DAFTAR ISI EDITORIAL
02
LAPORAN UTAMA 04 - Disfungsi Media Televisi - Pelemahan Televisi Nasional di Tengah Persaingan Industri Media
DIALOG 15 - Sorot di Balik Layar Pertelevisian Indonesia
LAPORAN KHUSUS 18 - Tak Ada Izin, Lahan Warga Tetap Tergerus - Lahan Hilang, Air Tanah Membayang
KAMPUSIANA
28
- Skenario Pengabdian
SUPLEMEN 31 REPORTASE - Hikayat Nelayan dalam Jerat Pukat
JEJAK
35
- Cita-Citaku Tak Berhenti di Panti Werdha
TOKOH
39
- Sang Jawara dari Sungai Pesanggrahan
DENYUT BAWAH
42
- Nelayan Kluwut: Terjebak Kemiskinan di Tanah Leluhurnya
- Realitas Kehidupan Masyarakat Adat Bonokeling
JENDELA
- ‘Drama’ dari Selatan Mataram
RESENSI
48
55 60
- Menyangsi Mocking Bird - Menjaga Kredibilitas dengan Elemen Jurnalisme
MIMBAR 67 - Idealisme Tumpul
Persaingan di Balik Wajah Pertelevisian
T
elevisi saat ini bukan lagi media penyiaran yang hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas saja, namun ia telah mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sebagai salah satu media publik, televisi akan dengan sangat mudah membangun opini publik terhadap suatu hal tertentu melalui keunggulan audio visualnya. Dalam beberapa kurun waktu belakangan, pertelevisian Indonesia semakin semarak dengan berbagai program yang menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Acara-acaranya pun kian beragam, entah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dirasa ‘kekurangan’ hiburan atau hanya sekadar pemberian hiburan miskin pendidikan. Menilik sejarahnya, dunia penyiaran kita memang telah terbebas dari cengkeraman otoritarianisme Orde Baru pasca dihapuskannya UU Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran sudah ada pada arus demokrasi. Akan tetapi, bukan berarti kondisi penyiaran kita sudah mampu dianggap baik-baik saja. Akhir-akhir ini, hiburan yang mempertontonkan cemoohan hingga ‘guyon waton’ berbau kekerasan men-jadi hal lumrah dalam acara-acara komedi zaman sekarang. Padahal dalam Pasal 4 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Selain isi acara yang kurang mendidik, industri penyiaran saat ini seperti bukan lagi lembaga sosial, akan tetapi semakin tampak watak komersialnya. Menjamurnya stasiun televisi swasta di tengah kondisi televisi nasional yang ‘hidup susah’ membuat televisi nasional tenggelam semakin dalam. Sebenarnya bukan hal yang buruk, ketika semakin banyak stasiun televisi yang menghiasi industri pertelevisian Indonesia. Namun menjadi masalah ketika televisi nasional tidak mampu bersaing dengan televisi swasta lainnya untuk memberikan pendidikan lewat tayangannya. Berbicara masalah televisi, mau tidak mau kita akan berbicara mengenai arus informasi. Berbicara mengenai arus informasi, mau tidak mau kita akan berbicara mengenai pembentukan opini. Keduanya berkedudukan
2
Keadilan Edisi XXXX/2016
sebagai sebab dan akibat. Pemusatan kepemilikan televisi oleh segelintir orang yang terjadi belakangan ini merupakan sebuah bentuk konglomerasi. Dan bahayanya adalah termonopolinya opini masyarakat Indonesia. Masih jelas dalam ingatan, peran media televisi khususnya, mampu menggiring opini masyarakat dalam hajat besar Indonesia pada medio 2014 silam. Tak ayal, viralnya media televisi di Indonesia menjadi lahan basah para pemilik kepentingan pada saat itu. ‘Kuda empuk’ bernama televisi menjadi tunggangan bagi para pemilik stasiun televisi yang juga pencari kursi kekuasaan dalam rangka kepentingan partainya. Dalam buku Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, sentralisasi kepemilikan dan penguasaan stasiun siaran semacam itu tentu menimbulkan dampak yang cukup serius. Pertama, kepemilikan media yang tersentralistik tidak akan pernah mampu mencerminkan dinamika masyarakat dan pemirsanya. Kepentingan pasar akan selalu menjadi dominan. Media, hanya akan melayani kelompok pemirsa terbesar, karena kepentingannya terhadap iklan. Kemudian, dampak kedua, sentralistik itu akan berimbas pada dominasi informasi dan manipulasi kekuasaan politik. Media yang tersentralistik dan monopolistik akan menghalangi fokus penyiaran itu sendiri. Akan tetapi, ketakutan adanya monopoli opini tersebut tidak diakui Kementerian Komunikasi dan Informasi. Menurut mereka, tidak akan ada monopoli informasi karena pada dasarnya pertelevisian Indonesia memiliki banyak stasiun televisi, sehingga masyarakat mampu memilih untuk menonton acara apa saja yang ada. Namun, jika menilik konten yang ada dalam
Editorial pertelevisian saat ini, monopoli opini bukan hanya terkait dengan wacanawacana politik atau berita-berita tertentu. Program-program siaran miskin pendidikan yang menjadi program unggulan, pun dapat menjadi Ilustrasi oleh: Ariel/Keadilan salah satu media ampuh penyebaran opini masyarakat. Gaya hidup, pergaulan, pola pikir, dan hal-hal destruktif lainnya mampu dihantarkan oleh program-program yang dianggap miskin nilai pendidikan tersebut. Terlebih ketika waktu tayang program-program itu berada dalam waktu yang dianggap sebagai prime time, sebuah racun yang manis bagi penikmatnya. Dalam prinsip ekonomi, setiap bisnis dijalankan untuk mendapatkan keuntungan. Hal itu pula yang terjadi dalam pertelevisian Indonesia. Program-program siaran berebut menjadi yang pertama posisinya dalam urusan rating. Mengapa rating? Sudah jelas. Tingginya rating ini yang nantinya akan memengaruhi pemasangan iklan dalam program siaran tersebut. Semakin tinggi rating, semakin banyak pengiklan. Semakin banyak pengiklan, semakin banyak keuntungan yang didapat stasiun televisi tersebut. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, lembaga penghitung rating yang digunakan dan menjadi acuan bagi lembaga penyiaran adalah Lembaga Survey AC Nielsen. Namun, rating yang digunakan hanya sebatas pada kuantitas acara tersebut diakses oleh publik, bukan kualitasnya. Maka tak heran, acara-acara yang sebenarnya ‘bagus’, malah rating-nya rendah. Sebab, memang bukan kualitas yang menjadi acuan Nielsen dalam penghitungan rating. Terlebih Nielsen hanya melakukan surveinya di Jakarta dan 10 kota besar lainnya. Mereka tidak menjadikan masyarakat di selain 10 kota tersebut sebagai sampelnya. Padahal jika berbicara Indonesia, Jakarta dan 10 kota besar lainnya ha-
nya sepersekian dari keseluruhan kota di Indonesia. Dari sekian banyaknya stasiun televisi, TVRI merupakan salah satu stasiun televisi paling tua yang ada. Satusatunya televisi nasional milik Indonesia ini menjadi televisi yang tugasnya diatur secara khusus dalam bentuk PP Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia. TVRI seperti yang telah disebutkan dalam kalimat-kalimat sebelumnya. Ia hidup, namun tidak menghidupkan. Taringnya sudah sedikit ompong, atau belum ditumbuhkan? Setelah munculnya PP tersebut, status TVRI berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Akan tetapi, statusnya sebagai LPP masih tidak jelas. Pemerintah seolah-olah memberikan kekhususan bagi TVRI dari sisi peraturan perundang-undangan, namun belum memberikan ‘tempat’ yang leluasa bagi TVRI untuk berkembang dan bersaing dengan televisi swasta lainnya. Idealnya, TVRI sebagai televisi nasional mampu menghadirkan alternatif-alternatif mendidik bagi dunia pertelevisian Indonesia saat ini. Akan tetapi, permasalahan yang melingkupi TVRI dari segi regulasi serta internalnya menghambat perkembangan TVRI sendiri. Semua stasiun televisi, baik nasional maupun swasta adalah pihak-pihak yang dipinjami frekuensi oleh negara untuk melayani masyarakat. Pada dasarnya, setiap rakyat Indonesia berhak untuk menikmati siaran yang ada dalam frekuensi tersebut. Dan sudah menjadi kewajiban bagi setiap stasiun swasta untuk memberikan siaran yang layak dicerna publik. Bukan hanya menjadikannya sebagai bisnis semata. Lalu, jika pemerintah sendiri yang idealnya menjadi regulator dan penentu sikap, tidak mampu memberikan tayangan yang mendidik serta menghentikan praktik konglomerasi media yang ada. Sudah saatnya, publik yang mengambil bagiannya menjadi penonton cerdas. Dengan tidak menonton acara-acara yang dianggap miskin pendidikan sehingga tidak turut serta membodohi masyarakat yang tidak memiliki pilihan tontonan lain. Karena semakin banyak intensitas acara tersebut ditonton, maka akan bertahan lama keberadaan acara tersebut di pertelevisian Indonesia. Redaksi
Keadilan Edisi XXXX/2016
3
4
Keadilan Edisi XXXX/2016
Laporan Utama
Disfungsi Media Televisi Hingga kini televisi masih menjadi sumber informasi dominan bagi masyarakat. Namun, sejauh perkembangannya, arah gerak stasiun televisi kerap bergeser dari kepentingan utama penyiaran: pelayanan publik.
Oleh: Mohammad Zein Rahmatullah Reportase bersama: Kausar Wildantio A, Irkham Zamzuri
dok.
Keadilan Edisi XXXX/2016
5
P
ada tanggal 28 Desember tahun 2002, Negara mengeluarkan regulasi ihwal penyiaran, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiar-an untuk menggantikan UU Nomor 24 Tahun 1997. Dalam peraturan tersebut, telah dimuat arah muara kepentingan penyiaran di Indonesia terhadap masyarakat. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 4 ayat (1), “Penyiaran sebagai komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial”. Selain itu, penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Seperti yang terlansir pada laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), dalam sambutan pada acara serah terima jabatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016. Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, menyampaikan bahwa Indonesia yang memiliki keragaman budaya, tidak boleh dibangun atas dasar diskriminasi. Artinya semua pulau ataupun daerah harus dibangun secara adil dan merata. Untuk itulah, perlu adanya keterlibatan media, khususnya media penyiaran guna menjembatani hal itu. “Untuk membangun itu kita perlu media penyiaran. Peran media penyiaran itu diperlukan dan sangat penting untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Media penyiaran juga berperan mendukung negara ini menjadi lebih baik,” ujarnya. Dalam rangka mewujudkan iklim penyiaran yang sehat, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002
6
Keadilan Edisi XXXX/2016
ditunjuk dua lembaga sebagai regulator penyiaran, yakni KPI— termasuk KPI Daerah—dan Pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo. Secara umum, kedua regulator berfungsi sebagai keeper dalam atmosfer siaran di Indonesia. Memastikan penyelenggaraan penyiaran berlangsung sebagaimana yang termaktub dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, khususnya Bab II, yakni Asas, Tujuan, Fungsi, dan Arah. Terhitung sejak Maret 2012, KPI telah menetapkan pakem siaran bernama Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Menurut Pasal 1 butir 1, Pedoman Perilaku Penyiaran adalah ketentuanketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional. Masing-masing lembaga penyiaran wajib tunduk pada aturan tersebut. Namun berbeda halnya dengan Lembaga Penyiaran Asing yang di mana pedoman tertentu—misalnya pedoman kegiatan peliputan, disusun lebih lanjut oleh KPI dan Kemenkominfo secara terpisah. Seiring perjalanannya, peran penyiaran di Indonesia—dalam hal
ini televisi—belum berjalan optimal. Sehingga pada praktiknya, penyiaran televisi di Indonesia menghasilkan situasi di mana masyarakat kerap melontarkan gelombang protes terhadap program siaran di Indonesia. Sepanjang tahun 2014, misalnya. Dilansir dari beritasatu.com edisi 6 Februari 2015, Azimah Subagijo, Komisioner KPI, menyatakan bahwa KPI menerima setidaknya 40 ribu pengaduan dari masyarakat. Konglomerasi Media Menilik Pasal 20 UU Tahun 2002, ditegaskan bahwa lembaga penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran. Namun yang terjadi kini justru sebaliknya, yakni sentralisasi kepemilikan di mana sta-siun televisi swasta hanya dimiliki oleh segelintir orang. Muhamad Heychael, Direktur Remotivi menyampaikan bahwa situasi semacam itu sangat jauh dari idealitas, baik secara regulasi maupun secara kultural. Jika berbicara kepemilikan stasiun penyiaran di Indonesia, sejatinya telah diatur dalam Pasal 18 UU Penyiaran. Bunyinya antara lain sebag
Irkham/Keadilan • Syaharuddin Buyung, Kepala Subdit Televisi Direktorat Penyiaran, Kementerian Komunikasi dan Informasi. (25/6/2015)
penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” Namun, penggunaan istilah ‘dibatasi’ tersebut, sering mengundang salah tafsir. Heychael, menceritakan pada tahun 2012 silam, Remotivi beserta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain mengajukan judicial review untuk Pasal 18 tersebut. “Kita minta tafsir, apa yang dimaksud dengan ke-pemilikan dibatasi? Karena ini gak jelas dibatasi seberapa,” ungkapnya. Di samping itu, ditemukan adanya fakta bahwa isi siaran kerap Jakarta-sentris. Artinya, muatanmuatan yang menjadi objek siaran hanya menayangkan apa yang terjadi dalam wilayah Jakarta saja. Heychael mengiyakan. “Kenapa tayangan televisi prospeknya sangat Jakarta, kontennya Jakarta, karena memang mereka melayani orang Jakarta. Kan feedback rating-nya begitu,” tuturnya. Senada dengan Heychael, Fajar A. Isnugroho, Komisioner KPI, mengatakan bahwa penyiaran Indonesia masih sentralistik dan jauh dari asas demokrasi penyiaran. Sementara itu, Syaharuddin
Ilustrasi oleh: Irkham/Keadilan
Buyung, Kepala Subdirektorat Televisi Direktorat Penyiaran Kemenkominfo mengatakan bahwa kini ada Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). SSJ ini merupakan tata kerja yang mengatur relay siaran antar lembaga penyiaran. Sistem ini memungkinkan antar lembaga penyiaran bekerjasama untuk merelay program siaran. Kehadiran SSJ dalam keberlangsungan penyiaran di Indonesia, menurut Syaharuddin, memiliki dua fungsi. Pertama, diversity of ownership atau keberagaman kepemilikan. Artinya, stasiun televisi swasta tidak hanya terpusat di Jakarta saja, tapi juga tersebar ke daerah-daerah. Kedua, diversity of contents atau keberagaman isi. Sehingga dalam satu kali 24 jam, berita lokal dan kesenian lokal, misalnya, bisa diangkat dan di tayangkan di daerah-daerah. “Jangan hanya TV Jakarta thok yang ditonton orang, karena persoalan di Papua, Aceh, belum tentu sama dengan persoalan di Jakarta,” ujarnya. Dia pun menambahkan bahwa dengan adanya konsep jaringan ini, masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam pertelevisian. Meski begitu, SSJ masih memiliki kekurangan. Misalnya saja tentang konten-konten berita.
Heychael berkata, “70 persen berita yang kita tonton di TV itu isinya Jakarta. Mulai dari pembukaan stasiun Transjakarta baru hingga Jokowi menertibkan Tanah Abang. Pertanyaannya, apa relevannya buat orang Sulawesi?” Syaharuddin juga mengakui kelemahan penerapan SSJ ini. Dia menilai, dari konteks muatan lokal sebesar 10 persen yang diwajibkan, kontennya hanya sedikit dan kadang diulang-ulang. Ditambah lagi, menurutnya, teknis waktu penyiaran acapkali dipilih jam-jam malam, sekadar untuk memenuhi syarat. Kemudian problematika siaran perihal bias politik pemilik media. Dalam peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014, contohnya, televisi-televisi swasta dieksploitasi besar-besaran demi memperlihatkan wibawa positif pemiliknya. Di sini media televisi telah bergeser menjadi alat politik. Dari 14 stasiun televisi swasta, menurut Heychael, 11 di antaranya diperalat guna menunjang kepentingan politik pemiliknya. “Secara kasat mata, dapat dilihat bahwa TV One dieksploitasi, Metro TV dieksploitasi, dan televisi-televisi lain, terutama kelompok Bakrie,” tandasnya. Sementara itu, dalam salah satu artikel bertajuk “Kala Televisi Dikuasai Rating dan Penguasa” pada buku Orde Media, Fandy Hutari mengartikan, yang terjadi adalah perang pengaruh, bukan lagi industri yang menampilkan informasi netral dan hiburan. Kondisi tersebut jelas menyalahi amanat UU Penyiaran. Berdasarkan Pasal 36 ayat (4) UU Penyiaran, ditegaskan bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Fajar menerangkan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh dimanfaatkan oleh siapapun termasuk kepentingan pemilik media.
Keadilan Edisi XXXX/2016
7
Irkham/Keadilan • Fajar A. Isnugroho, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (29/6/2015)
Heychael mendefinisikan kongloremasi media merupakan sebuah bentuk monopoli media. Di mana monopoli media itu, menurut Heychael, dapat dipersamakan dengan tindakan monopoli opini. “Kenapa monopoli mengancam dalam bisnis media, ya karena itu artinya sama dengan monopoli opini,” ujarnya. Seperti yang termuat dalam buku Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, sentralisasi kepemilikan dan penguasaan stasiun siaran semacam itu tentu menimbulkan dampak yang cukup serius. Pertama, kepemilikan media yang tersentralistik tidak akan pernah mampu mencerminkan dinamika masyarakat dan pemirsanya. Kepentingan pasar akan selalu menjadi dominan. Media, menurut buku tersebut lebih lanjut, hanya akan melayani kelompok pemirsa terbesar karena kepentingannya terhadap iklan. Kemudian, dampak kedua, sentralistik itu akan berimbas pada dominasi informasi dan manipulasi kekuasaan politik. Media yang tersentralistik dan monopolistik akan menghalangi fokus penyiaran itu sendiri. Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh Syaharuddin. Dia menyampaikan bahwa dalam penyiaran, tidak ada istilah memonopoli, tapi pemusatan. “Kalau monopoli itu menguasai lebih dari 50 persen, kan? Ini masih banyak media lain.
8
Keadilan Edisi XXXX/2016
Sekarang pilihan banyak, masyarakat tidak harus memilih itu,” jelasnya. Lalu Syaharuddin meneruskan, “Kalau tidak salah, Jakarta sekarang punya 22 televisi swasta, bisa pilih. Sehingga tidak bisa dikatakan memonopoli, tidak ada satupun yang bisa memonopoli informasi”. Belenggu Dilematik Rating AC Nielsen Rating dapat diartikan sebagai persentase kuantitas pemirsa terhadap sebuah siaran. Heychael mengibaratkannya seperti mata uang yang menjadi nilai tukar. “Kalau rating tinggi, share tinggi, pemasang iklan kan tinggi. Jadi nilai tukarnya gitu,” tukasnya. Heychael selaku pihak yang pernah bekerja di salah satu stasiun televisi menjelaskan bagaimana pengaruh rating terhadap sebuah siaran. “Oh, ternyata yang disukai itu ekstra, ekstra itu kayak bayi bisa main bola. Dia tinggi nih ratingnya, berarti ini harus dibanyakin. Gitu lho,” ungkapnya. Syaharuddin menambahkan, “Rating tinggi dampaknya ke pemasang iklan yang kian banyak dan menguntungkan bagi si pemiliknya.” Sejauh ini, menurut Fajar, rating ini sangat berpengaruh terhadap penetapan pola siaran. Lembaga Survey AC Nielsen menjadi satusatunya lembaga penghitung rating yang hasilnya dijadikan pedoman dan
acuan oleh lembaga penyiaran. Sebab, menurut Fajar lebih lanjut, selama ini hanya Nielsen yang secara kontinu dan berkala mengeluarkan hasil survei “Karena ini berbanding lurus dengan pemasukan dari iklannya. Ini sudah berjalan berahun-tahun,” sambung Fajar. Namun, tingginya angka rating yang diriset oleh Nielsen atas suatu program siaran, tidak menjamin kualitas yang tinggi pula. Hal itu dikatakan oleh Fajar, “Jika kita ngomong pemirsa yang banyak, ja-ngan berharap kualitasnya bagus. Ka-rena Nielsen tidak mengukur kualitas, hanya mengukur jumlah penonton”. Sementara Heychael sendiri menilai bahwa lembaga survei semacam AC Nielsen memiliki logika melayani pengiklan. “Yang dibutuhkan pengiklan. Persoalan suka enggak suka, itu persoalan kualitatif, bukan masalah statistik,” tambahnya. Hal tersebut semakin kuat ketika Syaharuddin me-ngatakan, “Program yang baik itu kadang rating-nya rendah. Ada juga yang programnya baik dan rating tinggi kalau acaranya dikemas secara entertaiment.” Sementara itu, metode pengukuran rating oleh AC Nielsen ini, menurut Heychael, bias urban. “Dia bias sama Jakarta. 50 persen Jakarta, itu satu. Kedua, 10 kota besar. Artinya dia nggak mewakili orang-orang di desa dan sebagainya,” ucapnya. Merujuk dari buku Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Siaran, pada salah satu artikelnya yang berjudul “Dominasi Pasar dan Persoalan Isi Siaran”, dituliskan bahwa rating tidak mampu menggambarkan perilaku menonton secara mendalam, seberapa fokus pemirsa, representasi penonton Indonesia yang hanya diukur dari 10 kota, teknik pengambilan sampel, dinamika pergantian responden, dan sebagainya. Kredibilitas Nielsen sempat dipertanyakan. Fajar mengakui
bahwa dia tidak mempercayai angka rating versi AC Nielsen. Menurutnya, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu mengaudit serta mengevaluasi tindak-tanduk AC Nielsen. Artikel “Dominasi Pasar dan Persoalan Siaran” dalam buku Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Siaran, menganalisis efek yang me-ngemuka dari situasi sebagaimana yang tergambarkan dari konteks penggunaan rating itu. Di tengah-tengah gencarnya kepentingan untuk mengangkat reputasi stasiun televisi, angka rating membangun pola pikir pragmatis para pekerja televisi yang menjadikan rating sebagai acuan tung-gal untuk menetapkan pola acara. Sementara itu, pelaku sales-marketing berfokus bagaimana mengejar dan memenuhi target penjualan spot iklan secara cepat. Kefokusan stasiun televisi terhadap rating ini menimbulkan industri penyiaran yang tidak tepat sasaran. Syaharuddin menyampaikan, “Kita ha-rus membuat industri (penyiaran) ini sehat. Kalau dia tidak sehat secara finansial, nanti dia kan membuat konten (siaran) yang biayanya murah tapi penontonnya banyak. Kayak program mistik (dan) program candaan yang enggak jelas.” Menuju Iklim Penyiaran yang Demokratis R. Kristiawan, Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa, dalam tulisannya yang berjudul “Penumpang Gelap Demokrasi”, mengatakan bahwa industri penyiaran— khususnya televisi—telah bersalin rupa. Di mana semula industri penyiaran ini berwujud kekuatan yang mendukung demokratisasi berubah menjadi kekuatan yang akhirnya mengancam demokrasi itu sendiri. Menurutnya, ada sesosok ‘penumpang gelap’ yang hadir dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Kausar/Keadilan • Beranda kantor AC Nielsen, Mayapada Twin Tower. (29/6/2015)
Perkembangan paling mutakhir adalah bersatunya elemen partai dengan elemen industri media yang potensial menguasai opini publik menjelang Pemilu 2014. Kondisi seperti itu, pendapat Kristiawan lebih lanjut, merupakan bentuk baru kapitalisme semu dengan konteks dan tingkat kerumitan yang berbeda dengan kapitalisme semu era Orde Baru. Kristiawan menilai bahwa industri penyiaran di Indonesia enggan hidup dalam habitat yang sehat, di mana wewenang pengaturan lembaga penyiaran tidak dilakukan oleh pemerintah, namun lembaga independen yang disahkan oleh pemerintah. Katanya, ini merupakan bentuk kemunduran penting dalam sistem demokrasi penyiaran. Pernyataan Heychael pun menegaskan bahwa televisi tidak akan pernah bisa menjadi urusan bisnis semata. Sebab, sedari awal mereka meminjam frekuensi pada negara. “Proposal yang mereka ajukan, di dalamnya, selain akan berbisnis, mereka harus melayani kepentingan publik,” imbuhnya. Dia juga menambahkan bahwa stasiun televisi harus berimbang karena di dalamnya terdapat fungsi sosial. Heychael mengatakan, “Harus disadari, televisi itu bisnis besar, melibatkan uang yang besar dan mereka harus membiayai
dirinya sendiri, tapi di satu sisi mereka meminjam frekuensi publik.” “Manakala lembaga penyiaran tidak sesuai dengan fungsi, tidak sesuai dengan tujuan, maka sebenarnya itu sudah bergeser, dari khittah ataupun akad perjanjian. Dia (stasiun televisi) diberikan amanah, untuk mengelola frekuensi sebagai ranah publik,” kata Fajar. Sementara Syaharuddin berpendapat bahwa siaran televisi seharusnya tidak hanya semata-mata menghibur, tapi juga hiburan yang mendidik. Selain itu, siaran tersebut harus bisa menjadi perekat sosial. “Jangan justru malah menimbulkan polemik di masyarakat, ketegangan di masyarakat. Gampang kan?” pungkasnya.
Keadilan Edisi XXXX/2016
9
Pelemahan Televisi Nasional di Tengah Persaingan Industri Media
Ilustrasi oleh:Zein/Keadilan
TVRI dituntut menjadi media penggerak pemersatu bangsa sebagaimana yang tertera dalam visinya. Namun, beragam kendala masih menghimpit ruang gerak TVRI sebagai salah satu LPP di Indonesia.
S
emenjak diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, kemudian di-tegaskan melalui PP Nomor 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dialihkan bentuknya dari perusahaan jawatan menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI. Dengan adanya peralihan status tersebut, diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan bangsa dalam menghadapi tantangan zaman, sekaligus sebagai manifestasi dari se-
10
Keadilan Edisi XXXX/2016
mangat dan kesepakatan bersama. TVRI mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat, melalui penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini diatur secara khusus dalam Pasal 4 PP Nomor 13 Tahun 2005. Dalam desertasinya yang dimuat di buku Kepemilikan dan Intervensi Siaran; Perampasan Hak Publik, Dominasi
dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang, Retno Intani mengemukakan, bahwa dengan melihat beragam definisi dan konstruksi mengenai LPP— sebagaimana tercantum dalam UU dan PP, telah menunjukan adanya perubahan drastis dari wujud TVRI sebagai televisi pemerintah yang mengemban visi pembangunan, menuju konstruksi TVRI sebagai televisi yang didirikan negara dengan fungsi dalam memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Transformasi konstruksi sebagai alat penerangan atau propaganda peme-
rintah berwujud TVRI sebagai LPP bersifat independen dan netral. Namun dalam buku Kepemilikan dan Intervensi Siaran; Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang, yang ditulis oleh Puji Rianto dan kawankawan, berpendapat bahwa sejauh ini TVRI belum mampu mencerminkan dirinya sebagai LPP karena berbagai alasan. Persoalan utama yang muncul dari perubahan-perubahan status TVRI menjadi LPP—dalam konteks kelembagaan, adalah tidak adanya preseden hukum di Indonesia. Tidak adanya preseden hukum berdampak pada beberapa hal. Pertama, keberadaan Dewan Pengawas LPP TVRI ditafsirkan serupa dengan Dewan Pengawas pada perusahaan umum Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Penafsiran semacam itu bisa disimpulkan merupakan bentuk bias dari status TVRI yang pernah berbentuk Persero—di bawah pembinaan Kantor Menteri BUMN. “LPP bukan instansi pemerintah, dan juga bukan Badan Layanan Umum, apalagi BUMN,” tegas Puji Rianto dan kawan-kawan dalam bukunya. Kedua, bentuk LPP tidak dikenal dalam nomenklatur keuangan negara. Hal itu disebabkan karena LPP sama sekali berbeda dengan jenis lembaga yang ada. Akhmad Sofyan, Dewan Pengawas LPP TVRI, menuturkan, “Memang (LPP) enggak dikenal dalam tata pemerintahan kita. Makanya sekarang ini, permasalahan utama yang dihadapi oleh TVRI adalah masalah-masalah yang kaitannya dengan penganggaran, karena di dalam anggaran yang diatur oleh pemerintah itu harus sesuai dengan UndangUndang Perbendaharaan dan UndangUndang keuangan, tapi TVRI tidak.” Paulus Widiyanto, dalam buku Dominasi TV Swasta (Nasional); Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, mengemukakan bahwa awalnya dibayangkan cukup hanya ada
satu PP, tapi ternyata pemerintah cukup loyal dengan membuat banyak PP. Hal tersebut terbukti dalam buku Transformasi TVRI, Kebijakan LPP TVRI Tahun 2011-2016, yang mencantumkan 12 Peraturan Perundang-undangan juga PP. Namun dalam implementasi mengandung banyak persoalan, tambah Paulus Widiyanto, persoalannya adalah terlalu dominannya lembaga penyiaran swasta nasional yang berbasis di Jakarta. Utamanya dalam penyediaan kanal. Akhmad Sofyan berpandangan perkara persaingan, TVRI memang bersaing dengan televisi swasta. “Jadi kalau bersaing, tetap bersaing. Walaupun mungkin, dalam persaingan ini kita tidak bisa mengungguli terlalu jauh. Tapi mendekati, iya. Kalau kita lihat ya sekarang ini, memang kalau di ukur dari AC Nielsen, kita (TVRI) memang paling bawah,” tuturnya.
Puji Rianto dan kawankawan menjelaskan bahwa di era sekarang, keberadaan TVRI bisa dikatakan terhimpit di antara dominasi 10 stasiun televisi swasta yang melakukan siaran nasional. Dalam situasi semacam itu, TVRI bisa dikatakan hanya menjadi bagian kecil dari gelombang besar televisi swasta komersial yang menyajikan beragam hiburan dan informasi. Fajar A. Isnugroho, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, mengatakan bahwa ada yang keliru dalam proses penetapan regulasi terhadap LPP dan lembaga penyiaran swasta. “Harusnya, kalau saya katakan, regulasi penyiaran diperketat. Dengan apa? Dengan memberikan porsi yang besar
Kausar/Keadilan • Gedung TVRI pusat, Jakarta. TVRI sebagai televisi nasional. (25/6/2015).
