalam ini supaya tetap bersatu. Sehingga, ini bisa menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Jadi bukan berarti bahwa kita itu wara-wiri ke sana ke mari yang tidak ada artinya. Tidak! Saya ingin menciptakan kualitas. Walaupun sebenarnya kualitas itu sendiri barangkali sudah terbentuk dari ibu-ibu sendiri.
meningkatan kapasitas atau pendidikan untuk menambah wawasan anggota. Kemudian dari sisi ekonomi dan sosial. Dari sisi sosial banyak sekali, misalnya kita bikin bakti sosial. Di sini sudah terbiasa, BKKBN bikin bakti sosial. Kenapa tidak kita ikut disertakan. Supaya kesertaan DWP dalam hal ini bisa terlihat. Alhamdulillah saya pernah berkecimpung di DWP pusat maupun provinsi lain. Insyaallah ini menjadi bekal untuk lebih mengembangkan DWP BKKBN Jawa Barat ke depan. Saya berharap pengukuhan pengurus menjadi titik awal kebangkitan DWP BKKBN Jawa Barat ini. Apa saja misalnya kegiatan untuk meningkatkan kualitas atau pengembangan SDM anggota DWP? Sebenarnya untuk meningkatkan kualitas SDM itu sendiri sama lah di mana pun. Kita lebih kepada pengembangan misalnya kita melakukan seminar. Seminar itu kan salah satu cara untuk menambah ilmu pengetahuan. Seminar menghadirkan pemateri-pemateri dari public figure atau bisa dari mana saja yang penting ada penambahan ilmu pengetahuan. Mungkin ibu-ibu yang sering di dapur, kalau mereka mendapatkan tambahan pengetahuan melalui seminar. Seminar tidak perlu mewah, cukup sederhana saja. Misalnya ilmu tentang bagaimana sih cara untuk mendidik anak, cara menghindari penyakit kanker, bagaimana cara menjadi istri yang baik, bagaimana cara menata rumah, dan lain-lain. Itu kan jelas menambah ilmu. Yang sudah ditambah lagi.
Bagaimana cara membentuk kualitas itu? Dengan bergabung jadi bagian DWP, kita coba kembangkan lagi pengetahuanya, kembangkan lagi ilmunya. Demi apa? Sebenarnya itu demi ketanahan keluarga. Ketahanan keluarga itu nomor satu. Bagaimana suami bisa tenang kerja kalau istri ketika di dalam rumah tangganya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Caranya dengan
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
35
WARTA JABAR Kemudian dari sisi ekonomi, yang tadinya misalnya kita melakukan kursus khusus ibu-ibu, misalnya kursus jahit atau kursus apa saja. Mereka bisa mengembangkanya di lingkungan keluarganya. Misalnya jadi tukang jahit atau apa. Itu salah satu bantuk dari aplikasi dari apa yang sudah direncanakan. Beberapa kegiatan tadi sesuai dengan rencana strategis (Renstra) DWP pusat yang ditetapkan pada Desember 2014 lalu. Bentuk lainnya berupa olahraga bersama. Olahraga itu kan membentuk kerjasama. Kerjasama itu bisa dibentuk di sini. Ketika di sini sudah terbentuk, bawa ke rumah dengan suami dan anak bisa terbentuk. Nah, itu maksudnya seperti itu. Memang tidak terlalu muluk, tidak kelihatan karena itu membentuk mental. Dibanding DWP Pusat atau provinsi lain, apa yang bisa membuat DWP BKKBN Jawa Barat lebih berkembang? Sebenarnya banyak sekali. Pengalaman hanya acuan saja. Misalnya, kita bisa kerjasama dengan instansi lain atau organisasi lain yang sama. Sebut saja misalnya Persit (Persatuan Istri Tentara, red) Kartika Chandra Kirana. Di mana pun DWP ada, di sana bisa menjadi atau membangun mitra. DWP Jawa Barat juga berpotensi untuk lebih memperbanyak program kegiatan. Selain bakti sosial berupa donor darah atau sunatan massal yang sudah pernah dilakukan, bisa juga mengadakan lomba-lomba. Lomba senam antar-SKPD misalnya. Itu kan bisa dipakai mengembangkan sumber daya manusia. Dengan cara itu kita bisa lebih mengakrabkan satu sama lain atau antara unit DWP yang satu dengan unit yang lain.
