Keadilan Post Edisi Februari 2021
Informatif, Komunikatif, Aspiratif
Rimbanya Perdagangan Satwa Ilegal
DARI KAMI Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah Swt serta selawat dan salam tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw atas terbitnya Keadilan Post Edisi Pandemi 2021. Produk ini merupakan salah satu bentuk bakti kami dalam menyajikan media yang informatif, komunikatif, dan aspiratif. Tak lupa pula kami haturkan terima kasih kepada seluruh narasumber dan segenap rekan LPM Keadilan yang telah meluangkan waktu serta pikiran dalam berkontribusi selama penggarapan, penyusunan, hingga terbitnya Keadilan Post ini. LPM Keadilan selalu membuka peluang kepada para pembaca umum, mahasiswa, maupun dosen untuk mengirimkan karyanya berupa Surat Pembaca, Opini, Artikel, Cerita Pendek, atau Puisi kepada kami yang dapat berupa permasalahan di lingkup Universitas Islam Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga nasional. Kami juga mengajak para pembaca untuk mengunjungi situs kami di lpmkeadilan.org. Melalui lpmkeadilan.org kami secara rutin membagikan berita, tulisan, dan karya kami. Tak lupa, kami atas nama LPM Keadilan memohon maaf sebesar-besarnya apabila ada kekeliruan dan kekurangan dalam terbitan ini. Kami sangat terbuka untuk membenahinya, sehingga kami membuka ruang kritik dan saran sebagai bahan koreksi untuk terbitan berikutnya. Terima kasih, Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
EDITORIAL Perdagangan satwa liar yang dilindungi secara ilegal sudah menjadi rahasia umum pada beberapa kalangan tertentu. Maraknya perilaku tersebut menyebabkan beberapa satwa endemis dan eksotis semakin menurun jumlahnya di alam liar. Selain itu, jual-beli terhadap satwa liar juga menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, sebagaimana pernyataan Kusmardiastuti selaku Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Kota Yogyakarta. Berlatarbelakang hal tersebut, pada tahun 1990, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (disingkat UU KSDAHE) sebagai upaya lebih lanjut terhadap pengurangan tindak perdagangan satwa liar yang dilindungi secara ilegal. Meskipun kegiatan jual-beli tersebut sudah secara implisit dilarang oleh UU, perdagangan satwa liar yang dilindungi tetap saja digemari dalam dunia ‘pasar gelap’. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang pesat, praktik tersebut sudah semakin bebas pelaksanaannya melalui media internet. Menurut penelusuran kami, transaksi tersebut pada awalnya dilakukan melalui laman web. Kemudian, kini telah merambah ke sosial media sebagai perantara yang lebih privat. Kepemilikan serta jual-beli satwa liar ini langgeng dilakukan. Selain omset tersebut menjanjikan, juga adanya prestige antar pemilik yang dinilai mampu menaikkan strata sosial. Banyak penyebab mengapa praktik tersebut langgeng terjadi. Mulai dari mudahnya pembukaan hutan yang semakin mempermudah akses perburuan hingga lemahnya penegakan hukum di daerah satwa-satwa tersebut berada. Praktik ini juga selalu mengalami perkembangan modus yang belum diatur dalam UU KSDAHE. Contoh modus tersebut salah satunya adalah perdagangan secara online atau secara transnasional yang terorganisir. Beruntung, untuk menanggulangi hal tersebut, telah dibuat suatu balai konservasi agar memberikan langkah preventif terkait perburuan liar dan transaksi satwa liar yang dilindungi dalam pasar-pasar hewan secara terbuka. Memang benar bahwa para penegak hukum sudah melakukan kewenangan sesuai UU KSDAHE. Namun, masih saja terdapat celah-celah yang timbul dalam penegakan hukum tersebut, sehingga penekanan terhadap kasus belum terjadi secara maksimal. Penelusuran kami terhadap kasus ini yaitu penegakan hukum yang lemah salah satunya tercermin dari putusan hakim yang jauh di bawah pidana maksimal. Melihat dari berbagai fakta tersebut, maka peran pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan. Perlu diadakan pula pembaharuan hukum terkait UU KSDAHE, mengingat kemajuan teknologi yang semakin masif. Kemudian, perlu juga ada kontrol sosial dari masyarakat dalam mengawasi adanya praktik-praktik perdagangan satwa dilindungi agar menciptakan penegakan hukum yang lebih maksimal. Tidak memakai produk-produk yang menggunakan bagian tubuh hewan juga dapat menjadi salah satu langkah untuk menekan perburuan liar hewan dilindungi. Sebab, perlu dipahami kembali bahwa keseimbangan ekosistem juga berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Apabila salah satu komponen rantai makanan terganggu berarti juga akan merubah keseluruhannya. Memang perlu usaha panjang untuk menekan serta menghapus praktik pidana berupa transaksi hewan liar dilindungi yang telah mengakar selama bertahun-tahun. Toh, selagi masih bisa berharap dan berusaha, mengapa tidak?