Keadilan Edisi XXXX/2016
11
kepada TVRI dan pihak swasta harus ketat. Tidak boleh dibalik,” tegasnya. Dia menambahkan bahwa keadaan sekarang adalah sebaliknya, TVRI tidak maksimal dalam memainkan perannya, sedangkan kenyataannya televisi swastalah yang lebih kuat. “Nah swasta itu kan dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari Jakarta masuk ke daerah tanpa ada siaran lokalnya,” sambungnya. Jika ditelisik ke belakang, sebenarnya TVRI pernah menjadi yang efektif—terlepas peran TVRI yang sebagai state apparatus hegemoni negara dan kekuasaan, terutama dalam menumbuhkan ideologi pembangunan dan sifat anti Partai Komunis Indonesia. Namun, peran penting TVRI semakin memudar setelah era sentralisasi televisi di Indonesia berakhir. Momen itu ditandai dengan didirikannya Rajawali Citra Televisi (RCTI) sebagai televisi komersial pertama, yang kemudian diikuti oleh stasiun-stasiun televisi yang lain. Data per Juni 2011, seperti yang tercantum dalam buku yang sama, TVRI menjangkau 62 persen penduduk Indonesia atau sekitar 147 juta masyarakat Indonesia. Menurut analisis dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Pe-
mantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), angka ini jauh dari mandat TVRI sebagai LPP yang harus menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan Siaran Pers Nomor 121/PIH/KOMINFO/2010, untuk siaran terestrial, jumlah masyarakat yang dijangkau siaran TVRI jauh lebih sedikit, yakni 35 persen. Padahal TVRI pernah mencapai 82 persen penduduk Indonesia. Secara angka, itu merupakan penurunan prestasi yang signifikan. Syaharuddin Buyung, Kepala Subdit Televisi Direktorat Penyiaran, Kementerian Komunikasi dan Informasi, memandang bahwa supaya TVRI diminati masyarakat, TVRI harus memiliki konten yang bagus serta tidak monoton. Menurutnya, untuk mendapatkan konten yang bagus memerlukan dana, sarana, prasarana infrastruktur, pemancar bagus, serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dia bertutur, “Kita pengen seperti NHK (Nippon Hoso Kyokai) itu. Bagi orang Jepang, NHK itu nomor satu untuk ditonton. Bagi orang Inggris, BBC (British Broadcasting Corporation) itu nomor satu.” Dalam memproduksi sebuah siaran, sudah sepantasnya stasiun te-
Kausar/Keadilan • Akhmad Sofyan, Ketua Dewan Pengawas TVRI (25/6/2015)
12
Keadilan Edisi XXXX/2016
levisi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ini juga salah satu kendala yang dihadapi TVRI, yakni daya dukung finansial yang minim. Meskipun TVRI diperkenankan mencari sumber pembiayaan melalui iklan dan sumber pendapatan lain, tapi anggaran negara masih sangat dibutuhkan. Khususnya pada tahap-tahap awal pembangunan LPP. Menurut Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 13 Tahun 2005, LPP TVRI sendiri setidaknya memiliki lima sumber pendanaan, yang di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk di dalamnya. Mengenai pendanaan dari APBN tersebut, Akhmad Sofyan menyampaikan, “Anggaran kita itu average untuk tahun-tahun terakhir ini 850 (miliar) sampai 860-an. Kira-kira itu, plus minus. Cuman kalau ditambahkan dengan non APBN, jumlahnya 1,75 (triliun). Kalau dari negara hanya 800, plus minus, 860-an lah.” Sementara, keseluruhan total anggaran dari negara tersebut, masih harus didistribusikan lagi ke 29 stasiun TVRI yang tersebar di daerah-daerah. Belum lagi, berdasarkan rekapitulasi data pegawai LPP TVRI per satu Juni 2015, ada sebanyak 5.767 karyawan baik yang Pegawai Negeri Sipil (PNS), calon PNS, maupun non PNS. Sehingga, gaji karyawan tentu tidak sedikit, apabila dibenturkan dengan Upah Minimum Regional masingmasing wilayah. Syaharuddin berpendapat bahwa TVRI memiliki anggaran yang terbatas, artinya anggaran itu paling banyak digunakan untuk gaji pegawai, sehingga anggaran untuk bikin konten sedikit. Muhamad Heychael, Direktur Remotivi, Lembaga Studi dan Pemantauan Media berkata, “Perhatian pemerintah terhadap TVRI itu luar biasa kecil. TVRI itu, budget-nya sangat kecil. Dan mereka dialokasikan oleh APBN itu, bahkan dari dana bencana.”
Saadan/Keadilan • Muhamad Heychael, Direktur Remotivi, Lembaga Studi dan Pemantauan Media. (25/6/2015)
Sehingga dengan kecilnya angka anggaran membuat TVRI harus memilah kebutuhan-kebutuhan dalam tubuh TVRI. Seperti yang diutarakan oleh Yuni Sutrisno, Kepala Seksi Peralatan Studio dan Penyiaran. Dia berkata, “Katakanlah di seluruh Indonesia ada sekitar 300 transmisi. Anda bisa bayangin, mungkin enggak dalam waktu setahun kita betulin 300-nya? Enggak mungkin. Duit dari mana? Ya, kita cicil. Ada 60 kita betulin.” Akhmad Sofyan mengungkapkan, “Seperti sekarang, pendidikan itu kan 20 persen dari anggaran negara. Kalau TVRI enggak perlu segitu, mungkin hanya cukup satu persen atau di bawah satu persen pun cukup. Ini berdasarkan pengalaman-pengalaman lembaga-lembaga penyiaran publik di luar negeri. Seperti ABC (Australian Broadcasting Corporation). ABC itu dibiayai oleh negara.” Dia menambahkan bahwa LPP yang berada di luar negeri—seperti ABC—dibiayai sepenuhnya oleh negara. Ihwal menghasilkan siaran yang berkualitas tidak datang hanya dari dana yang mencukupi, namun juga perihal SDM yang berkualitas pula. Menurut PR2Media bahwa sebagian besar pegawai LPP TVRI
berusia di atas 40 tahun. Etos dan kedisiplinan yang rendah membuat pergerakan TVRI jauh di bawah televisi swasta yang sebagian besar tenaga kerjanya berada pada usia produktif, banyak di antaranya bahkan berasal dari universitas-universitas terkemuka di Indonesia. PR2Media beranggapan bahwa dalam situasi semacam itu, sangat sulit bagi TVRI untuk mengejar ketertinggalannya dengan lembaga penyiaran swasta dalam etos kerja dan kedisiplinan, termasuk dalam menghasilkan karyakarya yang kreatif dan inovatif. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan LPP Radio Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer melakukan sebuah riset mengenai SDM. Persoalan utama yang dihadapi oleh LPP—termasuk TVRI, adalah status pegawai LPP ialah PNS. Padahal, menurut kajian riset mereka, status PNS mengandung persoalan, karena berkaitan dengan etos kerja. Sebagai agen pembawa informasi dan hiburan dalam waktu yang bersamaan, para pekerja media diharapkan mampu menangkap setiap perubahan dan dinamika dalam masyarakat. Hal itu tidak hanya membutuhkan tenaga kerja yang di-
namis, tapi juga professional dengan standar kompetensi yang tinggi. Sayangnya, sistem rekrutmen PNS yang berlangsung selama puluhan tahun dalam masa Orde Baru tidak mengindahkan hal itu. Akibatnya, tidak terjadi dinamisasi dalam tubuh birokrasi. Sisi lain, sebagai PNS harus siap dipindahtugaskan kapan saja. Akibatnya, ada beberapa kasus ditemukan di mana seorang reporter diambil dari bagian Tata Usaha atau Pembantu Umum. Situasi semacam ini jelas tidak kondusif bagi usaha untuk membangun reporter LPP yang kompeten. Sebaliknya, yang kemudian muncul adalah reporter yang kurang memahami filosofi dan jurnalistik. Argumen ini didapat dari buku Dominasi TV Swasta (Nasional); Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan Terkait SDM TVRI, Muhamad Heychael mengungkapkan, “Orang-orang yang kerja di situ orang tua, pikirannya kolot, enggak ada kreativitas, semuanya PNS. Itu yang harus diatasi kalau mau TVRI bagus kayak BBC.” Namun, pernyataan berbeda diungkapkan oleh Edi Widiyanto, Kepala Sub Bagian Data, Evaluasi, dan Pengembangan SDM TVRI. Dia menjelaskan bahwa banyak tenaga kerja TVRI yang juga bekerja pada salah satu televisi swasta. Sehingga ihwal profesionalitas menurut dia tidak kalah dibandingkan dengan te-nagatenaga kerja pada lembaga pe-nyiaran swasta. Karena dari internal TVRI sendiri memiliki lembaga pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan skill para pe-gawainya. “Kan kalau dari sisi profesional, siarannya enggak kalah kita, banyak orang di RCTI juga orang TVRI. Orang RCTI, orang TPI, orang Indosiar, orang ANTV kan dulu orang-orang kita juga, orang TVRI. Kebetulan mereka sudah ada
Keadilan Edisi XXXX/2016
13
Karikatur
yang purnabakti. Ada orang teknik jago-jago kita yang di luar. Jadi kalau dari sisi profesional kita enggak kalah sebetulnya,” ungkap Edi. Sependapat dengan Edi Widiyanto, Yuni Sutrisno mengucapkan, “Kalau kita bicara SDM, enggak ada yang enggak bisa buat orang TVRI. Jangan salah.” Edi Widiyanto menambahkan bahwa banyak pegawai di dalam TVRI yang merupakan fresh graduate. “Yang rekrutmen 2013 rata-rata fresh graduate. Mereka palingan dua tahun atau satu setelah lulus,” katanya. Dari data per Juni 2015, TVRI memiliki 30 stasiun. Menurut keterangan Direktur Utama TVRI, Farhat Sukri, sebagaimana yang dilansir dalam portal berita Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, bahwa kini TVRI mempunyai pemancar sebanyak 380. Namun yang beroperasi
14
Keadilan Edisi XXXX/2016
hanya sekitar 120 pemancar. Sisanya, sebagian tidak operasional lagi. Yuni Sutrisno, selaku Kepala Seksi Peralatan Studio dan Penyiaran di TVRI, mengakui bahwa memang minim kualitas pemancar. “Kalau alat kita kurang, iya saya akui. Dengan mobilitas baik produksi maupun news yang sifatnya live, kita kurang,” jelasnya. Dia menambahkan bahwa untuk menghasilkan siaran dengan kualitas video maupun audio yang jernih, diperlukan peralatan yang bagus dari tiap aspek. Tidak hanya dari satu alat saja. Syaharuddin menambahkan, masalah sarana prasarana itu juga harus di-upgrade. “Kalau di Jakarta sudah mempunyai kualitas pemancar yang bagus. TVRI sudah jernih, sama dengan swasta kualitasnya, cuma dia (TVRI) kontennya belum baik,”
tambahnya. Fajar berpandangan bahwa awalnya media massa itu tercermin pada sifat-sifat TVRI, tak hanya itu, TVRI diharapkan menjadi alat pemersatu bangsa, kemudian menjadi sarana untuk membentuk kepribadian dan sebagainya melalui siaran-siaran yang mendidik. Selain itu, Muhamad Haychael mengatakan bahwa TVRI diharapkan menjadi media alternatif ketika dunia pertelevisian sedang carut marut. “Idealnya yang terkait jadi alternatif ketika TV berantakan, gitu kan kayak sekarang. Harapannya TVRI bisa jadi TV publik buat yang menjadi sandaran publik sebagai media alternatif.”
Dialog
Sorot di Balik
Layar Pertelevisian Indonesia
dok.
Oleh: Fajrul Umam Atmarazaqi
J
urnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya, seperti sebuah batu pertama yang berlanjut menjadi fondasi sebuah lorong. Setelah itu jurnalisme menempuhnya, dalam keadaan ruwet dan licin, yang membutuhkan bukan saja keterampilan dan kecerdikan, tapi juga kesediaan dan kemampuan untuk menjadi polisi lalu lintas, dan kemudian jadi jaksa dan hakim terhadap diri sendiri, yang awas terhadap pelanggaran. Terdakwa pertama memang bukan orang lain. Setelah ditulis dan dimuat, status terdakwa itu belum tentu selesai. Begitulah kiranya sebuah pengantar dari Bill Kovach dalam Elemen-Elemen Jurnalisme versi terjemahan bahasa Indonesia. Bila rangkaian kalimat-kalimat itu disandingkan dengan keadaan jurnalistik pertelevisian di Indonesia akhir-akhir ini, tentunya hati kecil akan menangis. Sajian-sajian yang dihidangkan kebanyakan tidak memenuhi unsur ‘kesehatan’. Mulai dari berita sampai hiburan sebagai sarana penghilang penat. Bahkan tak jarang televisi dijadikan alat ‘propaganda’ politik, maka independensi wartawan serta media dipertanyakan. Padahal kini televisi bukan lagi menjadi barang langka di setiap rumah. Konon kabarnya semua itu akibat dari campur tangan pemilik modal pertelevisian yang selain memang mencari keuntungan, juga kebanyakan masuk dalam politik praktis. Berangkat dari kondisi dan hipotesis di atas, maka Keadilan berdialog dengan Dewan Pers yang diwakili oleh Imam Wahyudi. Berikut ulasan wawancaranya. Secara umum, bagaimana kondisi pertelevisian Indonesia? Secara umum, pertelevisian Indonesia sudah cukup maju. Di Indonesia kan ada satu televisi publik—yaitu TVRI. Kemudian yang lain adalah sepuluh televisi swasta yang bersiaran nasional. Menurut UU, sebenarnya tidak boleh dan harus berjaringan. Kalau kita lihat implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, mengenai sistem jaringan masih banyak yang mengeluhkan. Artinya, banyak yang belum puas karena belum terintegrasi dengan baik, kalau dilihat dalam konteks aturannya. Dari segi konten, kalau kita lebih menyoroti dari sisi aspek konten jurnalistik, kalau Anda dari masyarakat umum belum tentu suka kan. Televisi kita yang notabene sudah menerima amanah dari publik sebagai pemilik frekuensi. Sedangkan frekuensi itu sendiri milik negara. Secara tidak langsung berarti, ya, kita-kita itu pemiliknya,
yang kemudian diamanahkan kepada televisi. Mereka diberi amanah untuk memberikan konten yang bermutu. Tetapi mereka sebagai pengemban amanah dari frekuensi itu belum secara optimal menjalankan amanahnya. Tentu banyak orang berdebat apakah sinetron (sinema elektronik) dan infotainment tidak perlu dibuat kategorisasi. Kita lihat saja kontennya, apakah memenuhi menu yang sehat atau tidak. Kalau makanan itu empat sehat lima sempurna, sedangkan ilmu komunikasi itu sederhana saja. Apakah dia informatif, mendidik, menghibur, dan dapat melakukan kontrol sosial. Tidak hanya menghibur, namun ia harus punya fungsi informatif. Fungsi ini diemban oleh news. Hiburan di televisi juga harus bisa mendidik dan bisa melakukan kontrol sosial secara efektif. Jadi, kontennya harus kumulatif ? Iya, media massa kan begitu. Apalagi ini bukan
Keadilan Edisi XXXX/2016
15
media massa yang tidak sepenuhnya 100 persen milik Anda. Kalau siaran frekuensi siapa yang punya lebih besar lagi tanggung jawabnya jauh lebih besar daripada cetak. Kalau di cetak kita mengenal ada pers partisipan. Itu pers yang berpihak kepada partai politik tertentu. Kalau frekuensi, satu; terbatas, dua; bukan milik Anda. Anda dipinjami kok anda partisan, enggak bisa dong. Kedua, kalau anda enggak setuju televisi A B C D E, Anda mau bikin televisi sendiri dari mana frekuensinya, mau Anda punya duit segedung ini, Anda enggak pernah bisa bikin televisi kalau enggak ada frekuensinya, frekuensi karakternya terbatas. Definisi jurnalistik televisi itu seperti apa? Jurnalistik TV itu kalau kita mengacu undangundang seperti anda bilang satu jurnalisme dua televisi. Televisi itu ada platform-nya. Platform carrier-nya itu TV, tapi substansi dan kontennya tetap jurnalistik. Menurut UU apakah jurnalistik itu, pers adalah lembaga sosial dan wahana komukasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, warna dan gambar serta, data dan grafik maupun dengan betuk lainya maupun media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Berarti itu tadi definisinya. Kontennya adalah konten jurnalistik ditaruhnya di media yang bentuknya audiovisual baru ditaruhnya di media elektronik nah itulah jurnalisme televisi. Terkait penggunaan bahasa yang bias di televisi berita-berita, bagaimana ? Begini intinya. Sebenarnya media itu salah satu fungsinya yaitu kan dia harus jujur, media boleh editor policy, kebijakan redaksi. Kebijakan redaksi itu misalnya dalam kasus Lumpur Lapindo TV One. Itu jangan sebut Lumpur Lapindo tapi Lumpur Sidoarjo gitu kan? Itu kebijakan dia. Nah, tapi kita pertanyakan kebijakan editor policy itu basisnya kejujuran atau ingin menyiasati atau apa gitu. Karena itu prinsip jurnalisme jujur. Jadi misalnya begini, seandainya TV One menggunakan istilah Lumpur Sidoarjo sepanjang dia bisa menjelaskan bahwa itu berdasar. Kemudian seluruh beritanya pun menyebut Lumpur Sidoarjo. Ia tidak menutup-nutupi bagaimana proses sejarahnya dan sebagainya dia enggak macem-macem, enggak masalah. Mau Lapindo selalu diberikan disclaimer di belakang pemberitaan soal Lumpur Sidoarjo itu. Misalnya bahwa TV One dimiliki oleh keluarga Bakrie pemilik saham Lapindo. Jadi ada kejujuran disclaimer. Jadi enggak masalah seandainya kemudian dia pake istilah Lumpur Sidoarjo selama dia jujur, bukan kemudian untuk menyesatkan opini atau apa, enggak bisa diterima. Ini tidak sepenuhnya terkait dengan Lapindo ini masih kontroversial. Tapi sajikan fakta-fakta yang
16
Keadilan Edisi XXXX/2016
komprehensif bukan dari sisi ini doang. Itu enggak bisa dan tidak memenuhi aspek keberimbangan. Kalau mengenai berita seperti Hari Tanu yang di MNC. Kemudian RCTI saat Pemilu itu, seperti iklan Partai HANURA seperti apa dari segi etika? Jadi begini. Dalam bermedia itu harus jelas bahwa media itu dasarnya ialah untuk—yang media siaran dia membawa amanah publik—karena dia menggunakan frekuensi, ini harus diingat. Jangan dilupakan, ini basisnya karna dia mengemban amanah publik. Maka dia harus memberikan konten-konten yang sehat. Itu yang paling penting. Artinya, kalau sesungguhnya di balik publik berhak untuk mencabut mana itu yang bukan amanah, logikanya seperti itu, itu yang pertama. Berarti seluruh konten harus sehat dan menyehatkan. Kemudian di dalam konten televisi ini ada konten jurnalistik. Prinsip dari konten jurnalistik itu bahwa kontennya harus membawa publik untuk menemukan kebenaran. Kemudian terkait kode etik jurnalistik ada aturannya. Macam-macam keseluruhannya ini ada aturannya, pedoman perilaku program siaran itu aja. Mengenai wartawan yang memberitakan tentang Pemilu untuk kepentingan pemiliknya? TV itu berarti jurnalistik kan, jurnalistik televisi tidak boleh jurnalisme partisan. Tegas dengan logika yang tadi. Jadi wartawan harus diwajibkan untuk independen? Harus independen. Oh beda, bedain antara independen dengan tidak berpihak itu berbeda. Semua media berpihak,
• Imam Wahyudi
berpihak pada publik. Kemudian tadi media harus independen, apa bedanya independen dengan tidak berpihak. Hubungannya antara Kementerian Komunikasi dan Informasi dengan KPI itu seperti apa? KPI itu lembaga independen yang representasi dari publik jadi untuk menjawab pertanyaan mengawasi itu KPI. KPI representasi dari si publik tetapi menurut undang-undang kemudian yang judial review, dulunya KPI kan diharapkan alokasi frekuensi, artinya kalau kamu enggak bener ya udah saya tak perpanjang, jadi gitu kan. Tapi pada waktu di-judial review oleh TVSI dan sebagainya itu. Permohonan judial review itu dikabulkan sehingga penguasaan frekuensi alokasi itu dipegang oleh Kominfo lalu KPI mengawasi kontennya. Nah, kemudian kemarin setelah Pemilu itu kan memberikan rekomendasi surat kepada Kominfo agar beberapa televisi yang selama ini dinilai partisan tidak diperpanjang izin siarannya. Izin penggunaan frekuensi sebagian ini ada yang 2015, 2016 kalo enggak salah. KPI memberikan rekomendasi ini seberapa kuat? Ya namanya juga rekomendasi, tinggal yang dikasih rekomendasi mau jalanin atau enggak itu persoalannya. Tapi, sejauh ini permasalahannya kan di situ? Ya kalau memang itu, makanya teman-teman yang kemudian punya gagasan untuk mengubah UndangUndang siaran kan. Persoalannya, pada saat dulu, kan yang dulu aslinya enggak jadi keburu DPR-nya udah habis masa jabatannya. Dulu kan gagasan supaya diperkuat fungsi KPI-nya. Kemudian pemerintah memberikan daftar isian masalah, justru menetapkan KPI sekadar komisi pengawas isi siaran atau apa lupa saya. Intinya dipertegas lagi hanya mengawasi kontennya saja enggak bisa bikin evaluasi dengar pendapat enggak ada. Apakah secara wewenang sangat terbatas ya? Sangat terbatas, sebenarnya kalau terbatas juga enggak. Kenapa karena dia punya penghentian program juga. Kan itu hanya penghentian sementara? Enggak juga, tinggal tergantung dia (KPI). Tergantung apanya? Tergantung KPI, kan Empat Mata itu udah selesai tapi kan lalu mereka bikin Bukan Empat Mata. Bagaimana kalau berita siaran tadi itu masuk konten jurnalistik—berita—itu nanti di bagian pengawasan
oleh KPI atau pengawasan oleh dewan pers? Begini, kan di KPI itu siaran terkait siaran jurnalistik, KPI akan meminta pendapat kepada dewan pers. Praktiknya selama ini begitu. Apakah nanti di tangan KPI, tetapi KPI meminta rekomendasi? Ya meminta Dewan Pers. Ini kan rezim etik jadi mereka meminta penilaian etik dari kita untuk dia menyambung mengambil tindakan. Sejauh ini, Dewan Pers terlihat cuma memberi rekomendasi, tidak bisa langsung memberikan sanksi? Sanksi itu sesungguhnya begini, meskipun dia tidak bisa memecat atau sebagainya, tetapi keputusan dewan pers itu sangat dalam tanda petik, sangat diikuti. Contohnya ada satu media di Sumatera Utara, namanya Batak Post Bersinar. Media ini melakukan pelanggaran banyak banget. Sudah diperingatkan, melakukan pelanggaran. Akhirnya dewan pers mengatakan bahwa berdasarkan penilaian dewan pers, itu namanya rekomendasi, maka bahwa media ini sudah tidak memenuhi syarat bisa dilihat dewanpers.co.id. Yang menyatakan dewan pers? Dewan pers. Menyatakan sudah tidak memenuhi syarat lagi, karena kan salah satu syarat bahwa dia taat UU 40 (UU Nomor 40 Tahun 1994 tentang Pers), terus etika profesi, macam-macam. Harapan anda mengenai televisi? Harapan saya televisi itu kan audiovisual. Orang menonton audiovisual tingkat kepercayaannya jauh lebih tinggi ketim-bang teks, ketimbang sekedar foto-foto. Audiovisual kan dia bisa denger jadi tingkat kepercayaan masyarakat apa yang disiarkan itu tinggi. Nah karena tinggi mestinya kualitas jurnalistik di televisi harusnya lebih prima. Maksudnya terutama dalam soal akurasi, dedikasi harus lebih mendekati sempurna lah. Kedua, penyebaran pesawat televisi se-Indonesia ini itu lebih dari 90 persen, lebih dari 95 persen rumah tangga punya TV. Berati kan jadi efektif kalaupun dia tidak menerima siaran dari terestrial dari yang itu, paling tidak dia menerima yang parabola, ter-cover juga kan. Dia paling tidak nih ya, kalau dia punya parabola. Jadi kalau harapannya, saya harapkan jurnalistik televisi menerapkan standar jurnalistik yang setinggi-tingginya. Kalau kita me-nilai standar jurnalistik itu buruk misalnya, berarti itu jauh dari harapan, jadi setinggi-tingginya.
Reportase oleh: Rendu Saadan Thandi
Keadilan Edisi XXXX/2016
17
Laporan Khusus
Paisal/Keadilan
• Truk melewati portal yang dipasang untuk menghalangi masuknya alat berat. (4/7/2015)
Tak Ada Izin, Lahan Warga Tetap Tergerus Kendati alat berat telah ditertibkan, penambangan pasir lahan warga di sekitar lereng Merapi masih tetap berjalan. Bermodalkan peralatan dan teknik sederhana, para penambang manual masih beraktivitas tanpa adanya kejelasan izin. Oleh: Ismail Sani Ali Manggala
T
risno Sumarno mengingat penambangan pasir di sekitar Kali Boyong dimulai pada kisaran tahun 1994 untuk mengeruk hasil muntahan erupsi Gunung Merapi. Pria yang akrab dipanggil Tris, warga Dusun Ngepring, Desa Purwobinangun Kecamatan Pakem, Sleman tersebut menuturkan tentang awal mula kegiatan penambangan pasir. “Sudah lama. Kalau yang di atas itu (Kali Boyong) mulai ‘94,” ujar Tris. Sejak saat itu kegiatan penambangan berlangsung hingga sekarang baik yang dilakukan oleh pihak swasta—perusahaan—maupun warga setempat. Gunung Merapi sebagai salah satu gunung berapi yang paling aktif, memberikan berbagai efek akibat letusannya. Salah satunya, mengalirnya material-material hasil letusan melalui sungai-sungai atau kali yang berhulu di lereng Merapi. Sungai-sungai— notabenenya masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Sleman—tersebut antara lain, Kali Boyong, Kali Gendol, Kali Krasak, Kali Opak, dan Kali Kuning yang berada di lereng selatan Merapi. Erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2010 membuat Kali Boyong dan sungai lainnya di sekitar lereng Merapi penuh dengan timbunan material pasir dan batuan. Hal tersebut membuat pemerintah Kabupaten Sleman mengeluarkan kebijakan untuk melakukan normalisasi sungai-sungai yang dialiri oleh luapan material. Kemudian pada tanggal 11 Desember 2010 diterbitkanlah Keputusan Bupati Sleman Nomor 284/Kep. KDH/A/2011 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Gunung Merapi. Keputusan tersebut diambil untuk mengeruk endapan sedimentasi hasil erupsi Merapi di alur sungai yang telah melebihi batas normal. Selain itu juga untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai saluran irigasi, seperti yang terlansir dalam website resmi
Pemerintah Kabupaten Sleman, www. sleman.go.id. Sejak saat itu sungai-sungai di sekitar lereng Merapi mulai ramai oleh aktivitas alat berat yang silih berganti mengeruk material pasir. Alat berat tersebut didatangkan oleh para pihak swasta. Tak jarang, perusahaan yang beraktivitas di sana berasal dari luar provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Pelanggannya juga semua dari luar daerah semuanya. Di sini kan enggak ada,” ujar Tris kembali menuturkan. Izin normalisasi yang telah habis masanya sampai Desember 2014 tidak membuat aktivitas penambangan di Kali Boyong berhenti. Permasalahan menyeruak ketika jumlah alat berat bertambah banyak. Itu diperparah dengan berpindahnya area penambangan ke lahan pekarangan warga yang berada di sekitar Kali Boyong. “Awalnya itu cuma ke sini itu dua perusahaan. Tapi sesudah enggak ada izin, malah banyak alat yang masuk,” Tris kembali meneruskan penuturannya. Menurutnya, penambangan yang dilakukan dengan menggunakan alat berat sangat merusak dan mengakibatkan
kerugian, salah satunya kekurangan pasokan air. Seiring dengan kekesalan warga yang timbul akibat dari aktivitas penambangan, memicu ratusan warga melakukan aksi blokir Jalan Turgo di pertigaan Dusun Candi, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, pada 17 Februari 2015 seperti yang dilansir okezone.com. Hasilnya, puluhan alat berat berhasil diturunkan dari lokasi penambangan yang berada di sekitar Dusun Ngepring. Pasca ditariknya alat berat, saat ini bekas lokasi-lokasi penambangan tersebut kembali dikeruk oleh para penambang yang notabene warga sekitar Kali Boyong. Mereka menambang dengan menggunakan teknik manual dan peralatan sederhana. Hal itu diamini oleh Prapto Hartono atau yang biasa dipanggil Tono, warga Dusun Candi yang juga salah satu penolak pertambangan pasir. “Setelah alat berat naik ke lahan baru pada pindah di lahan. Karena kan sekarang lebih mudah, kalau dulu kan susah ngambil di lahan bagian atas,” lanjutnya. Menurut Tono, dampak yang ditimbulkan dari penambangan
Paisal/Keadilan • Penambang pasir di Dusun Ngepring, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman. Lokasi pertambangan ini berada di lahan warga. (4/7/2015)
Keadilan Edisi XXXX/2016
19
manual memang tidak separah dari jelaskan jumlah penduduk di dusunnya lihat dari RTRW Provinsi Daerah penambangan dengan alat berat. Tapi sekitar 280 Kepala Keluarga (KK). Istimewa Yogyakarta (DIY), daerah dirinya tidak menampik adanya efek Selain menambang pasir, pertanian dan lereng Merapi pun sebenarnya tidak peternakan menjadi mata pencarian termasuk kawasan peruntukan perjangka panjang. Dusun Ngepring yang bera- warga. Mengenai banyaknya warga tambangan dalam Rencana Pola da di wilayah Desa Purwobinangun dusun yang menambang, Suwadi pun Ruang Provinsi DIY. Akan tetapi, merupakan salah satu lokasi keber- mengaku warganya pernah diberikan dalam Pasal 38 RTRW Kabupaten adaan penambangan pasir secara sosialisasi mengenai pelarangan pe- Sleman, disebutkan bahwa kawasan manual, di samping daerah lainnya nambangan pasir, namun mereka lereng Merapi termasuk dalam di sekitar Kecamatan Turi, Pakem, tetap nekat. “Dulu udah ada pernah, kawasan peruntukan pertambangan. dan Cangkringan. Menurut Tono, pe- tapi ya penambang tetap nekat. Dulu Keterangan lebih lanjut itu pas ada alat berat, dari desa juga nambang lahan pekarangan di sekitar mengenai tata ruang diberikan oleh kali Boyong kebanyakan warga Dusun udah memperingatkan pakai surat itu,” Kepala Bidang Tata Ruang, Dinas Ngepring dan Dusun Galpanggung tuturnya. Mengenai tindakan yang Pekerjaan Umum, Perumahan, Eneryang termasuk dalam wilayah Desa dilakukan, Suwadi menjelaskan tidak gi, dan Sumber Daya Mineral (PUPGiri Kerto. Dia juga menambahkan dapat berbuat banyak untuk mencegah ESDM) Provinsi DIY, Hananto Hadi bahwa hampir separuh warga dari pertambangan pasir itu, sebab Purnomo. “Rencana tata kedua dusun tersebut bermata pen- pengambilan kesepa-katan ruang itu tu-juannya untuk terjadi secara privat carian penambang pasir. Ada pula mewujudkan ruang sebagian di antaranya yang masih antara pemilik lahan yang aman, nya-man, dan investor. menambang di Kali Boyong. produktif, dan ber Tidak hanya Dari hasil pantauan Keadilan, kelanjutan”. Dia juga ter-dapat beberapa titik penambangan penambang lokal samenambahkan, dalam pasir di lahan pekarangan warga. Be- ja yang beraktivitas, penyusunan draf tata menjelaskan berapa di antaranya terlihat masih Suwadi ruang didasarkan pada berlangsung aktivitas penambangan sebelumnya terdapat bepotensi yang terdapat di dengan metode manual. Dengan berapa armada truk berikut • Hananto Hadi suatu wilayah. cara meruntuhkan bagian dinding penambangnya yang berasal Purnomo Terkait kawasan lereng dari luar Yogyakarta sendiri. Itu tebing, beberapa penambang meMerapi yang termasuk dalam kawasan ngeruk lapisan pasir yang berada di terlihat dari nomor polisi kendaraan peruntukan pertambangan, Hananto lapisan bawah. Kemudian mereka truk yang berseliweran mengangkut menjelaskan bahwa prinsip tata ruang memasukannya ke dalam truk yang di pasir di sekitar penambangan lahan. yang berkelanjutan harus tetap menjadi parkir persis di samping tebing yang Akan tetapi, truk yang berasal dari pertimbangan dalam mengeluarkan menjulang dengan ketinggian berkisar luar Yogyakarta tersebut kini hanya izin sebagai pengendaliannya. “Tata mengambil pasir dari beberapa ruang itu begitu ditetapkan bahwa 15 sampai 25 meter. de-po yang berada tidak jauh di situ daerah pertambangan, boleh Setiap harinya dari lokasi penambangan. truk pengangkut pasir ditambang. Tapi, ono persyaratanne Dikaji dari segi hu- tadi,” pungkas Hananto. Selain itu lalu-lalang di Jalan kum, daerah sekitar dia juga menambahkan meskipun Turgo. Biasanya unKecamatan Pakem, ada perubahan kewenangan antatuk satu rit—ukuran Cangkringan, dan Turi ra provinsi dengan kabupaten/kota muatan satu truk— termasuk daerah lin- pasca disahkannya UU Nomor 23 mendapatkan 200 dung resapan air. Itu Tahun 2012 tentang Pemda, tidak sampai 300 ribu rupiah tercantum dalam Perda mengubah pengaturan ketataruangan. dari penjualan pasir. Per Kabupaten Sleman Nomor Pengawasan tata ruang dilakukan truknya bisa terdapat tiga • Suwadi 12 Tahun 2012 tentang Rencana secara berjenjang, mulai dari kabusampai empat orang termasuk Tata Ruang Wilayah (RTRW) paten/kota sebagai pemerintah daerah sopir. Sedangkan pemilik lahan mendapatkan uang sekitar 45 ribu Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. setempat untuk mengawasi apabila Ketiga kecamatan tersebut kawa- adanya pelanggaran. rupiah dari setiap rit-nya. Ditemui di tempat terpisah, san yang memberikan perlindungan Pasca berlakunya UU Nomor Kepala Dusun Ngepring, Suwadi men- terhadap kawasan bawahnya. Di- 23 Tahun 2014 terjadi perubahan
20
Keadilan Edisi XXXX/2016
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satunya mengenai pembagian urusan pemerintah di bidang energi dan sumber daya mineral yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dilimpahkan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi. Dalam Pasal 14 ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Hal itu menimbulkan konsekuensi berpindahnya kewenangan untuk menerbitkan izin pertambangan kepada pemerintah daerah provinsi. Seperti yang dijelaskan oleh Puja Krismanto, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Pertambangan Umum, Bidang Energi Sumber Daya Mineral, Dinas PUP-ESDM DIY. Lebih lanjut Puja menjelaskan tentang perizinan pertambangan yang terkait dengan aktivitas penambangan pasir di lereng Merapi. Dirinya menuturkan bahwa penambangan pasir yang ada di lereng Merapi tidak ada yang memiliki izin, baik itu Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun menurut Puja, sebelum ada izin sebenarnya harus ada penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Keduanya berada pada kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Pemerintah Provinsi untuk menerbitkannya. Hal tersebut seperti yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta PP Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Perlu menjadi catatan, sampai saat ini Provinsi DIY belum memiliki WPR, karena belum adanya penetapan dari Kementerian ESDM terkait hal itu, seperti yang dilansir dalam harianjogja. com pada 3 April 2016.
