DAFTAR ISI
2
LAPORAN UTAMA
Darurat di Negeri Berdaulat 16
18
LAPORAN KHUSUS
Pudarnya Semerbak Kebudayaan Yogyakarta
KAMPUSIANA
Potret Kehidupan Mahasiswa dalam Berburu Nilai 30
34
Hilangnya Bangunan Ekonomi Kerakyatan
KOLOM 23
26
DIALOG
PERADILAN
Ketika Menyelamatkan Nyawa Dihukum Pidana
SUPLEMEN
Elemen Pendorong Perubahan 37
JEJAK
Mengais Rezeki dengan Seutas Tali
TOKOH
42
DENYUT BAWAH
48
REPORTASE
52
JENDELA
59
SPIRITUALITAS
63
ULASAN
Polemik Hukuman Mati Bagi Koruptor
65
RESENSI
68
MIMBAR
75
Konsistensi dalam Melahirkan Perjuangan Sosial
Nasib Insan Tergusur Kekuasaan Lasem dalam Riwayat Harmoni Alat Propaganda dari Mataram Islam
Aksi Preventif Melalui Religiositas
Lifestyle
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 3
EDITORIAL
Darurat di Negeri Berdaulat
T
erhitung sejak tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Alhasil Indonesia telah lepas dari kendali kekuasaan penjajah. Ia berhak melakukan pengaturan atas penduduk, wilayah, dan sistem ketatanegaraan. Sebagai negara berdaulat, untuk menunjang keberlangsungan hidup bangsa secara mandiri, dibutuhkan penopang modal dasar biaya pembangunan nasional. Modal yang dimaksud yaitu Sumber Daya Alam (SDA). Akan tetapi realita tak berbicara seindah itu, penjajahan dengan perangkat dan model baru pun muncul dengan nama neokolonialisme. Memang para kolonialis tidak lagi mengincar ‘kekuasaan’ untuk menduduki suatu bangsa secara utuh, namun mereka cukup menguasai SDA suatu negara secara besar-besaran untuk kepentingan mereka. Mereka melakukan upaya dengan cara menyerang sistem perekonomian terlebih dahulu. Dibuatnya sistem seliberal mungkin dengan dogma-dogma tertentu. Sehingga mereka dapat melenggang dengan leluasa tanpa ada perlawanan. Melihat UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tak ada perbedaan yang berarti antara pemodal asing maupun domestik. Para pemodal disamaratakan untuk menguasai pasar. Sedangkan dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, di dalamnya 90 persen terbuka untuk dikuasai asing. Maka tidaklah sulit para pemodal asing untuk masuk ke Indonesia. Padahal pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Sudah tentu kedua peraturan ini bertolak belakang. Selanjutnya ketika mereka—para pemodal asing— masuk ke Indonesia, otomatis sistem perekonomian negara akan terporak-porandakan dan menjadi ‘liberal’. Meskipun Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tertulis, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Bagaimana Indonesia bisa berprinsip kebersamaan dan berkeadilan, ketika pendanaan terpusat pada swasta?
4 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Yang ada hanya berkeadilan untuk perseorangan. Kemudian Indonesia pun jadi tak mandiri. Dan pada akhirnya pemodal asing kian berkuasa. ‘Bencana’ ekonomi di bumi nusantara seakan datang tanpa jeda. Hal itu ditandai adanya campur tangan asing dalam bentuk lain yakni organisasi bentukan Perserikatan Bangsa Bangsa, World Trade Organization (WTO). Dengan meratifikasi perjanjian pembentukan WTO, Indonesia tidak hanya telah meliberalisasi sistem perdagangan, tetapi juga mengambil langkah penting untuk mengurangi proteksi. Lalu makna Pasal 33 UUD 1945 mengenai ekonomi kerakyatan pun akan dikesampingkan. Salah satu implikasi dari bergabungnya Indonesia dengan WTO ialah seluruh peraturan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip organisasi tersebut. Padahal ada Pasal 20 General Agreement on Tariffs and Trade huruf a, ini pun tidak juga digunakan. Ketika pasal tersebut digunakan, negara dapat membuat aturan yang menyimpangi dari prinsipprinsip dalam WTO dengan dasar moralitas bangsa.
EDITORIAL
Pemerintah terkesan melepaskan campur tangannya terhadap pengelolaan kekayaan alam. Konstitusi negara dilangkahi oleh nilai liberalisme dalam pengelolaan SDA. Banyaknya perusahaan yang merebut kekayaan Indonesia malah makin membuat rakyat nelangsa. Lalu sebenarnya SDA untuk siapa? Apakah memang untuk bangsa sendiri atau para pemodal asing yang punya dana dan kuasa? Selanjutnya keinginan para pemodal asing terpenuhi dengan mengubah sistem perekonomian Indonesia. Pada akhirnya sistem perekonomian yang seharusnya ekonomi kerakyatan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, terdorong menjadi sistem kapitalis. Kata-kata kesejahteraan pun akan menjadi milik perseorangan. Perlu perenungan mendalam akan masalah yang menerpa bangsa. Sudah seharusnya undangundang pada sektor perekonomian dievaluasi, kemudian diharmonisasikan dengan makna Pasal 33 sebagai dasar atas konstitusi negara. Oleh Ilustrasi Oleh: Dian/Keadilan karenanya, pemerintah perlu mengubah ‘pola pikirnya’ akan kemauan untuk mengelola kekayaan Indonesia dalam pengelolaan kekayaan alamnya pun alam, agar punya wibawa sebagai negara berdaulat. Memang, hubungan internasional pun harus terjalin, makin terpincang-pincang karena adanya perjanjian tersebut. Ditambah lagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai agar dapat saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi tak kepanjangan tangan negara untuk mengelola SDA tak punya serta-merta SDA di Indonesia dilelang sedemikian rupa. Perlulah ditelaah kembali apa saja bagian strategis yang mampu bargain postion yang berarti. Hanya sedikit yang bisa dikelola BUMN. Badan usaha menyejahterakan rakyat Indonesia. Para pendiri bangsa mengharapkan Indonesia dapat itu tak sepenuh hati dalam menjalankan tanggung jawabnya. Padahal dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, “Cabang-cabang pro- berdiri di ‘kaki’ sendiri, tak perlu terlalu mengandalkan pihak duksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang asing dalam penghidupan bangsa. Negara mesti berhati-hati, sekali bergantung, akan bergantung seterusnya. banyak dikuasai oleh negara”. Sehingga maksud dalam Pasal 33 UUD 1945 dapat Pemerintah mengklaim kalau tak mampu mengelola. Padahal dari segi modal, teknologi, dan sumber daya manusia- tercipta sebagaimana mestinya, kesejahteraan rakyat dijunjung nya dinilai sudah mumpuni untuk menyelenggarakan. Mes- setinggi-tingginya tanpa ada pengecualian. Negara perlu berkipun begitu, pemerintah tetap menghalalkan privatisasi dilak- tindak, agar tak dikatakan darurat di negeri berdaulat. sanakan. Boleh jadi kepanjangan tangan negara itu, tidak dapat Redaksi menjadi garda depan lagi dalam pengelolaan SDA. Ketika melihat kondisi bangsa saat ini, bukan kata tak mampu yang tepat, akan tetapi tak mau.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 5
LAPORAN UTAMA
Ilustrasi Oleh: Dian/Keadilan
6 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
LAPORAN UTAMA
Subversi Kedaulatan Sumber Daya Alam Indonesia “Maka prinsip kita harus: apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya?� Soekarno, dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 7
LAPORAN UTAMA
Oleh:
Jefrei Kurniadi
T
anggal 18 Agustus 1945, pembukaan dan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia diundangkan. Naskah tersebut disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam melaksanakan tugasnya, BPUPKI mengadakan dua kali sidang pertama 28 Mei sampai 1 Juni. Sidang kedua berlangsung antara tanggal 10 hingga 17 Juli 1945, salah satunya membahas mengenai rancangan UUD. BPUPKI dan PPKI bertugas untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia serta menyiapkan pemerintahan negara baru, tanpa ada penjajahan dan penindasan. Banyak perdebatan yang terjadi dalam setiap pembahasan per bab, tidak terkecuali tentang kesejahteraan sosial. Di penghujung permufakatan, apa yang diinginkan badan tersebut, semuanya telah tersarikan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Setelah naskah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta, pihak asing masih saja berusaha menguasai Indonesia. Buktinya, tiga tahun setelah kemerdekaan negara, kerajaan Belanda melakukan agresi militer kedua. Akibatnya, Indonesia dipaksa berunding kembali dengan kerajaan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di ‘S-Gravenhage di Belanda. Pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda tersebut, harus ditukar dengan tiga syarat yang ditawarkan. Sebagaimana tertulis di Pasal 4, 15, 25 dan 26 dalam “Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar Sebagaimana Diterima Pada Persidangan Umum Jang Kedua
8 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Terlangsung Tanggal 2 Nopember 1949 Di Ridderzaal Di Kota ‘S-Gravenhage”. Revrisond Baswir, dalam buku Manifesto Ekonomi Kerakyatan, menyebutkan ketiga syarat ekonomi yang harus diterima Indonesia. Pertama, Pemerintah Indonesia harus bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Kedua, Pemerintah Indonesia harus bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan ekonomi dan keuangan yang ditetapkan International Monetary Fund (IMF). Terakhir, Pemerintah Indonesia harus bersedia menerima warisan dan melunasi pembayaran utang Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun kemerdekaan telah diproklamasikan, akibat perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut, Indonesia masih harus menuruti dan mematuhi tekanan Belanda. Hal itu menyebabkan, secara pernyataan Indonesia sudah merdeka, namun secara kenyataan masih terjajah. “Pernyataan kemerdekaan itu tidak identik dengan kenyataan merdeka,” tegas Revrisond. Atas adanya pendudukan pihak asing di Indonesia, pemerintah saat itu melawan untuk melepaskan diri. “Rezim Soekarno pernah melawan keterjajahan atas kolonialisme tersebut,” tambahnya. Peristiwa yang kemudian terjadi ialah, seluruh hasil-hasil KMB dibatalkan secara sepihak oleh Indonesia. Soekarno menandatangani UU Nomor 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia Netherland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar. Perlawanan selanjutnya, pada 23 Agustus tahun 1965, Soekarno mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 1965 tentang Pencabutan UU Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini isinya mengakhiri segala bentuk keterlibatan asing di Indonesia. Pihak asing tidak mau benarbenar melepaskan Indonesia. Lima minggu kemudian, terjadi peristiwa
Gerakan 30 September. Menurut Revrisond, peristiwa itu adalah rekayasa korporasi-korporasi multinasional untuk menghabisi rezim Soekarno. Rezim yang berusaha menjadikan negara Indonesia merdeka dari unsur asing. “Jadi peristiwa 1965 itu masih ada berkesinambungan dengan peristiwa 1956 maupun 1949. Jadi, otak 1965 itu adalah korporasi-korporasi multinasional yang tidak menghendaki rezim Soekarno,” tegasnya. Dia melanjutkan, pembuktiannya itu dikarenakan pada tahun 1966, Soekarno menandatangani tiga UU sekaligus. Yaitu, UU Nomor 7 tentang Persetujuan Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia tentang Soal-soal Keuangan. UU Nomor 8 tentang Indonesia menjadi anggota Asian Development Bank, UU Nomor 9 tentang Indonesia mendaftar kembali menjadi anggota IMF dan World Bank. Di tahun selanjutnya, sebelum Soekarno lengser, dia mengesahkan satu lagi UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Ini yang Revrisond sebut dengan subversi neokolonialisme. Hal ini yang mengakibatkan Indonesia belum merdeka secara nyata sampai sekarang ini. Norma yang Berdaulat Beberapa UU yang mengatur tentang Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diantaranya UU Minyak dan Gas, UU Ketenagalistrikan, UU Sumber daya Air, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal. Ini yang menurut Revrisond sebagai bukti UU yang dibuat ada yang bertentangan dengan falsafah dan ideologi Indonesia. “Dan buktinya jelas, sejumlah UU yang digugat di MK memang bertentangan dengan konstitusi,” imbuhnya. Kalau melihat alur sejarahnya, peraturan tentang SDA Indonesia
LAPORAN UTAMA
sangat pro terhadap modal asing. Salamuddin Daeng, salah satu peneliti Indonesia For Global Justice, mengatakan bahwa hal itu dikarenakan proses pembuatannya banyak didorong oleh kepentingan asing. Aktor-aktor yang di belakang itu adalah negara maju, perusahaan multinasional, sampai lembaga pembiayaan Internasional. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 ditandatangani tanggal 23 April 2014. Perpres ini mengatur tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Dalam peraturan pelaksana ini, sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, energi, dan sumber daya mineral tertulis dalam lampiran dua tentang daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Beberapa bidang usaha di atas masih mengundang modal swasta asing untuk berinvestasi. Untuk sektor energi dan sumber daya mineral, batas minimal kepemilikan modal masih mayoritas. Berdasarkan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tercatat, platform konstruksi migas 75 persen, survei panas bumi 95 persen, pemboran minyak di laut 75 persen, pemboran panas bumi 95 persen, jasa pengoperasian dan pemeliharaan panas bumi 90 persen. Terhadap jasa energi kelistrikan pun rerata modal swasta asing boleh menguasai di atas 90 persen. Menurut Nur Hasan Ismail, Profesor Agraria Universitas Gajah Mada, pemerintah seolah-olah melepaskan campur tangannya terhadap pengelolaan kekayaan alam. Konstitusi negara seakan sudah dilangkahi. Banyaknya perusahaan yang mengambil alih kekayaan Indonesia tidak akan menyejahterakan rakyat. Padahal, Pancasila dan pembukaan UUD menginginkan negara untuk campur tangan supaya kesejahteraan itu tercapai. Salamuddin Daeng mengatakan bahwa modal swasta tujuannya adalah akumulasi keuntungan. Semakin banyak modal swasta ada di Indonesia, semakin banyak yang akan mengakumulasi
keuntungan atas kekayaan negara. Menurutnya, hal itu akan berakibat pada semakin banyak orang miskin yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber daya alam yang ada. Ketimpangan perekonomian akan terjadi. “Nah, itulah mengapa investasi asing akan memiliki unsur yang berlawanan dengan kesejahteraan sosial dan itu akan memiliki korelasi positif dengan kesenjangan sosial,” jelasnya. Liberalisasi dan kapitalisasi yang dijalankan perusahaan multinasional akan mereduksi pengelolaan negara dalam arti sebenarnya. Menurut Daeng, penguasaan yang dimaksud harus satu gagasan. Dia berkata, “Karena negara menguasai, otomatis negara memiliki. Karena negara memiliki, otomatis negara akan mengontrol. Karena negara mengontrol, otomatis negara menjamin kesejahteraan sosial. Bukan penguasaan semu, yang kemudian diserahkan ke swasta”. Daeng juga menambahkan bahwa swasta mempunyai naluri untuk menguasai sebagai akumulasi dan orientasinya berbeda dengan negara yang memiliki peran dalam menjamin
kesejahteraan sosial. Namun, pernyataan berbeda diungkapkan oleh Saleh Abdurrahman, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Dia menjelaskan, dikuasai oleh negara itu pengertiannya adalah seluruh mining right atau hak pertambangan itu ada di negara. Negara berkuasa penuh terhadap hal itu, siapapun tidak bisa melakukan apapun tanpa ada perintah dari negara. Siapapun yang melakukan usaha pertambangan itu, sejauh dia wajib meminta izin kepada negara, maka negaralah yang berkuasa. “Jadi, dimana dikatakan negara tidak berkuasa,” sanggahnya. Dia menambahkan, seharusnya pemerintah memang yang melakukan pengusahaan atas tambang yang ada, namun hal tersebut terkendala modal, teknologi dan sumber daya manusia. Menurutnya, pertambangan minyak, gas, mineral atau batubara itu merupakan industri padat modal, teknologi tinggi dan risiko tinggi. Apabila pemerintah menanggung ri-
Saleh Abdurrahman, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM (23/05). Jefrei/Keadilan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 9
LAPORAN UTAMA
Ann Nurul, Kepala Sub bagian Perundangundangan Minyak dan Gas Bumi Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM (23/05).
Jefrei/Keadilan
siko tersebut, maka anggaran negara akan terkeruk dalam jumlah besar. Dia berharap risiko itu tidak perlu ditanggung oleh pemerintah. Kemudian, solusi dari persoalan tersebut, karena pemerintah memiliki hak pengusahaan, pemerintah bisa menugaskan pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pihak swasta. Perusahaan tidak bisa bergerak kalau tidak mendapat izin dari negara. Itu yang menurut Saleh menunjukkan bahwa negara berkuasa atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. “Darimana dikatakan negara menggadaikan. Saya juga enggak ngerti itu,” jelasnya. Menanggapi banyaknya saham swasta asing yang mengeksploitasi pertambangan Indonesia, Saleh mengatakan bahwa mau tidak mau Indonesia memang harus mengikuti pasar global. Indonesia tidak mungkin hidup sendiri, ini menjadi bagian dari hubungan diplomatik negara. Menurutnya, Indo-
10 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
nesia tidak mungkin menang sendiri, pasti ada yang menang dan kalah, pasti ada yang untung dan rugi. Regulasi yang dibuat, menurutnya memiliki batasan-batasan untuk kepentingan asing. Saleh berucap, “Kita itu utamakan kepentingan nasional. Landasan tetap konstitusi.” Selain Saleh, Ann Nurul, Kepala Sub Bagian Perundang-undangan Minyak dan Gas Bumi, Biro Hukum Sekretariat Jenderal ESDM juga berpendapat sama. Menanggapi adanya keterlibatan perusahaan swasta dalam pembuatan peraturan di ESDM, dia berkata, “Saya enggak komentar ya kalau kayak gitu, kalau saya melihatnya itu terlalu presumption ya.” Menurutnya, peraturan yang dibuat Kementerian ESDM sudah berpihak pada Indonesia. Peraturan yang dimaksud adalah Kewajiban Perusahaan terkait divestasi saham kepada peserta Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013. “Jadi jangan dilihat, dia akan terus-terusan disitu, enggak juga,” ucapnya. Menurutnya peraturan terkait divestasi memang tidak terlalu terdengar di luar, padahal hal itu adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Terkait banyaknya perusahaan swasta asing yang beroperasi di Indonesia, Nurul berpendapat bahwa tolak ukur pro nasional tidak harus melarang asing. Karena Indonesia adalah warga dunia, maka harus juga memperhatikan aturan internasional. “Kita juga kan tidak menutup kemungkinan swasta untuk berinvestasi, namanya juga usaha, kemungkinan ada mendapat keuntungan,” katanya. Untuk menjelaskan mengenai peraturan yang harus dibuat oleh pemeritah, Daeng menjelaskan bahwa kedudukan konstitusi merupakan paling tinggi dalam bernegara, tetapi yang paling dasar adalah filosofi bernegara. Konstitusi bukan sesuatu di ruang hampa. Konstitusi bersumber dari kultur dan nilai sosial masyarakat Indonesia. Salah satu dasar para penggagas dalam membentuk negara ini adalah untuk mengakhiri segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. “Itulah landasannya. Dimana kita temukan, di bagian pertama pembukaan UUD,” ujar Daeng. Untuk itu, demi kesejahteraan sosial, negara harus melakukan campur tangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada. Tidak bisa pengelolaan sepenuhnya diberikan ke pasar. Hal tersebut akan berakibat yang miskin tetap miskin, yang kaya akan semakin kaya. “Ideologi negara kita kan menginginkan negara untuk ikut campur di dalamnya,” ujar Nurhasan. Dia juga menambahkan bahwa fungsi hukum salah satunya adalah rekayasa sosial. “Maksudnya, hukum itu digunakan sebagai instrumen mendorong negara dan setiap orang untuk meningkatkan perekonomian. Ayo meningkatkan perekonomian, ayo, yang miskin supaya tidak miskin,” ujarnya.
Reportase Bersama: Kaukab Rahmaputra dan Aditya Pratama Putra
LAPORAN UTAMA
Neokolonialisme Era Baru, Bernama
“World Trade Organization� Penjajahan era baru telah membelenggu negara ini. Penjajahan itu bukan berbentuk fisik lagi seperti 69 tahun yang lalu sebelum Indonesia merdeka. Penjajahan era baru itu berbentuk organisasi perdagangan dunia yang melalui prinsip dan perjanjiannya menjadikan sistem ekonomi Indonesia liberal.
Oleh:
W
Kaukab Rahmaputra
orld Trade Organization (WTO) merupakan satusatunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan global. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah negara di dunia, serta diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, serta eksportir dan importir dalam melakukan kegiatan. Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan Uruguay Round (1986-1994) serta perundingan sebelumnya di bawah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara anggota, 117 diantaranya merupakan negara berkembang. Seperti yang dikutip dari kemlu.go.id, sekarang WTO menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah Doha Development Agenda (DDA) yang dimulai tahun 2001. Sebagai organisasi perdagangan dunia, WTO memiliki prinsip dasar yang mengikat setiap anggotanya. Menurut
H.S. Kartadjoemena dalam bukunya yang berjudul GATT dan WTO, menuliskan prinsip dan aturan dalam WTO yang pada dasarnya terdiri dari tiga pokok. Pertama, bahwa hubungan perdagangan antarbangsa didasarkan atas prinsip resiprositas. Artinya, perlakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara mitra dagangnya harus diberikan pula oleh negara mitra dagang tersebut, dan perlakuan ini bersifat timbal balik. Kedua, adalah prinsip perlakuan sama, yang sering disebut dengan nondiskriminasi atau dikenal sebagai prinsip Most Favored Nation (MFN). Prinsip ketiga adalah transparasi, artinya perlakuan dan kebijakan yang dilaksanakan suatu negara harus transparan, dapat diketahui mitra dagangnya. Indonesia meratifikasi perjanjian pembentukan WTO pada 2 November 1994 melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang disahkan Presiden Soeharto pada masa itu. Hal ini dilatarbelakangi oleh
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Peraturan tersebut antara lain menegaskan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang semakin mampu menunjang kepentingan nasional serta diarahkan untuk mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional. Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional—di samping kemampuan penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada—keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta kemantapan sistem perdagangan internasional. Salah satu faktor yang sangat memengaruhi perekonomian dunia adalah tatanan atau sistem sebagai dasar dalam hubungan perdagangan antarnegara. Tatanan dimaksud adalah GATT. Persetujuan tersebut terwujud pada 1947, dan Indonesia
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 11
LAPORAN UTAMA
telah ikut serta dalam persetujuan tersebut sejak 24 Februari 1950. GBHN juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung peluang guna menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan sebaikbaiknya. Hal ini dapat dilakukan untuk mendorong ekspor, khususnya komoditi nonmigas, peningkatan daya saing dan penerobosan serta perluasan pasar luar negeri. Bertolak dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam GBHN, apabila segala perkembangan, perubahan, dan kecenderungan global lainnya yang diperkirakan akan dapat memengaruhi stabilitas nasional serta percapaian tujuan nasional, maka perlu diikuti dengan saksama. Sehingga secara dini dapat diambil langkah-langkah yang tepat dan cepat dalam mengatasinya, hal ini tercantum pada penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1994. Arfan Faiz Muhlizi sebagai Kepala Sub Bidang Fasilitas Jabatan Fungsional Penelitian Hukum dan Penelitian di Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) berpendapat bahwa secara normatif ada dua faktor yang menyebabkan Indonesia harus meratifikasi perjanjian pembentukan WTO. Pertama, karena kita tidak bisa lagi menutup diri terhadap perkembangan global di era sekarang, di mana tidak ada lagi batas-batas negara. Meski pun ada teritorialnya, namun secara ide, gagasan, dan perkembangan ideologi itu sudah tidak ada lagi batasan antarnegara. “Nah, kita tidak bisa lagi menutupi diri dari pergaulan internasional, kalau kita tidak meratifikasi perjanjian WTO,” kata Arfan. Kedua, dengan meratifikasi WTO sebenarnya Indonesia memiliki peluang untuk melakukan ‘ekspansi’ ke negara-negara lain. “Ekspansi di sini jangan diartikan pendudukan secara pendekatan kekuasaan,” jelasnya. Dalam latar belakang penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1994, manfaat keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan tersebut pada dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya
12 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
peluang pasar internasional yang lebih luas. Akan tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang. Untuk itu, konsekuensi yang perlu ditindaklanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan peraturan perundangan yang diperlukan. Faktor penting lainnya adalah penyiapan, penumbuhan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya pemahaman di kalangan pelaku ekonomi dan aparatur penyelenggara, terhadap keseluruhan persetujuan serta berbagai hambatan dan tantangan yang melingkupinya. Sistem Ekonomi Liberal dalam WTO Syamsul Hadi, Salamuddin Daeng, Afrimadona, Shanti Darmastuti, Eka Pratiwi, Indah Nataprawira, dalam bukunya Kudeta Putih, menuliskan apabila Indonesia meratifikasi Perjanjian Pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, berarti Indonesia tidak hanya telah meliberalisasi sistem perdagangan, tetapi juga mengambil langkah penting untuk mengurangi proteksi terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Muhammad Riza Adha Damanik membenarkan masalah liberalisasi itu, “Sudah pasti bergabungnya Indonesia dengan WTO menjadikan sistem perekonomian Indonesia libe-
• Arfan Faizmuhlizi, Kepala Sub Bidang Fasilitas Jabatan Fungsional Penelitian Hukum dan Penelitian BPHN, saat diwawancarai di kantornya (23/05).
Kaukab/Keadilan
ral, sehingga filosofi Pasal 33 UUD 1945 mengenai ekonomi kerakyatan dikesampingkan,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice itu. Riza menambahkan soal liberalisasi yang terjadi saat ini, karena efek dari tujuan pembentukan WTO yaitu hendak melakukan liberalisasi perdagangan baik barang, jasa, dan investasi melalui penghapusan hambatan perdagangan dalam bentuk tarif maupun nontarif. Terlebih prinsip WTO mendorong dilakukannya harmonisasi terhadap regulasi nasional dari perjanjian WTO yang telah diratifikasi. Penilaian Riza bahwa WTO membuat perekonomian Indonesia liberal, diamini oleh Arfan, “Iya, saya kira iya,” cetus lelaki berusia 40 tahun ini. Baginya, membicarakan masalah ekonomi dan hukum di Indonesia saat ini sudah bernuansa liberal, sehingga dia tidak sepakat dengan itu. Saat ditanya mengenai seberapa besar prinsip dan persetujuan WTO memengaruhi kebijakan pemerintah dalam pembuatan undang-undang di sektor SDA, Riza menjawab bahwa pengaruhnya begitu besar. Dia mencontohkan, ketika Indonesia menetapkan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagai usaha melindungi SDA yang ada di Indonesia dan memberikan nilai tambah dengan proses hilir—kebijakan untuk menekan ekspor Minerba yang cenderung berlebihan— hanya dilakukan di Indonesia, Jepang dan sejumlah negara mempersoalkan
LAPORAN UTAMA
regulasi nasional di WTO. Jepang merasa dirugikan dengan UU Minerba. Padahal, bahan mentah khususnya nikel paling banyak berasal dari Indonesia. Sedangkan mineral, gas, dan hasil perkebunan Indonesia diekspor untuk kebutuhan industri negara maju. Salah satu implikasi Indonesia bergabung dengan WTO adalah seluruh peraturan perundangundangan di negara ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO. Karena dalam WTO terdapat perjanjian internasional yang dibuat dan disepakati antarbangsa. “Tujuan dari penerapan prinsip tersebut adalah untuk terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum WTO,” ucap Siti Anisah, dosen Hukum Investasi Fakultas Hukum Universitas Islam Indosesia (FH UII). Siti menilai, perlakuan yang sama antara investor asing dan investor domestik melalui UU Penanaman Modal (UUPM) merupakan dampak dari prinsip nondiskriminasi MFN WTO, khususnya berkaitan dengan perjanjian Trade Related Investment Measures (TRIMs). TRIMs adalah perjanjian mengenai aturan-aturan investasi tentang perdagangan yang menjadi salah satu kesepakatan dalam WTO. Maka tujuan lahirnya TRIMs yaitu untuk menyatukan kebijakan dari negara-negara anggota dalam hubungannya dengan investasi asing dan mencegah proteksi perdagangan sesuai dengan prinsipprinsip WTO. Hal ini menyebabkan perubahan bagi UU Investasi di Indonesia, karena menurut Siti dulu pengaturan investasi Indonesia dibedakan menjadi dua, yakni UU Penanaman Modal Asing dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri, sedangkan saat ini hanya ada satu UU. “Inti-intinya dari prinsip umum WTO itu kan kita duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Cuma tadi menjadi tidak adil, ketika yang duduk itu ‘Tarzan’ (negara maju), yang satu ‘anak bayi’ (negara berkembang). Jadi lucu meskipun duduknya pada kursi yang sama, satu kecil dan yang satu besar tegak,”
ungkapnya mencoba menganalogikan. Maka, menurut Siti pengecualian atau penetapan persyaratan di undangundang tersebut diperlukan untuk negara berkembang. Tujuannya adalah melindungi kepentingan Indonesia sebagai negara yang memang berbeda posisinya dengan negara lain yang lebih maju. Selain perjanjian TRIMs di WTO, ada pula perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS). Dari berita yang dilansir www.igj.or.id pada tanggal 2 Maret 2008, GATS merupakan suatu perjanjian di bawah WTO yang mencakup perjanjian umum untuk sektor-sektor jasa. Sektor ini terbagi menjadi 12 sektor jasa, diantaranya jasa pendidikan, konstruksi, komunikasi, keuangan, pariwisata, dan masih banyak sektor lainnya. Tujuannya untuk ‘menebar jala’ liberalisasi di negara-negara anggota, agar mereka bersedia membuka permintaan negara anggota lainnya untuk sektorsektor tertentu. Negara anggota juga diwajibkan menawarkan pembukaan sektor tertentu bagi investor asing. GATS dianggap masih banyak menguntungkan pihak asing karena Indonesia belum begitu siap di bidang jasa. “Memang bidang jasa ini kan mainannya negara-negara maju, dan masih lebih banyak menguntungkan negara maju,” ujar Nandang Sutrisna, dosen Hukum Internasional FH UII. Senada dengan Nandang, Riza berpendapat, jika melihat implementasi dari perjanjian WTO dengan saksama, bisa terlihat secara pasti bahwa yang diuntungkan dalam hal ini adalah multinational corporation yang menggunakan negara sebagai ‘alat’. Hal ini dilakukan untuk membuka jalan ekspansinya
di negara berkembang dan kurang berkembang. “Sebagai contoh konkret, bagaimana perjanjian trade facilitation yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) sembilan WTO kemarin, membuka ekspansi besarbesaran investasi asing di bidang jasa logistik, konstruksi, dan mendorong ekspansi perdagangan barang bagi industri yang saat ini beroperasi melalui mekanisme supply chain,” tambahnya. Menurut data yang diperoleh Keadilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perkembangan realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanam Modal Asing (PMA) per tahunnya dari tahun 2010 sampai 2013, perkembangan PMA setiap tahunnya sangat dominan hingga mencapai seratus persen lonjakan peningkatannya dibandingkan PMDN. Kepala Divisi Humas BKPM, Saribua Siahaan berpendapat bahwa saat ini penguasaan SDA mayoritas dikuasai oleh asing. “Itu dikarenakan ketika ada dispute atau masalah pengelolaan SDA, baik dari segi dana, teknologi dan SDM, kita tidak mampu menyelesaikan,” ungkap Saribua. Pendapat Saribua soal ketidakmampuan Indonesia dalam hal penyediaan modal, teknologi dan SDM, sehingga sektor-sektor strategis SDA dikuasai oleh asing, dibantah keras oleh Riza. Dia menyatakan bahwa pengelolaan SDA di Indonesia harus dikembalikan kepada • Saribua Siahaan
Kaukab/Keadilan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 13
LAPORAN UTAMA
Ilustrasi Oleh: Ina/Keadilan
negara dan harus disalurkan kepada masyarakat. “APBN saya kira cukup sebagai modal untuk melakukan pengolahan SDA yang ada di Indonesia. Sekarang yang dibutuhkan adalah apakah ada inisiatif dari pemerintah untuk melakukan hal tersebut,” tegasnya. Meredam Liberalisasi WTO Atas problematika yang terjadi, perlu kiranya ada gebrakan baru yang dapat meredam liberalisasi WTO dan memberikan perlindungan bagi SDA yang dimiliki Indonesia. Sehingga Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dapat di rasakan bersama penerapannya. Bagi Siti, implementasi Pasal 33 UUD 1945 dapat dilakukan, karena dalam Pasal 20 GATT huruf a berbunyi “Yang penting untuk melindungi moral umum”, dengan hal itu negara dapat membuat aturan yang menyimpangi prinsip-prinsip yang ada dalam WTO
14 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
dengan dasar moralitas bangsa. “Nah, di WTO itu diatur pasal ini. Cuma oleh Indonesia tidak pernah digunakan sebagai landasan norma ketika kita mau membuat peraturan perundangundangan yang ada sangkut pautnya dengan WTO,” tuturnya. Sementara di negara Uni Eropa, Pasal 20 GATT disebut sebagai pasal ‘sapu jagat’ untuk melindungi moralitas negara Uni Eropa. Namun menurut Nandang, hal terbaik untuk melindungi kepentingan Indonesia—khususnya di bidang SDA dari liberalisasi WTO—lebih mengarah kepada penghentian kontrak karya setelah masa kontraknya selesai. Selain itu juga untuk melakukan moratorium investasi asing di bidang SDA, meningkatkan kemampuan SDM Indonesia agar bisa mengelola SDA sendiri dan pemerintah harus bisa menahan diri dari pelepasan SDA ke asing. Lain halnya dengan Riza, dia mengambil langkah tegas dengan mengevaluasi dan membatalkan seluruh perjanjian perdagangan bebas, baik yang bersifat multilateral, regional, dan bila-
teral yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu juga untuk menyusun regulasi nasional yang memperkuat keterlibatan rakyat dalam mengelola kekayaan bumi Indonesia secara berkelanjutan dan berkeadilan. Hal yang harus diperhatikan ialah berhenti masuk dalam perangkap ketergantungan hutang luar negeri, “Karena hutang luar negeri menjadi pintu masuk kuatnya hegemoni asing membelokkan regulasi nasional kita dan merampok sumber daya alam kita,” pungkas lelaki kelahiran Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara tersebut.