2
Keadilan Post Edisi Februari 2021
FOKUS UTAMA
Suburnya Perdagangan Satwa yang Dilindungi
Erlang/Keadilan
Meski dilarang oleh UU KSDAHE, perdagangan satwa tetap menjadi primadona dalam dunia ‘pasar gelap’. Selain karena nilainya menjanjikan, satwa yang dilindungi juga banyak dicari karena dinilai mampu meningkatkan strata sosial pemiliknya. Namun di balik hingarbingar perdagangan satwa, kelangsungan hidup sang spesies sendiri semakin terancam. oleh: Vania Lutfi Safira Erlangga
Perburuan dan perdagangan satwa dilindungi merupakan praktik yang dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Perilaku tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (2) yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk, “menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut,
dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.” Pengaturan tentang jenis-jenis hewan yang dilindungi dapat dilihat lebih lanjut dalam Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor B.20/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jenis satwa seperti bekantan, badak jawa, pesut mahakam
dan beragam jenis lainnya tercantum dalam Permen tersebut sebagai satwa yang dilindungi. Dilansir dari laman web milik kementrian lingkungan hidup dan kehutanan , dari satwasatwa yang dilindungi tersebut, beberapa di antaranya semakin berkurang populasinya akibat praktik perburuan dan jual beli ilegal. Saat ini, kasus perniagaan satwa liar ilegal ini merupakan kasus tertinggi kedua yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rustam selaku Dewan Penasihat ProFauna mengatakan bahwa praktik perdagangan satwa sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, praktik jual beli satwa sudah terjadi jauh sebelum organisasi yang bergiat dalam perlindungan hutan dan satwa liar Indonesia itu berdiri pada tahun 1994. Rustam menambahkan bahwa saat itu perdagangan satwa dapat ditemui di pasar-pasar gelap. “Tetap di blackmarket seperti pasar gelap yang ada di Jakarta, namanya Pasar Pramuka,” ujarnya. Penggunaan pasar gelap sebagai media berlangsungnya jual beli hewan juga diakui oleh Ade (nama disamarkan) seorang pedagang satwa yang dilindungi. Menurutnya, para pedagang kerap kali menjajakan dagangannya melalui kios ataupun pasar gelap. “Tapi enggak semua penjual berani untuk mengekspos atau memajang hewannya di kiosnya paling kalau ada ya kayak ada permintaan, paling sesuai permintaan,” tambah Ade. Perkembangan teknologi internet telah menciptakan media baru bagi praktik perdagangan satwa. Ade menambahkan bahwa awalnya terdapat web khusus perdagangan hewan yang ramai digunakan yakni Reptille Egg. Situs tersebut kemudian tutup, sehingga para pedagang mulai memanfaatkan grup-grup lelang di Facebook, yang juga akhirnya menghilang. “Sampai sekarang kita jual belinya paling lewat online di Whatsapp. Terus ada... media sosial yang itu bikinan Rusia namanya
Keadilan Post Edisi Februari 2021
3
MeWe kaya gitu, kita jual belinya di (nama disamarkan), pembeli satwa aktif situ.” sejak tahun 2017. “Kebanyakan sih Demi memperoleh barang tahu dari komunitas di media sosial,” dagangannya, sebagian penjual tuturnya. membawa langsung pesanan pembeli Tio kerap membeli hewan yang dari hutan di mana satwa liar itu berada. dilindungi seperti burung jalak putih. Ade menjelaskan proses penyelundupan Demi memperoleh burung jalak putih hewan dilakukan dengan beberapa ia harus merogoh kocek mulai dari lima cara, mulai dari memasukkan ke tas juta rupiah. Tio memiliki alasan sendiri hingga wadah lainnya. Contohnya mengapa ia mau membeli hewan yang ketika mengambil anakan salah satu termasuk ke dalam satwa dilindungi jenis biawak, Varanus indicus misalnya, ini. “Kebanyakan yang dilindungi itu “Karena masih kecil ya Indicus-nya corak motifnya bagus, terus kalo jalak jadi masih seukuran sejempol nah, itu suaranya bagus, mungkin ya gak dimasukin ke Tupperware,” ujar Ade. sebagus jalak Bali, tapi ya bisa lah buat Ade melakukan transaksi dilatih berkicau. Terus nanti kalau secara diam-diam melalui media sosial beranak juga bisa lah balikin modal.” bukan tanpa alasan. Cara itu dipilihnya Tio bukanlah satu-satunya demi menghindari sidak oleh pihak orang yang berniat mengeluarkan berwenang. “Untuk perdagangan banyak uang untuk satwa langka. hewan langka sendiri kan kita udah Yohannes (nama disamarkan) misalnya, tau risikonya... itu pasti berlawanan yang sudah dua tahun gemar mengoleksi sama pihak BKSDA (Balai Konservasi hewan langka terutama jenis burung Sumber Daya Alam) gitu,” jelasnya. seperti elang. Ia rela menghabiskan 25 Meski harus menentang juta rupiah demi mengoleksi hewan hukum, Ade masih tetap meneruskan tersebut. “Mampu membeli hewan praktik tersebut karena omset yang langka itu kebanggaan bagi saya karena menjanjikan. Ade sendiri mengaku yang lain enggak punya, kita punya bahwa ia meraup untung yang cukup sendiri. Kalau di desa kita kaya, apa banyak per musimnya. “Misalnya corn ya, kaya tokoh lah yang bisa membeli snake-ku ini indukannya katakanlah hewan itu,” cerita Yohannes ketika dua ekor dan dia telurnya ada 20 per ditanya alasan ia membeli satwa langka. ekornya. Nah itu nanti kalau misalnya Yohannes juga lebih memilih untuk kita ambil rank tertingginya, katakanlah menggunakan media sosial daripada rank tertingginya 15 ekor di harga langsung pergi ke pasar gelap. Ia satu setengah sampai dua juta (rupiah) menilai bahwa menggunakan media untuk per anaknya.” sosial dalam bertransaksi lebih aman Tak berbeda dengan Ade, ketimbang datang ke pasar gelap. Rian (nama disamarkan), salah satu “Lewat media sosial saja lebih mudah pedagang hewan di Pasar Fauna karena service-nya lebih nyaman, Yogyakarta (PASTY) juga mengatakan enggak dibawa-bawa dan enggak bahwa satwa yang dilindungi memang diketahui pihak berwajib.” dijual secara sembunyi-sembunyi. Sebenarnya Yohannes sadar Hal tersebut dilakukan oleh beberapa bahwa satwa langka yang dibelinya pedagang mengingat tingginya risiko itu ilegal. Namun Ia enggan untuk yang bisa timbul. Meski di sisi lain, mendaftarkan izin konservasi perdagangan satwa dilindungi ke BKSDA karena tetap terus berjalan menganggap proses yang mengingat selalu saja terlalu berbelit-belit. ada pembeli yang “Di medsos itu kita berani merogoh kocek nyari, kita searching dalam-dalam. di Google itu hewan Meski tidak apa. Saya tu enggak dijual secara terangngurus dia (penjual) terangan, metode itu resmi atau tidak. daring ini mampu Yang penting Saya • Kusmardiastuti menemukan pasarnya dapat barang itu ya sendiri. Salah satunya Tio sudah, tercapai keinginan
