4
WARTA UTAMA
Pengendalian Penduduk untuk Keseimbangan Pembangunan
12 15
WARTA UTAMA
26 WARTA JABAR
WARTA UTAMA Kampung KB Mendorong Pengendalian Penduduk
28 WARTA JABAR
17
WARTA UTAMA
34
WARTA JABAR
37
LAPORAN KHUSUS
Bersama Mitra, Membangun KKBPK Jabar
Takut Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan
24 WARTA UTAMA Mewaspadai Tingginya Pernikahan Anak
Cover Story Peta sebaran Kampung KB di Jawa Barat yang sudah dicanangkan secara resmi oleh masing-masing kepala daerah. Keberadaan Kampung KB diharapkan mampu mengakselerasi pembangunan sekaligus menjadi simpul pengendalian penduduk ti tingkat mikro.
Mengibarkan Kembali Saka Kencana
Trend MOP Jabar Meningkat
Bonus Demografi Tiba, Pasar Kerja Milik Perempuan
Potret Jawa Barat dalam Pendataan Keluarga 2015
Penasehat KEPALA BKKBN JAWA BARAT Dewan Redaksi SUGILAR, IDA INDRAWATI, DODDY H. GANDAKUSUMAH, YUDI SURYADHI, RAKHMAT MULKAN, PINTAULI R. SIREGAR Pemimpin Redaksi YUDHI SURYADHI Wakil Pemimpin Redaksi ELMA TRIYULIANTI Managing Editor NAJIP HENDRA SP Tim Redaksi ARIF R. ZAIDAN, CHAERUL SALEH, AGUNG RUSMANTO, DODO SUPRIATNA, HENDRA KURNIAWAN, Kontributor ACHMAD SYAFARIEL (JABOTABEK), AKIM GARIS (CIREBON), AA MAMAY (PRIANGAN TIMUR), YAN HENDRAYANA (PURWASUKA), ANGGOTA IPKB JAWA BARAT, RUDINI Tata Letak LITERA MEDIA Sirkulasi IDA PARIDA Penerbit Perwakilan BKKBN Jawa Barat Percetakan Litera Media - 022 87801235 www.literamedia.com Alamat Redaksi Kantor BKKBN Jawa Barat Jalan Surapati No. 122 Bandung Telp : (022) 7207085 Fax : (022) 7273805 Email: kencanajabar@gmail.com Website: www.duaanak.com
WARTA KENCANA • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
3
WARTA UTAMA
Meninjau pembangunan Jabar Selatan
Pengendalian Penduduk untuk Keseimbangan Pembangunan Ekonomi Gubenur Jabar Ingin Lembaga BKKBN Diperkuat
4
Rumus penduduk dan pembangunan sebenarnya sudah baku. Penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus dimulai dengan upaya meningkatkan kualitas modal manusia. Gubernur Heryawan percaya rumus ini penting untuk membangun keseimbangan pembangunan di Jawa Barat.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
G
ubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan kembali menegaskan bahwa program keluarga berencana dan pembangunan keluarga sangat penting dalam pembangunan. Alasannya sehebat apapun pembangunan, hasil akhirnya adalah bagaimana menghadirkan kesejahteraan bagi penduduknya. Karena itu, pengendalian penduduk menjadi sangat penting agar pembangunan bisa dinikmati secara optimal. Pembangunan harus berimbang dengan laju pertumbuhan penduduk. “Sebab, persoalannya adalah manakala pembangunan yang kita lakukan, yang menikmatinya adalah penduduk. Kemudian, untuk menggerakkan pembangunan membutuhkan penduduk berkualitas. Manakala SDM tidak berkualitas, maka pembangunannya pun tidak berkualitas,” kata Gubernur Heryawan saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) Jawa Barat di Grand Royal Panghegar, Kota Bandung, Selasa 21 Februari 2017.
WARTA UTAMA semakin banyak akan jadi menjadi modal pembangunan jika berkualitas. Tapi bila tidak berkualitas malah akan menjadi sebaliknya. Ini yang harus kita rencanakan. KB atau family planning itu esensinya di situ: merencanakan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari,” tandas Heryawan. Heryawan secara tegas mengatakan bahwa pembangunan kependudukan merupakan prasyarat utama pembangunan sebuah bangsa. Dalam hal ini, kependudukan dalam makna seluas-luasnya. Ketika berbicara kependudukan, sambung Heryawan, maka pada dasarnya seluruh sektor pembangunan tersebut adalah pembangunan kependudukan. Dia mencontohkan, pembangunan infrastruktur atau penataan lingkungan pada hakikatnya adalah mendukung atau memenuhi kebutuhan penduduk. Sektor pendidikan juga tidak lepas dari domain kependudukan karena pendidikan merupakan sebuah upaya membangun
atau menciptakan penduduk berkualitas. Demikian juga dengan kesehatan dan sektor lainnya. “Bahkan ketika berbicara air bersih atau penataan sampah misalnya, hal itu tidak lepas dari kependudkan. Jarang sekali orang berbicara air bersih. Padahal, air memiliki nilai yang sangat tinggi. Memelihara atau mengolah air bersih tujuannya untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia atau penduduk. Jadi, ini juga kependudukan,” kata Heryawan lagi. Penerima Satyalencana Pembangunan Bidang Kependudukan dan KB ini menyayangkan kependudukan kurang diminati para calon kepala daerah. Ini ditandai dengan jarangnya calon kepala daerah yang memasukkan isu kependudukan atau pengendalian penduduk ke dalam materi kampanyenya. Pada umumnya, terang Heryawan, calon lebih tertarik bicara pendidikan dan kesehatan.
Gubernur menegaskan bahwa program keluarga berencana atau famliy planning sangat penting untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Alasannya, bonus demografi yang diharapkan menjadi berkah bisa menjadi sia-sia manakala tidak diimbangi dengan kualitas penduduk itu sendiri. Karena itu, penduduk harus dikendalikan guna memelihara momentum bonus demografi tersebut. “Penduduk penting karena menjadi subjek sekaligus objek pembangunan. Ketika menghadapi penduduk yang
Gubernur Ahmad Heryawan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
5
WARTA UTAMA “Jadi, bicara kependudukan itu berarti kita berbicara aspek pembangunan yang sangat luas. Karena itu, lembaga kependudukan harus diperkuat. BKKBN itu harus jadi lembaga pemerintah yang kuat dan besar. Mestinya ada dua lembaga yang kuat di tingkat nasional. Pertama Bappenas atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kedua BKKBN. Bappenas dapurnya perencanaan, BKKBN dapurnya sumber daya manusia atau penduduk,” tegas Heryawan. “Amat sangat luas program kependudukan itu. Program kependudukan adalah bagaimana membangun penduduk yang tangguh. Karena itu, harus dirancang. Merancang keluarga, merancang jumlah anak, dan seterusnya. Bukan hanya jumlah, tapi juga kualitas,” tambah Heryawan. Khusus mengenai pengendalian penduduk, Heryawan menilai sangat penting karena keberadaan penduduk berkaitan dengan kebutuhan pangan. Kemudian, penduduk juga membutuhkan lahan untuk hunian, membutuhkan sarana pendidikan, kesehatan, dan sarana pendukung lainnya. Nah, BKKBN harus menegaskan posisinya pada titik yang mana. “BKKBN memgambil yang khas, yang tidak diambil oleh sektor lain,” tegas Heryawan.
Kinerja KKBPK Jawa Barat Sementara itu, Rakornis Program KKBPK Jabar secara khusus melakukan evaluasi dan perencanaan program. Kepala Perwakilan BKKBN Jabar Sugilar menyampaikan, Rakornis diikuti para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi urusan pengendalian
6
penduduk dan keluarga berencana dan para kepala bidang di dalamnya. Rakornis juga menghadirkan sejumlah mitra kerja terkait guna menyelaraskan pembangunan KKBPK dengan sektor lain di daerah. Di bagian lain, Sugilar menjelaskan, pencapaian program 2016 masuk kategori “rapor biru” alias berkinerja baik karena berhasil membukukan capaian positif. Kinerja moncer tersebut tercermin dari raihan peserta KB baru maupun KB aktif sepanjang 2016 lalu. Sampai akhir Desember 2016, Jawa Barat sukses menggaet 1.304.809 peserta KB baru. Jumlah ini melampui target atau perkiraan permintaan masyarakat (PPM) sebanyak 1.239.380 peserta. Dibandingkan dengan target tersebut, capaian Jabar menyentuh angka 105,28 persen. Dari jumlah tersebut, 52,75 persen atau lebih dari setengahnya merupakan pengguna KB suntik. Sementara proporsi pengguna pil pada angka 28,14 persen. Peserta KB aktif malah lebih menggembirakan bila dibandingkan dengan target yang sudha terlebih daulu dipatok pada aal tahun. Dari target 5.820.220 peserta, Jabar berhasil membukukan angka 7.129.900 peserta KB aktif atau 122,5 terhadap target. Dari jumlah tersebut, 21,53 persen di antara merupakan peserta KB untuk metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). Capaian MKJP ini sedikit mengalami kenaikkan bila dibandingkan dengan proporsi MKJP pada akhir 2015 lalu sebesar 21,53 persen. Menarik bila capaian KB aktif 2016 ini bila dibandingkan dengan kondisi existing pada akhir 2015 lalu. Pada Desember 2015 lalu, tercatat
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
peserta KB aktif di Jawa Barat berjumlah 7.114.256 peserta. Adapun jumlah pasangan usia subur (PUS) kala itu berjumlah sebanyak 9.541.148 keluarga. Dengan demikian, angka kesertaan ber-KB atau contraceptive prevalency rate (CPR) Jabar mencapai 74,56 persen. Setahun kemudian, jumlah peserta KB aktif Jabar menjadi 7.129.900 peserta atau sekitar 74,88 persen dibandingkan dengan jumlah PUS sebanyak 9.521.667 pasangan. Membandingkan dua angka tersebut cukup menarik. Meski mendapat 1,304 juta peserta KB “baru”, rupanya total peserta KB aktif dalam satu tahun terakhir hanya bertambah 15.644 peserta. Berarti kehadiran peserta KB baru hanya mampu menambah 0,19 persen PA. CPR juga terdongkrak bukan semata-mata karena meroketnya capaian PA, melainkan karena adanya penurunan PUS dari 9.541.148 pasangan menjadi 9.521.667 pasangan. “Kita tetap bersyukur, Alhamdulillah. Meskipun sedikit, PB tetap memiliki kontribusi terhadap PA. Beberapa provinsi lain ada yang capaian akhirnya malah turun bila dibandingkan dengan PA sebelumnya,” kata Gilar.
Kependudukan dan Pembangunan Ihwal relasi kependudukan dan pembangunan ekonomi ini, Direktur Kerjasama Pendidikan Kependudukan BKKBN Darlis Darwis pernah mengulasnya dengan cukup lengkap dalam sebuah artikel yang ditampilkan dalam laman resmi BKKBN. “Kependudukan Dalam Presfektif Pembangunan Ekonomi Guna Pembangunan Nasional” demikian judul artikel tersebut.
WARTA UTAMA Darlis menulis, pertambahan jumlah penduduk merupakan masalah pembangunan yang utama dan sukar diatasi. Para ahli menyarankan masalah pertambahan penduduk di negara berkembang harus segera diatasi untuk dapat mempercepat laju perkembangan ekonomi, yaitu dengan program menekan laju pertambahan penduduk. Pada umumnya, di negara yang sedang berkembang, pertambahan penduduk sangat tinggi dan besar jumlahnya. Padahal, jumlah penduduk yang besar dapat menimbulkan sejumlah persoalan. Beberapa masalah tersebut di antaranya: Jumlah pengangguran tinggi; Jumlah tenaga kerja bertambah; Perpindahan penduduk dari desa ke kota; Pengangguran dikota besar bertambah; Tingkat kemiskinan meningkat. Sayangnya, usaha menekan laju pertambahan penduduk menghadapai beberapa kendala, baik ekonomi, sosial-budaya, keagamaan, maupun politik. Masalah tersebut yang menghambat usaha menekan pertambahan penduduk dalam waktu yang singkat. Beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah: Pertama, kependudukan, dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga
harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh,beberpa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang selama 25 tahun ke depan atau satu genarasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumberdaya manusia
Darlis Darwis
Kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya
Indonesia pada generasi mendatang. Demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan “menyengsarakan� generasi berikutnya. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah berlangsung
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
7
WARTA UTAMA secara berkesinambungan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan dan lingkungan hidup. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut mejadi sangat rentan terhadap perubahan.