Reportase Bersama: Jefrei Kurniadi, dan Aditya Pratama Putra
LAPORAN UTAMA
BUMN dalam
Belenggu
Asing
Indonesia telah berhak melakukan pengaturan atas penduduk, wilayah, dan sistem ketatanegaraan. Guna menunjang keberlangsungan hidup bangsa, dibutuhkan penunjang untuk modal dasar biaya pembangunan nasional. Modal yang dimaksud ialah sumber daya alam. Oleh:
S
Aditya Pratama Putra
ebagaimana yang tercantum Melihat maksud dan tujuan pada Pasal 33 ayat (2) UUD tersebut, dari kekayaan alam yang ada, 1945, “Cabang-cabang produksi Indonesia hanya memiliki lima BUMN yang penting bagi negara dan yang bergerak di bidang penggalian dan yang menguasai hajat hidup orang banyak pertambangan, yakni PT. Pertamina dikuasai oleh negara”. Oleh karenanya, (Persero) Tbk, PT. Timah Tbk, PT. dibentuklah Badan Usaha Milik Negara Bukit Asam Tbk, PT. Inalum, dan PT. (BUMN), sebagai garda depan untuk Antam Tbk. Kondisi ini berbanding menguasai Sumber Daya Alam (SDA) terbalik dengan perusahaan swasta yang menyangkut hajat orang asing yang banyak. Revrisond Baswir dalam bukunya, Manifesto Eko“BUMN itu adalah milik senomi Kerakyatan tercantum rakyat Indonesia. Kalau Anda bahwa peran BUMN sendiri memprivatisasi BUMN termasuk sebagai kepanjangan tangan ke pemodal domestik, berarti Anda pemerintah terkait penguasaan merampas hak rakyat, dan meatas SDA di Indonesia. nyerahkannya ke segelintir orang. Menurut Pasal 2 huruf a dan c UU Nomor 19 Jadi yang terjadi pengurangan hak Tahun 2003 tentang BUMN rakyat terhadap BUMN,” tegas yakni maksud dan tujuan penRevrisond Baswir. dirian BUMN antara lain, memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan beroperasi menggali kekayaan alam negara pada khususnya, serta menye- Indonesia. Lebih dari 30 perusahaan lenggarakan kemanfaatan umum be- asing mengambil alih eksploitasi sektor rupa penyediaan barang dan/atau jasa minyak, gas, mineral, dan pertambangan. yang bermutu tinggi dan memadai bagi Alih-alih mewujudkan apa yang pemenuhan hajat hidup orang banyak. tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945,
pada tahun 1967 muncul UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sejak saat itulah pemodal asing dapat masuk ke Indonesia. “Dibuka pintu lebar-lebar untuk masuknya modal asing. Nah disitulah terjadi pengkhianatan pertama antara undangundang terhadap Undang-Undang Dasar,” ungkap Revrisond, dosen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian pada tahun 2007 muncul UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam UU tersebut, tidak ada lagi perbedaan antara penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Melihat peraturan tersebut, tersirat bahwa sistem perekonomian di Indonesia saat ini menganut sistem liberal yaitu membuka sebebas-bebasnya investor asing masuk. “Terbit Undang-Undang penanaman modal yang baru, ya yang jauh lebih liberal,” tambahnya. Seperti yang dilansir oleh kompas.com pada Mei 2011, bahwa di sektor minyak dan gas (Migas), penguasaan cadangan Migas oleh perusahaan asing masih dominan. Dari total 225 blok Migas yang dikelola kontraktor
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 15
LAPORAN UTAMA
kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 Pertamina kita kan seperti dikerdilkan, blok dioperasikan perusahaan asing, dipecah menjadi Satuan Kerja Khusus hanya 28 blok yang dioperasikan per- Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak usahaan nasional, serta sekitar 77 blok dan Gas Bumi (SKK MIGAS),” ungkap dioperasikan perusahaan gabungan Direktur Indonesian Resources Studies itu. asing dan lokal. Ketika keadaan memang di Pemerintah melalui abaikan, ditambah lagi deDirektorat Jenderal Migas, ngan adanya privatisasi Kementerian Energi dan BUMN, maka investorSumber Daya Mineral investor asing dapat (ESDM) menetapkan dengan leluasa untuk target porsi operator oleh ‘mengoyak-ngoyak’ perperusahaan nasional menekonomian Indonesia capai 50 persen pada tahun Menurut Dawam Rahadjo, 2025. Saat ini porsi nasional • Andi Novianto Profesor Ekonomi Universitas hanya 25 persen, sementara 75 Proklamasi, negara saat ini persen dikuasai asing. menganut sistem liberal. Perusahaan Masalah tersebut ditengarai perusahaan milik negara nantinya akan karena pemerintah tidak mampu men- diprivatisasi. Dalam hal ini, setelah danai pengelolaan terkait SDA. Saat adanya privatisasi, perusahaan yang taini, pemerintah hanya investasi 25 per- dinya milik negara akan menjadi milik sen, sedangkan sisanya dari investor swasta. “Jadi negara itu diminta untuk swasta nasional maupun asing. “Jadi mendukung kapitalisme dalam sistem untuk dalam hal pembangunan sendiri, ekonomi kapitalis, itu menolak semua porsi terbanyak ada di masyarakat dan peranan negara,” jelasnya. swasta,” ungkap Andi Novianto selaku Penjualan saham sesuai pasar Sekretaris Deputi Geologi Kemenko modal disini, dimaksudkan agar BUMN Perekonomian. dapat melakukan penjualan pada swas Namun, dalam hal ini peme- ta. Parahnya lagi tidak ada batasan rintah terkesan melepaskan campur antara swasta asing dengan swasta natangannya terhadap pengelolaan ke- sional. Menurut pihak BUMN, proses kayaan alam. Konstitusi negara di- privatisasi ini nantinya akan memperluas langkahi oleh nilai liberalisme dalam kepemilikan masyarakat, meningkatkan pengelolaan SDA. Banyaknya perusa- efisiensi, dan menciptakan struktur haan yang merebut kekayaan Indonesia ekonomi yang kuat. “Memmalah makin membuat rakyat nelangsa. perluas kepemilikan maPadahal, dalam Pasal 33 ayat (2) UUD syarakat itu kan cukup 1945 ‘menginginkan’ negara untuk cam- dimiliki masyarakat,” pur tangan supaya kesejahteraan itu ungkap Rini Widiastuti tercapai. “Kalau yang kecil ini (rakyat bagian Pelayan Hukum miskin), tidak ada campur tangan ne- satu BUMN. Penjualan gara, sepenuhnya diserahkan kepada saham tersebut nanpasar, ya akan tergilas, itu yang terjadi tinya diserahkan sesekarang,” ungkap Nurhasan Ismail, luruhnya pada pasar Profesor Agraria UGM. modal. Sedangkan Hatta Taliwang ber- Berdasarkan pendapat bahwa apabila kembali pada Pasal 1 angka 12 spirit UUD Pasal 33, negara berdau- UU Nomor 19 Talat atas kekayaan alam. Sehingga untuk hun 2003 tentang hal-hal aset yang strategis untuk negaAditya/Keadilan ra –SDA—harusnya dikuasai negara dan wujudnya dalam bentuk adanya BUMN, seperti halnya Pertamina. “Jadi
16 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
BUMN yakni privatisasi merupakan penjualan saham pemerintah atas suatu BUMN kepada pemodal perseorangan. Ada tiga cara penjualan saham pada BUMN, yakni penjualan saham berdasarkan pasar modal, penjualan langsung pada investor, dan penjualan kepada karyawan persero yang bersangkutan. Hal tersebut tercantum dalam PP Nomor 59 Tahun 2009 Pasal 5 tentang Perubahan PP Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan. Padahal BUMN yang merupakan amanat dari UUD 1945 tidak boleh diprivatisasi, baik oleh pemodal asing maupun domestik. Artinya BUMN adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Revrisond menuturkan bahwa apabila BUMN diprivatisasi, berarti merampas hak rakyat dan menyerahkannya ke segelintir orang. Sehingga yang terjadi pengurangan hak rakyat terhadap BUMN. Selain itu, BUMN secara tidak langsung dilemahkan oleh pemodal asing dan membuat mereka dapat melanggengkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya privatisasi menjadi program kekuatan pemodal asing untuk menghabisi BUMN. Patut diketahui, privatisasi juga merupakan paket kebijakan Konsensus Washington yang berisi agendaagenda ekonomi neoliberalisme yang dirumuskan oleh International Monetary Fund, World Bank, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat pada 1998. Dalam konsensus tersebut, berisi empat agenda diantaranya kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi BUMN. Adanya keter-
LAPORAN UTAMA
•
Kaukab/Keadilan Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 saat diwawancarai Keadilan di kantornya (14/11).
kaitan privatisasi dengan penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, dan liberalisasi perdagangan, maka pelaksanaan privatisasi sesungguhnya hanyalah satu unsur dari proses transformasi besar-besaran menuju penyelenggaraan sistem ekonomi neoliberalisme. Sehingga, pelaksanaan privatisasi hanyalah bagian dari sebuah upaya besar untuk merombak perekonomian campuran menjadi perekonomian pasar bebas sebagaimana yang tertulis pada buku Manifesto Ekonomi Kerakyatan. Menurut Andi, memang sebenarnya pemerintah mengharapkan peran dari swasta nasional dan masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan pemodal asing. Akan tetapi kenyataannya pemodal domestik kesulitan untuk menunjang investasi di tingkat nasional. “Maka peran internasional juga bisa masuk ke sana,” paparnya. Dia juga mengharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, dengan salah satu caranya yakni meningkatkan investasi. Investasi ini dapat berasal dari investor nasional maupun asing. Pendanaan tersebut pada intinya ialah upaya dari pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keterbatasan pemerintah dalam pendanaan di tingkat nasional, akhirnya pemerintah mengambil investasi di tingkat lainnya yaitu dari luar–modal asing. “Misal melalui pinjaman-pinjaman, seperti itu,” imbuh
Andi. Terkait masalah pendanaan dari sektor pinjaman, pihak BUMN menambahkan bahwa pendanaan juga berasal dari pinjaman lembaga pembiayaan internasional. “Kalau kita bicara pinjaman, asal kita bisa mengembalikan, ya why not. Mau asing kek, mau ini, gitu, ketika butuh duit kan seperti itu,” lanjut Rini. Akan tetapi, pihaknya pun mengakui, jika melakukan pinjaman dari luar, maka secara tidak langsung pemerintah dapat dipengaruhi dalam berbagai kebijakan dalam pengaturan konstitusi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedaulatan Indonesia pun terancam. “Kita berutang pada satu institusi gitu, otomatis kan, pasti sedikit banyak kita akan dipengaruhi,” ungkap Rini dengan mencontohkan. Selain masalah pendanaan, terdapat juga masalah teknologi dan rakyat yang hanya dijadikan buruh pada pengelolaan SDA. Hal itu yang membuat Indonesia masih bergantung pada perusahaan-perusahaan asing. “Nah kita harapkan akan ada transisi, ada perubahan sehingga pada saat kemampuan kita sudah mulai meningkat, baik di bidang pendanaan, sumber daya manusia, dan teknologi,” jelas Andi. Menurut Salamudin Daeng, apabila ditinjau dari teknologi, seharusnya tidak memiliki kekurangan. Dia mencontohkan dalam hal minyak, menurutnya Indonesia sudah sangat hebat, bahkan bisa memasuki 500 perusahaan terhebat di dunia. Sedangkan untuk alasan teknologi, terkait galian tambang itu cuma penggalian saja. Hal tersebut harus didasari kemauan dari pemerintah. “Kan dulu ada Antam, tapi sekarang Antam diperlemah, Antam lebih jago. Kalau alasan-alasan itu, alasan-alasan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dan itu cenderung merupakan pesanan pihak tertentu,” ujar Daeng selaku salah satu peneliti Indonesia for Global Justice. Melihat kondisi yang sedemikian rupa, pemerintah bukannya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pengeloaan terhadap SDA. Te-
tapi justru pemerintahlah yang tidak mau mengelolanya. “Mampu dibuat tidak mampu, bukan hanya BUMN, bahkan rezimnya mencoba membuat kemampuan akan dihabisi,” tukas Revrisond. Menurut Dawam, pemerintah harus mengelola SDA yang dimiliki negara. Sektor-sektor penting bagi penujang kesesejahteraan rakyat harus dikuasai nasional. Saat ini BUMN memang dirasa belum dapat mengelola SDA. Seharusnya, tidak perlu dibuka ‘keran’ lebar-lebar untuk perusahaan asing. “Lebih baik disimpan aja, nanti suatu ketika kan kita bisa mengelola sendiri,” paparnya. Revrisond mengungkapkan apabila sistem perekonomian di Indonesia sangatlah liberal. Hal ini terlihat pada UUD 1945 yang mengatakan ekonomi kerakyatan, namun sebaliknya peraturan di bawahnya mendorong menjadi negara kapitalis. Indonesia saat ini membutuhkan keberanian, kemampuan, dan komitmen untuk melakukan harmonisasi dalam bidang ekonomi terhadap UUD 1945. “Undang-undang perekonomian mau nggak undangundang itu dievaluasi, lalu diharmonisasikan terhadap amanat Pasal 33 itu saja kerja besarnya,” jelasnya. Harus dilakukan restorasi terhadap undang-undang, sehingga dapat menjamin kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan SDA. “Jadi diadakan peraturan-peraturan setingkat serupa, sehingga modal asing itu enggak suka di sini. Enggak usah diusir, ya tapi dipersulit,” ujar Dawam. Selain melakukan restorasi undang-undang, perlu juga melakukan nasionalisasi perusahaan milik asing di Indonesia. “Sampai betul-betul nasional. Jadi, melakukan proses nasionalisasi secara bertahap, dan secara demokratis,” tambahnya. Reportase bersama: Jefrei Kurniadi dan Kaukab Rahmaputra.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 17
DIALOG
Ekonomi Kerakyatan Oleh :
Hilangnya Bangunan
Kaukab Rahmaputra
D
alam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bung Hatta juga berulangkali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ialah koperasi. Akan tetapi penjelasan pasal tersebut kini telah dihapuskan, sehingga bangunan perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan yakni koperasi mulai kabur. Koperasi yang ada di Indonesia pun mulai tidak sejalan dengan fungsinya, yaitu sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional yang sering disebut soko guru perekonomian Indonesia. Untuk ‘mengupas’ persoalan tersebut, maka Keadilan mewawancarai Awan Santosa, mantan Direktur Sekolah Pasar dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada Periode 2012 sampai 2013. Saat ini dia menjadi Direktur Pusat Pengukuran dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan.
Penyebab koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian Indonesia? Ada tiga alasan, pertama, jika diruntut dari realitas historis, sosiologis, dan yuridis, tradisi saling menolong, gotong royong, dan saling membantu sudah mengurat nadi dalam kebudayaan masyarakat kita. Hal itu yang kemudian menjadi roh atau saripatinya koperasi. Kedua, masuknya kolonialisme selama 3,5 abad membuat bangsa tercerai-berai, kekayaan yang dihisap, dan kemudian tidak ada cara yang lain untuk mengatasi itu kecuali dengan melalui koperasi, karena kita harus melawan korporasi besar. Ketiga, bahwa koperasi itu memang senafas dengan spiritualitas bangsa Indonesia yang transendental. Cita-cita koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia? Pertama, kapital itu dikelola oleh koperasi. Kedua, cita-citanya di sektor perdagangan, kebutuhan pokok disirkulasikan dan didistribusikan oleh koperasi.
18 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Masih relevankah koperasi saat ini disebut sebagai soko guru perekonomian Indonesia? Melihat realitasnya memang jauh sebagai sokoguru perekonomi Indonesia, artinya apa yang diharapkan dari tiga alasan itu, realitasnya sekarang jauh. Jauh itu misalnya bisa dilihat dari struktur ekonominya. Alih–alih berkoperasi, tapi faktanya malah yang mendominasi korporasi. Kemudian kalau bicara bagaimana kita mengelola kekayaan alam Indonesia, selain dikelola negara, sebagian besar justru dikelola oleh perorangan yang bertolak belakang dengan semangat koperasi. Penghapusan penjelasan pasal 33, menghapuskan bangunan usaha yang sesuai asas kekeluargaan yaitu koperasi, apa implikasinya bagi perekonomiaan Indonesia? Kalau implikasi realnya sangat kelihatan, yakni sistem eko-
DIALOG
nomi kita semakin berjalan keluar dari ‘rel’nya. Seperti tadi, pendiri bangsa sudah membuatkan ‘rel’nya untuk dilalui, tetapi secara nyata sejak tahun 1967 ‘gerbong’nya sudah keluar dari ‘rel’nya. Koperasi hanya sebagai pelengkap penderita, yaitu alat politik kekuasaan. Urgensi penghapusan penjelasan pasal tersebut? Ya semacam untuk mengaburkan fokus atau kiblat— ekonomi kerakyatan—kita, sehingga menjadi kabur dan dapat menyimpang dari idealnya. Berarti koperasi mempunyai peran besar untuk kemajuan ekonomi Indonesia? Iya, kalau betul-betul Indonesia mau konsisten ke situ, maka seharusnya keadaan tidak seperti hari ini. Lihat negaranegara yang sering kita anggap kapitalisme dan individualisme, justru mereka itu negara yang basisnya koperasi. Misalnya Jerman, satu-satunya negara yang tidak terkena krisis finansial global pada tahun 2008, karena pengambilan keputusannya dilakukan secara bersama—kekuatan koperasi. Tidak seperti Brazil, Rusia, Yunani, Spanyol, dan Italia yang bangkrut pada tahun itu.
Menurut Anda, bagaimana kondisi koperasi Indonesia saat ini? Koperasi di Indonesia jumlahnya banyak, tetapi hanya bisa menampung segelintir orang. Selanjutnya berkoperasi di Indonesia malah menciptakan sekat, hal itu bertolak belakang dengan fungsi koperasi yang pada dasarnya untuk menghapus sekat, diskriminasi, dan persamaan. Sepertinya koperasi di Indonesia tidak berjalan secara maksimal, apa penyebabnya? Seperti yang saya bilang tadi, bahkan sejak tahun 1967, koperasi sudah dibuat menyimpang dengan lahirnya Udang-Undang Penanaman Modal Asing. Koperasi pada masa itu ada, namun tidak digunakan untuk mewujudkan cita-cita konstitusi, melainkan untuk memenuhi kepentingan politik kekuasaan Orde Baru pada waktu itu. Total koperasi nasional sampai akhir adalah 203.701. 143.117 masih aktif dan 60.584 sudah mati. Apakah dengan jumlah itu sudah ideal bagi negara ini? Inilah persoalan Indonesia, bedanya koperasi di negara maju dan negara Indonesia ialah kalau koperasi di negara maju jumlahnya sedikit tetapi anggotanya banyak. Kalau di Indonesia tidak, jumlah koperasi banyak, sedangkan jumlah anggota sedikit. Disini tidak mempermasalahkan jumlah koperasi, karena yang lebih penting ialah jumlah anggotanya. Negara mana yang bisa dikomparasikan dalam hal pemanfaatan koperasi dalam pembangunan ekonomi negara? Bisa kita lihat di Jerman, koperasi disana secara dominan mengelola keuangan negaranya. Sekitar 83 persen pangsa pasar perbankan dan keuangan dikuasai oleh koperasi. Sedangkan di Indonesia, sektor perbankan 55 persen dikuasai oleh asing dan 35 persen domestik.