4
Keadilan Post Edisi Februari 2021
saya.” BKSDA sebagai balai konservasi satwa memahami adanya kebingungan terkait perizinan kepemilikan hewan langka yang dialami masyarakat. Menurut Kusmardiastuti selaku Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Yogyakarta, masyarakat cukup mendatangi kantor untuk kemudian dibantu dalam prosedur perizinan kepemilikan hewan langka. Adanya perizinan ini justru memberi kesempatan bagi para pelaku untuk mengembangbiakkan satwa yang didaftarkan. Ia menjelaskan satwa yang dikembangbiakkan kemudian dapat dijual oleh pihak-pihak tersebut setelah 10 persennya dikembalikan ke alam. “Misal nanti kalo sudah 50 (hewan yang dikembangbiakkan), yang lima nanti dikembalikan ke alam.” Satwa, Lingkungan, dan Hukum Rosichon Ubaidillah, seorang Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah meneliti praktik perdagangan satwa dan dampak ekologis yang ditimbulkan. Rosichon sepakat dengan Rustam bahwa pembukaan hutan semakin memudahkan akses terjadinya perburuan satwa yang dilindungi. “Maraknya jual beli satwa atau binatang atau tumbuhan itu sebetulnya sudah terjadi cukup lama hanya saja pada saat sekarang ini dengan kondisi lingkungan yang semakin berat, populasi penduduk Indonesia semakin tinggi, kebutuhan ekonomi mendesak, salah satu sasaran yang paling gampang untuk diuangkan itu adalah satwa liar atau tumbuhan yang tersisa,” ujar Rosichon yang juga menjabat sebagai Dewan Pembina Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia. Menurut Rosichon, pengambilan satwa yang melebihi ambang batas dapat berbahaya bagi lingkungan. Salah satu yang terganggu adalah rantai makanan di dalam hutan yang tak lagi seimbang. “Nah ini menurut saya kalau diteruskan akan merusak lingkungan akan mendegradasi kualitas lingkungan, apa namanya, daya dukung lingkungan.” Rosichon menambahkan bahwa ekosistem di dalam hutan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan, satwa, mikroba, dan biodiversitas lainnya. Penyusun ekosistem itu kemudian
Erlang/Keadilan • Papan Nama Kantor BKSDA Yogyakarta (16/12/20)
membentuk rantai makanan yang apabila satu komponen terganggu maka akan berakibat bagi lainnya. “Jika komponen itu penting, yang selanjutnya kita sebut sebagai Umbrella Species yakni spesies yang bisa melindungi spesies lain. Jika spesies itu punah, spesies lain nanti akan punah juga”. Rosichon juga memperingatkan bahwa akibat dari maraknya perdagangan satwa yang dilindungi, cepat atau lambat akan memengaruhi kehidupan manusia. Maraknya perdagangan satwa di Indonesia juga dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum di daerah. Rosichon menilai bahwa masih ada oknum penegak hukum yang bekerja sama dengan pedagang demi memperoleh keuntungan pribadi. “Penegak hukum di lapangan dan pengendalian pengawasan di lapangan yang seharusnya terus dilakukan tetapi ternyata tidak (jadi diawasi).” Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah perlunya perbaikan atau tinjauan kembali pada UU KSDAHE. Antonius Aditantyo, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai peraturan tersebut belum dapat mengakomodasi perkembangan kasus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa dilindungi. “Tahun ini undangundang tersebut telah berusia 30 tahun tanpa pernah mengalami perubahan. Sementara itu, berdasarkan penelitian
ICEL, kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar telah mengalami perkembangan modus, misalnya terkait perdagangan satwa secara online, yang dilakukan oleh korporasi ataupun secara transnasional terorganisasi,” jelasnya. Pihaknya berpendapat bahwa dengan adanya pembaharuan peraturan tersebut, dapat mewujudkan penegakkan hukum yang lebih efektif lagi. Antonius juga menyoroti kelemahan dalam penegakan hukum pidana terkait perdagangan satwa liar ini. Pihaknya telah menganalisis 150 putusan kasus kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia dari tahun 2009 hingga Oktober 2019. ICEL menemukan bahwa kebanyakan putusan kasus kejahatan terhadap satwa liar masih jauh lebih ringan dari pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda 200 juta rupiah yang diatur UU KSDAHE. “Namun, dari analisis 150 putusan tersebut, diketahui bahwa ratarata tuntutan pidana penjara adalah 11,3 bulan dan pidana penjara yang dijatuhkan adalah 8,1 bulan. Sementara itu, rata-rata tuntutan pidana adalah Rp. 18.644.100, dan pidana denda yang dijatuhkan adalah Rp. 14.306.425,” ujar Antonius melalui pesan teks yang ia kirimkan. Oleh karenanya Antonius beranggapan bahwa perlu ada pengaturan bagi para penegak hukum agar lebih tegas dalam menerapkan
pidana atas kejahatan terhadap satwa liar. “Menurut kami, agar pidana penjara dan denda yang dijatuhkan lebih berat, lebih tepat bila disusun semacam sentencing guideline bagi para Penuntut Umum dan Hakim sehingga pidana yang sudah diatur dapat diterapkan dengan maksimal.” Selain perbaikan dalam penegakan hukum, keterlibatan masyarakat juga merupakan faktor yang sangat penting dalam meminimalisir terjadinya perdagangan satwa. Mewakili ICEL, Antonius menyarankan kepada masyarakat untuk aktif melapor jika mengetahui adanya perburuan, kepemilikkan, penyeludupan, ataupun perdagangan satwa dilindungi. “Dengan membantu bersuara, kita membantu isu tersebut untuk terus hidup dengan harapan dapat didengar oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.” Hal ini juga sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Rustam yang mengatakan pentingnya laporan dari masyarakat. “ProFauna itu 100 persen informasinya dari masyarakat, jadi tidak bisa kita tiba-tiba dapat mengikuti atau mendapatkan datanya sendiri”. Menurutnya, jika kepedulian masyarakat semakin tinggi maka akan memantik aparat penegak hukum untuk lebih serius dalam menangani masalah tersebut. Sebagai penutup, Antonius mengatakan bahwa pada akhirnya kejahatan terhadap satwa liar satwa tidak akan terlepas dari tingginya minat masyarakat atas produk-produk hewani. Ia menghimbau masyarakat untuk tidak menggunakan produk yang terbuat dari kulit hewan seperti tas, sepatu, ataupun dompet. Dengan meningkatkan kesadaran atas produk-produk tersebut maka akan timbul persepsi dan kesadaran pasar untuk lebih mengurangi perdagangan satwa liar. “Lebih baik lagi jika tidak menggunakan produk satwa liar sama sekali, menggantinya dengan produk tiruan atau sintentis, demikian menghilangkan demand.”