Tinjauan Aspek Kependudukan Dalam analisis demografi hubungan kependudukan dipetakan dalam tiga kelompok. Interaksi ketiga kelompok tersebut dijelaskan sebagai berikut . Kelompok pertama adalah kelompok perubahanperubahan parameter dinamika kependudukan yang mencakup fertilitas, mortalitas, dan mobilitas. Perubahan dalam kelompok ini mempengaruhi kelompok kedua yaitu jumlah komposisi dan pertumbuhan penduduk, perubahan kelompok kedua ini kemudian akan mempengaruhi kondisi berbagai aspek : sosial,ekonomi,budaya dan lainnya. Pada kelompok ketiga berbagai hal dari kelompok ketiga akan mempengaruhi kembali perubahan-perubahan parameter dinamika kependudukan pada kelompok satu, kelompok kedua, dan kelompok ketiga itu sendiri. Pengkondisian ketiga aspek tersebut dalam suatu rekayasa demografi akan menciptakan suatu keadaan terjadinya transisi demografi yang dalam jangka panjang akan mengubah komposisi struktur umur dari proporsi umur penduduk muda ke proporsi penduduk usia kerja dan peningkatan usia harapan
8
hidup serta menurunnya angka ketergantungan hidup. Keberhasilan pembangunan bidang kependudukan dalam pengendalian jumlah kelahiran melalui program KB dapat mengubah pandangan masyarakat khususnya para pasangan usia subur terhadap jumlah anak dari rata-rata ingin punya anak 5,6 pada 1967-1970 menjadi 2,3 tahun 2007, artinya jumlah anak yang diinginkan pada pasangan usia subur menurun dan perubahan sikap pada media usia kawain pertama perempuan dari 19,2 tahun menjadi 18,8 tahun. Dari kondisi tersebut berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk dari kondisi 2,3 persen antara tahun 1970-1990 menjadi 1,4 persen antara 1990-2000 dan sampai dengan 2005 telah menjadi 1.3 per tahun. Sehingga dari kurun waktu tahun 1970 sampai dengan tahun 2009 telah mencegah 100 juta kelahiran. Jika tidak ada upaya perubahan kondisi kependudukan melalui pengendalian atau pengaturan jumlah kelahiran dapat dibayangkan dampak sosial ekonomi dan efek lanjutan terhadap kulitas sumber daya manusia yang menjadi obyek dan subyek dalam ketahanan nasional. Pada waktu yang bersamaan terjadi penurunan angka kematian bayi akibat upaya peningkatan kesehatan, hal tersebut terjadi perubahan kondisi peningkatan harapan hidup dari 1000 kelahiran bayi 145 di antaranya tidak mencapai usia tahun pertama pada tahun 1971 menjadi dari 1000 bayi lahir hanya 35 yang meninggal sebelum usia satu tahun. Keberhasilan tersebut telah
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
mengubah kondisi piramida penduduk serta peningkatan usia harapan hidup dimana menurunnya angka kelahiran dan kematian dan disertai angka peningkatan harapan hidup telah mengubah struktur umur penduduk yakni menurunnya proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun diikuti dengan meningkatnya proporsi usia produktif 15-64 tahun dan meningkatnya proporsi penduduk usia tua yaitu 65 tahun keatas.Penurunan proporsi anak dibawah usia 15 tahun tentunya meringankan beban dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, pelayanan kesehatan, perbaikan gizi dan pendidikan sehingga menjadi peluang investasi upaya meningkatkan kualitas SDM dari aspek pendidikan dan kesehatan. Dampak dari penurunan kelahiran dan penurunan kematian mengakibatkan transisi demografi yakni penurunan fertilitas yang panjang bersamaan dengan penurunan angka kematian dirasakan dalam jangka panjang akibat terjadi perubahan struktur umur penduduk dari penduduk muda menjadi umur peduduk dewasa, perubahan struktur umur penduduk menyebabkan menurunnya angka ketergantungan (dependency ratio) dari 86 per 100 pada tahun 1971 menjadi 54 pada tahun 2000 artinya pada setiap 100 penduduk kerja akan mempunyai tanggungan 54 penduduk non produktif pada kondisi tersebut terjadi peluang untuk melakukan investasi dalam meningkatkan kulitas sumber daya manusia pada sektor pendidikan dan kesehatan. Penurunan fertilitas yang diikuti dengan penurunan jumlah kematian bayi akan menyebabkan proporsi
WARTA UTAMA penduduk usia kerja akan semakin besar dibandingkan dengan penduduk muda. Usia prima produktivitas seseorang berdasarkan hasil penelitian berada pada antara usia 20-54 tahun. Pada Kondisi usia tersebut juga medorong pengkondisian SDM generasi lanjutan menjadi lebih berkualitas seiring dengan peningkatan penghasilan. Penurunan fertilitas dan besarnya keluarga ideal memungkinkan perempuan mempunyai waktu lebih banyak untuk melakukan hal-hal lain yang bukan melahirkan dan merawat anak karena masa melahirkan dan merawat anak menjadi pendek. Pada kondisi ini menjadi peluang meningkatkan pendidikan dan ketrampilan sehingga menjadi berkualitas dan siap untuk memasuki pasar tenaga kerja. Jika kondisi ini berlanjut akan menciptakan poduktivitas nasional dan tentunya akan memperkuat kondisi ketahanan nasional. Teori tentang perubahan prilaku melahirkan yang menyebabkan menurunnya tingkat fertilitas dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu; (1) Teori atau hipotesa tentang yang berkaitan dngan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi atau tujuan tentang jumlah anak ideal; (2) Teori yang menerangkan penurunan fertilitas karena adanya pengendalian kelahiran atau karena adanya alat kontrasepsi yang memungkinkan tercapainya pengendalian kelahiran. Teori klasik transisi demografi adalah salah satu dari teori yang menjelaskan perubahan persepsi tentang jumlah anak ideal yang lebih kecil. Perubahan presepsi ini terjadi karena adanya perubahan struktural akibat pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan
urbanisasi yang menyebabkan terjadinya penurunan angka kematian. Pada kondisi tersebut mendorong pasangan untuk melakukan perhitungan secara ekonomis tentang biaya membesarkan anak. Jika jumlah anak terlalu banyak, anak akan menjadi beban dan tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar. Hubungan antara kependudukan dari aspek kuantitas dan kualitas. dari sudut jumlah penduduk dapat bersifat negative maupun positif. Penduduk besar atau banyak berkualitas dapat menjadi modal dalam pembangunan, sebaliknya penduduk besar atau banyak akan menjadi beban bagi pembangunan jika kualitasnya rendah. Jumlah penduduk sedikit namun berkualitas meskipun sumber alam terbatas pertumbuhan ekonomi dapat berkembang atau tumbuh dengan pesat,sebaliknya jumlah besar atau banyak kualitas sumber daya manusianya rendah, meskipun sumber daya alam banyak (baca:kaya) akan berdampak kepada kondisi ketahanan nasional. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM); dan bukan oleh melimpahnya sumber daya alam (SDA). Negara-negara maju saat ini pada umumnya tidak mempunyai SDA yang memadai tapi mempunyai SDM yang tangguh. Sebaliknya banyak negara berkembang (termasuk Indonesia) mempunyai SDM yang melimpah, tapi tanpa diimbangi dengan SDM yang baik, tetap tertinggal dari negaranegara yang sudah berkembang. Di samping program pendidikan dan kesehatan, program pengaturan kelahiran mempunyai peran penting
dalam pembangunan SDM. Di samping secara makro berfungsi untuk mengendalikan kelahiran, secara mikro bertujuan untuk membantu keluarga dan individu untuk mewujudkan keluargakeluarga yang berkualitas menuju kondisi ketahanan nasional yang diharapkan. Dalam kaitan tersebut peningkatan kondisi ketahanan nasional dari delapan aspek keterkaitannya dengan program keluarga berencana tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pembangunan kependudukan secara umum. salah satu arah kebijakan pembangunan nasional mengamanatkan pentingannya “meningkatkan kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran” dan “Program Keluarga Berencana” salah satu dari lima program pokok bidang kependudukan dan KB. “Program KB dilakukan dengan upaya-upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga”. Bahwa program Kependudukan dan Keluarga Berencana sangat bermanfaat bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Kegagalan program KB dalam mengendalikan angka kelahiran akan menggangu tatanan ketahanan nasional sehingga berdampak kepada menciptakan kondisi mengurangi atau bahkan meniadakan hasil-hasil pembangunan dan dapat memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, lapangan kerja, kesehatan , pendidikan dan lain sebagainya bahkan justru akan menurunkan kualitas SDM.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
9
WARTA UTAMA Oleh karena itu konsep pembangunan berwawasan kependudukan melalui kebijakan penduduk tumbuh seimbang harus menjadi fokus agar tercipta kondisi ketahanan nasional yang diharapkan dan menjadi strategis dalam menghadapi tantangan dari luar maupun dari dalam pada era desentralisasi dan globalisasi.
Tinjauan Aspek Ekonomi Dari berbagai literatur atau tulisan kependudukan dan pembangunan disebutkan bahwa salah satu modal dasar pembangunan adalah penduduk yang berkualitas sangat penting dan strategis bagi pembangunan disegala bidang. Artinya jumlah penduduk berkualitas yang mempunyai kompetensi dapat dibina dan didayagunakan secara efektif dan akan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan sangat menguntungkan bagi ketahanan nasional. Dalam Teori Capital; modal adalah uang yang diubah menjadi suatu barang dagangan untuk diubah kembali dari suatu barang dagangan menjadi lebih banyak uang dari pada jumlah aslinya. Selanjutnya dikatakan dari barang tersebut ada unsur atau komponen tenaga kerja (labour) kumpulan upah yang dibayarkan kepada pekerja dikonsumsi kepada barang-barang sekunder maupun primer akan menumbuhkan tingkat produksi, produksi meningkat akan menambah jumlah investasi sedang upah yang tidak dibayarkan oleh produsen (ada selisih antar jam kerja dengan upah yang diterima. Karl Marx dalam bukunya (Das Capital) nilai lebih tersebut oleh produsen dijadikan kembali modal dan seterusnya demikian pada akhirnya menjadi salah satu sumber investasi.
10
Tumbuhnya investasi akan menyerap tenaga kerja, manusia bekerja akan memperoleh upah, upah sebagian dikonsumsi dan sebagian ditabung, jumlah tabungan tersebut oleh bank disalurkan untuk kredit salah satunya untuk investasi ,proses akumulasi tersebut menumbuhkan perekonomian nasional yang akan tercermin dalam produk domestik bruto (PDB). Model-model ekonomi tentang tabungan yang berhubungan langsung dengan penduduk adalah age dependency model, dengan landasan pemikiran bahwa terhindarnya kelahiran bayi akan menyebabkan menurunnya sejumlah konsumsi yang mendorong meningkatnya tabungan dan selanjutnya menyebabkan terjadinya pembentukan modal. Selain itu ada model accounting effects dan behavioral effect dimana penduduk muda dan penduduk lansia mengkonsumsi
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
barang melebihi apa yang bisa mereka bisa produksi. Sedangkan penduduk usia kerja cenderung mempunyai tingkat output tinggi dan cenderung mempunyai tingkat tabungan yang lebih tinggi. Penelitian juga menemukan bahwa penduduk mulai menabung lebih banyak pada usia 40-65 tahun di mana pada kondisi tersebut tidak terbebani oleh pembiayaan pengurusan anak. Peningkatan jumlah penduduk usia kerja akan meningkatkan tersedianya modal manusia (human capital) dalam jumlah yang banyak. Penurunan angka kematian dan meningkatnya harapan hidup manusia akan meningkatkan propensitas (bagian kekayaan yang diinvestasikan) orang tua untuk menanamkan investasi modal manusia dalam diri anak-anak. Perbaikan kesehatan dan penurunan kematian akan memicu akumulasi modal
WARTA UTAMA semakin berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional yang akan memperkuat ketahanan nasional, sebaliknya kokohnya ketahanan nasional akan mendorong lajunya pembangunan nasional. Adanya korelasi antara bidang kependudukan melalui rekayasa demografi akan berpengaruh kepada kuantitas dan kualitas SDM serta pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pengendalian penduduk melalui rekayasa demografi saling tekait dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang rendah memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi. Perubahan kondisi dari kuantitas dan kulitas SDM berpengaruh kepada kondisi pembangunan ekonomi. Tinjau pembangunan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi
(human capital accumulation). Peningkatan harapan hidup manusia sampai 45-55 tahun diperkirakan menjadi pemicu terkuat investasi modal manusia karena ini merupakan usia yang menentukan dimana investasi sumber daya manusia terbayar kembali. Peningkatan harapan hidup ini telah mengubah gaya hidup masyarakat di segala aspek kehidupan. Sikap dan prilaku masyarakat tentang pendidikan, keluarga, masa pensiun peranan perempuan dalam pekerjaan mengalami pergeseran hal ini menyangkut perubahan sosial dan budaya yang pada akhirnya pandangan terhadap manusia meningkat dan dihargai sebagai aset bukan hanya faktor produksi. Korelasi dua komponen tersebut mengondisikan meningkatnya kesejahteraan penduduk dengan semakin sejahtera, kualitas sumber daya manusia
meningkat seiring membaiknya tingkat penghasilan masyarakat yang tercermin dari pengeluaran riil per kapita penduduk. Ketidakberhasilan dalam mengendalikan kelahiran dan menjadikan penduduk yang berkualitas akan menjadikan pertumbuhan ekonomi tidak dapat memberi manfaat kepada kemakmuran masyarakat. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi harus diupayakan setinggi mungkin, pertumbuhan penduduk harus dikendalikan, kualitas SDM dan produktivitas harus ditingkatkan sehingga memperkokoh kondisi ketahanan nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan konsep pembangunan berwawasan kependudukan (people center development) akan mendorong peningkatan kualitas SDM dengan meningkatnya kualitas SDM akan mendorong produktivitas sehingga akan
Meningkatnya perekonomian nasional akibat dari meningkatnya kualitas dan produktivitas penduduk berdampak kepada kesejahteraan masyarakat dan keamanan Paradigma arah pembangunan nasional yang belum menempatkan bidang kependudukan sebagai platform pembangunan atau konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan akan menjadi ancaman dalam pelaksanaan ketahanan nasional. Peningkatan kondisi ketahanan nasional bidang kependudukan dalam rangka penyiapan SDM yang berkualitas dan tangguh mutlak diwujudkan untuk menghadapi tantangan pada era globalisasi. Perubahan kondisi kuantitas dan kualitas SDM akan mendukung terciptanya Ketahanan Nasional dengan kata lain masyarakat kokoh, negara kokoh integritas nasional meningkat Kewaspaadan Nasional terjamin Pembangunan ekonomi meningkat.(NJP)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
11
WARTA UTAMA
Rakornis Kemitraan KKBPK Jabar
Bersama Mitra, Membangun KKBPK Jabar
12
BKKBN menyadari betul bahwa keberhasilan pembangunan KKBPK sangat ditentukan oleh sejauh mana kemitraan dapat dibangun dan dikembangkan. Itulah yang kemudian mendorong diusungnya kemitraan sebagai tema sentral pada rapat koordinasi BKKBN tahun ini. Baik di pusat, maupun di daerah.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
P
enegasan pentingnya kemitraan itulah yang dikemukakan Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar saat menyambut kehadiran peserta rapat koordinasi teknis (Rakornis) program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di Bandung beberapa waktu lalu. Rapat yang diikuti sejumlah mitra kerja BKKBN ini mengusung tema “Melalui Rapat Koordinasi Teknis dan Kemitraan Kita Dukung Program KKBPK untuk Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Jawa Barat”. “Tugas dan fungsi BKKBN tidak mungkin hanya dilakukan oleh BKKBN. Jadi tidak bisa hanya BKKBN, namun kebersamaan dalam mencapai tujuan harus melalui kemitraan. Itu yang sangat dibutuhkan,” tegas Sugilar. Sugilar menjelaskan, saat ini program KKBPK mengadapi banyak tantangan. Untuk mendukung sasaran program pemerintah yang telah ditetapkan, tidak ada jalan lain selain meluaskan jangkauan kemitraan. “Keberhasilan program tersebut sangat ditentukan oleh semua pihak, baik dari unsur pemerintah, swasta, LSM, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Upaya penggerakan lini lapangan harus kita pertahankan sebagai salah satu kegiatan yang akan menggairahkan dinamika penggarapan program KKBPK di lini lapangan,” ujar Gilar, sapaan akrab Sugilar. Di tingkat nasional, pentingnya kemitraan juga ditegaskan Kepala BKKBN Surya Chandra
WARTA UTAMA Surapaty saat memberikan sambutan pada acara rapat koordinasi nasional (Rakornas) KKBPK yang dihelat dalam waktu berbeda dengan Jawa Barat. Menurut Surya, BKKBN sangat menyadari bahwa BKKBN tidak dapat melaksanakan program KKBPK sendirian. BKKBN membutuhkan dukungan komitmen, kepedulian tinggi, partisipasi, dan kerja sama dari para pemangku kepentingan dan mitra kerja di seluruh tingkatan wilayah di Indonesia. Pertemuan yang dihadiri oleh para pejabat pimpinan tinggi madya BKKBN, para pejabat pimpinan tinggi pratama BKKBN, para pemangku kepentingan program KKBPK dan mitra kerja BKKBN, baik yang berasal dari unsur pemerintah, swasta, maupun masyarakat serta para pejabat administrator BKKBN pusat perwakilan BKKBN Provinsi seluruh Indonesia ini mengambil tema “Peningkatan Peran Pemangku Kepentingan dan Mitra Kerja dalam Penggarapan Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga.” Di hadapan para mitra tersebut, Surya menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segenap pemangku kepentingan KKBPK serta mitra kerja BKKBN atas dukungan komitmen dan partisipasi aktif dalam penyelenggaraan Program KKBPK selama ini. “Rakornis Kemitraan ini merupakan tindak lanjut dari Rapat Koordinasi Nasional Program KKBPK. Secara khusus, Rakornis Kemitraan diselenggarakan untuk memberikan penekanan kepada peningkatan peran pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam operasionalisasi Program KKBPK. Untuk itu, Rakornis Kemitraan tahun
