Keadilan Post
Edisi Juli 2019
Informatif, Komunikatif, Aspiratif
Sekolah-Sekolah yang Tertinggal
DARI KAMI Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah Swt dan selawat tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw atas terbitnya Keadilan Post Edisi Juli 2019. Produk ini merupakan salah satu wujud bakti kami dalam menyajikan media yang informatif, komunikatif, dan aspiratif. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada seluruh narasumber dan segenap rekan LPM Keadilan yang telah meluangkan waktu serta pikirannya untuk berkontribusi dalam penggarapan, penyusunan, hingga terbitnya Keadilan Post edisi ini. LPM Keadilan membuka peluang kepada para pembaca umum, mahasiswa, maupun dosen untuk mengirimkan karya berupa Surat Pembaca, Opini, Artikel, Cerita Pendek, dan Puisi kepada kami yang dapat berupa permasalahan di lingkup Universitas Islam Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga nasional. Kami juga mengajak para pembaca untuk mengunjungi situs kami di lpmkeadilan.org. Melalui lpmkeadilan.org kami secara rutin membagikan berita, tulisan, dan karya kami. Tak lupa, kami atas nama LPM Keadilan memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kekeliruan dan kekurangan dalam terbitan ini. Kami sangat terbuka untuk membenahinya, sehingga kami membuka ruang kritik dan saran sebagai bahan koreksi untuk terbitan berikutnya. Terima kasih, Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
EDITORIAL Daerah Istimewa Yogyakarta ialah sebuah provinsi yang terkenal sebagai wilayah nan ramah terhadap pelajar. Biaya hidup murah, banyaknya opsi tempat menempuh pendidikan, hingga warga lokal yang ramah, sudah sejak lama menjadi magnet penggait bagi para perantau untuk datang belajar. Faktor tersebut pulalah yang membuat institusi pendidikan papan atas cukup mudah ditemui di provinsi ini. Sayangnya potret sebagai ‘Kota Pelajar’ tersebut hanya melekat pada daerah besar saja seperti Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Tak jauh ke arah selatan, tepatnya di Kabupaten Gunungkidul, potret ramah pelajar tersebut perlahan luntur. Kekurangan murid hingga tingginya angka putus sekolah menjadi data-data yang lazim kita temui saat membahas kabupaten ini. Pendidikan di Gunungkidul tak hanya berkutat pada masalah-masalah di atas. Setelah ditelusuri oleh Keadilan ternyata ditemukan pula beberapa sekolah dasar yang masih mengalami kekurangan sarana prasarana. Bangku-bangku telah lapuk serta kekurangan fasilitas pembelajaran masih harus dihadapi oleh sekolah-sekolah yang masih tertinggal di kabupaten tersebut. Terkadang kekurangan sarana prasarana ini juga dapat menghambat aktivitas didik siswa, apalagi jika fasilitas yang tak ada merupakan alat bantu belajar seperti perlengkapan olahraga. Kurangnya sarana prasarana tersebut makin diperparah lagi dengan sedikitnya jumlah guru yang tersedia di sekolahsekolah pinggiran. Alhasil banyaknya kekurangan tersebut membuat para siswa kesulitan mengakses salah satu haknya dalam menjalani pendidikan, yakni melakukan kegiatan ekstrakurikuler. Sebuah kegiatan yang seharusnya dapat menjadi alternatif seorang anak untuk menggali potensi dirinya. Banyak penyebab kesenjangan tersebut, mulai dari ketergantungan sekolah pada dana Bantuan Operasional Sekolah, letak geografis kurang menguntungkan, dan macetnya aliran bantuan dari pemerintah. Beruntung, beberapa sekolah di area tersebut terkadang masih mendapat bantuan dari pihak lain seperti aktivis ataupun lembaga swadaya masyarakat. Bantuan yang masuk tersebut pun tak bisa terus diharapkan karena hanya datang sewaktu-waktu saja. Memang benar, sekolah-sekolah tersebut telah mampu menyediakan pendidikan secara gratis. Hanya saja masih terdapat banyak celah yang timbul. Faktor tersebut membuat meski pendidikan dapat diperoleh, tetapi kualitas yang ditawarkan belum sepenuhnya memenuhi standar. Pada kasus ini, standar yang kita maksud mengacu pada Standar Nasional Pendidikan dan Standar Pelayanan Minimum. Penyulusuran kami menemukan fakta bahwa terdapat sekolah yang benarbenar telah jauh melampaui standar tersebut, di sisi lain banyak pula nan gagal. Maka di sinilah peran pemerintah paling dibutuhkan. Perlu dikeluarkan kebijakan yang cukup efektif untuk mendistribusikan aliran dana. Supaya dapat membangun sarana prasarana yang tak hanya bagus tapi juga dapat dimaksimalkan ke seluruh wilayah dan sesuai kebutuhan pendidikannya. Karena perlu dipahami lagi, bahwa pendidikan merupakan hak konstitusi rakyat Indonesia sebagaimana dituliskan pada Pasal 31 UUD 1945. Memenuhi hak tersebut berarti juga pemerintah telah berhasil mencapai salah satu cita-cita bangsa. Memang perlu usaha sangat panjang dan melelahkan sampai pendidikan yang maju dan merata tersebut dapat tercapai. Tapi toh, selagi masih bisa bermimpi, mengapa tidak?
2
Keadilan Post Edisi Juli 2019
FOKUS UTAMA
Celah Pendidikan Antara Yogyakarta dan Gunungkidul
Rahadian/Keadilan • Ruang kelas di SDN Guyangan pada Selasa (30/4).
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, anda dapat mengubah dunia,”- Nelson Mandela, Mantan Presiden Afrika Selatan. Oleh: Aprillia Wahyuningsih
D.I. Yogyakarta-Keadilan.Pendidikan merupakan salah satu hak yang disebut dalam UUD 1945. Amanat Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. Urgensi pendidikan dalam suatu negara ialah sebagai tujuan yang dicita-citakan. Tujuan pendidikan tertera pada UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 yang mengatakan bahwa pendidikan berfungsi guna mengembangkan kemampuan serta potensi masyarakat. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah Indonesia mengalokasikan dana pendidikan ke setiap sekolah dengan memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana tersebut dikelola oleh Kementerian
Pendidikan dan Budaya untuk skala nasional dan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) pada tingkat daerah. Dana BOS sendiri ditujukan untuk memenuhi 11 komponen kebutuhan sekolah, salah satunya adalah pembiayaan pengelolaan sekolah serta penunjang lainnya. Dwi Atmi Sutarini, selaku Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ungaran 1 Yogyakarta menjelaskan tentang alokasi pemberian dana BOS. ”Alokasi BOS sama dari Sabang sampai Merauke, 800.000 rupiah per anak per tahun”. Ia juga menjelaskan bahwa adanya dana BOS juga membuat para siswa sudah tidak perlu lagi membayar iuran sekolah. Di lingkup daerah, dana yang masuk ke sekolah tidak hanya bergantung pada BOS saja. Sekolah di Kota Yogyakarta juga menerima dana BOS Daerah (BOSDA) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. “Yang mana setiap
anak mendapat satu juta rupiah setiap bulannya. Hal inilah yang mungkin membedakan dengan kabupaten lainnya,” ujar Dwi. Dwi pun mengakui alokasi BOSDA tersebut sangat membantu peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Pengaruh dari BOSDA tersebut juga tergambarkan dengan fasilitas yang berada di SDN Ungaran 1. “Fasilitas kami lengkap. Ya Insya Allah lengkap. Bahkan semua 100 persen di sini sudah kami fasilitasi dengan LCD (liquid crystal display)”. Selain LCD, sekolah dasar tersebut dilengkapi juga dengan fasilitas-fasilitas lengkap seperti air conditioner, pojok bacaan tiap kelas, serta meja yang sesuai standar kesehatan dan psikologis siswa. Keadaan di Yogyakarta tersebut berbeda pula dengan sekolah di Gunungkidul. Karitas Marsudiyanti selaku Kepala SDN Wonolagi Gunungkidul mengatakan sekolahnya tak mendapat anggaran dari pemerintah
Keadilan Post Edisi Juli 2019
3
selain dana BOS. “Enggak ada, kita Situasi SDN Guyangan yang cuma mengandalkan dana BOS itu aja,” hanya memiliki 76 siswa cukup memepaparnya. ngaruhi anggaran sekolah. “Kalau BOS Karitas menjelaskan pula itu kan terbatas, Mas. Karena BOS bahwa dana BOS sering terlambat itu berdasarkan jumlah siswa, kalau didistribusikan sehingga membuat siswanya sedikit BOS-nya sedikit,” agenda di sekolah tersendat. Sehingga, tambah Sugiyarta. pada prosesnya SDN Wonolagi banyak Pemerintah memang telah mendapat bantuan dari para aktivis mengatur standar minimal sebagai ataupun lembaga swadaya masyarakat tolok ukur layak tidaknya suatu sekolah. (LSM). “Kebetulan SD Wonolagi kan Standar tersebut berupa SPM atau SNP. ya... juga mungkin ya situasinya seperti Kepada Keadilan, Edy Wibowo Susanto ini jadi untuk anak-anak itu banyak selaku Analis Pengembangan Sarana yang peduli.” dan Prasarana SD Disdikpora Kota Anggaran minim ini di- Yogyakarta menjelaskan lebih jauh akui Karitas sebagai alasan belum terkait apa itu SPM. “Banyak indikator terpenuhinya standar sarana dan pra- dalam SPM tersebut, seperti luas sarana di SDN Wonolagi. “Sebenarnya lahan sekolah, luas taman, atau tempat setiap sekolah itu membermain siswa, jumlah kamar punyai standar yang sudah mandi, ruang kelas yang ditetapkan pemerintah layak seperti ventilasi yaitu Standar Pelayanan yang cukup, serta masih Minimum (SPM), nabanyak lagi.” mun kalau untuk ruSalah satu sekolah angan SD ini belum yang telah memenuhi memenuhi standar standar tersebut adajadi belum memenuhi lah SDN Ungaran SPM,” jelasnya. 1. “Untuk SD ini se• Dwi Atmi Sutarini Sebagai gambaran, benarnya kami telah lebih SDN Wonolagi sendiri ialah dari SPM, karena sekolah ini sekolah dengan tiga ruangan yang merupakan sekolah rujukan,” ujar Dwi. harus dibagi menjadi enam kelas. Selain itu fasilitas lain seperti bangunan Perbedaan Ekstrakurikuler perpustakaan juga belum tersedia, serta Permasalahan sarana prasarana toilet yang hanya satu sehingga tak ada tidak hanya memengaruhi kenyamanan pemisahan antara putra dan putri. siswa saat belajar saja. Salah satu aspek Selain SDN Wonolagi, ter- yang ikut dipengaruhi ialah kegiatan dapat sekolah lain yang mengalami ekstrakurikuler. Pada aspek ini juga keterbatasan fasilitas di Gunungkidul. terdapat berbedaan yang menonjol Sekolah tersebut bernama SDN dalam lingkungan sekolah antara Guyangan. Sugiyarta selaku Kepala Kota Yogyakarta dengan Kabupaten SDN Guyangan sendiri mengakui Gunungkidul. keterbatasan yang dialami oleh se- Sebagai perbandingan, Dwi kolahnya tersebut. “Yang pertama itu untuk fasilitas untuk pembelajaran ya itu kuranglah, terutama untuk alat-alat peraganya kami standar SNP (Standar Nasional Pendidikan)-nya.” Lebih jauh Sugiyarta juga menambahkan bahwa sekolah ini hanya mengandalkan pemerintah dalam pengadaan fasilitas. Pengadaan diperoleh dengan cara menyurvei langsung barang yang dibutuhkan lalu diajukan ke dinas terkait. ”Kami sudah lewat survei SNP itu dan mengirimkan data tapi sampai sekarang belum ada (barangnya).”