Reportase bersama: Kirana Nandika, Erlang Wahyu, Ahmad Wildan, Aprillia Wahyuningsih, Mirza Agung
Keadilan Post Edisi Februari 2021
5
OPINI
Omnibus Law, UU Pertambangan Minerba Baru dan Kedaulatan Korporasi-Oligarki Oleh: Merah Johansyah*
Erlang/Keadilan
Pemerintah akhirnya mengirimkan naskah Rancangan Undangundang (RUU) Cipta Kerja kepada parlemen pada 12 Februari 2020. Sebelumnya RUU yang disusun menggunakan metode penyusunan hukum omnibus ini ‘disembunyikan’ dari publik. Meskipun untuk klaster perburuhan ditunda, namun sebagian isi dari RUU Cipta Kerja ini juga telah disusupkan dalam revisi UU pertambangan mineral batu bara (UU Minerba) yang disahkan pada 12 Mei 2020 lalu dan mendapat pertentangan publik. Sebelumnya pemerintah menyebut RUU Cipta Kerja ini akan terkait dengan 82 UU dan 1.194 pasal. Beberapa diantaranya berdampak pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (Minerba). UU Minerba sendiri memang jauh dari sempurna dan masih mengandung banyak masalah. Terutama karena kekosongan pengaturan hak veto rakyat saat investasi tambang hendak masuk dan soal keselamatan lingkungan. Bahkan para legislator ini juga tanpa ampun
6
menabrak aspek kedaulatan negara atau nasionalisme sumber daya alam yang menjadi ruh UU Minerba ketika disusun tahun 2009. Setidaknya dapat disoroti beberapa hal, diantaranya aspek nasionalisme sumber daya alam yang dirampas dengan sengaja. Padahal sebelumnya melalui UU Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan Minerba, menegaskan kembali kedaulatan dan posisi negara atas sumber daya ekonomi berupa alam, modal, manusia (Keraf, 2019). Karena pada UU Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambangan, kritik muncul akibat lemahnya negara dihadapan korporasi tambang raksasa. Perwujudan hal tersebut dilakukan dengan mengubah rezim kontrak pertambangan pada UU Nomor 11 Tahun 1967 menjadi izin dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Tujuannya adalah ingin menempatkan negara berada di atas koorporasi. Langkah-langkah yang diambil untuk menindaklanjutinya adalah melalui beberapa cara. Pertama, amandemen kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengushaan Pertambangan
Keadilan Post Edisi Februari 2021
Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kedua, memanfaatkan habisnya masa berlaku kontrak perusahaan tambang untuk mengambil aliih melalui pengembalian konsesi kepada Negara. Ketiga, menciptakan lelang wilayah agar tak terus dikuasai asing yang mengutamakan BUMN. Keempat, pembatasan luas wilayah yang salah satunya ingin memastikan aspek konservasi pencadangan bahan tambang dan keberlanjutan lingkungan di kemudian hari. Penetapan wilayah pencadangan ini dilakukan agar krisis produksi yang dihadapi sektor minyak dan gas (migas) tidak terulang pada wilayah mineral serta batu bara. Indonesia sempat menjadi eksportir namun berbalik menjadi net importir migas karena tak menjaga cadangan. Alias hanya menggunakan paradigma jual murah dan keruk habis sumber daya alam. Celakanya, melalui Omnibus Law, pasal pengembalian lahan tambang yang habis masa berlaku diubah. Begitu juga lenyapnya mekanisme lelang
wilayah diganti dengan perpanjangan otomatis pada IUPK. Terutama tujuh perusahaan batu bara raksasa seperti Kalitm Prima Coal (KPC), Adaro, Kideco Jaya Agung, Arutmin, Berau Coal, Kendilo Coal, dan Multi Harapan Utama yang akan habis masa berlakunya dalam waktu empat tahun dekat ini. Hal ini merupakan langkah mundur yang melemahkan rezim izin. Bahkan justru memberi keistimewaan dan memperkuat pemegang kontrak pertambangan kepada tujuh perusahaan batubara tersebut. Hal ini dapat dipahami karena setelah identifikasi yang dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan koalisi masyarakat sipil, diketahui sepertiga dari kabinet Jokowi-Amin diisi pengusaha tambang serta politisi (JATAM 2019). Begitu juga dengan pengubahan pasal mengenai kewenangan daerah yang ditarik sentralistik ke pemerintah pusat. Padahal sebelumnya, kewenangan daerah adalah bagian dari kedaulatan negara melalui otonomi. Terlepas dari kritik terhadap penyelenggaraan kegiatan pertambangan yang diobral dan penuh masalah, kini kedaulatan tersebut dipangkas serta dimonopoli oleh pemerintah pusat. Meski juga belum tentu menjamin pengelolaannya akan jauh lebih baik. Lebih dari itu, RUU Cipta Kerja dan UU Minerba adalah penghinaan terhadap kedaulatan serta wibawa negara dalam mengurus sumber daya alamnya. Wibawa negara dijatuhkan karena pemerintah pusat mengambil tugas melayani pengusaha dengan turun langsung. Demi memastikan kepastian berusaha, negara turun pangkat melakukan kegiatan pembebasan lahan bak centeng tanahnya perusahaan tambang. Makin tersandera batu bara, abai pada keselamatan dan hak veto rakyat. Beberapa perubahan dan penambahan pasal dalam draft RUU Cipta Kerja dan UU Minerba memberikan layanan istimewa pada pertambangan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tersebut. Hal ini sekaligus menyandera Indonesia untuk terus bergantung pada komoditas dan energi maut batu bara yang dituding
sebagai biang kerok krisis iklim global mutakhir. Perubahan pasal 47 UU Minerba memberikan keistimewaan bagi perusahaan pertambangan batu bara berstatus operasi produksi yang terintegrasi dengan PLTU. Izin usahanya dapat terus diperpanjang seumur bahan tambang. Berikutnya adalah perubahan pasal 83 UU Minerba yang meniadakan batas wilayah konsesi bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) termasuk batu bara. Serta perubahan pasal 102 ayat 2 UU Minerba yang mengecualikan kewajiban pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri jika menjalankan pemanfaatan dan pengembangan. Begitu juga penambahan pasal 128 A ayat 2 memberikan perlakuan khusus untuk pertambangan yang terintegrasi dengan kegiatan nilai tambah batu bara melalui royalti nol persen. Dalam RUU Cipta Kerja dan UU Minerba ini keselamatan dan hak veto rakyat tak dapat tempat, bahkan sejak berhasil dirubah pada bulan Mei kemarin dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Proses revisi oleh pemerintah bersama DPR secara diam-diam, tidak partisipatif dengan memanfaatkan masa krisis pandemi Covid-19. Dalam UU Minerba, revisi yang dilakukan ternyata tetap tidak ada pasal yang mengatur tentang veto rakyat saat pertambangan masuk ke kawasan warga. Tak ada ruang bagi hak masyarakat hukum adat untuk mengatakan tidak jika kawasan sakralnya akan dimasuki oleh investasi pertambangan. Hal lain yang menjadi sorotan dalam UU Minerba yaitu poin atau ketentuan pasal yang dirubah, dihapus maupun ditambah sesungguhnya sangat berkesesuaian dengan RUU Cipta Kerja. Kebijakan pemberian izin seluruhnya ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat termasuk pengawasan. Padahal selama ini kewenangan dari pemerintah daerah yang dekat dengan wilayah pertambangan masih menyisakan banyak persoalan tidak terselesaikan. Pertambangan tidak lagi mengenal batas luasan. Dalam ketentuan pidana