2017 bertujuan untuk mengoptimalkan peran serta pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam operasionalisasi Program KKBPK pada umumnya, khususnya di Kampung KB dan daerah legok, serta menyusun rencana tindak lanjutnya,” papar Surya. Kemitraan dengan para pemangku kepentingan dan mitra kerja yang dibangun BKKBN diwadahi dalam Nota Kesepahaman Bersama atau Memorandum of Understanding (MoU). Berdasarkan data BKKBN tahun 2016, terdapat sebanyak 110 Nota Kesepahaman Bersama antara BKKBN dan para pemangku kepentingan/mitra kerja. Tujuan penyelenggaraan Rakornis Kemitraan tahun 2017 ini sejalan dengan upaya pencapaian sasaran-sasaran pembangunan kependudukan dan keluarga berencana sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Sasaran-sasaran tersebut di antaranya menurunkan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) dari 2,6 menjadi 2,28 anak per wanita, meningkatkan pemakaian alat/obat kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/ CPR) dari 61,9 persen menjadi 66,0 persen, dan menurunkan kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani (unmet need) dari 11,4 persen menjadi 9,91 persen pada tahun 2019. Tentunya, untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut diperlukan upaya ekstra dari BKKBN dengan dukungan para pemangku kepentingan dan mitra kerja dalam pelaksanaan Program KKBPK ke depan. Surya memaparkan bahwa dalam rangka pencapaian sasaran-sasaran pembangunan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
13
WARTA UTAMA kependudukan dan keluarga berencana di atas, maka arah kebijakan dan strategi BKKBN dalam menyelenggarakan pembangunan kependudukan keluarga berencana dan pembangunan keluarga tahun 2015-2019 telah dirumuskan sebagai berikut: 1) peningkatan akses dan pelayanan KB yang merata dan berkualitas; 2) penguatan advokasi dan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) KKBPK; 3) peningkatan pembinaan ketahanan remaja; 4) peningkatan pembangunan keluarga; dan 5) penguatan regulasi, kelembagaan, serta data dan informasi. Surya menambahkan, pada 2017 ini BKKBN akan kembali menyelenggarakan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). SDKI merupakan evaluasi terhadap kinerja Program KKBPK sehingga hasil SDKI 2017 akan menjadi rapor penyelenggaraan Program KKBPK di Indonesia selama 5 tahun berjalan. BKKBN tidak ingin mengulang hasil yang ditunjukkan dua SDKI terdahulu (2007 dan 2012), yaitu TFR di Indonesia, yang tertahan pada
angka 2,6 anak per wanita sejak SDKI 2002-2003. Sekaitan dengan itu, Surya mengharapkan kesediaan para mitra kerjauntuk memperkuat koordinasi operasional dan memberikan fokus perhatian terhadap Program KKBPK di wilayah kerja masing-masing. Hal ini termasuk dukungan dan perhatian terhadap pelayanan KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan KB pascapersalinan. Sebagai lembaga pemerintah, BKKBN turut berupaya mewujudkan 9 Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) pemerintahan Jokowi-JK Dimension 2015-2019. BKKBN turut berperan melaksanakan Strategi Pembangunan Nasional 2015-2019 dengan fokus penggarapan pada Dimensi Pembangunan Kesehatan serta Mental/Karakter (Revolusi Mental) yang diintegrasikan ke dalam Program KKBPK. Untuk itu, Program KKBPK dan berbagai kegiatan prioritas di dalamnya senantiasa diarahkan untuk mewujudkan Nawa Cita, terutama Cita ke-3 “membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”, Cita ke-5 “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”, dan Cita ke-8 “melakukan revolusi karakter bangsa” yang diawali dengan Revolusi Mental. Salah satu bentuk upaya nyata di lapangan yang telah dilakukan untuk mewujudkan ketiga Cita tersebut adalah pembentukan Kampung KB. Sejak dicanangkan oleh Presiden Jokowi DAN Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat, pada 14 Januari 2016, berdasarkan Laporan Pelaksanaan Program dan Kegiatan di Kampung KB Triwulan IV Tahun 2016, sampai dengan bulan Januari 2017, Kampung KB telah dicanangkan di 487 dari 514 kabupaten dan kota (95 persen) di seluruh Indonesia. Untuk itu, Surya menginstruksikan kepada Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi seluruh Indonesia agar melaksanakan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Program KKBPK yang dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) untuk menjabarkan secara rinci rencana tindak sampai tingkat lini lapangan. Di akhir sambutannya, Surya berharap melalui Rakornis Kemitraan ini, seluruh pemangku kepentingan dan mitra kerja dapat menghasilkan rencana tindak bersama dalam implementasi Program KKBPK di lapangan. Hal ini demi tercapainya sasaran Program KKBPK tahun 2017 sehingga akan mempercepat pencapaian sasaran pembangunan kependudukan dan keluarga berencana dalam RPJMN 20152019.(NJP)
Surya Chandra Surapaty
14
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
WARTA UTAMA
Pameran Kampung KB
Kampung KB Mendorong Pengendalian Penduduk
K
Keberhasilan Kampung KB Butuh Dukungan Lintas Sektor
eberadaan Kampung KB alias kampung kampung keluarga berencana menjadi perhatian tersendiri bagi Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla membuka secara resmi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2017 di Jakarta beberapa waktu lalu. Wapres berharap keberadaan Kampung KB mampu menjadi instrumen penting bagi keberhasilan pengendalian penduduk di Indonesia. Kalla tak memungkiri bahwa kesadaran masyarakat untuk
mewujudkan keluarga lebih sejahtera dengan KB telah tumbuh dengan baik. Bagi Wapres, keberhasilan tersebut merupakan buah kampanye “dua anak cukup” yang digelorakan BKKBN di seluruh Indonesia. Dengan jumlah penduduk Indonesia di atas 250 juta jiwa, JK berharap BKKBN meningkatkan kinerjanya untuk tetap mengendalikan lonjakan jumlah penduduk, yaitu dengan melakukan program Kampung KB secara efektif. Pengendalian jumlah penduduk, sambung JK, merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dengan begitu,
pemerintah dapat lebih mudah mewujudkan kesejahterahan dan pemerataan di berbagai sektor pembangunan. JK menilai pertumbuhan penduduk saat ini cenderung meningkat dengan ukuran kelahiran per wanita atau total fertility rate (TFR) mencapai 2,6. Padahal, target pemerintah idealnya yaitu 2,1 per wanita. Untuk itu, BKKBN didorong terus berupaya menggerakan kembali program Kampung KB dengan melatih petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) di seluruh daerah, khususnya pada daerah pinggirin. Konsep ini dianggapnya selaras dengan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
15
WARTA UTAMA memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Nawacita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta Nawacita kedelapan yaitu melakukan revolusi karakter bangsa.
Nawacita Presiden Joko Widodo, yaitu membangun dari pinggiran. “Saat ini 60 persen hidup di Jawa, 40 persen hidup di luar Jawa. Apabila pertumbuhan seperti ini, Jawa akan besar. Kita lakukan keluarga berencana yang efektif dan transmigrasi,” ungkap Wapres. Wapres JK menambahkan, BKKBN perlunya menjaga demografi dan jumlah penduduk yang ideal agar menghindari lonjakan jumlah penduduk yang berdampak pada meningkatkan beban negara dalam memenuhi kebutuhan dan memastikan kesejahterahan masyarakat. Apalagi genio rasio kesenjangan dan ketimpangan masyarakat Indonesia dinilai masih tinggi yaitu 0,39, atau 1 persen masyarakat menguasai hampir 50 persen kekayaan Indonesia. “Kita jauh lebih mudah mengampanyekan di masyarakat, seperti Singapura, China, yang mengalami lonjakan penduduk, emerging country. Jangan seperti Jepang yang kurang tenaga produktif, lebih banyak lansia. Perlu kita menjaga antara demografi dan jumlah penduduk yang ideal,” kata Wapres JK.
Kerjasama Lintas Sektor Dalam kesempatan terpisah, Direktur Bina Lini Lapangan BKKBN Sukaryo Teguh Santosa menjelaskan, Kampung KB merupakan inovasi strategis untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan prioritas KKBPK secara utuh di lini lapangan. Kampung KB sebagai model miniatur pelaksanaan total Program KKBPK secara utuh yang melibatkan dan bersinergi dengan kementerian/lembaga, mitra kerja, stakeholders
16
S. Teguh Santoso
instansi terkait sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah, serta dilaksanakan di tingkatan pemerintahan terendah. Sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Januari 2016 di Cirebon, Jawa Barat, jumlah Kampung KB yang telah dibentuk terus berkembang. Pada 2017 ini ditargetkan terdapat satu Kampung KB di setiap satu kecamatan di seluruh Indonesia. Hingga April 2017, sudah terbentuk 633 Kampung KB. “Melalui Kampung KB, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan menggabungkan program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga serta pembangunan sektor terkait seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya dan sektor lainnya dalam rangka mewujudkan keluarga kecil berkualitas,” jelas Teguh di kantornya belum ini. Kampung KB merupakan wujud dari pelaksanaan agenda prioritas pembangunan Nawacita ke-3, 5, dan 8. Nawacita ketiga yaitu yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
Lebih jauh pria yang lama bertugas di Jawa Barat ini menjelaskan, Kampung KB merupakan satuan wilayah setingkat RW, dusun atau yang setara, yang memiliki kriteria tertentu. Sejumlah kriteria utama Kampung KB antara lain, sebuah kampung memiliki jumlah keluarga miskin di atas rata-rata tingkat desa dimana Kampung/ RW tersebut berada. Bagi yang membentuk setara desa, jumlah keluarga miskin di desa tersebut harus di atas rata-rata kecamatan dimana desa itu berada. Selain itu, syarat utama lainnya adalah pencapaian KB di desa tersebut sangat rendah. Dalam hal kriteria wilayah, setiap kampung KB harus memenuhi unsur seperti berada di wilayah kumuh, kampung pesisir atau nelayan, berada di daerah aliran sungai (DAS), di daerah bantaran kereta api, kawasan miskin (termasuk miskin perkotan), terpencil, wilayah perbatasan, kawasan industri, kawasan wisata, tingkat kepadatan penduduk tinggi. “Pembentukan Kampung KB perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, baik secara politis, teknis dan operasional. Melalui pembentukan Kampung KB, kami berharap Kampung KB tidak hanya berhenti pada sebatas seremonial pembentukan saja namun ada keberlanjutan melalui sinergi berbagai sektor pemerintah bahkan swasta, Kampung KB bukan program BKKBN saja namun perlu dukungan banyak pihak,” tegas Teguh.(NJP)
WARTA UTAMA
Nikah massal
Takut Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan Mengurai Benang Kusut Pernikahan Anak di Jawa Barat
Bila ada yang bertanya apa yang menjadi pemicu pernikahan dini, barangkali jawabannya memang tidak akan sama antara satu dengan yang lain. Nah, tiga peneliti Jurnal Perempuan mencoba menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dari sekian banyak jawaban, secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal ini: kemiskinan, pendidikan rendah, dan menghindari zina.
Paparan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP3AKB) Jawa Barat Dewi Sartika pada saat berlangsungnya Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Pembangunan Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) 2017 beberapa waktu lalu mengundang penasaran audiens. Kala itu, Dewi mengutip sebuah artikel yang dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi Februari 2016. Mengutip jurnal tersebut, Dewi menjelaskan bahwa Jawa Barat memiliki angka pernikahan anak hingga 52,26 persen. Jurnal Perempuan sendiri juga mencantumkan empat daerah di Jawa Barat seperti Sukabumi, Karawang, Subang, dan Cianjur. Keempatnya dianggap wilayah rentan terjadi pernikahan usia anak. Kemudian di urutan selanjutnya antara lain Jawa Barat dengan 50,2 persen, Kalimantan Selatan 48,4 persen, Bangka Belitung 47,9 persen, dan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
17
WARTA UTAMA Sulawesi Tengah 46,3 persen. Sedangkan provinsi dengan mempelai perempuan di bawah 15 tahun terbanyak ialah Provinsi Kalimantan Selatan dengan persentase 9 persen, disusul Jawa Barat 7,5 persen, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen, dan Banten 6,5 persen. “Pernikahan dini rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dengan perempuan sebagai korbannya. Dampak lainnya adalah rentan berakhir dengan perceraian dan menyangkut kesehatan perempuan. Selain itu, (mereka yang menikah dini) akan kehilangan masa kanak-kanaknya, yakni masa ia bertumbuh dan masa-masanya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi,” kata Dewi. Dewi tidak memungkiri bahwa faktor tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi menjadi salah satu penyebab tingginya angka pernikahan anak di Jawa Barat. Faktor ini kemudian diperkuat dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama perempuan. Di samping itu, pergaulan yang terlewat bebas berdampak pada maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. “Perilaku ini terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang saling berkesinambungan. Faktor eksternal itu bisa berupa pengaruh film, teman persekawanan, imitasi dari tokoh-tokoh idola, dan lain-lain. Kemudian faktor internal berupa lemahnya pengetahuan seks sejak dini dan kurangnya pemahaman agama,” ungkap Dewi. Nah, lebih jauh mengenai jawaban atas pertanyaan tersebut, tim Warta Kencana kemudian menelusuri materi yang dikutip
18
Dewi dari Jurnal Perempuan. Ditemukanlah artikel bertajuk “Takut akan Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan: Status Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak di Sukabumi Jawa Barat (Fear of Zina, Poor Education, and Poverty: Status of Girls in ChildMarriage in Sukabumi West Java)” yang ditulis Dewi Candraningrum, Anita Dhewy, dan Andi Misbahul Pratiwi. Artikel dipublikasikan pada terbitan Jurnal Perempuan, Vol. 21 No. 1, Februari 2016. Artikel ditulis berdasarkan hasil riset yang fokus dilakukan di Kabupaten Sukabumi. Data dikumpulkan dengan interview mendalam pada anak-anak perempuan korban pernikahan anak dan para orang tua, juga melaksanakan focus group discussion (FGD) di Desa Cikidang bersama para pemangku kepentingan. Pernikahan anak di Sukabumi mengonfirmasi bahwa hal-hal berikut merupakan penyebab utama dari pernikahan anak: 1) kemiskinan dan akses buruk atas pendidikan 2) naiknya fundamentalisme agama yang membuat tabunya diskusi seksualitas dan takut akan zina, dan terakhir 3) akses buruk atas hak kesehatan reproduksi seksual. Mengacu kepada Council of Foreign Relations, laporan ini menulis Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Indonesia adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di dunia setidaknya ada 142 juta anak perempuan akan menikah sebelum dewasa dalam satu dekade ini saja (CFR 2015). Di Indonesia anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi: 1. Anak perempuan dari daerah perdesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan; 2. Pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin; 3. Anak perempuan yang kurang berpendidikan dan dropout dari sekolah umumnya lebih rentan menjadi pengantin-anak daripada yang bersekolah. Akan tetapi, saat ini UNICEF melaporkan bahwa prevalensi ini bergeser terutama di daerah perkotaan: pada tahun 2014, 25 persen perempuan berusia 20-24 menikah di bawah usia 18 tahun. Ini adalah realitas mengejutkan bagi banyak feminis dan pendukung hak asasi manusia. Dalam The Convention on the Rights of the Child (KHA-Konvensi Hak-Hak Anak) didefinisikan bahwa seseorang yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sehingga pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, secara internasional dikategorikan sebagai pernikahan anak. Dalam hukum internasional, pernikahan anak dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Pernikahan Anak di Jawa Barat Angka pernikahan anak sebesar 52,26 persen mengantarkan Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki angka pernikahan anak dalam tiga besar tertinggi selain Kalimantan Selatan (53,71 persen) dan Jawa Timur (52,89 persen) (BPS 2011). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2014 Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah AKI karena menjadi penyumbang 50 persen jumlah kematian ibu. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2012,
WARTA UTAMA jumlah kematian ibu sebanyak 804 ibu dan AKI Jawa Barat adalah 86,3 per 100 ribu Kelahiran Hidup. Sukabumi merupakan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki AKI tertinggi dibanding 26 kabupaten/ kota lainnya di tahun 2012. Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, kasus kematian ibu pada tahun 2009 sebanyak 49 orang, 2010 sebanyak 40 orang, 2011 sebanyak 70 orang, 2012 sebanyak 76 orang. Selama 5 tahun grafik angka kematian ibu di Jawa Barat terus meningkat. Dari angka tersebut, di tahun 2012 prevalensi kematian ibu hamil yang usianya di bawah 20 tahun, dus pengantin anak adalah 23 anak perempuan dan kematian ibu bersalin adalah 18 anak perempuan. Ini merupakan angka yang amat mengkhawatirkan mengingat merujuk pada data Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat pertama angka kematian ibu yang kemudian disadari bahwa di sana ada anak-anak yang menjadi ibu dan mengalami persoalanpersoalan kesehatan reproduksi kemudian terancam nyawanya. Hasil FGD multi stakeholders di Desa Cikidang ditemukan sebaran yang lebih mengejutkan, bahwa prevalensi paling besar berada di Sukabumi wilayah selatan, paling jauh dari pusat kota Sukabumi yang akses jalan dan infrastrukturnya sangat buruk. Angka trafficking di sana diperkirakan juga sangat tinggi. Semuanya berawal dari keresahan memiliki anak perempuan. Anak perempuan bukanlah piala peradaban laiknya anak laki-laki. Beberapa riset perihal status anak perempuan dalam perkawinan anak mengonfirmasi bahwa motif ekonomi merupakan pemicu utama dalam melepaskan seorang anak di bawah umur untuk
menikah. Pandangan bahwa melepaskan anak perempuan sebagai membebaskan sebuah unit keluarga dari kemiskinan masih kuat mendominasi wilayahwilayah perdesaan di hampir seluruh wilayah kantungkantung pernikahan anak di Indonesia. Di Sukabumi, dari wawancara beberapa narasumber dan FGD di Desa Cikidang, Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, ditemukan motif ini legitim, seperti paparan Kepala Desa berikut:
Kabupaten Sukabumi juga menarasikan hal serupa bahwa faktor ekonomi merupakan pemicu penting dalam mencari akar penyebab status anak perempuan dalam pernikahan anak.