Saat diwawancarai Keadilan, Puja menjelaskan mengenai beberapa permohonan IUP di kawasan lereng Merapi yang masih dalam proses perizinan. “Ada permohonan beberapa itu masih tertahan, tahapnya kan banyak itu. Setelah permohonan IUP nanti kan ada IUP Eksplorasi, setelah itu ada IUP Operasi Produksi,” ujarnya. Dengan adanya status pertambangan ilegal, hal tersebut ditentukan dalam UU Nomor 4 Tahun 2004. Dalam Pasal 158, tercantum bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin akan dikenakan pidana. Permasalahan lainnya adalah belum adanya peraturan pelaksana pasca perubahan kewenangan berdasarkan UU Pemda tersebut. Terdapat penafsiran yang berbeda di antara instansi pemerintahan daerah akibat kekosongan peraturan setingkat PP dari UU Pemda. Kepala Seksi Pengusahaan ESDM, Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral (SDAEM) Kabupaten Sleman, Sumantri memberikan keterangan seputar hubungan provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam pertambangan. Dia menjelaskan bahwa hubungan antara pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota bersifat koordinatif. Dalam proses perizinan, pemerintah kabupaten/kota memberikan rekomendasi kepada pemerintah provinsi terkait izin yang akan diberikan. “Nanti kalau ada pemohon itu Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) untuk pertimbangan tata ruang daerah. Dari Provinsi memberitahukan kepada BKPRD, itu adanya di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah),” ungkap Sumantri. Selain itu ketika ditanya mengenai pungutan galian C di sekitar lokasi pertambangan ilegal tersebut, dia mengatakan adanya pajak galian C tersebut ditetapkan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman. Masih berlangsungnya kegiatan penambangan pasir ilegal di sekitar Kali Boyong disinyalir disebabkan oleh pengawasan pemerintah yang kurang. Hal tersebut selaras dengan yang diungkapkan oleh Basuki Rahmat, warga Dusun Sudimoro, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman. Pria yang juga merupakan salah satu penggerak aksi penolakan warga beberapa waktu lalu. Basuki mengatakan banyak dari penambang
Paisal/Keadilan • Petugas Perwakilan Dinas Pendapatan Kabupaten Sleman memungut retribusi kepada truk penambang pasir. (4/7/2015)
Keadilan Edisi XXXX/2016
21
dan pemilik lahan yang menjadikan reklamasi untuk penataan lahan sebagai kedok. Menurutnya itu hanya alasan agar aktivitas penambangan pasir tetap berjalan. Basuki yang diwawancarai di kediamannya melanjutkan, “Kalau pemerintah itu sekarang sudah diam. Kalau enggak ada gejolak, pemerintah itu diam. Pengawasan sekarang dari masyarakat sendiri”. Dia mengungkapkan bahwa saat ini terdapat tim khusus dari desa yang mengawasi permasalahan pertambangan. Tim tersebut terdiri atas unsur Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat, serta Basuki sendiri yang tergabung di dalamnya. Selain itu, dia menceritakan bahwa patroli dari Kepolisian Daerah DIY tidak dilakukan setiap waktu. Akan tetapi, patroli hanya dilaksanakan apabila ada laporan aktivitas penambangan pasir ilegal. Beberapa waktu lalu, peme-
rintah setempat sebenarnya pernah memberikan modal berupa kambing Etawa kepada warga di sekitar Desa Purwobinangun. Keterangan tersebut diberikan Tono. Dirinya menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan agar masyarakat bisa beralih dari penambangan pasir. “Cuma karena ya itu tadi mereka lebih nyarinya ke dana sing langsung entuk (dapat) duit lah. Nek entuk duit langsung iso nggo belonjo, iso nggo seneng-seneng, ibarate gitu,” pungkas Tono. Di tempat terpisah, Pambudi Sulistyo atau yang akrab dipanggil Sulis, menuturkan perjuangannya melakukan penolakan terhadap penambangan pasir ilegal di Sungai Boyong dan sekitar lereng Merapi. Pria berambut gondrong itu merupakan warga Dusun Glondong, Desa Hargobinangun, Pakem. Menurutnya, fungsi pemerintah dalam menyelenggarakan sebuah program tidak banyak dilakukan, di antaranya
fungsi monitoring dan evaluasi, apabila terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaan penambangan. “Untuk selanjutnya kita masih berharap keluarnya peraturan-peraturan baru. Di samping keluarnya peraturan gubernur juga harus ada regulasi tentang zonasi tambang di Sleman,” tambahnya. Sulis berpendapat, belum ada kejelasan terkait regulasi zonasi tambang tersebut.
Reportase bersama: Aisyah Humaida, Paisal Salman A., Tegar Dwi P.
Redaksi menerima kontribusi tulisan berupa :Opini, Artikel, dan Resensi
TULIS DAN KIRIM KE lpmkeadilanfhuii@yahoo.co.id
22
Keadilan Edisi XXXX/2016
Lahan Hilang, Air
Tanah
Membayang
Paisal/Keadilan • Para penambang pasir di lahan warga dusun Ngepring, Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta. Penambangan pasir telah mengubah morfologi permukaan dan berdampak pada fungsi resapan air daerah tersebut. (4/7/2015).
Jika alam adalah ibu, maka manusia telah ‘memperkosa’ ibunya. Mengambil berkah kekayaan tanpa pikir dan ampun. Mengeksploitasi ‘tubuhnya’ dengan bengis. Lalu sadarkah manusia, ‘ibu’ kemudian dapat murka dan menuntut balas atas setiap perlakuan manusia tanpa peringatan sebelumnya? Oleh: Tegar Dwi Permata
“
...air saya itu habis, sudah musim hujan, dua bulan air saya susah terus,” ucap Trisno Sumarno, salah seorang warga Desa Ngepring, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Tris merupakan salah satu warga yang terdampak akibat aktivitas eskavator di aliran Kali Boyong. Sumber mata airnya kering setelah beberapa eskavator mengeruk sampai ke dinding sungai. Eskavatoreskavator tersebut merupakan bagian dari adanya upaya normalisasi sungai pasca erupsi. Jika ditarik ke belakang, rangkaian peristiwa itu bermula dari adanya letusan Gunung Merapi 2010 lalu. Setiap dua sampai lima
tahun, gunung dengan tinggi 2.968 meter di atas permukaan air laut ini mengeluarkan material vulkanik-nya. Merapi merupakan gunung api strato yang berada di antara dua provinsi, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Lereng sisi selatan berada di wilayah administrasi Kabupaten Sleman, DIY, sisanya masuk ke wilayah Jawa Tengah. Antara lain, lereng sisi barat termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Magelang, kemudian sisi utara dan timur masuk sebagai wilayah Kabupaten Boyolali, sedangkan lereng tenggara merupakan wilayah administrasi Kabupaten Klaten. Dari sejarah yang tercatat,
Gunung Merapi telah mengalami beberapa kali erupsi efusif atau lelehan dan eksplosif—letusan. Terakhir, bulan Oktober hingga awal bulan November 2010, Merapi mengalami erupsi yang puncaknya terjadi tanggal 5 November 2010 dini hari. Menurut data yang diambil dari laman resmi Dinas Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM)—www.esdm.go.id, untuk letusan 2010 lalu, Merapi diperkirakan telah memuntahkan material vulkanik sebanyak 150 juta meter kubik. Material-material itu kemudian tersebar ke beberapa titik. Salah satunya ke wilayah Kabupaten Sleman yang notabene menjadi lereng selatan Merapi. Akibatnya beberapa sungai di
Keadilan Edisi XXXX/2016
23
Kali Boyong, tetapi pekarangan di sekitarnya kemudian menjadi lahan basah. Pekarangan mulai dikeruk. Lahan-lahan di sekitar sungai berubah menjadi tambang pasir bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Hasilnya, beberapa lahan produktif menjadi hamparan jurang dan lembah luas. Hal itu mengundang protes keras dari warga dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). WargaTegar/Keadilan warga yang berada di bawah dae• Sulis, warga Glondong yang menolak penambangan alat berat di aliran Kali Boyong, rah pertambangan mulai merasakan Sleman. 3/7/2015. dampaknya. Semakin hari, makin baKabupaten Sleman pun mendapatkan Pakem. Dia mengatakan, “...harusnya nyak truk pengangkut material yang luncuran material vulkanis dampak dari jam enam pagi sampai jam enam melintas dan membuat kemacetan. erupsi 2010 tersebut. Dari data web sore. Tapi kenyataannya suka-suka ya, Terlebih lagi, jalan yang dilewati oleh ESDM, Kali Boyong, salah satu su- (dari) pagi nonstop.” angkutan tersebut merupakan jalur ngai di Kecamatan Pakem, Sleman, Sulis juga mengungkapkan, evakuasi untuk bencana Merapi. yang berjarak hanya 14 kilometer dari selain dari segi waktu pelaksanaan, Prapto Hartono, salah seorang puncak Merapi mendapat luncuran teknisnya pun sudah melebihi ke- warga Dusun Candi pun mengeluhkan material vulkanis sepanjang 10 kilo- tentuan. Di dalam SK Bupati, pe- hal tersebut, “Jalannya juga rusak. meter. Hal itu membuat aliran sungai ngerukan material tidak boleh melebihi Jalan ke selatan kan udah mulai parah”. menjadi dangkal karena dipenuhi en- batas sedimentasi asli sungai itu Menurutnya sudah menjadi tanggung dapan material. sendiri. Akan tetapi pada praktiknya, jawab pemerintah untuk membe Untuk menormalkan aliran pengerukan itu mencapai tiga sam- nahi jalan yang dibutuhkan sewaktusungai dari tumpukan material vulkanis pai lima meter di bawah sewaktu bencana Merapi terjadi. bekas letusan Merapi, pada tanggal dimentasi asli sungai. Selain itu, dia beranggap11 Desember 2011 dikeluarkanlah Belum lagi dengan an bahwa sebenarnya Keputusan Bupati Sleman Nomor pengerukan dindingbukan dampak saat 284/Kep.KDH/A/2011 tentang dinding sungai yang ini saja yang mengNormalisasi Aliran Sungai Pasca dilakukan menggukhawatirkan, pun Erupsi Gunung Merapi. Normali- nakan alat berat. kedepannya, ketersasi tersebut dilakukan di beberapa Ditambah dengan sediaan air bersih sungai, antara lain Kali Opak, Kali tonase dari truk bagi masyarakat Gendol, Kali Krasak, Kali Boyong, pengangkut yang akan terancam. dan Kali Kuning. Kejanggalan mulai melebihi Beberapa muatan terjadi selang beberapa waktu setelah ketika melewati jalan kali warga dari Dusun adanya upaya normalisasi. Mulai dari raya. Turgo, Ngepring, batas waktu yang melebihi ketentuan, Tritis, Kemiri, Keratuan, • Trisno Sumarno Permasalahan tak hingga usaha komersialisasi material sampai di situ saja, pada 11 November Candi, Sudimoro, dan dusun lainvulkanis hasil normalisasi. 2014, izin normalisasi seharusnya su- nya mengadakan aksi. Terhitung Di dalam aturan tersebut, ke- dah habis masa. Akan tetapi, kegiatan sejak Januari hingga Februari, aksi giatan normalisasi ini seharusnya di- normalisasi bukannya berkurang, penolakan marak terjadi. Kemudian lakukan pada pukul 06.00 sampai 18.00 eskavator dan aktivitas bahkan semakin puncaknya, eskavator-eskavator itu saja, akan tetapi pada kenyataannya bertambah. “Kemudian yang di sudipaksa turun. “Lalu teman-teman melebihi batas waktu yang ditentukan. ngai tidak boleh, dia (perusahaan) mengultimatum seluruh alat berat Hal itu dibenarkan oleh Pambudi mau pergi dari sungai tapi naik (ke harus turun selama satu kali 24 jam. Sulistyo, warga Dusun Glondong, pekarangan),” ucap Tris. Bayangkan saat itu ada sekitar 27 alat Desa Hargobinangun, Kecamatan Eskavator tidak lagi merambah
24
Keadilan Edisi XXXX/2016
berat,” kenang Sulis. Perusahaan menarik diri dari tempat itu. Alat-alat berat turun dalam waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, dampak dari adanya penambangan pasir tidak berhenti sampai pada turunnya alat berat. Aktivitas eskavator meninggalkan dampak yang cukup parah. Daerah yang tadinya bertopografi rata, kini berubah menjadi hamparan tebing dan lembah setinggi minimal lima meter. Sayangnya, penambangan pasir di lahan-lahan kini telah mengubah pandangan warga pemilik lahan. Mereka berdalih akan memperbaiki lahan dengan cara meratakannya, namun hal tersebut dilakukan dengan penambangan. “Sekarang kan lahan sudah terlanjur rusak. Mereka beralasan pengen ndandani atau memperbaiki lahan-lah. Tapi nyatanya, sebenarnya bukan, caranya membuang material,” terang Tono. Dalam Pasal 39 huruf c Perda Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029 tercantum bahwa Sleman merupakan salah satu daerah resapan air selain Kabupaten Bantul, Kulonprogo, dan Gunung Kidul. Lebih detailnya, dalam Pasal 29 huruf b Perda Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031, disebutkan bahwa Kecamatan Pakem merupakan salah satu kecamatan yang menyumbang beberapa bagian dari kurang lebih 23.683 hektar kawasan resapan air di Kabupaten Sleman. Dalam bahasa, daerah resapan air biasa disebut juga sebagai daerah imbuhan air. Daerah tersebut berfungsi sebagai tempat pengisian ulang air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Sleman merupakan tempat meresapnya air hujan yang kemudian menyuplai kebutuhan air untuk daerah di bawahnya.
Adanya gangguan pada daerah resapan air akan berpengaruh kepada daerah yang berada di bawahnya. Menurut keterangan Halik Sandera, Direktur Walhi, penambangan yang terjadi di hulu sungai dan beberapa lahan warga sebenarnya telah mengganggu suply air tanah dalam untuk daerah-daerah lain, seperti Kota Yogyakarta dan Bantul. Terlebih lagi, dengan adanya kompetisi penggunaan air antara masyarakat dengan dunia usaha menyebabkan kebutuhan air meningkat. “Untuk saat ini ya, info dari (dinas) PUP (Pekerjaan Umum dan Pendudukan) ESDM provinsi, tahun kemarin (2014) penurunan muka air tanah, di Yogyakarta sekitar 20 sentimeter, itu artinya ada penurunan kuantitas air tanah dalam yang ada di Yogyakarta,” tambahnya. Sari Bahagiarti Kusumayudha, salah seorang dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran mengatakan hal yang senada dengan Halik. Terganggunya daerah resapan air di Sleman akan mengganggu siklus hidrologi yang ada. Air-air sumur yang berada di Kota Yogyakarta dan Bantul salah satu sumber air tanah dalamnya berasal dari Sleman. Dia pun mengatakan, “Itu dampaknya
biasanya tidak di daerah sekitarnya, tapi nanti daerah di bawahnya.” Perubahan morfologi permukaan dan bentang alam pun kemudian akan berpengaruh pada fungsi dari Sleman sendiri. Bahaya lain yang mengintai adalah bencana tanah longsor, karena penambangan pasir tersebut tidak mengindahkan teknikteknik pertambangan dan alat yang memadai. Warga hanya menggunakan peralatan manual seperti cangkul dan linggis untuk mengeruk pasir dari lapisan tanah tanpa dilengkapi alat keselamatan. Tono menjelaskan seraya memeragakan dengan tangannya, “Caranya kalau melihat langsung ke sana mungkin kaget. Dari jurang, truk itu dipepetkan ke sampingnya, dari atas dibrol (diruntuhkan) modelnya.” Ketika berbicara dampak pertambangan pasir—baik menggunakan alat berat maupun manual—di lahan warga, Halik menegaskan bahwa dampak keduanya sama. Hanya dalam rentang waktu yang berbeda. Ancaman krisis air bersih tetap menjadi dampak yang diperhitungkan ke depannya. Sari mengatakan, “Tapi biasanya pada musim penghujan atau kemarau berikutnya sudah bisa ditengarai. Ada enggak perubahan dari musim hujan
Salman/Keadilan • Tono, warga Candi yang menolak adanya pertambangan pasir di lahan-lahan warga desa Ngepring, Sleman.Minggu. (28/6/2015)
Keadilan Edisi XXXX/2016
25
Tegar/Keadilan • Pengendara menghindari lubang-lubang jalan yang diakibatkan oleh kendaraan pengangkut material tambang di Pakem, Sleman. Jalan tersebut merupakan jalur evakuasi bencana Merapi. (5/7/2015)
tahun lalu atau kemarau tahun lalu.” Hingga saat terakhir reportase Keadilan berjalan, belum ada upaya khusus dari pemerintah provinsi maupun kabupaten terkait perubahan bentang alam di Sleman dan penghentian kegiatan pertambangan. “Kalau sampai sekarang ini yang saya tunggu ya itu. Kok belum ada itu loh. Mereka masih anteng-anteng wae,” ujar Tono. Sulis pun mengatakan hal yang sama, belum ada sosialisasi terkait dampak ke depannya ketika penambangan tetap dilanjutkan. Selain itu permintaan warga yang kontra mengenai reklamasi pun belum mendapat tanggapan. Ketika disinggung mengenai pembenahan jalur evakuasi Merapi di Kecamatan Pakem itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman, Yuli Setiono, mengatakan bahwa hal ini tidak lepas dari masih adanya aktivitas pertambangan di daerah Pakem. “Kalau itu diperbaiki ya sementara pertambangan yang ilegal masih terus
26
Keadilan Edisi XXXX/2016
saja, nanti rusak lagi, pemborosan,” ujarnya. Meskipun begitu, Yuli mengupayakan pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum Sleman untuk segera membenahi jalur evakuasi yang rusak. Dalam kaitannya dengan dampak lingkungan akibat proses pertambangan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dengan pihak ESDM mengenai langkah-langkah yang akan ditempuh. Namun, hingga saat ini BLH belum memiliki data kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan tersebut. Sugeng Riyanta, Kepala Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup Sleman mengatakan, diperlukan dana besar untuk menormalkan kembali daerah-daerah yang menjadi titik pertambangan. Terlebih dengan parahnya keadaan bentang alam yang terjadi akibat tambang. Untuk melakukan upaya pembenahan, pemerintah cukup kesulitan karena lahan tambang berstatus tanah milik perseorangan. “Kita kadang benturannya di situ ya. Kita enggak bisa berbuat banyak,” ujarnya. Untuk saat ini, Sugeng menyampaikan bahwa BLH masih dalam tahap pengadaan serta penanaman bibit di sekitar sumber-sumber mata air. Pihaknya belum mengusulkan mengenai kegiatan pemulihan lain seperti perataan tanah atau pengadaan tanah untuk menambal lahan-lahan yang rusak. Merujuk pada PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, dampak pertambangan seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan tambang. Akan tetapi, hal tersebut dimungkinkan ketika perusahaan tambang memiliki izin usaha pertambangan maupun izin usaha pertambangan khusus. Sayangnya, dampak yang terjadi di Pakem saat ini diakibatkan oleh pertambangan alat berat—perusahaan—maupun manual
yang tidak dilengkapi dengan izin dari dinas terkait. Lalu, ketika disinggung mengenai pertanggungjawaban pemerintah, Sugeng mengatakan bahwa itu harusnya diemban bersama-sama oleh pemerintah untuk upaya pembenahan lahan pascatambang ilegal tersebut. Harus melibatkan setiap dinas yang berperan dalam upaya pengembalian lahan pascatambang. “Ini dilema sebenarnya, dari sisi kami (BLH) sebenarnya ingin mempertahankan untuk melestarikan fungsi lingkungan, tapi di sisi lain kita belum bisa memberikan solusi,” ujarnya. Berbicara mengenai dampak lingkungan yang terjadi, Pasal 2 huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tercantum bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan asas tanggung jawab negara. Sementara yang dimaksud dengan asas tanggung jawab negara, dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-
Salman/Keadilan • Aktivitas penambangan pasir di di lahan warga dusun Ngepring, Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta.(4/7/2015)
besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyatnya. Hal tersebut tidak hanya untuk di masa sekarang, namun juga untuk yang akan datang. Negara pun menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sementara itu, menurut Sari, pemerintah tetap harus memberikan aturan yang tegas untuk menghentikan pertambangan ilegal tersebut. Dia pun menambahkan, peran masyarakat juga penting dalam permasalahan ini. “Apakah dia membiarkan begitu saja atau dia juga ada respon atau reaksi,� ucap Sari. Senada dengan Sari, menurut Halik, dampak dari penambangan yang bersifat ilegal ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk proses pengembalian ke fungsi semula lahan, tinggal bagaimana pe-
ran pemerintah nanti mendorong terciptanya partisipasi masyarakat ke depan. Sebenarnya faktor utama penyebab pola perilaku masyarakat yang memilih pertambangan adalah ekonomi. Masyarakat beranggapan ketika pertambangan ini dihentikan, mereka harus memiliki sumber penghidupan lain. Oleh karena itu, Walhi mengharapkan adanya proses reklamasi atau pengembalian produktivitas lahan sehingga nanti nilai ekonomi dari lahan produktif mampu menjadi solusi permasalahan ini. Ada beberapa model reklamasi, salah satunya adalah tipe terasiring yang dapat diaplikasikan untuk lahan pascatambang Pakem. Pertambangan pasir telah membuat tebing terjal yang harus dilandaikan, kemudian beberapa bagian dikeruk untuk menambal bagian lainnya sehingga membentuk terasiring. Meskipun sebenarnya, menu-
rut Sari, upaya pengembalian melalui jalan reklamasi bertipe terasiring tidak akan mengembalikan kualitas lahan seperti semula, akan tetapi mampu meminimalkan risiko bahaya yang ada. Selain itu, dalam laporan tertulis yang berjudul Laporan Akhir; Kampanye Bangga Konservasi Lereng Selatan Gunung Merapi karya Ulie Rahmawati, salah satu anggota Kanopi Indonesia Tahun 2008 hingga 2009, penghutanan kembali dapat dilakukan dengan penanaman pohon yang memiliki adaptasi tinggi terhadap lahan pasir seperti pinus, akasia dan eucalypstus. Menurutnya, upaya konservasi selain dalam rangka pengembalian fungsi tangkapan air juga seiring dengan mengurangi risiko erosi tanah. Reportase bersama: Paisal Salman Alparidji, Aisyah Humaida, Ismail Sani Ali M.