• Awan Santosa
Ina/Keadilan
Apa yang harus dilakukan agar koperasi dapat berfungsi secara optimal kembali? Memang UU koperasi harus segera diganti. Semestinya dibuat UU baru yang menjadi dasar untuk menertibkan dan mengarahkan pergerakan koperasi.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 19
KOLOM
Jeritan Alam Di Kala Modernisasi
Oleh: Nikmah Mentari*
B
umi boleh jadi tak kuasa berbicara, namun ia mengisyaratkan kepada semesta agar memberi pelajaran bagi manusia. Sepuluh tahun terakhir, Indonesia memasuki daftar negara dengan tingkat intensitas bencana tinggi. Tanpa manusia sadari, alam telah berbicara dan memberontak dengan memberi bencana agar manusia mampu berpikir jernih serta dapat memaknai kehidupan di muka bumi ini. Manusia akan bergantung pada alam seharusnya dapat dipahami lebih mendalam mengenai hak-hak alam yang juga harus dihormati dan dilindungi. Bukan malah sebaliknya, manusia menundukkan alam di bawah kekuasaan dan kemampuannya. Yang terjadi kemudian adalah bencana banjir, longsor, hujan asam, serta munculnya rentetan penyakit aneh dan baru yang merupakan akibat dari pergeseran ekosistem lingkungan yang telah rusak atau tercemar. Sebagai negara dengan kekayan alam yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia menjadi incaran investor asing dalam menanamkan modal baik dalam pengelolaan sumber daya alam secara langsung maupun tidak langsung. Sumber daya alam menjadi komoditas yang paling menguntungkan, karena beberapa negara lain tidak memiliki apa yang dimiliki oleh tanah subur di Indonesia. Eksploitasi dan eksplorasi seolah menjadi rutinitas di bumi pertiwi untuk setia demi menghidupi 260 juta jiwa penduduk Indonesia. Akan tetapi, demi memenuhi kebutuhan komersil tersebut, justru mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Misalnya saja PT. Freeport Indonesia, yang merupakan perusahan multinasional, di Kabupaten Mimika-Papua telah menghasilkan tailing
20 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
dok. • Penulis adalah mahasiswi aktif angkatan 2012
(limbah tambang) dengan kandungan asam tinggi serta beracun yang telah mencemari sungai Ajkwa yang melebihi batas legal di sungai tawar. Seperti kita ketahui air sungai yang tercemar akan mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai, mencemari air sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar. Dalam apitmoti. blogspot.com, dikatakan bahwa produksi tailing dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan, sungai, dan lahan basah seluas 120 ribu hektar, mirisnya lagi, Freeport berdasarkan kontrak karya yang diperpanjang hingga tahun 2041 itu artinya limbah yang dihasilkan mencapai 225 ribu hingga 300 ribu ton bijih per hari. Dewasa ini dikenal adanya teori biosentrisme dan ekosentrisme yang mengakui keberadaan alam sebagai subjek pemegang hak asasi, yang biasa disebut dengan hak asasi alam. Alam mempunyai hak untuk tidak diganggu gugat, dirugikan, dirusak maupun dicemari. Makhluk hidup selain manusia yang merupakan bagian dari alam, harus dibiarkan hidup dengan komunitas atau berada dalam ekosistem mereka sendiri. Sama halnya dengan manusia yang membutuhkan alam, keberadaan makhluk hidup lain juga membutuhkan alam sebagai sumber penghidupan. Keseimbangan antara alam dan makhluk hidup baik manusia maupun bukan
manusia (animalia dan sejenisnya) pada hakikatnya kembali pada kemaslahatan umat manusia itu sendiri. Keleluasaan dan kekuasaan manusia terhadap makhluk hidup lain untuk mengelola alam tanpa batas, menunjukkan posisi nilai tawar atas kehidupan di muka bumi ini cenderung materialis-hedonis sehingga kepentingan lingkungan menjadi urutan kesekian. Masyarakat diracuni oleh pemikiran-pemikiran konsep modernisasi melalui pembangunan tidak ramah lingkungan demi kemajuan suatu bangsa. Belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, Indonesia dituntut untuk memakmurkan bangsa dengan pengelolaan yang begitu ekstrem, industrilisasi di kota-kota besar bahkan dewasa ini daerah-daerah pelosok, atau hutan adat menjadi incaran untuk menanam modal dengan membabat beberapa hektar hutan sebagai tempat usaha. Arus ekonomi selalu menjadi landasan yang tiada hentinya demi melancarkan izin atas pengelolaan sumber daya alam. Lalu dimanakah letak kepentingan alam itu sendiri? Bukankah jika hak-hak alam dihormati dan dilindungi semua itu akan kembali pada kemaslahatan umat manusia itu sendiri? Nampaknya, pertanyaan-pertanyaan itu masih jauh dari pemikiran pejabat maupun pengusaha. Bagi mereka, keuntungan sebesar-besarnya atas pengelolaan alam itulah tujuan utama. Urusan jika alam rusak masih akan terlihat 20 hingga 50 tahun mendatang, sehingga persoalan itu dianggap tidak perlu diselesaikan saat ini juga. Manusia membuat teknologi untuk merusak alam lalu kemudian menuntut teknologi untuk menanggulangi kerusakan tersebut. Ketergantungan teknologi menggeser kedudukan alam sebagai prioritas, sehingga teknologi canggih
KOLOM
Ilustrasi Oleh: Ina/Keadilan
mendapat tempat dan perlakuan spesial di mata publik. Bencana yang ditimbulkan adanya kebutuhan materialistik dan kecanggihan teknologi yang sangat fenomenal, yakni meluapnya lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo yang terjadi pada Maret 2006, oleh PT. Lapindo Brantas, inc. Human error rupanya menjawab semua kebutuhan materialistik tersebut dan kesalahan manusia tak mampu diatasi oleh kecanggihan teknologi. Hingga sampai kini terhitung 16 desa dan lebih dari 728 hektar telah tergenangi lumpur sehingga tak ada kehidupan lagi di sana. Peristiwa yang merugikan negara dan bangsa ini membuktikan bahwa, secanggih dan sebutuh apapun manusia akan alam, tetap harus memperhitungkan serta melestarikan keberadaan alam itu,
sebagai bentuk penghormatan atas hak asasi alam. Jika ingin meninjau lebih jauh lagi, masih banyak daftar pengelolaan alam serta pencemaran lingkungan yang memporak-porandakan stabilitas ekosistem di Indonesia. Disadari atau tidak, kecanggihan teknologi yang sangat digantungkan masyarakat kini sedikit banyak telah merusak alam. Padahal, jika kita kembalikan lagi akan kebutuhan dasar manusia akan kelangsungan hidupnya, maka alamlah yang sangat memiliki peranan penting. Wajar jika alam mempunyai hak asasi layaknya manusia sebagai penerima subjek hukum untuk dihargai dan dihormati serta dijunjung tinggi. Pada akhirnya kebaikan lingkungan akan bermanfaat bagi kehidupan manusia juga. Selain itu, kurang adanya kontrol
dan pengawasan dalam pengelolaan lingkungan membuat keadaan alam semakin terpojokkan, lemah dan tak berdaya demi memenuhi hasrat kerakus-an manusia atas diri sendiri. Dewasa ini, Prof. Jimly Asshiddiqie mengangkat isu mengenai kedaulatan lingkungan hidup, yang merupakan penafsiran atas Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 tentang Sumber Daya Alam. Di mana negara seharusnya menerapkan kedisiplinan dalam mengelola lingkungan, sehingga tidak hanya memenuhi kebutuhan generasi masa kini namun dapat juga dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang dengan tetap memerhatikan aspek-aspek lingkungan yang baik dan sehat. Peranan lingkungan yang begitu penting untuk kelangsungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya juga harus mendapatkan tempat dimata konstitusi serta hukum di negara kita. Pemerintah harus lebih sensitif dan jeli dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, sehingga kepentingan kelestarian alam tetap terjaga tanpa mengurangi tujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Selain itu, sebagai generasi penerus bangsa dan penerima titipan Ilahi ini, maka kita harus ikut mendukung adanya gerakan Go Green. Baik dalam skala kecil maupun skala besar. Maka setidaknya dengan langkah kecil kita mampu membantu mengurangi kerusakan lingkungan. Di kehidupan mendatang, anak-cucu kita masih membutuhkan titipan alam yang bersih, sehat dan baik serta terhindar dari bencana untuk diri mereka sendiri. Sehingga sangat toleran jika kita tidak hanya memikirkan kebutuhan hidup untuk diri masingmasing saat ini. Oleh karena itu, kerjasama antara pemerintah dan rakyat dalam menjunjung tinggi kedaulatan lingkungan hidup, bukan hal mustahil bagi Indonesia untuk memperbaiki kualitas hidupnya dalam menempati salah satu sudut bumi.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 21
KOLOM
GBHN Vs Globalisasi
Oleh: Salamuddin Daeng*
W
acana pentingnya GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) kembali mengemuka ke tengahtengah publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan nasional di Bandung menyatakan pentingnya semua kalangan memikirkan tentang GBHN. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerja sama dengan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) dalam diskusi bertemakan “Menata Sistem Ketatanegaraan” pada 10 November 2013 di Gedung MPR, mengemukakan gagasan yang sama yakni pentingnya GBHN sebagai panduan arah berbangsa dan bernegara. Meskipun disadari masih ada elemen masyarakat—karena ketidakmengertiannya—merasa fobia terhadap istilah GBHN yang dianggap sebagai warisan orde baru. Padahal konsepsi GBHN bukan merupakan produk Orde Baru, namun merupakan amanat UUD 1945. Menguatnya wacana tentang GBHN didasarkan pada strategi dalam menghadapi era globalisasi, sekarang ini Indonesia dihadapkan pada masalah yang semakin kompleks. Sementara Indonesia tidak memiliki strategi yang cukup kuat dalam menghadapi tantangan dan ancaman yang ada. Selain itu, globalisasi yang diikuti dengan liberalisasi dalam seluruh sektor ekonomi dan politik, menyebabkan Indonesia tidak dapat menyatukan kekuatan yang dimilikinya dalam menghadapi setiap hambatan. Masingmasing unsur dalam pemerintahan dan masyarakat, seperti partai politik dan organisasi masyarakat memperjuangkan kepentingan untuk mencapai tujuannya. Sementara di sisi lain, Indo-
22 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
dok. • Penulis adalah Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia-Jakarta
nesia harus berhadapan dengan kekuatan global yang sangat besar. Perusahaan multinasional memperkuat cengkeramannya menggunakan tangan pemerintahan negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), dan lain-lain. Sehingga menekan negara miskin seperti Indonesia dengan tekanan utang luar negeri. Programprogram utang dari lembaga keuangan internasional tersebut, sangat efektif memperkuat dominasi modal asing atas ekonomi Indonesia. Kekuatan global tersebut bekerja dengan sangat sistematis, terencana, dan efektif melalui organisasi perdagangan internasional, seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), ASEAN Free Trade Area (AFTA). Organisasi-organisasi supranasional ini mengeluarkan berbagai peraturan yang mengikat semua negara. Kekosongan Haluan Negara Di tengah persaingan global
yang semakin ‘mematikan’, Indonesia tidak memiliki haluan negara yang memandu jalannya pemerintah dan segenap kekuatan bangsa dalam menghadapi segala macam tantangan dan ancaman. Baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. GBHN yang selama ini dijadikan paduan telah dihilangkan dari sistem ekonomi Indonesia. Padahal GBHN merupakan haluan bersama elemen bangsa dalam mencapai cita-cita nasional, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan merupakan pelaksanaan dari prinsip gotong royong, kebersamaan, dan persatuan nasional. Hilangnya GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pada era reformasi. Penghapusan GBHN didorong oleh semangat liberalisasi ekonomi dan politik sebagai bagian dari agenda reformasi. Sejarah hilangnya GBHN dimulai sejak amandemen ke empat UUD 1945 yang mengubah Pasal 1 ayat (2) tentang pembubaran MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Kekuasaan negara dibagikan kepada berbagai lembaga yang diatur melalui UUD dan UU dengan prinsip check and balance. Padahal berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, MPR memiliki hak mengeluarkan Tap MPR. Kedudukan dari Tap MPR berada di bawah UUD namun lebih tinggi dari UU. GBHN ditetapkan melalui Tap MPR untuk dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris MPR, DPR, beserta semua lembaga tinggi negara lainnya. GBHN juga wajib dilaksanakan oleh semua pemerintah daerah. Presiden dapat diberhentikan oleh MPR jika terbukti melanggar GBHN. Namun sekarang, MPR tidak lagi memiliki kewenangan di dalam
KOLOM
membuat Tap MPR. Presiden juga bukan mandataris MPR karena dipilih langsung oleh rakyat. Demikian pula dengan lembaga tinggi negara lainnya tidak bertanggungjawab kepada MPR. Lembaga-lembaga negara bekerja berdasarkan UU. Sementara UU lahir sebagai kompromi dan ‘bagi-bagi jatah’ di antara DPR dan presiden. Bayangkan, setiap tahun DPR dan presiden memproduksi sekitar 60 sampai 70 UU. Seringkali UU dibuat untuk mengejar target pembuatan, sebagaimana yang dirancang dalam daftar legislasi nasional. Sementara itu, masyarakat dapat menggugat UU ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika dianggap melanggar UUD. Akibatnya tidak ada haluan bersama dalam menjalankan negara. Tidak ada lagi tujuan pembangunan yang disusun berdasarkan skala prioritas. Masingmasing lembaga negara bekerja untuk kepentingan lembaganya. Seringkali, pejabat pada berbagai lembaga merupakan representasi partai politik yang saling bersaing. Akibatnya, lembaga negara bersaing satu sama lain dan saling menyerang serta menyudutkan. Di tengah konflik, perpecahan, dan huru hara dalam ekonomi dan politik nasional. Modal asing semakin leluasa dalam menguasai sumber-sumber strategis, kekayaan alam, dan pasar Indonesia bagi ekspansi produk-produk mereka. Kekuatan nasional tidak lagi dapat menyolidkan dirinya. Cengkeraman Globalisasi Jika kita belajar dari sejarah, musuh terbesar bangsa dan negara Indonesia adalah imperialisme atau
penjajahan asing. Penjajahan asing merupakan sumber utama penyebab penderitaan lahir batin yang dialami Indonesia selama 350 tahun lamanya. Penjajahan asing merupakan sebab dari kebodohan, keterbelakangan, dan ketertinggalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Itulah sebabnya di dalam pembukaan UUD 1945, secara tegas disebutkan pada paragraf pertama bahwa “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Namun penjajahan asing yang
dalam perekonomian, memberikan subsidi, insentif terhadap rakyat, dan segala bentuk perlindungan ekonomi nasional. Pemerintahan sebuah negara didorong untuk melakukan liberalisasi perdagangan, deregulasi dalam bidang keuangan, dan melakukan privatisasi sektor-sektor publik serta industri strategis. Agenda neoliberalisme dapat bekerja secara efektif, jika negara tidak memiliki perencanan yang mengikat atau wajib dilaksanakan oleh pemerintahannya. Dalam era reformasi, upaya menjalankan globalisasi neoliberalisme di Indonesia dilakukan melalui dua jalur. Pertama, dari luar negeri, Indonesia diikat dengan regulasi internasional yakni berbagai perjanjian internasional, seperti perjanjian perdagangan bebas melalui WTO, Free Trade Agreement (FTA) dan perjanjian Billateral Investment Treaty (BIT). Seluruh perjanjian internaIlustrasi Oleh: Faluthi/Keadilan sional bertujuan agar modal asing terjadi dewasa ini menggunakan strategi mudah menguasai kekayaan alam dan yang lebih halus, menguasai mind set, pasar Indonesia. Kedua, dari dalam negeri, memengaruhi perilaku, serta tidak me- lulu dengan menggunakan militer dan kebijakan neoliberalisme terhadap amasenjata. Namun secara esensi sama, yak- ndemen UUD 1945 dan pembuatan UU yang pro pada pembukaan investasi ni dominatif dan eksploitatif. Globalisasi merupakan suatu asing dan perdagangan bebas. Langkah ideologi yang bertujuan membangun sa- tersebut dilakukan dengan meratifikasi tu dunia atau one world dalam satu sistem seluruh perjanjian internasional menjadan pemerintahan global yang dipimpin di UU Indonesia. Era reformasi disimpulkan seoleh ‘modal raksasa’. Mereka hendak menghilangkan batas-batas negara, baik bagai momentum kesuksesan pelaksasecara ekonomi, politik, dan sosial bu- naan globalisasi neoliberalisme di Indonesia. Akibatnya, kekayaan alam Indaya. Globalisasi melalui agenda donesia jatuh pada dominasi asing. Taneoliberalisme hendak mengakhiri nah atau lahan sebagian besar dikuasai peran negara di dalam ekonomi. Ne- investor asing, hasil alam raw material digara tidak boleh lagi ikut campur keruk dan diekspor dalam bentuk bahan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 23
KOLOM
mentah untuk menghidupakan industri di negara-negara imperialis, keuangan, dan perbankan jatuh ke tangan asing. Sementara di sisi lain, Indonesia semakin tergantung pada impor mulai dari kebutuhan pangan, energi bahan bakar minyak, dan hasil-hasil industri. Impor yang besar telah menyebabkan Indonesia mengalami defisit perdagangan, transaksi berjalan, dan neraca pembayaran. Rakyat Indonesia jatuh dalam kemiskinan. Negeri yang kaya, rakyatnya sebagian besar hidup susah dan sekarat. Kembalikan GBHN Para pendiri bangsa menyadari bahwa penjajahan asing atau neokolonialisme dan imperialisme sebagai musuh utama bangsa Indonesia. Sehingga mereka merumuskan suatu sistem yang sejalan dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia sendiri, yakni Pancasila dan UUD 1945.
KARIKATUR
24 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Dengan Pancasila sebagai landasan ideologi dan UUD 1945 sebagai landasan struktural, maka dipastikan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dapat tercapai. GBHN tetap harus dimaknai sebagai pelaksanaan cita-cita proklamasi. Berisikan gagasan, program, dan agenda yang berpihak pada kepentingan nasional dan rakyat. GBHN harus berbeda sama sekali dengan UU dan berbagai peraturan neoliberalisme yang selama ini menghambat pencapaian cita-cita proklamasi tersebut. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebelum amandemen, MPR menetapkan GBHN yang bersifat mengikat sebagai cara untuk meraih tujuan nasional. Semua lembaga negara wajib menjalankannya dan pelanggaran terhadap GBHN merupakan pengingkaran konstitusi. Melalui GBHN seluruh peraturan perundangan, kebijakan, dan
program pembangunan negara menjadi lebih jelas, terencana, serta terarah. Pembangunan tidak lagi diserahkan kepada pasar bebas yang menimbulkan ketidakpastian seperti sekarang ini. Seluruh sektor dapat terintegrasi dengan baik, saling menopang satu dengan lainnya. Sumber-sumber ekonomi dan keuangan dapat dikonsentrasikan dalam mengejar target-target prioritas pembangunan, dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dengan demikian, bangsa Indonesia dapat mengoptimalkan segenap potensi yang ada. Baik kekayaan alam, sumber daya manusia, dan kekuatan sosial budaya, dalam menghadapi tantangan globalisasi, mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Serta meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
LAPORAN KHUSUS
Pudarnya Semerbak Kebudayaan Yogyakarta Oleh:
Mudzakir
“Kebudayaan sebagai buah budi manusia. Perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.” -Ki Hajar Dewantara.
S
ecara substansia, Kraton Yogyakarta diakui keberadaannya pada 21 Jumadil Awal 1680 Jawa atau sama dengan 13 Februari 1755 Tarikh Umum, sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti oleh Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berperan sebagai pusat pemerintahan yang berlangsung sampai 17 Agustus 1945. Tercatatat dalam sejarah, waktu itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan, dan diikuti pernyataan Sultan Hamengkubuwana IX untuk menyatukan diri dengan NKRI. Dasar filosofi pembangunan Provinsi DIY adalah Hamemayu Hayuning Bawana, yang memiliki makna harfiah memperelok bumi yang sudah diciptakan dalam keadaan cantik. Ini merupakan cita-cita luhur untuk menyempurnakan tatanan nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Secara filosofis, budaya Jawa—khususnya budaya DIY—dapat digunakan sebagai
Ilustrasi Oleh: Faluthi/Keadilan
sarana untuk mewujudkan Hamemayu Hayuning Bawana. Ini berarti bahwa budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ayom, ayem, tata, titi, tentrem, dan karta raharja. Dengan kata lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar. Namun Yogyakarta hidup dan terus berkembang. Sejalan dengan semarak perkembangan, modernisasi— dan juga berbagai masalah sosial yang selalu datang beriringan—ikut tumbuh subur di kalangan masyarakat Yogyakarta yang dahulu terkenal bersahaja. Dr. Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada menjelaskan, kesulitan sekarang adalah memosisikan kebudayaan dalam kehidupan sosial, dikarenakan ada dua sudut pandang dalam melihat makna budaya. Pertama, kebudayaan sebagai suatu konsep melihat berbagai persoalan hidup. Kedua, budaya hanya sebagai seni sastra, adat istiadat, kesenian, dan tradisi. “Kebudayaan adalah cara orang untuk mempraktikkan kehidupannya
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 25
LAPORAN KHUSUS
sehari-hari. Namun masyarakat di Yogyakarta sekarang hanya melihat budaya sebagai tradisi, adat istiadat, seni, walaupun itu tidak sepenuhnya salah,” ujarnya. Dalam artikel Herin Priyono yang berjudul Seks: Keistimewaan Yogya Under Cover, 1976-2012 dan Vulgarisme ‘Setan Mini’ memaparkan bahwa kebudayaan bukan hanya di dataran fisik saja. Tapi juga tangible dan intangible, yang terlihat di permukaan dan tak kentara tapi menentukan. Kebudayaan tidak hanya ekspresi kesenian, tari, kriya, andong, jatilan, sekaten, dan merti bumi. Akan tetapi menurut jurnalis dan Peneliti Pusat Pelatihan Pascasarjana Yogyakarta ini, budaya juga berbentuk jiwa kesederhanaan, iman yang terpendar menjadi kesalehan sosial, getaran persabahatan dan kasih terhadap sesama, kebanggaan sebagai bangsa berkepribadian, keterpelajaran, orientasi N’Ach (Need for Achievement) produktif. Slow but sure atau alon-alon asal klakon, berbeda dengan budaya santai yang seenaknya atau hedonisme. Sedangkan menurut Aprinus, representasi kapitalisme sekarang semakin nampak. Yogyakarta menjadi lahan basah bagi para investor untuk menanamkan modalnya pada sektor tempat dan jasa hiburan. Dampak dari proses perkembangan ekonomi ialah modernisasi dan sekularisasi. Modernisasi selalu berjalan paralel dengan kapitalisme. Dalam jangka panjang modernisasi yang di-backup oleh kapitalisme pasti akan memenangkan pertarungan. Apabila sekarang masyarakat tidak mengontrol, kapitalisme akan dengan cepat berkuasa di Yogyakarta dan menghapus nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat. “Kapitalisme itu janjinya kesenangan e, kenikmatan hidup e. Masyarakat dikepung dan digerus terus menerus sama hotel, mal, cafe 24 jam, dan hiburan-hiburan malam. Habis kita!” tegasnya. Dikutip dari artikel Herin, apabila aspek moral atau mental maka wajarlah jika ekspresi lahiriah kebudayaannya segera ‘telentang’ menggagah siap dimangsa
26 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
oleh ‘penyakit ekonomisasi’ dan yang tersisa hanya budaya tanpa roh. Budaya sebagai komoditi, dan yang terpenting budaya telah kehilangan fungsi kritis dari kebudayaan itu sendiri, yaitu kemampuan memperbaiki diri secara ber-kelanjutan dan otonom. Sejak Hamengkubuwana I sampai Hamengkubuwana X, Yogyakarta selalu terkungkung oleh kepentingankepentingan asing. Budaya sebagai dasar mempertahankan jati diri bangsa sangat kuat. Akan tetapi godaan, benturan kepentingan, dan lain-lain
Ilustrasi Oleh: Gandar/Keadilan
membuat kebudayaan mengalami degradasi. Sekarang kraton bukan eksekutor lagi. “Yang eksekutor adalah pemerintah daerah. Pemda itu adalah pemerintahan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum, keamanan dan lain sebagainya. Bukan di keraton. Kalau di keraton cuma kebudayaannya,” tambah Jatiningrat. Menanggapi permasalahan budaya ini, KRT. Jatiningrat (Romo Tirun) yang juga Pengageng Tepas Dwarapura, mengatakan bahwa kraton sebagai pusat kebudayaan di Yogyakarta sudah menyadari masalah tersebut. Masyarakat pada saat ini memang kurang memahami makna kebudayaan Yogyakarta. Misalnya tentang falsafah
Hamemayu Hayuning Bawana, GolongGiling dan Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh. Itu semua merupakan falsafah hidup yang harusnya dipahami masyarakat serta diterapkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi masyarakat sendiri sudah banyak yang melupakan. Lunturnya nilai-nilai kebudayaan juga berpengaruh pada aspek pendidikan di Yogyakarta. Sebagai kota pendidikan yang berbasis kebudayaan, perubahan gaya hidup masyarakat memengaruhi tingkah laku mahasiswa yang akhirnya akan bermuara pada turunnya kualitas siswa atau mahasiswa didik itu sendiri. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY, R. Kadarmanto Baskara Aji mengeluhkan banyaknya tempat hiburan malam di Yogyakarta, seperti tempat karaoke dan cafe 24 jam. Tidak hanya itu, indekos tanpa induk semang dan asrama mahasiswa kedaerahan juga menimbulkan efek yang buruk bagi pendidikan di kota pelajar. Kadarmanto menjelaskan, misi Yogyakarta tidak untuk ‘menyogyanisasi’ masyarakat dari luar DIY. Yogyakarta hanya ingin memberi sumbangsih untuk menyediakan tempat belajar yang baik, dari sisi akademik maupun dari sisi budaya. Kota ini memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Di sana diatur secara detail bagaimana penyelenggaraan pendidikan di DIY yang diarahkan kepada pendidikan yang berbasis budaya. Kendala dalam mengaplikasikan misi pendidikan yang berbasis kebudayaan ialah perilaku hidup pelajar atau mahasiswa yang mengelompok dengan kawan-kawan dari daerahnya. Hal ini harus dihindari karena pelajar dari luar DIY yang datang ke Yogyakarta bukan hanya belajar dari sisi akademik, namun juga mempelajari budayanya. Apabila kemudian mereka menjalani kehidupan
LAPORAN KHUSUS
sehari-hari bersama pelajar dari daerah asalnya, mereka hanya mendapatkan pembelajaran akademik, tetapi mereka tidak mendapatkan proses akulturasi budaya Yogyakarta. Padahal, banyak nilainilai baik yang dapat diambil. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwana X, telah mengeluarkan himbauan kepada seluruh daerah agar tidak beramai-ramai membuat asrama mahasiswa di Yogyakarta. Mahasiswa dipersilakan tinggal di asrama, namun untuk jangka waktu satu tahun. Setelah itu mereka dihimbau untuk meninggalkan asrama dan membaur dengan lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini dilakukan agar mahasiswa dapat mengerti tentang kehidupan di Yogyakarta dan untuk memudahkan proses sosialisasi dengan masyarakat, sehingga terjadilah akulturasi budaya. “Supaya mereka mendapatkan layanan kuliah di universitas kehidupan Yogyakarta. Saya menyebutnya universitas kehidupan,” ujar Kadarmanto. Aprinus membenarkan, faktor perubahan kultur Yogyakarta ada kaitanya dengan ‘tamu’ yang berdomisili dan membawa budaya baru ke Yogyakarta. Mereka yang menuntut ilmu di sini seharusnya menyesuaikan diri dengan budaya yang ada. Jangan membuat kultur sendiri yang kemudian membuat masyarakat asli merasa tidak nyaman. “Berdasarkan peribahasa ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, siapapun yang datang ke Jogja, harus mengikuti kultur Jogja, dan harus ‘menjadi jogja’. Aku enggak setuju jika ada ‘tamu’ yang enggak mau bergaul dengan masyarakat dan enggak belajar berbahasa jawa,” tegasnya. KRT. Jatiningrat mengatakan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menyatakan ‘Jogja adalah mini Indonesia’. “Mereka berdatangan dari berbagai penjuru nusantara ke Yogya. Mereka membentuk komunitaskomunitasnya sendiri, tetapi mereka kurang memahami budaya yang ada di
Aditya/Keadilan • R. Kadarmanto Baskara Aji, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY (30/11).
tanah yang mereka pijak,” ucapnya dengan lantang. Selain itu, dia menambahkan, pemuda-pemudi sekarang lebih menyukai kultur asing yang notabene bukan budaya Indonesia. Sehingga budaya sendiri yang berasal dari daerah asal juga ikut hilang. Akibatnya menjadi tidak tahu arah, kehilangan jati diri bangsa, atau menurutnya disebut kabur kanginan. “Itu kan dari Amerika, dari Inggris, oh itu kan modern. Termasuk orangorang Yogya juga ikut-ikutan kayak gitu. Karena saling pengaruh memengaruhi. Ini risiko, karena Yogyakarta adalah masyarakat mini Indonesia,” ujarnya. Masalah lainnya, indekos tanpa induk semang yang mengakibatkan terjadinya seks bebas di kalangan ma-hasiswa, bahkan pelajar. Seperti yang diwartakan oleh Merdeka.com pada Senin, 10 Februari 2014, di kawasan Babarsari, pergaulan bebas dari cafe ke cafe tak lagi terbendung. Pergaulan malam berlanjut ke indekos. Perilaku seks bebas khususnya di pusat-pusat indekos mahasiswa Yogyakarta sudah mendapat respon dari Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu. Pemerintah Kabupaten Sleman sudah bekerja untuk mengatasi permasalahan ini, mulai dari memberikan edukasi kepada anak muda, pembinaan, dan juga memberikan
ruang kreatif supaya energi mu-da tersalur pada kegiatan positif. Tetapi fakta menunjukkan pergaulan bebas mahasiswa masih marak terjadi dan masih banyak indekos yang belum ditertibkan. Kadarmanto menegaskan bahwa indekos tanpa induk semang memang melanggar peraturan. Hal ini tertuang dalam Perda Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Pondokan di Kota Yogyakarta, Perda Sleman Nomor 9 Tahun 2007 dan Peraturan Bupati Sleman yang menyatakan tentang indekos atau pemondokan harus ada induk semangnya. Di daerah Seturan banyak masyarakat yang indekosnya tidak ada induk semangnya. Maka seharusnya menjadi kewajiban penegak hukum di daerah Sleman untuk menertibkan itu. “Tapi saya justru menyarankan, secara aktif, mandiri, mahasiswa atau pelajar jangan memilih tempat tinggal seperti itu,” ucapnya. Kadarmanto menambahkan, perlu dilakukan adanya penegakan Perda tentang pemondokan atau indekos. Supaya penegakan hukum berjalan dengan baik, pertama yang harus dilakukan adalah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat. Kontrol sosial dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, dukuh, kelurahan, kecamatan, sampai masyarakat. Kalau memang sudah diberitahu, diingatkan, dan ditegur tidak ada perubahan harus ada proses hukum. Kedua, dari penghuninya—mahasiswa atau pelajar—jangan sampai mencari tempat indekos yang melanggar aturan. “Kan enggak tenang kalau kita tinggal di kos yang melanggar aturan. Kasuskasus penyalahgunaan narkoba, seks bebas, minum-minuman keras, biasanya terjadi di kos-kosan yang seperti itu,” pungkasnya. Reportase bersama: Gandar Mahojwala Paripurno dan Sri Devi Annisa F.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 27
KAMPUSIANA
Potret Kehidupan Mahasiswa dalam Berburu Nilai Harapan untuk lulus secepat mungkin dengan nilai IPK cumlaude agar segera mendapat pekerjaan, menjadi orientasi mahasiswa FH UII saat ini. Pemahaman mahasiswa terhadap ilmu yang didapat selama mengejar gelar sarjana S1 dipertanyakan.
S Oleh:
Ida Elsha Nastiti
ebuah rutinitas bagi mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), termasuk fakultas hukum (FH), sebelum memulai ajaran semester, mahasiswa wajib mengajukan rencana akademik atau biasa disebut Rencana Akademik Semester (RAS). Pengajuan rencana kegiatan akademik dilakukan mahasiswa secara langsung dengan mendaftar mata kuliah yang akan diambil ke dalam RAS secara online, atau yang biasa dikenal dengan key-in RAS. Ada sebuah kebiasaan yang dilakukan mahasiswa FH UII ketika mendekati waktu key-in RAS, yaitu bertanya mengenai dosen yang mengampu mata kuliah, baik kepada teman dekat atau pada kakak angkatan. Pertanyaannya hanya seputar bagaimana cara dan gaya dosen tersebut mengajar, juga bagaimana kriteria pemberian nilai. Hal ini juga menjadi pertimbangan Evan Mahadika Pradipta, mahasiswa FH UII angkatan 2013. Menurutnya, dosen yang memenuhi kriteria yaitu dosen yang mudah memberi nilai, penyampaian materinya mudah dimengerti, dan suasana di kelas tidak terlalu tegang. Dari data hasil polling Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Keadilan, sebanyak 86 persen data sampel menyatakan sistem key-in terbuka lebih dipilih karena mahasiswa dapat dengan leluasa memilih dosen. Mahasiswa FH
28 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Ilustrasi Oleh: Aussy/Keadilan
UII lainnya, yang juga menjadikan dosen sebagai pertimbanggannya saat key-in, Muhammad Fadiellah, angkatan 2010, beralasan bahwa orientasi mahasiswa tidak hanya pada ilmu saja, mahasiswa juga kebanyakan ingin cepat lulus dan mendapat nilai yang memuaskan sehingga mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi pula. Dapat memilih dosen sesuai keinginan menjadi keuntungan tersendiri bagi mahasiswa dalam sistem key-in terbuka. Berbeda dengan sistem key-in tertutup yang hanya bisa memilih jam
mata kuliah tanpa mengetahui siapa dosen yang mengajar. Sistem tertutup pernah satu kali diterapkan di kampus FH, yaitu pada tahun 2010. Namun sistem keyin kembali berubah menjadi sistem terbuka. Sistem tertutup dianggap seperti membeli kucing dalam karung, karena kemungkinan mahasiswa akan mendapat dosen yang tidak sesuai dengan harapannya. Namun dalam praktiknya, terdapat masalah yang terjadi pada sistem terbuka, yaitu adanya perbedaan
KAMPUSIANA
Data Litbang LPM Keadilan
yang timpang pada jumlah mahasiswa yang diampu dosen yang berbeda pada mata Sistem key-in yang dinilai paling baik oleh Distribusi Peserta Kuliah Hukum Perdata kuliah yang sama. Seperti yang mahasiswa di FH UII TA 2012/2013 Semester Ganjil ditunjukkan dari data yang diTertutup 17% 25,00% peroleh dari pihak dekanat, 20,08% 19,46% 19,46% 18,44% 19,46% dalam mata kuliah Hukum 20,00% Perdata pada semester ganjil 15,00% Terbuka periode 2012/2013, enam kelas 10,00% 83% 3,07% yang diampu oleh beberapa do5,00% sen, kuota yang terisi di kelas 0,00% Muryati Muryati Endro M. Sujitno Sujitno Endro Kumoro hanya sejumlah Marzuki Marzuki Kumoro Syamsu- kelas E kelas F kelas A kelas C din 3,07 persen. kelas B Kualitas dosen FH UII sudah baik kelas D Sedangkan pada kelas Tidak setuju 18% lainnya rata-rata terisi hingga Distribusi Peserta Kuliah Hukum Perdata Setuju 19 persen. Begitu pula pa82% TA 2013/2014 Semester Ganjil da semester ganjil periode 13,51% 13,51% 13,51% 13,70% 13,51% 13,51% 13,12% 2013/2014 pada mata kuliah 14,00% Hukum Perdata. Dari delapan 12,00% 10,00% kelas yang ada, Endro Kumoro 5,59% 8,00% hanya mendapat 5,59 persen, 6,00% padahal kelas yang diampu 4,00% Masa studi yang ideal menurut mahasiswa dosen lainnya rata-rata terisi 2,00% 0,00% mencapai 13 persen. 4-5 tahun Lebih dari 5 tahun 13% Karimatul Ummah, 2% yang menjabat sebagai Ketua Program Studi FH UII perio• Jajak pendapat ini dilakukan menggunakan purposive sampling. Hanya disebarkan pada de 2010-2014, beranggapan mahasiswa Fakultas Hukum UII angkatan 2011, 3,5 - 4 tahun bahwa sistem terbuka lebih 2012, dan 2013 pada bulan Mei 2014, dengan jumlah 85% responden 307 mahasiswa dari populasi 1327. banyak mudaratnya dari pada Tingkat kepercayaan 95%, dengan sampling error sistem tertutup. Karena derata-rata 5%. ngan sistem terbuka, jumlah kelas yang ditawarkan selalu dianggap tidak cukup oleh mahasiswa, sementara kelas yang lain masih kosong. gampang, di kelas selesai. Tapi mendidik didikan yang didirikannya, yaitu Ta“Jadi mahasiswa sendiri menjadi ribet, itu penting,” tambahnya. man Siswa, dengan kemasan budaya karena orientasinya merebut. Kalau Umumnya, kebanyakan maha- Jawa yang disebut sebagai sistem among orientasinya sekadar mendapatkan ke- siswa yang masuk ke sebuah program atau momong. Dengan sistem itu, proses las, pasti dapet,” ungkap Karimatul. studi memang bertujuan agar secepatnya pendidikan bertumpu pada murid atau Berdasarkan data polling Litbang Keadilan lulus dan mendapatkan nilai—dalam subjek didik, sehingga orang tua atau menunjukan bahwa 82 persen ma- hal ini IPK—yang baik. Hal tersebut guru hanya ngemong atau menuntun ke hasiswa menyatakan kualitas dosen FH disampaikan oleh pensiunan guru be- mana anak ingin berkembang. Itulah UII sudah baik. sar Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. yang disebut sebagai Tut Wuri Handayani. Menurut Ery Arifudin, dosen Wuryadi, MS. Menurutnya, pendidikan Dari penerapan sistem among, FH UII yang paling banyak diincar saat seharusnya menerapkan pola pendekat- masih menurut Wuryadi, pola penkey-in, tugas dosen sebagai pengajar di an student center, sehingga mahasiswa didikan itu harus diubah dari banking perguruan tinggi yang sudah digariskan akan menjadi pusat pembelajaran yang education menjadi eksploratif education. dalam Caturdharma universitas perlu di- mengantarkan mahasiswa itu sendiri Karena jika masih menggunakan sisterapkan dalam mendidik mahasiswa. untuk mencari ilmu. tem banking education, maka pengajar Caturdharma yang dimaksud Wuryadi menuturkan, pola yang menyimpan ilmu hanya akan adalah pendidikan dan pengajaran, pe- pendekatan student center tersebut oleh memberikan sebagian ilmunya kepada nelitian, serta pengabdian masyarakat Ki Hajar Dewantara dikembangkan murid. “Nah kalau eksploratif education dan dakwah islamiah. “Mengajar sih pada tahun 2002 dalam organisasi pen- itu mahasiswanya disuruh mencari dari Amalia Endro M. Syam- Muryati Siti Sujitno Sujitno Umar Yustisia Kumoro sudin Marzuki Hapsah I. kelas G kelas F Haris S. kelas H kelas A kelas B kelas C kelas D kelas E
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 29
KAMPUSIANA
berbagai sumber,” tukas Wuryadi. Ketika ditemui Keadilan, Endro Kumoro, dosen FH UII yang berkompeten dalam mata kuliah Hukum Adat, menyampaikan bahwa pengajar yang baik itu mampu mentransformasikan ilmu kepada mahasiswanya. Namun hal tersebut tidaklah mudah. “Sering sekali saya tekankan kepada mahasiswa, mahasiswa itu orientasinya jangan menghapal materi, tetapi memahami. Sebab ilmu itu tidak mungkin digunakan, kalau mahasiswa enggak paham, cuma hapal,” ujar Endro. Antara Nilai dan Ilmu bagi Mahasiswa Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa FH UII periode 2013/2014, Agvian Megantara, melihat realita yang ada sekarang ini, mahasiswa menjadi pragmatis. Rata-rata di setiap key-in, Agvian memperhatikan, pada seluruh angkatan berlomba untuk mencari dosen yang nilainya enak. Ilmu yang dianggapnya penting malah dinomorduakan. “Memang beberapa dosen ada yang nilainya enak, ilmunya enak. Tetapi tetap prioritas tetep di nilai,” ujarnya. Endro Kumoro, dosen yang sering dihindari oleh mahasiswa untuk dipilih saat key-in, senada mengatakan bahwa mahasiswa saat ini cenderung berorientasi pada nilai, bukan pada ilmu. Berdasarkan pengalaman selama mengajar, Endro melihat bahwa mahasiswa pasif ketika berada di kelas, diam dan takut ketika ditawari untuk bertanya. Selain itu mahasiswa kemungkinan belum merasa santai saat belajar di kelas, sehingga suasana menjadi agak tegang. “Saya duduk di sini (di ke-las) jangan dipandang sebagai dosen lah. Saya di sini menemani Anda belajar, kalau belajar jangan cuma diam saja. Anda akan jadi ahli hukum nantinya, bukan jadi ahli kebatinan,” tambahnya. Ery Arifudin, memandang bahwa nilai yang dihasilkan selama proses belajar merupakan indikator yang diberikan oleh dosen untuk menentukan seberapakah penguasaan mahasiswa terhadap ilmu. Namun, ma-
30 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Saadan/Keadilan • Rohidin, dosen FH UII, memberikan pendapat tentang mahasiswa yang mencari nilai atau ilmu di ruangannya (9/05).