“Cikidang ini kan Desa, jadi karena di daerah kampung jadi banyak faktor yang melatarbelakangi. Faktor pertama mungkin karena keadaan -bisa saja karena pergaulan, bisa hamil yang tidak diinginkan. Kedua, karena kebutuhan di kampung, anak tersebut misalnya sudah punya calon dan bisa untuk mengurangi beban keluarga. Ketiga, karena faktor lingkungan,” papar Ujang Suryadi, kepala Desa Cikidang.
tidak sekolah dan miskin, dalam beberapa kasus, justru dianggap membebani keluarga dan masyarakat. Apabila telah bergaul dengan laki-laki maka kemudian dinikahkan agar tidak membawa malu baik pada keluarga dan masyarakat. Ini merupakan kerentanan yang berlapis yang dialami anak perempuan ketimbang anak laki-laki dalam kasus pernikahan anak.
Di tingkat Rukun Tetangga (RT) temuan serupa juga dikonfirmasi, bahwa kesulitan melanjutkan pendidikan bagi anak perempuan, kemudian mereka dinikahkan dalam rangka membebaskan keluarga tersebut dari kemiskinan. Beberapa tokoh masyarakat
Di sisi lain, sekolah untuk anak perempuan merupakan beban bagi keluarga, maka jalan keluarnya adalah dengan menikahkan anak-anak perempuan, meskipun di bawah umur. Anak perempuan yang
KDRT dalam Pernikahan Anak Pernikahan anak menyumbang pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kementerian Agama melaporkan bahwa pada lima tahun terakhir
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
19
WARTA UTAMA terdapat kenaikan angka perceraian yaitu 400 persen dari dekade sebelumnya. Hal ini dipicu oleh belum matangnya kesiapan psikologi pasangan dalam memulai rumah tangga, yang kebanyakan ada dalam perkawinan anak-anak. Faktor utama perselisihan dalam rumah tangga pernikahan anak adalah ekonomi. Dalam beberapa wawancara dan FGD di Desa Cikidang ditemukan bahwa faktor pemicu pertengkaran dan KDRT adalah kebutuhan rumah tangga yang kurang/tidak terpenuhi dan lemahnya posisi ekonomi sang istri (anak perempuan yang menjadi istri). Seperti dalam kasus berikut ini: “Ya kadang gitu, kadang juga suka dukanya ada .... Biasanya karena kebutuhan juga sih …. Kalau ada yang ngusik dia aja, udah, marah baliknya sama Sari (red: mulai menangis) …. Pakai kata-kata kasar (terisak), waktu itu dia nggak pulang. Jadi sedih deh, sakit hatinya di situ,” ujar Sari, bukan nama sebenarnya, dalam wawancara Jurnal Perempuan. Keberadaan istri biasanya diperlemah dalam konteks KDRT jika ia tidak bekerja di luar rumah dan tidak memiliki penghasilan laiknya suaminya. Dalam beberapa kasus di Sukabumi ditemukan bahwa anak-anak perempuan yang terpaksa dinikahkan dini dilepas karena kondisi ekonomi keluarga yang buruk, akhirnya anak perempuan dilepaskan agar keluarga orang tuanya terhindar dari kemiskinan. Ketika memasuki perangkap baru, pernikahan dini, sang anak perempuan kemudian tidak diizinkan bekerja oleh suaminya. Biasanya jika pun bekerja, ia akan menjadi buruh dengan upah yang sangat rendah karena latar belakang pendidikannya yang hanya tamatan SD. Latar
20
Kekerasan dalam rumah tangga (ilustrasi)
belakang ekonomi merupakan pemicu utama KDRT terhadap anak perempuan di samping juga adanya budaya patriarkal yang masih kuat di Jawa Barat. Kombinasi faktor kemiskinan dan budaya patriarkal ini amat mematikan bagi masa depan anak-anak perempuan. Hampir seluruh fakta yang terkumpul di lapangan mengonfirmasi bahwa faktor “kehamilan di luar nikah” atau kerap disebut “kecelakaan” mendominasi sebagai penyebab pernikahan anak. Satu-satunya solusi kecelakaan kehamilan adalah dengan menikahkan anaknya untuk menutup malu, tanpa memikirkan status kesehatan reproduksi, psikis dan fisik calon ibu yang masih anak-anak. Pilihan aborsi sebagai jalan lain menyelamatkan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
masa depan anak masih dilihat sebagai pilihan tabu dan berdosa dari kacamata agama. Inilah mengapa kemudian pernikahan anak-anak menjadi tinggi di Indonesia karena aborsi tidak dipilih sebagai salah satu opsi kesehatan reproduksi mengingat banyak anak perempuan melahirkan mengalami komplikasi dan bahkan terenggut nyawanya.
Mengakhiri Pernikahan Anak Penyebab pernikahan anak dipicu oleh beberapa faktor utama, yaitu akses buruk atas pendidikan bagi anak perempuan menyumbang pada tingginya pernikahan dini. Pendidikan rendah merupakan narasi utama dari hampir seluruh data-data yang terkonfirmasi
WARTA UTAMA Dua rekomendasi kunci diperlukan dalam menaikkan status pendidikan anak-anak perempuan agar tak masuk perangkap jahat pernikahan anak selain juga mengentaskan kondisi ekonomi unit-unit keluarga yang memiliki anak perempuan. Unit keluarga miskin yang memiliki anak-anak perempuan lebih rentan miskin karena masuk perangkap pernikahan dini, sindikat perdagangan anak, dan kasus-kasus lain. Penemuan dalam penelitian ini menarasikan bahwa anak-anak perempuan yang diasuh oleh ibu kepala rumah tangga lebih rentan masuk dalam jaring berbahaya pernikahan anak dan jaringan sindikat perdagangan manusia. Rekomendasi kebijakan dan dukungan pemerintah perlu melihat unit keluarga ini sebagai spesifik jika angka pernikahan anak ingin dikurangi dan diturunkan.
sebelumnya, yaitu bahwa anak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA atau PT akan rentan memasuki lingkaran korban pernikahan-dini. Data menunjukkan bahwa anakanak perempuan lulusan SD dan SMP merupakan penyumbang terbesar pernikahan anak. Mengapa anakanak perempuan itu hanya lulus SD dan SMP saja? Yaitu faktor kemiskinan yang merupakan faktor penyumbang utama lainnya. Orang tua dan ibu tunggal melepas anakanak perempuannya demi mengurangi beban ekonomi keluarga, tetapi ternyata ini justru memperlebar dan mengulang dan memperparah kembali lingkaran kemiskinan tersebut.
Anak-anak perempuan korban pernikahan anak, dalam penelitian ini, banyak yang mengalami KDRT. Ini merupakan preseden buruk bagi kesehatan generasi di masa akan datang. Anak-anak perempuan dalam pernikahan anak amat rentan mengalami KDRT karena ia berpendidikan rendah, kemudian tidak bekerja, dan karena tidak berpenghasilan ia tidak memiliki daya tawar yang baik di hadapan suaminya. Riset ini menemukan bahwa faktor kemiskinan dan kurang tercukupinya kebutuhan seharihari merupakan faktor pemicu utama istri mendapatkan KDRT. Ini tentu amat mengkhawatirkan. Selain faktor utama pendidikan rendah dan kemiskinan, faktor narasi tafsir agama yang konservatif dan tidak ramah gender juga menyumbang pada buruknya angka pernikahan anak di Jawa Barat dan Indonesia pada
umumnya. Meskipun Indonesia adalah negara hukum modern yang tidak berbasis pada hukum fikih konservatif punitif abad pertengahan (atau kerap disebut sebagai hukum Syariah) yang membolehkan cambuk dan rajam sampai mati pada pelaku zina, tetapi narasi itu merupakan kunci ampuh untuk membersihkan remaja dan anak-anak dari pacaran dan zina. Rasa takut pada pacaran dan perbuatan zina, dalam temuan riset ini, mendorong masyarakat membolehkan dan mengiyakan pernikahan anak meskipun berisiko anak-anak perempuan kehilangan nyawanya ketika melahirkan dan berisiko anakanak kehilangan masa depannya karena sibuk membangun rumah tangga ketimbang masa depan pendidikan dan kariernya. Temuan ini cukup mengejutkan bahwa sosialisasi narasi takut atas zina ini bahkan telah menaikkan angka pernikahan anak di Sukabumi dan Indonesia pada umumnya. Rekomendasi dari para ahli agama diperlukan untuk memberikan tafsir yang lebih toleran, progresif dan adil gender atas fenomena pernikahan anak, yaitu misalnya: diharamkannya pernikahan anak karena membahayakan nyawa dan masa depan sang anak, dan lain-lain. Rekomendasi kebutuhan Pendidikan Seksual Komprehensif atau kerap disebut CSE (Comprehensive Sexual Education) amat mendesak dimasukkan dalam kurikulum sekolah agar anakanak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi seksualnya. Mengapa? Karena kedaulatan pengetahuan HKRS merupakan faktor penting dalam menekan dan mengurangi angka pernikahan anak.(NJP/DARI BERBAGAI SUMBER)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
21
WARTA FOTO
22
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
WARTA FOTO
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
23
WARTA UTAMA
Mewaspadai Tingginya Pernikahan Anak Pernikahan anak (ilustrasi)
Pernikahan anak bukan satu-satunya ancaman bagi anak perempuan di Indonesia. Sebagian kasus pernikahan anak terjadi karena kasus perkosaan. Kelompok pejuang hak asasi manusia telah mencoba mengadvokasi untuk menaikkan standar usia untuk pernikahan. Indonesia masuk dalam daftar negara-negara yang tidak ramah untuk anak perempuan. Angka kekerasan terhadap anak perempuan terus meningkat. Sayangnya, perjuangan untuk advokasi anak perempuan Indonesia belum membuahkan hasil. Dan dalam kurung waktu 2011 hingga 2015, ada lima kasus kekerasan terhadap anak. PBB memperingatkan ada 142 juta anak perempuan didunia yang berpotensi menjalani pernikahan anak, dan tidak ada aturan untuk melindungi hak mereka.
P
ada 2008, Indonesia dibuat gempar oleh kisah ala Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih. Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji yang sudah berusia 43 tahun menikahi Lutfiana Ulfa, bocah berusia 12 tahun yang baru saja lulus
24
SD. Syekh Puji menikahi Ulfa secara agama sebagai istri keduanya. Jika Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, tidak demikian dengan Ulfa. Ia mengaku tidak ada paksaan untuk menikahi Syekh Puji.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan stasiun televisi, Ulfa bahkan terang menyatakan bahwa dia mencintai Syekh Puji. Ulfa juga tak mau dipisahkan dari pria berjenggot yang berprofesi sebagai pengusaha itu. Sementara, Syekh Puji secara
WARTA UTAMA terang-terangan mengaku menikahi gadis bau kencur itu karena ingin memiliki anak. Indonesia geger. Kasus pernikahan Syekh Puji dan Ulfa langsung memicu perdebatan tentang masalah pernikahan anak yang marak terjadi di Indonesia. Semua menyoroti kurangnya perlindungan terhadap anak perempuan di Indonesia. Sayangnya, begitu kasus ini mereda, lenyap pula perdebatan tentang masalah pernikahan anak. Padahal, pernikahan anak di Indonesia sudah masuk dalam tahap yang berbahaya.
Kekerasan Anak Meningkat Data dari Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengungkap, satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun. Sementara PBB menyebut Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di ASEAN dalam jumlah pernikahan anak dalam setahun. Fenomena ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang diamati serius oleh Girls Not Brides, sebuah organisasi kemitraan dari 550 organisasi sipil di 70 negara yang mengadvokasi penghapusan praktik pernikahan anak di dunia. Namun, pernikahan anak bukan satu-satunya ancaman bagi anak perempuan di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 ada 4.311 kasus, 2014 ada 5.066 kasus. Dalam kurun 2011 hingga April 2015, ada lima kasus
kekerasan terhadap anak yang mendominasi. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6.006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3.160 kasus, pendidikan 1.764 kasus, kesehatan dan napza 1.366 kasus serta pornografi dan cyber crime 1.032 kasus. Pada praktiknya memang anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan fokus di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Data resmi dari monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi, diketahui 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat. Tapi bukan itu saja yang harus menjadi kekhawatiran kita. Data KPAI juga menunjukkan, sekitar 22 persen anak perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun, 12 persen di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun. Ini didasari laporan United Nations Population Fund pada 2012.