memaparkan bahwa SDN Ungaran 1 memiliki kegiatan di luar kurikulum yang dapat menunjang para siswa. “Mungkin Mas-Mas bisa apa melihat, bagaimana kegiatan kami, outdoor class kami, kegiatan ekskul kami. Bisa dibuka Youtube, SD Negeri Ungaran 1 Yogyakarta, atau buka saja web sekolah kami, SD Ungaran 1”. Di web sdnungaran1.sch.id memang dilampirkan bahwa ekstrakurikuler yang terdapat di sekolah tersebut beragam, mulai dari pramuka, komputer, bahasa Inggris, sedangkan pada Youtube ditampilkan kegiatan lain yaitu seni karawitan hingga tari. Dwi mengatakan pentingnya kegiatan tambahan atau ekstrakurikuler dalam memengaruhi potensi siswa. “Baik itu prestasi akademik maupun prestasi non akademik,” ujarnya. Sebaliknya, ekstrakurikuler di SDN Wonolagi sendiri hanya terbatas pada kegiatan pramuka dan baca tulis Alquran. Bahkan keduanya belum dilaksanakan secara rutin. “Hal tersebut juga bergantung dan menyesuaikan dengan pendanaan, karena untuk guru pengajar juga hanya dari guru kelas saja,” ujar Karitas. Hal yang sama juga dialami oleh SDN Guyangan. Ekstrakurikuler yang tersedia di sekolah tersebut ialah baca tulis Alquran dan pramuka nan juga belum berjalan lancar. “Karena membuat ekskul yang banyak terkendala; (1) pengajarnya; (2) biaya. Kan perlu ada honor,” kata Sugiyarta. Perbandingan-perbandingan antara SD yang menjadi sampel, baik dari Yogyakarta dan Gunungkidul, memang menimbulkan jarak tersendiri. Meski begitu, Wahyudi selaku Pegawai
• Salah satu ruang kelas yang terdapat di SDN Ungaran 1 (10/5).
4
Keadilan Post Edisi Juli 2019
Rahadian/Keadilan
Disdikpora Kabupaten Gunungkidul 1000 Guru Jogja, sebuah LSM yang menolak anggapan bahwa sekolah menyasar kepada pendidikan dasar. Melalui wawancara yang di sana lebih tertinggal. “Kita tidak boleh medilakukan secara daring, nyebut sekolah tertingmereka menjelaskan alagal. Bupati tidak san mengapa Gunungkidul masih menjadi menginginkan, padahal target utama dalam realitasnya juga kurang maksimal, istilahnya menjalankan kegiatan sekolah pelosok atau mengajar. “Dari survei pinggiran.” yang kami lakukan, baik secara online maupun datang Sebaliknya Hargo • Sugiyarta langsung, Gunungkidul memiliki Warsono selaku Pengawas Sekolah Kabupaten Gunungkidul paling banyak memiliki sekolah yang menilai memang beberapa sekolah masih kekurangan sarpas (sarana dan lebih tertinggal dari yang lainnya. pra-sarana) dan beberapa kriteria lain,” “Nah, ketika kemudian sekolahnya ujar admin yang pada wawancara ini tidak begitu terfasilitasi... itu akhirnya meminta diri untuk disebut sebagai Dapodik (data pokok pendidikan)- 1000 Guru Jogja saja. Fakta-fakta di atas dikomentari nya tidak selalu ter-update”. Sehingga menurutnya bantuan dari pemerintah oleh Muhammad Syafi’i selaku pemerhati hak asasi manusia yang juga lebih sulit dialirkan. Situasi kurangnya sarana dan merupakan dosen Fakultas Hukum prasarana pada beberapa sekolah di Universitas Islam Indonesia. Ia meGunung Kidul tersebut juga menarik nekankan keharusan suatu negara perhatian LSM-LSM sekitar. Termasuk melalui pemerintahnya untuk turut
aktif memastikan hak pendidikan rakyatnya dipenuhi. “Aktifnya yaitu memastikan pendidikan, bahwa pendidikan itu betul-betul menjamin ketersediaan pendidikan yang memadai,” tambah Syafi’i. Dengan begitu, ketersediaan guru dan sarana prasarana sekolah bisa terwujud tanpa ada diskriminasi terhadap mereka yang termaginalkan. Syafi’i menilai sistem pendidikan di Indonesia masih harus banyak belajar dari negara maju Eropa, khususnya dalam memanusiakan semua pihak. “Jadi anak-anak yang dia kurang mampu kemudian merasa terasing,” ujar Syafi’i. Sehingga dengan cara seperti itu, Indonesia perlahan dapat me-ngejar cita-cita untuk menjamin hak memperoleh pendidikan bagi bangsanya.
Reportase bersama: Puji Indah, Rahadian Suwartono, Dhieka Perdana, Ainun Akhiruddin, Qurratu Uyun
DIALEK
Keadilan Post Edisi Juli 2019
5
LIPUTAN
Protes Mahasiswa UII Menuntut Demokrasi Aldhy/Keadilan
“Kok kayak malah membungkam ruang demokrasi, padahal meskipun toh misalnya stance-nya UII bakalan kontra sama RUU PKS, ya terus kenapa dengan orang-orang yang mau membahas RUU PKS ini?”- Retyan Sekar Nurani, Koordinator Acara Women’s March Yogyakarta. • Aksi pertama Aliansi Demokratisasi Kampus yang berlangsung di GKU Sardjito (7/1). Oleh: Wahyu Prasetyo
Taman Siswa-Keadilan. Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan, sepatutnya mencontohkan bagaimana demokrasi dijalankan. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 huruf b UndangUndang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Pasal tersebut menyatakan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Selaras dengan aturan di atas, Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai perguruan tinggi juga menerapkan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rohidin selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UII yang mengatakan, “UII sangat demokratis”. Ia juga menambahkan bahwa demokrasi di UII memiliki nilai, visi, misi, dan tujuan yang membatasi. Sifat demokratis yang dikatakan Rohidin tersebut kemudian dipertanyakan kembali setelah Kamis (7/3) kala dibatalkannya diskusi bertema “Shatter the Silence, Stop the Harassment:
6
Kawal Bersama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Diskusi yang mengusung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai topik utama tersebut merupakan kolaborasi antara Women’s March Yogyakarta dengan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII. Retyan Sekar Nurani, selaku Koordinator Acara Women’s March (WM) Yogyakarta yang juga mahasiswi Ilmu Komunikasi (Ilkom) UII, memaparkan kronologis pembatalan diskusi. Pembatalan disampaikan oleh Holy Rafika Dona selaku Ketua PSDMA Nadim Komunikasi UII sehari sebelum diskusi seharusnya berlangsung. “Kemudian melihat bahwa isu ini masih menjadi isu yang sensitif, diperdebatkan, dan kemudian sebagai institusi pendidikan, sebaiknya kita masih menjaga netralitas,” ujarnya ketika mengulangi pesan Whatsapp yang dikirim Holy kepadanya. Padahal menurut Retyan, PSDMA Nadim Komunikasi UII telah memastikan Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) UII siap digunakan. Pasalnya, proposal kegiatan yang dibuat oleh WM sudah diserahkan kepada
Keadilan Post Edisi Juli 2019
PSDMA Nadim Komunikasi UII dan telah sampai ke pihak rektorat. “Akhirnya poster itu di-take down, tanpa kita diberi satu pernyataan sikap, yang mana akhirnya kita membuat pernyataan sikap sendiri atas nama WM”. Tim Keadilan juga telah mencoba mengonfirmasi langsung kepada Holy terkait kronologis tersebut yang sayangnya menolak untuk diwawancara. Menanggapi pembatalan diskusi tersebut, Beni Suranto, selaku Direktur Pembinaan Kemahasiwaan UII menyatakan pembatalan bukan berasal dari pihak universitas atau rektorat. Ia juga menyampaikan pihak rektorat belum pernah menerima izin dari Women’s March terkait diskusi tersebut. Setelah pihak rektorat menyelidiki, Beni mengatakan pembatalan tersebut dilakukan oleh pihak FPSB UII. Melalui pesan singkat yang ia terima dari salah satu Wakil Dekan FPSB bahwa fakultas tersebut menolak dijadikan kendaraan organisasi yang memiliki agenda politik terkait RUU PKS. “UII mempunyai cara tersendiri menyikapi pro kontra terkait isu ini,” bunyi pesannya. Pesan tersebut juga menuliskan bahwa organisasi dari luar seharusnya menggunakan izin khusus.