KEADILAN POST
Informatif Komunikatif Aspiratif
Keadilan Edisi XXXX/2016
27
Kampusiana
Ilustrasi oleh: Faluthi/Keadilan
Skenario Pengabdian
“Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia”- Ir. Soekarno Oleh: Yuniar Dwi Astuti
S
ebagai syarat tutup teori untuk memuluskan jalan dalam meraih gelar strata satu, mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) diwajibkan untuk melakukan pengabdian sementara melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Maka tak heran bagi yang telah memenuhi syarat, berbondongbondong mendaftarkan diri. Tidak hanya itu, KKN merupakan bentuk implementasi dari catur darma keempat UII yaitu dakwah islamiyah. Menurut data yang dilansir dari Buletin Suplemen LPM Profesi, KKN pertama kali diprakarsai oleh beberapa perguruan tinggi negeri pada awal tahun 1972. UII melaksanakan KKN pada tahun 1990-an dengan model
28
Keadilan Edisi XXXX/2016
KKN bersama. Dan pada tahun 2000-an UII melaksanakan KKN secara mandiri walau masih tetap berhubungan dengan perguruan tinggi lain. Peran KKN diharapkan sebagai ujung tombak dalam merealisasikan tujuan UII. Seperti yang tertulis dalam website Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM), —www.dppm.uii.ac.id, mengacu pada SK Rektor UII Nomor 766/ SK-Rek/BAU/X/2005 tanggal 24 Oktober 2005 tentang Kuliah Kerja Nyata Universitas Islam Indonesia, bahwa guna memberikan kemanfaatan kepada masyarakat (rahmatan llil’alamin) sekaligus sebagai pengembangan universitas yang berkomitmen pada keunggulan dan
risalah islamiah baik pada masyarakat dan dakwah setingkat dengan universitas berkualitas di negara maju. Seperti dalam penjelasan web tersebut terdapat lima alternatif model KKN yang dapat dipilih mahasiswa antara lain: reguler satu, reguler dua, ekstensi, kemitraan, dan mandiri. Namun pada praktiknya mahasiswa hanya memiliki dua pilihan untuk melaksanakan KKN. Yakni model reguler satu yang dikenal dengan istilah antar waktu dilaksanakan pada liburan dan reguler dua atau pulang pergi, dilakukan pada saat semester berjalan. Terkait hal tersebut, Soni Laksono, Ketua Pelaksana Harian KKN UII menjelaskan bahwa minat mahasiswa atas model KKN selain
dari reguler satu dan reguler dua terus menurun. Tidak hanya itu adanya usulan mahasiswa dengan alasan banyaknya model KKN yang tidak jelas dan maraknya manipulasi dalam pelaksanaan, juga menjadi pertimbangan. Bahkan ke depannya direncanakan hanya akan ada satu model KKN yaitu KKN antar waktu yang dijalani ketika liburan semester. Mahasiswa dan KKN Para mahasiswa bukan tak paham bahwa KKN tidak hanya sekadar kewajiban dan syarat kelulusan. Hal ini diungkapkan oleh kedua peserta KKN reguler satu tahun ajaran 2014/2015, Prasasti Anggita Restu dan Andi Muhammad Ashari bahwa pelaksanaan KKN adalah ajang bagi mahasiswa untuk memberikan ilmu yang telah diterima kepada masyarakat. Namun pengabdian mahasiswa tidak dapat berjalan dengan baik, jangka waktu pelaksanaan kerap dianggap menjadi penghambat tujuan KKN sendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Rica Monica Kurniasari, mahasiswa angkatan 2011 Fakultas Hukum (FH) UII, bahwa waktu yang ditetapkan oleh DPPM untuk melaksanakan program kerja dalam KKN dirasa kurang mencukupi. Perihal pembatasan jangka waktu pelaksanaan KKN, Soni kembali menjelaskan bahwa KKN merupakan bentuk akademis: proses belajar dan mengajar antara mahasiswa dan masyarakat, bukan pengabdian masyarakat dalam ranah bakti sosial. Dia menegaskan, “Inikan pengabdian Kuliah Kerja Nyata, ingat Kuliah Kerja Nyata. Bukan bakti sosial.” Selain masalah jangka waktu, lokasi penempatan KKN terkadang menjadi pembahasan tersendiri bagi mahasiswa. Yukalypta Ridwan, mahasiswa angkatan 2011 FH UII memaparkan bahwa desa tempatnya melakukan KKN memang masih membutuhkan bimbingan dari
mahasiswa. Dia juga menceritakan Prasasti Anggita. Dia merasa bahwa perbedaan kondisi lokasi KKN sa- wilayahnya tidak sesuai dengan tujuan lah seorang temannya, “Cuma di be- dari KKN itu sendiri karena konberapa penempatan seperti yang di disi kesadaran pendidikan warga di Klaten, itu teman-teman yang KKN lokasinya sudah terbentuk bahkan ada di sana cerita, masyarakatnya sudah le- yang melanjutkan ke bangku kuliah. bih modern.” Dalam pelaksanaan KKN Menanggapi pertanyaan Ke- setiap unit mahasiswa didampingi adilan mengenai penentuan wilaoleh dua orang Dosen Pembimyah KKN tersebut, Soni bing Lapangan (DPL) yang menjelaskan bahwa hal terdiri dari dosen tetap tersebut merupakan kerUII dan seorang yang jasama Pusat KKN— dianggap cakap dalam salah satu bidang damengampu mahasiswa lam DPPM—bersama di masyarakat. Ichwan pemerintah, misalnya yang telah menjadi terkait dengan pemetaan DPL II sejak tahun 2009 daerah-daerah merah atau menjelaskan bahwa DPL I • Ichwan miskin. “Contoh tadi ada beberapa berperan dalam pengambilan kewilayah masyarakatnya potensial te- bijakan tentang kegiatan ataupun protapi karena pengetahuan, sehingga gram kerja yang akan dilaksanakan. pengorganisasiannya jadi tidak ja- Sedangkan DPL II lebih berperan lan. Organisasinya tidak terbentuk sebagai pendamping dalam teknik addengan baik. Karena ya masyarakat ministrasi dan lebih dimungkinkan petani sekolahnya cuma lulusan SD,” dalam membantu mahasiswa secara ungkapnya. Soni juga menambahkan langsung. Dia juga mengharapkan bahwa penentuan lokasi didasarkan bahwa DPL tidak hanya menjadi pada permintaan kerjasama dari wila- pengawas dalam hal kinerja saja, tetapi yah itu sendiri. juga meliputi tingkah laku mahasiswa Keterangan Soni tidak sela- di lapangan. Mengenai pengawasan, ras dengan hasil observasi sebelum Ichwan menjelaskan bahwa dilakumasa KKN yang dilakukan oleh kan secara berjenjang. Dimulai dari
Yuniar/Keadilan • Peta lokasi penempatan KKN UII. (3/7/2015)
Keadilan Edisi XXXX/2016
29
Yuniar/Keadilan • Soni Laksono, Ketua Pelaksana Harian KKN UII. (3/7/2015)
kontrol lapangan oleh DPL II, rekan Namun pernyataan tersebut sesama mahasiswa, dan warga setem- ditolak oleh Yukalypta. Dia merasa pat. jumlah DPL yang hanya dua orang Terkait dengan prosedur untuk sebuah desa dengan puluhan menjadi DPL, Ari Wibowo yang telah mahasiswa dirasa tidak seimbang. dua kali menjadi DPL I memaparkan “Kalau kontrol setiap hari itu otomatis bahwa dirinya tidak menjalani sebu- enggak mungkin. Jadi kalau ada peserta ah tes khusus, tetapi DPPM Bagian KKN yang enggak menjalankan proker Pusat KKN yang menawarkan posi- atau enggak menjalankan esensi dari si tersebut. “Kemarin saya enggak KKN wajar, karena DPL-nya cuma mengembalikan (formulir), tapi ka- dua dalam satu desa,” keluhnya. rena enggak ada yang lain mung- Mengenai fakta adanya kekin atau kurang DPL. Jumlah yang curangan yang banyak dilakukan mendaftarkan banyak sekali oleh mahasiswa selama melak(mahasiswa KKN), akhirsanakan KKN, Soni dan Ari nya saya. Ya enggak apasama-sama tidak memungapa demi kemaslahatan,” kiri. Tetapi di lain sisi, ungkapnya. Ichwan menolak untuk Ketika diklarifimenanggapi pertanyaan kasi kepada pihak DPPM, Keadilan mengenai maniSoni menuturkan bahwa mepulasi yang marak dilakukan mang tidak ada kriteria khusus • Ari Wibowo oleh para perserta KKN. Dia untuk menjadi DPL. DPPM hanya beralasan, “Tugas DPL I dan DPL II menawarkan pada dosen-dosen yang bukan untuk mencari-cari kesalahan masih memiliki waktu di luar jam mahasiwa. Jangan sampai DPL I dan kuliah dan bersedia mendampingi DPL II itu digiring untuk mencari mahasiswa di lapangan. Sedangkan kesalahan (mahasiswa).” untuk perekrutan DPL II diambil dari Ari mengungkapkan kecuorang-orang yang berkemampuan tek- rangan yang sering dilakukan oleh nis. Terkait kurangnya jumlah DPL, mahasiswa pada pengisian buku Soni menyangkal dengan alasan agar administrasi. Hal ini diketahui dari membuat mahasiswa lebih mandiri banyaknya pelaksanaan kegiatan yang dan merasa tidak terlalu diawasi. saling bertabrakan. Ketatnya sis-
30
Keadilan Edisi XXXX/2016
tem administrasi, target waktu, dan program yang harus dilaksanakan membuat beberapa mahasiswa melakukan manipulasi dalam pengisian buku administrasi. Soni menjelaskan untuk mengetahui mahasiswa yang telah melakukan manipulasi atas programnya, yaitu dengan pengecekan kepada masyarakat tempat KKN hingga audit forensik. Audit forensik dilakukan bagi mahasiswa yang masih mengelak telah melakukan tindakan kecurangan, mereka ditantang untuk membuktikan bahwa programnya dilaksanakan tanpa rekayasa. Bagi mahasiswa yang melakukan kecurangan akan dikenai sanksi pengurangan nilai hingga harus mengulang KKN. Pengurangan nilai dilaksanakan secara berjenjang sesuai tingkat kesalahan. Sedangkan pengulangan KKN dikenakan bagi yang melakukan pelanggaran berat seperti menimbulkan keributan di lokasi hingga tindakan asusila. Mengenai pelaksanaan program KKN, Soni menjelaskan bahwa banyak mahasiswa yang salah paham, seharusnya mahasiswa dilarang mengunjungi rumah warga satu per satu atau kerap yang disebut dengan door to door. “Yang namanya program door to door itu tidak benar. Mohon maaf, kadang-kadang kita (DPPM) mengajarkan sesuatu itu yang benar, tapi karena sebagian mahasiswa pragmatis: enggak mau sulit, enggak tahu alasannya kenapa. Karena dia (mahasiswa) selalu memudahkan,” ungkap Soni. Dia juga menjelaskan bahwa cara door to door hanya diperbolehkan jika keadaan desa lokasi tidak memungkinkan untuk dilakukan forum pertemuan.
Reportase bersama: Rini Winarsih dan M. Ariel Fahmi
Suplemen
Hikayat Nelayan dalam
Jerat Pukat Tuan jaksa jawab tuan jaksa Undang-undang mana bikinan siapa Yang mengijinkan pejabat negara Menganiaya rakyat Dan menginjak hak-haknya “Ibunda� – Wiji Thukul
I
Oleh: Sekar Santi Nastiti
dealnya, sektor kemaritiman menjadi tonggak fundamental yang mampu memengaruhi pelbagai sendi pembangunan di negeri ini apabila dikelola secara baik. Merujuk pada catatan Badan Informasi Geospasial tahun 2015, luas laut Indonesia secara keseluruhan mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Dengan luas tersebut, seyogianya potensi sumber daya perikanan di dalamnya mampu memberikan kesejahteraan bagi nelayan. Namun realita yang ada, ketersediaan sumber kekayaan laut yang sedemikian besarnya tak lantas mengentaskan nelayan dari kubangan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik pada 2011 menunjukkan nelayan miskin di Indonesia mencapai 7,87 juta orang. Jumlah tersebut sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Fakta tersebut berbanding terbalik dengan data Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2013 yang menunjukkan potensi pendapatan sektor perikanan laut tanpa illegal fishing mencapai 365 triliun rupiah per tahun. Adapun pengaturan terhadap sektor kemaritiman bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan ke-
mandirian rakyat, berkeadilan, serta berkelanjutan merupakan suatu keniscayaan bagi pemerintah. Maka terhitung sejak tanggal 9 Januari 2015, Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/ Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia secara resmi diundangkan. Pada pokoknya, Permen ini mewajibkan adanya peralihan penggunaan alat tangkap, dari yang dianggap merusak yaitu Pukat Hela dan Pukat Tarik, menjadi alat tangkap ramah lingkungan. Trawls biasa dikenal dengan istilah pukat hela atau pukat harimau, sudah lama dilarang penggunaannya karena termasuk alat penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Sementara pukat tarik (seine nets) terdiri dari pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Cantrang merupakan salah satu pukat tarik berkapal yang paling banyak digunakan nelayan, selain dogol, scottish seines, payang, dan lampara dasar. Menurut beberapa penelitian,
cantrang diindikasikan sebagai alat tangkap ikan yang kurang ramah lingkungan karena hampir mirip dengan pukat harimau. Hasil kajian World Wildlife Fund Indonesia menyebutkan bahwa hanya 18 sampai 40 persen hasil tangkapan cantrang dan trawls yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, sisanya 60 hingga 82 persen tidak dapat dimanfaatkan (discard). Sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati. Di sinilah efek negatif yang mendasari dibentuknya Permen KP 2/2015. Terbitnya larangan itu seolah mengancam kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Sebab secara ekonomi pukat hela dan tarik merupakan alat tangkap yang paling murah dan efektif, sehingga paling banyak digunakan. Anomali Kebijakan Situs www.kkp.go.id yang diunggah pada 1 Februari 2015 lalu mengakui bahwa masih banyak masyarakat terutama nelayan tradisional yang merasa kebingungan, karena tidak memahami isi Permen tersebut secara mendalam. Beberapa pakar menilai, belum pahamnya para
Keadilan Edisi XXXX/2016
31
nelayan tersebut sebagai akibat dari Penelitian dan Pengembangan Kelautidak dicantumkannya jenis alat tan dan Perikanan KKP, memastikan tangkap yang ramah lingkungan da- stok ikan tahun 2013 mencapai 7,305 lam peraturan itu, serta kurangnya juta ton yang tersebar di 11 wilayah sosialisasi Kementerian Kelautan dan pengelolaan perikanan. Sehingga Perikanan (KKP). Hingga peraturan KKP tak memiliki data mutakhir pada tersebut diberlakukan, banyak nelayan tahun 2015 sebagai landasan Permen mengalami kebingungan, yang beraki- KP 2/2015 disahkan. bat terjadinya unjuk rasa di berbagai Patut kiranya menjadi pertadaerah. Sementara Menteri Kelautan nyaan, apa dasar pijakan pertimbangan dan Perikanan Republik Indonesia, KKP yang menyatakan bahwa jumlah Susi Pudjiastuti, berdalih bahwa di- stok ikan mengalami penurunan. Serinya telah melakukan sosialisasi dan mentara terlihat bahwa hasil kajian meminta pertimbangan kepada para KKP sebagaimana dijabarkan di atas, pihak terkait, terutama pemerintah daerah. Sejatinya, pembentukan peraturan menteri ini didasarkan pada tujuan mulia, yakni konservasi atas sumber daya ikan yang secara kuantitas dinilai memprihatinkan. Sebagaimana termaktub dalam konsiderannya, “bahwa penggunaan alat Ilustrasi oleh: Sekar/Keadilan penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan jumlah stok ikan dari tahun 1997 Perikanan Negara Republik Indonesia hingga 2013 justru kian meningkat. telah mengakibatkan menurunnya Ihwal yang kemudian perlu sumber daya ikan dan mengancam ke- mendapat sorotan, berdasarkan data lestarian lingkungan sumber daya ikan, KKP jumlah alat tangkap yang digusehingga perlu dilakukan pelarangan nakan di wilayah Perairan Indonesia penggunaan alat penangkapan ikan sekitar 1,177 juta unit. Dari data itu, Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik sebanyak 1,66 persen atau sebanyak (seine nets).� 19.544 unit merupakan alat tangkap Namun alasan tersebut ber- Pukat Tarik. tolak belakang dengan data yang ada. Provinsi Jawa Tengah yang KKP merilis data hasil kajian stok ikan merupakan daerah pengguna alat tahun: 1997, 1999, 2001, dan 2011. tangkap cantrang terbanyak, pada taPada tahun 1997 kajian meyimpulkan hun 2015 tercatat sebanyak 10.758 stok ikan nasional mencapai 6,190 ju- unit kapal cantrang. Himpunan Nelata ton, pada tahun 1999 berjumlah 6,4 yan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa juta ton, 6,409 juta ton pada tahun Tengah menyebutkan Permen KP 2001, serta pada tahun 2011 sebesar 2/2015 telah menyebabkan 120.966 6,502 juta ton. nelayan di Jawa Tengah menganggur. Kendati bukan merupakan Sementara HSNI Medan menyatakan data resmi—karena belum disah- bahwa 80 persen nelayan di daerahnya kan melalui peraturan menteri, Balai terancam kehilangan pekerjaan.
32
Keadilan Edisi XXXX/2016
Maraknya nelayan yang menganggur menimbulkan efek domino setelahnya. Industri pengolah dan pemasar hasil tangkap ikan akan menghadapi kesulitan pasokan bahan baku. Pun pelaku usaha pembuat alat tangkap terkena dampak pemberlakuan peraturan tersebut. Padahal Permen KP 2/2015 tak hanya berdampak pada perubahan alat tangkap, namun juga bentuk, ukuran, dan mesin kapal juga harus berubah. Sudah jatuh tertimpa tangga, ribuan nelayan pun harus gulung tikar akibat tak memiliki modal untuk mengganti alat tangkapnya. Tidak berlebihan kiranya, apabila kebijakan tersebut dituding prematur dan tidak antisipatif terhadap kemungkinan yang ada. Perlu kiranya diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) KKP tahun 2015 secara keseluruhan mencapai 10,6 triliun rupiah. Sementara APBN bagi KKP pada tahun 2016 yang didasarkan pada UndangUndang RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN Tahun Anggaran 2016, meningkat menjadi 13,8 triliun rupiah. Alih-alih mengalokasikan anggaran tersebut untuk mengukuhkan tiang perekonomian nelayan, pada tahun 2015 lalu KKP telah menegaskan bahwa tidak memfasilitasi pengadaan pengganti alat tangkap ikan menggunakan APBN-P 2015. Namun semilir angin segar berhembus pada awal tahun 2016. Pasca setahun melalui berbagai gelombang aksi penolakan Permen KP 2/2015, akhirnya KKP berencana memberikan hibah sebanyak 173 unit kapal berukuran di bawah 10 Gross Tonnage (GT) serta 780 alat tangkap ikan kepada nelayan di Jawa Tengah. Bantuan itu sebagai
konsekuensi logis pemberlakuan Permen KP 2/2015. Sayangnya, hibah kapal yang didaku ramah lingkungan tersebut masih menyisakan polemik. Jumlah bantuan tersebut belum sepadan dibanding keberadaan kapal cantrang yang dimiliki nelayan di Jawa Tengah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, jumlah kapal cantrang di Jawa Tengah pada tahun 2015 tercatat sebanyak 10.758 unit. Sejumlah 1.213 unit berukuran 10 sampai 30 GT, sementara sisanya berukuran di bawah 10 GT. Tentu hibah 173 unit kapal masih jauh jumlahnya ketimbang kapal di bawah 10 GT di Jawa Tengah yang mencapai 9.545 unit. Pun hingga tulisan ini dibuat, baru Jawa Tengah yang secara tegas dinyatakan oleh KKP akan menerima bantuan hibah. Padahal, tidak hanya Provinsi Jawa Tengah yang terkena imbas Permen KP 2/2015. Nelayan Indonesia vs Asing dalam Percaturan Kelautan Diketahui bahwa mayoritas nelayan Indonesia tidak memiliki modal serta akses teknologi yang mampu mendukung kemampuan bekerjanya secara optimal. Kondisi tersebut semakin menyulitkan ketika para nelayan
tradisional ini harus bersaing dengan kapal-kapal besar dengan peralatan dan teknologi modern. Realita ini menjadi lebih buruk bagi para nelayan di tapal batas. Dengan beberapa pembatasan, beberapa negara tetangga masih menerapkan kebijakan untuk membolehkan operasi dari beberapa alat tangkap yang dilarang di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya merilis tinjauan akademis terhadap kebijakan enam negara tetangga terkait dengan izin operasi alat tangkap trawl serta seine nets di masing-masing negara tersebut. Pukat Hela yang pada hakikatnya dilarang di wilayah perairan Negara Republik Indonesia (NRI), masih diizinkan beroperasi di perairan negara Malaysia, Thailand, Filipina, Australia, Vietnam, dan Tiongkok. Malaysia hanya melarang pengoperasian pukat jenis hela per zona tangkapan—8 hingga 15 mil laut dari garis pantai— mulai awal tahun 2016. Sementara Tiongkok, memberlakukan kebijakan moratorium. Di mana selama tiga bulan saban tahun dilakukan larangan pengoperasian pukat hela, agar ikan dapat m e -
mulihkan diri (recovery). Selain itu, ukuran mata jaring pukat hela di wilayah perairan Tiongkok harus lebih besar dari juvenil—anak ikan yang memiliki ukuran lebih kecil dari induknya—target tangkapan. Sementara bagi penggunaan alat tangkap pukat tarik, Malaysia, Filipina, Australia, serta Tiongkok tidak melarang izin pengoperasiannya. Hanya Thailand dan Vietnam yang melarang izin operasi alat tangkap pukat tarik. Oleh karenanya, penerapan Permen KP 2/2015 jelas akan berdampak pada perbaikan habitat dan stok sumber daya ikan di Indonesia. Akan tetapi jika hal ini tidak diikuti oleh negara-negara di sekitarnya, maka pelarangan pukat tersebut tidak akan memberikan dampak global. Tak pelak, pemerintah perlu mengambil langkah untuk memberikan kesempatan bagi nelayan tradisional di daerah perbatasan untuk memperoleh affirmative action atau perlakuan khusus. Hal ini dilakukan dengan memperbolehkan nelayan tersebut menggunakan alat tangkap pukat hela atau tarik, agar mampu bersaing dengan nelayan asing di negara seberang. Hal ini senada dengan pendapat Suadi selaku Kepala Laboratorium Sosial Ekonomi Fakultas Perikanan Universitas Gadjah Mada. Dia mengungkapkan,
Ilustrasi oleh : Muhammad Ariel Fahmi
Keadilan Edisi XXXX/2016
33
bagaimana nelayan mampu berkompetisi dengan hanya bermodalkan bambu runcing. Sementara nelayan negara seberang sudah menggunakan senapan angin. Walhasil, diperlukan pengecualian wilayah pemberlakuan pelarangan alat tangkap bagi area yang masih dikembangkan perikanannya. Hanya saja, alat tangkap dimodifikasi agar lebih ramah lingkungan. Modifikasi dapat dilakukan pada bentuk jaring agar tidak menjerat ikan yang akan dibudi daya. Menilik pendapat Bagir Manan dalam Politik Hukum Indonesia, bahwa keadilan tidak berarti semuanya sama dan semua yang memperoleh kesempatan yang sama tidak berarti adil. Perlakuan khusus atau diskriminasi positif merupakan wujud dari prinsip keadilan yang sejatinya diberikan pada seluruh nelayan tradisional terutama di wilayah tapal batas. Demikian pula John Rawls dalam gagasannya “Two Concept of Rules” menyatakan bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian rupa sehingga terjadi keadaan paling menguntungkan bagi yang tertinggal, dalam mekanisme kebijakan hukum yang mampu memberikan kesempatan secara fair. Pada akhirnya, diskriminasi positif berupa diperbolehkannya nelayan daerah perbatasan untuk menggunakan pukat, justru merupakan kristalisasi nilai-nilai keadilan. Bukan sebaliknya. Selain itu, merupakan suatu kewajiban yang mendesak bagi pemerintah guna mempersiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan, melalui kelembagaan koperasi nelayan atau bekerja sama dengan institusi perbankan. Fasilitasi pengalihan alat tangkap tidak hanya bagi daerah tertentu saja, namun seluruh wilayah perairan NRI. Langkah yang kemudian dapat dipilih adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota, kabupaten, atau pro-
34
Keadilan Edisi XXXX/2016
vinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Hal ini tak lain merupakan manifestasi dari Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang dengan tegas menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kalimat tersebut tidak hanya berupa teks utopis belaka yang dibuat oleh para founding father terdahulu. Tetapi, mengisyaratkan suatu amanat bagi para pemangku kebijakan untuk melindungi dan memenuhi hak setiap warga negaranya yang berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dapat dipahami bahwa kebijakan peraturan menteri ini dilakukan dalam rangka melestarikan sumber daya perikanan dan keberlanjutan masa depan kemaritiman Indonesia. Sebagaimana pidato Joko Widodo saat pelantikan menjadi Presiden RI periode 2014-2019 menegaskan bahwa saatnya bangsa Indonesia kembali kepada jati diri utama, yakni sebagai bangsa bahari yang menjadikan samudera, laut, selat dan teluk sebagai halaman utama rumah Indonesia, serta tidak lagi memunggungi laut. Sehingga pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla mencanangkan Nawa Cita sebagai visi besar pemerintahannya. Visi ini kemudian diterjemahkan secara khusus dalam sembilan agenda besar pembangunan ekonomi maritim. Salah satunya adalah mengurangi intensitas penangkapan di kawasan overfishing, dan meningkatan intensitas penangkapan di kawasan underfishing sesuai batas kelestarian. Namun semestinya Permen KP 2/2015 yang diusung dengan semangat konservasi tak lantas mengesampingkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Keduanya harus saling bersinergi, tanpa menegasikan antara satu dengan yang lain. Menjadi hal yang sia-sia kiranya, apabila negara mampu meningkatkan intensitas ikan
di lautan setara dengan peningkatan kesengsaraan rakyatnya. Mengutip suatu kaidah fikih yang berbunyi, “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih”. Artinya mengubur kejelekan lebih utama dibanding menarik kemaslahatan. Lebih baik mengubur suatu aturan, ketimbang pemberlakuannya mengabaikan kesejahteraan kaum minoritas. Oleh karenanya, dapat dilakukan beberapa ikhtiar untuk memfasilitasi para nelayan tradisional yang terkena dampak dari kebijakan ini. Salah satunya melalui penggunaan DAK untuk mengakomodasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil. Tentunya hal ini harus didukung koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan daerah. Serta adanya pemberlakuan diskriminasi positif bagi nelayan tradisional di tapal batas, supaya mampu bersaing dengan nelayan wilayah perbatasan di negara lain. Upaya ini semata-mata bertujuan memberikan kesejahteraan bagi para nelayan, terkhusus nelayan tradisional. Lantaran nelayan tak ubahnya sebagai tulang punggung bagi pembangunan sektor maritim nasional yang wajib memperoleh perlindungan.
Jejak
Cita-citaku Tak Berhenti di Panti Werdha Ina/Keadilan • Panti Sosial Tresna Werdha ‘Abiyoso’
Puncak kebahagiaan seseorang adalah pada masa tuanya. Ya, di masa itulah orang dapat menikmati kehidupan yang sesungguhnya, terlepas dari tanggung jawab terhadap anak. Narator: Ina Rachma Noermawati Foto: Ina Rachma N. Dian Rachmaningsih
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) adalah salah satu panti sosial yang diperuntukkan untuk para lanjut usia (lansia). Sekitar tahun 1978 PSTW ini dibangun, tujuan didirikan panti ini hanya untuk lansia yang benar-benar tidak mampu secara sosial maupun ekonomi. Ratusan lansia tinggal di sini, tentu mereka berasal dari latar belakang yang berbeda dan mempunyai banyak cerita yang berbeda pula. Berkumpul dalam satu tempat yang sama, menjadi teman baru, dan menjadi keluarga pada akhirnya. Suka duka telah dijalani, jauh dari sanak saudara bahkan anak sekalipun. Namun kehidupannya harus tetap berjalan. Tak pernah menyangka orang-orang hebat bersemayam di dalamnya, orang-orang yang mempunyai sumbangsih untuk negara ini tinggal di sini. Berjalan 300 meter dari gerbang PSTW, memasuki ruangan Wisma Jolotundho terlihat beberapa wanita lansia yang sedang menonton televisi. Pipi mereka merekah dan matanya mengembang bahagia, seraya menyapa. Lalu salah satu dari mereka menuntun ke sebuah kamar untuk bersua dengan pendalang wanita. Ya, namanya Mbah Tentrem.
Keadilan Edisi XXXX/2016
35
Mbah Tentrem
Dian/Keadilan
Sosok
Ina/Keadilan
Pengrawit
Ina/Keadilan
Penemu titen-nya dalang
Usianya tidak lagi muda, tapi semangatnya masih membara. Garis lekukan di wajahnya tak menjadi penghalang bagi Mbah Tentrem untuk menceritakan masa mudanya. Usianya enam tahun lebih tua dari Indonesia. Seorang buruh kesenian yang bernaung di bawah Persatuan Pendalangan Indonesia (PEPADI) ini lahir dan tumbuh di keluarga pendalang. Dialah putri dari dalang Gondhosudiro. Dalang yang cukup kondang di Yogyakarta pada masanya. Sejak kecil Mbah Tentrem sudah mendalang bersama kakak dan ayahnya. Dari situlah bakat ndalang Mbah Tentrem muncul. Dengan penemu titen, Mbah Tentrem berhasil menjadi satu-satunya dalang perempuan di Yogyakarta pada era 90-an bahkan sampai sekarang. “Dalang itu naluri,” kata Mbah Tentrem. Tawanya lepas saat dia mulai bernostalgia dengan masa lalu. Diundang ke sana-sini demi mburuh seni. Tidak hanya mendalang, bahkan menabuh gamelan, mengajar tari, dan kesenian lain dilakoni. Dimulai dari Perincian Tabuan—lomba kesenian, karawitan, hingga wayangan pernah menghiasi prestasinya. Hidup meranda, anak yang sudah berkelana, dan keluarga yang jauh, membuatnya hidup sebatang kara. Memburuh seni menjadi tumpuan. Tinggal di PSTW bukan menjadi penghalang bagi Mbah Tentrem untuk tetap menjadi buruh kesenian. Berbekal izin dari panti, Mbah Tentrem akan ndalang jika ada panggilan. Dalang tidak kenal pensiun, “Selagi tenaganya masih kuat, saya akan tetap mengikuti kegiatan apapun,” ungkapnya. Kegiatan di panti juga diikuti, kecintaan terhadap kesenian membuatnya selalu menjadi penabuh gamelan saat ada acara di panti. Mbah Tentrem senantiasa nguri-nguri kabudayan Jawa, sekalipun hanya di panti wreda. Tak jauh dari Wisma Jolotundho, terdapat Wisma Giri Sarangan. Di situlah dua pria lansia hebat tinggal. Sapalah Mbah Imam, salah satu dari dua pria itu. Dia pernah menjadi lakon dunia perfilman Indonesia.
36
Keadilan Edisi XXXX/2016
Mbah Imam
Dian/Keadilan Ina/Keadilan
Biografi
Mendedahkan kenangan
Ina/Keadilan
Potret Imam Putra Piliang, sutradara lulusan Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) telah menjejal puluhan film. Mulai dari produser hingga menjadi sutradara. Keliling negara pun sudah dilakoninya. Dia juga termasuk dalam 100 Sutradara Indonesia Terbaik Sepanjang Masa versi Koran Anak Indonesia. Hasil karyanya telah diakui di kancah Internasional, juga rentetan prestasi yang diterimanya, terbukti dari diterbitkannya sertifikat sutradara Mbah Imam dari Hongkong. Memulai karir dalam dunia perfilman pada tahun 1963. Dari film aksi hingga acara yang menyayat hati. Film yang disutradarainya antara lain; Perjanjian Setan (1983), Dendam Dua Jagoan (1986), Pertarungan Untuk Hidup (1986), Akibat Guna-Guna Istri Muda (1988), Cewek-Cewek Pelaut (1988), Pertarungan di Goa Siluman (1989), Semburan Naga Seribu (1989), Susuk (1989), Tantangan Remaja (1990), Balada Tiga Jagoan (1990), Tapak-Tapak Berdarah (1990), Pertarungan Dahsyat (1991). Selain itu Mbah Imam juga menjadi produser sinetron kondang Saras008 (1998) dan ajang pencarian bakat Academy Fantasi Indosiar (AFI). Tak hanya itu, selama 15 tahun dia menggarap acara Peduli Kasih Indosiar. Karirnya tak hanya berhenti menjadi sutradara dan produser, menjadi dosen pun dilakoninya. Mbah Imam pernah mengajar di Akademi Komunikasi Radya Binatama dan Asdrafi Yogyakarta. Namun akhirnya terserang penyakit katarak sehingga memaksanya melakukan pengobatan di Jambi. Sakit tak membuatnya berhenti berkarya, bakat berfilm Mbah Imam disalurkan dengan menjadi dosen salah satu perguruan tinggi di sana. Tak lama kemudian Mbah Imam kembali ke Yogyakarta dan berniat untuk melanjutkan karirnya menjadi dosen. Tetapi niatnya terurung karena penyakit yang dideritanya belum sembuh total. Penyakit katarak menghantarkan Mbah Imam untuk tinggal dan mendapat pengobatan di panti ini, tak ada sanak ataupun kerabat. Ketika ditemui, dengan bangga Mbah Imam menceritakan masa ketika menjadi sutradara ataupun produser. Hidup di PSTW tak menghabiskan semangat berfilmnya. Terbukti dengan Mbah Imam akan melanjutkan PR pembuatan film yang segera dirampungkannya. Menurutnya, usia bukan menjadi penghalang untuk seseorang meraih impiannya. “Saya ini semakin tua semakin ingin berkarya,” ungkap Mbah Imam. Tak hanya itu, dia mempunyai keinginan untuk menggerakkan film anak muda, agar perfilman Indonesia dapat berkembang. “Sekarang itu anak-anak muda itu kreatif, tapi enggak ada pengarahan sehingga bikin film jaman sekarang ini asal jadi,” tukasnya.