Pernikahan Anak PBB memperingatkan ada 142 juta anak perempuan di dunia yang berpotensi menjalani pernikahan anak, jika tidak ada aturan untuk melindungi hak mereka. Di Indonesia, praktik itu banyak terjadi. Salah satu yang terkenal, tentu saja pernikahan Syekh Puji dan Ulfa. Sebagian kasus pernikahan anak terjadi karena kasus perkosaan. Di Bali, seorang anak berusia 13 tahun hamil dan akan dinikahi oleh lakilaki beranak dua, berusia 39 tahun. Ketika pertama bertemu, si anak itu masih kelas lima,
sepantaran dengan anak bapak itu. Si laki-laki bisa saja berkelit bahwa itu adalah perbuatan zina atas dasar suka sama suka. Namun, orang dewasa yang melakukan seks dengan anak biasanya dikategorikan sebagai pemerkosaan. Indonesia tidak sendiri. Di Maroko, setidaknya terjadi 41.000 pernikahan anak perempuan terjadi setiap tahunnya. Di Pakistan, dari data UNICEF diketahui 70 persen pernikahan yang terjadi dilakukan oleh anak berusia di bawah 16 tahun. Pernikahan di bawah umur ini risikonya juga besar. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dari data di Kantor Urusan Agama, menyebut jumlah perceraian yang diakibatkan pernikahan dini mencapai 50 persen. Selain rentan perceraian, pernikahan anak juga sangat membahayakan nyawa. Berdasarkan data WHO, pada 2015 ada 126 ibu yang meninggal dalam 100.000 kelahiran bayi yang hidup. Angka ini masih termasuk tinggi jika dibandingkan dengan Singapura mencatat hanya 3 ibu meninggal per 100.000 ibu melahirkan. Jumlah itu kemudian disusul Malaysia 5, Thailand 8-10, lalu Vietnam sebanyak 50 kematian ibu setiap 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu saat melahirkan, menurut Kementerian Kesehatan, karena mereka hamil pada usia muda yang membuat kondisinya sangat rentan. Kemenkes juga menemukan adanya angka tinggi anemia pada penduduk usia 15 hingga 24 tahun masih tinggi yaitu sebesar 18,4 persen (Riskesdas, 2013). Data terkini dari laporan dari daerah yang diterima
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
25
WARTA JABAR Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, jumlah ibu yang meninggal karena kehamilan dan persalinan tahun 2013 mencapai 5.019 orang. Sedangkan jumlah bayi yang meninggal di Indonesia berdasarkan estimasi SDKI 2012 mencapai 160.681 anak. Di Indonesia, kelompok pejuang hak asasi manusia telah mencoba mengadvokasi untuk menaikkan standar usia untuk pernikahan. Mereka tahu ada banyak bahaya yang dialami oleh anak perempuan. Oleh karenanya, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak mengajukan uji materi UU Nomor 1 tahun 1974, demi mempersoalkan perkara ini. Namun, uji materi itu ditolak pada 18 Juni 2015. Dasar gugatan itu secara hukum jelas. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, batas usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Tapi dasar hukum mengenai perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, menegaskan seseorang baru dianggap dewasa setelah berumur 18 tahun. Selain tak sesuai dengan undangundang perlindungan anak, pernikahan usia belia juga terkait relasi kuasa yang tidak seimbang, risiko kesehatan reproduksi, dan tentu saja eksploitasi seks. Sayangnya, perjuangan untuk menaikkan standar usia ini ditolak pengadilan. Padahal, mereka sudah berkeras mengadvokasi isu ini untuk melindungi anak-anak dari praktik pernikahan dini. Dalam hal ini, anak perempuan merupakan pihak paling rentan. Mereka berisiko untuk dimanipulasi, dihamili, hingga tak punya masa depan lagi. Pada sebagian kasus, negara berperan karena melegalkannya.(TIRTO.ID)
26
Mengibarkan Kembali Saka Kencana Jabar Tuan Rumah Pentaloka Saka Kencana 2017
K
epala BKKBN Surya Chandra Surapaty menaruh harapan tinggi untuk Satuan Karya Pramuka Keluarga Berencana (Saka Kencana). Surya mengungkapkan hal itu saat membuka Pentaloka Saka Kencana Tingkat Nasional 2017 di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Surya menilai Pentaloka merupakan acara strategis BKKBN untuk menggelorakan kembali program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) di kalangan generasi muda, khususnya anggota Pramuka. Pria asal palembang ini meyakini Pentaloka mampu melahirkan sebuah semangat baru seiring dengan perkembangan dan dinamika organisasi BKKBN.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
“Sesuai dengan perkembangan program, saat ini Saka Kencana menambah satu krida yaitu Krida Promosi dan KIE. Konsekuensi logis dari perubahan ini adalah cakupan kegiatan BKKBN menjadi lebih luas. Tentu saja melalui kegiatan ini sekaligus menjadi momentum penting dalam merangkai bangkitnya kembali sebuah kekuatan, yang pernah mewarnai gerakan pelaksanaan program KB beberapa waktu yang lalu,” tandas Surya. Hal ini, sambung Surya, secara otomatis akan turut mempengaruhi ruang lingkup tugas dan peran Saka Kencana saat ini dan akan datang. Diharapkan dengan bertambahnya krida dapat semakin menyebarluaskan informasi tentang Saka Kencana dan program KKBPK.
WARTA JABAR Secara operasional, Saka Kencana memang memfokuskan pengabdiannya pada pembentukan karakter bangsa melalui pembinaan remaja. Hal ini sejalan dengan cita-cita BKKBN agar remaja kita pada masa yang akan datang mampu menjadi Generasi Berencana, seperti yang tertuang dalam tema kegiatan ini “Pramuka Pelopor Generasi Berencana yang Berkarakter”. Generasi yang memiliki perencanaan yang matang, memilki kemampuan untuk memilih keputusan yang arif dan bijak, untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, keluarganya dan bangsanya.
Pentaloka Saka Kencana 2017
Dengan begitu, Saka Kencana dapat semakin berkibar dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Surya menjelaskan, kehadiran Saka Kencana dalam meramaikan kancah satuan karya Pramuka sebagai wadah pembinaan bagi kaum muda dalam membangun karakter bangsa, adalah merupakan tanggung jawab dan sebagai hal mendasar yang patut untuk disikapi dan diperjuangkan. “Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Pentaloka ini, saya sangat menghargai ketulusan para peserta dari Kwartir Daerah, Dewan Kerja Daerah, dan Pramuka Pandega yang dalam berbagai tugas dan kesibukannya, namun masih tetap dapat menyempatkan diri untuk menghadiri kegiatan ini,” imbuhnya.
“Gerakan Pramuka patut kita acungi jempol, betapa tidak, dialah satu-satunya organisasi pendidikan nonformal yang masih eksis dan tidak pernah lapuk oleh hujan dan panas, untuk memperjuangkan dan menanamkan nilai-nilai keikhlasan kedalam dada dan sanubari anak bangsa,” seru Surya. Dalam program Generasi Berencana (GenRe) BKKBN telah menerapkan pengakuan diri ini kedalam berbagai kegiatan yang ramah remaja, salah satu diantaranya adalah remaja GenRe yang sehat, cerdas, ceria. Hal ini menjadi kunci pokok bagi remaja untuk dapat bersinergi dan memposisikan Pramuka sebagai rumah besar bagi anak kaum muda (SCOUT FOR CHANGE) “Demi perubahan yang lebih baik dan berkualitas”
Karena remaja adalah harapan bangsa, maka tanggung jawab kita semua untuk dapat mengambil peran, tak terkecuali bagi kakak Pamong, pembina dan pengurus Saka Kencana yang di hadir disini, sekali lagi saya berpesan untuk terus semangat bekerja dengan penuh ketulusan seperti yang terpatri dalam dasa Darma yang kesepuluh yakni, “suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan”, ujar Surya. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 2035, jumlah remaja umur 10-24 tahun, jumlahnya sekitar 67 juta jiwa. Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual. Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Surya selalu meyakini bahwa jika saja kaum muda kita memahami hakikat penduduk sebagai sentral pembangunan. “Maka laju pertumbuhan penduduk (NJP)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
27
WARTA JABAR
Trend MOP Jabar Meningkat Saatnya Pria Berkontrasepsi
S
ecara nasional kesertaan pria sebagai peserta KB hanya dua persen dari semua peserta KB, di mana kontribusi peserta KB MOP (Medis Operasi Pria/vasektomi) hanya 0,2 persen saja. Meski demikian, trend permintaan pelayanan MOP pada tahun ini diperkirakan akan meningkat. Di Jawa Barat saja perkiraan permintaan masyarakat (PPM) pada tahun 2017 sebesar 1.395 peserta KB baru MOP, jauh lebih
28
banyak dari pada pencapaian tahun lalu sebanyak 876 akseptor MOP. Meski trend peningkatan MOP ini positif bagi perkembangan program KB, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sugilar mengingatkan agar pemberian pelayanan MOP harus memenuhi syarat sesuai dengan prosedur yang ditetapkan untuk mengantisipasi kasus-kasus yang tidak diinginkan, baik medis
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
maupun non medis. Hal ini disampaikannya saat membuka Pertemuan Peningkatan Kualitas Penggerakan KB Pria di Hotel Hemangini, Bandung, beberapa waktu lalu. “Dalam memberikan KIE kepada akseptor, tolong diyakini benar bahwa yang diajak MOP adalah mereka-mereka yang sudah mantap dengan keputusannya” ujar Gilar menekankan kepada peserta pertemuan yang diikuti para Motivator KB Pria dari 27
WARTA JABAR tanpa ada paksaan, dan telah mendapat konseling, serta menandatangani informed consent. Untuk itu para motivator dan petugas terkait harus mengidentifikasi calon akseptornya, apakah sudah memenuhi kriteria yang disyarakat seperti jumlah dan usia anak apakah sudah ideal, kondisi kesehatan fisik dan jamani, termasuk pihak istri yang harus dipastikan masih berusia subur. Sebaliknya dari perspektif petugas di lapangan, Sugilar juga mengingatkan agar KIE yang disampaikan harus benarbenar terbuka. “Akseptor harus mendapatkan informasi yang tidak menyesatkan” tandasnya mengingatkan. “Biasanya calon akseptor banyak yang bertanya tentang kemungkinan disambung kembali/rekanalisasi” lanjut Gilar.
Pelayanan MOP
Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Gilar menerangkan bahwa MOP adalah metode kontrasepsi mantap, sehingga peserta MOP harus menyadari sepenuhnya keputusan yang diambilnya. BKKBN sendiri telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai peserta MOP, antara lain bahwa calon peserta memang sudah tidak ingin punya anak lagi, mendapat persetujuan keluarga/istri, secara sukarela
Menanggapi kemungkinan direkanalisasi, Sugilar mengatakan bahwa perkembangan ilmu kedokteran memang memungkinkan untuk dilakukannya rekanalisasi, namun BKKBN maupun BPJS tidak memprogramkannya, sehingga bila ada akseptor yang ingin melakukan rekanalisasi biayanya sepenuhnya ditanggung sendiri. Selain itu pekerjaan rekanalisasi tidak semudah sebagaimana metode kontrasepsi IUD atau implan yang sewaktu-waktu bisa dilepas kembali. Terkait dengan rekanalisasi pada metode MOP, spesialis urologi dari RS Hasan Sadikin Bandung, dr. Ricky Adriansjah, Spu saat ditemui di tempat yang sama mengatakan
bahwa teknologi kedokteran saat ini memungkinkan untuk penyambungan kembali (rekanalisasi) vas deferens. Hanya saja biayanya cukup mahal, karena vas deferens sangat kecil (sebesar karet gelang), sehingga harus menggunakan teknik micro surgery. Karenanya Ricky menyarankan bila ada peserta MOP yang kemudian berkeinginan untuk punya anak lagi, sebaiknya memilih metode bayi tabung saja. “Selain tingkat keberhasilannya lebih besar, biayanya juga relatif sama” sarannya.
Saatnya KB Pria Berkontrasepsi Kabar gembira untuk pria dan pasangan rumah tangga. Vasektomi kini ada bentuk gelnya. Nama produknya Vasalgel, didesain untuk menjadi kontrasepsi alternatif berbentuk gel yang disuntik ke saluran sekaligus tempat sperma (vas diferens) tanpa operasi minor. Prosedur ini bertujuan untuk mencegah ejakulasi sekaligus menggagalkan pembuahan (fertilisasi) pada rahim pasangan perempuan. Prosedur ini agak berbeda dengan vasektomi konvensional. Sebagaimana prosedur di situs kesehatan WebMD, mulanya testikel dan kantong zakar dibersihkan dengan antiseptik dan pasien diberi obat penenang. Saat posisi saluran sperma dekat skrotum ketemu dan dibius, dokter membuat sobekan kecil di area tersebut. Saluran sperma dikeluarkan, dipotong, dan kedua ujungnya diikat, dijahit, atau disegel. Saluran ini akhirnya dimasukkan kembali dan bekas
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
29
WARTA JABAR sobekannya dijahit. Prosedur ini berlangsung antara 2030 menit. Sebelum Vasagel ditemukan, prosedur vasektomi alternatif ada yang dilakukan tanpa menggunakan pisau. Pisau operasi sebagaimana yang dipakai dalam vasektomi konvensional digantikan dengan penjepit kecil berujung runcing yang ditusukkan secara hati-hati ke kulit skrotum. Sementara vasektomi implan vasklip menggunakan vasklip yang dipakai ntuk menjepit saluran sperma pada kedua sisi saluran sperma yang terpotong.
dari populasi pejantannya hidup berdampingan dengan yang betina selama dua tahun. Hasilnya, Vasalgel sukses mencegah kehamilan para subjek penelitian. Tak ada kehamilan diantara monyet betina. VandeVoort mengklaim keberhasilannya mencapai 100 persen.
Catherine VandeVoort dari California National Primate Research Centre adalah kepala penelitian yang melahirkan Vasalgel. Dalam publikasinya di Jurnal Basic and Clinical Andrology diketahui bahwa riset VandeVoort dan kawan-kawan bersubjek penelitian 16 monyet rhesus jantan yang diberi injeksi gel pada pangkal saluran spermanya dan kemudian dikembalikan ke grupnya, yang juga terdiri dari kurang lebih sembilan monyet rhesus betina.
Kabar gembira lainnya, monyetmonyet pejantan dalam riset yang dibiayai oleh Persemus Foundations tersebut tak mengalami efek samping baik seperti peradangan atau gejala lainnya.
Monyet-monyet itu diawasi sekurang-kurangnya satu musim kawin dan sekitar setengah
Mengingat jumlah sperma monyet lebih banyak daripada manusia, VandeVoort optimis jika tingkat keberhasilan ini akan dicapai juga saat Vasalgel dipakai oleh laki-laki.