Beni menambahkan alasan tersebut di kampus kita ada problem.” juga menjelaskan peristiwa yang menjadi dinilai logis dan rasional oleh pihak Khalif menambahkan pem- alasan lahirnya aliansi ini. Yakni saat rektorat. Hal ini terjadi karena UII batalan ini tidak dibahas lebih lanjut oleh Dewan Permusyawaratan Mahasiswa sendiri enggan untuk terlibat dalam pihak PSDMA Nadim Komunikasi UII UII melakukan pemanggilan kepada isu-isu yang masih diperbincangkan karena status mereka yang masih terikat tujuh mahasiswa. Pemanggilan tersebut panas dalam masyarakat. “UII tidak hierarki dengan fakultas. “Jadi takutnya bermula karena para mahasiswa memingin hanya sekadar ketika nanti menjalar ke mana-mana.” berikan komentar yang dinilai sensitif orang-orang teriak kita ikut ADEK sendiri me- pada unggahan akun Instagram LPM teriak,” paparnya. rupakan sebuah ko- Himmah UII terkait misa natal di Pembatalan munitas mahasiswa UII Gereja St. Antonius Kotabaru. diskusi tersebut dikoyang terbentuk pada Anggapan ditutupnya ruang mentari oleh Rohidin. bulan Januari lalu. diskusi ini juga dialami Imam Nanda “Organisasi eksternal Menurut Khalif, ADEK Cesario, Mahasiswa Fakultas Hukum yang ingin mengadakan terbentuk atas inisiatif (FH) UII yang merupakan Ketua Study kegiatan di lingkungan beberapa komunitas dan Club Komunitas Mahasiswa Merdeka UII harus mengikuti mahasiswa yang menilai (SC Komaka) pada wawancara hari • Retyan Sekar Nurani prosedur yang ada, baik itu bahwa telah terjadi kejadian- Kamis (25/4). Pasalnya, kegiatan peraturan universitas, fakultas, kejadian tidak demokratis di UII. Sekolah Menulis yang rencananya atau Keluarga Mahasiswa UII sendiri”. Khalif menganalogikan tindakan dilakukan di FH UII terpaksa Pada wawancara ini Rohidin juga tidak demokratis tersebut sebagai dipindahkan karena tidak mendapat menunjukkan sebuah naskah peraturan sebuah penyakit. “Akhirnya kami izin peminjaman ruang dari Divisi universitas yang kelak akan mengatur berkumpul untuk berusaha mencari Rumah Tangga FH UII. “Rumah organisasi eksternal di UII. obat buat menyembuhkan penyakit, Tangga langsung bilang ‘enggak bisa 12 hari pasca pembatalan dan kami yakin setiap penyakit bisa Mas, harus ada persetujuan dari LEM diskusi WM, UII melalui Pusat Studi disembuhkan.” (Lembaga Eksekutif Mahasiswa)’.” Gender mengadakan Focus Group Dis- Khalif juga menyampaikan Menanggapi kejadian tersebut, cussion (FGD) yang juga membahas beberapa kejadian tidak demokratis Mochamad Bayyoumi Alkautsar seRUU PKS. FGD yang diadakan di penyebab terbentuknya ADEK. Satu laku Ketua Umum LEM FH UII Auditorium FPSB Kampus Terpadu di antaranya yakni aduan ke kepolisian berkata izin tak bisa diberikan karena UII ini turut dibuka dengan sambutan yang dialami kelompok mahasiswa UII status SC Komaka sebagai kelompok dari Fathul Wahid selaku Rektor UII. pemilik Channel Youtube bernama Judul belajar. Hal tersebut didasarkan pada Berlangsungnya FGD tersebut Skripsi. Kelompok mahasiswa tersebut, peraturan LEM FH UII No. 1 Tahun menimbulkan pertanyaan bagi Retyan, diadukan terkait dengan unggahan 2018 tentang Kelompok Belajar (Study perihal kebenaran UII membatalkan video mereka dengan judul Orde Baru Club). Peraturan tersebut menyatakan diskusi karena bersikap netral. “Aku Malu-Malu. hanya ada dua kelompok belajar yang tidak melihat apakah alasan netral Video berdurasi 17 menit terdaftar di FH UII yakni Business adalah alasan yang sebenarnya, tersebut merupakan talkshow yang Law Community dan Criminal Law karena kemudian Pusat Studi Gender membahas tentang dugaan kecurangan Discussion. “Karena memang secara membuka diskusi yang sama.” di Pemilihan Wakil Mahasiswa Fakultas formil SC Komaka belum memenuhi Bahkan lebih jauh Retyan Ekonomi UII. Judul Skripsi dinilai syarat formil untuk mengadakan disjuga menyindir sikap UII yang dinilai telah melanggar UU Nomor 11 Tahun kusi di kampus FH UII,” ujarnya. tidak demokratis. “Kok kayak malah 2008 tentang Informasi dan Transaksi Padahal menurut Bayyoumi membungkam ruang demokrasi, Elektronik oleh pengadu. Aduan ada dua kriteria kegiatan dari organisasi padahal meskipun toh misalnya stance- tersebut sendiri disebarkan melalui eksternal yang melakukan acara di FH nya UII bakalan kontra sama RUU Instagram Story dari akun berinisial IB. UII. Kriterianya yakni bisa menunjang PKS, ya terus kenapa dengan orang- Meski pengaduan tibagi mahasiswa UII serta tidak orang yang mau membahas RUU PKS dak dilanjutkan dan tak keluar dari nilai-nilai yang ini?” ada pada pemanggilan dianut oleh kampus. Pembatalan diskusi WM dan dari pihak kepolisian, Kriteria tersebut dirasa PSDMA Nadim Komunikasi UII Khalif tetap menilai Bayyoumi sudah dipetersebut juga mendapat perhatian bahwa hal tersebut nuhi oleh kegiatan Sedari mahasiswa secara umum. Khalif telah mengisyaratkan kolah Menulis milik SC M. Madani, mahasiswa Ilkom UII adanya ancaman. “MeKomaka. “Kegiatannya yang mewakili Aliansi Demokratisasi ngancam kita yang memang bagus, dan Kampus (ADEK) sempat menanyai membangun wacana, kalau bisa kami adakan. pihak penyelenggara acara terkait memberikan kritik juga deNamun, karena persyaratan • Khalif M. Madani pembatalan diskusi. “Intinya dari pihak ngan melaporkan polisi.” formil dan SC Komaka penyelenggara merasa sudah... intinya Selain kejadian tersebut Khalif merupakan study club sehingga terbentur
Keadilan Post Edisi Juli 2019
7
dengan peraturan.” Alhasil acara Sekolah Menulis tetap dijalankan setelah SC Komaka berhasil mendapat pinjaman ruangan di Kampus 3 Universitas Ahmad Dahlan. Padahal anggota SC Komaka dan sasaran acara tersebut merupakan mahasiswa FH UII. “Biar mahasiswa-mahasiswa yang ada di UII mampu mengekspresikan yang ada di kepalanya... mengekspresikan lewat tulisan,” papar Cesario.
Mendengar kejadian-kejadian tersebut, Eko Rial selaku Dosen FH UII ikut berkomentar. Ia memberikan perspektif kehidupan mahasiswa semasa ia kuliah di FH UII medio 1990-an. Menurut Eko kampus semasa ia kuliah sangat memberikan ruang demokrasi kepada mahasiswa. Menurutnya, pada saat itu organisasi mahasiswa baik internal maupun eksternal kampus sangat diberikan kemudahan dalam mengakses fasilitas
guna menyelenggarakan aktivitas. Eko juga menyampaikan harapannya agar dinamika kemahasiswaan dapat tetap demokratis. “Mahasiwa harus lebih aktif, lebih peka terhadap perkembangan, dan fenomena yang terjadi, minimal terhadap masyarakat kampus kita.” Reportase bersama: Aldhyansah Dodhy, Kirana Nandika, Rizaldi Ageng
OPINI
Menyoal Keberadaan Honorer
Ilustrasi oleh: Astika/Keadilan Oleh: Nurmalita Ayuningtyas Harahap*
Akhir tahun 2018 lalu menjadi saat yang ditunggu sebagian besar honorer di Indonesia, karena telah dikeluarkannya PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PP PPPK). Keluarnya peraturan tersebut memberikan konsekuensi yuridis bagi para honorer terutama yang berusia di atas 35 tahun untuk mendapat kesempatan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kedudukan beserta hak-hak PPPK ini hampir sama dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan tersebut dianggap memberikan kepastian hukum bagi keberadaan honorer. Pasalnya sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) lahir, kedudukan honorer sudah tidak lagi diatur dalam peraturan tersebut.
8
Dengan kata lain, pergeseran aturan kepegawaian dari UU Nomor 43 Tahun 2019 sebagai pengganti dari UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi UU Nomor 5 Tahun 2014 memberikan perubahan dalam kedudukan honorer. Pada UU Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai Tidak Tetap (PTT) masih termasuk ke dalam pegawai negeri. PTT ini kemudian disebut dengan honorer, yang mana hak dan kewajibannya pun diatur dalam UU tersebut. Namun setelah diterbitkannya UU ASN maka keberadaan PTT telah dianulir. Sebenarnya sebelum dikeluarkannya UU tersebut terdapat PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. PP Nomor 48 Tahun 2005 kemudian diubah menjadi PP Nomor 43 Tahun 2007 dan Surat Edaran Menteri
Keadilan Post Edisi Juli 2019
Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ Tahun 2013. PP tersebut telah tegas melarang dan membatasi pengangkatan bagi honorer menjadi PNS, dilihat dari lamanya masa pengabdian. Pada peraturan dan kebijakan terkait tenaga honorer tersebut, tidak terdapat ketentuan tegas atas konsekuensi bagi kepala daerah yang masih mengangkat tenaga honorer. Hingga saat ini banyak pejabat di daerah masih mengangkat tenaga honorer tanpa melihat jumlah yang dibutuhkan instansi. Bahkan masih terdapat tenaga honorer, misalnya guru, yang pengangkatannya dilakukan oleh pimpinan instansi tanpa sepengetahuan kepala daerah. Padahal kewenangan untuk pengangkatan honorer sebenarnya dilakukan oleh Kepala Daerah, yaitu melalui Surat Keputusan yang dikeluarkannya. Masih banyaknya pengangkatan ini bukan tanpa sebab. Instansiinstansi tersebut merekrut tenaga honorer tanpa memerlukan persiapan yang rinci. Berbeda jika dibandingkan dengan perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang biaya penyelenggaraannya lebih mahal. Jika instansi membutuhkan sumber daya manusia untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas, maka tenaga honorer dianggap merupakan solusi cepat. Oleh karena itu, kini banyak tenaga honorer yang belum punya kejelasan untuk diangkat menjadi CPNS. Tenaga honorer yang jumlahnya cukup tinggi ialah profesi guru. Hingga pertengahan 2018 lalu, tercatat bahwa jumlah tenaga guru honorer kategori
2 (K2) mencapai 1,53 juta orang, dari total keseluruhan sebanyak 3,2 juta. Bahkan menurut cnnindonesia.com saat ini Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang. Dilansir juga dari jpnn.com bahwa terdapat 80.585 honorer K2 yang melamar pada rekrutmen PPPK di Februari tahun ini. Data tersebut menunjukkan masih terdapat banyak tenaga honorer, khususnya yang berstatus K2. Terkait dengan penghasilan, honorer K2 dianggap tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Misalnya guru honorer K2 di daerah, yang selama ini mendapatkan gaji dari Bantuan Operasional Sekolah. Selain itu, ketentuan yang mengatur tenaga honorer belum secara luas disosialisasikan kepada masyarakat. Harapan masyarakat agar dapat langsung diangkat menjadi PNS masih menimbulkan antusiasme tinggi untuk bisa menjadi tenaga honorer. Padahal honorer yang diangkat sekarang harus melalui tahapan sama dengan pelamar
umum jika ingin menjadi PNS atau PPPK. Banyaknya pengangkatan tenaga honorer ini justru akan menjadi ‘bom waktu’ jika dilakukan terus menerus. Sebab, ketentuan yang mengatur dengan rinci akan keberadaan tenaga honorer tidak ada, dan justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi mereka sendiri. Terlebih rekrutmen untuk tenaga guru honorer. Jika itu terus dilakukan maka akan menurunkan kualitas sumber daya manusia bagi tenaga pendidik. Karena seleksi yang tidak ketat, akan memengaruhi kualitas pendidikan itu sendiri. Terdapat solusi untuk mengatasi tenaga honorer yang semakin banyak di Indonesia. Yakni pemerintah harus segera menghentikan penerimaan tenaga honorer, terutama yang dilakukan pejabat di daerah. Selain itu juga diperlukan pengawasan dan sanksi dari internal pemerintah, baik di pusat maupun daerah agar
tidak terjadi pengangkatan tenaga honorer secara berlebihan. Karena jelas bahwa sebenarnya terdapat aturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer. Contohnya dalam hal banyaknya pengangkatan guru honorer, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan peringatan dan sanksi sebagai pengawasan. Mengingat hal tersebut bertentangan dengan aturan dan kebijakan yang ada. Selain itu dengan adanya PP PPPK, hendaknya pemerintah memberikan peluang yang besar bagi tenaga honorer yang masih ada untuk dialihkan statusnya menjadi PPPK. Terutama bagi tenaga honorer di atas umur 35 tahun, yang tidak bisa mendaftar dan mengikuti rekrutmen CPNS.
* Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
KARIKATUR
Keadilan Post Edisi Juli 2019
9
10
Keadilan Post Edisi Juli 2019
FRAGMEN
Belajar Membangun Kreativitas di Sanggar Anak Alam Narator: Mirza Agung Rahmatullah Reportase Bersama: Kirana Nandika Ramaniya
Cuaca cerah menghiasi pemandangan di Jalan Nitiprayan pagi itu. Tepatnya di sekitar area persawahan, tempat tawa anak-anak dan keramaian hilir mudik memenuhi rumah yang sederhana. Rumah itu ialah Sanggar Anak Alam atau dikenal juga sebagai Salam, sebuah tempat menempuh pendidikan yang berbeda dari sekolah-sekolah formal lainnya. Selain sanggar utama terdapat dua bangunan rumah yang terletak 10 meter di sebelah utara. Salah satunya adalah rumah panggung kayu dengan dinding anyaman bambu yang merupakan kelas anak-anak Salam belajar. Dikutip dari laman salamyogyakarta.com, Salam didirikan pada 1988. Pada prosesnya Salam sempat berubah menjadi komunitas ANANE29, hingga dihidupkan kembali oleh Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo pada tahun 2000 di Kampung Nitiprayan, Bantul. Toto Rahardjo sebagai kepala sekolah menjelaskan bahwa alasan ia mendirikan Salam karena adanya masalah ketimpangan pendidikan di Indonesia. Salam sendiri membuka kelas mulai dari taman bermain anak-anak hingga sekolah menengah atas. Beda dengan sekolah pada umumnya, para siswa di Salam tidak mengenakan seragam. Selain itu di sana dalam metode pembelajarannya tidak menggunakan sistem menghafal melainkan menggunakan riset untuk memperoleh ilmu. Sekolah yang menggunakan metode tak lazim ini memiliki jumlah siswa terdaftar sekitar 200. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional pada hari Kamis, (2/5) Salam mengadakan acara pesta pangan dengan tema “Pasar Pangan Sehat�. Acara ini bertepatan dengan bulan presentasi atas hasil riset selama di Salam. Acara ini tidak hanya khusus untuk siswa-siswi Salam saja melainkan juga terbuka untuk umum. Nampak sebelum acara dimulai saja sudah banyak pengunjung datang untuk melihat pesta pangan tersebut. Acara pesta pangan dibuka pada pukul 09:30 oleh Kepala Sekolah Salam, Toto Rahardjo. Di acara itu baik pengunjung maupun siswa-siswi harus membawa alat makan dan minum masing-masing. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan acara pesta pangan itu, yakni untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Ia mengungkapkan acara ini tidak hanya memperingati Hari Pendidikan Nasional saja, melainkan untuk Hari Bumi. “...Bahwa sumber daya alam ini penting untuk manusia. Maka salah satu hal penting itu di sini adalah pangan, agar orang menyadari pentingnya makanan sehat,� ungkapnya. Begitu acara dimulai nampak anak-anak berkeliling dan membeli makanan yang dijual di stan-stan yang telah disediakan. Mulai dari soto, nasi tiwul, es krim, sampai karya-karya anak Salam seperti tas jinjing, batik, miniatur mainan, dan lain sebagainya. Pada pukul 10:00 kegiatan presentasi pun dilaksanakan. Salah satu siswi kelas empat sekolah dasar bernama Meiza mempresentasikan hasil kerjanya dengan didampingi seorang guru. Ia menjelaskan pembuatan soto mulai dari rempah-rempah, bumbu-bumbu, hingga cara pembuatannya. Presentasi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, yang berhasil dilalui Meiza dengan percaya diri. Karya dan kepercayaan diri yang ditampilkan oleh Meiza, serta siswa-siswa Salam pada hari itu berhasil menimbulkan kesan bagi para hadirin. Adanya Salam pun membuktikan bahwa untuk memperoleh ilmu, berkreativitas juga sama pentingnya dengan mempelajari pengetahuan eksak. Dari Salam kita juga bisa belajar bahwa untuk memperoleh pendidikan tidak harus mengandalkan program pemerintah saja, melainkan juga bisa dengan memanfaatkan turut serta masyarakat.
1
Mirza/Keadilan
Bermain Ria
Bangunan
4
Mirza/Keadilan
Menjajakan Makanan
Kepala Seko
7
Mirza/Keadilan
Budayakan Antri
Karya Ker
2
Mirza/Keadilan
Mirza/Keadilan
n Sanggar
Keramaian Pengunjung
5
6
Mirza/Keadilan Mirza/Keadilan
olah Salam
rajinan
3
Kirana/Keadilan
Ruang Kelas
8
9
Mirza/Keadilan
Mirza/Keadilan Mirza/Keadilan
Kegiatan Presentasi
RESENSI
Kartini Mau Hak yang Setara Raden Adjeng Kartini namanya, tak panjang umur tapi langgeng perjuangannya. 25 tahun saja waktu yang dibutuhkan untuk mewariskan nilai adiluhung tentang perempuan. 25 tahun saja waktu yang dibutuhkannya untuk meneruskan tongkat estafet tak berujung ke generasigenerasi selanjutnya.
Oleh: Aldhyansah Dodhy Putra
T
ak banyak pahlawan nasional perempuan di Indonesia, bahkan sampai saat ini terhitung hanya 14 dari total 179. Dari jumlah yang sedikit itu pun, masih terdapat pula pahlawan perempuan yang perjuangannya disangsikan. Mulai dari Tien Soeharto yang pengangkatannya dinilai kontroversial, hingga biang perdebatan rutin masyarakat tiap hadirnya 21 April, Raden Adjeng Kartini. Beragam cibiran masih saja keluar terkait pejuangan sang pahlawan emansipasi wanita ini. Mulai dari kedekatannya dengan orangorang Belanda hingga kesangsian atas perjuangannya. Kesangsian tersebut bukannya tak beralasan. Kartini adalah perempuan keturunan ningrat yang menolak keras tatanan masyarakat saat itu, mulai dari kesenjangan sosial hingga isu spesifik seperti poligami. Perlawanan Kartini yang tergambarkan melalui suratsuratnya ke Rosa Abendanon-Mandri kemudian dibukukan menjadi Door Duisternis tot Licht (dikenal juga sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang) dinilai masih terlalu dilebih-lebihkan. Bahkan lebih jauh, masih ada pula pihak yang membandingkan perjuangan Kartini dengan pahlawan perempuan
lain seperti Cut Nyak Dhien kala mempertahankan tanah Aceh di medan perang. Namun perlu disadari, membahas tentang apa yang sudah dilakukan Kartini pada bangsa memang tak melulu melalui kisah-kisah heroik penggugah semangat. Menjadi putri dari R.M. Sosroningrat, Bupati Jepara yang cukup dekat dengan para bangsawan Belanda, membuat Kartini memiliki hak istimewa. Keistimewaan tersebut ialah menempuh pendidikan sekolah dasar maupun mendapatkan pelajaran bahasa Belanda hingga fasih. Tetapi bagaimanapun keistimewaan tersebut tetap tak membuatnya tunduk, sebaliknya ia justru makin kokoh melawan dengan pikiran-pikiran yang progresif. Pendidikan sekolah dasar yang ditempuhnya saat itu justru semakin membuatnya berpikir bahwa ‘keistimewaan’ nan ia peroleh pun masih tertinggal dari laki-laki. Jika menjadi istimewa saja hanya mampu membuatnya menempuh sebagian kecil dari bangku pendidikan formal, maka bagaimana dengan nasib para
Ilustrasi oleh: Aldhy/Keadilan
14
Keadilan Post Edisi Juli 2019
perempuan dari kalangan biasa? Buah-buah pikiran Kartini itu pun kemudian diwujudkannya dalam bentuk surat-surat yang dikirimnya kepada para sahabat pena di Belanda. Salah satu dari sahabat penanya ialah seorang pegawai kantor pos, Stella Zehandelaar, medio 1899-1903. Pertemanan jarak jauh antara Kartini dan Stella sebenarnya dimulai dengan cukup unik. Melalui De Hollandsche Lelie, sebuah majalah perempuan Belanda, Kartini mengiklankan dirinya. Pada iklan yang terbit pada 15 Maret 1899 tersebut Kartini mendeskripsikan diri sebagai, “Seorang perempuan yang terdidik akan sangat senang bila ada pelanggan di Holland (Belanda) yang bersedia berkirim surat dengannya”. Iklan tersebut kemudian ditanggapi oleh Stella yang tertarik dengan ideologi feminis dan sosialis, sekaligus menjadi awal dari persahabatan singkat mereka. Besar kemungkinan pula hanya Stella lah yang benar-benar menanggapi iklan Kartini kala itu. Setelah wafatnya Kartini, Rosa Abendanon pun meminta kepada Stella agar mau mempublikasikan surat-surat yang diperolehnya. Hingga akhirnya pada tahun 1911, 14 dari 25 total surat yang diterima Stella kemudian dapat dibukukan pertama kali. Sebuah buku yang bukan hanya dapat menggambarkan dengan jelas buah pikiran Kartini tetapi juga menjadi cerminan dari keadaan sekitar Jawa di masa itu. Salah satu nilai yang cukup ditekankan Kartini dalam suratnya ialah tentang kebenciannya akan poligami. Secara eksplisit ia menuliskan, “Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan sudah menjadi seorang Ayah?