Dengan demikian, memang contoh-contoh kegiatan konkret yang bisa dilakukan DWP. Selain yang telah disebutkan di atas, ada lagi misalnya pengajian, arisan gabungan antar-SKPD, dan lainlain. Uangnya tidak besar, misalnya hanya Rp 150 ribu. Intinya untuk mengakrabkan antar-SKPD. Di DWP kementerian itu biasanya ada peningkatan pemberdayaan ekonomi. Nah, DWP BKKBN Jabar juga melaksanakan itu. Semakin banyak kegiatan, semakin memberikan kesempatan kepada anggota DWP untuk aktualisasi diri. Secara organisasi, bagaimana hubungan antara unit DWP dengan unit DWP lainnya? Mengacu kepada AD/ART, unsur pelaksana DWP itu terdiri atas DWP pusat, DWP instansi pemerintah pusat, DWP provinsi, DWP kabupaten/ DWP kota, DWP kecamatan, dan DWP kelurahan atau nama lain yang sederajat. Nah, unsur pelaksana DWP itu sesuai dengan tingkatannya. Artinya, DWP BKKBN Provinsi memiliki hubungan koordinasi dengan DWP Provinsi Jawa Barat. Ini sesuai dengan bunyi AD/ART yang menyebutkan bahwa DWP instansi vertikal pemerintah pusat di provinsi, DWP instansi pemerintah provinsi, dan DWP kabupaten/DWP kota. Dengan demikian, DWP BKKBN Provinsi tidak selalu satu suara dengan DWP BKKBN Pusat. Pusat itu gabungan dari seluruh kementrian. Nah kemudian provinsi juga sama. DWP Provinsi Jawa Barat saat ini dipimpin Ibu Sekda. Nah, rekan kerjanya seluruh SKPD yang ada di Jawa Barat. Memang kita ruang lingkupnya di provinsi saja. Ketika kita ditempatkan di provinsi, ruang lngkupnya adalah provinsi. Walaupun secara instansi kita itu vertikal. Nah, terikait pelantikan pengurus DWP BKKBN Jawa Barat, bagaimana gambaran umum kegiatannya? Kami akan mencoba mengundang seluruh unit DWP di Jawa Barat. Mengapa itu perlu dilakukan? Bukan semata-mata untuk keperluan DWP, melainkan untuk membesarkan BKKBN Jawa Barat. Mudah-mudahan dengan kehadiran seluruh unit DWP di lingkungan provinsi Jawa Barat bisa lebih mengenalkan kembali keberadaan BKKBN Jawa Barat. Lebih dari itu, kami berharap bisa lebih memperkuat pembangunan kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga di Jawa Barat.(*)
36
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
WARTA JABAR
RPJMD Jabar Belum Sentuh Mobilitas dan Tata Kelola Data Kependudukan
Masalah kependudukan di Jawa Barat sebagai provins paling banyak penduduknya, begitu banyak dan kompleks. Tidak hanya masalah kuantitas penduduk, aspek pertumbuhannya juga masih cukup tinggi. Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan angkanya mencapai 1,86% per tahun. Pun menyangkut aspek mobilitas dan distribusinya dan aspek struktur penduduk yang masih relatif muda patut menjadi perhatian. Masalah menjadi makin kompleks bila dikaitkan dengan pengelolaan data dan informasinya yang belum bisa dilakukan dengan baik, apalgi sempurna.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
37
WARTA JABAR Saeful Millah dalam Policy Brief BKKBN Jawa Barat bertajuk “Analisis Integrasi Kebijakan Kependudukan dengan Sektor Pembangunan Lain” menyebutkan, masalah kualitas penduduk Jawa Barat sama berat dan kompleksnya dengan masalah kuantitasnya. Bukan hanya masalah bidang pendidikan dan derajat kesehatan, tapi juga terkait dengan tingkat kesejahteraannya yang masih perlu ditingkatkan. Beberapa kondisi menggambarkan Jawa Barat masih dalam kondisi yang memprihatinkan dalam aspek kependudukan. Kondisi memprihatikankan tersebut tercermin dari masih rendahnya rata-rata lama sekolah yang masih berkutat pada angka 8,15 tahun. Usia harapan hidup juga tertahan di usia 66,5 tahun. Fakta ini diperburuk dengan banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan tingginya angka pengangguran. Indeks pembangunan manusia (IPM) yang menjadi alat ukur kualitas SDM Jawa Barat menunjukkan angka 73,58. Lalu, sejauhmana Pemerintah Provinsi Jawa Barat merespons persoalan kependudukan tersebut? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa ditemukan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam hal ini RPJMD Jawa Barat 2013-2018 yang menandai periode kedua masa pemerintahan Gubernur Ahmad Heryawan. Dokumen ini dipilih karena berbagai bentuk kebijakan dan program pembangunan secara terpadu dan terintegrasi tersaji dalam RPJMD. Saeful Millah secara khusus melakukan analisis isi RPJMD Jawa Barat 2013-2018, dengan fokus pada latar belakang, pembahasan isu pembangunan,