Keadilan Edisi XXXX/2016
37
Mbah Sanadji
Ina/Keadilan Ina/Keadilan
Prestasiku
Figur Berlari untuk meneruskan mimpi, bukan hanya hobi. Inilah Mbah Sanadji, tak ada yang menyangka lansia 71 tahun ini adalah seorang atlet. Pelari yang dulunya menjuarai beberapa kejuaraan di Pasuruan dan Sleman ini masih sanggup berlari sampai sekarang. Jarak yang ditempuhnya tidaklah dekat, bahkan hingga berpuluh kilometer pernah dilaluinya. Lari pagi menjadi sarapan. Kaki yang mulai tua itu masih kuat beradu dengan aspal, badan kurusnya pun masih sekuat baja. Tinggal di PSTW bukan berarti menghentikan aktivitasnya. Lari menjadi suatu keharusan. Jarak Pakem sampai Kaliurang hanya ditempuh dengan kaki kurusnya. Setiap pagi, lepas salat subuh. Energinya hanya pada air putih dan gula jawa. Keinginannya sederhana, ingin membuat persatuan pelari anak muda dan menjadi pelatih lari bagi mereka. Mbah Sanadji sangat ingin berbagi ilmu dengan anak muda agar mereka tahu teknik berlari yang benar.
Ina/Keadilan
Sang Atlet Ratusan orang dengan watak yang berbeda-beda tinggal bersama dalam sebuah bangunan berukuran 2.887 meter ini. Tersabur dalam satu keadaan yang asing namun lama kelamaan hal itu akan menyingsing. Bukan anak, bukan juga saudara, namun mereka tetap bersama. Menjalani kegiatan di panti dengan suka cita. Membangun keluarga yang ditemui saat sudah renta. Keluarga adalah yang utama. Ketidakmampuan hidup secara sosial dan ekonomi mengantarkan mereka untuk tinggal di panti ini. Panti yang menjadi tempat menghabiskan masa tua di luar keberadaan sanak saudara.
38
Keadilan Edisi XXXX/2016
Tokoh Putri/Keadilan • Chaerudin berdiri di depan monumen Sangga Buana Karang Tengah yang terletak di Tamansari I, RT 07, RW 03 Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, DKI Jakarta (24/6/2015). Chaerudin adalah pendiri Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana.
Sang Jawara dari Sungai Pesanggrahan
“Gue tetep enggak lapuk karena hujan, enggak kering karena panas. Dan ibarat setitik embun bernilai di padang pasir, jadi kayak oase. Itulah seorang ‘pangeran’ sebetulnya, yang asli tu begitu, sang jawara,” tegas lelaki itu dengan logat Betawi yang kental.
U
dara pengap memenuhi Trans Jakarta siang itu. Manusia berjejal satu sama lain. Seperti Jakarta pada biasanya, keramaian serta kemacetan disaksikan sehari-hari. Tak peduli dari berbagai penjuru, Kota Metropolitan menjadi sebuah titik kesibukan yang tiada henti. Polusi tengah merebak hingga kian akrab mengiringi aktivitas. Trans Jakarta terus melaju sampai pemberhentian terakhir, Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sekitar lima kilometer dari terminal, sampailah pada sebuah tempat yang berbeda dengan sebelumnya. Ditumbuhi berbagai macam pohon membuatnya tampak lebih rindang.
Oleh: Putri Ayu Prayogo
Siapa sangka, Jakarta memiliki sisi lain yang menonjolkan kearifan lokal. Hutan Kota Pesanggrahan, membentang hijau di sudut Jalan Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tak sulit menemukan Hutan Kota Pesanggrahan. Sayangnya, masyarakat seputar Jakarta Selatan masih ada yang belum mengerti keberadaannya. Plang bertuliskan Jalan Tamansari I di sebuah gang, menjadi penunjuk utama memasuki area hutan, kemudian disusul gapura bertuliskan “Hutan Kota Pesanggrahan Sangga Buana Karang Tengah Jakarta Selatan”. “Babe! Babe! Babe!” sahutmenyahut suara warga menyapa
sosok laki-laki yang tampak disegani. Lelaki itu berparas tinggi, kulitnya kuning lang-sat. Pakaian khas Betawi dilengkapi peci dan golok melekat pada tubuhnya. Babe Idin atau sekadar Babe saja, begitu orang-orang memanggilnya. Nama aslinya, Chaerudin. Dia dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai sosok yang menjaga area hutan, pelopor konservasi Sungai Pesanggrahan, serta membangun pengolahan sampah. Usianya sekitar 60 tahun. Hingga kini, Babe tinggal di RT 07 RW 03, Jalan Karang Tengah, Lebak Bulus yang tak lain benar-benar di dalam area hutan. Lelaki yang selalu memantau
Keadilan Edisi XXXX/2016
39
Putri/Keadilan
• Chaerudin (25/6/2015)
keadaan hutan dengan beralaskan sandal gunung ini memiliki tempat tinggal yang berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya. Konstruksinya terdiri dari jajaran bambu, batangnya hampir sebesar batang pohon kelapa. Bambu petung, begitu menyebutnya. Dia tak menginginkan rumah gedongan dengan segala belenggu kemewahan. Cukup rumah sederhana yang nyaman untuk beristirahat bagi anak dan istrinya. Berawal dari Kesal Area Hutan Kota Pesanggrahan—dulu hingga kini—berdampingan dengan Sungai Pesanggrahan. Keduanya merupakan suatu sinergi yang saling melengkapi. Bagaimana tidak, berbagai makhluk hidup membentuk ekosistem sehingga tercipta keseimbangan alam. Berawal dari rasa kesal terhadap lingkungan tempat bermain masa kecilnya, Sungai Pesanggrahan yang semula bening dan banyak digunakan untuk mencuci, kini menjadi tempat pembuangan sampah. Keadaan inilah yang membuat Babe melakukan aksi, yaitu membersihkan sampah di sungai. Babe juga menanam bambu di bantaran sungai agar sampah-sampah yang menggenang, tersangkut batang bambu. Dia lebih mementingkan aksi dibanding mengumbar banyak omongan yang tidak dibarengi dengan tindakan nyata. Be-
40
Keadilan Edisi XXXX/2016
gitulah prinsip yang dipegang lelaki Betawi asli ini. Babe membangun beberapa objek di area hutan yang digunakan untuk kepentingan umum. Salah satunya padepokan-padepokan yang dimanfaatkan untuk perpustakaan dan lab teater. Semua padepokan terbuat dari kayu menyerupai bangunan adat Betawi. Begitu pun musala sederhana yang telah menjadi sarana tempat ibadah bagi warga sekitar. Anak-anak kecil di Karang Tengah pun tak ketinggalan untuk menikmati taman bermain. “Di sini kan dulu untuk anak-anak bermain enggak ada. Adanya ini (taman bermain) anak-anak jadi bebas main di sini. Main futsal, main layangan, buat hajatan juga bisa kalau rumahnya sempit, acara reuni, acara ulang tahun di sini, enggak ditarik biaya,” ujar Haji Makmun, salah seorang warga Karang Tengah. Hal lain yang digeluti Babe ialah mengolah sampah. Sampah diolah menjadi sesuatu yang bernilai, seperti pupuk dan batako. Pengelolaan sampah itu mendatangkan manfaat bagi lingkungan. Tak luput juga warga sekitar terbantu untuk mengais rezeki
dengan membantu mengolah sampah sedemikian rupa. Mendirikan KTLH Sangga Buana Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana berdiri pada tanggal 2 Februari 1998. Saat ini diketuai oleh anak laki-laki tertua dari Babe, Ario Salaka. Hingga kini, KTLH Sangga Buana memiliki anggota aktif sebanyak 50 orang. Namun di luar itu semua, kelompok tani ini memiliki ribuan anggota. Semisal di wilayah Semarang dikenal dengan Forum Wedangan. Nama Sangga Buana dilambangkan berupa bola dunia dengan 17 buah penyangga di bawahnya. Lambang itu kini berdiri tegak di Taman Hutan Kota Pesanggrahan. Secara filosofis, angka 17 menandakan tanggal Negara Indonesia merdeka, selain itu, angka ini juga mewakili jumlah rakaat salat wajib umat muslim yang juga berjumlah 17. Sangga Buana tercetus tak lain karena usaha keras Babe selama lebih dari 40 tahun. “Sangga tu tiang, Buana tu kehidupan, alam semesta,” jelas Babe ketika ditanya soal makna Sangga Buana. Dia juga bercerita ten-
Putri/Keadilan
• Peta Hutan Kota Sangga Buana-Kali Pesanggrahan (26/6/2015)
Putri/Keadilan
• Rumah Chaerudin (25/6/2015)
tang petualangannya yang dimulai pada tahun 1973. Perjalanannya diawali dari Jawa Barat: Cipatuja, Pangandaran, Tasikmalaya. Kemudian dilanjutkan ke Jawa Timur, “Dulu jadi santri datang kagak diundang, pulang kagak disuruh. Di Tebu Ireng, tahun 1973. Nah, pulang jadi pemain bola,” lanjutnya. Siapa sangka, lakon utama terbentuknya KTLH Sangga Buana ini juga pernah menjadi kiper PSSI. Berbagai teknik sepak bola masih melekat betul dalam ingatannya. Tak heran, lelaki berkumis itu masih giat turun ke lapangan hijau melatih klub sepak bola di wilayah Karang Tengah. Program kerja KTLH Sangga Buana bertonggak pada aspek atau bidang-bidang pertanian, edukasi atau pendidikan, dan arkeologi. Tujuannya adalah membina para anggotanya melalui Jaringan Rumah Usaha. Sehingga ketika mereka pulang ke kampung halaman, diharapkan timbul kemandirian dan dapat menciptakan lapangan kerja. Aktivitas menanam pohon pun terus Babe lakukan. Bukan hanya menanam pohon agar lingkungan tetap hijau, dia juga memiliki konsepkonsep tersendiri untuk mengaturnya. Bisa dilihat adanya koridor burung, resapan, dan biopori untuk sterilisasi air. Semua itu dilakoni Babe agar tercipta keseimbangan antara alam dengan makhluk hidup lainnya.
Menurut salah satu anggota KTLH Sangga Buana, Rudy Adnan, kegiatan KTLH Sangga Buana berupa konservasi Sungai Pesanggrahan bukan suatu hal yang ‘wah’. Hal itu memang sudah menjadi bagian dari sosok Babe. Umar bin Khattab, Panutan Sejati Sebagai umat muslim, Babe menyadari tokoh Umar bin Khattab telah menjadi inspirasi sepanjang hidupnya. Sifat tawaduk, sahaja, dan pengayom Umar bin Khattab diterapkannya dalam setiap tindak tanduknya. “Seorang Babe figur suatu pengayom, dia itu pengayom. Dan dia ini yang saya rasakan motivator juga. Kalau saya pribadi gitu, jadi seakan-akan saya lihat dia tu saya bisa bercermin,” tambah Rudy Adnan. Cerminan dari semua itu, Babe memberikan jasa yang besar dengan didasari rasa ikhlas. Babe Idin sudah banyak mendapatkan penghargaan atas jasa yang terbilang cukup besar tanpa adanya komando maupun perintah dari siapa pun. Istilahnya, Babe sering menyebut bahwa dirinya melakukan ini semua tanpa Surat Keputusan (SK) dari pejabat, melainkan Babe menganggap adanya ‘SK yang berasal dari langit’. Kalpataru dan sederetan tanda penghargaan tidak membatasi dirinya untuk terus melakukan
pembenahan di area Hutan Kota Pesanggrahan. Bahkan, Babe kerap diminta untuk menjadi pembicara di lingkup perguruan tinggi. Sebagai kepala rumah tangga, tentu Babe memiliki harapan yang besar terhadap anak-anaknya. Anakanaknya harus ‘lebih’ dari Babe. Begitulah Babe mendidik anak-anaknya. Terlepas dari itu semua, Babe tetap mengenalkan kepada keluarganya agar terbiasa hidup dekat dengan alam. Tak ada kata tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Terlebih keluarga Babe mampu membuka pandangan warga sekitar untuk terus menjaga kearifan lingkungannya. “Alam ini Bukan Warisan Nenek Moyang Tapi Titipan Anak Cucu Kita”, begitulah bunyi plang yang tertanam pada salah satu sudut area hutan. Plang tersebut bisa jadi sebagai penghimbau agar alam jangan dirusak, melainkan harus dijaga agar nantinya dapat dinikmati anak dan cucu kita. Udara bersih, ruang terbuka hijau, dan sungai yang jernih menjadi sebagian kecil aset kehidupan yang berharga. Oleh karena itu, Babe bertekad untuk terus memberikan bimbingan kepada anak-anak muda yang tergabung dalam KTLH Sangga Buana serta memberikan contoh kepada masyarakat melalui aksi. Reportase bersama: Aryo Budi Prasetyo
Keadilan Edisi XXXX/2016
41
Denyut Bawah
Nelayan Kluwut:
Terjebak Kemiskinan di Tanah Leluhurnya Sistem kerja, pola pikir dan pola hidup nelayan Kluwut selalu terbentur dengan peraturan yang sudah dibuat. Kebiasaan yang sudah membudaya menjadi alasan utama mereka. Fajri/Keadilan
T
Oleh: Meila Nurul Fajriah
erletak di sebelah barat Kantor Desa Kluwut, gerbang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terpampang lebar. Di seberangnya berjejer tokotoko penjual perlengkapan nelayan, serta terdapat juga penjual Compact Disk Digital Video (VCD) bergenre khas Banyumasan. Waktu itu masih pagi, matahari sedang merangkak ke peraduan menemani riuh pikuk suasana pelabuhan. Dengan pakaian kotor dan basah dari tubuh yang berpeluh, beberapa nelayan memindahkan emberember berisi berbagai macam hasil tangkapan laut ke daratan. Ditimbang, lalu ditata rapi menurut jenisnya; ikan, kepiting, cumi-cumi, dan gurita masih terlihat segar dengan warna cerah. Celotehan para ibu berbelanja menjadi satu dengan suara juragan yang sibuk menimbang dan menghitung hasil pendapatan. Beberapa kuli yang sedang mengangkat ember-ember ikan ke becak motor ataupun mobil pengangkut beradu dengan suara bising knalpot kendaraan. Masih menjadi
42
Keadilan Edisi XXXX/2016
• Deretan perahu nelayan di tepi sungai desa Kluwut.
satu dengan mereka, beberapa orang jalanan dengan pakaian lusuh terlihat berjalan berkeliling tanpa tujuan, serta seorang nenek sedang mengais ikan kecil diantara sampah-sampah yang berceceran. TPI yang terletak di Desa Kluwut, Kecamatan Bulukamba, Kabupaten Brebes merupakan satusatunya tempat pendaratan ikan yang terletak di desa tersebut. Menurut data desa tahun 2014, dari 23.966 orang warganya, 6.362 orang bermata pencaharian pokok sebagai nelayan, 1.851 orang sebagai pemilik usaha perikanan, dan 3.511 orang sebagai buruh usaha perikanan. Selebihnya didominasi oleh petani, buruh tani, pembantu rumah tangga, dan buruh migran. Bak peribahasa jauh panggang dari apinya, Desa Kluwut sebagai desa nelayan terbesar dan tertua di Kabupaten Brebes, tidak serta merta menjadi desa dengan penghasilan tertinggi. “Kluwut itu adalah salah satu desa di Kabupaten Brebes, bahkan di Provinsi Jawa
Tengah, yang konteksnya adalah desa termiskin,” ujar Hery Subekti, selaku Kepala Desa Pulogading. Desa yang masih berada dalam satu wilayah Kecamatan Bulakamba. Akses yang mudah dijangkau oleh masyarakat, serta berlokasi tepat di utara jalan utama Jalur Pantai Utara (Pantura) tidak serta-merta membantu dalam permasalahan perekonomian masyarakat dan pendapatan daerah. Menurut Karsito, salah satu bos besar nelayan di desa ini, faktor utama yang menjadikan kesulitan ekonomi di desanya terus berlanjut adalah pendidikan rendah dari masyarakatnya sendiri. “...bocahe ora lanjut sekolah. Ya neng Desa Kluwut ini ya sekolahe ora lanjut SMP, SD wae njut bubar. Laka (jarang) sing jadi pegawai,“ ujar Warkinah, istri Karsito yang menimpali di sela-sela wawancara. Hal ini diamini pula oleh Kepala Desa Kluwut, Isa Ansori dan Masfu’i selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes. Berbeda dengan desa sebelah—Pulogading, yang sebagian pe-
muda di usia produktifnya mengikuti sekolah pelayaran. Hasil pendidikan tersebut dipraktikkan langsung oleh masyarakat untuk kemajuan nelayan sendiri. Adanya upaya pemerintah desa untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat, seperti beasiswa untuk para anak nelayan, perpustakaan desa, serta penampungan anak-anak Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran untuk melaksanakan praktik lapangan di desa mereka. Menurut data yang didapat Keadilan dari Kepala Desa Kluwut, warga dengan rentan usia produktif 18 sampai 56 tahun yang tidak pernah sekolah berjumlah 225 orang. Pernah bersekolah di sekolah dasar tetapi tidak tamat berjumlah 508 orang, tidak berhasil menamatkan sekolah menengah pertama 353 orang, sedangkan tidak berhasil menamatkan sekolah menengah atas atau yang sederajat 195 orang. Total warga yang pernah menempuh jalur pendidikan berjumlah 4.221 orang, atau setara dengan 17,6 persen dari keseluruhan warga Kluwut. Dampak rendahnya pendidikan terlihat jelas dari jenis alat tangkap yang digunakan sehari-hari oleh nelayan setempat. Mereka mengaku sudah turun-temurun memakai alat tangkap dengan jenis Cantrang dan tidak mau mengubah alat tangkapnya. Cantrang adalah salah satu jenis alat tangkap yang dilarang oleh pemerintah melalui Pasal 4 ayat (2) huruf e Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. “Untuk yang Cantrang itu hampir mirip dengan Troll. Itu jaring itu sampai ke dasar laut, sehingga seluruh ekosistem maupun makhluk hidup yang ada di dasar laut itu kebawa semua. Termasuk itu, apa, karang-
Ilustrasi oleh: Nurul/Keadilan
karang laut itu kan rusak. Karena dia kan pakai mesin juga nariknya,” ujar Isa sambil menjelaskan tentang sebab pelarangan Cantrang. Efek pelarangan penggunaan Cantrang ini tidak menjadi momok besar bagi nelayan di Desa Pulogading, karena alat tangkap yang digunakan berbeda. Faktor pendidikan tinggi dan beberapa pengetahuan warganya akan alat tangkap yang lebih modern, menjadikan nelayan Pulogading tetap dapat melaut dengan hasil tangkapan yang maksimal tanpa harus menyoalkan pada Peraturan Kementerian Perikanan tersebut. Hery mengatakan,
Meila/Keadilan • Hery, Kepala Desa Pulogading. (24/6/2016)
“Karena sistemnya kami sudah adopsi dari sistem penangkapan dari Korea. Sistem jaring ini, seperti ini ya, Korea style. Jadi tidak merusak terumbu karang”. Dia juga menjelaskan bahwa saat ada peraturan pemerintah tentang penggunaan alat tangkap ikan, warga desa Pulogading tidak khawatir. Karena masyarakat di sana sudah mengadopsi model Girnet negaranegara maju. Dengan mengubah alat tangkap, maka nelayan juga harus mengubah kebiasaan. Perubahan ini akan membutuhkan waktu adaptasi yang lama dan akan berdampak pada sedikitnya hasil tangkapan mereka. Ribut, salah satu pemilik kapal mengakui hal tersebut, “Karena kan kalau saya rakyat kecil, saya kan itu sih pinter-nya cuma alat Cantrang. Kalau alat liyanya bisa sih bisa. Cuma kan dapatnya sedikit,” ujar bapak beranak satu ini saat ditemui di kediamannya. Kapal-kapal dengan berbagai ukuran dan bentuk tersandar rapi di pinggir sungai. Ada dua jenis kapal yang biasa dipakai oleh nelayan, kapal kecil berjumlah sekitar 150 buah dan kapal besar sekitar 125 buah. Kapal kecil adalah kapal dengan ukuran di bawah 5 Gross Tonnage (GT) atau biasa disebut dengan kapal tradisional dengan sistem pencarian ikan one day fishing—satu hari berangkat dan
Keadilan Edisi XXXX/2016
43
Ilustrasi oleh: Meila/Keadilan
pulang pada hari yang sama. Selain musim ‘jelek’ dia hanya mengantongi itu, terdapat pula kapal besar dengan sekitar 30 sampai 40 juta rupiah. ukuran di bawah 30 GT yang memiliki Semua itu belum dipotong dengan variasi waktu operasi dari 1 minggu, modal perbekalan, pengurusan suratsetengah bulan, sampai 25 hari surat izin, dan pembayaran Anak Buah berlayar di laut. Kapal yang berjumlah 11 sampai 15 Kapal dengan ukuran 5 orang setiap melaut. GT biasa melaut selama satu hari Sebelum berlayar, dia diharuskan dengan perbekalan 200 sampai mengurus surat-surat izin ke Dinas 300 ribu rupiah. Modal Perikanan dan Kelautan, berupa solar dan bahan Kantor Syah Bandar, Pos makanan didapatkan Angkatan Laut, dan Pos dari pinjaman ke Polisi Air. Selain itu, warung setempat. masih ada keharuKeuntungan yang san membayar izin didapatkan de-ngan melaut ke paguyuban cuaca baik berkisar setempat yang antara 50 sampai 100 di-kenal dengan ribu. Jika cuaca buruk, nama Segara Madu. pendapatan biasanya Pagu-yuban yang tidak hanya cukup untuk menutupi memiliki izin resmi da-ri modal, atau bahkan merugi. • Karsito pemerintah ini biasa mengenakan “Kadang enggak dapat pun sampai biaya 500 ribu rupiah ke setiap nombok utang di warung, sering,” kapal untuk satu kali melaut—kapal ungkap Isa. besar dan kecil. Jika tidak membayar, Sedangkan untuk kapal yang konsekuensi kapal dihadang di tengah berukuran 20 GT, Ribut mengaku bisa laut pasti dirasakan oleh setiap nelayan. menghabiskan waktu sampai 15 ha- Hasil tangkapan laut, radio, satelit, ri untuk berlayar di laut. Jangkauan- bahkan pakaian yang dikenakan oleh nya bisa sampai daerah Karimun, para nahkoda dan ABK pun tidak Banyuwangi, bahkan Banjarmasin. luput dari sitaan. Dengan membawa modal sekitar Karsito, biasa dipanggil pen40 juta rupiah, dia bisa membawa duduk setempat dengan Abah Ito, keuntungan kotor 50 sampai 60 juta menganggap bahwa paguyuban ilegal rupiah saat musim ‘baik’, jika sedang tersebut juga dapat mengurangi pen-
44
Keadilan Edisi XXXX/2016
dapatan para nelayan. “Ya radio saja 13 juta second-an, satelitnya 6 juta. Ya kayak gini. Ratusan juta. Parangnya (mereka) panjang-panjang. Ngeri,” ujar pria bertubuh tambun ini sambil memperlihatkan surat izin yang dikeluarkan oleh Paguyuban Segara Madu. Pendapatan para nelayan memang tidak pernah tetap, sekitar 500 ribu sampai 3 juta rupiah dalam satu bulan, dengan rata-rata pastinya sebesar 1 juta rupiah. Faktor cuaca yang tidak pernah menentu, adanya musim paceklik bagi nelayan yang biasa disebut dengan Musim Baratan menjadi kendala terbesar. Jika musim paceklik sudah datang, nelayan tidak bisa pergi melaut. Sebagai penggantinya, sebagian mencoba untuk berdagang kecil-kecilan ke kota lain atau menanam padi, tetapi mayoritas mereka menghabiskan waktu dengan memperbaiki kapal, jaring, atau hanya menjadi pengangguran. Pendangkalan sungai yang menjadi tempat pendaratan ikan juga menjadi kendala besar dan menurunkan omzet para nelayan. Dangkalnya sungai membuat perahu dengan ukuran di atas 20 GT kesulitan untuk melaut. Mereka harus mengangsur perbekalan dan persediaan solar dengan kapal kecil yang nantinya dipindahkan ke kapal—di atas 20 GT—jika sudah sampai di laut. Jika kapal sudah kembali dan tidak bisa masuk ke badan sungai, maka nelayan terpaksa membongkar muatan mereka di Pelabuhan Tegal atau tetap di Pelabuhan Kluwut tetapi dengan menyewa kapal kecil kembali. Peran TPI di antara Nelayan Kluwut Ribuan ikan pirik tersusun rapi di pelataran TPI, dibiarkan menggunung di atas lantai atau ditata menurut wadahnya. Hanya beberapa nelayan yang terlihat di sekitar lokasi pelelangan, dan satu-dua orang dari mereka bergilir membayar pajak di
loket yang tersedia. Suasana mo, Kementerian Kelautan TPI di sekitar pukul tujuh dan Perikanan mengirimkan pagi ter-sebut tidak terlalu surat pada Gubernur Jawa ramai dibanding dengan Tengah de-ngan Nomor tempat pelabuhan kapal yang Surat: B-159/MEN-KP/ berada tepat di depannya. III/2015 yang salah satu Hanya terlihat satu mobil isinya menyebutkan bahwa peng-angkut dan beberapa alat tangkap Cantrang nela-yan yang sedang dibolehkan dipakai di Jawa mengangkat pirik yang akan Tengah dengan beberapa digunakan untuk pakan syarat. Salah satunya adalah bebek tersebut. “Enggak ada mewajibkan para nelayan yang di TPI, semuanya ke untuk mendaratkan hasil bakul semua,” jawab Abah tangkapannya, melelang, dan Ito saat ditanya mengenai mencatatnya di Pelabuhan TPI. Pangkalan yang ditetapkan. TPI Kluwut yang Dengan dalih sudah diharapkan menjadi tempat menjual ikan pirik di TPI, pelelangan ikan terbesar dan transaksi antar nelayan dan bisa membantu perekonomitengkulak di luar TPI tetap Nurul/Keadilan an warga, tidak berjalan secaberjalan walau sudah ada ra maksimal. Damir sebagai • Damir Ketua Nelayan Desa Kluwut.(24/6/2016) per-aturan tersebut. Sanksi ketua nelayan yang juga termasuk yang ditetapkan oleh pemerintah kekeluargaan dan modal percaya, mepengurus harian TPI, mengaku minjam uang kepada para tengkulak tidak terlaksana. Retribusi atau pajak bahwa TPI Kluwut sudah lama tidak tidak membutuhkan persyaratan khu- penjualan yang seharusnya bisa beroperasi karena minimnya ikan yang sus. Cukup datang langsung meng- menjadi pemasukan bagi TPI dan masuk. Para ne-layan lebih memilih hadap dan menyebutkan nominal. membantu sirkulasi perekonomian untuk menjual hasil tangkapannya “Enggak ada transaksi cap jempol, masyarakat juga tidak diindahkan. kepada tengkulak atau yang biasa tanda tangan gitu. Jadi kita saling Para tengkulak beralasan bahwa mereka sebut dengan bakul atau bos. percaya. Percaya saja sama orang itu,” mereka sudah membayar retribusi Tengkulak di Kluwut dapat jelas Abah Ito. Sebagai konsekuensi sebesar yang diminta oleh pihak TPI. berarti orang yang meminjamkan peminjaman pada tengkulak, selesai “Tapi tidak seperti jumlahnya, karena modal untuk para nelayan melaut. melaut Langgan diwajibkan menye- dia dikenakan 0,6 persen, dari aturan Nelayan yang meminjam modal da- torkan hasil tangkapan lautnya kepa- itu—bobot kapal, tapi enggak hanya ri tengkulak biasa disebut Langgan. da pihak tengkulak, dengan harga yang satu GT kalau enggak salah 10 ribu, “Saya sih pengen-nya semua masuk ke ditentukan mereka. kalau dia ukuran kapalnya 30 GT situ (TPI) juga, biar ikannya mahal. Pada bulan Maret 2015, TPI berarti 300 ribu,” ujar Masfu’i. Dia Tapi kan itu bos-bos di Kluwutnya ini mulai beroperasi lagi setelah sebe- beranggapan bahwa pajak retribusi enggak boleh kalau mau di situ,” lumnya lama vakum. Beroperasinya yang masuk seharusnya dihitung bertutur Ribut yang sudah tiga tahun TPI ini tidak lepas dari imbas dike- dasarkan pemasukan para penjual, menjadi Langgan Abah Ito. Di satu luarkannya Peraturan Menteri Ke- bukan berdasarkan pada ukuran kasisi Abah Ito—yang mempunyai 20 lautan dan Perikanan Nomor 2/ pal nelayan. “Sanksi hukumnya kan orang Lang-gan—menjelaskan bahwa PERMEN-KP/2015. Mayoritas dari ada,” tambahnya. apapun ikan yang ada tidak mungkin nelayan Kluwut memakai alat tang- Menurut data pembayaran padilelang di sana—TPI Kluwut, karena kap Cantrang yang masuk dalam salah jak per bulan Januari sampai Mei 2015, para nelayan tersebut memiliki utang satu alat tangkap terlarang. Pelarangan Koperasi Unit Desa (KUD) Mina kepada tengkulak. ini berujung pada aksi demo gabungan Saya Sari, Kabupaten Brebes, TPI Para Langgan biasa memin- dari beberapa nelayan yang ada di Kluwut dengan jumlah nelayan terjam modal untuk perbekalan sebe- pesisir Pulau Jawa untuk menolak pe- banyak hanya menduduki peringkat lum melaut, seperti beras, lauk pauk, raturan tersebut. kedua dengan persentase sebesar rokok, dan solar. Berdasarkan asas Menindaklanjuti aksi de- 20,44 persen setelah TPI Pulolampes,
Keadilan Edisi XXXX/2016
45
Nurul/Keadilan • Kartu nelayan sebagai legalitas para nelayan.(24/6/2016)
dengan persentase sebesar 42,93 per- mereka dalam pembelian solar, mengesen. Membandingkan dengan TPI lompokkan nelayan dalam beberapa Pulolampes yang terletak di Desa kelompok untuk mempermudah Pulogading yang berjarak sekitar tujuh pemberian bantuan dan sosialisasi, kilometer dari Desa Kluwut, nela- juga menerima proposal untuk peryan di sekitar TPI Pulolampes tertib mintaan bantuan langsung bagi para melelangkan hasil tangkapannya. Se- nelayan traditional. “Paling tidak, kan lain itu, nelayan Pulolampes tertib dia kalau ada kelompok, paling tidak meminjam uang untuk modal dari diperhatikan. Tidak dari pusat, dari bank terdekat, bukan melalui tengku- provinsi, bahkan mungkin dari APBD lak seperti yang biasa dilakukan oleh (Anggaran Pendapatan dan Belanja nelayan Kluwut. Daerah),” Masfu’I me-nimpali. Tetapi Kebiasaan lama yang dimiliki sangat disayangkan, karena hanya sedioleh warga Kluwut untuk meminjam kit nelayan yang merespon bantuan uang pada tengkulak memang susah tersebut. untuk diubah. Pihak pemerintah yang Pemerintah juga pernah diwakili oleh Dinas Kelautan memberikan bantuan langsung dan Perikanan Kabupaten berupa kapal dengan alat Brebes, bekerja sama detangkap ramah lingkungngan Bidang Pertanahan an. Tetapi, solusi dari Kabupaten Brebes supemerintah ini amat didah membantu dalam sayangkan karena tidak hal pembuatan sertifikat berjalan sesuai harapan. kepemilikan tanah secara Pemerintah hanya memgratis. Nantinya sertifikat berikan solusi tanpa ada tanah ini bisa dipakai sebagai • Masfu’i tindak lanjut dalam eksekusi. jaminan meminjam uang di bank. Di sisi lain, masyarakat Kluwut Bantuan dari pemerin-tah sendiri yang memang tidak bisa diterus mengalir untuk mengatasi pisahkan dari alat tangkap Cantrang permasalahan perekonomian nelayan, mereka. Sehingga mereka kesulitan walaupun tidak dengan uang tunai. untuk beradaptasi dengan alat tangkap Pemerintah mengadakan pendataan yang baru. nelayan untuk pembuatan kartu nela- Masfu’i menerangkan, unyan yang kelak dapat mempermudah tuk melaut tidak boleh menggu-
46
Keadilan Edisi XXXX/2016
nakan Cantrang dan masyarakat yang menggunakannya meminta Girnet Millenium. Pemerintah sudah menyuruh sebagian orang agar magang di Jawa Barat untuk belajar menggunakan Jaring Millenium. “Mungkin kalau Millenium enggak seperti kalau Cantrang kan, begitu pasang jaring mereka pada tidur, kalau itu (Millenium) kan terus ngambat (menghambat) itu, narik itu. Akhirnya dia mungkin enggak betah, keuntungannya sedikit, akhirnya tidak dilanjut, daripada terbangkalai,” ujar Masfu’I menyayangkan keputusan nelayan. Bantuan juga datang dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dengan membuat kantor di lingkungan TPI Kluwut. Tetapi, saat disambangi oleh Keadilan, kantor tersebut terlihat gelap dari luar, sepi tanpa aktivitas. Kantor yang langsung bersebelahan dengan Pos Pelayanan Dokumen Kapal ini diharapkan mampu menampung aspirasi nelayan. Tetapi, niat tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang baik dikarenakan keacuhan nelayan setempat. “Tadinya ada. Pegawai yang di kantor itu ada. Tapi semenjak ‘nongkrong’ di situ, enggak ada yang ngelapor, jadi kayak pegawainya minder gitu,” jawab Abah Ito sambil tertawa saat ditanyai peran HNSI di Desa Kluwut. Kebiasaan Nelayan Kluwut, seperti pola hidup dan sistem kerja yang sudah sulit untuk diubah, berpengaruh besar pada roda perekonomian mereka. Selain faktor pendidikan, tengkulak juga mempunyai peran negatif bagi para nelayan. “Ijon (tengkulak) itu sudah, kuncinya itu,” tekan Masfu’i.