Yang hanya karena sudah bosan dengan istrinya yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya”. Lebih tajam lagi ia bahkan mengkritik hukum Islam yang mengizinkan seorang pria untuk menikah hingga empat kali. “Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebagai sebuah dosa”. Pernyataan keras terhadap nilai-nilai agama seperti inilah yang kemudian membuat Kartini masih sulit untuk diterima oleh beberapa kalangan hingga sekarang. Pandangan Kartini terhadap
antara pribumi dan orang Belanda. Kritik tentang kemiskinan dituangkan oleh Kartini pada suratnya tertanggal 13 Januari 1900 yang mengatakan, “Tidak Stella, pemerintah sungguh telah menyejahterakan rakyatnya, tapi sayang, pemerintah masih juga membebani rakyat dengan pajak-pajak yang berat”. Tingginya pungutan pajak tersebut kemudian semakin diperburuk lagi dengan bencana yang silih berganti menghampiri tanah Jawa. Selain kemiskinan dan bencana, kehidupan masyarakat pribumi masih pula harus menghadapi merebaknya perdagangan opium kala itu. Menurut Kartini, opium telah menjadi biang kekacauan bahkan sebagai pe e m nyebab langsung dari is u: Femin : Aku Ma pembunuhan, pembakae ionalism Judul dan Nas ran, dan perampokan yang dilakukan oleh para . Kartini .A R : pecandu saat itu. “Ada ng Pengara setan yang lebih jahat a Yulianto It ia s is V dari minuman keras itu! ah : Penerjem s a p Opium! Oh mengerikan! m o an K bpress d Ir : Keganasan opium Penerbit itu sungguh tak bisa 227 : diuraikan dengan kataJumlah kata,” tulisnya. halaman Kartini tak cuma menuangkan ide pikiran saja, ia juga mencurahkan poligami ini terbilang cukup berani, kehidupan personalnya juga. Kisah mengingat betapa besarnya tatanan selingan tersebutlah yang kemudian sosial dan dogma yang ia tentang mampu mempermudah kita untuk terus melalui tulisan tersebut. Pada tradisi mau membaca gagasan-gagasannya. Jawa saat itu perempuan memang Bagaimana Kartini menanggapi ayahmasih dianggap sebagai konco wingking nya yang mulai sakit-sakitan hingga sehingga perannya hanya berkutat kisah hari-hari menjelang pernikahan pada urusan domestik semata. Semakin mengalir dengan baik sehingga mampu berani lagi mengingat Kartini ialah membuat kita iba akan nasibnya. anak dari seorang selir hasil poligami Pandangan-pandangan Kartini ayahnya. Jika masih belum cukup ironis, yang terangkum dalam buku berjudul maka tambahkan fakta bahwa sebelum Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme ini wafat Kartini harus menjadi istri mampu menjadi bahan pembelajaran keempat dari seorang Bupati Rembang menarik. Pemikiran-pemikirannya yang karena dijodohkan. dikemas dengan terjemahan apik oleh Surat-surat Kartini juga tak Vissia Ita Yulianto ini membuat ide melulu membahas permasalahan ke- dan gagasannya mempertahankan nilai setaraan gender. Melalui surat ini relevansi. Melihat kisah-kisah Kartini Kartini juga membicarakan tentang yang harus mengalami diskriminasi nasib buruk pribumi di masa itu. Meski baik karena ia bukan berasal dari tidak termasuk ke dalam golongan yang ras kaukasian ataupun pria, sedikit harus mengalami hidup kesusahan, mengingatkan akan situasi saat ini. tetapi Kartini mampu cukup peka Penindasan terhadap peremuntuk menyadari adanya demarkasi puan masih marak saat ini, terlebih
lagi jika berasal dari kaum tertindas. Kasus-kasus serupa berulang kali terjadi di Indonesia. Situasi terburuk mungkin bisa dilihat pada pemerkosaan dan pembunuhan yang harus dialami perempuan etnis Cina pinggiran di Jakarta pada era menjelang reformasi. Melalui artikel dari BBC Indonesia yang berjudul Perkosaan Mei 1998 ‘tak pernah terungkap, tak pernah dituntaskan’ dicantumkan bahwa terdapat 150 perempuan menjadi korban saat itu. Selain itu masih ada diskriminasi lain yang harus dihadapi oleh perempuan Indonesia hingga saat ini. Misal kasus dipidananya Baiq Nuril karena merekam pelecehan seksual yang diucapkan oleh kepala sekolah tempat ia bekerja. Belum lagi jika kita membahas belum terpenuhinya hak-hak lain bagi perempuan seperti sedikitnya cuti melahirkan yang hanya tiga bulan—di bawah standar World Health Organization yakni enam bulan. Surat-surat Kartini memang tak persis sama dengan masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini. Tapi spirit perjuangannya tetaplah sama, yakni mengusung emansipasi perempuan di tatanan budaya yang masih kental patriarkinya. Meski begitu tidak berarti pikiran-pikiran Kartini tak memiliki kekurangan. Salah satu yang bisa dikritik adalah kecondongan ide Kartini yang sangat Jawasentris. Halhal ini sangat terasa tiap kali Kartini menekankan kesulitan yang dialaminya sebagai perempuan Jawa. Sehingga dalam hal ini semangat nasionalisme dan keterikatan secara utuh yang dapat dirasakan oleh perempuan Indonesia belum benar-benar terasa. Walau kembali lagi, hal tersebut dapat kita maklumi mengingat pada masa itu semangat nasionalisme secara kenusantaraan belum meluas. Terlebih dengan keadaan Kartini kala itu yang tak secara langsung bersentuhan dengan situasi kenegaraan membuat pengetahuannya tentang keadaan di luar Jawa masih terbatas. Toh, semangat nasionalisme di Indonesia sendiri sebenarnya baru bisa tumbuh secara luas 24 tahun pasca wafatnya Kartini, saat Sumpah Pemuda dibacakan di Batavia pada tahun 1928. Satu hal lagi yang cukup
Keadilan Post Edisi Juli 2019
15
kontroversial adalah tentang keabsahan dari surat-surat Kartini. Konon, Kartini hanyalah bagian dari politik etis yang digunakan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hal ini disebabkan karena status Rosa Abendanon yang tak lain adalah istri dari Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan (dianggap merepresentasikan pemerintah Hindia Belanda) serta sulitnya naskah asli dari surat-surat Kartini ditemukan. Terkait kontroversi ini, melalui kata pengantarnya Goenawan Mohamad mengungkapkannya dengan cukup baik yakni, “Membahas Kartini bukan sebagai tokoh, tapi sebagai pokok”. Jangan selalu memperdebatkan diri Kartini saja, tetapi perlu juga dipahami
substansi yang ia tawarkan ke bumi Indonesia. Melalui buku ini kita dapat memahami pergulatan pikiran yang perlu ditempuh oleh Kartini hampir sepanjang hidupnya. Pergulatan pikiran yang menghadirkan ide itu pula kemudian membuat perjuangan Kartini tak dapat disepelekan begitu saja. Di tengah kuatnya nilai patriarki masa tersebut hadirlah Kartini, seorang wanita terdidik yang ingin memperjuangkan emansipasi. Kartini memang tak membawa senapan ataupun pedang, tetapi penanya sanggup menjadi motor untuk terus menginspirasi semangat perjuangan wanita Indonesia setelah dia. Kini perjuangan beralih ke
kita semua. Entah mau mengamalkan gagasan Kartini atau tidak ialah pilihan masing-masing. Tetapi kembali lagi perlu diingat, bahwa di balik tiap penindasan dan diskriminasi akan selalu hadir Kartini baru. Yakni mereka yang di balik mulut kakunya menyimpan banyak teriakan nan siap dituangkan dalam bentuk apa pun. Mereka yang telah sangat siap berjuang menghadapi gunung paling terjal sekalipun. “Kamu tahu moto hidupku? ‘aku mau’. Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. ‘Aku tidak mampu’ menyerah. ‘Aku mau!’ Mendaki gunung itu.”
JENDELA
Ziarah dan Padusan Sebagai Rukun Menyambut Ramadan Oleh : Natalia Rahmadani Papuana Dewi
Sebagai negara dengan budaya keislaman kuat, selalu saja ada cara unik yang dilakukan masyarakat Indonesia demi menghadapi datangnya Ramadan. Beberapa diantaranya ialah Ziarah dan Padusan yang masih sering ditemukan di Daratan Jawa.
• Para pengunjung Makam Kyai R.B. Khasantuka pada Minggu (5/5).