38
rumusan kebijakan kependudukan. Rumusan baik dalam visi, misi, tujuan dan sasaran, arah kebijakan, dan bentuk-bentuk program integrasi yang akan dilaksanakan. Hasilnya, ahli demografi yang sehari-hari mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur ini menilai belum seluruh masalah kependudukan sebagaimana banyak diangkat dalam bagian pendahuluan dan pembahasan isu strategis RPJMD itu dijabarkan secara utuh ke dalam arah kebijakan serta program setiap sektornya. Kuantitas dan kualitas penduduk relatif banyak diangkat, sementara aspek mobilitas serta pengelolaan data dan informasi penduduk tidak banyak disentuh. Dari sisi kuantitas di antaranya adalah besarnya jumlah, laju pertumbuhan yang tinggi, struktur usia yang semakin muda, distribusi dan kepadatan yang tidak merata, dan tingginya migrasi masuk. Sementara dari sisi kualitas, banyak mengangkat persoalan pendidikan dan kesehatan penduduk, termasuk tingkat kesejahteraan sebagaimana tercermin dalam pencapaian IPM. Wujud komitmen Gedung Sate pada kependudukan makin jelas ketika menempatkan isu pembangunan kependudukan sebagai salah satu common goals dari 10 kebijakan pembangunan Jawa Barat. Bahkan, implikasi lebih jauhnya, Jawa Barat menempatkan masalah penanganan kependudukan sebagai salah satu program prioritas dalam dokumen RPJMD. Meskipun demikian, hasil kajian terhadap visi dan misi, termasuk penjabarannya dalam bentuk penentuan tujuan dan sasaran, tidak ada rumusan kebijakan yang secara eksplisit menyangkut penanganan
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
masalah kependudukan sebagaimana diangkat dalam pembahasan latar belakang. Padahal, kependudukan sudah sangat jelas masuk ke dalam daftar program prioritas pembangunan. “Namun secara iplisit rumusan kebijakan itu tercermin hampir pada seluruh misi, tujuan, serta sasaran pembangunan Jawa Barat. Artinya, kebijakan penanganan pembangunan kependudukan itu dirumuskan secara integral dalam tujuan dan sasaran pembangunan secara keseluruhan,” tulis Millah. Kesimpulan tadi didukung kajian terhadap arah kebijakan serta bentuk-bentuk program yang antara lain menegaskan bahwa walaupun memiliki kewenangan dan fungsi yang berbeda, hampir seluruh sektor pembangunan telah menempatkan “penduduk” sebagai sasaran dari kebijakan dan program yang dirumuskannya. Baik dilakukan melalui intervensi langsung maupun dalam kerangka progam integrasi dalam rangka mendukung sektor pembangunan lainnya. Atas temuannya tersebut, Saeful Millah merekomendasikan satu hal penting. Yakni masih perlu dilakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman para perencana dan perumus kebijakan pembangunan di setiap sektor tentang substansi dan pesan-pesan kependudukan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dia meyakini dengan modal pemahaman yang baik dan utuh itulah, semua pesan kependudukan sebagaimana diamanatkan UU 52/2009 bisa diakomodasi dengan baik dalam setiap rumusan kebijakan dan penentuan program yang dituangkan dalam RPJMD.(NJP/HS)
WARTA DAERAH
CIANJUR
Dalam Sengkarut Pernikahan Anak Jawa Barat masih dikenal dengan tradisi nikah muda. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013, rata-rata usia kawin pertama (UKP) wanita menunjukkan angka 16,78 tahun. Terdapat 16 Kabupaten/Kota yang memiliki angka rata-rata UKP yang berkisar pada angka 16 tahun, salah satu daerahnya adalah Kabupaten Cianjur.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
39
WARTA DAERAH Angka tersebut tak jauh beda dengan hasil Pendataan Keluarga (PK) 2015 yang menempatkan Kabupaten Cianjur sebagai daerah tertinggi persentase penduduk UKP di bawah 21 tahun. Tak tanggung-tanggung, angkanya mencapai 80,60 persen. Angka yang kemudian menjadi alasan pemilihan lokasi riset Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Padjadjaran (Unpad) tentang Faktor Pendorong Pernikahan Anak dan Upaya Pencegahannya.