Peneliti lain, Angela CloagrossSchouten, berkata kepada The Guardian betapa bekerjanya Vasalgel pada semua subjek penelitian meski ini adalah penelitian pertama mereka. Vasalgel memang bersifat permanen, namun bukan tak mungkin jika ingin dihilangkan dan membuat si penggunanya kembali normal. VandeVoort
berkata dalam tes sebelumnya yang diujicobakan pada hewan yang lebih kecil menunjukkan bahwa pemasangan Vasalgel bisa dinonaktifkan dengan cara dibilas keluar dari saluran sperma dengan menggunakan larutan natrium bikarbonat sederhana. Kepada The Gaurdian VandeVoort berkata, “Pilihan untuk kontrasepsi bagi pria tidak mengalami kemajuan dalam beberapa dekade terakhir. Ada vasektomi, yang sayangnya bersifat permanen (selamanya tak dapat membuahi pasangan), dan juga kondom. Jika para pria itu tahu ada alternatif lain yang tak permanen, saya pikir itu menarik untuk mereka.” VandeVoort memiliki keyakinan serupa dengan ahli kesehatan kandungan lain bahwa kehamilan bukan tanggung jawab si perempuan saja, namun juga laki-laki. Namun kondisi yang terjadi selama ini tak menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pertama, masih beredarnya pandangan bahwa perempuan lah yang mesti memakai kontrasepsi, jadi si perempuanlah yang mesti menanggung efek sampingnya. Namun laki-laki juga tak bisa sepenuhnya disalahkan sebab pilihan metode kontrasepsinya lebih sedikit dari perempuan. Secara global kebanyakan laki-laki akan angkat tangan untuk urusan kontrasepsi alias menyerahkannya pada pihak perempuan. Kurang lebih 60 persen perempuan dalam hubungan rumah tangga menggunakan kontrasepsi pil dan beberapa metode kontrasepsi modern lain pada tahun 2015 menurut data PBB. Bahkan 8 persen diantaranya
30
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
WARTA JABAR hanya mengandalkan pasangan laki-lakinya untuk menggunakan kondom. Kehadiran produk seperti Vasalgel bisa menjadi jawaban bagi pasangan di negara berkembang, terutama 225 juta perempuan yang ingin menunda atau menghentikan kesuburannya namun kesulitan mengakses alat kontrasepsi. Alternatif metode kontrasepsi yang banyak dan sesuai kebutuhan akan membantu mengurangi angka aborsi terutama aborsi yang tak aman. Dengan mencegah kehamilan yang tak diinginkan, penggunaan kontrasepsi dalam program keluarga berencana juga mencegah kematian ibu dan anak. Selain Visalgel, penemuan serupa juga lahir di India. Penemunya adalah Sujoy Guha, insinyur berusia 76 tahun yang menciptakan produk yang nama sementaranya Reversible Inhibition of Sperm Under Gudance atau RISUG, demikian laporan Bloomberg. Metode RISUG hampir sama dengan Vasalgel yakni dengan mengandalkan gel. Gel RISUG adalah kombinasi Styrene maleic anhydride dan dimetil sulfoksda yang membentuk gel polimer bermuatan positif. Gel disuntikkan ke vas diferens atau saluran sperma dan menempel di dalam dinding saluran. Saat sperma melewatinya, akan terjadi semacam reaksi kimia dimana sperma menjadi netral dan tak bisa dipakai untuk membuahi lagi. Prosedur ini memiliki tingkat keberhasilan hingga 98 persen, sama dengan tingkat keberhasilan pemakaian kondom. Metode ini efektif bagi pasangan yang tak ingin lagi
punya anak dan merasakan perbedaan yang mengganggu dengan pemakaian kondom. Kelebihan lainnya metode ini juga tak memiliki efek samping yang berbahaya.
juga jika belum ada perusahaan besar yang melirik usaha ini karena keuntungan besar itu juga otomatis akan memotong keuntungan penjualan kondom tahunan sebesar $3,2 miliar.
Kurang lebih ada 540 pria India telah menggunakannya dan telah terbukti mampu menjaga pasangannya tak hamil selama 13 tahun sejak pemakaian RISUG pertama kali. Dua penemuan penting ini memang kabar yang menggembirakan, namun kedua kelompok peneliti kini sedang terkendala oleh hal mendasar: perusahaan obat dan laboratorium besar (skala global) belum melirik keduanya untuk memproses gelnya secara massal.
Fenomena ini juga berhubungan dengan siapa yang berada di balik perusahaan-perusahaan bioteknologi, obat, juga laboratorium besar dunia. Herjan Coeling Bennink, profesor ginekologi yang pernah menjabat sebagai kepala departemen kesehatan perempuan untuk perusahaan farmasi Organon Internasional tahun 1987-200 berkata pada Bloomberg bahwa faktanya perusahaan-perusahaan besar dijalankan oleh pria kulit putih paruh baya yang juga enggan berkontrasepsi, sehingga wajar tak melirik dua riset penting itu.
Metode baru pengendalian kelahiran khusus kaum ada tersebut memiliki potensi bisnis yang besar. Secara global, mereka bisa meraup untung hingga $10 miliar dari pangsa pasar kontrasepsi perempuan. Barangkali bukan kebetulan
“Jika perusahaan-perusahaan itu dijalankan oleh perempuan, kondisinya sekarang akan benarbenar berbeda.” ujarnya.(HK/ DILENGKAPI DARI TIRTO.ID)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
31
WARTA JABAR
Ada 3 Tipe Orang Tua Dalam Mengasuh Anak, Anda Termasuk yang Mana?
Netty Heryawan
N
etty Prasetiyani Hermawan, pakar pengasuhan anak dan ketahanan keluarga, yang juga sebagai Ketua TP-PKK Jawa Barat membeberkan fakta tentang tiga jenis orang tua dalam hal pengasuhan anak dewasa ini. Hal ini disampaikannya saat memberikan kuliah ketahanan keluarga bagi kader dan pengurus PKK Kabupaten/Kota se-Jawa Barat di Bandung barubaru ini. Anda termasuk yang mana?
1. Tipe Orang Tua Nyasar Orangtua jenis ini ingin anakanaknya menjadi soleh, baik dan berhasil, tetapi pengetahuan yang dimilikinya
32
Setiap orangtua menginginkan buah hatinya menjadi orang-orang yang soleh, berprestasi dan sukses menjalani masa depannya. Namun di saat yang sama, banyak orangtua yang tidak memahami cara pengasuhan yang baik kepada anak-anak mereka. tidak berbanding lurus dengan pengetahuan yang dibutuhkan untuk membimbing anakanaknya. Mereka juga kurang peduli dalam mengikuti proses tumbuh kembang anak-anaknya, dan sering membiarkan anakanak akrab dengan televisi, gawai (gadget) ataupun games tanpa kontrol orang tua. Padahal tidak semua tontonan di televisi layak ditonton anak, demikian pula dengan paparan informasi dari media online ataupun games, termasuk ancaman pornografi. “Setiap minggu sebanyak 4000 situs pornografi baru muncul meskipun upaya pemblokiran terus dilakukan pemerintah” tutur Netty.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
Keluarga Jawa Barat
Tipikal orang tua jenis ini umumnya sumber informasi yang didapatnya juga bersumber dari tayangan-tayangan televisi seperti sinetron, gossip dan hiburan lainnya yang tidak edukatif.
2. Tipe Orang Tua Bayar Orangtua jenis ini selalu mengandalkan pihak ketiga untuk urusan pendidikan, pengasuhan anak-anaknya. Semisal untuk urusan kesolehan dan kecerdasan anak, mereka serahkan kepada guru mengaji atau guru sekolahnya meski harus membayar sangat mahal. Padahal tanggungjawab pendidikan, pengasuhan, perlindungan dan pembentukan karakter anak sejatinya yang
WARTA JABAR
pertama dan utama ada pada orangtua. Tipikal orangtua seperti ini biasanya orangtua yang sibuk dengan urusan pekerjaannya, sehingga tidak punya banyak waktu berkumpul dan bercengkerama bersama anakanaknya.
3. Tipe Orangtua Sadar Orangtua sadar adalah tipe orangtua yang mau belajar, yang menyadari bahwa dirinya bukan manusia sempurna, sehingga perlu belajar bagaimana mengasuh anak yang baik. Orangtua sadar menyadari bahwa ada kebutuhan yang harus dipenuhi terhadap anak-anaknya, tidak semata
kebutuhan fisik semata, tetapi juga menyangkut pemenuhan kebutuhan kecerdasan, spritual dan pembangunan karakter anak. Setiap anak memiliki sifat yang berbeda-beda, sehingga perlakuan dalam pengasuhannya juga berbeda. Inilah mengapa orang tua harus mau belajar. “Anak pertama dengan anak kedua saja sudah beda sifatnya, bagaimana mau membandingkannya dengan anak orang?” tutur Netty. Orangtua sadar dalam prakteknya mampu membangun komunikasi yang komunikatif, dialogis dan harmonis terhadap anaknya, contohnya dengan menyampaikan pesan-pesan
motivasi dan perhatian disaat anak menjelang tidur atau sebelum pergi sekolah. Menurut Netty kesadaran orangtua dalam pengasuhan anak adalah langkah awal membangun ketahanan keluarga. “Ketahanan keluarga hanya akan lahir dari orangtua yang memiliki kesadaran bahwa ia punya tugas dan tanggung jawab besar untuk menjaga, mengasuh, mendidik dan melindungi anakanaknya dari berbagai unsur yang sekarang ini ada disekitar kita, termasuk yang kita hadirkan secara sengaja seperti TV dan gawai” tutup Netty. Lalu bagaimana dengan anda? Apakah anda termasuk orangtua sadar? (HK)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
33
WARTA JABAR
Pekerja perempuan
Bonus Demografi Tiba, Pasar Kerja Milik Perempuan
B
onus demografi yang kini mulai dimasuki Indonesia tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi akibat melimpahnya tenaga kerja. Bonus demografi juga menjanjikan peluang karir yang lebih terbuka bagi kaum perempuan. Hal ini disampaikan Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Wendy Hartanto saat memberikan kuliah umum di kampus Universitas Islam Negeri Sunang Gunung Djati (UIN SGD) belum lama ini. Menurut Wendy, hal ini terjadi karena penurunan fertilitas dan makin meningkatnya keluarga kecil akan memotivasi lebih banyak perempuan untuk masuk
34
ke pasar kerja. “Trend keluarga kecil mengakibatkan masa melahirkan dan merawat anak bagi perempuan menjadi lebih pendek sehingga punya waktu dan kesempatan lebih banyak untuk menjadi produktif.” Dalam penjelasan tersebut, menurutnya, makin meningkatnya partisipasi perempuan dalam pasar kerja, maka pada gilirannya akan membuka peluang lebih luas bagi perempuan untuk sukses dalam berkarir, yang pada akhirnya mendorong meningkatnya produktivitas nasional. Namun demikian, Wendy juga mengemukakan bahwa Indonesia masih dihadapkan sejumlah
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
tantangan dalam pemanfaatan bonus demografi. Menurutnya sebagian besar bonus demografi terdiri dari penduduk dengan pendidikan rendah, yang sebagian besarnya juga diisi kaum perempuan. Dalam posisi ini, biasanya kaum perempuan akan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja. “Jadi perlu dicegah agar anak muda tidak berakhir sebagai ibu rumah tangga saja atau ikut suami.” Oleh karena itu, ia melanjutkan perlu intervensi agar penduduk usia muda 25-35 tahun dengan pendidikan sampai tingkat SMP dan SMA perlu dipersiapkan, utamanya remaja perempuan, baik yang sudah menikah atau lajang. Persiapan itu menyangkut
WARTA JABAR pemberian keterampilan agar semua yang telah mengikuti pendidikan tetap berada pada posisi angkatan kerja dan bekerja atau melakukan kegiatan usaha.
demografi puncaknya pada tahun 2028-2030, di mana 100 orang produktif menanggung 44 orang non produktif,” kata Kepala BPS Suryamin seperti dikutip tirto.id.
Hal lainnya lanjut Wendy yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas kesehatan perempuan. Hal ini karena bonus demografi menghasilkan perempuan muda yang subur yang segera bisa menikah dan mempunyai anak. “Perhatian perlu diberikan untuk pelayanan kesehatan dan KB bagi perempuan muda dan subur agar tidak menghalangi mereka untuk produktif,” tandasnya.
Peta penduduk Indonesia saat ini bisa dilihat dari data “Proyeksi Penduduk Indonesia” yang disusun Bappenas dan BPS. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk pada tahun 2015 tercatat 255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk usia di bawah 15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4 persen) dan penduduk yang berumur 65 tahun ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4 persen). Total usia tak produktif ini sebanyak 32,8 persen. Sedangkan penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3 persen).
Pedang Bermata Dua Ihwal bonus demografi ini, Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesmepatan mengungkapkan memiliki dua mata sisi. Menjadi kabar baik, tapi sekaligus bisa menjadi kabar buruk. Melimpahnya usia produktif bisa menjadi kabar baik karena akan membantu menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kabar buruknya, jumlah usia yang produktif itu juga berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan segudang permasalahannya. Ini jika pemerintah tidak bisa mempersiapkannya dengan baik.
Begitu memasuki tahun 2020, persentasenya akan berubah dengan jumlah penduduk produktif 70 persen dan tak produktif 30 persen. Persentase akan semakin ideal begitu memasuki masa puncak antara tahun 2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itulah, bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.
“Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik,” kata Presiden Jokowi pada memperingati Hari Keluarga Nasional tahun lalu. Berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS), bonus demografi akan terjadi antara tahun 2020 hingga 2030. “Bonus
Lalu apa yang dimaksud Suryamin dengan 100 orang produktif menanggung 44 orang tak produktif? Terkait dengan analisa seputar bonus demografi, tak boleh diabaikan apa yang disebut dengan rasio ketergantungan (dependency ratio) atau perbandingan antara penduduk usia tak produktif dengan penduduk usia produktif. Nah, pada masa puncak bonus demografi, rasio ketergantungan diprediksi mencapai titik terendah yakni 44 orang tak produktif ditanggung oleh 100 orang usia produktif atau 44 persen. Sebenarnya, angka rasio ketergantungan nasional terus menurun dan telah melewati ambang 50 persen pada tahun 2012. Persentase terbaik rasio ketergantungan di saat puncak bonus demografi memunculkan sebagai windows of opportunity. Menurut Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia, windows of opportunity merupakan puncak produktivitas, karena 44 anak atau lansia bakal ditanggung 100 pekerja. “Artinya, sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk menanggung satu orang,” kata Profesor Tuning, panggilan akrabnya, seperti dikutip tirto.id.