M
akam Kyai Raden Bagus Khasantuka yang terletak di daerah Senuko, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, merupakan salah satu destinasi nan lazim dikunjungi sebelum datangnya bulan Ramadan. Dari ufuk barat, terlihat gerombolan warga tengah duduk bersimpuh dengan kedua telapak tangan terangkat. Bibir mereka tak henti bergetar melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Di sisi timur sekelompok lainnya tengah berjalan dengan senyum
16
Mirza/Keadilan
mengembang ke tempat yang diyakini memiliki nilai spiritual ini. Kyai Raden Bagus Khasantuka merupakan anak Raja Mataram dari Kesultanan Kartasura yang berkuasa di awal tahun 1700-an. Setelah dewasa, ia belajar ilmu agama dari berbagai pesantren dan melepas gelar kebangsawanan. Ia menjadi ulama besar yang disegani dan ikut serta dalam menyebarkan agama Islam di daerah Yogyakarta bagian barat khususnya Godean. Masyarakat sekitar meyakini
Keadilan Post Edisi Juli 2019
cikal-bakal penamaan Kampung Senuko diambil dari nama sang Kyai. “Jadi kampung Senuko sendiri yang memberi tenger (tanda), nama Senuko itu Mbah Khasantuka,” terang Pardiyana selaku Ketua Paguyuban Senuko. Pardiyana telah menjabat sebagai ketua paguyuban selama 21 tahun. Ia dulunya bekerja di Universitas Gadjah Mada sebelum akhirnya memilih pindah ke kampung tersebut. Selama tinggallah ia kemudian melihat lokasi makam Kyai Raden Bagus Khasantuka yang hanya digunakan sebagai tempat mencuci dan mandi warga. “Kalau makamnya malah waktu itu tidak terurus. Terus entah apa saya sendiri gak tau. Ada panggilan dari hati saya”. Hingga kemudian timbullah ide untuk merawat wilayah makam hingga membangun musala di area tersebut. Usaha tersebut membuahkan hasil pada Minggu (5/5), saat makam Kyai Raden Bagus Khasantuka tampak dipenuhi pengunjung. Datang dari berbagai penjuru Jawa dan sekitarnya, tempat ini paling ramai pada malam Jumat ataupun Selasa Kliwon. “Kebanyakan datang dari berbagai pondok pesantren NU (Nahdlatul Ulama),” tambah Pardiyana. Ramai dan damai, kata yang pas disematkan pada tradisi tersebut.
Mirza/Keadilan • Pardiyana saat ditemui di kediamannya (5/5).
Bahkan suara dari blitz kamera pun tidak dapat merusak khusyuknya doa mereka. Masyarakat telah lama percaya bahwa sebelum datangnya ruwah atau bulan Ramadan mereka melakukan ziarah sembari memanjatkan keinginankeinginan atau sekadar berdoa. “Minta berkah...,” ujar Ali Muh. Syafi, salah satu peziarah makam. Lebih lanjut Ali memaparkan bahwa ziarah berawal dari zaman Nabi Muhammad Saw. Saat beliau sedang dalam perjalanan dan mendengar jeritan orang yang telah meninggal dari kuburnya. Nabi lalu bergegas mengambil sebuah pelepah kurma dan dibelahnya menjadi dua bagian. “Selama pelepah kurma itu masih basah, maka masih berfungsi untuk meringankan siksa itu,” ujarnya. Tak jauh dari makam terdengar seruan azan untuk melaksanakan ibadah salat zuhur yang bersumber dari sebuah musala di pinggir jalan. Bangunan berwarna putih dan berarsitektur sederhana berkapasitas kurang dua puluh jamaah tersebut menjadi tempat ibadah peziarah usai melakukan agendanya. Musala tersebut didirikan sebagai penyeimbang syiar serta menghilangkan kesan mistis di area makam. Diharapkan bahwa, para peziarah pun tak lupa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa sebagai pemilik dari hidup yang sesungguhnya. Setelah selesai melakukan ziarah, para peziarah bangkit dan berjalan ke arah keran air yang berada tak jauh. Air tersebut beriak di lantai bersemen cokelat, kemudian menimbulkan gemercik. Keran nan konon tidak akan
pernah berhenti menyemburkan air itu, dialirkan dari tempat yang juga digunakan untuk menjalankan prosesi ritual. “Tidak pernah habis. Itu musim kemarau panas sekalipun airnya seperti itu,” jelas Pardiyana. Gelak tawa menggema bersama dengan terbentuknya lingkaran air hasil lompatan kecil. Siang itu matahari tengah menunjukkan bakatnya, membuat air terlihat hangat sehingga semua tak segan menyeburkan diri. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing sambil sesekali memerhatikan buah hati yang tak kalah serunya bermain. Orangorang tersebut menyeburkan diri di kolam bernama Sendang Bagusan. Ritual ini dikenal luas dengan nama padusan atau lebih tepatnya ajang membersihkan diri menggunakan air yang dianggap memiliki nilai spiritual. padusan bertujuan untuk menyambut hal baik yang telah ada di depan mata. Mereka percaya bahwa bulan suci Ramadan sebagai ajang untuk mengembalikan diri ke fitrah manusia sebagai insan yang mulia. Pardiyana juga menjelaskan urgensi dilakukannya prosesi padusan. “Iya hanya sesuci saja, secara bahasa lahiriahlah kalau apa ya. Ini sunah juga.” Lokasi padusan yang merupakan kolam berukuran lima kali lima meter ini pun turut diisi dengan beberapa ekor ikan. Adanya ikan tersebut bertujuan selain sebagai pembersih bakteri juga digunakan sebagai daya tarik untuk anak kecil. Tak hanya dipadati oleh orang tua, mereka juga mengajak anakanak yang turut membersihkan diri mulai dari melakukan keramas hingga memakai sabun. Namun banyak pula anak yang datang hanya dengan temantemannya tanpa didampingi oleh orang
tua, mereka mengaku memang sering bermain di sini. Banyaknya anak-anak yang bermain ini tak terlepas dari bebasnya prosesi ritual. “Sak karepe (terserah),“ tutur seorang warga paruh baya bernama Mardi saat ditanyakan tentang prosesi apa saja yang perlu dilakukan selama padusan. Salah satu tempat yang dijadikan tempat pelaksanaan padusan tersebut terletak di sekitar wilayah makam Kyai Raden Bagus Khasantuka. Tempat ini dikelilingi berbagai macam tanaman hias yang memberikan kesan asri. Dari sekian banyak tanaman yang mengelilingi, bambu merupakan tanaman yang paling dirawat bahkan hingga dibuatkan pagar pembatas. “Jadi nek seng gitu ya kita menghormati juga, seperti pohon pring (bambu) itu kan enggak boleh di-ketok (potong) gitu,” jelas Pardiyana. Bambu tersebut dibiarkan tetap ada sebagai bukti menghormati pesan leluhur. Hari makin terik, banyak warga yang kemudian beristirahat di pinggiran kolam sambil mencuci pakaian mereka. Beberapa lelaki paruh baya terlihat hanya mengenakan pakaian dalam dan yang lainnya mengenakan celana pendek. Selepas padusan terlihat beberapa orang tua sibuk memakaikan handuk ke kepala sang buah hati, seakan berusaha menyelamatkan diri dari terik mentari yang menyengat kulit. Sebelum kemudian meninggalkan area padusan dan beranjak ke kendaraan masingmasing. Setelah orang-orang meninggalkan wilayah makam Kyai Raden Bagus Khasantuka, Pardiyana dan beberapa masyarakat lain mulai merapikan kembali area. Pembersihan lokasi makam dan padusan dilakukan
• Pengunjung Sendang Bagusan sedang menceburkan diri (5/5).
Mirza/Keadilan
Keadilan Post Edisi Juli 2019
17
oleh sebuah paguyuban yang berisikan para masyarakat sekitar. “Tapikan tidak sendiri, ya saya mencoba untuk merawuh-kan (mendatangkan) merekamereka yang mau peduli. Sehati sama kita untuk makam ya biar baguslah,” ujar Pardiyana, mengenang kembali masa ketika ia menginisiasi terbentuknya paguyuban.
Terkait masalah dana mereka mengandalkan sumbangan sukarela dari para pengunjung dengan menyalurkannya melalui kotak-kotak di berbagai sudut lokasi. Dana tersebut kemudian diletakkan di bank guna kebutuhan lokasi makam. “Tapi kalau membangun itu dana dari infak Mbah Khasantuka itu kalau saya boleh cerita.
Biasanya kalau ruwah itu uang masuk itu hampir 10 juta,” ucap Pardiyana. “... kalau yang bulan-bulan biasa itu ratarata 2 juta sampai 2,5 juta,” tutupnya.