terlihat ada model perlindungan resmi terhadap korupsi dengan menyasar pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah. Sebaliknya, pasal pidana yang kerap kali digunakan untuk mengkriminalisasi warga dan aktivis lingkungan tetap dipertahankan, bahkan ditambah satu pasal. Dalam revisi UU Minerba, tak diakomodasi skenario atau peta jalan pemulihan tambang. Sehingga lubanglubang tambang dan korupsi melalui kemasan pariwisata serta budidaya perikanan dapat terus melegitimasi lubang kematian. Secara khusus Pasal 35 UU Nomor 3 Tahun 2020 telah menyesuaikan konsep serta operasi perizinan berusaha dalam RUU Cipta Kerja seperti nomor induk berusaha dan sertifikat standar. Hal ini menjadi masalah tersendiri dalam operasionalnya karena belum ada undang-undang yang mengatur. Dengan kata lain tidak dapat dioperasionalkan jika RUU Cipta Kerja belum disahkan, ataupun dengan ketentuan berbeda yang tak menganut konsep perizinan berusaha dan sertifikat standar. Perpanjangan otomatis kontrak dan perjanjian karya pengusaha pertambangan batu bara tanpa pengurangan luasan serta lelang juga merupakan ketentuan yang disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja. Dalam catatan JATAM, setidaknya ada tujuh perusahaan raksasa PKP2B menguasai 70% lebih produksi batu bara nasional yang kontraknya akan berakhir tahun ini dan tahun depan. Mereka diduga akan menikmati kemewahan fasilitas UU Nomor 3 Tahun 2020 yang disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja untuk dapat memperpanjang otomatis perizinannya. UU Minerba hasil revisi yang menyesuaikan dengan RUU Cipta kerja dinilai memiliki banyak persoalan, cacat prosedur dan substansial. Maka koalisi organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, warga lingkar tambang dari Sumatera hingga Papua menggelar agenda protes dalam bentuk sidang tandingan dari sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sidang tersebut dinamai “Sidang Tandingan Rakyat”. Sidang rakyat ini berlangsung selama empat hari melalui
Keadilan Post Edisi Februari 2021
7
diskusi dalam jaringan yang disiarkan 25 kanal facebook, instagram dan youtube. Kemudian menghasilkan enam putusan yang menyatakan sidang paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020: 1.)Koruptif dan tidak kuorum; 2.)Curang karena memanfaatkan situasi pandemi Covid-19; 3.)Batal demi hukum atas nama kedaulatan rakyat dan demi keselamatan; 4.)Seluruh kontrak, perjanjian dan izin yang diterbitkan berdasarkan undangundang ini batal demi hukum; 5.)Mengembalikan sepenuhnya hak ruang hidup pada rakyat dan kemudian memiliki hak veto untuk menyatakan tidak dan menolak kegiatan pertambangan; 6.)Pemerintah didesak melakukan pemulihan atas kerugian yang telah dialami rakyat dan kerusakan lingkungan
akibat aktivitas pertambangan selama ini. Sebagai informasi, sidang rakyat ini disaksikan oleh 200.000 lebih penduduk Indonesia secara langsung dalam jaringan. Sidang tanding rakyat ini menjadi kritik yang legitimatif sekaligus sebagai delegitimasi terhadap sidang DPR RI di senayan. Kesempatan ini diikuti penuh oleh perwakilan rakyat korban tambang, mahasiswa dan akademisi. Dalam sejarah hukum, aksi ini meletakkan terobosan bagaimana warga mengorganisir sendiri upaya hukumnya karena kecewa atas proses legislasi resmi negara. Terakhir dalam catatan JATAM, pada 2019 terjadi peningkatan konflik antara rakyat versus korporasi dari 56 menjadi 71 konflik. Setengah dari
konfliknya melibatkan masyarakat adat melawan perusahaan tambang. Dapat dibayangkan RUU Cipta Kerja dan UU Minerba ini akan memproduksi pengusiran massal masyarakat adat dari wilayahnya. Karena batasan luas wilayah yang tidak ada lagi. Hal ini juga akan merampas dan memberikan kedaulatan dari Negara pada korporasi. Sehingga semakin membenamkan Indonesia dalam ketergantungan pada energi maut batu bara. (Rancangan UU Cipta Kerja atau omnibus law sudah disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020) * Penulis merupakan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang
RESENSI BUKU
CEKAP Oleh: Yolanda Eronisa S
“Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber daya alamnya. Seharusnya kekayaan itu membuat kita makmur, seperti di masa lalu. Tetapi karena kekayaan tersebut diambil oleh orang asing yang didukung para pengkhianat bangsa, kita menjadi miskin seperti sekarang ini. Akibatnya kita melakukan berbagai hal yang dilarang agama maupun hukum untuk mengatasi kemisikinan” “Cekap” sebuah bahasa daerah dari Palembang yang berarti tamak atau rakus. Novel ini menggambarkan sikap manusia tamak yang tidak puas untuk mengejar harta kekayaan dengan merusak Sumber Daya Alam (SDA). Novel ini mengambil latar belakang sebuah desa kecil di Palembang, Sumatera Selatan. Tiar sebagai tokoh utama akan menuntun kita dalam pertualangannya berjuang bersama masyarakat kecil lainnya untuk merebut kembali tanah mereka dari tangan perusahaan kebun sawit. Berawal dari seorang yang bernama Tiar anak dari petani yang terkejut akan kampung halamannya yang tak sama lagi seperti ia tinggalkan dulu, idealis sebuah pekerjaan bukan lagi seorang petani. Semua berlombalomba mencari uang dengan cara apa saja, bahkan menyogok pejabat untuk menjadi pegawai negeri yang sekarang menjadi profesi idaman. Pohon-pohon yang menghasilkan buah bergizi ditebang dan lahannya di
8
Erlang/Keadilan
jadikan lahan sawit. Swalayan sudah menjamur menyediakan berbagai makanan instan serta beras impor, tidak ada lagi pedagang keliling yang menjual buah–buahan dan sayur–sayuran. Tidak ada lagi yang mau menjadi petani dan bertanam.