syarakat masih beranggapan bahwa salah satu indikator pintar atau tidaknya mahasiswa yaitu dilihat dari nilai yang diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan. Padahal mahasiswa juga dituntut untuk menerapkan ilmu yang didapat. Mahasiswa yang selama masa kuliah hanya mencari nilai, menurut Ery, itu karena ada pertimbangan untuk menyelesaikan secara cepat masa studinya. Data dari hasil polling Litbang Keadilan menunjukkan bahwa sejumlah 85 persen mahasiswa memilih 3,5 sampai 4 tahun untuk masa studi yang ideal. Menurut Wuryadi yang juga menjadi Ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta periode 20112015, ada tiga penyebab mahasiswa menjadi berorientasi pada nilai, yaitu motivasi mahasiswa untuk kuliah di program studi yang tidak jelas, dosen juga tidak memahami apa yang dicari oleh mahasiswa, dan masyarakat yang hanya menilai hasil akhir dari penilaian yang belum tentu benar. Mahasiswa yang pragmatis, menurut Rohidin, dosen FH UII, akan beranggapan bahwa berorganisasi menjadi tidak penting. Terlibat dalam kegiatan
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial pun menjadi tidak penting bagi mahasiswa. Sehingga ancaman ke depan, mahasiswa yang harusnya menjadi mesin penggerak sosial, apabila dia hanya berorientasi mencari nilai, maka ketika terjun di masyarakat, dirinya tidak mengerti bagaimana cara mengorganisasi dan memberdayakan masyarakat. Terjun ke masyarakat itu tidaklah mudah, mahasiswa harus mempunyai bekal ilmu, salah satunya adalah dapat menyampaikan gagasan. Apabila tidak terbiasa berlatih, maka akan sangat sulit untuk menyampaikan gagasan. Rohidin mengatakan bahwa ma-hasiswa jarang sekali bertanya kepada dosennya ketika di dalam kelas. Dia beranggapan bahwa mahasiswa tidak mampu menyampaikan gagasannya atau mungkin ilmu pengetahuan itu sudah tidak menarik lagi bagi mahasiswa. “Karena pada saat kuliah itu (mahasiswa), hanya datang, duduk, dengarkan kuliah, dapat nilai, kemudian setelah itu selesai,” keluh Rohidin. Bahkan menurutnya, lulusan yang seperti itu sudah tidak berguna lagi bagi masyarakat dan hanya dikatakan sebagai sampah masyarakat.
KAMPUSIANA
Nilai IPK yang diperoleh mahasiswa sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penguasaan ilmu yang dipelajari. Endro mengungkapkan jika mahasiswa dapat menguasai ilmu dengan baik, maka nilai akan menyertai sendiri. “Cuma nilai yang diperoleh sekarang belum bisa mengukur seberapa besar penguasaan ilmu mahasiswa itu,” tegas Endro. Ancaman tersebut juga nantinya bisa berdampak pada tidak tercapainya visi misi UII, yang tercermin dalam salah satu tujuannya yaitu membentuk cendekiawan dan pemimpin bangsa yang berkualitas, bermanfaat bagi ma-
nanti mau kemana,” ungkap Karimatul. Menurutnya, apabila mahasiswa mengetahui apa yang ingin dijalaninya ketika lulus nanti, maka selama kuliah dia akan membekali dirinya dengan pelatihan-pelatihan yang mendukung soft skill dan menunjang orientasi kerjanya sebagai mahasiswa fakultas hukum. Untuk mencapai visi misi UII, tentunya tidak bisa hanya dilakukan oleh pihak kampus saja, antara kampus dan mahasiswa juga harus saling mendukung. Karimatul menuturkan jika pihak kampus telah mengupayakan berbagai fasilitas yang sudah sesuai de-
• Ery sebagai salah satu dosen di FH UII, menjelaskan bahwa nilai merupakan hasil dari mahasiswa itu sendiri (6/05).
Saadan/Keadilan
syarakat, mengusai ilmu keislaman dan mampu menerapkan nilai-nilai islami serta berdaya saing tinggi. Hal tersebut ditanggapi oleh Karimatul, bahwa fakultas telah mengupayakan untuk mencetak mahasiswa agar sesuai dengan visi misi UII, salah satunya dengan kurikulum 2013 yang diberlakukan semester ganjil 2014, yang mengombinasikan antara hukum positif, hukum Islam, dan praktik. Selain itu kampus juga mengadakan pelatihan-pelatihan soft skill, seperti kartikum. Namun pada kenyataannya tidak banyak diikuti oleh mahasiswa. “Karena mungkin mahasiswa, saya lihat juga kebanyakan itu kadang-kadang tidak jelas orientasinya
ngan standar kualifikasi, diantaranya seperti adanya dosen praktisi, pelatihanpelatihan, perpustakaan, pelayanan akademik, serta informasi dan teknologi. “Apanya kira-kira yang kurang. Input sudah diupayakan,” ujar Karimatul. Karimatul berharap agar mahasiswa mempunyai target dalam belajar, sehingga apa yang didapatkan pada masa kuliah bisa dimanfaatkan untuk masa depan kariernya. Selain itu mahasiswa sebaiknya belajar berorganisasi, tidak hanya menjadi mahasiswa yang kuliah lalu pulang—‘kupu-kupu’. Menurutnya, berorganisasi tidak harus di lingkungan kampus. “Belajar berorganisasi itu belajar memanage waktu, belajar memberikan
berkontribusi, belajar menyelesaikan masalah. Jangan hanya mengotak-atik masalah tok tanpa memberi solusi,” tambah Karimatul. Hal tersebut menurutnya juga menjadi tugas lembaga mahasiswa untuk mengarahkan dan memberi contoh yang baik bagi mahasiswa. Ada beberapa upaya dari lembaga mahasiswa untuk mengajak mahasiswa sadar dengan perannya. Seperti melakukan rangsangan dengan membuat kegiatan-kegiatan kepanitiaan dan mengajak mahasiswa untuk melakukan aksi. Namun menurut Agvian, upaya tersebut belum begitu berhasil. “Kita bersusah payah seperti apapun, akan tetap seperti ini. Saya sangat pesimis adanya perubahan mahasiswa itu bisa peduli terhadap lingkungan sosial,” tegasnya. Agvian juga berharap, mahasiswa tidak menumpuk ilmunya untuk diri mereka sendiri, terlebih bagi mahasiswa FH yang belajar ilmu sosial. Harusnya biasa berinteraksi dan memanfaatkan ilmunya untuk masyarakat. Wuryadi berpendapat, kebanyakan mahasiswa saat ini merasa sudah paham dengan permasalahan yang ada di masyarakat. Padahal, dia—mahasiswa— hanya berada di permukaannya saja. “Pendidikan kita sekarang ini cenderung membuat individual. Dia lupa bahwa pendidikan itu menyiapkan bangsa,” tutur Wuryadi. Mahasiswa harus tahu posisinya sebagai modal pembangunan bangsa, maka mahasiswa juga harus peduli dengan apa yang sedang terjadi dengan bangsanya. Selain itu, mahasiswa juga harus mengerti tentang kelebihan bangsanya, sehingga dia tidak hanya bisa mengkritik dan dibutakan oleh kekurangan bangsanya sendiri.
Reportase Bersama: Yuniar Dwi Astuti dan Rendu Saadan Thandi
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 31
PERADILAN
Ketika Menyelamatkan Nyawa Dihukum Pidana
Ilustrasi Oleh: Adhika/Keadilan
“Ini bentuk-bentuk pengkerdilan profesi, kita (profesi dokter) dikriminalkan� - Dokter Bambang Suryono Suwondo. Oleh :
S
Muhammad Adhika Rahmanto
top Kriminalisasi Dokter! Kalimat itu yang menjadi tuntutan dokter-dokter Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Melakukan aksi solidaritas nasional tolak kriminalisasi dokter pada tanggal 27 November 2013 lalu. Kalimat itu tidak muncul tanpa sebab, melainkan muncul akibat vonis penjara 10 bulan oleh Mahkamah Agung (MA) yang ditujukan pada seorang dokter bernama dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dengan kedua teman operatornya dr. Hendi Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak. Aksi demonstrasi ini tercatat di sejumlah kota, seperti Balikpapan, Medan, Makassar, Jambi, Semarang, Depok, Yogyakarta, Garut, Bandung, Surabaya, Solo, Bali, Ambon, Mataram, dan Jakarta. Berseragam jas putih bersematkan pita hitam, mereka memadati jalan-jalan di kota besar tersebut. Demo dalam skala besar ini banyak menyita perhatian. Masyarakat Indonesia bahkan dunia seperti dibenturkan antara kebenaran menurut Ayu atau kebenaran menurut hukum da-
32 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
ri MA. Sebagian besar beranggapan bahwa pemidanaan Ayu dan kedua temannya, sudah tepat, sedangkan sebagian lagi merasa pemidanaan tersebut merupakan kriminalisasi bagi profesi dokter. Kasus ini bermula dari meninggalnya seorang pasien, Julia Fransiska Makatey di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada 10 April 2011. Menurut keterangan ibunya, Yulin Mahengkeng, awalnya Siska yang sedang akan melahirkan anak keduanya mendapat rujukan dari Puskesmas Bahu untuk dibawa ke RSUP Kandou. Sesampainya di rumah sakit, Siska mengeluh kesakitan dari awal kedatangannya. Siska ditempatkan di Unit Gawat Darurat dan mendapat perawatan dari dokter rawat darurat, sebelum akhirnya ditangani oleh Ayu. Siangnya Siska sudah dibawa ke ruang bersalin, dan menurut keterangan ibunya, Siska sudah berteriak-teriak untuk minta segera di operasi karena sudah tidak kuat. Namun dokter tidak
segera memberikan operasi, baru sekitar jam 19.00 WITA, Siska dibawa ke ruang operasi. Ternyata melihat keadaan Siska yang semakin lemah, untuk proses persalinan dibutuhkan tindakan Cito Secsio caesaria. Dari operasi yang dilakukan oleh Ayu dan kedua temannya, bayi berhasil lahir, namun selang beberapa waktu, terjadi emboli pada pembuluh darah Siska dan menyebabkan Siska kehilangan nyawanya. Pasca kematian Siska, keluarganya merasa keberatan atas kematian tersebut. Menurut mereka banyak kejanggalan dalam penanganan yang dilakukan oleh pihak dokter dan rumah sakit. Keluarga Siska melapor ke polisi dengan alasan Siska tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya. Dokter dituduh melakukan pembiaran karena tidak segera menangani Siska. Polisi pun menyelidiki kasus tersebut dan akhirnya Ayu dan kedua temannya menjadi terdakwa dengan tuduhan malpraktik. Setelah mendapat status seba-
PERADILAN
gai terdakwa Ayu beserta Hendi dan Hendri dikenakan Pasal 359 KUHP tentang akibat kesalahan berupa kealpaan menyebabkan kematian. Namun Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Jaksa merasa tidak puas dengan putusan tersebut. Selanjutnya jaksa mengajukan kasasi ke MA. Pada sidang kasasi 18 September 2012, majelis hakim menyatakan Ayu dan kedua temannya bersalah. Selanjutnya ketiga terdakwa tersebut ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang. Atas putusan MA, pihak kejaksaan menangkap Ayu di tempat praktiknya, Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan, Kaltim, Jumat, 8 November 2013 lalu. Dia dibawa ke Manado dan dijebloskan ke Rutan Malendeng. Pada 25 November 2013, satu kolega Ayu, Hendry Simanjuntak, ditangkap di Medan Sumatera Utara. Dia menyusul Ayu, ditempatkan di Rutan Malendeng. Pengurus Besar Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PB POGI) juga mengirimkan surat keberatan atas penahanan Ayu dan Hendry kepada MA. Dalam surat keberatan tersebut POGI menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini kemudian diungkapkan dalam konferensi pers PB POGI yang juga dihadiri oleh Ketua IDI dan Ketua Bidang Pembelaan dan Pembinaan Anggota pada tanggal 11 November 2013. Sementara itu, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien. Berangkat dari situ PB POGI berniat untuk segera mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Permohonan PK pun diajukan oleh pihak Ayu beserta rekan-rekan pada 27 November 2013. Inti dari PK tersebut menjelaskan bahwa putusan
PN Manado sudah dianggap tepat sehingga putusan MA harus dibatalkan. Alhasil putusan PK keluar pada 7 Februari 2014 dengan isi membebaskan semua terpidana dari semua dakwaan, memulihkan hak para terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya, serta memerintahkan agar para terpidana dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan. Kejanggalan dalam proses penegakan hukum Mengenai proses penegekan hukum kasus ini, Dosen Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) M. Arif Setiawan menjelaskan bahwa di dalam temuan Komisi Kepolisian Nasional, ternyata pada kasus itu telah terjadi incompletely investigation yang dilakukan oleh penyidik. Arif menjelaskan ada satu alat bukti yang sangat penting, yaitu visum et repertum dari pemeriksaan terhadap jenazah korban. Ditemukan satu alat bukti yang menyebabkan kematian korban
Kronologi kematian Siska 10 April 2010, jam 07.00 WITA Sebelum Puskesmas Bahu merujuk korban ke rumah sakit, ketuban pasien pecah.
Jam 09.00 WITA Korban masuk rumah sakit atas rujukan dari Puskesmas Bahu untuk melahirkan. Di kamar bersalin korban diperiksa USG, hasilnya dalam keadaan baik, dan diusahakan melahirkan keadaan normal. Infus dipasang sejak pasien berada di kamar UGD rumah sakit umum.
Pada jam 18.30 WITA dikonsul lagi ke bagian anastesi dan ahli anastesi memberikan persetujuan untuk operasi. Ketika korban masuk rumah sakit, tekanan darah pasien saat itu menurut ahli Johanis F. Mallo yang dibaca dalam rekam medis adalah 160/70, menurut ahli termasuk tinggi, sedangkan kecepatan denyut nadi korban 180 per menit.
Jam 18.00 WITA Pembukaan untuk melahirkan sudah lengkap, tetapi posisi bayi masih tetap tinggi. Setelah para terpidana berkonsultasi, Konsuler menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan posisi korban harus dimiringkan, setelah dilakukan tetapi tidak berhasil.
Kemudian pada jam 20.55 WITA, �operasi dimulai�. Beberapa kejadian yang terjadi dalam proses operasi yaitu pada sayatan pertama keluar darah warna hitam, ini berarti secara medis salah satu penyebabnya adalah �korban kekurangan oksigen�. Kejadian tersebut, Para Terpidana menyampaikan hal itu kepada Anita Lengkong selaku dr. Anastesi dan diperintah operasi tetap dilanjutkan. Setelah operasi selesai, namun beberapa saat setelah operasi diyatakan selesai pasien dinyatakan meninggal. Riwayat persalinan pasien pada persalinan pertama mengalami kesulitan melahirkan.
KeadilanEdisi EdisiI/XXXIX/2015 I/XXXIX/20153133 Keadilan
PERADILAN
yaitu emboli. Menurutnya dalam hukum pidana harus dibuktikan tindakan Ayu yang menyebabkan emboli. Salah satu dasar pertimbangan menjatuhkan hukuman adalah karena Ayu tidak memiliki izin praktik. “Pertanyaanya apakah itu tidak punya izin praktik yang menyebabkan emboli?,” ujarnya. Pernyataan tentang emboli ini juga didapat dari Ketua IDI Wilayah DIY, dr. Bambang Suryono Suwondo. Ditemui di ruangannya yang berada di bagian anastesi RS Dr. Sardjito, dia menjelaskan bahwa terjadinya emboli pada kasus Ayu itu adalah risiko medis. “Siapa yang bisa mencegah kalau ada udara masuk dan sebagainya? Itu namanya risiko medis, bukan kesalahan dokter Ayu,” jelasnya. Menurut Bambang terkait kasus Ayu seharusnya dibawa ke ranah hukum khusus bukan hukum umum, karena untuk profesi dokter memiliki undangundang tersendiri.“Jadi ini yang dapat menganalisis harus pakar-pakar, mana mungkin hakim agung, bukan pekerjaan
• dr. Bambang sebagai Ketua IDI DIY menjelaskan mengenai observasi dokter di kantornya (30/05).
Sekar/Keadilan
dia,” tegasnya. Selanjutnya Arif mencoba menerangkan kembali dari alasan pemidanaan Ayu, terkait pembiaran. Menurutnya pembiaran dan observasi itu harus diartikan berbeda. Observasi adalah pengamatan yang dilakukan oleh ahli. Dokter memutuskan untuk dilakukan observasi terlebih dahulu karena melahirkan normal itu jauh lebih ringan resikonya dibandingkan dengan kelahiran lewat operasi caesar. Ketika terlihat tidak bisa melahirkan secara
normal, maka dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi. Kemudian, Bambang juga menyoroti tentang makna pembiaran yang ditafsirkan oleh jaksa dan hakim kasasi. Menurutnya masyarakat awam terkadang tidak mengerti bahwa saat itu dokter sedang melakukan observasi. Observasi itu berupa pengamatan untuk melihat indikasi-indikasi yang terjadi pada pasien untuk selanjutnya diberi tindakan medis yang sesuai. “Jadi observasi itu bagian dari perawatan pasien, bahwa kita tidak
Perjalanan kasus dokter Ayu, Hendri, dan Hendi Tanggal 22 September 2011, Pengadilan Negeri Manado mengeluarkan putusan No. 90/PID.B/2011/PN.MDO yang menyatakan terdakwa (dr Ayu dkk) bebas murni dari semua dakwaan
Permohonan PK pun diajukan oleh pihak dr. Ayu beserta rekan-rekan pada 27 November 2013
Tanggal 18 September 2012, Mahkamah Agung yang mengadili sidang kasasi dr. Ayu mengeluarkan putusan No.365 K/PID/2012. Dr Ayu dinyatakan bersalah karena kelalaiannya menyebabkan korban meninggal, diganjar dengan hukuman 10 bulan penjara.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melPada 25 November 2013, satu koakukan aksi solidaritas nasional tolak lega dr. Ayu, dr. Hendry Simanjuntak, kriminalisasi dokter pada tanggal 27 ditangkap di Medan Sumatera Utara. November 2013 Ia menyusul dr. Ayu, ditempatkan di Rutan Malendeng.
Hari Jumat tanggal 07 Februari 2014 berdasarkan Pasal 263 (2) jo. Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No.365 K/PID/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No. 90/ PID.B/2011/PN.MDO. tanggal 22 September 2011
34 32Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Atas putusan kasasi MA, dr Ayu ditangkap di tempat praktiknya, RSIA Permata Hati, Balikpapan, Kaltim, Jumat, 8 November 2013
PERADILAN
administrasi saja,” jelasnya. Akan tetapi bisa juga melawan hukum pidana tergantung situasi dan kondisi kasusnya. Jika keadaan pasien bisa diselamatkan, tetapi karena malapraktek pasien meninggal, perbuatan tersebut bisa disebut sebagai tindak pidana. Arif pun punya pandangan terkait masalah administrasi. Menurut pengamatannya, salah satu pertimbangan hakim kasasi menyalahkan terdakwa karena tidak adanya informed consent—persetujuan tindakan medis. Padahal di dalam pertimbangan PN Manado informed consent ditemukan lebih dari satu. Informed consent dibeSekar/Keadilan rikan kepada ibu korban, ayah • Mudzakkir, dosen FH UII, menjelaskan terkait korban, bahkan korban senmalapraktik (30/05). diri. Selanjutnya terdakwa jumau ceroboh dalam memberi tindak- ga dianggap telah memalsukan tanda an. Semua tindakan kan harus ada indi- tangan, padahal di keterangan korban kasinya,” terangnya. tanda tangan dalam keadaan kesakitan. Terkait kasus ini dosen hu- “Apakah dokternya memalsukan itu kum pidana kesehatan FH UII, tidak dibuktikan, hanya dikatakan tanda Mudzakkir, juga mengungkapkan ada tangan tidak identik,” tuturnya. dua hal yang membuat seorang dokter Perihal Surat Izin Praktek (SIP), bisa dipidanakan. Pertama adalah ka- dalam putusan pengadilan, saksi dari Direna dokter melakukan malapraktek nas Kesehatan mengungkapkan tidak dan kedua karena melanggar hukum pernah mendapatkan permohonan izin keperdataan ketika dia melaksanakan kolektif yang diajukan oleh dekan fakontrak theurapetic. kultas kedokteran. Tapi menurutnya, yang paling Menurut Arif akan lebih koutama adalah karena malapraktek yang nyol apabila tidak mau menangani kamenyebabkan kerugian signifikan pada rena tidak ada SIP. “Akan lebih disapasien dan dapat diproses secara pidana. lahkan lagi karena lari dari tanggung Dalam menentukan apakah suatu kasus jawab” ungkapnya. Prof. dr. Najoan yang menimpa dokter bisa masuk ke Nan Warouw, salah satu saksi ahranah pidana, harus ditetapkan dahulu li yang dihadirkan pada persidangan ada atau tidaknya perbuatan melawan PN Manado, dalam kesaksiannya mehukum. ngatakan bahwa peserta pendidikan Dalam konteks ini setelah dite- program dokter spesialis para terdakwa mukan adanya malapraktek, kemudian tidak wajib memiliki SIP karena sudah dapat dikategorikan melawan hukum memiliki STR dokter dan sudah biadministrasi, perdata, atau pidana. sa melakukan tindakan kedokteran. ”Kalau melawan hukumnya hanya ber- Terlepas dari itu semua, dalam sistem sifat administrasi, maka berhenti di peradilan pun ternyata ditemukan ada
masalah. Ketika pengadilan tingkat pertama, PN Manado telah memutus bahwa Ayu dan kedua temannya bebas murni. Artinya semua yang didakwakan kepada jaksa tidak terbukti didalam persidangan. Menurut Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan bebas murni pada tingkat peradilan pertama tidak dapat diupayakan untuk banding maupun kasasi. Namun kenyataannya, MA masih mau menerima kasus tersebut dan menyatakan PN Manado salah dalam menerapkan hukum, sehingga dari putusan bebas berganti menjadi pidana penjara 10 bulan. Arif Setiawan menjelaskan, dalam kasus ini jika terbukti hakim yang memudahkan putusan bebas, maka yang bermasalah hakimnya, bukan pasal 244 KUHAP-nya. “Kalau saya tetap berpendapat sampai kapan pun kalau putusan bebas itu nggak perlu ada kasasi. Kalau hakimnya tidak bisa dipercaya, diperiksa dong hakimnya,” ujarmya. Sudah saatnya mengkaji kemungkinan membentuk peradilan profesi medis. Hal ini dikarenakan Ayu diperiksa dan diadili tanpa terlebih dahulu diperiksa secara ilmu kedokteran. “Kalau saya sekarang kampanye-nya membangun gagasan mengenai peradilan profesi medis, gimana caranya untuk menyelesaikan sengketa medis,” ujarnya. Arif melanjutkan tentang gambaran kampanyenya dengan lebih memfungsikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum perkara hukumnya berjalan.
Reportase bersama : Ismail S.A.M. dan Sekar Santi Nastiti
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 35
SUPLEMEN
Elemen Pendorong
Perubahan
Oleh :
Siapa kaum intelektual muda? Apa peran fungsinya? Bagaimana kiprahnya dalam pembentukan perubahan bangsa secara progresif? Pramoedya menggambarkan bahwa “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa.”
Ranu Rahman Akhtar
“P
emuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional,” tercantum dalam Bab V Pasal 16 mengenai peran, tanggung jawab, dan hak pemuda dalam UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. UU ini menjadi satu hal penting sebagai payung hukum gerak pemuda yang selama ini hanya menjadi perdebatan soal tanggung jawab moril. Lantas kenapa harus pemuda? Kenapa tidak semua umur elemen masyarakat Indonesia yang mempunyai peran besar tersebut? Di sini perlu dijawab, karena pemuda adalah manusia paling produktif pada zamannya, kisaran umur 16 sampai 30—yang hal itu diatur juga dalam UU Kepemudaan. Kisaran umur yang relatif tidak terkendala kemampuan tenaga fisik, pikiran, dan semangat menggelora yang terkadang belum muncul dan meredup pada usia-usia lainnya. Walaupun terkait usia dalam suatu generasi ini tidak dapat dikatakan penentu utama, seperti dalam argumen Yonky Karman (Kompas, 29 Oktober 2014). “Mereka hanya sebagai generasi seusia (coevais)
36 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
dan generasi penerus, tetapi bukan generasi penentu. Kehadiran generasi penentu tidak hanya membuat ada yang berubah dalam sejarah, tetapi sejarah itu sendiri berubah. Perubahan sejarah terjadi bukan karena peran generasi seusia semata, apakah itu generasi muda atau generasi tua, melainkan interaksi diantara keduanya sebagai generasi semasa (contemporaries).” Lantas mengartikan siapa pemuda—dapat kita klasifikasikan antara kaum intelektual dan yang nonintelektual—tidak luput dari memahami pula apa peran dan fungsinya, karena sudah menjadi satu kesatuan yang berkaitan melihat secara komprehensif makna keduanya. Namun jika harus dibahas, peran kaum intelektual—mahasiswa— sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar ketimbang kawannya sesama pemuda yang non-intelektual— bukan mahasiswa. Karena dia memiliki modal pengetahuan sebagai senjata untuk menganalisis secara kritis terhadap suatu fenomena sosial-politik dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dia dibekali kelebihan yang tidak dimiliki pemuda nonintelektual. Tetapi permasalahan lain tim-
bul, sebagian berpersepsi keliru tentang pengertian umum hakikat seorang mahasiswa. Mereka berpandangan bahwa mahasiswa hanyalah peserta didik semata yang terbelenggu dalam bagian sistem pendidikan. Menjalankan rutinitas monoton sebagai objek yang diajar dan belajar, lulus cepat, dan diciptakan menjadi pekerja berkeahlian khusus, tanpa mengindahkan seperti apa fungsi dan peran di dalam kemasyarakatan. Historisitas Berangkat dari hal itu, sesungguhnya kita harus melihat dari penelisikan sejarah untuk mempelajari esensi, apa yang pernah dilakukan mahasiswa atau kaum intelektual dahulu di nusantara. Guna menapaki sebuah refleksi peran dan fungsi serta semangat militansi mereka menuju sebuah angan perubahan secara progresif. Di sini akan dibahas secara singkat tentang sejarah dan dinamika gerakan pemuda khususnya kaum intelektualnya, yang dibagi menjadi beberapa periode (Prasetyo, wawancara, 26 Mei 2014). Periode pertama adalah periode kolonialisasi dimana kaum intelektual setelah politik etis, lahir sebagai sumber pengetahuan, sumber informasi yang turut melahirkan
SUPLEMEN
ide gagasan nasionalisme. Itulah era dimana kaum intelektual ini terlibat dalam melahirkan Republik, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lainnya. Sumpah Pemuda yang dikatakan Dhakidae (2001) sebagai ”Indonesian the holy trinity”, tritunggal suci— bangsa, bahasa, tanah air—pun lahir dari periode ini. Kemudian pada periode kedua, periode pasca kemerdekaan. Bisa dilihat Soekarno jatuh dengan diperantarai oleh gerakan mahasiswa. Satu periode dimana ingin mendobrak status quo dengan menegakkan sebuah orde yang lebih baru, orde yang kemudian dipimpin oleh Soeharto. Namun periode kedua ini juga periode yang menandai keterlibatan mahasiswa dalam proyek pembangunan modernitas kapitalis, karena sejak itu mahasiswa berhubungan erat dengan kekuatan kapital. Dengan memangkas dan membabat habis kelompok ‘kiri’, studi teoritis tentang kapitalisme menjadi dibungkam sedemikian rupa pada periode tersebut. Dan terakhir adalah periode ketiga, periode dimana ada pertentangan terhadap kapitalisme. Terlihat pada tahun 1974, tragedi Malari yang mempertentangkan pada kapitalisme Jepang dan kapitalisme Asia pada umumnya. Pada tragedi itu sesungguhnya penentangan atas keotoriteran Orde Baru (Tempo, 13 sampai 19 Januari 2014). Inilah kemudian awal dari stigma bahwa gerakan mahasiswa dianggap sebagai potensi ancaman atas kestabilan politik nasional oleh penguasa rezim Orde Baru. Sampai pada periode dekade 90-an, dimana artikulasi ideologisnya jauh lebih berwarna dengan mulai tampilnya ke permukaan kelompokkelompok studi ‘kiri’, kelompokkelompok studi islam politik, dan lainlainnya. Periode yang sangat fenomenal ditutup dengan tumbangnya kekuasaan Soeharto sebagai penguasa rezim Orde
Baru pada Mei 1998, oleh konsolidasi gerakan mahasiswa, pemuda, dan seluruh elemen masyarakat lainnya. Era Mahasiswa Dengan menelisik sejarah tersebut, dapat dilihat secara ideal peran pemuda. Khususnya pada kaum intelektualnya yang membahas pula pemahaman tentang sebuah komunitas sosial yang melakoni aktivitas politik terlepas dari jumlah, metode, dan hasil-hasilnya (Culla, 1999: 17). Dalam tatanan social-politic, mahasiswa sebagai masyarakat madani berintelektual sering dianggap agen pendorong perubahan yang penting.