Reportase bersama: Fajri Nur Imam dan Nurul Aulia
Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan
Mengucapkan Selamat atas Kelulusannya dalam Menyelesaikan Studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jefrei Kurniadi
Pimpinan Umum Periode 2014/2015
Aditya Pratama Putra
Pimpinan Redaksi Periode 2014/2015
Kaukab Rahmaputra
Pimpinan Bidang Litbang Periode 2014/1015
Lutfani Husna Novrida
Fotografi Periode 2014/2015
Aussy Nurbani Dihar
Redaksi Pelaksana Periode 2014/2015
Mudzakir
Pimpinan Bidang Pengkaderan Periode 2014/2015
Rini Winarsih
Sekretaris Umum Periode 2014/2015
Siska Novista
Bendahara Umum Periode 2014/2015
Ida Elsha Nastiti
Koordinator Keadilan Online Periode 2014/2015
Reportase
Realitas Kehidupan Masyarakat Adat Bonokeling Rizma/Keadilan • Petunjuk jalan satu-satunya. (23/6/2016)
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua.” -Bung Karno dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
Oleh: Fajrul Umam Atmarazaqi
M
enjelang waktu duha, puasa keempat di tahun 1436 H, tim Keadilan memulai perjalanan ke arah barat. Lokasi yang hendak dituju konon sering disebut dengan ‘daerah merah’. Istilah ini muncul sebagai imbas dari kebiasaan dan tradisi masyarakatnya yang begitu kental. Tempat ini merupakan sebuah tapak tilas ajaran nenek moyang suku Jawa Kuno di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Di daerah itu masih terdapat komunitas masyarakat yang mengimani perihal animisme dan dinamisme. Sebuah perpaduan adat
48
Keadilan Edisi XXXX/2016
Jawa dengan tradisi Hindu-Budha. Kemudian berbaur lagi dengan ajaran Islam. Orang-orang sering menyebutnya dengan ajaran Islam Kejawen. Oleh karena adanya perbedaan yang dianggap kontras itu, Desa Pekuncen tersebut sangat akrab terdengar oleh masyarakat sekitar. Dengan menggunakan dua buah sepeda motor matic, tim Keadilan melaju menuju lokasi yang menjadi kesepakatan. Terik mentari tak dapat surutkan, tangan pengemudi untuk terus menggeber motor. Melesat pada jalur kiri dan sesekali keluar aspal hitam karena tak mau diseruduk bus dan truk lintas provinsi.
Bersandar pada kekuatan teknologi digital—google map—perjalanan ini akan ditempuh dengan memakan waktu sekitar empat jam lebih lima puluh sembilan menit. Namun, das sein memang seringkali tak bersahabat dengan das sollen. Tim Keadilan baru tiba di ‘bibir’ lokasi setelah menempuh delapan jam perjalanan. Kala itu matahari sudah enggan menampakkan sinarnya. Langit mulai gelap dihiasi rona jingga dan kemerahan. Penampakkan itu menjadi lebih indah dengan pesona masjid Babul Qudus yang baru saja dipugar. Rencananya mulai masuk ke desa setelah membasahi kerongkongan
yang sedari fajar mengering. Selepas membasahi badan, berbuka, dan menunaikan ibadah salat maghrib di ‘rumah’ Tuhan itu, kaki terangkat bergerak menuju destinasi. Dengan berat hati meninggalkan kenyamanan yang disajikan oleh Babul Qudus. Lampu jalan terlihat remangremang mengiringi perputaran roda motor. Rumah limas berjejer rapi seolah menyambut kedatangan tim Keadilan. Sekilas memang tak ada perbedaan yang mencolok dari Desa Pekuncen ini dengan desa di Jawa Tengah Fajrul/Keadilan pada umumnya. Jalan aspal desa yang halus, kios kecil milik warga, lapangan • Plang pemakaman Ki Bonokeling yang di desain pemerintah. (23/6/2016) sepak bola, rumah limas, kentungan, udara, dan angin sekali pun. sampai di tengah hunian anak cucu sekali bergelagak lepas. Begitu pun Malam itu suasana desa terli- Ki Bonokeling, sebutan bagi pengikut dengan keluarganya, mereka selalu hat sunyi. Hampir tak ada warga yang ajaran atau trah Ki Bonokeling. memberi kehangatan bagi setiap tamu di luar rumah. Begitu pula dengan Sedikit cahaya di sini, yang yang berkunjung. Rumahnya juga sekios-kios milik warga, banyak yang ada hanya temaram lampu neon kecil lalu siap menjadi ranjang untuk para tutup. Hal ini berimbas pada kami yang pemberi petunjuk kediaman ketua tamu. tidak tahu persis lo-kasi pengikut adat yang mereka sebut Kiai Kunci. Pembicaraan dibuka dengan ajaran Ki Bonokeling. Tok tok tok... Diikuti salam menjelaskan maksud dan tujuan ber Motor tetap tanda bertamu. tamu. Sumitro yang akrab disapa Pak melaju pelan ‘meraba’ Tak lama berselang, Mitro menanggapi hal tersebut dan keberadaan pendukeluarlah lelaki tua siap membantu hingga semua selesai. duk pengikut ajaran yang sedikit mem- Pun dengan anggota keluarganya. Ki Bonokeling, bungkuk membuka Akan tetapi ketika ditanya sambil melirik ke pintu diiringi ja- mengenai jati diri Ki Bonokeling, pria kanan dan ke kiri waban salam. Pan- yang berusia kurang lebih 60 tahun ini mencari orang yang dangannya sudah tak enggan menjawab. Sebab menurutnya, tepat untuk ditanya. tajam. Bibirnya kelu adalah suatu pantangan untuk memAlhasil kami bertemu mengucapkan bahasa Jawa bicarakan Ki Bonokeling pada orang dengan seorang ibu-ibu di Ngapak, dan tiba-tiba mem- lain—orang luar yang bukan termasuk • Sumitro bawah temaram lampu jalan di de- beri isyarat sedang tak mau diganggu anggota, pengikut, trah maupun pan warung. Di sana kami bertanya, dan mengarahkan untuk menemui anak-cucu Ki Bonokeling. Namun kemudian dia memberi petunjuk ‘tangan kanannya’ terlebih dulu. Sesa- dalam sebuah buku yang berjuarah kediaman ketua adat ajaran Ki at suasana menjadi hening. Tanpa dul Islam Kejawen (Sistem Keyakinan Bonokeling. Kami pun bergegas banyak melobi, tim Keadilan beranjak dan Ritual Anak-Cucu Ki Bonokeling), mengikuti apa yang ditunjukkan ibu meninggalkan lelaki tua itu untuk masyakarat sekitar komunitas ini tadi. melaksanakan isyaratnya. beranggapan bahwa Ki Bonokeling Plang makam Ki Bonokeling Kediaman ‘tangan kanannya’ adalah seseorang yang dipuja. Dia juga berdiri gagah di bawah rimbun po- terletak di pinggir jalan utama. Tuan dianggap sebagai Sang Penyelamat dahon randu yang besar dan di sebe- rumahnya bernama Sumitro. Dialah lam segala hal yang berkaitan dengan rang bayangan ringin. Simbol ini orang yang dimaksud oleh Kiai Kunci. kehidupan manusia. Bahkan dalam menandakan bahwa tim Keadilan telah Wajahnya selalu menebar senyum, se- buku ini dijelaskan, menurut Kiai
Keadilan Edisi XXXX/2016
49
susul dengan lampu rumah yang dipadamkan.
Sehab/Keadilan • Para tamu lelayu yang sedang bersantai sebelum acara puji-pujian dan zikir dilaksanakan. (23/6/2016)
Kunci Mejasari—Kiai Kunci pada tahun 2007—yang disampaikannya dengan tegas dan lantang, bahwa dia menganggap Ki Bonokeling sebagai Sang Maha Kuasa, di atasnya sudah tidak ada lagi penguasa lain selain Ki Bonokeling. Pembahasan mengenai profil Ki Bonokeling kepada anak cucu Bonokeling sendiri, dijelaskan oleh Pak Mitro, ada tanggal dan hari khususnya. Penanggalan yang dimaksud ialah penanggalan jawa yang akrab disebut dengan penanggalan aboge. Hal senada terkait pembicaraan profil Ki Bonokeling juga diungkapkan oleh Kader Bonokeling—panggilan untuk orang luar yang masuk menjadi anak cucu Ki Bonokeling—Sunadi Nadir. Kakek bercucu sembilan dan telah menjadi kader Bonokeling selama 20 tahun ini juga enggan menceritakan sosok Ki Bonokeling kepada orang lain. Akan tetapi dia menjelaskan alasannya masuk dan mengikuti ajaran Ki Bonokeling untuk menuntut ilmu. “Jadi begini, yang namanya ilmu, yang nganu itu badan saya sendiri,” ujar Nadir. Selain menceritakan alasannya masuk dan mengikuti ajaran Ki Bo-
50
Keadilan Edisi XXXX/2016
nokeling, Nadir juga berpendapat bahwa hatinya merasa damai setelah dia dinobatkan menjadi bagian dari Kader Bonokeling, dibandingkan sebelum mengikuti ajaran ini. “Ya, kalau saya ya ada, perasaan jadi enak. Ya enakan masuk sini. Pikirannya tenang, enggak ada cekcok-cekcok, ya perasaannya jadi tenang,” ungkapnya sembari mengebulkan asap lintingan di bawah sinar rembulan. Malam semakin larut, jam tangan mengisyaratkan akan segera terjadi pergantian hari. Kala itu, Pak Mitro keluar dan mendekati kentongan yang tergantung di depan rumahnya. Tok tok tok... Sampai 12 kali dipukulnya. Suaranya melengking, mengudara. Lalu disambut oleh jumlah pukulan yang sama pula, dari segala penjuru. “Itu untuk menandakan waktu dan juga isyarat,” kata Pak Mitro memberitahu kami yang sedang berbincang-bincang dengan Kader Bonokeling ini. Tak lama setelah kentongan berbunyi, Nadir dijemput sang istri untuk segera pulang. Selanjutnya tim Keadilan pun dipersilakan istirahat oleh keluarga Pak Mitro. Pintu rumah perlahan menutup rapat. Di-
Hari Kedua “Bangun-bangun, ayo sahur, sebentar lagi subuh,” ujar Pak Mitro membangunkan tim Keadilan. Ruang tamu terang menyala dengan hamparan lauk-pauk yang begitu melimpah di atas meja tamu. Kala itu, jarum jam menunjuk sekitar pukul tiga. Namun sebelum itu, isteri dan anak perempuan Pak Mitro sudah bangun dan memasak di dapur. Azan subuh telah lewat beberapa menit yang lalu. Sayup-sayup terdengar berita lelayu dari masjid. Sembari mendengarkan informasi yang mengumandang, mata kami— tim Keadilan—saling berpandangan. Kata Pak Mitro, yang meninggal adalah salah satu anak cucu Bonokeling. Usianya juga telah sepuh. Pagi itu angin berhembus membawa udara sejuk. Selimut dan sarung yang kami kenakan tak sanggup menghalau sebelum ia menyeruak menggigit tulang. Keadaan semacam ini mungkin dianggap biasa oleh Pak Mitro dan keluarga. Mereka nampak begitu sumringah setelah mengguyur badan dengan air di bak mandi yang sedari tadi mengalir. “Ayo cepat mandi,” ujar seseorang yang ada di dapur memecah keheningan. Semenjak hari pertama kedatangan, tim Keadilan memang sudah dianggap keluarga, bahkan anak sendiri oleh Pak Mitro dan isterinya. Sehabis mandi, tim Keadilan berniat untuk hadir mengikuti proses pemakaman. Kami pun memohon izin untuk ikut serta dalam proses pemakaman yang diumumkan subuh tadi. Kepala Pak Mitro mengangguk sambil mengiyakan. Ketika sang raja siang perlahan nampak penuh, kami bergegas mengikuti langkah kaki Pak Mitro dan isterinya. Dalam perjalanan menuju ru-
mah duka, mereka menghampiri dan menunggu tetangga—yang juga anak cucu Bonokeling—untuk bersama-sama datang ke kediaman yang sedang berduka tersebut. Pada kesempatan ini, terlihat ibu-ibu yang hendak menyambangi rumah duka, memakai jarit batik dan kebaya dengan menggendong sebuah bakul yang berisikan bahan makanan pokok semacam beras, mi, dan lainnya yang ada di rumah mereka untuk diberikan pada keluarga yang sedang berduka. Sama halnya dengan bapakbapak yang juga memakai jarit batik dan baju adat berwarna hitam dengan blangkon menutupi kepala. Sebagian dari mereka tidak mengenakan alas kaki. Semua ini merupakan hukum adat yang telah diatur sejak lama dalam ajaran Ki Bonokeling, dan masih diikuti oleh anak cucu Bonokeling. Setelah semua berkumpul dan terlihat tidak ada lagi yang perlu ditunggu, banyak pasang kaki pun serentak melangkah pergi. Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak yang sempit dan terbelah di antara temboktembok rumah, pekarangan, dan kebun kecil milik warga. Di tengah-tengah perjalanan—di pertigaan jalan setapak—kami
semua bertemu dengan rombongan lain dari arah persimpangan yang berbeda. Semuanya membawa maksud serta tujuan yang sama, yakni mengunjungi rumah duka. Aroma khas dupa menyeruak masuk dalam dasar hidung ketika kami hendak sampai di tujuan. Terlihat bapak-bapak dengan seragam yang telah dijelaskan sebelumnya berbaris rapi dan siap menyambut kedatangan para tamu lelayu. Tak jauh dari rumah duka— di sebuah pekarangan rumah—kerumunan bapak-bapak tengah bergotong-royong membuat keranda dari potongan bambu kokoh. Mereka memotong dan membelah bambu tersebut sesuai kebutuhan, kemudian dianyam sedemikian rupa membentuk jejaring melengkung. Adapula yang disusun rata dan diikat kuat-kuat untuk menjadi alas tidur sang mayat menuju pemakaman. Proses pengurusan jenazah dalam tradisi masyarakat Bonokeling sama seperti ajaran Islam. Hampir tidak ada yang berbeda selain pembacaan doa khusus bagi si mayat. Juru kunci, bedogol, dan orang-orang penting di sana duduk bersila membentuk lingkaran di atas dipan—semacam
Sehab/Keadilan • Bingkisan receh pelantara doa untuk si mayit. (23/6/2016)
ranjang atau kursi luas untuk duduk para tamu, yang merupakan salah satu ciri perabotan rumah mereka sambil melantunkan doa dan pujipujian. Pada saat yang bersamaan, di luar rumah duka, para tamu diberi bingkisan kertas berisi uang receh guna meminta doa bagi si mayat. Caranya cukup dengan menggenggamnya dan membisikkan doa ke dalam bingkisan tersebut. Setelah semua rangkaian acara di rumah duka selesai, jenazah dibawa dan dikubur pada pemakaman umum anak-cucu Bonokeling yang tempatnya juga berdampingan dengan makam leluhur mereka, yakni Ki Bonokeling. Menurut keterangan dari Pak Mitro, kain kafan yang dikenakan si mayat bukanlah kain berjenis mori. Yang digunakan adalah jenis kain khusus yang dibuat oleh seorang pengrajin setempat. Ia terbuat dari serat-serat kapas. Kemudian kayu yang digunakan untuk mencagak sang mayat di liang lahat ialah kayu pohon randu. Kesemuanya ini memiliki makna yaitu bahwa semua yang ada di alam akan kembali kepada alam. Jadi sebisa mungkin harus menggunakan hal-hal yang disukai alam. Tetek bengek pemakaman pun berakhir mendekati zuhur. Orangorang yang tadinya berkerumun di kediaman rumah duka, satu per satu mulai beranjak pulang. Pada sudut rumah tampak sesosok pria memurungkan wajah. Dia tak lain merupakan cucu dari seorang nenek yang meninggal barusan. Sesampainya di rumah Pak Mitro, tim Keadilan merehatkan badan di ruang tamu. Walau hari menjelang siang hari, cuaca tetap dirasa sejuk bagi kami. Di ruang tamu, kami dan Pak Mitro berbincang-bincang ringan. Mulai dari pembahasan terkait proses lelayu tadi sampai kepada topik yang sedang naik daun dalam dunia pertelevisian. Obrolan-obrolan kami diakhiri dengan ajakan Pak Mitro
Keadilan Edisi XXXX/2016
51
untuk berkeliling kampung. Tanpa basa basi, tawarannya langsung kami terima. Perjalanan mengelilingi kampung kami putuskan dengan berjalan kaki. Pak Mitro menjelaskan tentang kehidupan masyarakat setempat yang kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani. Selain itu juga rasa kepedulian terhadap sesama dan menjunjung nilai gotong royong. Sembari melangkahkan kaki dengan gerakan pelan, kami diajak berkunjung ke sebuah rumah limas khas Banyumasan. Tuan rumahnya bernama lengkap Padawijaya. Dia juga merupakan salah satu Anak Cucu Fajrul/Keadilan Bonokeling. Istimewanya lagi, dia ada• Seorang pengrajin tenun satu-taunya yang dimiliki masyarakat adat Bonokeling tengah lah salah satu tokoh—biasa disebut menenun kain kafan berbahan serat kapas di siang bolong. (23/6/2016) bedogol—dalam hierarki kepemimpinan yang enggak benar,” dia menjelaskan lupa waktu. Semilir angin segar masyarakat adat Pekuncen. menari-nari dan menyelinap lewat Dari kejauhan tampak sang dengan mimik wajah serius. daun jendela yang terbuka lebar. Di Saat ditanyai seputar ziarah empunya rumah sedang bersantai di Balai-balai samping rumah. Setelah di Ki Bonokeling, dia menerangkan sebelah Balai-balai tempat kami bermengucapkan salam, dia bergegas ke bahwa kegiatan tersebut disebut bincang, terdapat hamparan kecil depan lalu menyambut kedatangan sowan—berdoa kepada yang Yang petak sawah. Dengan berat hati kami Maha Kuasa untuk para leluhur. mengucap pamit kepada tuan rumah. kami. Padawijaya ialah bedogol de- Cara melakukannya ialah dengan Perjalanan selanjutnya mengunjungi ngan usia sekitar 62 tahun. Kese- menekukkan kaki hingga betis me- kediaman Kiai Kunci yang tempo hari hariannya sebagai seorang petani. nempel pada paha dengan pung- sedang tidak ingin menerima tamu gung kaki menyentuh tanah, asing. Jika musim kering melanda, Ucapan salam bertamu diditambah kedua telapak waktunya dihabiskan di ucapkan dari luar rumah. Seorang ibu tangan dilekatkan dan rumah. Bapak empat melongok keluar rumah, lalu memditempelkan ke dahi orang anak itu dinosambil sedikit mem- persilakan kami masuk. Di sisi kursi batkan menjadi setamu, di pojok dekat pintu samping, bongkokkan badan. orang bedogol sekitar dua terlihat Kiai Kunci yang sedang duduk Tidak ada batasan tahun yang lalu. Dia untuk melakukan zi- berdiam diri. Tim Keadilan membuka mengungkapkan bahwa arah ke makam Ki Bo- percakapan dengan memperkenalkan syarat utama menjadi nokeling, namun tetap ha- diri dan menjelaskan maksud kedaseorang bedogol ialah keturunan anak cucu Bonoke- • Kyai Kunci rus melakukan ritual terlebih tangan. Setelah dipersilakan duduk, ling. “Itu kan turun-temurun kan ne- dahulu. “Kalau sadran ribuan, kalau Kiai Kunci langsung memperkenalkan hari-hari lain, ya ratusan. Karena kanek moyang kayak ingin jadi bedogol itu identitas. Dia memiliki nama lengkap lau hari-hari yang lain itu tahu tidak turun temurun,” jelas Padawijaya. Selanjutnya menurut Pada- tahu datang ke sini,” potong Pak Mi- Kartasari. Orang-orang biasa mewijaya, menjadi seorang bedogol me- tro menambahkan penjelasan dari Pa- manggilnya dengan Kiai Kartasari miliki pantangan tersendiri. Adapun dawijaya. Rasa kantuk tercermin di ra- atau Kiai Kunci. Umurnya berkisar antara 70-an lebih. Dia memiliki enam pantangan yang harus dijaga ialah ut wajahnya. Obrolan-obrolan kami di orang anak, dengan sembilan orang melakukan sesuatu yang tidak benar. rumah bedogol Padawijaya begitu cucu serta seorang cicit. Dia baru di“Pantangannya harus disiplin. Disiplinnya ya yang benar-benar. Jangan mengasikkan sampai-sampai hampir angkat menjadi Kiai Kunci sekitar lima
52
Keadilan Edisi XXXX/2016
tahun yang lalu. Pengangkatannya itu merupakan hasil musyawarah anakcucu Bonokeling yang selanjutnya dilaporkan ke kantor desa sebagai informasi dari pihak masyarakat adat. Kiai Kunci kemudian bercerita mengenai acara sadranan yang telah dilaksanakan sebelum bulan puasa tiba. Acara tersebut dilaksanakan pada Kamis, 11 Juni 2015 yang lalu. Banyak orang yang datang ke Desa Pekuncen. Mereka tidak hanya dari kalangan masyarakat Pekuncen dan Jatilawang, tetapi juga ada yang datang dari luar, seperti dari Cilacap, Diraja, dan Sidourip. “La nggih niki, sadranan lah kados niku pada mriki, dados tamu saking Cilacap, Diraja, Sidourip tekane dinten kemise,” tutur Kiai Kunci memberikan informasi. Kiai Kunci juga mengatakan bahwa tamu-tamu tersebut juga menginap. Mereka tidur di rumah-rumah limas berwarna putih dengan atap rendah yang terletak persis di depan rumahnya. Ketika kapasitas rumahrumah itu tidak mencukupi, maka rumahnya juga turut menjadi tempat peristirahatan tamu-tamu tersebut. “Turune ya ten rik mriko, pertemuan niku, pertemuan tamu,” ujarnya sambil menunjuk kursi besar berbentuk seperti ranjang yang terbuat dari kayu maupun anyaman bambu yang ada di ruang tamunya. Perihal ziarah ke makam Ki Bonokeling, dia menjelaskan bahwa hanya hari-hari tertentu saja boleh mengunjungi makam, yaitu Kamis dan Jumat. “Niku sedinten dintene, padane Selasa, napa Rabu, Kamis kenging, Jumuah karuan kajeng niku. Dinane ten riku naming kalih Kemis Jemuah ajeng sowan mrika,” ujarnya menjelaskan. Adapun kegiatan yang berkaitan dengan hari Kamis yakni membersihkan makam Ki Bonokeling. Kiai Kunci juga mengungkapkan jika selama bulan puasa, kegiatan ini diliburkan dahulu. Terkait asal-usul Ki Bonoke-
ling, Kiai Kunci tidak mengetahuinya. Semenjak dia ada di sini, makam Ki Bonokeling memang telah ada sebelumnya. Dia juga membenarkan bahwa Ki Bonokeling adalah seseorang yang berjasa dalam penyebaran ajaran Islam di tanah Pekuncen. Hal serupa juga tak dapat dijawab oleh Suwano selaku Kepala Desa Pekuncen. Sebagai orang yang mengaku sebagai salah satu dari anak cucu Bonokeling, dia tahu persis tradisi dan seluk beluk keadaan masyarakat Bonokeling. “Kalau secara umum, mereka sih Islam ya. Namun betul tadi yang dikatakan ada sedikit perbedaan. Itu hanya tidak melaksanakan salat lima waktu sesuai syariat Islam, hanya itu saja. Puasa, ya puasa. Zakat, ya zakat,” papar lelaki berusia 50 tahun ini. Selaku orang yang memimpin desa, Suwano juga menjamin dan menjaga ketertiban kehidupan masyakatnya yang 80 persen ialah anak cucu Bonokeling. Menurutnya, semua warga di bawah pimpinannya selalu menjaga kerukunan umat. Hari Ketiga Pagi-pagi buta, kami harus kembali terbangun untuk makan sahur. Seperti hari kemarin, isteri dan anak perempuan Pak Mitro telah menyiapkan santap sahur untuk tamunya. Lampu ruang tamu juga dinyalakan terang-terang. Cuaca saat itu agak mendung dari sebelumnya. Tak panas dan tak terlalu dingin. Hari ini, tim Keadilan memutuskan untuk kembali pulang ke Yoyakarta. Rencana ini sudah desepakati menjelang tidur tadi. Namun, kami sungkan untuk mengutarakannya kepada Pak Mitro dan keluarga. Setelah makan sahur, lamatlamat salah satu dari tim Keadilan mengucapkan rasa terima kasih sekaligus pamit pulang. Kebaikan masyarakat Bonokeling khususnya Pak Mitro dan keluarga masih melekat dalam hati.
Rizma/Keadilan • Ridwan dosen Jurusan Syariah STAIN Purwokerto. (24/6/2015)
Bergegas mandi dan memasukkan barang bawaan ke dalam tas, mesin matic yang telah dipanaskan siap untuk ditunggangi kembali. Ucapan selamat tinggal dan harapan agar bisa mampir kembali terucap dari mulut tim Keadilan maupun Pak Mitro beserta keluarga. Berbekal doa dari mereka, kami berangkat pulang dan melanjutkan perjalanan untuk bersilaturahmi dengan seorang dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Ridwan, seorang dosen Jurusan Syariah di STAIN Purwokerto yang juga sempat meneliti kehidupan masyarakat Bonokeling ini menggolongkan mereka ke dalam salah satu komunitas keagamaan. Dia berpendapat bahwa tradisi yang dianut masyarakat Bonokeling merupakan hasil dari dialog antara Islam dan budaya lokal. Dalam perjalanan budaya kali ini, tim Keadilan sempat singgah dan bersilaturahmi ke kediaman seorang budayawan nasional yang kebetulan tak jauh dari Desa Pekuncen. Dia memiliki nama Ahmad Tohari. Rumahnya persis berada di pinggir ja-
Keadilan Edisi XXXX/2016
53
lan utama. Meski begitu, kondisinya terasa nyaman dan sejuk. Sebab di pekarangan depan rumah berdiri beberapa batang pohon yang entah sudah berapa tua umurnya. Di awal kedatangan, tim Keadilan disambut hangat oleh isteri Ahmad Tohari yang sedang berada di Raudatul atfal yang berada persis di sebelah rumahnya. Kemudian kami diantar menjumpai suaminya dan dipersilakan duduk di kursi yang terletak di teras. “Silakan. Tunggu sebentar ya, saya mau ganti baju,” ucap Ahmad Tohari. Beberapa menit kemudian, dia muncul dengan mengenakan kopiah hitam dan kaos kerah bergaris-garis putih dengan warna dasar hijau tua.