Keadilan Post Edisi Februari 2021
Berbeda dengan Tiar, sebagian besar warga dusun memilih menjadikan lahannya sebagai kebun sawit atau pohon akasia. Melihat keadaan kampung halamanya, Tiar bertekad ingin menjadi petani. Tiar bersyukur tidak lulus menjadi pengacara, ia takut
lJudul
: Cekap
Penulis : Taufik Wijaya Tebal
: 172 halaman
Penerbit : Teras Tahun
Budaya Alamat : 2020
membayangkan dosa yang ia tanggung jika melakukan kesalahan yang disadari ketika menjalani profesi tersebut. Tiar hanya ingin menjadi petani sayur dan buah–buahan. Ia ingin berjuang mengembalikan semula keadaan kampung halamannya. Perjuangan Tiar dimulai saat ia bertemu dengan Gita, aktivis yang dikenalnya saat masih menjadi mahasiswa. Gita adalah pengurus Wahana Bumi Indonesia (WBI), sebuah organisasi peduli lingkungan hidup. Saat Gita menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dusun Muarakembang, ia memilih menetap di rumah Tiar. Pertemuan itu menjadi titik awal dimulainya Tiar menjadi relawan di WBI. Lantaran mengerjakan tugasnya sebagai aktivis, Tiar semakin yakin bahwa tanah merupakan penyebab dari berbagai persoalan sosial yang ada di masyarakat. Persoalan tanah menyebabkan kemiskinan, kemudian hal itu melahirkan perilaku negatif. Novel ini menggambarkan dengan baik sejak awal bagaimana keadaan desa tersebut sehingga kita dapat merasakan bagaimana perubahan atmosfer yang ada didalamnya. Dahulu desa diceritakan masih banyak petani, nelayan, dan pekerja lainnya yang memanfaatkan tanah subur di Indonesia dengan baik untuk kelangsungan hidupnya seketika berubah. Itulah mengapa novel ini menjadi sangat seru, karena kita seperti ikut ke dalam perjuangan Tiar dan teman-temannya dalam mengatasi perubahan yang berdampak buruk tersebut. Tak lepas dari perjuangan Tiar dan kawan–kawan aktivis, investor
asing bernama Lim memainkan sebuah drama, di mana ia menjadikan Karun sebagai Bupati untuk dijadikan bonekanya. Lim menjadikan Karun sebagai tokoh utama untuk mengatasnamakan Indonesia maju dalam sektor perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pertama–tama Karun diperintah untuk menyingkirkan petani-petani yang kemudian berakibat adanya krisis pangan. Belum selesai sampai di situ, Lim dengan otak liciknya memunculkan tokoh buatannya lagi sebagai penyelamat dengan mengimpor bahan pangan dari luar Indonesia. Lim menjadikan Indonesia sebagai lahan perkebunan sawit nomor satu. Ketika Indonesia kekurangan pangan, Ia mengekspor pangan dari perusahaan Vietnam dan Kamboja miliknya. Kemiskinan serta permasalahan kesehatan rakyat Indonesia menjadi keuntungan baginya, sebab ia menjual alat kesehatan dan obat–obatan dari perusahaan miliknya di Thailand. Banyak cara yang Lim lakukan agar pemerintah Indonesia merasa ketergantungan padanya. Ini menunjukan kemerdekaan Indonesia hanya menjadi pergantian pemerintahan, sebab kekuatan modal masih dikuasi oleh orang asing. Orangorang penting yang nantinya memiliki kekuatan sengaja diciptakan oleh investor asing dengan cara membiayai pendidikan dan karirnya. Kemudian dengan begitu segala urusan menjadi lebih mudah dijalani. Tujuan Tiar hingga rela mempertaruhkan nyawanya adalah agar ia dan warga tetap menjadi petani. Seperti dikutip dalam novel, “Tujuannya agar mereka tetap menjadi petani. Kalau mereka menjadi buruh tani, kehidupan mereka pasti akan sulit. Upah buruh itu tidak seberapa dibandingkan buat kebutuhan keluarga. baik untuk makan, minum, apalagi buat biaya sekolah anak.” Novel ini terasa nyata, karena berbasis riset dan aksi lapangan. Dimulai dari sebuah ironi sektor pertanian dan perikanan yang bukanlah primadona dalam sistem perekonomian nasional. Petani dan nelayan tersisih dari kancah sistem perekonomian nasional, kemudian kemiskinan struktural justru menimpa para petani dan nelayan
yang merupakan penghuni kawasan pedesaan dan pesisir. Taufik Wijaya sebagai jurnalis Mongabay yang juga seniman mampu membawakan novel ini menjadi cerita realis, terstruktur dan dramatis. Alur maju mundur yang ringan membuat novel ini asik dibaca. Idealisme menjadi sangat pragmatis dan tidak bisa bertahan ketika godaan materi dan kesempatan datang. Apabila prinsip keseimbangan diganggu, kita tinggal menunggu waktu kehancuran alam. Dampak buruk bagi alam digambarkan di dalam novel ini dengan beberapa populasi binatang yang hilang, gagal panen, banjir saat musim hujan, dan kekeringan ketika kemarau. Bukan hanya itu, individu menjadi serakah akibat jumlah yang diminta akan selalu meningkat dan perusahaan membutuhkan banyak lahan baru. Selain itu perusahaan memang senang membeli lahan rawang sebab harganya lebih murah. Novel ini menjadi renungan untuk kita semua. Bukan untuk tidak boleh sama sekali bekebun sawit, namun sudah sepatutnya pemerintah serius untuk menghadapi persoalan dalam industri sawit di negeri ini. Jumlah yang sudah berlebihan hingga merambah kawasan hutan, konflik yang tidak hanya terjadi dengan manusia namun juga makhluk hidup lainnya seperti harimau dan gajah. Pemerintah diharapkakan memperbaiki tata kelola perkebunan sawit dan mengupayakan Indonesia mencapai perkebunan sawit yang berkelanjutan. “Kita ini korban dari pemerintahan yang tidak benar. kita menjadi miskin karena semua kekayaan alam kita sudah dijual dengan pihak asing. Kita menjadi bandit preman ya karena kita miskin. Kalau kita tidak miskin mungkin kita tidak mau menjadi bandit. Kita tidak seperti para koruptor itu, sudah kaya tapi tetap mengambil hak orang. Itu tamak. Apakah kita mau masuk neraka? Aku kira tidak ada di antara kita yang mau masuk neraka. Kita menjadi bandit karena kita lapar. Lapar!” Selain menyajikan cerita, penulis juga memasukkan banyak nasihat yang patut direnungi. Salah satunya adalah pengingat bahwa tanah
Keadilan Post Edisi Februari 2021
9
yang kita huni saat ini adalah milik Tuhan dan haram untuk dimonopoli. “Kalau pun kita meminjamkannya
ya , seperti yang kita lakukan saat ini. Tiap manusia diciptakan Tuhan wajib atau berhak mengelola tanahNya.
Tentu secara adil, atau tidak merugikan manusia setelah kita.”
RESENSI FILM
‘THE PLATFORM’, TAHANAN MISTERIUS DAN KRITIK TERHADAP KAPITALISME Oleh: Kirana Nandika Ramaniya
Makanan merupakan hal paling esensial dalam menyimbolkan kesenjangan dan adanya kelas-kelas sosial di masyarakat. Sayangnya, keadaan ideal yang adil sulit untuk diraih dan perlu banyak pengorbanan. Sistem yang luar biasa acuh menyebabkan masyarakat tertindas semakin sulit dalam mendapatkan haknya.