Reportase bersama: Ainun Akhiruddin, Mirza Agung, Puji Indah
DENYUT BAWAH
Belajar Agama di Ponpes Al-Fatah
Mirza/Keadilan • Suasana Pondok Pesantren Al-Fatah menjelang magrib pada Minggu (21/4). Oleh : Rizki Nur Astikasari
Perjalanan menuju Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Fatah memanglah tak mudah. Gang-gang kecil di wilayah bersejarah Kotagede, Yogyakarta perlu ditelusuri untuk menemukan pondok ini. Ponpes ini memiliki ciri tersendiri yakni beranggotakan wanita pria (waria). Mungkin terdengar tak lazim, namun ponpes ini telah berdiri sejak tahun 2008. Menurut Shinta Ratri selaku Ketua Ponpes Al-Fatah, kian lama semakin banyak orang yang bergabung di ponpes ini. “Peningkatan, kita ada 42 orang.” Para santri berasal dari latar belakang yang berbeda, mulai dari
18
pengamen, pegawai salon, atau berbagai kegiatan lain di luar. Salah satunya adalah Erni, yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen. Sejak memutuskan bergabung di ponpes ini, ia tetap menyisihkan waktunya. “Kalau hari Minggu tetap rutin datang,” ujarnya. Sejak beberapa tahun lalu Ponpes Al-Fatah ini telah menyita perhatian publik. Nama Shinta sendiri bahkan telah diberitakan media-media luar negeri sekelas TIME, BuzzFeed, New York Time, dan banyak media nasional lain. Setiap Minggu banyak tamu berdatangan ke Ponpes Al-Fatah ini, berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku tamu yang disediakan telah terisi berlembarlembar oleh para pengunjung dengan
Keadilan Post Edisi Juli 2019
beragam kepentingan. Para santri pun menyambut mereka dengan tangan terbuka. Kegiatan para santri dalam belajar agama di Ponpes Al-Fatah ini tidak diadakan tiap hari. Hanya pada waktu sore hingga malam tiba setiap hari Minggu kegiatan berjalan. Meski begitu, Ponpes Al-Fatah juga menyediakan kamar—meski tak banyak—yang bisa ditempati para santri tiap harinya. Setidaknya ada enam orang yang memilih bertempat di ponpes tersebut. Azan ashar telah berkumandang, satu persatu dari para santri mulai berdatangan ke ponpes. Sembari mereka mengistirahatkan diri sejenak, canda tawa dan obrolan sana-sini
dipandang jauh dari agama, tetapi mahasiswa strata dua di Universitas waria juga memiliki hak untuk Islam Negeri Sunan Kalijaga. Bangunan rumah berkesan mengekspresikan keyakinan. “Padahal esensinya waria itu juga joglo artistik yang menjadi tempat punya hak untuk belajar gitu. Jadi ponpes ini merupakan kediaman pribadi saya memotivasi mereka buat Shinta Ratri. Rumah seluas kurang lebih belajar gitu, utamanya belajar 200 meter itu adalah peninggalan dari neneknya. Bersama dua rekan lainnya ia tentang agama,” ucap Ardiansyah. Di Ponpes Al-Fatah para mendirikan ponpes ini. Di tahun 2014, santri beribadah sesuai dengan Shinta ‘menyulap’ kediamannya dan kenyamanan masing-masing. Para memindahkan ponpes dari Notoyudan santri bebas memakai sarung ke Kotagede. Mirza/Keadilan ataupun mukena, sesuai dengan Kepada Keadilan Shinta ber• Shinta selaku ketua ponpes (21/4). keyakinan masing-masing mereka bagi cerita awal mula ponpes Altentang cara berkomunikasi kepada Fatah ini didirikan. Saat gempa yang hadir memeriahkan ruang-ruang di banyak memakan korban jiwa terjadi Tuhan. ponpes. Terkadang sembari menunggu Para santri di Ponpes Al- di Yogyakarta pada tahun 2006 silam, kehadiran yang lain, para santri pun Fatah pun menjalankan proses belajar para waria meminta seorang ustaz mengadakan arisan. mereka tanpa ada paksaan. Ardiansyah untuk memimpin doa bersama. Melihat Saat melakukan kegiatannya, pun menambahkan bahwa santri antusiasme mereka saat itu, muncul para santri di Ponpes Al-Fatah terbagi melaksanakan kegiatan agama dengan inisiatif agar diadakan pengajian setiap menjadi empat kelompok. Mereka cara-cara mereka sendiri. “Jadi kita bulan. bersama-sama belajar beragam hal Pengajian ini kemudian seperti bacaan salat, hafalan surat diseriusi menjadi gagasan untuk pendek, mengaji, serta kegiatan lain mendirikan ponpes supaya mereka yang berkaitan dengan ajaran agama Kita bisa memberikan ruang tidak lagi hanya sekadar mendengarkan Islam. Kegiatan belajar berlangsung nyaman bagi kawan-kawan tausiah tetapi juga bisa beribadah dan hingga waktu magrib, saat mereka waria, dan memberikan mendalami agama bersama. “Kita bisa harus berhenti sejenak dan bersiap solusi bagi kawan-kawan memberikan ruang nyaman bagi kawanuntuk melaksanakan salat berjamaah. waria yang sedang dalam kawan waria, dan memberikan solusi Kegiatan ponpes berjalan masa pencarian tuhan,” bagi kawan-kawan waria yang sedang dengan didampingi oleh beberapa ustaz. papar Shinta. dalam masa pencarian tuhan,” papar Pada saat ini terdapat empat ustaz, baik Shinta. Ponpes ini juga dinilainya dapat kalangan mahasiswa hingga dosen menjadi pengalihan dari para santri yang berasal dari beberapa universitas tinggal mengarahkan saja ini loh agama yang terlalu terfokus pada penerimaan di Yogyakarta. Dengan santai dan seperti ini, mengajarkan cara bersuci masyarakat dan urusan keduniawian tak berjarak, para ustaz berbagi serta seperti ini, cara salat seperti ini, puasa lainnya. mengarahkan ilmu tentang agama. Hingga pada tahun 2016 meseperti ini. Jadi kita cuma mengarahkan “Terus kita di sini juga tidak membayar mereka,” jelas pria yang juga menjadi rebak isu-isu lesbian, gay, biseksual, dan ustaz. Jadi semua kegiatan yang disini itu atas dasar sukarela saja,” jelas Shinta. Ardiansyah selaku salah satu pengajar mengiyakan perkataan Sinta tersebut. Terdapat tiga alasan mengapa ia memilih untuk mengajar di Ponpes Al-Fatah. “Yang pertama dari dorongan pribadi sendiri, kedua asas kesukarelaan, ketiga ada kepedulian dengan temanteman waria”. Ia juga menilai stigma negatif yang sering didapatkan oleh para santri mendorongnya sukarela mengajar di Ponpes Al-Fatah. Anggapan bahwa waria sering melakukan hal-hal yang tak sesuai norma sosial dan hanya suka membuat masalah melekat pada para santri. Melalui kegiatan positif, Mirza/Keadilan mereka pun berusaha mematahkan stigma-stigma negatif yang ada. Meski • Rully, salah satu santri ponpes saat sedang mengaji pada (21/4).
“
”
Keadilan Post Edisi Juli 2019
19
Ainun/Keadilan • Para santri ponpes menjalankan salat magrib berjamaah pada (21/4).
transgender (LGBT) yang kemudian menarik perhatian publik. Ketika itu, isu LGBT marak di lingkungan masyarakat yang menyebabkan banyak waria terkena dampak. “Karena seperti yang kita tahu orang akan susah mencari yang mana gay atau lesbi yang bisa jadi tidak terlihat di antara kita,” ucap Shinta. Para waria kemudian menerima bentuk-bentuk nyata dari kebencian dan diskriminasi. Shinta memaparkan beratnya kebencian yang mereka hadapi kala itu. “Mereka pun dilempar plastik minuman saat mengamen, ditabrak saat
20
menyeberang jalan, atau entah lainnya mereka dapatkan”. Riuhnya tanggapan terhadap isu tersebut kemudian memancing penutupan paksa terhadap Ponpes Al-Fatah. “Kami dipaksa untuk tutup dengan alasan waria itu harus tobat dulu. Waria tidak boleh beribadah dan harus bertobat dulu menjadi lakilaki baru boleh beribadah,” tambahnya. Penutupan paksa di tahun 2016 tersebut memberikan pengalaman berat bagi para santri dan penghuni ponpes. Berbekal keyakinan bahwa kegiatan ponpes dilaksanakan dengan tujuan yang baik, mereka berusaha
Keadilan Post Edisi Juli 2019
untuk dapat memulai kembali kegiatan pondok. Mereka tetap ingin bisa membantu dan membenahi para waria di jalanan yang tidak merasakan pembelajaran agama. Mereka lantas berusaha mencari penguatan dan dukungan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, lembaga bantuan hukum, serta dari berbagai kalangan. Hingga secara terang-terangan, kegiatan ponpes memulai kembali pada 2017 lalu. “Alangkah beratnya mnjadi waria hanya untuk beribadah kami harus harus bersusah payah untuk itu,” jelas Shinta mengenang masa-masa penutupan. Ponpes ini berdiri dengan tujuan memberi ruang nyaman bagi para santri dalam beribadah. Terutama dalam menghadapi berbagai pandangan tidak menyenangkan dari masyarakat sering mereka terima ketika beribadah di ruang publik. Rasa kekeluargaan dan kepedulian ditumbuhkan dalam ponpes tersebut, mulai saling bercerita berbagi keluh kesah saling bantu antar sesama. “Kita bisa memberikan ruang nyaman bagi kawan-kawan waria dan memberikan solusi bagi kawankawan waria yang sedang dalam masa pencarian Tuhan,” tutup Shinta.
Repotase Bersama : Ainun Akhiruddin, Mirza Agung, Natalia Rahmadani
AKSARA
Terima Kasih
Ilustrasi oleh: Astika/Keadilan Oleh: Rahadian Suwartono
G
itar itu sedikit berdebu. Kayunya pun telah lapuk. Ku coba petik nada minor. “Ah, alangkah jernihnya,” gumamku. Tak buruk untuk sebuah barang usang. Ku pungut gitar itu dari samping tong. Tidak seharusnya benda seindah itu bersandar di tempat busuk, begitu pikirku. Ku coba lagi petikan minor, kemudian nada mayor. Tak lama aku pun larut dalam petikanku sendiri. Benda tua ini boleh juga. Tak seperti wujudnya yang usang, suaranya masih gres. Senar-senarnya juga masih baik. “Gitar ini pantas dapat tempat lebih baik,” ujarku. Semakin aku larut dalam petikanku tak terasa air hangat menetes dari mata. Sedikit perih ketika mengalir di pipi lebamku. Semakin ku petik semakin deras ia mengalir. Juga semakin perih, bukan hanya di pipi, namun di dalam dadaku ikut perih. Ah gitar ini makin aneh saja. Beberapa petikanku salah nada. Aku tak bisa menjepit senar dengan jari manis. Tangan kiri ku memang sudah tak berjari manis. Dia direnggut beberapa bulan silam. “Tapi tak mengapa,” pikirku, nadanya masih indah. Seorang nenek lewat di ujung