Secara lebih spesifik, tim riset memilih Desa Cempakawarna, Kecamatan Campakamulya, Kabupaten Cianjur. Merujuk pada hasil PK 2015, 93,63 persen perempuan di Desa Cempakawarna telah melakukan pernikahan pada usia di bawah 21 tahun. Bahkan, 55,86 persen menikah di bawah usia 18 tahun dan 9,19 persen di bawah 15 tahun. Wajar bila kemudian desa ini dijuluki lumbung pengantin cilik.
Tradisi Melanggengkan Pernikahan Dini Tampaknya masalah pernikahan muda bukan hanya terjadi di Jawa Barat atau di Indonesia. Catatan Badan PBB untuk Anakanak atau United Nations Children’s Fund (Unicef) menunjukkan, lebih dari 700 juta wanita menikah berada dalam usia anak-anak alias kurang dari usia 18 tahun. Satu dari tiga wanita atau 250 juta wanita menikah sebelum usia 15 tahun. Jika tingkat penurunannya sama dengan tiga dekade sebelumnya, kondisi seperti ini akan terus menerus berlangsung hingga tahun 2050. United Nation Population Fund (UNFPA) memperkirakan antara 2011-2020, lebih dari 140 juta anak perempuan per tahun atau 39 ribu per hari akan menikah di usia belia. UNFPA mencatat 10 negara dengan angka pernikahan anak
40
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
tertinggi. Ke-10 negara tersebut meliputi Nigeria (75 persen), Chad dan Republik Afrika Tengah (68 persen), Bangladesh (66 persen), Guinea (63 persen), Mojambik (56 persen), Mali (55 persen), Burkina Faso dan Sudan Selatan (52 persen), dan Malawi (50 persen). India juga memiliki jumlah kasus pernikahan anak yang relatif tinggi. Apa yang mendasari pernikahan anak? Riset ini menjawab, umumnya adalah kemiskinan dan diskriminasi gender. Anak perempuan dianggap beban bagi keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pernikahan anak dalam hal ini digunakan sebagai mekanisme coping untuk keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Jika anak perempuan secara biologis sudah dianggap memiliki kemampuan reproduksi matang, maka mereka dinilai sudah pantas menikah. Pernikahan anak lebih diterima dalam konteks keterbatasan peluang alternatif lain, semisal pendidikan. Faktor penyebab lainnya adalah tradisi. Pernikahan anak perempuan di bawah usia standar Unicef maupun lembaga nasional setempat juga terjadi di berbagai negara lain karena tradisi yang kuat dan mengakar. Dalam beberapa kasus, orang tua mengatur sendiri pernikahan dan anak perempuan terkena imbasnya. Mereka seakan-akan tak punya pilihan lain untuk segera menikah. Masyarakat percaya, secara adat calon suamilah yang akan membayar pengantin perempuan muda. Ada juga yang percaya, menikahkan anak gadis sebelum mencapai masa pubertas akan membawa berkah pada keluarga, di mana pernikahan lebih awal dianggap akan melindunginya dari kekerasan seksual dan hamil di luar nikah yang memalukan keluarga. Tekanan-tekanan sosial inilah yang semakin mendorong pernikahan anak marak terjadi.