“
juis dan proletar. Serta menurut Julien Benda, seorang pemikir Prancis (seperti dikutip Magnis-suseno, 1998: xxiv) mengatakan, dosa paling besar orang intelektual adalah apabila dia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Apabila hal itu dilakukan dinamakannya pengkhianatan intelektual (Trahison des clercs). Lantas dengan melihat realitas kekinian, apa yang sebenarnya terjadi pada kaum intelektual atau mahasiswa kita, yang mengalami degradasi peran dan fungsinya, sejatinya kudu turut andil berkontribusi pada perubahan progresif bangsa ini? Ada variabel faktor atas kemandekan dinamika gerakan kaum intelektual atau mahasiswa kini. Diantaranya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya terkait dengan fenomena dimana kondisi kehidupan kampus yang makin teknokratik dan administratif. Juga waktu berdinamika sebagai mahasiswa yang dibatasi, dengan legitimasi aturan baik dari skala lokal kampus maupun aturan skala nasional. Salah satunya dengan penerapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Isinya mewajib-kan mahasiswa untuk lulus maksimal lima tahun, sehingga ruang gerakan mahasiswa tidak bisa seperti dahulu. Juga tantangan terhadap suasana kam-pus itu sendiri yang menumbuhkan budaya pragmatis, dan situasi kultural mahasiswa yang sangat konsumtif dan hedonis, turut meredupkan semangat mahasiswa yang enggan konfrontatif terhadap rezim. Lalu ada faktor eksternal yang pada dasarnya mempengaruhi faktor internal tadi. Diantaranya kapitalisme lanjut yang terjadi membuat privatisasi kampus begitu eksesif dan eksklusif. Kapitalis global menempatkan pendidikan tinggi sebagai salah satu va-
Kita adalah angkatan gagap Yang diperanakkan oleh angkatan takabur Kita kurang pendidikan resmi Di dalam hal keadilan WS. Rendra
”
Mereka memiliki peran dan fungsi yang vital dalam sebuah perubahanperubahan transformatif masyarakat. Tanggung jawab kaum intelektual atau mahasiswa idealnya berada dalam posisi mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakantindakannya sesuai penyebab, motifmotif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi di sana (Chomsky, The New York Review of Books, Februari 1967). Itulah yang kemudian seharusnya ditransformasikan kepada rakyat, seperti yang dikatakan Gramsci. Serat penghubung yang teranyam antara wilayah-wilayah dari realitas sosial, dilakukan oleh intelektual (Patria dan Arief, 1999: 155) ini dimaknai sebagai fungsi konjungter kelas, bor-
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 37
SUPLEMEN
Ilustrasi Oleh: Faluthi/Keadilan
riabel industri, sehingga orang harus dipercepat kuliah untuk masuk ke dunia kerja. Faktor eksternal lain ada-lah sistem demokrasi yang makin terbuka, sehingga kesempatan untuk menjadi mahasiswa yang hakiki—agen pendorong perubahan, social control, social solidarity maker, dan lain-lain—menjadi tidak mendapatkan ruang. Hal itu dikarenakan marak dan ’menjamurnya’ Non-Government Organization (NGO), dan makin independen serta kritisnya media-media pers umum. Tidak seperti dulu mahasiswa itu menjadi komunitas yang istimewa. Ini lebih menjadi tantangan zaman, artinya gerakan mahasiswa tidak bisa dimaknai sebagai sebuah gerakan pelopor seperti dulu. Adapun dia memiliki legitimasi sebagai agen perubahan sosial, proporsi peran mereka tidak sebesar pada masa lampau, karena porsi ini sudah diambil oleh fitur-fitur gerakan-gerakan yang lain (Prasetyo, wawancara, 26 Mei 2014). Dan banyak lagi realitas problematika tentang gerakan mahasiswa yang menjadikannya mandek, perkara beberapa sebab. Seperti tidak terkonsolidasinya generasi pemuda antara mahasiswa dan non-mahasiswa, dikarenakan mahasiswa yang terlalu mengeksklusifkan diri dalam ling-kungan kampus saja. Tidak down to earth atau turba–turun ke bawah—merangkul pemuda lain sesamanya dan masyarakat untuk menciptakan social solidarity gu-
38 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
na mengontrol kekuasaan dengan membentuk kekuatan tekanan publik. Hubungan kepada masyarakat atau rakyat proletar inilah yang kemudian disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, atau peran konjungtur seperti yang sudah dibahas di atas. Peran yang menjadi tanggung jawab para cendekia yang mampu mentransfer persoalan besar dalam nalar berpikir awam. Sebuah tautan yang oleh Ernest Mandel dinamakan dengan hubungan antara teori dan praktik (Prasetyo, 2014: 21). Mahasiswa Progresif Gramsci mengatakan, ”Semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyrakat memiliki fungsi intelektual”. Bagaimana kemudian kaum intelektual atau mahasiswa sekalian itu menyadari akan fungsinya sebagai intelektual? Dalam buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa yang ditulis Eko Prasetyo (2014), mengajukan beberapa tesis sebagai antitesis untuk mengkritisi gerakan mahasiswa yang mandek karena beberapa faktor diatas (Prasetyo, wawancara, 26 Mei 2014). Pertama, tesis politis mengatakan bahwa mahasiswa harus membuat perhimpunan blok politik alternatif. Blok politik alternatif ini membangun kesadaran politik mahasiswa bahwa mahasiswa harus memegang mitos lama sebagai agen pendorong perubahan sosial.
Metodenya dengan memperkuat SDM atau human capital dengan membekali keterampilan sosial mereka ketika berhubungan ke masyarakat. Contohnya dengan pembekalan pengetahuan universal seperti pengetahuan politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Keterampilan sosial ini tidak didapatkan di kampus yang hanya mendidik mahasiswa menjadi spesialis. Cara lainnya yaitu dengan memperkuat jejaring, karena kekuatan gerakan itu adalah kekuatan jaringan. Dengan organisasi-organisasi ‘sejenis’, seperti NGO, media massa, organisasi kepemudaan daerah, organisasi intra kampus dan lain-lainnya. Ini upaya untuk meruntuhkan stigma atas eksklusivisme gerakan. Karena tak mungkin membangun negeri ini dengan segala keporak-porandaannya sendirian, harus ada kerja kolektif dengan banyak pihak. Tesis itu kemudian diselaraskan dengan tesis yang kedua, tesis kultural. Dimana tesis kedua ini harus mengkomunikasikan tesis politis. Semisal membuat kegiatan yang memenuhi aspek pragmatis, seperti bakti sosial untuk mengkomunikasikan ide sosial, tapi dengan bahasa yang lebih simpel, lebih fungsional. Atau mengkomunikasikan problem sosialpolitik dengan bahasa anak-anak muda zaman sekarang, dengan menggunakan internet. Berbeda dengan zaman dulu yang sumber informasinya berasal dari buku, anak muda zaman sekarang cenderung tidak menyukai membaca buku. Metodologinya harus berubah ketimbang apa yang dilakukan dulu, secara kultural harus ada propaganda yang lebih massif dan cara yang lebih mahir ketimbang pada masa-masa sebelumnya. Kaum intelektual muda bangsa kita sesungguhnya hanya perlu dididik tentang makna keadilan yang tidak didapatkan dalam pendidikan resmi. Agar mereka sadar bahwa ketidakadilan yang terjadi pada kaum yang termarjinalkan di negeri ini butuh pemihakan oleh kaum intelektual sekalian.
JEJAK
Mengais Rezeki dengan Seutas Tali Narator: Benny Trisdiyanto Fotografer: Faluthi Faturahman Tegar Dwi Permata Benny Trisdiyanto
Pagi yang cerah di Desa Kedung Winong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Mulyono sudah berangkat menuju lapangan pekerjaannya. Tak perlu waktu tempuh lama untuk sampai tujuan. Tak perlu pemanasan yang berarti, dia mendekati bukit yang menjadi sumber penghasilan selama ini. Panas terik sudah menjadi teman setia. Tak ada toleransi untuk mengais rupiah demi menyambung hidup. Semua alat yang dibutuhkan sudah dipersiapkan Mulyono. Hanya karena kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk mendaki ke atas. Dia terpaksa memperbolehkan istrinya yang menggantikan. Sang istri, Sutini, tak menyia-nyiakan izin yang dikantongi dari sang suami. Tak perlu waktu lama, Sutini menaiki bukit dengan seutas tambang. Dengan alat sebatang besi dibawanya keatas untuk persiapan ‘menghancurkan’ bukit kapur itu. Faluthi/Keadilan
Tebing Kehidupan Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 39
JEJAK
Benny/Keadilan
Istirahat Menunggu Bubuk Mesiu
Tegar/Keadilan
Persiapan Memasukkan Bubuk Mesiu
Batu kapur itu sangat keras, dia harus meledakkannya agar hancur. Sebelumnya dia harus membuat lubang dengan besi yang dibawa, agar bisa dimasukkan dinamit. Sedikit demi sedikit, Sutini menuangkan air ke dalam rongga bekas sogokan besi linggis. Cara tersebut dilakukan berkali-kali agar batu kapur sedikit lunak. Dengan kedalaman lubang sekitar setengah meter, dinamit siap dipasang. Dengan tenaga yang tak sedikit, Sutini rela melawan panasnya matahari. Semua hanya demi sesuap nasi yang harus dilakoni. Tak ada waktu untuk bermalas-malasan, Sutini harus beradu dengan bahaya untuk melubangi batu kapur kemudian memasang dinamit agar segera diledakkan. “AWAAASS, MEH NGEDOOM!!!,� teriak seorang pekerja agar semua menjauh karena bom segera diledakkan. “BHUUUMMM!!!�. Bongkahan batu kapur berhamburan menghujani bumi. Sutini harus sedikit waspada, karena jaraknya hanya sekitar tiga meter dari titik ledakan. Tidak semua batu kapur bisa hancur ketika diledakkan. Perlu usaha manual dari Sutini. Beberapa kali dia mesti menghampiri pusat ledakan, lalu mencongkel batu kapur yang tidak mempan dengan ledakan. Sejuta risiko memang harus dihadapi. Sutini tak putus asa untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Selain menambang
Tegar/Keadilan
40 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Hasil Pengeduman
JEJAK kapur, masyarakat setempat juga bekerja sebagai petani. Namun petani juga tak bisa diharapkan seutuhnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Sutini dan masyarakat sekitar berharap besar dan menggantungkan penuh di bukit kapur itu. Banyak faktor penghalang, salah satunya cuaca yang tak mendukung terutama hujan. Dia dan teman yang lain mengurungkan niat berangkat ke lokasi tambang. Dikarenakan hasil dari menambang ketika hujan tak akan ada yang membeli. Sebab mutunya berbeda dengan kapur yang kering. Selain itu juga dihadapkan risiko longsor lebih besar. Mulyono dan Sutini hanya satu dari sekian banyak buruh kapur di Pati. Ya, Pati. Daerah dengan deretan bukit kapur. Hasil dari dia menaiki bukit seharinya pun tak tentu sama. Terkadang juga tak ada pembeli yang mendekat kepadanya untuk ‘meminang’ hasil hari itu. Kalau pun ada, hasil tambang kapur hanya dihargai 150 ribu rupiah dalam satu truk. Apabila dengan menggunakan pick up, mereka hanya menerima 75 ribu rupiah. Apabila harus mengangkut , penambang hanya dibayar kisaran 10 sampai 20 ribu rupiah. Tak sebanding pendapatan yang dihasilkan dengan risiko yang dihadapi. Melihat bahaya yang harus dihadapi dan menggantungkan nyawa hanya dengan seutas tali.
Tegar/Keadilan
Menjual Hasil Pengeduman
Faluthi/Keadilan
Memperhalus Hasil
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 41
JEJAK
Saat ditemui Keadilan, Mulyono mendapat bagian lain ketika menambang kapur. Pria berusia 35 tahun ini, mendapat bagian untuk memecahkan kapur dari gumpalan yang besar menjadi kecil. Dengan kulit hitam bekas terbakar sinar matahari, dia bersungguh-sungguh melakoni bagian itu. Selain menghancurkan bongkahan batu kapur, Mulyono juga menghaluskannya hingga menjadi serbuk agar bisa digunakan sebagai bahan pembuat semen dan cat tembok. Penghalusan batu kapur dilakukan dengan menggunakan mesin. Bukan milik pribadi, melainkan milik kelompok. Mulyono kadang bekerja kolektif dengan teman yang lain. Tetapi terkadang juga bekerja dengan keluarga sendiri— yang terdiri dari istri dan mertua. Apa pun yang dilakukan para penambang kapur, setidaknya mencerminkan betapa besarnya pengorbanan mereka untuk mendapatkan rezeki lebih. Tidak banyak yang diharapkan, hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Nasib para penambang, baik risiko maupun hasilnya tidak ada yang menanggung. Seharusnya pemerintahlah yang bisa melindungi dari semua nasib buruh kapur di Pati. Tidak ada alasan pemerintah untuk menutup mata terhadap warganya. Sesuai dalam UUD 1945 sudah menjadi kewajiban bahwa negara harus mampu untuk menjamin kesejahteraan rakyat.
Benny/Keadilan
42 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Lembaga Pers Mahasiswa Keadilan
Mengucapkan Selamat Kepada Para Pengurus
Yang Telah Menyelesaikan Studinya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bobby Ade Andrean Pemimpin Umum 2012-2013
Alam Surya Anggara Pimpinan Redaksi 2012-2013
Dimas Triambodo Pimpinan Penelitian dan Pengembangan 2012-2013
M. Indra W. A. Bagan Editor Bahasa 2013-2014
Benny Trisdiyanto Desain 2013-2014
TOKOH
Kausar/Keadilan
Konsistensi dalam Melahirkan Perjuangan Sosial
Dengan gagasan perubahan sosialnya, dia berkeinginan untuk merubah ketidakadilan struktur sosial yang ada. Menyerap aspirasi-aspirasi dari tingkat masyarakat terendah di pelosok nusantara dan kemudian mengembalikan eksistensi mereka. Oleh :
Kausar Wildantio Arden
M
asamba, sebuah kota kecil di tengah Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak yang ditempuh dari Kota Makassar kirakira sekitar 680 kilometer. Di situlah tanah kelahiran Roem Topatimasang, seseorang yang pernah menerbitkan buku Sekolah Itu Candu. Terlahir dari keluarga petani ladang, mata pencaharian masyarakat mayoritas di daerahnya. Di balik sosok yang sederhana, tersimpan banyak pengalaman perjalanan mengenai kehidupan. Di daerah asalnya hanya ada satu sekolah setingkat SD—dulu Sekolah Rakyat. Kehidupan masa kecilnya, Roem habiskan hampir sama dengan anak-anak sekitar. Namun, memang sejak kecil dia sudah hobi membaca. Dulu, selepas pulang sekolah, dia gemar membaca di perpustakaan Muhammadiyah di lingkungannya. Kegemaran pria kelahiran ta-
44 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
hun 1958 ini pun berlanjut ketika dia mulai naik ke bangku SMP. Dia hijrah ke suatu daerah bernama Palopo, empat kilometer dari Masamba. Pertemuan dengan seorang pastor Belanda, membuat hobi membacanya semakin terasah. Pastor inilah yang mengajak Roem untuk membaca koleksi buku-buku di perpustakaan gereja. Di gereja dekat rumah, Roem ‘berkenalan’ dengan penulis-penulis semisal Alexander Milne, Jules Verne, Mark Twain, hingga Ernest Hemingway, dan Multatuli. Tak hanya soal bacaan, kedekatan Roem dengan pastor membuatnya menguasai bahasa asing. Selain di gereja, Roem pun memiliki guru SMA yang dapat memotivasi untuk membaca buku. Salah satunya Arifin, seorang guru Sejarah. Dia bercerita, rata-rata hampir semua guru di sekolahnya melakukan hal yang sama. “Sekolah dulu kan enggak seperti sekarang. Habis waktu di kelas. Dulu
kita lebih banyak mainnya malah,” kata Roem membandingkan. Ketika ditanyai kenapa hobi membaca buku, dia menjelaskan hanya sekadar untuk hiburan. “Hiburannya ya baca buku. Televisi belum ada. Sekadar dengar siaran radio dan baca buku, ya sudah itu hiburannya. Enggak ada pilihan, kalau kayak anak di kota kan banyak pilihannya,” ujar Roem diikuti tawa kecil. Hidup Roem berlanjut ketika dia memutuskan untuk melanjutkan studi keluar dari Sulawesi, yakni berkuliah di Bandung. Anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku mengetahui kampus itu dari siaran radio. Ditambah lagi ketika itu dia memiliki saudara di Bandung, akhirnya Roem memutuskan untuk kuliah di sana. “Silahkan saja asal urus diri sendiri aja,” ucap Roem menirukan gaya orang tuanya berbicara. Dia berangkat dari Sulawesi sekitar tahun 1975. Setengah tahun Roem bekerja serabutan, mengumpulkan dana
TOKOH
untuk kuliah. Mulai dari dagang koran, hingga bertani pun pernah dia jalani masa itu. “Enggak dibiayai, orang tua saya saja enggak sanggup. Orang tua saya petani kecil,” tegasnya. Pembuktian kata-kata orang tuanya untuk mengurus diri sendiri, dibayar tuntas dengan kemandirian Roem. Kemudian dia mendaftar kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung tahun 1976. Rutinitas kuliah sambi kerja, dia lakukan selama kurang lebih satu tahun di Bandung. Hingga akhirnya dia masuk asrama mahasiswa secara gratis. Roem merasa terbantu waktu itu, sehingga dia memutuskan untuk berhenti kerja dan
anak muda, kebanyakan orang tua, guru, kepala sekolah dan lain-lain. Dulu, memang jurusan itu dibuat untuk upgrading guru. “Peminatnya sedikit memang. Karena buat anak-anak muda, nanti kerja apa gitu. Nah kebanyakan (peminat) yang sudah kerja itu,” ucap Roem, seraya menyalakan rokok kesekian kali. Pola pengajaran di jurusan filsafat pendidikan pun berbeda dengan di jurusan lain. Pengajar di jurusan tersebut hampir tidak memberikan kuliah sama sekali. Mereka hanya ngobrol seperti teman biasa. Berbeda dengan jurusan yang lain, mahasiswanya mencapai puluhan bahkan ratusan.
Dian/Keadilan • Roem ketika diwawancarai Keadilan di INSIST (29/05).
kemudian fokus kuliah. Dia mengambil jurusan filsafat pendidikan. Jurusan ini bukan yang pertama kali diliriknya. Dia sangat berminat mengambil sastra antropologi di Universitas Padjadjaran. Tetapi Roem mengurungkan niat karena keterbatasan biaya, padahal sudah sejak SMP dia ‘melahap’ buku-buku sastra dunia. Semasa kuliah, Roem termasuk golongan minoritas di kampus. Jurusan filsafat pendidikan bukanlah jurusan favorit di IKIP. Bahkan di angkatannya, mahasiswa hanya berjumlah delapan orang. Itu pun bukan dari kalangan
Pada masa kuliah, Roem pun aktif dalam mengikuti kegiatan organisasi di kampus. Di IKIP Bandung, terdapat sebuah radio kampus yang menyiarkan kuliah-kuliah umum. Biasa mengudara setelah isya hingga subuh. Mahasiswa di rumah bisa sambil belajar, sembari mendengarkan kuliah umum, dan diskusi-diskusi. Terkadang juga diselingi musik. “Hubungi semua dosen-dosen, semua jurusan. Misalnya, siapa yang ada, kuliahnya mau disiarkan di radio?” ucapnya. Di situlah dia aktif berperan sebagai penyusun acara radio. Selain aktif di radio kampus, dia
juga turut serta mendirikan organisasi Student Employment Centre (SEC) dengan tujuan untuk membantu mempekerjakan para anggota secara bergilir, yang upahnya dapat berguna untuk membayar kuliah atau sekadar untuk menyambung hidup. Organisasi yang dikenal dengan Kelompok Mahasiswa Miskin merupakan kumpulan mahasiswa yang berlatar belakang sama, dari daerah yang jauh serta kuliah yang tidak dibiayai oleh orang tua. Tak disangkasangka anggota SEC mencapai ratusan. Tugas Roem dan para penggagas SEC yang lain, yakni mencari jenis pekerjaan—di lingkungan kampus— yang dapat dilakukan mahasiswa. Misal di kantin, bank kampus, kantor pos, perpustakaan, tempat parkir, dan lain sebagainya. Kemudian setelah mencari lapangan pekerjaan, mereka juga harus mengatur para anggota agar dapat jatah bekerja secara bergantian. Mereka mengatur siapa saja yang pantas bekerja dan benar-benar membutuhkan pekerjaan. Kinerja mereka berdasar kolektivitas. Tidak sia-sia dia membangun SEC, terbukti setiap membuka pendaftaran tiap minggunya, markas yang bertempat di Pusat Kegiatan Mahasiswa selalu ramai dengan pendaftar. “Woo ramai itu pada antre. Sementara kantor senat yang di samping kita, sepi enggak ada orang,” Roem bercerita disambut tawa yang terkekeh-kekeh. *** Karir organisasi Roem semasa kuliah tak hanya sampai di situ saja. Perkembangannya dengan SEC mulai mendapat ‘nama’ di kampus. Organisasi-organisasi ekstra lain seperti HMI, PMII, PMKRI, dan GMNI pun mulai segan terhadap SEC. Salah satu yang menjadi ajang prestisius organisasi ekstra yakni pada saat pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Bandung. Tahun 1977, kondisi kampus saat itu, organisasi ekstralah yang memiliki kekuatan dominan. Roem bercerita, kala itu yang paling kentara yakni HMI, GMNI, dan PMKRI. Dari tahun ke tahun, pemenang ajang pemilihan ke-
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 45
TOKOH
tua dewan mahasiswa dari golongan dominan saja. “Ya, waktu itu kan temanteman pada lihat, ini geng HMI ribut dengan geng PMKRI, kayaknya kalau kita nyalon, menang kita ini. Ayo!” kenang Roem. Dan benar saja, akhirnya Roem dicalonkan untuk menjadi ketua dewan mahasiswa oleh teman-temannya sebab dia dianggap paling aktif di SEC. Roem menang sebagai ketua dewan mahasiswa dengan jumlah suara yang signifikan. Dari berbagai calon yang ada, terkumpul 6 ribu suara yang masuk. Dia mendapat 3 ribu suara, bahkan hampir 4 ribu masa itu. Dia juga satu-satunya calon dewan mahasiswa dari golongan independen. Padahal dalam masa kampanye, Roem sama sekali tidak pernah berkampanye. “Jadi masuk waktu kampanye dua minggu. Nah calon-calon lain itu bikin poster, bikin apa, saya tenang-tenang saja. Kalau mau dipilih, pilihlah. Enggak juga enggak apa-apa gitu,” kata Roem tenang. Organisasi mahasiswa miskin ini berhasil menggeser dominasi organorgan ekstra kampus. Saat Roem terpilih, itu menjadi sebuah acuan bagaimana dia belajar politik kesejahteraan. “Sama prinsipnya dengan negara ini. Siapa yang paling mengurusi kepentingan orang banyak, ya itu yang menang,” tambahnya sambil membenarkan posisi duduk. Ada dua faktor yang membuat Roem terpilih menjadi ketua dewan mahasiswa. Pertama, mahasiswa IKIP masa itu telah bosan dengan kepemimpinan dari golongan yang saling adu kepentingan. Kedua, mayoritas mahasiswa IKIP—notabene anak–anak desa, merasa suaranya akan terwakilkan, karena kesamaan latar belakang dengan Roem. *** Sejak menjadi ketua dewan mahasiswa, dia turut aktif menjadi demonstran dan berperan dalam perjuangan mahasiswa melawan kebijakan Soeharto kala itu—Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan yang bertujuan memberangus
46 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
organisasi-organisasi mahasiswa. “Ya praktis sejak itu, hampir semua ketua dewan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi itu, ya sibuk ngurusin itu, demo lah, apa lah,” katanya datar. Namun mahasiswa menolak tunduk, sehingga gejolak pun tak bisa dihindarkan. Soeharto dengan tentara bawahannya mengarahkan untuk meredam gejolak tersebut. Sampai akhirnya militer masuk kampus dan meredam paksa gerakan mahasiswa, termasuk juga IKIP Bandung. Roem bercerita, pergerakan mahasiswa tidak berhenti sampai di situ. Mereka tetap bergerak di bawah tanah. Waktu itu rapat saja menggunakan sandi. Bahkan di kalangan mahasiswa juga terdapat
“
Mengorganisir bukanlah kerja cari makan, maka masih inginkah Anda menjadi seorang Pengorganisir Rakyat? (Cover belakang Buku Mengorganisir Rakyat 2010).
“
intel-intel bayaran. Sehingga aktivis mahasiswa sangat berhati-hati. Penyerbuan tentara terhadap kampus semakin menjadi, begitu juga perlawanan mahasiswa. Sebagai ketua dewan mahasiswa yang oleh pemerintah masa itu dianggap sebagai organisasi terlarang, dia ditangkap bersamaan dengan ketua dewan mahasiswa kampuskampus lainnya di Bandung. “Saya di asrama jam empat subuh. Tahu-tahu militer datang sekitar 10 orang,” Roem bercerita detik-detik penangkapannya kala itu. Dia ditahan di kompleks militer, kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin Bandung selama dua tahun. Tidak ada penyiksaan secara fisik, namun secara psikologis memang diterima Roem dan teman-
temannya. “Tengah malam dibangunin, diinterogasi sampai subuh. Macam-macam pertanyaannya. Ngulang-ngulang itu saja. Tekanan psikologis kan,” Roem bercerita. Dari pengalaman itu, dia dapat mengetahui pola-pola interogasi intelejen. Perlawanan tidak berhenti ketika dia di dalam sel tahanan. Dia dan teman-temannya bahkan pernah berontak. Awal mula, ketika Roem protes terhadap manajemen tahanan dikarenakan makanan yang tidak enak. Mereka membuat kegaduhan di dalam sel. Lalu datanglah Komandan Kolonel Siliwangi. Bukan menghukum mereka, akan tetapi malah memfasilitasi mereka agar dapat masak sendiri. “Dibeliin kompor, kita masak sendiri,” kenangnya sambil tertawa. Selepas Dari Mahasiswa Setelah menjadi ketua dewan mahasiswa dan akhirnya ditangkap, dia pun memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Padahal, saat itu dia telah merampungkan seluruh kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan telah menyelesaikan skripsinya. Ada beberapa alasan, menurutnya NKK/BKK membuat suasana mahasiswa berbeda, terutama organisasi mahasiswa. Kedua, masalah biaya. Kemudian dia bertemu dengan Adi Sasono, Direktur Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Mansour Fakih, juga teman-teman Roem lainnya yang sudah bekerja di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Waktu itu dia ditawari kerja, lalu bekerja di sana namun bukan sebagai karyawan tetap. “Ya itu kebetulan direkturnya bekas aktivis semua, senior-senior kamilah gitu,” tambahnya. Dari situlah kehidupan Roem sebagai peneliti dan relawan LSM dimulai. Pertengahan tahun 1980an, LP3ES dan LSP bekerja sama untuk merumuskan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Bersama Mansour Fakih yang kemudian menjabat sebagai koordinator
TOKOH
program, Roem tergabung menjadi Roem lakukan guna mendapat sim- mudian ada sebuah jaringan pelestarirelawan anggota perhimpunan. Me- pati masyarakat. “Macam-macam ter- an hutan di Jakarta, mereka mengirim reka merancang metodologi dan me- gantung tempat, intinya enggak harus Roem guna mencari data-data kegiatan dia pendidikan masyarakat sekitar pe- memproklamirkan diri saya siapa, ya apa saja yang dilakukan di sana. santren. Salah satu program utama paling belajar bahasa daerah. Tiap Data-data itulah yang digunakan mereka yakni Institut Pengembangan daerah harus menyamar, karena kalau untuk jaringan tersebut mengadvokasi Masyarakat (IPM) yang bertempat di tidak, dicurigai aparat kepolisian, ke Kementrian Kehutanan kala itu. LagiPondok Pesantren Pabelan, Muntilan, tentara. Karena intelnya banyak,” jelas lagi Roem menyamar sebagai pastor dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Roem. pergi seorang diri lagi. Setelah kampanye Roem menjelaskan, sistemnya Bahkan ketika di Timor, dia kasus ini terdengar hingga kancah Intermemperbanyak riset. Selain itu mereka menyamar sebagai pastor. “Waktu di nasional, lisensi pembabatan hutan di diharuskan tinggal dengan petani di desa pulau kecil tersebut dicopot. dan mengamati kegiatan mereka. Lalu Dalam rentang tahun 1981 ketika para santri masuk kelas, mereka hingga 1996, Roem juga pernah ke membuat laporan untuk kemudian Papua, Maluku, bahkan ke Myanmar, dibahas bersama. Setelah itu santri Thailand, dan Kamboja—setelah diberi buku bacaan agar memdia tergabung menjadi anggota “Dia inspirator kita, juga sebagai pelajari teorinya. Para santri jaringan Program Komunikapenyatu sebagai figur yg menyatukan juga dididik mengenai analisi Kerakyatan Asia Tenggara sis sosial guna melihat realitas (SEACP) bersama rekannya kita. Karena komitmennya, karna visinya, yang terjadi di masyarakat. Jo Han Tan. Banyak pelosok karna totalitasnya karna jaringannya gitu. “Jadi santri-santri yang sudah daerah yang dia sambangi, lulus Aliyah, mau ngelanjutin terutama Indonesia bagian Semua. Termasuk duitnya. Dia dapet honor ke perguruan tinggi itu, kita Timur. Dia banyak mempersedikit sedikit gitu untuk menghidupi kita, itu juangkan hak-hak masyarakat didik satu tahun,” jelas Roem. Aktifitasnya di Pabeyang tidak berdaya akibat retotalitas dia. Jadi kita boleh katakan dia sebagai presi lan membuat dia bertemu oleh kekuasaan pemepemersatu dari sekian banyak organisasi di rintah itu sendiri. banyak orang seperti, Arief Budaerah.” diman, Romo Mangunwijaya, Tak hanya itu, kedekatannya Bonar Saragih, (Sekjend Kuntowijaya, Emha Ainun Nadjib dengan masyarakat Maluku, terdan lain sebagainya. Mereka sering khusus pulau Kei, Haruku dan INSIST). menjadi narasumber mengisi studium Yamdena juga menghasilkan sebuah generale bagi santri IPM. organisasi yang hingga kini masih Melalui jaringan gereja, Romo aktif. Dari situlah cikal bakal organisasi Mangunwijaya bercerita kepada Roem Timor itu saja saya menyamar jadi adat Balileo Maluku, sebuah jaringan bagaimana keadaan sosial di Timor- pastor. Jadi kalau jalan kemana-mana masyarakat adat yang dia bentuk yang Timur saat itu. Kemudian dengan saja banyak yang panggil, ‘mau kemana secara resmi tahun 1993 bersama bantuan kenalan pastor dari Romo romo?” cerita Roem sambil memper- kawan-kawannya. Mangunwijaya, Roem berangkat ke lihatkan giginya yang tak lagi lengkap. Dia juga menyunting sebuah Timor-Timur, tepatnya di Timor Barat Perjalanannya untuk mengor- hasil risetnya beserta pemuda lokal, selama satu tahun. ganisasi masyarakat level terendah, de- selama beberapa bulan keliling Maluku. Pola pendidikan di Timor Barat ngan cara turun langsung ke lapangan Kemudian diberi judul Orang-orang sama dengan IPM, yang membedakan tidak berhenti di Timor saja. Roem ju- Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat hanya sasaran program itu bukanlah ga pernah menangani kasus di Pulau Adat Kepulauan Maluku, terbit 2004. santri. Melainkan para petani, buruh Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Ka- “Saya latih orang desa, anak kampung, juga pemuda-pemuda daerah tersebut. bupaten Maluku Tenggara Barat. pemuda-pemuda kampung, bagaimana Hampir dua tahun dia tinggal bersama Waktu itu terdengar kabar mendata, bagaimana mencari informasi, dengan masyarakat Timor-Timur. bahwa ada hutan adat yang akan dieks- begitu. Akhirnya berdirilah Balileo itu,” Berkecimpung dalam ma- ploitasi oleh salah satu perusahaan ungkap pria yang mengaku tidak betah syarakat membuat Roem banyak konglomerat di Indonesia. Pemerintah kalau bekerja dalam ruangan itu. memperoleh pengalaman dalam hal memberikan lisensi untuk pembabatan Hampir semua pengalaman Roberadaptasi dengan kondisi ling- hutan tersebut. Warga sekitar menolak, em—terjun langsung ke masyarakat, dia kungan sekitar. Berbagai macam cara sehingga suasana menjadi panas. Ke- torehkan dalam buku Mengorganisasi
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 47
TOKOH
Rakyat yang diterbitkan oleh INSIST Press tahun 2010. Tak hanya sharing pengalaman perihal mengorganisasi rakyat, tetapi juga poin-poin utama cara mengorganisasi rakyat. Dalam buku itu dijelaskan tentang daur pengorganisasian rakyat. Sederhananya dimulai dari masyarakat itu sendiri, bukan malah tergantung pada kekuatan si pengorganisir. Kemudian pengorganisir mengajak masyarakat untuk berpikir kritis. Lalu membuat analisis dan pemahaman bersama untuk merangsang kepekaan guna mengubah keadaan mereka. Tak ketinggalan, evaluasi atas tindakan yang dilakukan. Evaluasi tersebut merupakan proses yang paling penting dalam mengorganisasi masyarakat. Semua proses itu kemudian diulang secara terus menerus dan tak akan pernah selesai. Mendirikan INSIST Kesibukannya di daerah, lantas tak mengurangi hubungan Roem dengan teman-temannya sekalipun. Dia tetap berkomunikasi dengan mereka satu sama lain. Pada akhir tahun 1997, terbentuklah Institute for Social Transformation (INSIST) yang bertempat di Yogyakarta. Beberapa nama seperti Mansour Fakih, Saleh Abdullah, Rizal Malik, Sita Kayam, Sri Koesyuniati, Wilarsa Budiharga, dan Fauzi Abdullah turut andil dalam pembentukan organisasi tersebut. Para pendiri INSIST menganggap arti Institute sendiri bukan berarti sekolahan atau tempat pelatihan formal. Esensinya hanyalah tempat untuk mengobrol, sesederhana ‘warung kopi’. Bagi Bonar Saragih, INSIST menjadi tempat berkumpul dan berbagi pengalaman bagi orangorang yang sudah lama terlibat dalam pergerakan sosial di Indonesia. Di tempat itulah mereka mendiskusikan pendekatan pemikiran yang akan dikembangkan untuk mempertajam dan menyebarluaskan gagasan tentang transformasi sosial. Begitulah yang dijelaskan oleh lelaki yang kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal INSIST itu.