gang. Sejenak ia melirikku, namun bergumam dan berlalu begitu saja. Mungkin sedikit aneh melihat seorang gadis memetik gitar, apalagi di tengah hujan. “Ah, biarlah,” gumamku sembari melanjutkan petikan. Hujan semakin lebat. Aku istirahatkan jemariku sejenak, mencari tempat berteduh. Aku hampiri emperan warung yang tutup. Ternyata langit sudah gelap. Entah jam berapa, tapi jalan kecil itu sudah sepi. Sayup terdengar derungan motor di kejauhan. Mungkin itu para anak muda yang sedang balap liar. Motor-motor itu rakitan bengkel pinggir jalan, sedangkan jokinya anak kecil berbadan kurus. Dulu, Papa pernah bercerita tentang balap liar. Katanya agar melaju kencang, sebisa mungkin harus ringan. Jadilah anak kecil disuruh jadi joki. “Ah, biarlah,” siapa juga peduli dengan mereka sekarang. Orang tuanya saja mungkin tidak. Tak sepantasnya kuhabiskan tenaga merenungi mereka. Badanku menggigil. Bajuku ternyata basah kuyup. Kaosku memang sudah robek-robek. Aku belum sempat ganti baju tadi. Kupetik lagi gitar usang itu. Berbunyi sesukaku, asal tak perlu berpikir macam-macam lagi. Kupetik dan kupetik dawainya. Maka mengalir lagi air ke pipiku. “Ah, biarlah,” pikirku. Makin lebat hujan turun makin keras juga kupetik
senarnya. Tak peduli berapa kali knalpot bising itu menderu. Peduli setan dengan mereka. “Akhirnya aku bisa bermain musik.” Padahal pagi itu sepulang sekolah hatiku masih riang. Siang tadi di kelas, Sindi memamerkan ikat rambut barunya. Ada kuping kelinci lucu di atasnya. “Ah, manisnya,” batinku. Ingin juga aku punya ikat rambut seperti itu. Nanti biarlah aku bilang ke Mama supaya dibelikan. Sampai di rumah aku langsung menuju dapur. Berharap Mama ada di sana. Aku ingin langsung berceloteh tentang kuncir temanku tadi. Ikat rambut bertelinga kelinci. Sambil berjalan sambil aku bernyanyi. Tak ingat apa lagunya, tapi yang pasti aku ganti beberapa bait menjadi kuncir kelinci. Lelaki itu berbalik. Mendelik ia padaku. Dicengkeramnya leherku. Entah apa yang Papa katakan, aku tak paham. Napasku sesak. Papa kelihatan marah. Apa aku sudah nakal? Batinku. Siang itu, aku kehilangan jari manisku. Sore itu Papa marah. Dia bilang Mama tidak mau membantunya. Kucoba mencari di penjuru rumah tapi Mama tak ada. Hanya ada aku dan Papa di rumah. Papa masih marah. Ia mengomeliku. Tapi dia bilang aku sudah besar sekarang. Dia bertanya
Keadilan Post Edisi Juli 2019
21
ingin jadi apa aku kelak. Pertama kalinya Papa menanyaiku. Papa masih menggenggam topi miring di tangannya. Ia mendelik tapi diulangnya, bahwa aku sudah besar. Papa bilang aku cantik. Tidak seperti Mama. Papa bilang Mama hanya menghabiskan uang. Masakan Mama pun tak enak, kata Papa. Aku baru teringat, Mama sedang mencuci di rumah Bu Marta, tetangga desa sebelah. Dia baru pulang maghrib nanti. Kini aku hanya berdua dengan Papa dan ia menanyaiku. Aku jawab saja, “Aku ingin jadi pemusik.” Papa tertawa. Katanya, buat apa main musik kalo punya paras cantik. Papa bilang aku harus cepat besar agar anak Pak Jumeno, lurah kami, tidak keburu tua. Papa bilang aku cocok buat kawin dengannya. Bahkan kata Papa aku cocok buat kawin dengan Pak Jumeno, sayang dia sudah beristri. Papa bilang kami bakal hidup mewah kalo aku mau kawin dengan anak Pak Jumeno. Papa tak perlu bekerja lagi, tak perlu mengocok dadu di pos ronda desa sebelah. Papa bilang kalau aku mau kawin, kami tak perlu memikirkan Mama. Kami bakal makan enak setiap hari. Kata Papa aku bakal jadi penyelamat keluarga. “Ah, itu kalau dia mau,” kataku. Papa mendelik ke tangan kiriku. Jariku sudah buntung satu. Papa bilang aku cantik, tapi tidak dengan tanganku. Mana mau Pak Jumeno mengawinkanku. Papa mulai menyumpah serapah. Dipukulkannya botol di tangannya ke pipiku. Prak, Aku
22
Sudah berapa jam sejak keluar rumah, aku tak tahu. Selepas Papa pergi aku langsung keluar rumah, keluyuran tidak jelas. Mama bilang aku tak tahu diuntung. Susah-susah dia dulu mengejan melahirkanku, katanya. Banting tulang Mama menyekolahkanku, hingga bangku SMP sekarang. Ah, malangnya Mama. Punya anak nakal sepertiku. Begitulah, orang-orang selalu bilang aku nakal. Bahkan Bu Guru di sekolah juga bilang aku nakal. Suatu hari Mama pernah bilang, akan lebih mudah jika dulu aku lahir laki-laki. Mama tak perlu susah payah serabutan mencari uang. Ilustrasi oleh: Astika/Keadilan Mama bilang badanku terlampau kecil untuk ikut memecah batu di tempat dihantam Topi Miring. “Masih ada cara,” pekik Papa. Pak Burhan. Makanya Mama bilang “Kamu cantik,” seloroh Papa. aku harus sekolah, biar nanti bisa “Aku juga mau kalau kamu dikawinkan paling tidak dengan mantri cantik,” ujar Papa lagi. Kalau Papa muda atau mas-mas KKN. Makanya, aku harus rajin tuduh anak Pak Jumeno, pasti dia mau belajar. “Perawan kok genjrang-genjreng mengawiniku. Begitu katanya. Aku tak paham. Saat di kelas aku tak banyak gitar, jerit-jerit di kamar mandi. Mau membaca, jadi aku tak paham maksud jadi apa?” Mama selalu menasihatiku, Papa. Dituangnya Topi Miring ke yang kadang aku jawab dengan usil. kepalaku. Tangannya merobek kaosku. Kala itulah aku sering kena jewer atau jambak. Dasar bandel, kata Mama. Selebihnya aku hanya bisa berteriak. “Dinasihati orang tua kok ngebantah, *** Dawai gitar mulai protes. dasar anak nakal!” Hari sudah gelap sekarang. Jariku perih dibuatnya. Sepertinya gitar tua ini juga tak suka disentuh Aku harus bergegas pulang, sebelum gadis bodoh sepertiku. Gitar tua pun azan magrib berkumandang. Mama punya hak buat memilih. Batangnya bisa malu kalau anak perawannya tak mau sembarangan dipegang orang. ketahuan pulang keluyuran sampai Ah, bukan. Lebih tepatnya tak mau magrib. Apalagi jika tetangga dipegang sembarang orang. Ia tak mau melihat bajuku compang-camping, dipegang gadis berpeluh yang keluyuran macam orang gila. “Anak perawan?” sepertiku. Gumamku. Gitar bobrok ini, lebih baik Aku sengaja lewat ladang dariku. Dia masih bisa memilih. Ku- Mbah Soma, biar tak bersimpang letak dia di samping tong lagi. Hari sudah gelap rupanya. Jalan gang sudah dengan orang. Jalan ini lebih cepat berubah menjadi lumpur. Jalan desa sampai ke rumahku sebenarnya. kami memang tak ada yang diaspal. Pak Tapi agak repot jika lewat jam-jam Jumeno berkata desa kami tak punya seperti ini. Ada sumur tua di tengah uang. “Orang desa kami miskin-miskin, ladang. Kata orang sumur itu angker, tak seperti desa sebelah,” ujarnya. jadi tak ada yang berani lewat ketika Memang desa kami miskin. Pak Jumeno mentari sudah angslup. Apalagi saja cuma punya dua mobil, beda tanahnya makin becek sekarang, jadi dengan lurah-lurah lain yang setidaknya tak mungkin bakal berpapas orang. punya empat. Lampu teras sudah menyala Badanku makin menggigil. “Aku harus pulang,” kataku. Siapa yang ternyata. Berarti aku kalah cepat bakal bantu Mama memasak. Kalau tak dengan Mama. Kucoba berlari cepat pulang aku bisa kena omel lagi. kecil agar cepat sampai. Tapi aku
Keadilan Post Edisi Juli 2019
malah terjerembab di lumpur. Selangkanganku perih rasanya, susah buat berlari. Dari tadi juga aku berjalan dengan menyeret kaki. Kulihat Mama yang kebetulan sedang membuang sesuatu di sumur belakang berlari ke arahku. “Oh iya Papa ke mana?” Tanyaku setelah Mama membantuku berdiri. Juga adegan lima menit kena omel karena badan penuh lumpur dan baju sobek-sobek macam orang gila. Tapi itu tak lama, kemudian Mama diam. Matanya berkacakaca, terisak sembari membekapku. Ditatapnya aku lekat-lekat. “Ulah siapa?” Tanya Mama. Aku cuma diam, bingung harus menjawab apa. Aku coba menghindari pandangannya yang seakan menembus dalam sukma. Wanita ini paling tahu jika aku menyembunyikan sesuatu. Sudah sering aku ketahuan, ketika dulu diam-diam membeli gundu di
warung Mak Yah. Entah bagaimana Mama tahu persis dosaku, meski susah payah aku bikin cerita buat mengelak. Jadi kupikir tak perlu bilang, Mama pasti tahu. “Papa kemana?” Tanyaku lagi. “Jahanam,” bisik Mama tercekat. Matanya makin berkaca. Sesekali ia menggeleng-geleng, lantas menatapku. Menggeleng lagi, menatap lagi. Berulang. “Ayo kita pergi,” kata Mama. “Ke mana?” “Ke kota, ke rumah Pakde Jabir.” “Sekarang?” Tanyaku tak mengerti. Badanku masih penuh lumpur. Kaosku robek-robek. Jalanku juga masih terseret. Tapi Mama terus menggandengku, alihalih malah seperti ditarik. Mama diam saja, jalannya makin cepat. Kami lewat kebun Mbah Soma lagi, lewat sumur tua
itu lagi. Iqamah maghrib barusan berkumandang, tandanya orangorang sedang sembahyang sekarang. Di tengah remang-remang ladang aku coba mencermari wanita yang telah melahirkanku itu. Badannya makin kurus, rambutnya pun acakacakan. Bajunya tak kalah kacau, ada noda merah di separuhnya. Baunya juga sedikit amis seperti didih kesukaan Papa. Jalan kami makin cepat. “Ah…,” ceplosku spontan, baru sadar. Kutatap mata Mama lekat-lekat dari samping. Ia masih terisak. “Kamu bukan anak nakal, Ana,” ujar Mama di tengah isaknya. Tangan kurusnya makin erat mencengkeram gandengan kami. “Terima kasih,” bisikku.
Keadilan Post Informatif, Komunikatif, Aspiratif
PEMIMPIN UMUM: RAHADIAN D. B. SUWARTONO
PIMPINAN LITBANG: RIZALDI AGENG WICAKSONO
SEKRETARIS UMUM: WAHYU PRASETYO
STAF LITBANG: APRILLIA WAHYUNINGSIH ADRIAN HANIF N.* TIARA ROBIATUL*
BENDAHARA UMUM: QURRATU UYUN RAMADANI PIMPINAN REDAKSI: ALDHYANSAH DODHY PUTRA
PIMPINAN PENGKADERAN: AINUN AKHIRUDDIN
ADE PUTRA F. HARAHAP*
STAF PENGKADERAN: NATALIA RAHMADANI P. D. PUJI INDAH ASTUTI ARRASYID NURAZMI* AHA AZADI A. G.* DANDY TRY YACOBY*
DESAIN DAN FOTO: MIRZA AGUNG RAHMATULLAH DIMAS AULIA RAHMA
REPORTER: SELURUH PENGURUS KEADILAN
REDAKTUR: KIRANA NANDIKA RAMANIYA DHIEKA PERDANA CITRA U.
RIZKI NUR ASTIKASARI
Keadilan Post Diterbitkan Oleh LPM Keadilan
JL. TAMAN SISWA 158 YOGYAKARTA HP +6285783364392 Website: www.lpmkeadilan.org Instagram: @lpmkeadilan Facebook: LPM Keadilan Twitter: @LPMKeadilan Email: lpmkeadilanfhuii@yahoo.co.id Line: @rjn3117b
Keadilan Post Edisi Juli 2019
23