WARTA DAERAH Di Desa Cempakawarna, norma menikah di usia belia ini umumnya diinginkan anak dan didukung orang tua. Orang tua pada umumnya tidak melakukan pemaksaan pada anaknya untuk segera menikah atau melakukan perjodohan. Biasanya dimulai dari keinginan anaknya pernikahan itu terjadi. Ketika ada anak perempuan yang mengabarkan rencana pernikahan, biasanya orang tua cenderung menyetujui, bahkan menyambut gembira. Praktik pernikahan anak juga diperkuat karena minat anak dan dukungan orang tua untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah cenderung rendah. Sekolah umumnya tidak dianggap penting. Bahkan, ada di antara mereka yang rela meninggalkan bangku sekolah di tingkat menengah pertama karena dorongan untuk menikah. Akhirnya, menikah di usia 14-16 tahun dianggap lumrah. Selain itu, faktor eksternal lain yang kurang menguntungkan juga adalah minimnya akses anak terhadap pendidikan SMA atau sederajat. Secara administratif, pernikahan memang tidak selalu dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Ada beberapa warga desa yang akhirnya menikah siri karena tak mampu membayar biaya pernikahan. Namun, akhirnya pernikahan di usia belia tidak terdeteksi oleh KUA. Di sisi lain, masyarakat belum banyak mengetahui usia minimum dalam Undang-Undang Perkawinan. Temuan penelitian menyatakan, sedikitnya 16,97% perempuan dan 5,19% laki-laki melanggar ketentuan usia pernikahan seperti yang tercantum pada Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Praktik pernikahan anak ini juga didukung oleh adanya peluang memanipulasi umur anak saat menikah. Hasil temuan penelitian
menyebutkan, terdapat indikasi praktik menuakan umur, terutama untuk anak perempuan. Hal ini dimulai dari pengajuan perubahan usia di kantor desa. Biasanya orang tua, tetangga, atau saudara yang dimintai tolong ke kantor desa untuk mengajukan perubahan data umur anak sebelum pernikahan dilangsungkan. Sehingga tidak mengandung kecurigaan dan tak dapat dicegah oleh aparat desa setempat. Akhirnya, tahun lahir yang tertera pada buku nikah lebih tua dari tahun kelahiran sebenarnya.
Berantas Epidemi Pernikahan Anak Upaya pencegahan masalah pernikahan anak yang berakar pada norma sosial perlu didukung oleh berbagai pihak. Tidak hanya lembaga pemerintah dan nonpemerintah setempat, melainkan oleh komunitas setempat. Pemerintah diharapkan menjadi katalisator, convener, dan fasilitator dalam mengembangkan kapital sosial komunitas yang ada di walayah itu. Laporan tim Unpad mengidentifikasi faktor pendorong utama pernikahan anak perempuan di Desa Campakawarna adalah norma menikah muda yang masih dianut sebagian besar orang tua dan anak. Untuk mencegah epidemi tersebut, diperlukan upaya untuk mengubah cara pandang terhadap pernikahan di usia anak atau remaja. Pemahaman tentang pernikahan anak perlu ditinjau dari pendekatan kesehatan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan keluarga. Tak dinafikan bahwa program terkait pengembangan pengetahuan anak dan orang tua di Indonesia sebenarnya telah bergulir, bahkan di tingkat nasional. Untuk mencegah
perkawinan anak, digulirkanlah program pendewasaan usia perkawinan (PUP). Bentuknya berupa pengembangan kelompok bina keluarga remaja (BKR) dan pengembangan pusat informasi dan konseling remajamahasiswa (PIK RM). Keduanya lahir dari rahim program Generasi Berencana (Genre) yang digulirkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak 2010 lalu. Kelompok BKR dan PIK Remaja di Desa Cempakawarna terus menerus dikembangkan. Saat ini kegiatan BKR telah terintegrasi dengan kegiatan Posyandu. Sudah ada lima kelompok di lima posyandu. Tenaga penggerak KB desa (TPD) pun sudah terbentuk untuk senantiasa melakukan penyuluhan. Namun demikian, kondisi kelompok BKR Desa Cempakawarna masih dalam tahap awal, yaitu stratifikasi dasar. Kelompok BKR desa ini masih kekurangan kader. PIK remaja sudah selangkah lebih maju. Berbagai kegiatan sosialisasi dan penyuluhan sudah rutin dilakukan, salah satunya di SMP PGRI. Saat ini, sasaran layanan PIK Remaja sudah menyebar ke luar sekolah. Kegiatan ini melibatkan kepala sekolah, tokoh agama, dan aparat desa. Kegiatan lain yang didasarkan pada kesadaran dukungan untuk pendewasaan usia kawin adalah pencantuman NIK dalam persyaratan administratif pernikahan di KUA. Selain itu, upaya merealisasikan jaminan anak mengakses pendidikan 12 tahun pun di sana semakin digenjot. Sekolah diharapkan dapat membangun kesadaran anak atau siswa tentang pendewasaan usia kawin. Setidaknya kesempatan walaupun secara tidak langsung, diharapkan dapat menekan angka pernikahan anak di Desa Cempakawarna.(HS)
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
41
WARTA DAERAH
Nasrudin Azis
Wali Kota Cirebon Janji Tambah Anggaran Pos KB Ada kabar baik bagi kader pos KB di Kota Cirebon. Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis berjanji bakal menambah anggaran pos KB pada 2018 mendatang. Penambahan ini didasari atas pertimbangan besarnya peran pos KB dalam pembangunan kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK). “Alhamdulillah pos tersebut akan kita sisipkan melalui program bantuan wali kota yang tadinya Rp 20 juta per RW menjadi Rp 50 juta. Jadi dari dana itu bisa dianggarkan juga untuk kader Pos KB dan PKK,” kata Nasrudin saat bertemu ratusan kader pos KB di sebuah hotel di Kota Cirebon beberapa waktu lalu. Sebagai anak dari kader pos KB, Nasrudin mengaku sangat memahami tugas dan tanggung jawab seorang pos KB. Pada saat yang sama, belum ada balasan sepadan secara ekonomi bila dibandingkan dengan beratnya
42
tanggung jawab tersebut. Wajar bila kemudian para kader tersebut mendapat gelar pejuang program KKBPK. “Kader-kader KB sungguh luar biasa, karena selain mengurus suami dan anak-anak, tapi masih mampu mengurus orang lain,” puji Nasrudin . Tidak hanya itu, ia menyebut komitmen lainnya terhadap program KB di wilayahnya dengan telah membentuk lima Kampung KB yang tersebar di tiap kecamatan sebagai basisbasis pembinaan KB. Program ini menurutnya kedepan akan terus dikembangkan di wilayah lainnya. Selain itu demi menjamin kepuasan masyarakat dalam mengikuti program KB, ia juga menyatakan bahwa pihaknya telah menginstruksikan kepada seluruh Puskesmas dan rumah sakit di Kota Cirebon untuk mengutamakan penanganan pada kasus-kasus komplikasi dan kegagalan pada pelayanan KB.
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
“Kita tidak ingin ada rasa takut bagi masyarakat dalam menjalankan program KB,” tandas Nasrudin. Atas komitmen tersebut, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sukaryo Teguh Santoso mengaku sangat mengapreasi kebijakan orang nomor satu di Kota Cirebon tersebut. Menurut Teguh, sapaan akrabnya, indikator utama dalam mengukur komitmen kepala daerah dalam program KKBPK dapat dilihat dari kelembagaan yang membidangi KKBPK. Nah, Kota Cirebon tercatat salah satu daerah di Jawa Barat yang menempatkan pembangunan KKBPK dalam satu Lembaga yang utuh. Yakni, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB). “Tidak semua daerah di Indonesia bisa menghadirkan dinas utuh sebagaimana Kota Cirebon. Bahkan, di Jawa Barat juga tidak banyak,” kata Teguh.(HK)
WARTA DAERAH
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017
43
WARTA DAERAH
44
Warta Kencana • NOMOR 32 • TAHUN VIII • 2017