48 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Tujuannya yakni turut serta dalam perubahan sosial di Indonesia. Dalam INSIST, perubahan sosial ini disebut • Embah juga transformasi sosial. Itulah Lam bercerita tentang mengapa kata transformasi sosial ini ditonjolkan dalam nama keseharian Roem di INSIST. “Berubah dari satu sekretariat situasi yang otoriter semisal, ke INSIST (6/05). situasi yang lebih demokratis yang lebih egaliter. Masyarakat punya akses dalam perumusan kebijakan, seperti itulah,” imbuh Bonar sedikit menjelaskan. Pada awal berdiri, INSIST berbentuk yayasan dengan Mansour Fakih sebagai ketua dewan pengurus. Sedangkan Roem di INSIST sendiri ditunjuk menjadi salah satu dewan penKausar/Keadilan diri. Dia menangani beberapa bidang terutama bagian pengorganisasian, publikasi, dan pengembangan jaringan. yang akan dijalankan ke depan. Bonar Saragih becerita, ada beberapa Dari sekretariat INSIST sendibagian yang dibentuk di INSIST ri mengagendakan tiga poin utama. Yang waktu itu. Diantaranya, tentang Human pertama, sekolah transformasi sosial. Ide Rights, perempuan dan gender, isu-isu besarnya guna melahirkan para aktivis lingkungan, kebudayaan, kerjasama de- baru. Sekolah di sini juga bukan berarti ngan luar negeri, kemudian juga ada semacam pendidikan training, namun penerbitan INSIST Press. lebih ke pengintegrasian program. Pro Perjalanan INSIST memang gram tersebut hanya sekadar mengikuti mengalami beberapa perkembangan. apa yang sudah dilakukan INSIST, atau Tahun 2004, setelah Mansour Fa- dapat juga dibuat oleh calon ‘siswa’ itu kih meninggal, Institute for Social sendiri. Nantinya INSIST yang akan Transformation berganti nama menjadi memfasilitasi. Indonesian Society for Social Transformation. Kedua, advokasi dialog keHal itu dikarenakan tidak ada ruang bijakan. Awalnya mengkaji undanggerak bersama antar organisasi—yang undang yang sudah ada, lalu dimemiliki cita-cita yang sama—termasuk refleksikan kepada realitas yang terjadi. juga organisasi masyarakat daerah Bonar mencontohkan, seperti UU bentukan Roem dulu. “Kita merasa, Desa yang sudah disahkan. INSIST ngapain kita pisah-pisah? Ya kita gabung mengajak dialog masyarakat Maumere, sajalah dalam satu konfederasi, satu per- Nusa Tenggara Timur, tentang UU semakmuran,” kata Bonar bercerita. Desa tersebut apakah relevan atau ti Alhasil, terdaftar lebih dari dak dengan persoalan yang terjadi di 30 organisasi di seluruh Indonesia masyarakat. yang tergabung dalam INSIST ba- Selanjutnya INSIST melakuru hingga sekarang. Sementara untuk kan pengecekan, apakah masyarakat menjadi perekat antar jaringan terse- Maumere ini paham dengan peraturan but, dibuatlah sekretariat INSIST di tersebut. Kemudian melakukan peYogyakarta. Di sinilah semua anggo- nyerapan aspirasi dari masyarakat, apa ta jaringan berkumpul secara berkala yang mereka harapkan dari UU itu. untuk hanya sekadar berbagi informa- “Nah rumusan-rumusan ini yang kesi, sampai merumuskan agenda-agenda mudian kita jadikan sebagai masukan
TOKOH
bagi pemerintah dalam penyusunan peraturan pemerintah,” imbuh Bonar. Yang ketiga, kerjasama program dan tukar informasi kepada sesama jaringan. Hal ini dibutuhkan ketika ada pihak luar yang ingin bekerjasama dengan INSIST, juga menjadi salah satu income yang didapatkan untuk mengelola INSIST. Bonar bercerita, Badan Nasional Penanggulangan Bencana pernah mengontrak INSIST guna penelitian mengenai Merapi. Ada pula beberapa lembaga lainnya yang pernah bekerja sama. Akan tetapi perihal kerja sama ini dibatasi untuk organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga tertentu. Lembaga-lembaga tersebut tentu harus sejalan dengan ideologi transformasi sosial INSIST. Dana yang paling utama bersumber dari diri mereka sendiri. Para pengurus INSIST secara pribadi diminta bekerja oleh organisasi lain. Semisal, melakukan riset, menulis buku, mengembangkan database suatu lembaga, atau memfasilitasi training, juga kegiatan lainnya. Semua dilakukan demi keberlangsungan INSIST. “Jadi, Roem itu misalnya keliling fasilitasi beberapa penyuluhan, ada sebagian yang dia dibayar, kan. Nah sebagian dari bayarannya itu dipotong untuk mem-backup sekretariat ini. Jadi dia yang membayari kita, bukan kita yang membayari dia,” kata Bonar.
Tak hanya nama, serta sistem manajerial saja yang berubah. Dulu, INSIST hanya sekadar rumah kontrakan biasa. Kini INSIST dapat membangun di atas tanah mereka sendiri. Terletak di Jalan Kaliurang Km 18, Dusun Sambirejo-Sempu, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Terkesan jauh dari peradaban, namun rimbun pepohonan di sekitarnya membuat kesan asri tampak kentara. Semua bangunan di INSIST terkesan sederhana, namun memiliki gaya tersendiri. Batu bata yang menjadi penopang dinding dibiarkan tidak tertutup semen halus, bukan seperti dinding kebanyakan. Lantainya bukan keramik, namun papan kayu yang biasa dipakai rumah panggung. Terdapat empat bangunan utama, salah satunya pendopo yang diberi nama Mansour Fakih, yang disematkan guna mengenang jasanya. Di ujung Selatan terdapat rumah panggung berlantai dua yang biasa digunakan Roem untuk berdiskusi dan beristirahat. Karena pekerjaannya itulah, jarang sekali Roem tinggal menetap di Yogyakarta. Paling hanya beberapa hari selama sebulan. Jadwal Roem padat. Bonar juga bercerita, kalau Roem sudah memiliki komitmen—menyunting, menerjemahkan buku, menulis buku, atau hasil penelitian, Roem bisa tidak tidur hingga tiga hari. Hal ini juga sekaligus
menjadi kekhawatiran Bonar sebagai rekan kerja Roem, karena mengingat usianya tak lagi muda. “Tidak banyak lagi yang aktivis LSM yang selama dia. Soal pengorganisasian, gagasan tentang transformasi sosial,” imbuh Bonar. Embah Lam, yang sudah bekerja di INSIST sejak tahun 1994 juga mengatakan perihal kebiasaan Roem. “Paling sore masakin Bang Roem untuk makan. Itu pun sehari hanya sekali dia makan, saat sore. Pagi dia tidak makan, siang enggak. Mungkin kerjaannya menulis melulu kali. Itu pun kalau dia minat makan,” tuturnya sambil terkekeh. Mulai dari sekadar membuatkan kopi, teh, hingga menghidangkan masakan untuk Roem dilakukan Embah Lam. “Iya, saya sendiri, sebab kan Bang Roem sendiri tidak menikah. Mungkin enggak mau menikah atau apa saya enggak tahu. Jadi dari dulu sendiri,” tambah Embah Lam. Roem telah menentukan hidupnya. Dengan gagasan perubahan sosial, dia berkeinginan untuk merubah ketidakadilan struktur sosial yang ada. Menyerap aspirasi-aspirasi masyarakat terendah di pelosok nusantara, dan kemudian mengembalikan eksistensi mereka. “Jangan pernah merasa kita tahu permasalahan masyarakat tanpa kita langsung bicara dengan mereka. Yang paling tahu permasalahan itu mereka, tetapi pemetaan mereka itu sangat terbatas. Biasanya mereka itu tidak sadar ada masalah, karena keterbatasan informasi yang mereka dapatkan,” tambahnya. Menurut Roem perubahan itu dimulai dari skala terkecil, misal dimulai dari komunitas-komunitas desa suatu wilayah. Karena di Indonesia tidak pernah terjadi perubahan struktur sosial. “Tetap feodal, yang dulu dikuasai raja-raja hingga kini dikuasai pejabat dan para sarjana,” sindir Roem. Reportase bersama: Dian Rachmaningsih dan Aussy Nurbani Dihar.
Ilustrasi Oleh: Faluthi/Keadilan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 49
DENYUT BAWAH
Nasib Insan Tergusur Kekuasaan “Nah ini, bajingan Klaten!” telunjuk Polsus menuding dahi Rohim.
Oleh: M. Indra Wahyu A. Bagan
S
eusai salat Jumat, hiruk pikuk penumpang di stasiun mulai tampak. Petugas keamanan sesekali memberi penjelasan kepada penumpang yang tak sabar dengan loket yang masih tutup. Denting bel dari pengeras suara menyeruak ke seluruh stasiun. Informasi tentang kedatangan kereta, menjadi tanda bagi Rohim untuk bergegas. “Jalur satu dari arah timur, kereta Pasundan.” Namanya adalah Rahim. Tetapi teman-teman sesama pedagang memanggilnya Rohim. Sudah menjadi kebiasaan bagi wong Jowo menyebut huruf ‘a’ dengan bunyi vokal ‘o’. Rohim menjadi salah satu pedagang asongan yang tersisa di Stasiun Klaten. Maklum saja, Direksi perusahaan Kereta Api Indonesia (KAI) sudah mengeluarkan instruksi untuk memberantas pedagang asongan yang kerap naik ke dalam gerbong. Dia tinggal di desa Tegal Sepur yang berada persis di Selatan Stasiun Klaten. Sudah tiga tahun Rohim tinggal di sana, mendiami kamar ukuran 3x3 bersama istri dan dua anaknya. Sebelum di Tegal Sepur, acap kali Rohim berpindah kontrakan. Kamar yang saat ini ditempati merupakan satu-satunya kamar di ru-
50 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
mah Embah Marto. Memanjang 20 meter ke Selatan, dengan perabotan ala kadarnya serta susunan genteng yang sudah renggang, keluarga Rohim hidup satu atap bersama Embah Marto, pemilik rumah yang kini berusia 90 tahun. “Saya bayar kontrakan 150 ribu sebulan. Di tempat lain yang di pinggir jalan, rata-rata sudah 250 ribu,” ujar Rohim. Sembari bersila, Rohim yang berkumis lebat berbagi kisah lika-liku hidup menjadi pedagang asongan. Kuncoro, teman sepermainan Rohim kecil yang pertama kali mengajaknya berjualan di Stasiun Gundi. Pada tahun 1995, Rohim yang berumur 15 tahun sudah ngetem di stasiun untuk menjajakan rokok. “Sehari mesti untung 700 rupiah,” paparnya kepada Keadilan sambil tersenyum. Berjualan sudah seperti ‘bakat’ yang dimiliki Rohim sejak kecil. “Saya dari kecil itu jualan sendiri Mas, di kampung jualan es,” kenangnya. Selama dua tahun, Rohim bertahan berjualan rokok di Stasiun Gundi. Namun pada tahun 1997, dia meninggalkan desa dan mengadu nasib pergi ke Klaten. Walau telah pindah ke Klaten, pekerjaannya tidak berbeda jauh dengan keseharian di Gundi. Hilir-mudik di
Stasiun Klaten bahkan ikut masuk ke dalam kereta menjadi rutinitas seharihari. Rohim masih tetap berjualan rokok hingga tahun 2003. Selepas berjualan rokok, Rohim memilih berjualan buku hingga tahun 2012. Keuntungan yang lebih besar menjadi pertimbangannya. Lembaran rupiah yang dikumpulkan dari berjualan rokok, dia tukarkan dengan buku-buku. Beberapa hari mengambil barang dagangan dari Toko 999, Rohim mendapat kepercayaan dari Ramto sang pemilik toko. “Sekarang gini aja, dari pada kamu setiap hari kulakan, mending bawa buku saya dulu. Bayarnya nanti setiap minggu,” ucap Rohim menirukan Ramto. Pada Keadilan, Rohim menceritakan bagaimana buku-buku itu berpindah ke tangan penjual. Pagi-pagi sekali, dia sudah harus mempersiapkan diri bersama barang dagangan. Perjalanan pertamanya menggunakan kereta api Kahuripan pada pukul 05.30 menuju Stasiun Jebres. Tak lama kemudian, dia kembali menumpang kereta api Sri Tanjung yang berangkat dari Yogyakarta. Kereta api ini membawanya ke Stasiun Solo Balapan. Dari Solo Balapan, kereta api Logawa membawa Rohim hingga Sta-
DENYUT BAWAH • Rohim yang menjajakan minuman di luar pagar pembatas, duduk menunggu datangnya para pembeli di Stasiun Klaten (16/06).
Indra/Keadilan
siun Sragen. “Kalau satu sepur saja saya rugi. Karena saya jualan buku. Kecuali kalau jual minuman,” ucapnya. Perjalanan Rohim tak berhenti sampai di Sragen. Dia bersama kereta api Gaya Baru bertolak menuju Stasiun Paron. Sesampainya di Paron, Rohim berbalik kembali ke Klaten. “Berangkat pakai Kahuripan, nanti pulang juga pakai Kahuripan,” ujarnya. *** Secara perlahan, kegiatan Rohim mencari nafkah di gerbong kereta mulai memperoleh hambatan sejak Perusahaan Jawatan Kereta Api Indonesia (PJKAI) berubah menjadi PT. KAI (Persero). Puncaknya, di tahun 2012 Direksi PT. KAI mengeluarkan instruksi Nomor 2/LL.006/KA-2012 tentang Penertiban Pedagang Asongan. Sejak saat itu, seluruh jajaran petugas
• Rohim
yang ada di stasiun berupaya menghalau para pedagang masuk ke dalam kereta. Saat menunggu kedatangan kereta Sri Tanjung pukul 08.00, pedagang asongan mulai terlibat bentrok dengan petugas yang ada di stasiun. Peristiwa itu berujung pada pemblokiran jalan kereta api. “Karena teman kita dipukul. Terus yang mukul ngumpet di kereta api. Langsung teman-teman lain memblokir kereta api,” Rohim menimpali. “Beberapa minggu kemudian, mungkin karena petugas tidak mampu menghalangi pedagang, polisi dan tentara mulai berjaga di stasiun,” jelasnya. Saling dorong dengan Polisi Khusus (Polsus) kereta api yang telah menghadang di pintu masuk gerbong pun tak dapat dihindarkan. Rohim mengatakan bahwa dia sempat bergelantungan di pinggir kereta yang sudah berjalan. “Baru 50 meter dari stasiun saya jatuh, karena enggak kuat,” ungkapnya. Perlawanan yang berlangsung beberapa bulan telah mengendurkan semangat para pedagang untuk mencoba berjualan kembali di dalam gerbong. Namun Rohim mencoba memberi semangat pada sesama asongan. Setiap kali kereta datang, dia mendekat. Mencoba masuk ke dalam gerbong. “Kalau ada dorong-dorongan saya mesti di barisan depan. Temanteman kalau belum diawali itu belum berani,” ucapnya. Rohim pun tegas menyatakan keberaniannya, “Kami di sini
mau jualan. Bukan mau nyopet.” Tidak hanya dihalangi untuk berjualan, Rohim mengaku pernah menerima intimidasi dari tentara yang berjaga di gerbong kereta. Tentara memperingatkan akan menembak jika dia mencoba naik ke dalam gerbong. “Tembak, Pak! Tembak saja saya. Ikhlas ini,” tantang Rohim sambil merentangkan tangan. Dengan geram tentara itu mendekat lalu menendang perut hingga Rohim tersungkur. Peristiwa itu ternyata direkam oleh wartawan televisi swasta. Tak ayal beberapa jam setelah kejadian, wajah Rohim tampak dalam siaran berita. Mendadak Rohim menjadi bahan pembicaraan sesama pedagang. “Waktu saya jalan ke pasar, orang-orang pada kenal saya,” kenangnya sembari tertawa. Bagi Rohim, berjualan di kereta bukan hanya persoalan mencari sesuap nasi. Ada rasa persaudaraan yang terbangun antar sesama pengasong. Pernah suatu hari, Rohim janjian dengan seorang pengasong yang akrab disebut Pendek untuk naik ke dalam gerbong. Setelah di dalam gerbong, Rohim tidak mendapatinya. “Lha kamu enggak naik kenapa? Ayo bareng sama aku,” tanya Rohim. “Enggak boleh naik sama Polsus,” jawab Pendek dari luar gerbong. Seketika Rohim turun dari gerbong, “Nek enggak gelem yo aku medun,” ucap Rohim meyakinkannya. Tahun 2014 menjadi titik balik
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 51
DENYUT BAWAH Seorang wanita menjajakan makanan kecil dan minuman hangat, berjalan terburuburu di dalam kereta yang sedang transit (11/08). Seorang pedagang nasi rames memberikan uang kembalian kepada pembeli ketika kereta berhenti di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta (30/05).
Fajrul/Keadilan
bagi para pedagang di Stasiun Klaten termasuk Rohim. Mereka tidak lagi dapat naik ke dalam gerbong. Akibat yang terlihat, jumlah pengasong hanya tersisa 10 orang. Padahal sebelumnya tercatat 135 orang pedagang asongan di Stasiun Klaten. Rohim menjelaskan pengasong yang tidak berjualan itu sebagian berpindah ke lampu merah, sebagian pula membuka jualan di rumah, bahkan ada pula yang berhenti bekerja. Begitu pula dengan Rohim. Saat ini dia beralih menjual air minum di stasiun. *** Seperti jadwal rutinnya, pukul 13.30 dia harus berada di stasiun. Baru 10 meter langkahnya menuju tempat kerja, Rohim harus ‘mencuri-curi’ kesempatan menyeberang di padatnya lalu lintas jalan bypass Klaten. Minuman yang akan dijual bukanlah barang yang dia beli dengan uangnya sendiri. Berbagai jenis minuman
52 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Fajrul/Keadilan
dalam keranjang itu Rohim pinjam dari kios kecil di seberang stasiun. Setiap harinya, Rohim turut menenteng enam bungkus tisu kecil yang kerap menjadi incaran kaum hawa. “Mbak njaluk tisune seng kebhek,” ucap Rohim pada pemilik kios. Siang itu sorot matanya menyapu seluruh orang yang ada di stasiun. Untung saja cuaca sedang panas. Dua jam saja separuh keranjang kosong. Namun dia tetap saja berseru. “Minum minum minum”. Dalam sehari Rohim mengaku dapat meraup keuntungan 20 ribu rupiah. “Kalau jualan minum semua orang tahu harganya, jadi tidak bisa mahal-mahal. Lain kalau saya jual buku,” ungkapnya. Rohim mengaku bahwa selama ini dirinya dan kawan-kawan belum menerima bantuan dari PT KAI. “Kami tahu kalau berjualan di kereta itu salah, tapi harus ada solusi buat kami. Jangan seperti enaknya sendiri,” keluhnya.
Pernah suatu hari, kakak iparnya–Harjianto—yang juga penjual asongan ikut ke Surabaya, lantaran petugas di stasiun menjanjikan sang kakak untuk bekerja di restoran yang ada dalam gerbong. “Sudah tiga hari ditunggu enggak ada kabar. Padahal saudara saya sudah ikut di Surabaya. Akhirnya kakak saya pulang lagi.” Apabila instruksi yang disahkan Direktur Utama PT KAI, Ignasius Jonan berlaku secara tegas. Rohim yang berusia 35 tahun mengaku akan tetap berjualan. Dia beralasan ketiadaan modal dan keterampilan menjadi faktor utama dirinya untuk tetap berjualan. “Kalau sudah tidak boleh di stasiun, saya mau jualan di lampu merah,” ucapnya pasrah. Reportase bersama: Fajrul Umam A.R
Keadilan Post
Informatif Komunikatif Aspiratif
Dapatkan versi Portable Digital Format (PDF) di:
www.lpmkeadilan.com
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 53
REPORTASE
Lasem
dalam Riwayat
Harmoni
“Pertengahan 1998. Isu penggulingan Soeharto dan pelucutan senjata tentara dibelokkan jadi isu anti-China. Kekisruhan meledak di berbagai penjuru tanah air. Gelombang kekejian seperti tak terbendung. Namun, Lasem yang tersohor sebagai Tiongkok Kecil, menjadi anomali dari semua itu.” - Lasem, Kota Tiongkok Kecil.Mada/Keadilan
K Oleh:
Mada Pudyatama
umandang isya lamat-lamat terdengar. Setelah enam jam kami berjibaku dengan bus antarprovinsi, truk-truk ‘gendut’, dan lalu-lalang kendaraan bermotor lainnya sepanjang YogyakartaRembang, akhirnya kami sampai di tempat ini. Masjid Jami’, bangunan monumental yang ikut berperan dalam terbentuknya harmonisasi masyarakat multikultural Lasem. Masjid Jami’ merupakan simbol religiusitas muslim Lasem yang terletak persis di Selatan Jalan Pantura. Bersampingan dengan alun-alun, keduanya hanya dipisahkan Jalan Raya Lasem. Bangunan besar dengan corak dominan berwarna putih dan dua menara hijau ini dapat dilihat langsung dari Jalan Pantura. Terdapat juga menara kayu berukuran sekitar 5x5 meter di depannya. Dengan arsitektur khas, menara ini sekilas menyerupai bangunan di film-film Tiongkok kuno. Tempat ini biasa digunakan Nyamat, penjaga
54 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
masjid, untuk istirahat dan keperluan penjagaan masjid sehari-hari. Lelaki paruh baya ini kami temui selepas salat isya. Pembawaannya santun. Dia masih mengenakan kopiah putih. Kami pun bertanya-tanya tentang sejarah Lasem, dia lalu mulai mengisahkan sedikit sejarah. Dalam sejarah, Lasem dikenal berkaitan erat dengan Kerajaan Majapahit. Ia merupakan kota bandar, kota pelabuhan penting sejak zaman Majapahit sampai Jepang. Pada masa Majapahit, Lasem menjadi kerajaan kecil di bawah pemerintahan Bhre Lasem, seorang armada laut. Dia menjadikan kota ini sebagai lumbung pangan dan pintu sirkulasi transaksi kayu jati dari Blora yang mampu bertahan hingga delapan abad. Nama Bhre Lasem juga tercatat di salah satu bagian manuskrip kitab Negarakertagama sebagai penguasa Lasem pada tahun 1351. Munawir Azis dalam bukunya Lasem, Kota Tiongkok Kecil, mengatakan
bahwa kuatnya armada laut Majapahit juga sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari kota ini. Lasem menjadi fasilitator dan penyetok kapal-kapal tangguh Majapahit dalam melakukan ekspansi. Apalagi dengan adanya penemuan bekas galangan kapal di daerah Dasun yang ditengarai ada sejak abad ke-7. Penemuan ini digadang-gadang menjadi penemuan perahu tertua di Asia Tenggara. Hal ini semakin mengokohkan keberadaan Lasem sebagai kota bandar, sekaligus berperan besar terhadap kejayaan maritim Majapahit. Kemasyhuran Lasem terdengar sampai Kerajaan Campa. Hingga pada 1413 M, Bi Nang Un seorang muslim mahzab Hanafi, diutus oleh Campa untuk datang ke tempat itu. Dia dan istrinya, Na Li Ni, datang bersama rombongan Laksmana Cheng Ho. Mereka akhirnya menetap di sebelah Timur Kota Lasem. Kemudian mendirikan permukiman Tionghoa muslim yang sekarang oleh masyarakat Lasem disebut Kampung
REPORTASE
Binangun. Inilah cikal bakal generasi Tionghoa Lasem yang di kemudian hari menjadi salah satu komponen harmoni masyarakatnya.
sebelah Timur Lasem sudah terbakar. Tjan Khing Hwie, salah satu pengusaha Tionghoa menghubungi Kiai Thaifoer, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hamidiyah. Dia menuturkan itu dalam wawancaranya dengan Munawir Aziz di bukunya. Mereka kemudian menggagas forum dialog untuk mempertemukan warga Lasem lintas golongan. Hingga kemudian mene-lurkan kesepakatan Lasem Milik Bersama yang menyerukan perdamaian antarwarga. Setelah berbincang cukup lama, kami pamit undur diri dan menuju ke daerah Dasun. Daerah ini merupakan kampung pecinan atau biasa disebut
*** Jamaah subuh memudar. Ini hari Minggu. Akhir pekan. Pagi ini kami menyambangi Slamet. Dia adalah salah satu tokoh Lasem yang berusia 47 tahun. Rumahnya terletak di Dusun Kranggan, sehingga sering dipanggil Slamet Kranggan. Slamet kini masih aktif sebagai salah seorang pengurus Masjid Jami’. Kami menemuinya di depan rumah saat dia sedang bercengkerama dengan beberapa tetangga, diantaranya adalah seorang Tionghoa. Kami dipersilahkan masuk. Istri Slamet langsung menyambut kami dengan menghidangkan Dumbeg dan air kendi. Dumbeg adalah makanan khas Lasem. Bentuknya menyerupai terompet, dibungkus daun lontar, dan diisi olahan tepung beras yang dikukus. Kami memulai perbincangan dengan Slamet untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat Lasem. Menurutnya masyarakat an eadil ada/K M : Lasem sudah biasa dengan h le asi O Mada/Keadilan Ilustr keberagaman. Salah satunya tampak pada pola interaksi Mahbong oleh warga, dengan diwadahi Fowarga sekitar. Di sini terletak rum Kerukunan Umat Beragama yang Kelenteng Cu An Kiong yang kemudidiketuai oleh Slamet. an menjadi pemberhentian pertama ka Slamet juga merupakan saksi mi. Kelenteng ini dibangun pada abad sejarah huru-hara 1998. Saat itu orang XIX dan merupakan kelenteng tertua Tionghoa di Indonesia merasa cemas di Lasem. Kami masuk kelenteng unkarena ancaman kekerasan akibat chaos tuk melihat lebih dekat. Namun sayang terjadi di beberapa kota. Kondisi yang, pintu kelenteng terkunci. Kami mencekam yang dialami orang Tiong- mencoba menemui penjaga kelenteng. hoa di Jakarta merembet ke beberapa Harapannya agar mendapat sedikit penkota lain. Solo, Semarang, dan Surabaya jelasan tentang isi bangunan tersebut. ikut merasakan gelombang anti-etnis Namun keberuntungan belum berada tersebut. Di Lasem, orang Tionghoa tu- di pihak kami. Penjaga kelenteng tidak rut terkena dampaknya. Situasi Lasem bisa membukakan pintu lantaran kunci mencekam saat itu. Kota Kragan di disimpan pengurus Cu An Kiong.