Kita Belum Siap
Wendy Hartanto
Jumlah penduduk usia produktif hingga 70 persen pada saat puncak bonus demografi memang sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Tingginya jumlah usia produktif tentu saja bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sepertiga dari pertumbuhan
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
35
WARTA JABAR ekonomi itu disumbang oleh bonus demografi,” kata Razali Ritonga, mantan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, seperti dilansir dalam bps.go.id. Indonesia bahkan berpotensi mendapatkan keuntungan berupa naiknya produk domestik bruto (PDB). Hal itu sudah dirasakan oleh Korea Selatan dan Singapura yang sukses memanfaatkan bonus demografinya. Berdasaran data United Nation Population Prospect, pada tahun 1960-2000, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Korea Selatan mencapai 13,2 persen dan pertumbuhan PDB mencapai 7,3 persen per tahun. Sedangkan Singapura, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 13,6 persen, serta pertumbuhan PDB mencapai 8,2 persen per tahun. Namun, keuntungan bonus demografi itu bisa diperoleh dengan catatan sudah ada persiapan lapangan kerja, pendidikan yang layak, serta pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai. Jika hal-hal itu tidak tersedia, akan muncul setumpuk persoalan. Sebut saja tingkat pengangguran yang tinggi, meningkatnya angka kriminalitas, serta meletusnya konflik sosial. Kini, pertanyaan paling pentingnya, sudah siapkah Indonesia menghadapi bonus demografi? Menurut Profesor Tuning, pemerintah tampaknya baru sadar bahwa windows of opportunity sudah di depan mata. “Pemerintah baru sadar. Kesadaran itu karena ada yang mengingatkan, seperti
36
saat pengukuhan saya sebagai profesor soal bonus demografi. Jika tidak, mana ada (peduli),” katanya. Tuning kemudian menunjukkan fakta, di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 20052025, hanya menyebut satu paragraf soal demografi. Hal itu mengindikasikan pemerintah tak memikirkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi puncak bonus demografi. Barulah pada era Presiden Joko Widodo, pemerintah memasukkan bonus demografi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20152019. Termasuk menjabarkan kerangka pelaksanaannya. Hal itu dibenarkan pihak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Iya, baru disiapkan pada 2014. Sebelumnya proyeksi saja. Tidak ada terjemahannya mau buat apa (instansi terkait),” kata Ismet M Suhut, Humas Bappenas kepada tirto.id. Sejatinya, menurut Tuning, ada enam elemen yang harus disiapkan dan disinergikan agar Indonesia siap ketika memasuki masa windows of opportunity. Pertama, mencermati perubahan struktur penduduk. Kedua, menjaga kesehatan ibu dan anak, sejak ibu mengandung hingga anak berusia sekitar dua tahun. Ketiga, investasi di bidang pendidikan dengan keahlian dan kompetensi, guna meningkatkan kualitas tenaga kerja. Keempat, kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Kelima, good governance serta prosedur investasi
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
yang sederhana. Terakhir, pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada tingkat konsumsi. “Enam elemen ini harus bersinergi secara bersama-sama. Sebenarnya, elemen ini seperti roda yang saling berhubungan. Mereka harus bergerak secara bersama. Jika salah satu roda macet, maka yang lain juga macet,” katanya. Sekarang mari kita lihat faktanya di bidang pendidikan. Pada tahun 2014, para pekerja di negeri ini ternyata persentase paling besar merupakan lulusan sekolah dasar yakni 47,1 persen. Diikuti lulusan SMA dan SMK sebanyak 25,4 persen, SMP sebesar 17,7 persen, serta diploma 2,6 persen. Sementara sarjana sebanyak 7,2 persen. “Saat ini, jumlah orang muda begitu banyak, tapi kebanyakan lulusan sekolah dasar dan bekerja di sektor informal,” kata Tuning. Dalam hal jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana, Indonesia ternyata sangat jauh tertinggal dibading negeri jiran dan bahkan Korsel. Sebanyak 75 persen penduduk Malaysia berpendidikan sarjana, sedangkan Korsel hampir 90 persen. Adapun Indonesia, baru menargetkan memiliki 75 persen penduduk berpendidikan sarjana pada tahun 2051. Padahal menurut Direktur Eksekutif The United Nations Population Fund (UNFPA) Babatunde Osotimehin, kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan puncak bonus demografi. “Indonesia butuh investasi di edukasi formal dan vokasional, serta kesehatan,” katanya. (HK/DILENGKAPI DARI BERBAGAI SUMBER )
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA
Pencanangan Pendataan Keluarga 2015
Potret Jawa Barat dalam Pendataan Keluarga 2015 Jawa Barat telah menuntaskan seluruh rangkaian Pendataan Keluarga (PK) 2015. Hasil PK 2015 tersebut cukup mencitrakan bagaimana wajah Jawa Barat dari berbagai variabel, mulai profil warga hingga kesejahteraan keluarga. Bagaimana hasilnya? Warta Kencana mencoba menampilkannya dalam sebuah narasi di bawah ini. Selamat membaca!
D
ari seluruh rangkaian Pendataan Keluarga 2015 (PK 2015) terdapat sejumlah masalah yang muncul selama proses berlangsung. Masalah-masalah tersebut antara lain: 1) Beberapa Kabupaten/Kota yang terkendala jaringan dalam proses unggah data; 2) Beberapa Kabupaten/Kota yang mengalami kendala unggah karena terdapat duplikasi nomor kendali; 3) Kabupaten/Kota yang menggunakan scanner mengalami permasalahan dalam jumlah data valid dan belum valid, cleansing data belum valid akan dilakukan setelah proses pengolahan ditutup; 4) Beberapa Kabupaten/Kota masih melakukan pengumpulan data yang masih berada di lapangan (kondisi geografis sulit).
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
37
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA
Cakupan Laporan
Kepala Keluarga
PK 2015 di Jawa Barat berlangsung di seluruh wilayah yang terbagi ke dalam 27 kabupaten dan kota, 626 kecamatan, 5.933 desa atau kelurahan, 52.313 dusun atau rukun warga (RW), dan 202.238 rukun tetangga (RT). Melihat jumlah tersebut tampak bahwa seluruh kecamatan melaksanakan pendataan. Sementara di tingkat desa atau kelurahan, pendataan hanya berhasil dilakukan di 99,6 persen wilasah. Persentase ini terus menurun menjadi 96,3 persen di tingkat dusun atau RW dan hanya 85 persen di tingkat RT.
Hasil PK 2015 menunjukkan pada saat dilakukan pendataan terdapat 11.763.833 keluarga di Jawa Barat. Dilihat dari status perkawinannya, 9.607.520 keluarga atau 82 persen di antara memiliki status kawin. Sisanya terdiri atas 2.040.111 kepala keluarga atau 17 persen berstatus duda atau janda dan 116.202 kepala keluarga atau 1 persen lainnya tercatat belum kawin. Dilihat dari jenis kelaminnya, kepala keluarga Jawa Barat terdiri atas 10.278.289 atau 87 persen laki-laki dan 1.485.544 atau 13 persen perempuan.
Namun demikian, persentase keluarga yang berhasil di rupanya lebih tinggi dari cakupan RT. Dari 12.671.255 keluarga yang ada di Jawa Barat, 11.763.833 keluarga atau 92,8 persen di antaranya berhasil didata. Hal ini bisa dipahami mengingat jumlah keluarga tidak merata di setiap RT. Sebagai contoh, Kabupaten Bogor tercatat memiliki 16.562 RT, dengan 15.308 di antaranya berhasil didata, memiliki 1.271.032 keluarga. Sementara Kabupaten Tasikmalaya memiliki 21.726 RT, dengan 18.728 berhasil didata, hanya memiliki 504.479 RT.
Adanya 1 persen kepala keluarga berstatus belum menikah cukup menarik. Keberadaannya bisa menjadi pertanyaan bagi sebagian kalangan yang belum memahami proses PK 2015. Namun demikian, hal ini bisa dimengerti bila melihat definisi keluarga dalam PK 2015. Dalam Petunjuk Teknis PK 2015 dijelaskan sebagai berikut: (d) Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Di luar definisi di atas dianggap sebagai keluarga khusus; (e) Keluarga khusus adalah keluarga yang tidak memenuhi definisi keluarga, namun memiliki hubungan keluarga sesama anggotanya, misalnya kakak dan adik tanpa orang tua, seorang kakek/nenek dan cucunya, atau seorang diri (sebatang kara); (f) Kepala keluarga adalah laki laki atau perempuan yang berstatus kawin, atau janda, atau duda, atau tidak kawin, yang mengepalai suatu keluarga yang anggotanya terdiri dari istri/suaminya dan atau anak-anaknya. Dengan demikian, seseorang yang belum kawin bisa berperan sebagai kepala keluarga.
Lebih jauh lagi, tercatat hanya Kota Cimahi (314 RW) dan Kota Banjar (297 RW) yang berhasil menuntaskan pendataan di seluruh dusun atau RW. Di sisi lain, Kota Bekasi yang tercatat memiliki 1.879 RW hanya berhasil menuntaskan pendataan di 1.509 RW atau 80,31 persen, terendah untuk cakupan tingkat RW atau dusun. Kota Banjar juga mencatat sebagai daerah dengan cakupan tertinggi di tingkat RT, sebanyak 1.132 RT atau 99,47 persen. Sebaliknya, Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan cakupan tingkat RT terendah, 5.687 RT dari 10.122 RT yang tercatat atau hanya 56,18 persen.
Pelaksanaan pendataan keluarga
38
Dilihat dari pekerjaannya, lebih dari seperempat kepala keluarga berstatus pensiunan, 3.011.625 KK atau 26 persen dari total 11.763.833 KK. Pekerjaan dominan lainnya adalah pegawai swasta (18 persen), PNS/TNI/Polri (17 persen), petani (12 persen), dan pekerja lepas (11 persen). Pekerjaan lain di luar itu tercatat kurang dari 10 persen. Sebagai daerah agraris, populasi petani yang hanya 12 persen termasuk menarik. Demikian pula pekerjaan nelayan yang tidak sampai 1 persen. Padahal, Jawa Barat memiliki garis pantai cukup panjang. Usia kepala keluarga Jawa Barat, baik laki-laki maupun perempuan, didominasi kalangan usia 1549 tahun, mencapai 60 persen. Sisanya: 27% berusia 50-64 tahun dan 13% di atas 64 tahun. Proporsi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar KK di Jawa Barat berada pada usia produktif yang menjadi
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA modal bagi diraihnya bonus demografi. Sayangnya, usia emas tersebut tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan. Tercatat lebih dari setengah KK atau 54,14 persen di antaranya merupakan lulusan SD atau bahkan tidak lulus SD sama sekali. Bila digabungkan dengan lulusan SMP sebanyak 15,82 persen, maka bisa dikatakan bahwa 70 persen KK di Jawa Barat merupakan lulusan pendidikan dasar. Dan, hanya 7,11 persen mereka yang lulus atau sedang menempuh pendidikan tinggi.
Anggota Keluarga Berdasarkan hasil PK 2015, pada saat dilakukan pendataan, jumlah penduduk Jawa Barat berjumlah 40.072.826 orang. Terdiri atas 20.516.473 orang atau 51 persen laki-laki dan 19.556.353 orang atau 48,80 persen perempuan. Dari angka tersebut dapat dibaca bahwa sex ratio Jawa Barat berdasarkan PK 2015 adalah 105. Artinya, dalam setiap 100 penduduk perempuan terdapat 105 penduduk lakilaki. Tingkat pendidikan warga Jawa Barat berdasarkan hasil PK 2015 masih didominasi lulusan SD atau sederajat, sebanyak 11.715.379 jiwa atau sekitar 30 persen dari total 40.072.826 jiwa. Ini belum termasuk 4.292.943 orang yang masih atau sedang menempuh pendidikan SD atau sekitar 11 persen dari total penduduk. Di samping itu, masih terdapat sekitar 4 persen warga Jawa Barat yang tidak menamatkan SD. Angka ini sama dengan mereka yang sudah menamatkan pendidikan tinggi dan lebih dari tinggi dari mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi sebesar 1 persen. Jumlah lulusan SMP atau sederajat berada pada angka 5.343.047 atau 13 persen dari total populasi. Lulusan SMA dan sederajat lebih tinggi lagi, sebanyak 6.637.883 atau 17 persen. Bila lulusan SD dan SMP digabung, dapat dibaca lebih dari setengah warga Jawa Barat merupakan lulusan SD atau bahkan tidak lulus pendidikan dasar dan tidak bersekolah sama sekali. Anga mereka yang tidak bersekolah terbilang tinggi, 4.835.957 orang atau 12 persen dari total populasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari 100 orang warga Jawa Barat terdapat 12 orang yang tidak bersekolah. Atau, satu sampai dua orang dari 10 penduduk Jawa Barat tidak bersekolah. Di bagian lain, terdapat 22.957.298 penduduk Jawa Barat masuk dalam kategori usia 7-15 tahun atau usia sekolah untuk jenjang SD dan SMP. Dari jumlah tersebut, 21.411.668 jiwa atau 93,27 persen di
antaranya tercatat bersekolah. Sementara sisanya sebanyak 1.545.630 orang atau 6,73 persen tidak bersekolah. Perbandingan usia sekolah terbilang merata untuk laki-laki dan perempuan. Tercatat 11.169.269 orang atau 52,16 persen yang bersekolah adalah laki-laki. Sisanya sebanyak 10.242.399 atau 48,60 persen adalah perempuan. Proporsi laki-laki dan perempuan yang tidak sekolah juga relatif sebanding dengan mereka yang sekolah, masingmasing 53,67 persen laki-laki dan 46,72 persen untuk perempuan. Pada jenjang berikutnya, usia sekolah 16-18 tahun atau usia SMA, proporsi antara laki-laki dan perempuan relatif konstan. Tercatat 6.938.209 atau 98,60 persen dari 7.036.610 warga Jawa Barat pada rentang usia 16-18 tahun, 3.609.211 orang atau 52 persen di antaranya merupakan laki-laki. Sementara perempuan tercatat 3.328.998 orang atau 46,03 persen. Data ini menunjukkan bahwa kesempatan antara laki-laki dan perempuan untuk mengakses pendidikan relatif setara. Laki-laki maupun perempuan mendapat hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Sebaran pekerjaan keluarga Jawa Barat berdasarkan hasil PK 2015 tampak didominasi oleh mereka yang tidak atau belum bekerja. Dari 40.072.826 jiwa dalam keluarga di Jawa Barat, 20.660.939 jiwa atau sekitar 52 persen di antaranya tidak atau belum bekerja. Proposi ini menarik karena hampir 69,16 persen penduduk Jawa Barat hasil PK 2015 berada pada usia produktif (15-64 tahun). Dibandingkan dengan usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65+ tahun) sebanyak 12.357.639 jiwa, maka rasio ketergantungan (dependency ratio) penduduk Jawa Barat berada pada kisaran angka 44,59 persen yang berarti memiliki ketergantungan cukup rendah. Dari delapan pekerjaan utama dalam PK 2015, 4.930.084 jiwa atau 12 persen warga Jawa Barat tercatat sebagai pekerja lepas. Berikutnya pada angka 10 persen adalah pensiunan, kemudian 9 persen aparatur sipil negara (ASN) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri), dan 7 persen pegawai swasta. Sementara mereka yang bekerja sebagai petani hanya 5 persen dan 0,17 persen nelayan. Adapun yang bekerja sebagai wiraswasta hanya berkisar pada angka 1 persen. Tercatat tidak ada satu pun keluarga yang memilih kategori “lainnya” yang disediakan dalam formulir F/I/PK/2015.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
39
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA
Kesertaan JKN Kesertaan keluarga Jawa Barat dalam progam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih kalah jumlah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi peserta JKN. Dari 40.072.826 jiwa di Jawa Barat berdasarkan hasil PK 2015, tercatat 15.433.634 jiwa di antaranya memiliki JKN. Dari jumlah tersebut, 8.454.944 di antaranya merupakan penerima bantuan iuran (PBI) alias warga miskin. Adapun non-PBI berjumlah 5.040.643 orang. Di samping itu, terdapat warga yang menjadi peserta JKN di luar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebanyak 1.938.047 jiwa. Dibandingkan dengan peserta JKN tersebut, maka warga Jawa Barat yang belum atau tidak memiliki JKN atau tidak menjadi peserta BPJS sebanyak 24.639.192 jiwa atau mencapai 61,48 persen. Artinya, sebagian besar warga Jawa Barat belum menjadi peserta BPJS alias tidak memiliki kartu JKN. Sementara itu, lebih dari setengah pesreta JKN di Jawa Barat merupakan keluarga miskin yang menerima bantuan iuran (PBI).