Bola matanya tajam menatap ke depan ketika ditanya perihal pandangannya terhadap masyarakat adat Bonokeling. Menurutnya, masyarakat adat Bonokeling merupakan bagian dari kita semua. Kemudian dia menambahkan bahwa ada kesalahan besar dan keliru jika memandang masyarakat adat Bonokeling bukanlah orang Islam. Dia juga geram dengan sikap pemerintah yang ingin melestarikan tradisi masyarakat adat Bonokeling sebagai bahan pariwisata. Dia beranggapan bahwa masyarakat adat Bonokeling merupakan bagian dari darah daging kita semua. “... jangan ‘gila’ kayak pemerintah. Mereka diawetkan untuk bahan pariwisata. Kurang ajar enggak? Sama sekali tidak etis,” tuturnya geram.
Pada dasarnya apa yang dilakukan masyarakat adat Bonokeling dalam kesehariannya merupakan kebiasaan adat dan ajaran yang diwariskan oleh Ki Bonokeling. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat zaman yang terus berkembang tidak menumpas habis keyakinan mereka. Walau memang dalam satu keluarga terkadang ada yang berbeda pandangan soal keyakinan. Akan tetapi hal ini juga tidak mengganggu kerukunan sebagai nilai luhur dalam sebuah keluarga.
Reportase bersama: Siska Novista, Rizma Rosyta, Sehabuddin Ardiansyah.
Perempuan tidak lemah, hanya saja buktikan bahwa laki-laki tidak dididik untuk memperkosa
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM KEADILAN
54
Keadilan Edisi XXXX/2016
Jendela Faluthi/Keadilan
‘Drama’ dari Selatan Mataram
• Pagelaran wayang orang dalam acara Merti Dusun Mangir yang juga rangakaian dari acara malam satu Sura di Mangir Tengah (27/10/15)
Sebuah cerita dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer berjudul Drama Mangir, membuat kami menyusuri wilayah Bantul untuk melihat secara dekat riwayat lima abad lalu. Legenda yang kini telah menjadi folklore mengenai tokoh lokal yang dianggap sebagai seorang balela—pemberontak—di satu sisi, dan di sisi yang lain dianggap pahlawan. Kisah yang dituliskan Pramoedya ini merupakan bentuk tafsiran dirinya atas riwayat “Babad Mangir” itu sendiri.
Oleh: Faluthi Faturahman
D
usun Mangir—yang nantinya disebut Desa Mangir, terletak di Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Merupakan lokasi yang menjadi latar tempat dalam beberapa versi cerita Mangir. Cukup sulit untuk mencari desa ini, google maps tidak bisa menjadi andalan, akhirnya kami haurs bertanya pada masyarakat sekitar, di mana letak desa tersebut. Masih sama seperti yang dituliskan Muhidin M Dahlan, seorang penggiat literasi, dalam blognya www.akubuku. blogspot.com yang berjudul “Aku dan Mangir” pada tahun 2008. Dalam tulisan ini, Muhidin menceritakan dirinya ketika membaca kisah Mangir
yang dituliskan Pramoedya, di tempat dulu Ki Ageng Mangir memimpin. Kami bertanya dengan orang di pinggir jalan ke mana arah petilasan. “Coba balik ke arah timur, nanti di kanan jalan ada pom. Nah, di sebelahnya ada jalan kecil, masuk saja. Ikuti jalan atau nanti tanya lagi dengan warga sekitar,” jawab seorang bapak yang sedang duduk di depan rumah, sekitaran daerah Bantul. Kami kembali menyusuri jalan yang sudah terlewat, dan melihat jalan yang dimaksud bapak tadi. Posisinya persis ada di samping stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina yang terletak di selatan jalan. Jalan itu merupakan rute menuju Desa Mangir.
Tidak ada penunjuk arah menuju Mangir. “Lokasi itu memang tak jauh. Hanya 20 km. Namun Perdikan Mangir bukan sesuatu yang mudah untuk dijangkau. Sekira dua jam aku mesti keliling dan bertanya-tanya di manakah petilasan Mangir berada. Menyusuri beberapa pedukuhan tanpa ada satu pun papan petunjuk dari jalan utama yang menunjuk di mana perdikan ini berada,” tulis Muhidin. Jalan Desa Mangir sudah beraspal namun ada sedikit lubang. Suasana di sana terlihat sepi, jarang ada warga, paling hanya satu dua orang berlalu-lalang atau sekadar duduk-duduk di depan rumah. Udara lembab memenuhi desa, pohon-
Keadilan Edisi XXXX/2016
55
• Watu Gilang Petilasan Mangir (30/6/15)
pohon teduh melindungi jalan dari matahari musim panas bulan Juni. Papan penunjuk arah baru ada setelah mencapai Mangir, yang mengarahkan kami pada Petilasan tersebut, lokasi di mana Muhidin membaca Drama Mangir. Setibanya di petilasan kami berhenti, lokasinya cukup luas, banyak pohon yang tingginya kurang lebih mencapai gedung tiga lantai. Di sekitar area terpampang sebuah tempat dengan pagar tembok berbentuk persegi, di dalamnya tumbuh beberapa pohon yang kelihatan lebih tinggi dari sekitarnya. Seorang lelaki tua berkaos coklat dan celana training hitam tampak sedang menyapu komplek petilasan. Wajahnya terlihat banyak kerut dengan cakar ayam tertentang jelas di pinggir matanya. Sembari kami mendekati, beliau tersenyum dan menanyakan identitas, serta tujuan kemari. Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan ke Mangir. Dia mengajak kami untuk ngobrol di sebuah bangunan kayu terbuka, dengan bertopang kayu setinggi lutut orang dewasa dan berdinding anyaman. Tempat itu lebih mirip seperti musala, karena ada sajadah, sarung, dan mukena yang dilipat di dalamnya. Dia mulai memperkenalkan diri, “Saya Subakri, saya juru kunci
56
Keadilan Edisi XXXX/2016
melarikan diri ke hutan. Kaitannya dengan Ki Ageng Mangir, menurut Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat ada berbagai literatur, sehingga ada beberapa hal pokok. “Bahwa memang, keturunan Mangir ini berasal dari Majapahit. Antara lain ada seorang pangeran pada waktu jatuhnya Majapahit, ada beberapa pangeran yang tersebar, ada yang menjadi pertapa di Gunung Kidul dan sebagainya,” ungkap KRT Jatiningrat yang merupakan Abdi Dalem Keraton Faluthi/Keadilan Yogyakarta. Diceritakan dalam buku Babad Ki Ageng Mangir; Intrik Politik Istana petilasan ini. Saya menggantikan ayah Demi Melanggengkan Kuasa Keraton saya yang sudah meninggal sejak tahun 1998”. Subakri menjelaskan Mataram, yang ditulis oleh Purwadi, bahwa tempat ini adalah tapak tilas, Dosen Bahasa Jawa Universitas Negesembari memperlihatkan watu Gilang. ri Yogyakarta. Di antara keturunan “Ada yang bilang itu dampar (tempat Majapahit banyak yang menjadi peruntuk duduk), ada yang bilang itu tapa, salah satunya adalah Raden umpak (lemari),” paparnya. Beliau Lembu Amisani. Bersama istri dan melanjutkan bercerita tentang Ki anaknya, Raden Amisari lari ke arah Ageng Mangir yang bukan dianggap barat dan berhenti di Desa Dander, sebagai pembalelo, melainkan sebagai Gunung Kidul untuk bertapa dan tokoh berpengaruh di desa ini. “Setiap meminta pertolongan Dewata. Permalam Sura diperingati, satu kam- mohonannya diajukan pada Batara pung biasa melakukan ruwah, ruwah Mulya agar menjadi penguasa tanah itu ngirim-ngirim. Ini untuk nguri-nguri Jawa. Doanya terwujud setelah Raden (melestarikan) Kampung Mangir,” Lembu Amisari dan istrinya moksa. Mereka meninggalkan anaknya, tambah Subakri. Raden Megatsari atau Tanah Mangir dikenal Raden Wanaadalah tanah perdikan, baya—pendiri Desa yaitu tanah yang Mangir. merdeka dan tidak Selanjutnya Raden tunduk pada kerajaan Wanabaya berpergian manapun. “Wilayah ke barat. Perjalanan Mangir sudah ada jauh berakhir setibanya di sebelum Mataram ada,” Mangir, yang berada di tepi Subakri menambahkan. Dia Sungai Progo. Dalam tulisan menganggap jika dulu Mataram • Subakri Muhidin, digambarkan bahwa tidak melakukan siasat seperti daMangir dikelilingi oleh sungai. “Dilam cerita, Mataram tidak akan pernah bentengi sungai Bedok yang berwarna bisa mengalahkan Mangir. coklat di timur dan sungai Progo berarus kuat di barat. Pohon-pohon Tentang Mangir Sejarah Mangir dan Mata- randu yang berdiri kukuh,” catatnya. Kemudian Raden Wanabaya ram lahir setelah Kerajaan Majapa- membuka sebuah pedukuhan yang hit runtuh, sebagian keluarga raja terkenal sampai desa sekitar. Banyak membelot dan sebagian lainnya
masyarakat sepanjang Sungai Progo berdatangan, sekitar 1000 orang menetap dan mengabdi di Mangir. Berdirinya desa tersebut ditetapkan dengan status desa perdikan. “Desa itu merupakan desa perdikan, artinya mengatur sendiri,” tutur KRT Jatiningrat. Lama setelah pedukuhan berdiri, barulah Ki Ageng Wanabaya dikenal dengan nama Ki Ageng Mangir. Kemudian dia mempunyai anak, yang nantinya juga disebut Ki Ageng Mangir. Begitu pula keturunan selanjutnya pun mempunyai panggilan serupa. Untuk mempermudah, perlu adanya pembeda dalam penyebutan, seperti Ki Ageng Mangir I, Ki Ageng Mangir II, Ki Ageng Mangir III. Adalah Ki Ageng Mangir III yang nantinya berhubugan langsung dengan Raja Mataram. Sekian lama memimpin, Ki Ageng Mangir I ingin mendalami ilmu keagamaan. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan Islam pada masa itu. Dalam penelitian Purwadi, dijelaskan bahwa Ki Ageng Mangir berguru pada Sunan Kalijaga. Dia mendapat nasihat agar tidak mengharap kekuasaan dan kerajaan, serta pemahaman mengenai ilmu agama yaitu: syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Ilmu tersebut yang selalu diikuti dan ditaati olehnya. Selain itu, diceritakan juga Ki Ageng Mangir I memiliki sebuah pisau yang berasal dari tetes maninya. Suatu hari dalam sebuah hajatan di Desa Mangir, seorang wanita bernama Jlegog mencari pisau untuk memotong bahan-bahan yang akan dipersiapkan saat acara. Jlegog melihat Ki ageng Mangir I membawa sebilah pisau, dan memohon untuk dipinjamnya. Pisau tersebut dipinjamkan kepadanya dengan syarat agar tidak diletakkan di sembarang tempat. Lupa akan pesan yang diterima, Jlegog menaruh pisau tersebut di lantai, dan tak sengaja didudukinya.
Faluthi/Keadilan • KRT Jatiningrat ketika membahas arsip-arsip Keraton Yogyakarta terdahulu tentang Mangir dan Baru Klinting (1/7/15)
Pisau itu hilang, tak lama kemudian dia hamil. Dari kehamilannya, lahir seekor ular besar yang dapat berbicara bernama Baru Klinting. Hewan tersebut menanyakan siapa ayahnya. Jlegog menyuruh untuk menemui Ki Ageng Mangir I. Setelah bertemu, binatang itu meminta agar Ki Ageng Mangir I mengakui sebagai anak. Hal ini disetujui, bila ular tersebut berhasil mengelilingi Gunung Merbabu menggunakan tubuhnya. Ketika kurang sejengkal, ia menjulurkan lidahnya dan saat itu juga lidah tersebut dipotong oleh Ki Ageng Mangir I yang berakibat matinya si ular. Lidah ular itulah yang menjadi Tombak Baru Klinting milik Ki Ageng Mangir I sampai diwariskan pada Ki Ageng Mangir III, yang menjadi tokoh pembalelo dalam Babad Mangir. Selain terdapat dalam kisah babad, ia juga memiliki cerita lain di balik terbentuknya mitos Rawa Pening di Ambarawa. Mataram merupakan tanah pemberian dari Sultan Hadiwijoyo atau Raja Pajang sebagai bentuk hadiah kepada Senapati. Saat itu juga Senapati menjadi penguasa Mataram yang baru saja berdiri dan membangun kekuatan dengan mengumpulkan kekuatan dari sekililing daerahnya. Panembahan Senapati adalah peletak dinasti Mataram. Dia ingin semua padukuhan dan tanah
perdikan tunduk di bawahnya, tanpa ada yang boleh melawan. Kala itu Mangir merupakan sebuah wilayah perdikan dan tidak ingin tunduk. Karena Ki Ageng Mangir III yakin bahwa wilayahnya merdeka, sehingga tidak harus tunduk pada siapapun. Keyakinan bahwa mereka merdeka dan tidak harus tunduk padanya. Hal inilah yang membuat Mangir dianggap pembangkang oleh Senapati. Saat melakukan penundukan, Mataram memiliki Ki Juru Mertani sebagai penasehat kerajaan. Dia memberitahukan agar Senapati tidak bertindak gegabah, karena Mangir mempunyai Baru Klinting yang terkenal akan kesaktiannya. Kemudian Juru Mertani membuat suatu siasat untuk menjatuhkan Mangir. Ki Juru Mertani memberitahukan siasatnya kepada Senapati dengan melibatkan Pembayun— anak Senapati—untuk menyamar sebagai penari. Penyamaran ini dilakukan oleh para tokoh Mataram, yang menjadi kelompok seniman keliling. Berpapasan dengan waktu merti dusun—bersih desa, banyak desa yang mulai melakukan perayaan. Mendengar ketenaran rombongan Pembayun, Ki Ageng Mangir III mengundang mereka untuk manggung saat perayaan di Desa Mangir. Hingga akhirnya membuat pemimpin Mangir tersebut jatuh hati dan menikahinya.
Keadilan Edisi XXXX/2016
57
pemberontak, namun dia masih diakui sebagai keluarga. “Itu dengan makam yang terpampang di sana itu, ini artinya dia walau musuh, bagaimanpun sudah menjadi menantu,” jelas Jatiningrat.
Sesaat setelah pernikahan, Pembayun mengakui jati dirinya adalah anak Senapati dan ingin Ki suaminya sowan—datang—menghadap ayahnya. Karena sudah menjadi menantu dari Senapati, secara tak langsung wilayah Mangir menjadi bagian dari Mataram. Pada awalnya Ki Ageng Mangir tidak ingin menghadap Senapati, namun seiring bujuk Pembayun akhirnya dia mengalah. Saat menghadap Senapati, Ki Ageng Mangir III tidak membawa prajurit termasuk Baru Klinting yang dilepas depan pintu masuk. Awal melihat, Senapati langsung bisa menerima statusnya, dan lupa bahwa menantunya adalah duri yang akan mengganggu kekuasaan Mataram. Ingatan tersebut muncul setelah Ki Ageng Mangir III sujud di hadapan Senapati. Seketika itu pula kemarahannya memuncak, dan membenturkan kepala menantunya ke tempat duduk Senapati hingga tewas. Jasad Ki Ageng Mangir III dikebumikan di Kota Gede, dengan makam separuh berada dalam lingkup pemakaman raja dan separuhnya lagi berada di luar. Meski dianggap
Faluthi/Keadilan
58
Sebuah Cerita dan Tafsir Babad Mangir dituliskan dalam Bahasa Jawa berdasarkan tembang yang telah diterjemahkan. Dalam Kesusastraan Jawa, babad sering dibuat dengan pengaruh politik saat itu. Di awal buku Drama Mangir dikatakan, cerita yang dituliskan dalam Babad Mangir sudah terlampau jauh sekitar 150 sampai 200 tahun setelah peristiwa terjadi. Akhirnya melahirkan cerita-cerita lisan dari berbagai versi, entah versi keraton atau versi lain. Kami berkunjung ke rumah Djoko Suryo, untuk menanyakan perihal kisah Mangir. Beliau adalah Guru Besar Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada. Obrolan dibuka dengan menceritakan apa yang sudah kami dapat tentang cerita Mangir. Kala itu perbincangan lebih difokuskan beberapa versi dalam kisah Mangir. Dia menjelaskan bahwa orang desa begitu saja mengikuti serta mempercayai cerita yang ada, karena sudah lampaunya peristiwa tersebut. “Sudah lampau itu tidak bisa diamati lagi, sehingga kadang-kadang orang percaya, apa yang ditulis itu dari kumpulan cerita-cerita orang,” imbuhnya. Djoko berpendapat bahwa saat penulisan dilakukan, cukup sulit untuk menemukan penggambaran peristiwa yang sebenarnya. Itulah yang menjadi kelemahan dari sumber babad dengan perbedaan waktu yang terpaut jauh. Keadaan politik serta kebiasaan masyarakat Jawa yang terlalu berhati-hati dalam menuliskan kisah raja atau penguasa, menyebabkan para pujangga saat itu terpaksa • Djoko Suryo, menjelaskan mengenai penafsiran secara kritis terhadap suatu cerita di rumah (27/6/15)
Keadilan Edisi XXXX/2016
menuliskannya dalam bentuk sanepa— kias. Dia menambahkan, “Nah, babad itu sendiri yang tertulis berdasarkan kumpulan dari cerita-cerita lisan yang zaman dulu cerita-cerita historis, kemudian di teruskan, kemudian disebarkan melalui lisan, akibatnya memang bisa berubah, berubah menurut si penceritanya.” Babad Mangir yang bersumber dari tembang-tembang, sudah tidak dapat menggambarkan kejadian sebenarnya. Pelacakan melalui tembang tidak bisa dilakukan, karena pembuat tembang sendiri tidak menuliskan namanya. Namun, beberapa tembang masih dapat ditemukan sandi asma, biasanya terdapat di awalan tembang. Jika terdapat sandi asma, cerita tersebut masih dapat dilacak kebenarannya. Bila ada tembang yang tidak diketahui penciptanya, secara tak langsung menjadi milik keraton atau penguasa saat itu. Djoko juga menjelaskan bahwa sebenarnya masyarakat bisa kritis dan skeptis dalam memahami arti historis suatu informasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu saat menafsirkan. Mengenai pengaruh besar penguasa terhadap para pujangga, Jatiningrat mengatakan, “Walaupun yang bikin ada senimannya tapi dia tidak mau menyebutkan, jadi dibuat pada pemerintahan sultan yang ada, itu tradisi Jogja.” Terhadap cerita Mangir yang ditulis Pramoedya, kami bertemu Muhidin di Radiobuku. Dia menjelaskan kenapa Pramoedya menuliskan dalam versi yang berbeda, “Bukunya Pram memang selalu mengambil dari babad. Tapi kemudian dia tafsir, karena tugas sastrawan adalah menafsir data”. Dalam menafsirkan sebuah babad akan ditemukan sanepa. Menjadi teka-teki dua muka ketika ditafsirkan. Bisa menghasilkan kebenaran saat penafsiran dilakukan dengan baik, begitu juga sebaliknya, akan menjadi bias apabila terjadi kesalahan
Faluthi/Keadilan • Muhidin M Dahlan bercerita ketika datang ke Mangir dan membahas penafsiran Drama Mangir karya Pramoedya di Radiobuku (26/6/15)
dalam menafsirkan. Sudah menjadi kebiasaan dalam penulisan Jawa sejak masa Airlangga, di mana musuh atau orang yang tidak disukai raja selalu digambarkan bukan sebagai manusia. Dalam Babad Mangir, dikisahkan Baru Klinting sebagai seekor ular yang dapat berbicara. Ini merupakan salah satu bentuk sanepa yang perlu ditafsir dan dikritisi. Dalam buku Drama Mangir, Pramoedya tidak menuliskan Baru Klinting sebagai sebuah senjata, melainkan sebagai manusia seutuhnya. Dia merupakan saudara sekaligus komandan perang Ki Ageng Mangir III. “... Panglima perang, jadi Mangir Wa-nabaya ini bisa berjaya karena punya panglima Baru Klinting,” pungkas Muhidin. Sedangkan Djoko menjelaskan bahwa Baru Klinting mempunyai nama lain, Baru Kuping. Dia juga menafsirkan bahwa sebutan ini bermakna lidah dan telinga seseorang sebagai sarana untuk mengangkat derajat. Dengan perkataan yang bijaksana dan pendengaran yang tajam terhadap lingkungannya. Baru Kuping merupakan simbol dari pengolahan jasmani, yang berarti hakikat dari ngudi kawruh—mencari ilmu—spiritual dan raga yang berasal dari bimbingan wali.
Dia juga mengartikan hal itu sebagai dakwah, karena Ki Ageng Mangir I merupakan murid Sunan Kalijaga. Memaknai Baru Klinting sebagai lambang, yang kemudian diwariskan pada keturunannya. Lambang dalam berdakwah, ditandai dengan penafsiran terhadap lidah berupa lisan yang berwujud ajaran-ajaran yang disampaikan kepada masyarakat. Sedangkan pendengaran masyarakat mewujudkan interpretasi dari makna lambang kuping. Kritis Terhadap Sebuah Cerita Pertentangan dalam Cerita Mangir adalah logika yang wajar. Karena ketiganya—Ki Ageng Mangir I, II, dan III—sudah lama menduduki dan memimpin tanah Mangir. Sementara Senapati merupakan orang baru yang ingin menguasai wilayah Mangir. Djoko menganalogikan, “Seperti Anda, penduduk di situ. Kok ada orang baru datang untuk mengakui ‘saya’ itu raja, lah saudara itu siapa? Datangdatang kok saya disuruh ngakui begitu saja.” Dengan adanya penolakan, maka dibutuhkan suatu siasat untuk bisa menundukan Mangir. Siasat dilakukan dengan cara halus, yaitu komunikasi. “Mungkin waktu pertama Pembayun itu dipilih seba-
gai diplomasi, sekarang juga sama, kan negara ada diplomasi seperti kebudayaan. Itu semua kan seperti kepercayaan politis, ada deal-deal lebih dahulu,” papar Djoko. Dari versi babad, terdapat pesan tersirat untuk tidak melawan penguasa. Namun cerita ini juga memberikan nilai yang dapat dipetik, di mana politik itu memiliki berbagai strategi. Salah satunya menggunakan langkah budaya untuk berkomunikasi tanpa melalui tindakan represif. Sampai saat ini masyarakat Mangir tidak menganggap Ki Ageng Mangir III sebagai pembangkang, melainkan pahlawan yang menjadi simbol kemandirian desa. Karena menurut mereka, dia mempertahankan tanah perdikan yang dibangun oleh leluhurnya. Kemerdekaan Desa Mangir dapat menjadi contoh desa lain agar mandiri, baik secara ekonomi, politik, ataupun kebudayaan. Perbandingan politik zaman dulu dengan zaman sekarang tidak berbeda jauh. Kearifan dalam memimpin dapat diperoleh dengan mempelajari sejarah yang sebenarnya. “Gimana kearifannya dulu membangun suatu kekuasaan dalam membangun suatu negara, tapi dengan cara arif yang seperti apa, kita bisa buka dari cerita-cerita,” tambah Djoko.
Reportase bersama: Surayya Azzuhra Sinaga, Ida Elsha Nastiti
Keadilan Edisi XXXX/2016
59
Resensi
Menyangsi Mocking Bird Bagaimana menjelaskan ketidakadilan pada seorang anak berumur tujuh tahun?
Oleh: Mada Pudyatama
R
asisme menjadi bagian penting dari terbentuknya identitas Amerika Serikat. Mungkin inilah narasi besar yang ingin diusung To Kill a Mocking Bird. Sebuah karya kanonik kebanggaan Negeri Paman Sam. To Kill a Mockingbird pertama terbit pada 1960. Kemunculannya mendapatkan sambutan yang pantas untuk diingat dalam sejarah dunia penerbitan. Pada tahun pertama, ia mampu menembus angka 30 juta eksemplar. Disusul kemudian Pulitzer Award tahun 1961, sebuah penghargaan bergengsi dan berskala internasioanal. Ia juga disebut-sebut sebagai novel terlaris sepanjang masa. Film To Kill a Mockingbird (1962) juga sukses mendulang tiga Piala Oscar. Harper Lee mampu mengemas isu rasialisme dengan narasi unik dan menarik. Tentu saja ini tidak lepas dari pemahamannya atas persoalan sekitar. Lee mampu dengan tepat mengambil posisi. Sampai kemudian pada satu kesimpulan, dirinya sadar bahwa satu-satunya jalan keluar rasisme adalah jalur kebudayaan. Itu tertuang pada buku yang termasuk ‘mengubah sebuah sistem’ ini. To Kill a Mockingbird adalah novel klasik dengan hamparan karakter manusia yang kuat, memikat, dan berkaitan dengan utuh antara
60
Keadilan Edisi XXXX/2016
Calpunia, Dill Haris, Tuan dan Boo Radley, Tom Robinson, keluarga Finch; Atticus, Scott, Jem, serta tetangga lainnya. Di antara nama-nama yang disebutkan di atas, Scott Finch yang akan menjadi penunjuk jalan. Melalui sudut pandang pertama gadis cilik inilah, perlahan-lahan kita akan diantar mengenali sebuah kota yang hidup pada masa-masa tergelap Amerika, 1930. Inilah masa-masa sewaktu Great Depression—krisis ekonomi— sedang menjadi momok bagi seluruh masyarakatnya. Di awal kisah, dengan perlahan-lahan maju, pembaca akan terlebih dahulu dipandu untuk mengenali kota Maycomb, Alabama. Tak lupa, Lee juga memberikan sentuhan historis dengan menyuguhkan selukbeluk kota yang dihuni keluarga Finch ini. “Maycomb adalah sebuah kota tua yang kelelahan saat pertama kali aku mengenalnya,” demikianlah Scout menggambarkan Maycomb County. Atticus Finch, ayah Scout dan Jem Finch, berprofesi sebagai seorang pengacara. Bukan kebetulan jika ayah Harper Lee, Amasa Coleman Lee adalah seorang pengacara juga. Sedikit banyak, karakter Atticus yang saat itu sedang membela Tom Robinson—seorang warga kulit hitam—dipengaruhi sosok ayah pe-
ngarangnya. Atticus Finch adalah gambaran ideal seorang ayah. Dia diletakkan sebagai suluh moral bagi anak-anaknya. Penggambaran kepribadiannya berhasil menyelamatkan kemuraman watak dan karakter bangsa Amerika. Dengan melihat Atticus, kita dibimbing memaknai integritas dan dedikasi diri. Lee secara tuntas melukiskannya, “Ia adalah orang yang sama di luar dan di dalam rumah.” Keluarga Finch kehilangan sosok ibu saat Scout Finch masih berusia dua tahun. Karena itu, kegiatan rumah tangga keluarga Atticus dibantu oleh Calpunia. Seorang Afro-Amerika yang dipercaya oleh keluarga Finch tidak hanya untuk diperbantukan mengurusi rumah tangga. Layaknya seorang ibu, dia juga ikut berperan dalam proses pembentukan nilai-nilai di keluarga Finch. Proses peredaman prasangka rasialisme keluarga Finch dibantu dengan kehadiran Calpunia. Plot di awal cenderung lambat. Namun musim panas berarti sukacita bagi anak-anak. Dengan kehadiran Dill, percakapan dan gerak-gerik mereka bertambah meriah sehingga tidak akan bosan. Pembaca kemudian akan digiring untuk merasakan petualangan menakjubkan mereka ketika menyelidiki tetangganya yang misterius, Arthur Boo Radley.
Bagi mereka, menyentuh Radley Place merupakan cara yang seru dalam mengisi liburan musim panas. Namun bukan itu tujuan mereka. Dill—yang memiliki ide ini— bermaksud membuat Boo Radley menampakkan diri dengan cara memancingnya keluar rumah. Mereka begitu terobsesi dengan penampakan tetangganya itu. Boo adalah pemuda yang jarang bersosialisasi. Sejak Jem dan Scout lahir, Boo tidak pernah keluar rumah. Banyak orang bilang dia dikurung oleh ayahnya. Mereka mengenal Boo hanya dari cerita-cerita tetangganya. Rumor yang beredar mengenai dirinya memang begitu menyeramkan. Kelak, Boo memang akan keluar. Namun bukan seperti yang mereka harapkan. Dalam kemisteriusannya, ternyata selama ini Boo sedang ‘bermain-main’ dengan mereka. Secara tak tertebak, ulah tengil mereka dibalas dengan pertolongan. Keusilan mereka dibalas dengan kebaikan-kebaikan mengejutkan. Kebijaksanaan yang tak pernah mereka duga. Kemudian alur dengan ajek mulai memasuki ranah masalah yang lebih serius. Bagaimana dengan prasangka yang sudah melembaga? Ataupun yang sudah terbentuk secara kolektif ? Dalam kasus proses pengadilan Tom Robinson, Harper Lee dengan saksama menjelaskan cara rasisme bekerja dan masuk bangunan formal kenegaraan dengan tetap mudah ‘dikunyah’. Pada 1930, masa segregasi ras sudah sampai tahap kronis. Segala aspek kehidupan dijangkiti cara berpikir yang ‘sakit’. Mulai dari pelayanan publik hinggga fasilitas angkutan umum, dibedakan peruntukkannya berdasar warna kulit.