Hari beranjak siang. Kami belum sarapan. Kami lantas bergegas ke Sentra Lontong Tuyuhan di Desa Tuyuhan. Lontong legendaris ini merupakan salah satu produk dari silang kebudayaan masyarakat Lasem. Lontong ini konon merupakan hasil dari racikan orang Tionghoa Lasem. Usai makan siang, kami beranjak ke Desa Babagan. Desa ini merupakan sentra batik tulis Lasem. Terdapat banyak produksi batik rumah tangga di desa ini. Kami mampir ke salah satu rumah untuk melihat proses membuat batik tulis yang terkenal. Kami menanyakan perihal batik Lasem. Mengenai sejarahnya, perkembangannya sampai proses batik lasem menjadi dikenal masyarakat luas. Namun kami tak mendapatkan jawaban lengkap. Kami disarankan untuk bertemu Sigit Wicaksana untuk mendapatkan keterangan. Sigit Wicaksana adalah seorang tokoh Tionghoa di Lasem. Dia juga dikenal dengan nama Njoo Tjoen Hien. Dia seorang pengusaha batik sukses dan tokoh Tionghoa yang patut diteladani hidupnya. Kami menuju rumah Sigit. Namun sayang, dia sedang tidak di rumah. Putranyalah yang menyampaikan hal tersebut kepada kami. Namun hal ini tidak menghalangi kami untuk mendapatkan kisah menarik darinya. Dalam bukunya, Munawir Aziz menceritakan bahwa Sigit adalah salah pelaku perkawinan silang antara Tionghoa dan pribumi Jawa pada tahun 1961. Perkawinan silang sudah terjadi sejak berkembangnya permukiman Tionghoa di Binangun. Di daerah Timur Lasem ini, pada pertengahan abad XV berkembang permukiman orang Tionghoa dari Campa yang diawali oleh Bi Nang Un. Dia kemudian mempunyai putri bernama Bi Nang Ti yang menjadi istri Pangeran Badranala atau Adipati Lasem. Pada zaman Bi Nang Un inilah, orang Tionghoa mulai mendapat tempat
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 55
REPORTASE
di Kerajaan Lasem, yang merupakan bagian dari wilayah Majapahit. Dalam bukunya, Munawir mengatakan bahwa perkawinan silang di Lasem dapat menjadi jembatan komunikasi untuk merekatkan hubungan antarwarga yang berbeda latar belakang etnis. Perkawinan silang ini memunculkan kategori sosial baru, yakni generasi peranakan. Sekarang, generasi peranakan inilah menjadikan sekat etnis, tradisi, dan agama semakin luntur. Luruhnya sekat-sekat budaya di antara penduduk Lasem menjadi salah satu modal keharmonisan masyarakatnya. Selain generasi peranakan, modal harmonisasi masyarakat Lasem juga terdapat pada batik lasem. Batik lasem merupakan salah satu dari hasil persilangan budaya antara Tionghoa dan pesisir Jawa. Menurut Lombard, motifmotif batik daerah pesisir mendapat pengaruh kuat dari Cina. Motif naga atau liong berasal dari bahasa Cina Long, motif swastika, motif awan cina, dan motif kebun dengan tumbuhtumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas. Dalam konteks Lasem, silang kebudayaan melalui batik ini tampak pada motif batik latohan dan motif watu kadas.
Persilangan budaya juga tampak pada ornamen di Masjid Jami’. Selain menaranya, corak Tiongkok juga terlihat pada kerangka saka— tiang penyangga—dan bangunan pada makam Embah Sambu, pembangun Masjid Jami’ itu. Hal ini menjadi bukti bahwa Masjid Jami’ juga menjadi media harmonisasi Lasem. Menurut Kecamatan Lasem dalam Angka Tahun 2013, jumlah penduduk muslim di Lasem mencapai 45.895 dari sekitar 47 ribu warga. Populasi muslim yang begitu banyak menjadi kekuatan tersendiri bagi kalangannya. Dengan jumlah tersebut dapat dimungkinkan terjadi dominasi golongan yang merupakan salah satu tantangan keharmonisan Lasem. Sehingga apabila tidak disikapi akan menjadi perusak keakraban. Untuk membuktikan itu, kami mencari narasumber dari kalangan santri untuk mendapat keterangan bagaimana menyikapinya. Lasem juga kota santri. Sehingga tak sulit bagi kami menemukan pesantren di sekitar kawasan ini. Dari data Kementerian Agama Rembang, ter-catat jumlah Ponpes dari tahun ke tahun justru bertambah. hingga tahun 2011, tercatat ada 23 Ponpes yang menampung ribuan santri lokal, luar
Langgar di Pesantren Kauman dan batik lasem yang merupakan hasil pencampuran budaya pribumi Jawa dan Tionghoa
Lalu/Ke
adilan
Lalu/K
eadilan
56 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Rembang, bahkan luar Jawa. Kami berlabuh di Ponpes Kauman yang terletak di Selatan Masjid Jami’. Ponpes ini berada di tengah Mahbong. Didirikan sejak tahun 2003 di Dusun Kauman, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, di bawah asuhan K.H Zaim Ahmad atau yang biasa dipanggil Gus Zaim. Dia merupakan salah satu cucu dari K.H Ma’shum. Gus Zaim merupakan salah seorang Kiai Lasem yang memiliki relasi yang luas dengan warga Tionghoa. Untuk sampai di Ponpes ini tidak sulit. Sebuah pos ronda milik warga yang berarsitektur kelenteng menjadi penanda. Pos ini dibangun atas kerja sama Gus Zaim dan orang-orang Tionghoa di Karangturi. Lalu persis di Timur pos ronda, terdapat gapura berornamen Tiongkok pula. Gapura itu menjadi penanda resmi bahwa kami sampai di halaman Ponpes Kauman. Kami masuk ke dalam. Suasana Ponpes lengang. Hanya tampak beberapa santri yang sedang mengaji di langgar. Di sekitar bangunan utama, terdapat empat buah lampion berukuran sedang. Di dinding bangunan utama, terdapat sebuah batik bercorak pesisiran yang bermotif latoh dan terdapat ayat Alquran. Disampingnya terdapat foto
REPORTASE
Gus Dur. Di bangunan utama pesantren tampak seorang pria berkumis tebal sedang duduk di beranda. Dia Abdulloh, salah satu pengurus pesantren. Meski saat itu Gus Zaim sedang di luar kota, Abdulloh pun bisa memberikan keterangan. Menurutnya, memang interaksi multietnik di Lasem cukup dinamis. Terdapat banyak acuan untuk melihat interaksi yang terjadi. Salah satunya melalui bangunan pos ronda tersebut. Menurut penuturan warga sekitar, pada awalnya pos ronda ini tidak terawat dan menjadi tempat mabukmabukan. Kemudian ketika Ponpes Kauman mulai berdiri, bangunan pos ronda direnovasi dengan usulan Gus Zaim, yang dikerjakan bersama warga sekitar. Orang Tionghoa pun lagi-lagi ikut andil dalam merenovasi. Dulu orang-orang tak berani lewat depan pos ronda, sekarang pos itu menjadi salah satu wahana interaksi warga lintas etnik. Dalam buku Lasem Tiongkok kecil, diketahui bahwa Ponpes ini menaungi sekitar 180 orang yang rata-rata berusia 16 sampai 27 tahun. Ponpes Kauman, tidak hanya menjadi tempat santri menimba ilmu. Seiring berjalannya waktu, pesantren ini menjadi rujukan dalam memecahkan persoalan keluarga maupun sosial bagi warga Karangturi, tak terkecuali orang Tionghoa. Menurut Abdulloh, stabilitas Lasem selama ini tidak bisa dipisahkan dari peran muslim sebagai rahmatan lil ‘alamin. Secara struktural dan jumlah pemeluk, muslim di Lasem cukup kuat posisinya. Terpeliharanya keharmonisan Lasem tak bisa lepas dari peran pesantren, terutama para ulama. *** Minggu siang, 20 April 2014 di Gang 8, Karangturi. Kawasan Selatan Karangturi didonimasi masyarakat pribumi Jawa. Sedangkan konsentrasi pemukiman warga Tionghoa berada di tengah desa. Berkeliling Karangturi, kita akan dengan mudah mengenali pemukiman Tionghoa. Di kiri-kanan gang akan dijumpai bangunan dengan tembok tinggi dan berlubang-lubang.
Selain itu juga, pintu masuk rumah berbentuk pintu dengan dua daun, khas rumah Tionghoa. Kelenteng Po An Bio terletak di salah satu sudut gang. Ia berdiri kokoh menghadap ke Selatan. Suasana lengang, setiba kami di sana. Gerbangnya sedang di buka. Setelah memasuki pelataran, kami disuguhkan ornamen khas kelenteng seperti lampion, patung, dan huruf-huruf Cina. Dua patung singa keemasan berjaga di depan gerbang masuk. Kami menemui penjaga kelenteng, lalu disarankan untuk menemui Sie Hwi Djan. Dia adalah salah satu pengurus kelenteng sekaligus tokoh Tionghoa di Lasem. Rumahnya masih daerah Karangturi. Menurut penjaga kelenteng ini, Gandor—panggilan lain Sie Hwi Djan—adalah orang yang tepat untuk memberikan keterangan mengenai kelenteng. Kami diberi ancarancar gang rumah Gandor, kemudian berpamitan untuk menuju rumahnya. Kami ketuk pintu rumah berpagar hijau itu. Tak berapa lama kemudian, seorang perempuan tua
mempersilahkan kami masuk. Dia meminta kami menunggu terlebih dahulu. Gandor, kata perempuan itu, sedang istirahat sebentar. Dia baru saja tiba berobat dari Semarang. Beberapa saat kemudian, Gandor menyapa kami. Suaranya berat dan penuh tekanan. Kami mengobrol sedikit soal Lasem dan hal remeh-temeh. Sebenarnya kami sempat melakukan wawancara, namun hanya sebentar. Waktu hampir maghrib, kami tak enak melanjutkan. Gandor kemudian menawari kami melanjutkan wawancara keesokan harinya. Dia meminta kami datang ke warung kopi ujung gang rumahnya. Pukul 06.00 pagi dengan keterangan ‘jangan terlambat’. *** Senin, 21 April 2014, sehabis matahari naik. Jalanan Lasem padat lalu lalang kendaraan warga. Warga desa Karangturi tampak sudah tenggelam pada kesibukannya masing-masing. Sementara, lima menit sebelum kesepakatan dengan Gandor, kami sudah tiba di Warung Koh Sadjien.
• Gandor, seorang pemuka Tionghoa Lasem, ketika ditemui Keadilan di rumahnya (18/05).
Mada/Keadilan Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 57
REPORTASE
Warung Koh Sadjien terletak di perbatasan Mahbong Karangturi. Luasnya 4x5 meter. Dinding warung terbuat dari bambu. Di sebelah Selatan, tiga orang lelaki sedang menyeduh kopi panas racikan Koh Sadjien. Dua pribumi dan seorang Tionghoa itu tampak sedang memperbincangkan sesuatu. Di sudut Utara warung, Gandor menyapa kami. Ternyata dia datang terlebih dulu. Secangkir teh telah tersaji bersama beberapa nasi bungkus dan makanan ringan yang dijajakan Warung Koh Sadjien. Dia sudah tiba di tempat ini sejak jam lima pagi. Menurut Munawir dalam bukunya, terbukanya ruang-ruang sosial berupa warung kopi, seperti Warung Kopi Koh Sadjien ini, turut membentuk kesadaran dan identitas personal orang Tionghoa di Lasem. Hal itu juga berdampak pada persepsi Jawa tentang perbedaan tradisi dan ritual yang mereka jalankan. Gandor lantas membawa kami pada isu sosial politik Lasem. Dia bercerita mengenai persoalan kondisi kelenteng. Dari soal pembangunan hingga persoalan sertifikat yang tak kunjung selesai. Dari kepengurusan yayasan hingga ketidakpedulian pemerintah terhadap kelenteng sebagai cagar budaya dan objek sejarah. Menurutnya, saat ini pemerintah Rembang sama sekali tidak peduli, bahkan dikatakan oleh Gandor, pemerintah itu tidak ada. “Kecuali buat lahan korupsi,” selorohnya. Gandor menyeruput teh. Kerut dahinya sedikit kendur setelah dia bercerita tentang harmoni Lasem. Tionghoa di Lasem berbeda dengan tempat yang lain. Contohnya, di bulan puasa Gandor dan keluarga turut serta menyediakan bekal buka untuk warga
58 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
• Matoya, seorang pemerhati sejarah yang memberikan pendapatnya mengenai sejarah Lasem ketika ditemui Keadilan di rumahnya (19/05).
Lalu/Keadilan
Karangturi yang puasa. Juga ketika ada gotong royong pembangunan rumah orang Islam. Semua warga Tionghoa dia koordinir untuk datang, bahkan ada yang sampai dua hari. “Kalau berhalangan datang, saya akan membayar orang untuk ikut menggantikan saya turut serta,” tuturnya. Tak terasa hampir satu jam kami berbincang. Kopi hampir menyisakan ampas, namun kami mesti melanjutkan perjalanan. Ketika berpamitan, dia berpesan, suatu saat kami mesti kembali ke sini, berbincang topik lain dengannya dan warga Karangturi. Segera kami pacu kendaraan menuju arah Timur. Menuju Desa Dorokandang. Kami mesti menembus pemukiman padat Kranggan, lalu melewati hamparan sawah yang terletak di pinggir bukit untuk mencapai lokasi. Kami menuju rumah Matoya, seorang pemerhati sejarah untuk mendapatkan perspektif lebih lengkap akan sejarah Lasem. Sesampainya di rumah Matoya, kami disambut dengan saut-sautan kicau burung peliharaannya. Lelaki berambut gondrong itu muncul tak lama kemudian. Dia tertarik pada sejarah Lasem sejak tahun 1997. Mulai saat
itu, dia konsisten melakukan penelitian mengenai seluk beluk Lasem. Dia kini aktif di Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem sebagai ketua. Matoya mengawali cerita Lasem dari abad ke-10. Menurutnya, saat itu Lasem sudah memiliki semacam pemerintahan sendiri. Dipimpin seorang Akhu yang bernama Pucangsulo. Akhu Pucangsulo setara dengan Akhu Tumapel di Kerajaan Majapahit. Setelah ekspansi Majapahit ke Lasem, Akhu Pucangsulo kalah. Akhirnya Bhre Lasem menjadi penguasa. Selama Bhre Lasem berkuasa, Majapahit menjadi kerajaan maritim yang kuat. Armada lautnya tangguh. Menurut Manuskrip Badra Santi, Lasem sejak saat itu menjadi daerah penyangga Majapahit terbesar. Daerahnya meliputi Sedayu sampai Pacitan. Tatkala transisi antara keruntuhan Majapahit dan berkembangnya Kerajaan Demak, Lasem berperan aktif sebagai daerah transisi. Masa ini seringkali disebut masa Sirnaluk Kertaning Bumi. Sehingga saat itu terdapat dua pengaruh kekuasaan di bumi Lasem. Demak yang mulai giat membangun dan Majapahit yang keropos. Mulai saat itu peradaban Islam di Lasem mulai muncul. didukung
REPORTASE
juga dengan kedatangan muslim rombongan Cheng Ho. Melompat pada tahun 1740. Peristiwa tragis terjadi di Batavia. Di bawah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, Batavia menjadi ladang pembantaian. Lebih dari 10 ribu orang Tionghoa tewas. Tionghoa Batavia yang selamat memilih keluar daerah untuk menyelamatkan diri. Lasem salah satu tujuan eksodusnya. Hal ini mendorong meletusnya Perang Kuning yang terjadi selama kurun waktu 1740 sampai 1743. Dipicu penyerangan Laskar Tionghoa, Jawa, dan santri ke beberapa barak pertahanan militer Belanda di Rembang, Pati, dan Jepara. Gerakan ini terjadi atas inisiatif Oei Ing Kiat—Raden Ngabehi Widyadiningrat—seorang Tionghoa yang menjabat Adipati Lasem pada tahun 1727 sampai 1743. Lalu Raden Panji Margono, dari kalangan priyayi Jawa, putra Adipati Tejakusuma V yang menjabat sejak tahun 1714 sampai 1727. Juga Kiai Baidlawi, pengasuh pesantren di Puri Kawak, Lasem. Ketiganya dibantu Tan Kee Wie, seorang pendekar Kungfu sekaligus pengusaha tegel. Sebelum Perang Kuning meletus, ketiganya mengucapkan upacara sumpah sebagai saudara angkat. Pada 27 Juli 1741, “Semua aliran, Kejawen dan Tionghoa, tunduk kepada perintah Kiai Ali Baidlawi. Sebelum berangkat menyerang Belanda di Rembang, mereka berkumpul di depan Masjid Alun-alun Lasem, cuma untuk menunggu Kiai Ali Baidlawi selesai salat Jumat,” tukas Matoya. Dia melanjutkan, Garnisum Lasem berhasil dikuasai selama tiga bulan. Buah hasil perjuangan Laskar Lasem. Namun, Belanda tak menyerah.
Selama tiga bulan, digunakan Belanda untuk menggalang kekuatan dari luar pulau. Bertolak dari Semarang, armada Belanda beserta pasukan daratnya menyerbu. Lasem dilurug. Setelah itu terjadi palagan luar biasa. Serangan balik dari Belanda pada akhirnya membuat Lasem dikuasai kembali oleh penjajah. Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kei Wei turut menjadi korban laga yang disebut Perang Godo Walik ini. Dalam buku Lasem Kota Tiongkok Kecil, Perang Kuning, Perang Kuning akan abadi sebagai simbol. Ia
“
kan kelenteng sembahyang. Itu untuk pemujaan pahlawan (Lasem). Dan kelenteng itu paling aneh se-Indonesia. Jadi di situ ada dewa tapi dewanya bukan orang Tionghoa, melainkan orang Jawa (Panji Margono). Lha itu didewakan. Itu kan aneh,” katanya lantas terkekeh. “Kelenteng itu juga kita jaga,” tambahnya. Menurutnya, orang Jawa masih banyak yang peduli atas kelenteng itu. Pada upacara pemindahan patung dewadewa dari satu kelenteng ke ke-lenteng lain, orang Jawa banyak yang ikut memikul patungnya. Dia juga bercerita mengenai pengalaman mengikuti upacara tersebut. Dia dan beberapa orang Jawa pernah ikut salah satu acara kelenteng yang mengundang banthe seluruh Indonesia. Pada saat jam makan tiba, di antara makanan yang tersaji terdapat satu garis pemisah. Fungsinya memisahkan makanan halal dan tidak. “Begitulah mereka menghormati,” tukasnya. Matoya melanjutkan dengan berbagi pengalaman mengenai hubungan baiknya dengan beberapa warga Tionghoa. Di akhir perbincangan, dia kemudian berbicara kondisi peninggalan sejarah Lasem. Ketika ditanyai tentang bagaimana komentar Matoya akan perhatian pemerintah mengenai sejarah Lasem, dia menjawab, “Sangat kurang, bahkan tidak ada”. Seraya melempar pandangan jauh ke muka.
...bahwa dunia tempatnya berdiri tidak hanya hitam dan putih. Ada banyak warna di atasnya. Sementara warna-warna pun bisa berubah nama, bergantung pada kekuatan di luarnya yang memegang pengesahan
”
Remy Silado dalam Ca Bau Kan
merupakan peristiwa bersejarah yang membentuk hubungan harmonis antara orang Tionghoa dan Jawa di Lasem. Bahkan, kisah perlawanan Laskar Lasem yang dikomando oleh ketiga tokoh yang berbeda latar belakang etnik dan tradisi ini diceritakan dalam upacara-upacara haul kiai di beberapa pesantren Lasem. Peristiwa ini juga diperingati kalangan Tionghoa. Nama mereka abadi dan ditulis besar-besar di Kelenteng Gie Yong Bio, Babagan, yang berdiri pada tahun 1780 guna menghormati jasa tokoh tersebut. “Kelenteng Gie Yong Bio itu kan bukti kemenangan Laskar Tionghoa dan Jawa yang berhasil menyerang garnisum Belanda. Itu (kemenangan) akhirnya membuat kelenteng. Gie Yong Bio itu kan bu-
Reportase Bersama: Lalu Subandari
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 59
Kita harus menanam kembali Hijau saat ini dan nanti Kita harus menanam kembali Satu saja sangat berarti untukmu Nosstress - Tanam Saja
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM KEADILAN
JENDELA
Alat
Propaganda dari
Mataram Islam Bersumber dari histori hubungan Kerajaan Mataram dengan penguasa Pantai Selatan dijadikan sebagai kekuatan para penguasa untuk mencapai politik yang diharapkan. Konsep pencapaian politik menjadikan Nyi Roro Kidul sebagai senjata untuk mengontrol masyarakat.
Oleh:
P
Siska Novista
antai Parangkusumo, saat itu telah dilaksanakan rangkaian ritual Jumenengan yang menjadi hajat keraton Yogyakarta. Ritual yang diadakan setiap tahun ini menarik perhatian para pengunjung yang tidak hanya berasal dari penduduk sekitar Parangkusumo saja, tetapi dari berbagai daerah juga ikut meramaikan ritual. Rangkaian ritual yang dilaksanakan salah satunya adalah serah terima sesajen dari pihak keraton kepada pihak Parangkusumo. Di mana sesajen berbentuk seperti getek, didalamnya berisikan berbagai jenis pakaian perempuan hingga pakaian dalam yang terbungkus daun pisang. Satu per satu sesajen diperiksa oleh pihak Parangkusumo dihadapan para pengunjung dalam sebuah pendopo. Setelah diperiksa dan memenuhi syarat, sesajen kemudian dihanyutkan ke arah Pantai Selatan. Upacara Labuhan dilakukan oleh semua juru kunci Parangkusumo
dengan mengenakan pakaian adat. Terdapat empat sesajen, setiap persembahan dipikul oleh empat orang juru kunci menuju pantai. Semua pengunjung terlihat antusias dengan mengikuti kemana arah pikulan sesajen berjalan. Sesampainya di bibir pantai, seluruh sesajen diletakan tepat berada di tepi pantai. Juru kunci duduk bersila
di pinggir pantai, ketika ombak besar datang, sesajen dipikul oleh tim Search And Rescue menuju tengah pantai. Ketika ombak sudah setinggi dada, sesajen kemudian dihanyutkan. Ratusan pengunjung dalam ritual tersebut turut serta mengikuti arah di mana sesajen dilarungkan ke Pantai Parangkusumo, dengan harapan mendapatkan sesajen
• Para abdi dalem sedang menunggu kedatangan sesajen dari Keraton Yogyakarta di Parangkusumo (29/05).
Siska/Keadilan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 61
JENDELA
Topo, sang juru kunci yang diberi gelar atas profesinya tersebut dengan nama Surakso Sutopo, juru kunci dengan ciri berbadan kecil gempal dan kulit sawo matang yang bertempat tinggal di tepi pantai. Keadilan diperkenankan Topo ikut menuju Cepuri Parangkusumo Tapaktilas Panembahan Senopati Kanjeng Ratu Kidul. Pagar terbuat dari batu bata dengan polesan cat berwarna putih berdiri kokoh mengelilingi Cepuri Parangkusumo. Dengan busana adat Jawa yang biasa dikenakan oleh seorang abdi dalem kraton. Siska/Keadilan Topo berjalan dari ru• Proses persiapan sesajen untuk Nyi Roro Kidul yang akan mahnya menuju Cedilarungkan ke Pantai Parangkusumo saat ombak datang (29/05) puri Parangkusumo. yang hendak dilarungkan. Tepatnya malam jumat, Pantai Parangkusumo, terletak dia bertugas sebagai seorang juru kunci di Kabupaten Bantul, sebelah Barat yang telah dilakukannya sejak 10 tahun Pantai Parangtritis. Di sekitar komplek lalu. Parangkusumo terdapat tempat yang Duduk bersila, Topo menyamemiliki pagar tembok berbentuk per- lakan tungku di depannya. Seketika pesegi panjang. Masyarakat sekitar dan ngunjung datang menghampiri. Sekitar pengunjung biasa menyebut tempat itu enam langkah dari tempat Topo duduk, dengan sebutan Cepuri Parangkusumo, terdapat dua gundukan tanah yang biasa Tapatilas Panembahan Senopati Kan- disebut tapak tilas, mempunyai ukuran jeng Ratu Kidul. yang berbeda. Suasana hening, sehing Pada kenyataannya, Cepuri men- ga membuat para peziarah yang datang jadi tempat sakral bagi para pengunjung. memanjatkan doa dengan khusyuk. Mereka yang ‘berkepentingan’ masuk Dalam prosesi ritual, seorang ke dalam dengan membawa syarat yang juru kunci bertugas sebagai penundiperlukan saat memasuki Cepuri. Bunga tun para peziarah dalam memanjatkan dan dupa adalah buah tangan yang wajib doa. Juru kunci sebagai gerbang awal dibawa. Untuk dapat memasukinya, pe- di mana peziarah hendak melakukan ngunjung harus memukul kentongan ritual di samping tapak tilas sembari yang telah disediakan di depan pintu membacakan ayat-ayat Alquran dan masuk Cepuri agar dapat bertemu de- memanjatkan doa yang menjadi bagian ngan juru kunci. Kemudian muncul dalam melakukan ziarah. Menaburkan seorang juru kunci yang bertugas se- bunga di atas tapak tilas menjadi akhir bagai penuntun para peziarah dalam dari proses yang dilakukan para peziarah. memanjatkan doa di tempat sakral ter- Topo menjelaskan, tujuan para sebut. peziarah datang ke Cepuri Parangku-
62 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
sumo salah satunya adalah memohon kepada Kanjeng Ratu Kidul yang dipercayai sebagai sarana meminta doa restu agar apa yang dipanjatkan peziarah dapat dikabulkan Yang Maha Esa. Keberadaan Nyi Roro Kidul Juru bicara Keraton, KRT. Jatiningrat, menjelaskan bahwa keberadaan Kanjeng Ratu Kidul yang biasa disebut dengan Nyi Roro Kidul berkaitan dengan filosofi hamemayu hayuning bawono yang artinya semua manusia itu harus memperbaiki dan memelihara dunia ini dari kerusakan. Jatiningrat juga menambahkan bahwa Alquran telah menjelaskan dalam surat Ar-Rum yang berkaitan dengan filosofi hamemayu hayuning bawono. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar,” jelasnya. Jatiningrat menjelaskan bahwa kecenderungan manusia merusak lingkungan. Filosofi hamemayu hayuning bawono bertujuan untuk mengingatkan manusia agar dapat bersatu dengan alam dalam menjaga hubungan antar sesama mahluk, baik mahluk yang tampak, maupun tidak tampak. Manusia hendaknya menjaga stabilitas hubungan antar mahluk dengan melakukan prosesi labuhan. Namun, dengan upaya manusia untuk menstabilkan hal tersebut melalui labuhan tidak ada kaitannya dengan perbuatan syirik ataupun musyrik. Berkaitan dengan filosofi tersebut, labuhan adalah bentuk dari menjaga hubungan antara manusia sebagai makhluk yang tampak dan jin sebagai makhluk tidak tampak, supaya dunia ini tetap terjaga dari kerusakan yang diakibatkan oleh ulah jin. Lain halnya Wijoyo Puspito, dengan nama keraton Raden Mas Penewu Surakso Jaladri, lelaki berumur 73 tahun, dengan jabatan Asisten Wedana yang diberi kepercayaan oleh pihak keraton sebagai pengawas berbagai tempat seperti makam Syekh Maulana
JENDELA
Maghribi, Syekh Bela Belu, dan Cepuri Parangkusumo Tapatilas Panembahan Senopati Kanjeng Ratu Kidul. Wijoyo, menjelaskan bahwa pihak keraton dengan Kanjeng Ratu Kidul masih memiliki hubungan erat. Ritual Jumenengan ini dilaksanakan setiap tahun. Katanya, dulu panembahan senopati menerima bantuan dari Kanjeng Ratu Kidul. Sehingga, mewajibkan pihak keraton untuk melakukan ritual ini setiap tahunnya.“Dapat dilihat bahwa Keraton Yogyakarta tetap aman dan damai, tidak ada kendala,” jelasnya. Kepercayaan Keraton Yogyakarta kepada Nyi Roro Kidul sejak Kerajaan Mataram menjadikan Kota Yogyakarta tidak mengalami hambatan dalam kerajaanya. Hal tersebut menjadi kekuatan politik bagi keraton, sehingga terdapat Ritual Jumenengan ke Pantai Selatan. Dalam buku berjudul Babad Tanah Jawi (2007), menjelaskan adanya hubungan antara Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul. Hubungan tersebut diawali keduanya untuk saling membantu apabila terjadi gangguan dalam tubuh kerajaan. Hingga sekarang, masih adanya kepercayaan bahwa Ratu Kidul akan siap membantu Panembahan Senopati dan keturunannya apabila menghadapi masalah. Bahkan, Ratu Kidul dipanggil Eyang oleh Sultan Hamengkubuana IX, karena para raja Keraton Yogyakarta adalah keturunan Senopati yang menjadi ‘suami’ Ratu Kidul. Anggapan adanya hubungan mistis antara raja-raja Mataram dan Ratu Kidul, menempatkan diri raja tidak hanya sebagai manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas kodrat. Nyi Roro Kidul Sebagai Legitimasi Politik Wajiran, dosen Universitas Ahmad Dahlan berpendapat, bahwa fenomena Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi politik ada kaitannya dengan sebuah karya sastra yang dihasilkan pada zaman Kerajaan Mataram, di mana sebuah karya sastra dijadikan
sebuah metode untuk menerjemahkan animisme dan dinamisme yang tidak dapat diartikan oleh kalangan masyarakat Jawa zaman dahulu. Suatu karya sastra mempunyai visi dan misi dalam mengubah pola pikir serta sebagai pendorong sebuah perubahan. Dalam hal ini, sejarah yang terjadi pada masa Kerajaan Mataram erat kaitannya dengan sastra, hal demikian ada ketika jaman dahulu antara penguasa dengan sastrawan mempunyai kepentingan satu sama lain. Di mana karya sastra dijadikan sebuah metode untuk mengajar dan menanamkan nilainilai secara halus berupa informasi yang kemudian diyakini oleh masyarakat. Hal tersebut yang digunakan oleh penguasa zaman dahulu dalam memanfaatkan karya sastra, yang sering disebut dengan mitos. Wajiran berbagi cerita tentang pengalaman yang dia dapatkan ketika menjumpai pertunjukan ketoprak yang menceritakan tentang Nyi Roro Kidul. Dalam pertunjukan itu mempunyai tujuan untuk menyampaikan kembali kepada masyarakat agar percaya kepada Nyi Roro Kidul sebagai penguasa Pantai Selatan yang mempunyai ikatan dengan raja, sehingga masyarakat dapat menghargai raja. Wajiran berkesimpulan, bahwa cerita tentang Nyi Roro Kidul benar ter-
tanam di hati masyarakat Yogyakarta sebagai legtimasi, sehingga masyarakat tunduk kepada raja untuk mengabdi dan berkorban di bawah kekuasaannya. Nyi Roro Kidul menjadi alat propaganda bagi masyarakat yang memercayainya Sidik Jatmiko, seorang dosen pengampu matakuliah di kosentrasi Dunia Islam dan Sejarah Dunia, jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhamadiah Yogyakarta. Dia memaparkan kepercayaannya terhadap keberadaan Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi politik di Yogyakarta. Dia juga menyakini bahwa Nyi Roro Kidul sebagai enginering—teknik untuk meyakinkan—masyarakat dalam menghadapi fenomena alam, di mana terdapat kelompok selain manusia yang tidak tampak seperti sebangsa jin yang juga harus dihormati. Hal itu kerap dimanfaatkan oleh sekelompok orang sebagai social unfanatic enginering atau pendukung kekuatan dengan melalui cara berpikir dan bertindak seseorang. “Seseorang yang berkuasa, selain mengandalkan otot tetapi dia juga mencoba menggunakan mitologi untuk social unfanatic enginering sebagai pendukung kekuatan dia,” ujarnya. Sidik berujar bahwa, enginering atau teknik untuk meyakinkan masyarakat dalam menghadapi fenomena
Siska/Keadilan • Tempat ritual Cempuri Parangkusumo, berisi tapak tilas panembahan Nyi Roro Ratu Kidul (29/05).