Erlang/Keadilan
Penghargaan yang diraih oleh The Platform dalam festival Toronto International Film (TIFF) sebagai People’s Choice Award for Midnight Madness, sepertinya cukup menjadi alasan mengapa film ini sayang untuk dilewatkan. Film ini digarap oleh Galder Gaztelu-Urrutia sebagai sutradara, kemudian dibantu Jon D. Dominguez yang bertindak sebagai sinematografer. The Platform dikemas dengan minim aktor, namun kepiawaian Ivan Massague sebagai pemeran utama menjadikan film ini tetap hidup dan penuh emosi. Film ini dirilis dan tayang perdana dalam festival TIFF yang kemudian didistribusikan secara global
10
menggunakan platform situs berbayar Netflix pada 20 Maret 2020. The Platform berkisah tentang kehidupan tahanan di suatu gedung misterius di mana mereka harus saling bergiliran menunggu kesempatan untuk mendapat makanan yang hanya diberi sekali dalam sehari. Galder membuka film ini dengan memperkenalkan tokoh utama, Goreng beserta teman satu selnya, Trimagasi. Dalam menit-menit awal, penonton dijelaskan terkait cara main sel ini lewat dialog antara Goreng dan Trimagasi. Kepada Goreng, Trimagasi menjelaskan bahwa mereka sedang berada di sebuah gedung misterius dengan lubang ditengah-
Keadilan Post Edisi Februari 2021
tengah yang fungsinya mendistribusikan makanan. Setiap lantai di sel dihuni oleh dua orang. Dalam gedung misterius ini, makanan didistribusikan dari lantai atas hingga berlanjut menuju sel paling bawah. Trimagasi menjelaskan bahwa mereka kini beruntung ada di sel lantai 48, sebab tidak jauh dari sumber makanan didistribusikan. Mereka akan tetap mendapatkan makanan walaupun hanya berupa sisa dari lantai sebelumnya. Pada hari-hari awal, Goreng sebagai tahanan baru yang idealis mulai berpikir terkait harus ditegakkannya keadilan di sel ini, agar semua orang dalam gedung mendapatkan makanan
secara cukup. Dia meneriakkan agar para tahanan di atas mereka makan dengan cukup agar bersisa hingga tingkat terbawah, namun hal tersebut ditolak oleh Trimagasi mentahmentah. “Orang-orang di atas takkan mendengarmu, sebab mereka di atas.” Genre horror-thriller yang diusung oleh film berdurasi 94 menit ini mulai terasa di babak kedua saat Goreng dan Trimagasi dipindahkan ke sel lantai 171. Goreng mulai menyadari realitas bahwa semakin bawah dia ditempatkan, maka makin nihil pula makanan yang akan mereka dapatkan. Dari sinilah adegan sadis disertai kanibalisme dimulai. Mulai dari rencana gila Trimagasi untuk memotong daging tubuh Goreng sedikit demi sedikit sebagai substitusi makanan sampai pembunuhan Trimagasi oleh Miharu, si tahanan yang setiap waktu menaiki platform makanan untuk turun dan mencari anaknya di lantai demi lantai. (jat kalo menurutku tetep aja kayak yg awal, soalnya kalo kayak gitu kepanjangan jadinyaaa) Sebulan setelahnya, Goreng dipindahkan ke lantai 33 dengan seorang wanita bernama Imoguiri. Imoguiri menjelaskan bahwa dia adalah salah satu mantan petugas resmi gedung tersebut yang mewawancarai setiap penghuni baru. Imoguiri menceritakan kepada Goreng bahwa selama dirinya menjadi pelayan gedung, dia tidak menyadari bahwa kondisi mengerikan di dalam gedung ini dan secara sukarela mencoba untuk memperbaiki hal tersebut ketika dirinya didiagnosa terkena kanker. Imoguiri menyampaikan gagasan untuk menciptakan keadilan dalam
Film
The Platform
Sutradara
Galder Gaztelu-Urrutia
Genre
Horror-Thriller
Tahun 2020
Durasi 94 menit
gedung kepada Goreng dengan cara memberikan dua jatah makanan bagi setiap lantai. Goreng yang telah lebih dahulu ada di dalam gedung menganggap gagasan Imoguiri adalah angin lalu dan omong kosong belaka. Tahanan lain yang diberikan instruksi oleh Imoguiri juga tidak mempedulikan hal tersebut hingga Goreng mengancam untuk membuang kotoran di makanan mereka apabila tetap bersikap acuh. Setelah satu sel bersama Imoguiri, Goreng kemudian bangun bersama teman barunya, Baharat. Di babak inilah, Goreng mulai menghidupkan kembali idealismenya terkait harus adanya perubahan keadilan dalam gedung tersebut. Dia mengajak Baharat untuk turun dan mulai memberikan pengertian kepada setiap tahanan bahwa mereka harus makan secara secukupnya. Baharat memahami ide Goreng lalu mulai mengeksekusinya bersama-sama. Dalam perjalanan menuruni lantai demi lantai di gedung tersebut, Baharat menemui gurunya di salah satu sel. Dia menjelaskan tujuan turun bersama Goreng, gurunya lalu memberikan saran bahwa harus ada setidaknya satu simbol makanan yang masih utuh untuk kemudian ditunjukkan kepada pelayan bahwa siksaan untuk mereka telah berakhir. Goreng dan Baharat memutuskan untuk memilih pana cotta menjadi simbol. Akhirnya, cerita dalam film ini diselesaikan dengan ditemuinya anak perempuan Miharu di tingkat terbawah sel tersebut, bertolakbelakang atas apa yang dikatakan Imoguiri bahwa di sel tidak ada orang di bawah umur. Melihatnya kelaparan, Goreng dan Baharat kemudian memberikan pana cotta untuknya serta bersepakat bahwa anak perempuan tersebut adalah simbolnya. Kemudian tidak dijelaskan lagi akhir dari film tersebut. Disadur dari wawancara kepada Gaztelu-Urrutia selaku sutradara oleh Digitalspy, dia memang sengaja membiarkan akhir film ini open ending sebab ingin membiarkan penonton menginterpretasi sendiri. Film penuh kritik terkait keadaan sosial masa kini ini mungkin penuh dengan pesan politik, walaupun sang sutradara sendiri menampik akan