Kesertaan Ber-KB Angka kesertaan KB atau contraceptive prevalency rate (CPR) di Jawa Barat berdasarkan hasil PK 2015 adalah 67 persen. Artinya, 67 persen dari seluruh pasangan usia subur (PUS) di Jawa Barat merupakan peserta KB aktif. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan bila dibandingkan dengan CPR berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 lalu sebesar 60,3 persen. Pada saat dilakukan pendataan, jumlah PUS di Jawa Barat berjumlah 7.458.452 pasangan. Dari jumlah tersebut, 4.942.737 di antaranya tercatat sebagai peserta KB untuk kontrasepsi modern. Jumlah ini belum termasuk peserta KB aktif kategori tradisional sebanyak 17.688 atau 0,24 dari total PUS. Di luar CPR tadi, terdapat dua jenis PUS nonpeserta KB. Yakni, mereka yang pernah menggunakan tetapi pada saat didata tidak sedang menggunakan kontrasepsi dan mereka yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi. Jumlahnya relatif berimbang, 19 persen mengaku pernah dan 14 persen mengaku tidak pernah. Dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat, persentase PUS yang tidak pernah ber-KB tertinggi adalah Kota Bekasi. Di daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta ini terdapat 27, 14 persen PUS yang sama sekali tidak pernah menggunakan kontrasepsi.
40
Sebaliknya, Kabupaten Majalengka merupakan daerah dengan persentase PUS yang tidak pernah ber-KB paling kecil, 9,53 persen. Angka kesertaan ber-KB di Jawa Barat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kabupaten Sumedang tercatat sebagai daerah dengan kesertaan tertinggi, mencapai 72,87 persen. Dari 206.066 PUS di Kabupaten Sumedang, 150.158 di antaranya merupakan peserta KB. Adapun Kota Bekasi dilaporkan sebagai daerah dengan kesertaan terendah di Jawa Barat. Dari 224.290 PUS, hanya 110.739 atau 49,37 persen di antaranya yang menjadi peserta KB modern. Angka ini menjadikan Kota Bekasi menjadi satu-satunya daerah dengan kesertaan KB kurang dari 50 persen. Dengan kata lain, lebih dari setengah PUS di Kota Bekasi tidak menggunakan kontrasepsi alias tidak menjadi peserta KB. Meski kesertaan KB melampaui angka psikologis
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA persen. Pertanyaan yang kemudian muncul, di manakah peserta KB mendapatkan pelayanan? Ternyata. Hampir setengah dari PUS peserta KB dilayani dokter praktik, tepatnya 47,94 persen dari total peserta KB berdasarkan laporan PK 2015. Adapun peserta yang mendapat pelayanan bidan desa dan puskesmas masing-masing 16,79 persen dan 13,60 persen. Di luar tiga tempat tersebut, pelayanan KB juga berlangsung di 10 kategori tempat lainnya, baik fasilitas kesehatan tingkat pratama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Ke-10 tempat tersebut terdiri atas rumah sakit tentara nasional Indonesia (RS TNI), rumah sakit kepolisian (RS Polri), rumah sakit swasta, klinik utama, klinik pratama, klinik dokter, rumah sakit pratama, pos kesehatan desa (Poskesdes) atau pondok bersalin desa (Polindes), dan pelayanan bergerak. Yang menarik, di luar 13 tempat pelayanan di atas masih terdapat tempat pelayanan KB yang tidak masuk kategori utama. PK 2015 menyebutnya tempat pelayanan lainnya. Meski bukan tempat pelayanan mainstream, jumlah PUS yang dilayani di tempat pelayanan lainnya ini terbilang besar. Hasil PK 2015 menunjukkan masih aadnya 10,49 persen yang mendapatkan pelayanan KB jenis ini. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pelayanan rumah sakit maupun klinik, baik FKTP maupun FKRTL.
65 persen, namun pilihan kontrasepsi di Jawa Barat masih sangat didominasi metode kontrasepsi nonMKJP atau metode kontrasepsi jangka panjang. Tercatat 4.142.337 peserta atau 83,81 persen dari total peserta KB di Jawa Barat memilih non-MKJP. Kontrasepsi non-MKJP ini terdiri atas kondom (41.560 orang), suntik (3.169.658 orang), dan pil (931.119 orang). Bahkan, 64 persen peserta KB Jawa Barat tercatat memilih kontrasepsi suntik. Lebih dari setengah peserta KB di Jawa Barat menggunakan KB suntik. Kesertaan KB MKJP sendiri terbilang rendah, hanya 800.400 orang atau 16,19 persen dari total peserta KB aktif. Jumlah tersebut terdiri atas 439.004 IUD (8,88 persen), 218.101 implant (4,41 persen), 123.427 metode operasi wanita (MOW) atau tubektomi (2,5 persen), dan 19.868 metode operasi pria (MOP) atau vasektomi (0,40 persen). Angka-angka tersebut juga menunjukkan bahwa partisipasi pria dalam ber-KB masih sangat rendah, hanya 61.628 orang atau 1,24
Pembangunan Keluarga Di samping menghasilkan data individu dan keluarga serta kesertaan KB, PK 2015 juga menghadirkan indikator kesejahteraan keluarga. Bahkan, beberapa indikator mencerminkan secara spesifik menghasilkan indikator keluarga peasejahtera. Indikator tersebut sebagai berikut: 1) Keluarga membeli satu stel pakaian baru untuk seluruh anggota keluarga minimal setahun sekali; 2) Seluruh anggota keluarga makan minimal dua kali sehari; 3) Seluruh anggota keluarga bila sakit berobat ke fasilitas kesehatan; 4) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian; 5) Seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur minimal seminggu sekali; dan 6) Seluruh anggota keluarga menjalankan ibadah agama sesuai ketentuan agama yang dianut. Dari enam indikator di atas, tampak bahwa hampir seluruh keluarga di Jawa Barat berada di atas ambang katas kemiskinan atau prasejahtera.
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
41
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA Persentase terendah untuk enam kategori tersebut ada ada indikator konsumsi atau makan daging/ ikan/telur seminggu sekali. Dari total 11,76 juta KK di Jawa Barat, terdapat 4,13 persen di antranya yang belum bisa menikmati sumber protein hewani tersebut setiap minggunya. Di samping itu, terdapat 2,79 persen keluarga Jawa Barat yang belum tentu tentu membeli pakaian baru setiap tahunnya. Tidak kalah pentingnya, masih ada 0,82 persen keluarga yang belum bisa makan dua kali sehari untuk seluruh keluarganya. Indikator pembangunan keluarga berikutnya menampilkan kesertaan KB untuk PUS dengan dua anak atau lebih, kepemilikan tabungan sedikitnya Rp 1 juta, kebiasaan berkomunikasi, keterlibatan dalam kegiatan sosial, akses terhadap informasi, dan keterlibatan dalam kepengurusan organisasi sosial. Dari laporan PK 2015 dapat diketahui 93,55 persen PUS yang memiliki dua anak atau lebih menjadi peserta KB. Hanya 6,45 persen yang tidak menjadi peserta KB. Sementara keluarga yang memiliki tabungan senilai Rp 1 juta rupiah tercatat 70,50 persen. Catatannya, tabungan tersebut tidak semata-mata uang, melainkan bisa berbentuk emas, tanah, atau hewan peliharaan. Laporan juga menunjukkan bahwa keluarga Jawa Barat memiliki kebiasaan berkomunikasi dengan seluruh anggota keluarga. Hanya 3,17 persen yang dilaporakan tidak terbiasa berkomunikasi dengan seluruh anggota keluarga. Yang tercatat memiliki persentase kecil adalah keterlibatan warga dalam kegiatan sosial di lingkungan rukun tetangga (RT), apalagi terlibat sebagai pengurus organisasi sosial. Keterlibatan dalam kegiatan RT hanya 65,23 persen, sementara yang tercatat menjadi pengurus kegiatan sosial hanya 18,40 persen. Di luar itu, 94,19 persen keluarga yang didata mengaku memiliki akses informasi dari surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain. Dilihat dari indikator ketahanan keluarga, tercatat 22,11 persen keluarga Jawa Barat yang memiliki anak kurang dari satu tahun aktif dalam kegiatan pos pelayanan terpadu (Posyandu). Hanya 6,09 persen yang tidak terlibat dalam posyandu. Sementara 71,80 persen lainnya tidak masuk dalam kategori ini. Persentase yang sama persis muncul untuk indikator kesertaan keluarga punya balita (1-4 tahun) dalam posyandu dan kesertaan keluarga yang memiliki balita (0-4 tahun) dalam kegiatan bina keluarga balita (BKB). Yang tercatat rendah adalah kesertaan keluarga
42
punya remaja (10-24 tahun dan belum menikah) dalam kegiatan bina keluarga remaja (BKR),hanya 8,55 persen. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan (42,79 persen) atau mereka yang tidak termasuk dalam kategori ini sebesar 48,66 persen. Persentase minim juga tampak pada indikator kesertaan anggota keluarga masih remaja (10-24 tahun dan belum menikah) dalam pusat informasi dan konseling remaja atau mahasiswa yang hanya 6,15 persen. Dibanding indikator lain, kesertaan keluarga lansia atau punya lansia (60+ tahun) dalam kegiatan bina keluarga lansia (BKL) tercatat paling rendah, hanya 3,57 persen. Adapun kesertaan keluarga dalam kelompok usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) hanya 5,6 persen. Dengan demikian, hampir seluruh keluarga tidak terlibat dalam kelompok UPPKS. Terlebih indikator ini tidak memberikan pengecualian seperti halnya indikator BKB, BKR, PIKR/M, dan BKL. Artinya, seluruh keluarga diharapkan menjadi anggota kelompok UPPKS. Bagian akhir indikator PK 2015 menampilkan indikator fisik hunian dan daya dukung lainnya. Pada indikator ke-19, PK 2015 menghitung luas atap sebuah keluarga. Hasilnya, dari 11,76 juta keluarga Jawa Barat, 93,41 di antaranya sudah menggunakan genteng atau sirap sebagai atap rumah. Namun demikian, masih tersisa 55.913 keluarga atau 0,48 persen dari total keluarga yang rumahnya masih beratap daun atau rumbia. Sisanya menggunakan seng atau asbes sebanyak 4,61 persen dan 0,51 lainnya tidak didefinisikan. Berikutnya, jenis lantai rumah keluarga, di mana sekiyar 2/3 keluarga Jawa Barat sudah mengunakan ubin atau keramik dan marmer sebagai material lantai. Sisanya sebanyak 17,55 persen menggunakan semen atau papan untuk rumah panggung dan 2,90 persen masih beralaskan tanah. Sementara sisanya sebesar 1,95 persen tidak dijelaskan lebih lanjut. Bagaimana dengan dinding rumah? Laporan hasil PK 2015 menunjukkan bahwa 82,87 persen hunian keluarga Jawa Barat menjadikan tembok sebagai dinding terluas. Disebut terluas karena dalam sebuah rumah tembok tidak menutup kemungkinan ada bagian lain yang belum atau tidak menggunakan tembok. Di samping itu, terdapat hampir 1,5 juta keluarga atau 12,7 persen keluarga dengan dinding rumah berbahan bambu. Sisanya sebanyak 2,9 persen menggunakan kayu atau seng. Sementara 1,5 persen lainnya tidak dijelaskan lebih lanjut. (NJP)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
LAPORAN KHUSUS PENDATAAN KELUARGA
Proses pendataan keluarga
PK 2015 untuk Re-Akurasi Data R/R
A
kurasi data merupakan salah satu yang fundamental dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan program KKBPK. Bila kebijakan berangkat dari sumber data yang akurat, maka semakin besar peluangnya menghasilkan keputusan yang baik, sebaliknya bila berangkat dari data yang salah, dapat dipastikan kebijakan yang diambil juga salah (garbage in-garbage out).
Keluarga Tahun 2015 di Bandung belum lama ini.
Menyikapi pentingnya ketersediaan data yang akurat, BKKBN berupaya membenahi kualitas data hasil pencatatan dan pelaporan rutin (R/R-Record and Reporting). Pasalnya selama ini data R/R dinilai kurang akurat, terutama yang menyangkut dengan CPR atau angka kesertaan ber-KB.
Pemutihan data melalui data hasil PK ini menurut Sugilar semata agar dapat memberikan input yang benar sesuai kondisi di lapangan. “Kita tidak ingin capaian-capaian yang di atas kertas tinggi, tetapi kenyataan di lapangannya berbeda” kata Gilar. Terlebih pada bulan Juli mendatang data-data ini akan dibuktikan melalui Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI).
Berdasarkan laporan yang masuk dalam sistem R/R, setiap tahun di Jawa Barat terdapat 1,3 hingga 1,4 juta peserta KB baru (PB). Namun dari jumlah sebesar itu ternyata tidak memberikan kontribusi besar terhadap bertambahnya peserta KB aktif (PA). Pada tahun 2016 lalu saja kontribusi PB hanya menambah sekitar 15 ribuan PA saja. Menanggapi hal ini, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat, Sugilar menduga kemungkinan adanya kesalahan dalam sistem R/R, seperti melaporkan pelayanan ganti cara (GC) sebagai PB. “Padahal semestinya GC bukan PB” tandas Gilar saat membuka kegiatan Orientasi dan Sarasehan Hasil Pendataan
Karenanya, untuk membenahi kualitas dan akurasi data R/R, Gilar meminta agar semua data R/R dapat diputihkan dengan mengacu kepada data hasil Pendataan Keluarga (PK) 2015. Berdasarkan hasil PK 2015 memang diketahui adanya perbedaan hasil capaian yang siginifikan. Menurut PK pencapaian CPR berada di 66 persen, sedangkan data R/R sudah sangat tinggi, mencapai 72 persen.
Sementra itu, Kasubbid Data dan Informasi Perwakilan BKKBN Jawa Barat, Edi Purnomo saat ditemui di tempat yang sama mengungkapkan bahwa pertemuan ini sebagai tindak lanjut hasil Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) tingkat provinsi pada februari lalu bahwa sudah disepakati untuk menggunakan data hasil PK 2015 sebagai dasar pelaporan R/R rutin. Namun sepertinya pengelola data di Kabupaten/Kota masih kesulitan dalam menindaklanjutinya. “Jadi pada pertemuan ini kita akan identifikasi apa saja kesulitannya untuk dicari jalan keluarnya” terang Edi. (HK)
Warta Kencana • NOMOR 31 • TAHUN VIII • 2017
43