Perkara hukum apalagi. Bahkan sampai pada titik wacana, vonis terbaik bagi masyarakat kulit hitam adalah tiang gantung. Pada masa seperti ini, bagi seorang pengacara, memilih membela klien seperti Tom Robinson akan dianggap sebagai orang yang cari-cari masalah. Tom jelas merupakan jalan mudah untuk masuk ke ‘jurang’ karir. Kredo kalah sebelum bertanding rasanya sudah terlampau nyata. Hal inilah yang membuat Jem dan Scout turut bertanya-tanya. Namun kemudian Atticus bicara kepada mereka, “Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah
saja dilihatnya. Jem—melalui kegeraman polosnya—melayangkan gugatan kepada sistem peradilan Amerika. “Semua kembali kepada juri, kalau begitu. Juri mestinya disingkirkan saja,” ungkapnya. Kemudian dengan sabar, Atticus mencoba memberi jawaban kepada anaknya, “Kurasa mungkin ada jalan yang lebih baik. Mengubah hukum. Mengubahnya supaya hanya hakim yang punya kekuasaan menetapkan hukuman dalam kasus dengan ancaman hukuman mati.” Ini jelas kritikan Harper Lee untuk sistem peradilan Amerika dalam wacana hukuman mati. Untuk kasus dengan ancaman hukuman mati, nyawa seorang manusia diputuskan oleh 12 warga lainnya. Sementara dalam kasusnya, Tom Robinson didakwa melakukan pemerkosaan dan diancam hukuman mati. Namun tidak ada yang secara langsung melihatnya melakukan pemerkosaan terhadap Mayella Ewell dan keputusan juri inilah yang disesalkan Jem. Dia masih tak bisa memahami mengenai diskriminasi ras yang terjadi. an il d a e Atticus berusaha i/K : Faluth si Oleh menjelaskan, “Satu-satunya tempat Ilustra di mana seseorang semestinya mensebelum memulai. Tetapi kau tetap dapatkan keadilan adalah dalam ruang memulai dan kau merampungkannya, pengadilan. Semakin kau dewasa, kau apapun yang terjadi. Kau jarang me- akan melihat orang kulit putih menipu nang, Nak. Tetapi kadang-kadang kau orang kulit hitam setiap hari dalam bisa menang.” hidupmu.” Tom Robinson pada akhirnya Dia melanjutkan dengan dinyatakan bersalah dan dihukum ma- penegasan, “Tetapi kau akan kuberi ti. Jem dan Scout turut menyaksikan tahu sesuatu dan jangan sampai kau penjatuhan vonis ini dari ‘Balkon Kulit melupakannya—kapanpun seorang Hitam’. Cara demikian membuatnya kulit putih melakukan itu kepada berpikiran seperti berada di ‘kelas dua’ orang kulit hitam, siapapun dia, sedan mereka seolah dapat melihat se- kaya apa pun dia, atau sebaik apapun gala sesuatunya. keluarga asalnya orang kulit putih itu Jem terpukul melihat realita sampah”. Demikianlah Atticus menseperti ini. Dia kaget dan terlihat ke- coba memahamkan dunia kepada sulitan memahami dunia yang baru anaknya.
Keadilan Edisi XXXX/2016
61
Mockingbird adalah sejenis murai. Ia digambarkan melalui perkataan Nyonya Maudie. Kata mockingbird terkait suatu perilaku ‘dosa’. “Kau boleh menembak burung bluejay sebanyak yang kau mau, tetapi ingat, membunuh mockingbird itu dosa,” katanya pada Scout. Dia memberikan alasan bahwa mockingbird menyanyikan musik untuk dinikmati. Mereka tidak memakan tanaman di kebun orang, tidak bersarang di gudang jagung, tidak melakukan apapun, kecuali menyanyi dengan tulus. Membunuh mockingbird berarti membunuh kebenaran. Dalam berbagai kajian karya ini, analogi mockingbird yang dimaksud merujuk pada dua nama, yakni Boo Radley dan Tom Robinson. Mengenai perhubungan di antara analogi itu dengan kedua nama tersebut pembaca sendiri yang akan memahami. Tentang Buku Buku setebal 540 halaman ini adalah cara ‘gurih’ untuk mengenal rasisme. Secara personal, keajekan dan relevansi di tiap bagian karya patut dipuji. Menerjemahkan persoalan berat menjadi hal yang mudah dikunyah bukan persoalan gampang. Dibutuhkan kerja-kerja yang penuh kesabaran dan ketelitian. Dan paling penting, si pengarang harus menguasai cara pandang terhadap dunia menurut Scott Finch, seorang anak berumur tujuh tahun. Khusus untuk edisi terjemahan Qanita (2009), upaya Femmy Syahrani terasa sedikit gagal dalam menghadirkan rasa susastra dalam karyanya. Diksi yang dipilih—untuk sekelas novel klasik kanonik—kurang menunjukkan keahliannya sebagai penerjemah buku sastra. Apa yang dihadirkannya terasa ‘kering’. Bisa jadi karena kurangnya kehadiran penanda (signifie)—dalam bahasa semiotika— kepada pembaca. Melihat signifikansi hari-hari
62
Keadilan Edisi XXXX/2016
ini, isu rasisme masih menjadi salah satu persoalan yang krusial di dunia. Di Amerika sendiri, meskipun system racial segregation sudah lama dihapuskan, namun jejak-jejak ketegangan rasisme masih mudah diendus. Dari bentuknya yang tampak sampai dengan yang sangat ‘sublim’. Penembakan seorang polisi kulit putih terhadap pemuda kulit hitam di Boston pada akhir 2014 dan kasus bocah jenius Ahmed yang diprasangkai gurunya membuat bom. Dua peristiwa viral terakhir tersebut merupakan endapan ketegangan yang akhirnya meledak.
Judul : To Kill a Mockingbird Penulis : Harper Lee Penerjemah: Femmy Syahrani Penerbit : Qanita Cetakan : VII 2009 Tebal Halaman: 540 Hlm Tentu hipokrit jika menolak adanya jejak rasialisme di sejarah Indonesia. Misalnya Yogyakarta, dengan sandangan City of Tolerance pun, kota ini masih menyisakan persoalan rasialisme. Dalam struktur sosial paling bawah, nisbi masih mudah ditemui, jagongan dengan konten stereotip negatif ras yang melekat. Masih berkembang justifikasi moral berdasar ras tertentu. Kita tentu masih mengingat tragedi Seturan pada pertengahan 2013. Konflik antarkelompok dengan selubung rasialisme yang pekat cukup panas diperbincangkan berbagai kalangan. Jejak rasialisme ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi-politik yang membentuknya. Di Yogyakarta, bentuk hukum diskriminatif warisan kolonial nyatanya masih kentara dengan adanya pembatasan perolahan hak atas tanah pada etnis Tionghoa. Sejak Paku Alam VIII pada 1975 menerbitkan
surat instruksi kepada bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi. Dan itu masih dilegalkan sampai sekarang dengan belum dicabutnya Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi. Dengan realitas ini, seolah-olah pemerintah melalui kebijakannya membeda-bedakan satu golongan dengan golongan lainnya, kendati sama-sama warga negara. Diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa menguat sejak zaman Orde Baru. Diskriminasi terlacak dengan penggunaan kata Cina, seperti yang diungkapkan Ignatius Wibowo Wibisono kepada Kompas. Dengan menyebut mereka Cina, seakan-akan memberikan pembedaan bahwa mereka bukan bagian dari bangsa Indonesia. Sebuah Penawaran Jadi, apa sulitnya kita memandang manusia lain sebagai manusia yang utuh? Bukankah kita pun menginginkan mereka memandang kita secara demikian? Rasisme adalah sebentuk prasangka yang mendasarkan kepada ras tertentu. Rasisme tidak mendasarkan pada satu ilmu apapun, serta berlawanan dengan norma-norma etis, perikemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Oleh karenanya, ia adalah sebentuk pukulan mundur bagi peradaban manusia. Sebuah pusaran yang menyeret kita kembali pada masa jahiliah. Dari sinilah, tragedi rasisme yang sifatnya diskriminatif dan menindas akan dapat dipahami. Lalu? Untuk memaprasnya, kita harus sepakat untuk memandangnya sebagai sebuah kebodohan.
Menjaga Kredibilitas dengan Elemen Jurnalisme
Oleh: Dian Rachmaningsih
K
omunikasi merupakan kegiatan paling penting yang dilakukan setiap orang di dunia. Hal pertama yang dikerjakan orang-orang pada saat bertemu biasanya bertukar informasi. Informasi menjadi sebuah kebutuhan primer tiap orang. Ia bisa didapatkan dari berbagai cara, bicara dari mulut ke mulut, melihat kejadiankejadian langsung atau mengalaminya lalu diceritakan, bisa juga dengan membaca sebuah tulisan. Tanpa perputaran komunikasi, tampak hanya orang bisu di dalamnya. Ialah jurnalisme, yang kemudian hadir untuk mengatur pola komunikasi dengan menjadikannya informasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita. Proses pengerjaan sebuah karya, pengumpulan data ataupun informasi, dan dikemas menjadi sebuah berita setelah sebelumnya melewati proses penyuntingan. Dengan jurnalisme, orangorang di dunia dapat terlibat langsung dalam menciptakan kehidupan mereka, baik di bidang ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun politik. Seperti yang disampaikan oleh sejarawan dan sosiolog, Michael Stephens, di salah satu halaman buku Sembilan Elemen
“Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan dunia yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari eksperimen berdisiplin,� Walter Lippmann
Jurnalisme. Jurnalisme sekarang tak lagi hanya bisa diciptakan oleh kaum yang mengerti jurnalistik, yakni media. Di era serba berteknologi ini membuat semua orang melakukan jurnalisme. Namun, intinya bukan pada berita, karena menurut Bill Kovach, jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahulah awal dan dasarnya, karena manusia mempunyai kebutuhan naluriah untuk mengetahui yang terjadi di luar pengalaman langsung diri sendiri. Kovach seperti telah membaca keadaan seperti ini sebelumnya, mewawancarai lebih dari 1000 war-tawan juga dilakukan untuk menunjang analisisnya. Sehingga dia dan temannya berhasil membuat buku pegangan bagi para jurnalis, baik jurnalis pro-fesional maupun citizen journalism, agar mengikuti nilai-nilai yang telah diamini secara universal dalam proses membuat karya jurnalistik. Kovach dan Tom Rosenstiel menyusun sembilan pilar jurnalisme, yang harus diperhitungkan dalam membuat suatu produk karya jurnalistik. Kovach mengalami karir panjang dalam dunia jurnalisme, dia benarbenar meyakini bahwa dirinya adalah wartawan tulen. Generasi pertama yang terlibat melakukan perubahan dalam pemberitaan orang kulit hi-
tam di Amerika. Dia sering disebut wartawan tanpa cacat. Sarjana Biologi ini bersama temannya, Tom Rosenstiel, berhasil merumuskan sebuah buku Elemen-elemen Jurnalisme, sebagai pedoman awal untuk membantu para wartawan menyampaikan jurnalisme dengan memegang prinsip-prinsip pers bebas. Produk jurnalistik adalah karya. Seorang jurnalis menuangkan ide-ide dan membungkusnya menjadi sajian yang tidak hanya dapat dinikmati, namun juga layak dikonsumsi pembacanya. Tentu hal itu bukan perkara yang mudah. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam membuat suatu berita. Tujuan pemberitaan juga harus jelas. Banyak pertanyaan mengenai, bagaimana jika informasi yang disampaikan kepada publik tidak benar? Bisa jadi hanya sekadar gosip, informasi yang tidak lengkap, atau bias? Dalam buku ini, kebenaran adalah prinsip paling utama yang mesti dipenuhi bagi jurnalisme dan harus dijunjung tinggi. Tentang yang terjadi sebenar-benarnya, bukan hanya sekadar akurasi. Pemberitaan tidak timpang, laporan yang adil dan terpercaya merupakan bagiannya. Kebenaran di sini bukan dalam artian yang mutlak dan filosofis. Disampaikan oleh Kovach dan Tom, ke-
Keadilan Edisi XXXX/2016
63
benaran yang harus dicapai oleh tiap banyak faktor: kecepatan pemberitaan, menjadi salah satu sebab kebingungan jurnalis ialah kebenaran fungsional. bisnis, eksistensi perusahaan, dan lain- dalam jurnalisme. Seorang jurnalis bisa mengejar ke- lain. Renungan Kovach dan Tom ini Jika dibandingkan dengan sebenaran jurnalisme dari hari ke hari. semestinya menjadi pembelajaran baik karang, media mana yang masih setia Menyusun fakta, membuat kebenaran, bagi media ataupun wartawan dalam melakukan verifikasi dalam penyajurnalisme dapat mencapainya lewat menyampaikan pemberitaan yang ide- jian berita? Dengan resiko intisari proses waktu. al. berita akan lebih membingungkan Buku berslogan, “What news Menapa sekarang setiap orang dan memakan waktu lama, media people should know and the public should dapat membuat berita dengan mudah mainstream mungkin lebih memilih expect� ini, menempatkan kepada si- dan cepat? Memang saat ini teknologi menghilangkan konsep objektivitas apa loyalitas keberpihakan wartawan mendukung untuk itu. Jika seseo- demi hal-hal yang bagi mereka ledalam mengabarkan berita, pada posisi rang wartawan hanya memberitakan bih bersifat menguntungkan. Seperti kedua prinsip yang harus diketahui secuil kejadian yang terjadi tanpa yang dikatakan salah satu halaman dan dipegang teguh oleh jurnalis. Hal mempedulikan 5W+1H, apakah buku ini, seiring perjalanan waktu, semacam ini sering dipertanyakan. masih bisa disebut berita layak kon- wartawan mulai menolak dengan istiApakah jurnalis menentukan keber- sumsi? Setidaknya beberapa unsur lah objektivitas dan menganggapnya pihakan berdasarkan apa yang mereka tersebut harus dipenuhi, yang dalam sebagai sebuah ilusi. Mungkin kita yakini? Seorang yang bekerja pada satu pemenuhannya juga membutuhkan bisa mengerti apa yang dimaksudkan perusahaan berpihak di mana mereka proses, bukan hanya sekedar me- Walter Lippmann dalam kutipannya bekerja, atau karena alasan bisnis yang ngumpulkan data lapangan. Salah tersebut. menguntungkan? Independen terha Dalam buku dap pihak yang diliJudul :Elemen-Elemen Jurnalisme (Apa yang yang diterbitkan pada Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang put, merupakan poin tahun 2001 ini, banyak keempat dalam buku Diharapkan Publik) menjelaskan kemana ini. Independensi adalah Halaman : 256 halaman seharusnya arah kebersolusi untuk bias, mePenulis : Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pihakan seorang warngemas semuanya agar Penerjemah : Yusi A. Pareanom tawan. Dan yang dimenjadi lebih objektif, Penerbit : Institut Studi Arus Informasi sampaikan buku ini seperti yang disampaikan Cetakan : Kedua, Agustus 2004 sampai sekarang masih dalam paragraf sebelumdiyakini oleh wartawannya, yakni verifikasi. Inwartawan seluruh du-nia sebagai satu bagian terpenting buku ini ada- dependensi tidak terbatas pada ideopegangan utama dalam mengabarkan. lah penjelasan Bill Kovach dan Tom logi. Catatan yang harus diingat oleh The Elements Of Journalism, Rosenstiel tentang elemen ketiga, jurnalisme mengenai independensi menurut banyak wartawan adalah esensi dari jurnalisme ialah disiplin adalah semangat dan pikiran, bukan buku yang layak untuk dipelajari bagi dalam melakukan verifikasi. Disiplin netralitas. Karena menjadi netral busiapa saja, bukan hanya teruntuk membuat wartawan mampu untuk kanlah prinsip dasar jurnalisme. orang media, namun masyarakat menyaring gosip, ingatan yang pudar, Seorang jurnalisme juga dabiasa. Sebab, sekarang ini media desas-desus, atau manipulasi. Ele- pat beropini, namun harus cukup pindirasa sudah banyak cacatnya, pem- men inilah yang membedakan anta- tar dan jujur untuk mengenali opini beritaan yang disampaikan tidak da- ra jurnalisme dengan hal lain seperti yang dibuatnya berdasarkan suatu pat dipertanggungjawabkan. Orang- fiksi, seni, maupun hiburan. substansial dari keyakinan pribadi. orang berbondong membuat berita, Sedangkan verifikasi adalah Tetap harus menjaga akurasi dan dakadang hanya berdasarkan sedikit untuk menggodok suatu berita berni- ta-datanya seperti yang dilakukan safakta kemudian diolah menjadi beri- lai objektif. Wartawan atau pembuat at verifikasi. Karena sejatinya yang ta menghebohkan. Kejadian-kejadian berita yang baik, senantiasa melakukan membedakan wartawan dengan juru biasa dikemas berlebihan dengan em- verifikasi untuk menghasilkan beri- propaganda hanya pada kesetiaannya bel-embel judul yang kadang sama ta bernilai objektif. Namun, untuk dalam menyajikan kebenaran. Siapa sekali tidak sesuai dengan beritanya. memperoleh keobjektifan bukan- saja bisa menjadi wartawan, namun Mengyampingkan hal-hal yang seha- lah hal yang mudah, apalagi disiplin tidak semuanya sungguh-sungguh rusnya diperhatikan. Mungkin karena verifikasi sangat bersikap pribadi, itu wartawan.
64
Keadilan Edisi XXXX/2016
ilustrasi oleh: Faluthi/Keadilan
Elemen jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Penulis buku menyebutnya sebagai prinsip ‘anjing penjaga’. Orang yang menyebut dirinya jurnalis senantiasa disebut sebagai ‘anjing penjaga’, karena setia memantau perkembangan tiap kasta yang ada dan jika menemukan masalah di kasta yang lebih tinggi, mereka bersiap untuk ‘menyusahkan orang yang senang’. Tujuannya ingin menciptakan keadilan, bebas dari kekuasaan pihakpihak tertentu. Namun sekarang, apakah masih dapat kita lihat peran ‘anjing penjaga’ di sekitar kita? Dewasa ini peran si ‘anjing penjaga’ dalam jurnalisme kerap kali menjadi bias. Berlaga menjadi pemantau independen
terhadap kekuasaan, namun nyatanya lebih menyajikan sensasi ketimbang pelayanan publik. Peran si ‘anjing penjaga’ melemah, dikarenakan menurunnya bobot investigasi yang dilakukan para wartawan. Penyaji jurnalistik bukan hanya menyuguhkan berita yang baik kepada publik, dengan melewati proses penggodokan seperti dijelaskan pada lima poin di atas. Dalam butir keenam buku ini menyatakan bahwa jurnalisme itu tercipta sebagai forum publik. Ketika suara mereka sudah menyatu, publik membangun komunitas dan menyalurkannya dalam ranah jurnalistik. Di sinilah terbentuk proses demokrasi. Tugas seorang penyaji berita bukan hanya sekadar menyuguhkan kebenaran berita dan menjalankan
verifikasi. Namun berita menarik dan relevan juga merupakan bagian dari elemen juranalistik. Kovach dan Tom menyatakan bahwa salah satu tugas wartawan adalah menemukan cara mengolah cerita menjadi suatu yang menarik dikonsumsi, memberi sentuhan pada tiap tulisan namun relevan. Karena jurnalisme dibutuhkan untuk membantu orang-orang memahami dunia dengan informasi. Dua terakhir dari elemenelemen jurnalisme yang dipaparkan dalam buku terbitan 2001 ini yaitu, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Tampaknya hal ini tidak diindahkan oleh jurnalisme era sekarang, terlihat dari metode dalam penyampaian berita. Terkesan buru-buru menyimpulkan suatu kabar berita, memberitakannya dengan kemasan sensasional yang biasanya terlihat pada lead maupun judul, membuat orang sangat penasaran dan menduga-duga, namun kerap kali kecewa setelah membaca isi berita yang timpang. Apalagi kini berita-berita seperti itu dikemas lewat media online dengan isi tulisan di bagi menjadi empat atau lebih laman, sehingga pembaca harus mengklik laman-la-man selanjutnya untuk mengetahui keseluruhan berita yang notabenenya tidak memenuhi unsur penulisan yang baik dan benar. Kovach dan Tom mengambil contoh yang menarik. Pemberitaan yang sensasional diibaratkan seseorang ingin menarik perhatian para pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melucuti pakaian dan telanjang. Fokusnya adalah menarik para pembaca lewat kesan pertama, sensasional. Bahwa jurnalis sekarang hanya mengejar sesuatu yang lebih menguntungkan ketimbang mempertahankan esensi dari jurnalisme sendiri. Satu lagi bagian paling penting, mungkin bagi penggiat jurnalistik per-nah menonton film
Keadilan Edisi XXXX/2016
65
The Bang-Bang Club. Masalah utama dalam kisah ini ada-lah Kevin Carter, seorang fotografer perang saudara yang diceritakan tewas bunuh diri karena hasil karyanya sendiri. Bukan karena karyanya bu-ruk, pemenang pulitzer tidak akan melakukan itu. Sebuah foto gadis Sudan kelaparan akibat korban perang saudara sedang meringkuk di dataran kering dan diincar burung bangkai, membuat kontroversi terhadap foto dan sang fotografer tersebut. Hanya karena pertanyaan ‘Bagaimana nasib anak itu?’ membuatnya mengakhiri hidup. Sebab sang fotografer tidak pe-duli kelanjutan kisah anak kelaparan dan si burung gagak. Mendengarkan hati nurani adalah sesuatu yang penting. Pertentangan batin bukan hal yang mudah diselesaikan. Sebagus apapun berita, jika penyajiannya tidak dipertimbangkan dengan etika dan tanggung jawab sosial, niscaya berita itu tak bernilai. Penting untuk menjadi
seorang wartawan profesional, menyajikan berita dengan dikemas dan dibungkus menarik, memiliki nilai jual. Tapi hendaknya pikirkan ulang untuk meliput, jika calon berita yang akan diliput mencuatkan pertentangan batin. Pertimbangkan, kepentingan siapa yang patut didahulukan. Bukan buku yang remehtemeh. Setiap kalimat yang dituliskan sudah dipertimbangkan dengan baik oleh penulisnya. Data-data yang diolah bukan hanya berangkat pada pengalaman pribadi, pemikiran sendiri, namun sudah diuji secara universal. Dan buku inilah hasilnya. Sangat praktis jika buku ini dijadikan pedoman bagi pembaca untuk mencoba membuat produk jurnalistik. Ingat! Era sekarang wartawan bukan hanya yang mengerti dan berkecimpung di dunia jurnalistik. Orang awam bisa saja menjadi citizen journalism, asal mempertimbangkan seluruh poin yang dijelaskan oleh penulis buku.
Poin-poin di atas bukan urutan yang hierarki, butir-butirnya disusun sedemikian rupa agar dapat diterapkan secara sistematis, bobot di antara kesembilan elemen semuanya sama, memiliki nilai yang penting. Bukanlah hasil tulisan yang terpenting, namun tujuannya, yakni meningkatkan mutu jurnalisme. Sayangnya buku yang saya ulas ini, hanyalah hasil saduran dari karya aslinya dan diterjemahkan dengan Bahasa Indonesia, membuat kurangnya nilai buku. Sebab, penerjemahan seseorang belum tentu bisa menggambarkan makna sebenarnya yang dimaksudkan penulis. Begitu terlihat dalam penuturan kata yang coba diterjemahkan, terkesan wagu sehingga orang susah untuk merangkai makna.
Ya, Allah Lindungilah anak cucuku, Lindungilah mereka dari berhala janji-janji, dari hiburan yang dikeramatkan, dari iklan yang dimythoskan, dan dari sikap mata gelap, yang diserap tulang kosong. “Doa Untuk Anak Cucu� - WS. Rendra IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM KEADILAN
Mimbar
Idealisme Tumpul Mahasiswa kerap menobatkan dirinya sebagai agen perubahan. Namun seiring perkembangannya, pemaknaannya bergeser. Lalu perubahan macam apa yang dihasilkan dengan pengertian yang tidak terletak pada tempatnya?
Oleh: Moh. Zein Rahmatullah*
K
urang lebih pukul dua siang, matahari terik sekali. Kaca-kaca mobil terlihat menyala. Hiruk pikuk kendaraan memadati jalanan yang menghubungkan empat arah. Orang-orang akrab menyapanya perempatan. Tepat di tengah perempatan itu, ada sekawanan anak-anak muda, sepertinya mahasiswa, yang sedang duduk melingkar. Jumlahnya kurang lebih 16 orang. Mereka tampak seperti merencanakan sesuatu. Terlihat satu orang yang sepertinya ketua dari kerumunan itu sedari awal berbicara, seperti memberi instruksi terhadap lainnya. Beberapa orang menyimak. Namun ada pula yang sekadar mengangguk bahkan sibuk memperhatikan lalu lalang kendaraan. Tak lama, satu persatu di antara mereka mulai berdiri. Membikin barisan sejajar menghadap jalan. Wajah mereka berlawanan dengan arah kendaraan. Kemudian salah satu dari antara mereka, seorang pria memakai kaos berwarna putih dan jaket jeans, maju menghadap barisan dan membelakangi jalan. Dia membawa pengeras suara. Tanpa aba-aba, dia mulai berorasi. Dalam orasinya, dia menuntut agar segala ketidakadilan terhadap korban asap di kawasan Sumatera dan Kalimantan segera diatasi. Di tengah-tengah orasinya, yang lain dengan kompak bersahutan, “Merdeka! Merdeka!� Selesainya mereka berdemonstrasi, mereka menuju ke ka-wasan parkir. Mereka berjalan secara berbaris. Di tengah-tengah langkah mereka, mereka menyanyikan yel-
yel yang terdengar seperti sebuah kemarahan akibat lambatnya penanganan pemerin-tah. Dari contoh peristiwa tersebut dan aktivitas mahasiswa serupa lainnya, kita seperti diyakinkan bahwa hal-hal itu seolah menjadi kerjaan sambilan mahasiswa. Terlepas dari perspektif mana yang digunakan, kegiatan sampingan itu kadang hanya menjadi rutinitas untuk ‘membunuh’ waktu semata. Mencari-cari kelemahan birokrasi untuk menjadi bahan dalam demonstrasi—misalnya. Sebab Ilustrasi oleh: Ina/Keadilan dengan pola pikir semacam itu, pertanyaannya, pantaskah mahasiswa masih disebut agent of change? Sampai hari ini, kita masih mendengar gaung agent of change. Di kampus manapun, tampaknya memang jargon itulah yang dilantangkan. Terlepas dari pemaknaannya, agent of change seperti menjadi label yang melekat dalam diri mahasiswa. Meskipun tidak ada hitam di atas putih. Menjadi hal yang lumrah ketika tidak adanya aturan mengenai arah gerak agent of change, seringkali berdampak pada pemaknaan yang berbeda di masing-masing kepala. Tak masalah. Apapun bentuk kemasan kalimat untuk mengurai definisinya, yang paling vital dan perlu dipahami ialah perkara pengabdian. Mengabdi sepenuh hati untuk membawa perubahan. Itulah titik tekan sebagai seorang agen perubahan. Semenjak reformasi mulai bernyawa, masyarakat bisa bernafas lega. Demokrasi telah terbuka. Terkhusus mahasiswa, dengan sangat mudah menggencarkan advokasi
Keadilan Edisi XXXX/2016
67
Vonis
untuk menyuarakan kesejahteraan masyarakat bawah atau mengkritisi kebijakan pemerintah melalui diskusi kecil. Dengan minimnya pengekangan, membikin mahasiswa—yang akrab disebut aktivis—ini leluasa mengadakan sesuatu. Terlepas dari apapun yang diagendakan, substansinya sering tergadaikan. Ironisnya, mereka meyakini dirinya adalah kunci perubahan. Aktivis mahasiswa ini sering bersinggungan dengan situasi di mana mereka harus terus membangun agenda demi menjaga eksistensi mereka. Karena tanpa eksistensi, agaknya hampir mustahil tujuan mereka tercapai. Khawatirnya tujuan tersebut hanyalah jadi penghias dalam proposal semata. Pernah suatu waktu terdengar sebuah selentingan. Mahasiswa pada zaman sekarang ini, menceburkan diri dalam kesibukan organisasi hanya demi mendapatkan curriculum vitae. Agaknya, tidak salah juga jika para aktivis mahasiswa seperti ini hanya terpaku pada program kerja saja. Selain program kerja, mereka mungkin akan mudah mengatakan “bukan kerjaan saya”, atau “itu di luar kewenangan saya”. Akibatnya, mereka sering menghasilkan sesuatu yang monoton. Mahasiswa sekarang ini terkesan tidak memiliki bargaining position dibandingkan dengan mahasiswa seperti yang pernah dituliskan di buku-buku. Salah satunya seperti
Api Putih di Kampus Hijau. Karena masing-masing zaman yang berbeda, berdampak pada pola pikir mahasiswa yang berbeda pula. Namun satu sisi, ada benarnya juga. Kegiatan para aktivis mahasiswa ini jarang sekali yang benar-benar menampol birokrat kekuasaan. Jangankan menampol, mau menyentuh saja mungkin setengah mati. Jika memang benar zaman telah berbeda, maka mesti ada langkah inovatif yang berbeda juga. Apabila musuh dari masing-masing waktu berbeda, senjata yang digunakan harus mampu menyesuaikan. Perlu jadi pembahasan ulang mengenai kesibukan aktivis mahasiswa. Karena jangan sampai timbul pemikiran, ‘yang penting ada kegiatan’. Padahal jerih payah dalam mencanangkan agenda tidaklah remeh. Harus menjadi renungan bersama. Beban sebagai aktivis mahasiswa pun tidak enteng. Satu-satunya kekayaan yang mahasiswa—aktivis mahasiswa—punya tinggal idealisme. Aktivis mahasiswa tidak memiliki banyak pilihan. Pilihan yang dihadapi hanya tinggal berjuang atau tidak. Dan berakibat fatal jika salah menentukan. *Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Keadilan Periode 2015-2016
TVRI ra payu? Kemenkominfo berat sebelah. Tontonan sekarang banyak yang mendidik Wong ngejar rating tok! Sing penting laris!
enggak
Penggunaan Cantrang untuk penangkapan ikan dilarang? Sekarang nelayan kelimpungan, ‘susah’ buat ganti alat. KKN itu untuk mengabdi ya? Iya, pengabdian yang dibatasi. Sekarang perampasan buku lagi marak Ya, kan mencegah komunisme. Jumlah pelaku kekerasan seksual meningkat eeee... kurang edukasi moral, mungkin.
68
Keadilan Edisi XXXX/2016
(Yog)jakarta banyak hotelnya ya, mall-nya juga melimpah Kan investasi kaum borjuis. Ehh… kampus kita juga bangun, lho. Kasus pemberedelan Persma muncul lagi Orde baru bangkit lagi, Bung!