hal itu. Pesan yang secara implisit tergambar dalam film ini, mungkin membuat penontonnya merasa lebih sadar dan tertampar tentang adanya kesenjangan sosial di sekitarnya. Dilihat dari sisi sinematografi, keseluruhan film ini dikemas dengan menarik khas film bergenre thriller dengan tone gelap dan musik mencekam. Walaupun bergenre horrorthriller, namun berbeda dengan film lain yang hanya menonjolkan jumpscare di setiap babak, The Platform tetap fokus dalam penyampaian pesannya. Sayangnya, film ini tidak ramah terhadap seluruh kalangan. The Platform jelas tidak direkomendasikan kepada penonton yang mudah jijik dan dibawah umur sebab menampilkan adegan kanibal serta dewasa. Adegan tusuk-menusuk, membelah, memakan bagian tubuh manusia, menginjak-injak makanan, serta kotoran banyak disorot dan disajikan dalam film ini. Realitas dalam film The Platform ini dapat kita lihat dalam kehidupan dan kesehatan lingkungan di Negara Indonesia. Jika ditarik lebih luas, isu kesenjangan ini meliputi pula terkait kerusakan lingkungan dan masyarakat bawah yang terdampak. Kematian puluhan warga di Kalimantan Timur akibat lubang tambang menjadi salah satu cerminan realita yang dapat dilihat dalam The Platform. Mudahnya izin yang diberikan oleh Negara kepada pengusaha tambang menyebabkan menjamurnya lubang-lubang dampak dari pertambangan tersebut. Pemilik tambang notabene adalah pengusaha besar dan pemodal hanya berfokus dengan keuntungan tanpa mengindahkan pemulihan lingkungan untuk kehidupan masyarakat sekitar pertambangan. Adanya kematian warga terdampak lubang tambangpun, hanya ditanggapi sebagai angin lalu oleh Gubernur Kalimantan Timur tahun 2018, Isran Noor. Dia mengatakan bahwa sudah nasib warganya meregang nyawa di kolam tambang. Kenyataan pahit adanya kelas-kelas dalam masyarakat ini sesuai dengan cerita yang disuguhkan oleh The Platform. Pemilik modal digambarkan sebagai pelayan gedung yang memberikan fasilitas berupa pembukaan lahan dan tambang batu
Keadilan Post Edisi Februari 2021
11
bara. Pastinya, fasilitas dan seluruh keuntungan tersebut masuk ke dalam lembaga pemerintah daerah terlebih dahulu sebagai pemberi izin, yang digambarkan sebagai tahanan di sel lantai atas. Keadilan dan kesehatan lingkungan kehidupan tentunya akan sampai kepada kelas akar rumput, apabila pemerintah sebagai pemberi izin membatasi adanya pertambangan batu bara di daerahnya. Namun, seperti yang disuguhkan The Platform dalam jalan ceritanya, keadilan termasuk kesehatan
lingkungan yang seharusnya adalah hak seluruh kelas masyarakat menjadi nihil akibat keserakahan golongan tertentu. Kisah dalam film yang disuguhkan secara jelas dan teratur mungkin akan membuat beberapa penontonnya tersadar bahwa kita semua hidup dalam sebuah sistem serta kelas-kelas sosial. Film yang disuguhkan dengan bahasa Spanyol ini kental dengan pesan. Kita sebagai masyarakat yang terbelenggu oleh sistem kapitalisme nan mengakar ini, tidak akan mungkin
DIALEK
12
Keadilan Post Edisi Februari 2021
mendobrak sistem yang ada kecuali dengan pengorbanan besar, konsisten, dan waktu lama. Goreng mengatakan, “perubahan tidak pernah terjadi secara spontan.”
AKSARA
MELIHAT MATA Oleh: Muchammad Kawtsar
Geary/Keadilan
Bagaimana bisa seorang penghamba sepertiku berpaling? Bagaimana bisa seorang perusak sepertiku berpaling? Bagaimana bisa seorang pecandu hujan sepertiku berpaling? Bagaimana bisa seorang mata sepertiku berpaling?
Dari balik jendela kamar lawas, kulihat sebuah mata Bentuknya bulat sempurna, persis seperti bola pingpong milik ayah Disana kalian bisa melihat langit biru, sama seperti kemejaku hari ini Ada awan putih juga yang abadi sebagai pasangan abdi. Kalian juga bisa lihat ada rumput-rumput yang bernyanyi Akan tetapi, sudah diinjak oleh para pencari kebijaksanaan Kalian juga bisa lihat sungai yang tertidur pulas Akan tetapi, sudah dibangunkan oleh sampah-sampah bekas tetanggaku.
Memang aku tidak begitu suka dengannya Dulu pernah kulihat ia memburu hewan di hutan belakang rumahku Kuharap daun pepohonan itu menampar bokong kayanya Harapan itu terjadi, kini ia sedang dirawat dalam rumah sakit hama.
Keadilan Post Edisi Februari 2021
13
Sebelumnya tidak pernah kulihat mata itu Mesin penyaring udara yang tidak pernah bisa diam Akan tetapi, saat ia memilih diam Tidak ada satupun jantung hama yang berdenting kembali.
Ternyata sekarang aku mulai mencintai mata Tapi sayang, pabrik puntung begitu membencinya Tiada hari tanpa melukai mata Lewat asap gembul berisi uang seratus ribu.
Dari serpihan luka mata, kumasukkan ke dalam saku celana Kuperlakukan mata sebaik mungkin Karena aku masih ingin melihat rudal-rudal terjatuh Karena aku masih ingin melihat kutub-kutub bersetubuh.
Aku ingin melindungi mata dengan sebaik mungkin Tidak aku izinkan percikan ludah metropolitan membuatnya berkedip Apalagi terhadap keringat lengket si hidung belang Atau terhadap suara lantang dengan topeng palsunya.
Tetapi sekarang mata hanya membuka setengah tirai hitamnya Seperti kehilangan para penyiram bunga ditaman kota Maka, sebelum mata menyerah pada takdirnya Aku perkenalkan, mata itu bernama bumi.
14
Keadilan Post Edisi Februari 2021
Keadilan Post Informatif, Komunikatif, Aspiratif
PEMIMPIN UMUM: NATALIA RAHMADANI PAUPANA DEWI SEKRETARIS UMUM: RIZKI NUR ASTIKASARI BENDAHARA UMUM: APRILLIA WAHYUNINGSIH PIMPINAN REDAKSI: KIRANA NANDIKA RAMANIYA REDAKTUR: IMROATUR ROHMATILLAH ANISA ‘IZZATI ANANG RAFLI MAHESA MUCHAMMAD KAWTSAR AHMAD WILDAN HAVAZA DESAIN DAN FOTO: MIRZA AGUNG RAHMATULLAH ERLANG WAHYU SUMIRAT GEARY ABIMANYU SETIADJI. P EVA WIDYASTUTI
Keadilan Post Diterbitkan Oleh LPM Keadilan
PIMPINAN LITBANG: YOLANDA ERONISA S. STAF LITBANG: FARHAN SYAHREZA MUHAMMAD SYUKRON ILHAM IMRO’AH QURROTUL ‘AINI PIMPINAN PENGKADERAN: PUJI INDAH ASTUTI STAF PENGKADERAN: VANIA LUTFI SAFIRA E. AINUN AKHIRUDDIN AKHIRUDDIN S. LUBIS PUTRI ARIYANTI REPORTER: SELURUH PENGURUS KEADILAN
JL. TAMAN SISWA 158 YOGYAKARTA TELP (0274) 377043 – 379171 / HP 085783364392 Website: www.lpmkeadilan.org Instagram: @lpmkeadilan Facebook: LPM Keadilan Twitter: @LPMKeadilan Email: lpmkeadilanfhuii@yahoo.co.id Line: @rjn3117b
Keadilan Post Edisi Februari 2021
15