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 63 Siska/Keadilan
JENDELA • KRT. Jatiningrat yang menerangkan filosofi Hamemayu Hayuning Bawono saat ditemui di kantornya (24/05).
alam seringkali dimanfaatkan oleh sekelompok orang dalam memengaruhi cara berpikir dan bertindak orang lain. Bahwa seorang penguasa adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Dengan mengatakan bahwa Raja Mataram masih berhubungan istri dengan Nyi Roro Kidul, sebagian masyarakat yang mempercayai hal tersebut percaya bahwa Raja Mataram mempunyai kekuatan lain yang berkaitan dengan Ratu Pantai Selatan. Sehingga masyarakat tunduk tanpa adanya perlawanan. Menurut Sidik, dengan adanya kekuatan yang dimiliki oleh seorang raja yang berhubungan dengan Nyi Roro Kidul, menjadikan kekuatan atau kelebihan yang dimiliki untuk kemudian meyakinkan masyarakat bahwa semua anak cucu dari kerajaan Mataram beristrikan dia. Mitologi yang diyakini oleh seseorang yang berkuasa, menjadikan kekuatan baginya untuk meminimalisir terjadinya fenomena alam yang menjadi ketakutan masyarakat yang memercayainya. Seperti yang Sidik paparkan, bahwa Raja Mataram beristrikan Nyi Roro Kidul menjadi alat propaganda dalam kekuasaanya. Mitologi Nyi Roro Kidul sebagai perempuan abadi yang beranak pinak sebagai istri dari Raja Mataram diyakini oleh masyarakat, sehingga masyarakat yang percaya menjadi tunduk dan patuh atas perintahnya. Hal ini menjadikan kekuatan untuk menghegemoni masyarakat agar tunduk terhadap hukum alam arwah. “Nyatanya hal itu efektif sampai sekarang, orang Yogyakarta lebih takut dengan hukum alam arwah dari pada hukum buatan manusia,” tegasnya. Dodik Setiawan, salah satu dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Dia menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berlebihan dengan mengharapkan sesuatu selain dari Allah tidak diperbolehkan, ketika dilakukan menjadi perbuatan syirik. Keraton ada-
64 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Gandar/Keadilan
lah Sebagai simbol dari kebudayaan, maka dalam hal ini yang seharusnya dilakukan oleh pihak keraton adalah memberikan kesadaran bagi rakyat Yogyakarta akan hal tersebut. Pada konsep Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi politik, Wajiran beranggapan bahwa sebuah kerajaan yang memercayai hal-hal gaib. Dalam menjalankan kekuasaan tidak hanya berdasarkan kemampuan yang dimiliki, namun dipengaruhi akan adanya kekuatan yang bersumber dari Ratu Penguasa Pantai Selatan. Dengan mempengaruhi masyarakat agar memercayai sosok Nyi Roro Kidul, membuat pihak keraton lebih mudah untuk mengendalikan rakyatnya. Namun tidak semua masyarakat setuju akan hal itu, orang zaman dahulu percaya karena hal tersebut sudah dianggap sejarah dan menjadi sebuah kebenaran. Akan tetapi orang-orang yang berpikiran rasional dan yang paham mengenai ajaran Islam mulai membuat kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul mulai terdegradasi. Dodik, mengakui bahwa dirinya tidak percaya bahwa Nyi Roro Kidul mampu menjadi perantara doa kepada Yang Maha Kuasa. Menurutnya, agama Islam sudah mempunyai perantara me-lalui salat dan ibadah-ibadah wajib. ”Yang penting kekuatan doa dan keimanan kita. InsyaAllah kalau kita semakin bertakwa kita semakin dilihat oleh yang ‘di atas’, semakin mistis kan berarti semakin jauh dari yang di atas. Karena kan syirik,” ungkapnya.
Dihadapkan dengan fenomena Nyi Roro Kidul sebagai legitimasi politik dalam Keraton Yogyakarta, hendaknya masyarakat Yogyakarta paham akan filosofi yang diajarkan oleh nenek moyang, sehingga tidak menimbulkan berbagai tafsiran. “Masyarakat untuk dapat menilai membutuhkan pemahaman akan filosofi Hamemayu Hayuning Bawono. Agar tidak menganggap hal tersebut menjadi perbuatan syirik ataupun musyrik,” ujar Jatiningrat. Jatiningrat tidak sependapat jika adanya anggapan bahwa kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul berseberangan dengan ajaran agama. “Segala permintaan dan permohonan antar makhluk selalu menyebut nama Allah. Yang penting bukan soal percaya atau tidak, tetapi pemahaman filosofi yang perlu dihayati,” tambahnya. Dalam hal ini Nyi Roro Kidul dalam sudut pandang politik menjadi bagian dari kekuatan kasatmata yang digunakan untuk mengontrol masyarakat. Selain itu pengaruh Nyi Roro Kidul masih kuat hubungannya dengan politik di Yogya. Sidik menjelaskan, mitologi-mitologi seperti Nyi Roro Kidul merupakan bagian untuk menjaga Yogya agar tetap istimewa. “kalau mitologinya ga kuat, keistimewaan Yogya ya sudah bubar,” tambahnya. Reportase bersama: Ina Rachma N. dan Mohammad Zein R.
SPIRITUALITAS
Aksi Preventif Melalui Religiositas
Narkoba menimbulkan hilangnya kesadaran dan mengganggu kehidupan sosial masyarakat. Pencegahan melalui ‘spiritualitas’ dinilai dapat membantu menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkoba.
S
Oleh:
Lutfani/Keadilan Lutfani Husna Novrida
etiap tahun masalah penya- kecelakaan yang dialami oleh Afriyani lahgunaan narkoba menjadi hal Susanti—mengemudi mobil dalam yang tidak pernah terselesaikan. keadaan mabuk dan sakau—yang meData Badan Narkotika Nasional nabrak sembilan orang pejalan kaki di (BNN) pusat yang bekerja sama dengan Tugu Tani, Jakarta. Penggunaan narUniversitas Indonesia mengungkapkan, koba, sudah jelas larangannya, seperti pengguna narkoba dari tahun 2007 yang tercantum di dalam UU Nomor 35 hingga 2011 meningkat. Pengtahun 2009 tentang Narkotika. guna narkoba pada tahun Kata narkoba sendiri 2007 adalah 22.630 orang, merupakan singkatan datahun 2008 sebanyak ri narkotika, psikotropi29.364 orang, tahun ka, dan obat terlarang. 2009 berjumlah 30878 Masyarakat, untuk orang, tahun 2010 penamaan, acap kali yaitu 26.614 orang, mengatakan narkoba. dan di tahun 2011 ialah Sedangkan kalangan 29.713 orang. penegak hukum, medis, Dilansir dari dan BNN, menggunakan viva.com pada Kamis, 26 Juistilah narkotika. Selanni 2014, ada 315 juta orang di jutnya, dalam Pasal 1 UU • Budiharjo dunia yang rata-rata berusia proNomor 35 tahun 2009, disebutkan M. Siber duktif atau berumur 15 tahun narkotika adalah zat atau obat sampai 65 tahun, dinyatakan sebagai yang berasal dari tanaman maupun bupengguna narkoba. Hal ini menjadi kan tanaman. salah satu faktor penyebab rusaknya Terkait dengan jenisnya, nargenerasi muda. Sebab narkoba sangat kotika dibagi menjadi dua, yaitu sinberbahaya saat digunakan secara tidak tetis dan semi sintetis. Sintetis adalah tepat. Ia akan menghilangkan kesadaran, narkotika yang dibuat oleh manusia perilaku sopan, dan menyebabkan ke- menggunakan zat berbahan kimia, mitergantungan. Misalnya seperti kasus salnya ekstasi. Sedangkan semi sintetis
adalah zat dari tumbuh-tumbuhan, diolah dan dibuat seakan-akan sintetis, contohnya morfin, kokain, dan heroin. Kemudian berdasarkan lampiran UU Nomor 35 tahun 2009, narkotika dibagi menjadi beberapa golongan yaitu golongan I, II, dan III. Mengenai dampak dari penggunaan narkoba, Budiharso M. Siber, selaku ketua BNN mengungkapkan bahwa narkoba juga memiliki dampak positif. “Dampak positif manakala dosisnya tepat, waktu menggunakan juga tepat dan cara penggunaan juga tepat. Contohnya, manakala digunakan sebagai obat. Artinya narkotika dapat digunakan sebagai penyembuh suatu penyakit,” jelas Budiharso. Tidak cukup hanya dengan penjelasan medis, dampak narkoba juga dijelaskan dari berbagai agama. Agama menjadi tonggak dalam kehidupan sehari-hari. Agama berisi aturan hidup, mana yang baik dan buruk. Begitu pula narkoba yang masuk di dalam penjelasan agama. Agama dapat menjadi media pencegahan penyalahgunan narkoba. Agama memandang bagaimana kerugian penyalahgunaan narkoba. Dalam surat Korintus (10:23),
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 65
SPIRITUALITAS
dikatakan bahwa, “Segala sesuatu di- dan shalat, maka berhentilah kamu (dari Berdasarkan sumber ajaran perbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu mengerjakan pekerjaan itu)”. Menurut M. Konghucu yang terdapat di dalam Kitab berguna. Segala sesuatu diperbolehkan, tetapi Thoha Abdurrahman, Ketua Majelis Suci—bahasa Hokkan atau Hokian— bukan segala sesuatu membangun”. Menurut Ulama Indonesia Daerah Yogyakarta, narkoba dilarang, karena mengandung pemuka agama Kristen, Pendeta Yudo yang dimaksud memabukkan adalah unsur yang mengakibatkan kecanduan Aster, ayat itu berbicara mengenai ma- semua hal yang menghilangkan akal dan dapat merusak diri seseorang. Akan kanan dan minuman menjadi tidak pikiran dan menyesatkan. Sedangkan tetapi untuk keperluan medis, narkoba berguna jika disalahgunakan. “Ketika untuk keperluan medis, narkoba menjadi diperbolehkan. “Penggunaan narkotika unsur dalam narkotika itu menghasilan opsi terakhir. haruslah digunakan pada porsi yang Narkoba adalah obat yang benar, misalnya saat melahirkan, jadi manfaat, itu boleh. Tetapi kalau men- datangkan mudarat, kesia-siaan, keru- membuat hilang kesadaran. Di dalam tidak akan terasa sakit. Dalam proses sakaan, tidak boleh,” ungkap ibu hamil sesar, tanpa pemakaian Yudo. unsur narkotika, akan sangat Menurut ajaran sakit, dan apakah kuat untuk Budha, yaitu berdasarkan menahan sakit itu,” ujar Js. Ajaran Sila dalam Tripitaka, Cucu Rohyana, Ketua Majelis narkoba merupakan sesuatu Konghucu Indonesia. yang dilarang, karena terdapat Agama Katholik juga mengu“Lima Standar Moral” yang tarakan pandangannya terkait harus dijalani setiap hari, salah narkoba yang diwakilkan oleh satunya yakni menghindari Pastor Rekan Paroki, Kota Bamakanan dan minuman yang ru, Yogyakarta, Romo Antonius membuat ‘lemahnya kesaDanang Bramasti, SJ. Dia daran’. Hal tersebut juga telah mengungkapkan bahwa agama berulangkali disampaikan di Lutfani/Keadilan Katholik tidak hanya sekedar dalam isi Khotbah Sigalovada • Romo Antonius Danang Bramasti ketika diwawancarai Keadilan menolak narkoba, tetapi juga tentang larangan penggunaan narkoba dalam agama Katolik yang Sutta, yaitu larangan mengenai berbahaya bagi kesehatan (15/06). memerhatikan korbannya. “Subarang madhat—contohnya dah berdiri rumah sakit Katholik konsep ajaran Hindu, narkoba dilarang, untuk penanganan korban narkoba,” minuman keras dan narkoba. “Orang sebab terdapat Ajaran Enam Musuh tambah Romo. yang menggunakan narkoba, tidak puyang harus dilawan dalam diri. Adapun nya etika sopan dan kecerdasannya akan Sebagaimana yang sudah di‘enam musuh’ itu yakni kama—bernaf- paparkan di atas, pengguna narkoba dahilang,” tutur pimpinan Theravada su, krodha—kemarahan, lobha—tamak, pat dikatakan orang sakit karena sudah Indonesia, bagian pendidikan daerah moha—kebingungan, matsarya—iri ha- kecanduan. Sosialisasi juga sudah diProvinsi Yogyakarta, Vijananda Triwiti, dan mada—mabuk. Narkoba itu lakukan oleh BNN. Mereka bekerja sadianto. sendiri masuk dalam golongan mada. ma dengan civitas akademik di seluruh Dalam hal ini, pada ajaran Selain itu, narkoba dilarang karena Indonesia sebagai upaya menghindarIslam aturan terkait pemakaian narkosetiap manusia harus dituntut selalu kan masyarakat dari penyalahgunaan ba disamakan dengan khamar, yakni sadar dengan diri, tingkah laku, dan narkoba. Mereka juga bekerja sama mempunyai sifat memabukkan. Segala perkataan. Kemudian Wihaspati Tattwa, melakukan penelitian sebagai bentuk sesuatu yang memabukkan, hukumnya sumber agama Hindu, dijelaskan obat- kepedulian dan upaya mencegah tinharam. Hal itu jelas tertulis didalam obatan narkoba membuat kehilangan dakan yang berbahaya dari narkoba. Alquran, surah Al-Maidah ayat 90 kesadaran. Selanjutnya di dalam kitab Oleh karenanya peran ‘spiritulitas’ atau sampai 91, “Hai orang-orang yang beriman, etik, dalam Slokantara, dijelaskan ten- agama sangat berpengaruh. sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, tang musuh dalam diri manusia, salah (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji satunya narkoba. Kemabukan yang diReportase bersama: Irkham Zamzuri dan termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhi- akibatkan oleh narkoba tentu menjaPutri Ayu Prayogo lah perbuatan-perbuatan itu agar kamu di efek yang tidak baik bagi manusia. mendapat keberuntungan. Sesungguhnya “Manusia yang kehilangan kesadaran syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan akan mengalami kehancuran,” ujar permusuhan dan kebencian diantara kamu Pembimbing Masyarakat Hindu bidang lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, Departemen Keagamaan, Ida Bagus dan menghalangi kamu dari mengingat Allah Wika Krisna.
66 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
ULASAN
Polemik
Hukuman Bagi
Mati
Koruptor
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan,” Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh:
T
Rini Winarsih
indak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Seperti yang temaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara dapat dipidana penjara seumur hidup, belum lagi ditambah denda maksimal 1 miliar rupiah. Beberapa tindakan dalam memberantas korupsi yang pertama dengan munculnya UU Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian terjadi beberapa kali perkembangan menjadi UU Nomor 31 Tahun 1999 dan telah di-
lakukan perubahan yaitu UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Keadaan tertentu dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberat bagi pelaku tindak pidana korupsi. Antara lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter. Namun sampai saat ini, terpidana yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia hanya berdasar tiga kasus tindak pidana, yaitu pembunuhan, narkotika, dan terorisme. Persoalan hukuman mati, masih menuai pro dan kontra. Beberapa alasan mengenai hal ini juga bermacammacam, seperti yang diutarakan oleh salah seorang peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM). Fariz Fachryan, S.H.
mengatakan bahwa untuk mengurai dan memberantas korupsi harus ada usaha maksimal, “Salah satu usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh negara yaitu menjatuhkan hukuman bagi koruptor,” ungkapnya. Fariz menjelaskan, dari beberapa vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa korupsi, tidak ada satu pun yang mengarah pada penjatuhan sanksi yang terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999. Hal ini menunjukkan, penegak hukum yang bertindak memberantas korupsi dalam menjalankan fungsinya tidak semua berpedoman pada undang-undang. Komitmen terhadap pemberantasan korupsi, menurutnya dapat dilihat dari seberapa berat vonis yang dijatuhkan kepada koruptor. Hukuman mati juga merupakan hukuman terberat dalam sistem hukum pidana. ”Makanya kami setuju,” tegas Fariz. Vonis terhadap para koruptor, yang terberat saat ini hanya terhadap kasus jaksa yang menerima suap dengan hukuman 20 tahun penjara. Padahal,
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 67
ULASAN
• Fariz Fachryan, sebagai peneliti PUKAT UGM ketika diwawancarai mengenai pemberantasan korupsi (14/06).
Faluthi/Keadilan
sebelum adanya pasal tentang tindak pidana pencucian uang, vonis hakim terhadap terdakwa tidak lebih dari 10 tahun. Fariz juga mengatakan pemberlakuan hukuman mati ini juga harus dipersiapkan sistem hukumnya. Hukuman mati hanya akan meredam persoalan bukan menyelesaikan permasalahan korupsi, agar dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat untuk tidak korupsi. Akan tetapi, hukuman mati juga tidak bisa dijadikan sebagai penyelesaian masalah. Oleh karena itu upaya hukum juga harus dibarengi dengan sistem pencegahan yang maksimal, baik dari internal birokrasi maupun eksternal oleh masyarakat pada umumnya. Selain itu, yang menjadi masalah dalam pemberantasan korupsi ini adalah keputusan hukum yang belum menyentuh aktor intelektual. “Kalaupun menyentuh aktor intelektualnya, komitmen hakim masih dipertanyakan,” ujarnya. Fariz mencontohkan kasus korupsi yang dilakukan Nazaruddin yang hanya dijatuhi hukuman tujuh tahun. Dalam proses peradilan di Indonesia, hakim dapat berpikir jauh pada putusan yang akan mengarah pada keadilan substantif atau hanya keadilan formil belaka. Kasus Nazaruddin yang hanya dihukum tujuh tahun merupakan contoh bahwa penegak hukum baik jaksa maupun hakim hanya berkutat pada keadilan formil. Mereka hanya berkutat pada aturan yang terdapat dalam
68 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
undang-undang saja. Dia mengategorikan pemberlakuan hukuman mati, terhadap tindak pidana korupsi yang berakibat sistemik, yaitu mengganggu sistem ekonomi, politik, hukum, dan semua lini kehidupan masyarakat. Kemudian terhadap pelakupelaku yang mengorupsi dana bencana, atau ketika negara dalam krisis seperti yang tertuang dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2). Terakhir, hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap aktor intelektual, yang mana dia memainkan peran penting seperti kepala negara atau kepala lembaga. “Jika pun mereka tidak dihukum mati, mereka pantas dihukum seumur hidup,” tegas Fariz. Di lain pihak, Eko Riyadi, S.H., M.H. mengatakan bahwa dia menolak adanya hukuman mati, walau secara legal di Indonesia hukuman mati itu konstitusional. Sudah banyak pihakpihak yang mengajukan judicial review terhadap hukuman mati ke Mahkamah Konstitusi, akan tetapi semuanya ditolak.
Adapun beberapa alasan kontra yang diutarakannya adalah bahwa yang pertama, secara teologis kematian itu urusan Tuhan. Kemudian yang kedua, arah hukum dewasa ini secara nasional adalah penghapusan hukuman mati. Buktinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengeluarkan protokol tambahan kedua terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang isinya memerintahkan kepada negara-negara peratifikasi ICCPR untuk menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum. “Kita tidak boleh mengambil kewenangan Tuhan, untuk mencabut nyawa seseorang,” terang Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) tersebut. Ketiga adalah kualitas sistem hukum Indonesia yang belum mampu. “Sistem hukum Indonesia itu masih kacau, apalagi penegakan hukumnya,” ujarnya. Dalam memaknai sistem itu setidak-tidaknya ada dua, yaitu substansinya dan proses penegakan, termasuk di dalamnya ada prosedur dan mekanisme. “Masih banyak kasus yang bisa direkayasa, masih banyak orang yang salah dibebaskan,” tambah Eko. Banyak orang-orang yang benar, namun disalahkan dalam proses peradilan. Data pelapor khusus PBB mengenai independensi kekuasaan peradilan Indonesia, menyebutkan bahwa situasi penegakan hukum peradilan di Indonesia termasuk situasi yang paling buruk di seluruh dunia. “Situasi sistem hukum yang belum bagus, itu memperkuat keyakinan saya bahwa hukuman mati sebaiknya tidak
• Eko Riyadi, Direktur PUSHAM yang memberikan pendapatnya mengenai hukuman mati, saat diwawancarai Keadilan di kantornya (14/06).
Meila/Keadilan
ULASAN
diterapkan,” papar Eko. Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam UUD 1945 Pasal 28 A, dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sehingga, dalam hal ini hukuman mati bisa diartikan bertentangan dengan konstitusi. Tidak hanya berhenti di situ, beberapa instrumen HAM juga mengatur hukuman mati, seperti ICCPR. Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi kovenan hak sipil dan politik ini, yaitu tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 6 ayat (1) mengatakan pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup, sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa hukuman mati hanya dapat dilakukan untuk jenis kejahatan yang serius. Tindak pidana korupsi termasuk dalam pelanggaran HAM yang serius, tetapi hukuman mati juga bukan hukuman terbaik bagi koruptor. “Yang ditakuti koruptor itu bukan kematian, tetapi kemiskinan,” jelas Eko. Berkaitan mengenai korupsi, Eko mengungkapkan ada beberapa macam, yaitu corruption by need, corruption by great, dan corruption by design. Corruption by design ini merupakan korupsi yang dilakukan oleh petinggi-petinggi kementrian dan anggota DPR yang sengaja mendesain sebuah kebijakan untuk korupsi, sebagai contoh adalah kasus Hambalang dan Bank Century. Berlainan dengan corruption by need yang dilakukan oleh ketua rukun tetangga, atau dukuh yang mengkorupsi karena dia membutuhkan. Sedang kasus korupsi yang dilakukan oleh Joko Susilo termasuk dalam corruption by great, karena kerakusan. Sebagai perbandingan, Direktur PUSHAM ini juga mengatakan yang paling kejam adalah corruption by design, “Corruption by design itu memang menyiapkan perangkat untuk korupsi,” ujarnya ketika diwawancarai di kantor PUSHAM. Salah satu tindakan untuk memberantas corruption by design yai-
Ilustrasi Oleh: Ina/Keadilan
tu dengan menciptakan sistem politik yang akuntabel. Maksudnya bahwa setiap kebijakan harus transparan dan partisipasi publik maupun melibatkan masyarakat yang besar. Selain itu—masih dengan menggunakan perspektif HAM—bahaya korupsi adalah untuk mengurangi kemampuan negara dalam menjalankan tugas memenuhi hak-hak masyarakat. “Korupsi itu sebenarnya perampasan hak rakyat yang luar biasa,” jelasnya. Eko mencontohkan seseorang harusnya tidak kecelakaan di jalan, jika uang pembangunan infrastruktur jalan tidak dikorupsi, begitu pula dengan uji kelayakan kendaraan bermotor. Dengan tetap berpendapat bahwa tidak setuju terhadap hukuman mati, lebih baik koruptor dipenjara dengan pidana tambahan. Beberapa pidana
tambahan yang diusulkan diantaranya perampasan aset atau harta kekayaan yang terbukti berasal dari korupsi dan kerja sosial. Misalnya menyapu jalan atau menjadi cleaning service di tempat koruptor dulu bekerja. Dari para terpidana korupsi itu bisa dimanfaatkan dengan kerja sosial. “Kalau hanya penjara, penjara bisa disuap dan memenjarakan orang itu beban negara,” tambahnya. Reportase bersama: Meila Nurul Fajriah dan Faluthi Fathurahman
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 69
RESENSI
Catatan Hidup Seorang Multatuli Kaum lemah selalu menjadi bulan-bulanan penguasa. Tidak peduli kesengsaraan yang menimpa siapa saja yang berada di posisi bawah. Hati nurani mengikuti kepentingan-kepentingan kalangan tertentu.
Oleh: Devi Triana
M
engisahkan kejadian-kejadian di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Diangkat berdasarkan pengalaman pribadi pengarang. Novel terjemahan dari bahasa Belanda yang terbit pada tahun 1860 diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada tahun 1972, menjadi primadona dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Hanya butuh waktu tiga bulan, cetakan pertama dalam bahasa Indonesia laku terjual. Cetakan selanjutnya diterbitkan kembali dengan ejaan yang disempurnakan. Novel ini mendapat sambutan yang sangat baik dari pembaca dikarenakan ceritanya tak lekang oleh waktu. Selalu menjadi bacaan yang segar karena sangat sesuai dengan keadaan pemerintahan saat ini. Multatuli atau nama samarkan
70 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
dari Eduard Douwes Dekker lahir tahun 1820 di Amsterdam, Belanda. Pembaca akan dibawa hanyut ke dalam kisahkisah berkisar antara tahun 1840 sampai 1850an, berbagai permasalahan pelik yang membawa beberapa nama pejabatpejabat yang berkuasa saat itu. Tetapi di dalam novel ini beberapa nama menggunakan nama lain, kecuali nama tokohtokoh pribumi. Permulaan cerita, pembaca disuguhkan dengan hadirnya seorang bernama Batavus Droogstoppel. Makelar kopi Belanda yang kaya dan tinggal di daerah mewah di Amsterdam. Kemudian muncul seorang pria yang meminta tulisannya diterbitkan Batavus. Nama pria itu adalah Sjaalman, nama yang diberi oleh Batavus karena dia selalu memakai syal tanpa jas penghangat bahkan di saat musim dingin. Padahal Batavus sendiri tidak begitu menyukai roman dan tidak pernah me-
nerbitkan sebuah buku. Tetapi saat dia membaca tulisan dari Sjaalman ada sedikit ketertarikan setelah membaca anak judul dari tulisan itu. Tulisan dari Sjaalman yang sebenarnya adalah Max Havelaar, bercerita tentang kejadian di Hindia Belanda saat dulu dia bekerja disana sebagai pegawai pemerintah. Dalam buku diceritakan kalau Max Havelaar pernah ditempatkan pada beberapa daerah di Hindia Belanda saat itu seperti di Ambon dan Sumatra Barat. Tetapi lebih banyak cerita di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar ditugaskan menjadi seorang asisten residen oleh Gubernur Jenderal A.J. Duymaer Van Twist pada 4 Januari 1856. Kedatangan Max Havelaar disambut sangat meriah. Bupati Lebak, yang merupakan seorang pribumi bangsawan bernama Raden Adipati Karta Nata Nagara juga turut hadir dalam aca-
RESENSI
Judul : Max Havelaar Penulis : Multatuli Tebal : 349 – lampiran 359 halaman Cetakan : Pertama 1972 Delapan 2000 Penerbit : Djambatan Terjemahan : H.B. Jassin ra itu.
Mengeluarkan biaya dan tenaga manusia yang tidak sedikit. Tetapi sebenarnya Max Havelaar sendiri tidak begitu suka dengan acara tersebut, karena banyak penduduk yang teraniaya. Max Havelaar mengucapkan sumpah jabatan pada 21 Januari 1856 dan sudah resmi menjalankan tugasnya sebagai asisten residen. Hari demi hari berlalu cukup menyenangkan karena ditempatkan pada rumah yang mendukung kegiatan istri dan anaknya. Tetapi dia menemukan kejanggalan pada saat mengecek berkasberkas dari asisten residen sebelumnya, C.E.P. Carolus. Max menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap penduduk Lebak, dilakukan oleh bupati yang notabene dari pribumi. Belum sempat Carolus melaporkan berkasberkas pelanggaran tersebut, Carolus sudah terlanjur terbunuh. Dia berhadapan dengan peristiwa-peristiwa buruk seperti yang ada dalam berkas Carolus. Biarpun sudah menjadi asisten residen, Max Havelaar hidup dalam kesederhanaan. Mengumpulkan uang untuk melunasi utang karena membantu siapa saja. Tak disangka-sangka keterlibatan bupati sendiri dan pejabat-pejabat rendahan yang sebagai pribumi tega melakukan hal yang membuat penduduk sengsara. Memakai tenaga penduduk seenaknya dan tanpa upah. Bupati Lebak dituntut oleh Max Havelaar melalui suratnya kepada residen. Seorang bupati dari kalangan
pribumi yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyatnya, malah merugikan rakyat dengan kepentingan yang menguntungkan kalangannya. Niat baik tak selalu membuahkan hasil yang baik. Kemauan Max Havelaar untuk meminta mengusut kasus penindasan di Lebak kandas. Karena adanya kepentingan politik dan kerjasama busuk antara bupati dan residen, akhirnya perkara dibungkam. Bahkan gubernur jenderal yang juga dikirimi surat oleh Max Hevelaar untuk membantunya, juga tak mau direpotkan. Akhirnya berujung pada permintaan berhenti Max Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak. Dalam novel ini juga dilengkapi oleh cerita “Saijah dan Adinda�. Cerita fiksi tetapi berdasarkan hal-hal sebenarnya yang terjadi di Hindia Belanda. Ketertindasan kaum lemah yang dimanfaatkan oleh pemerintah yang mempunyai kuasa. Cerita “Saijah dan Adinda� mempunyai sedikit bumbu romansa yang berujung kepedihan mendalam. Sedikitnya perlawanan yang dilakukan Saijah tidak berarti dengan kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah. Perampasan kepemilikan barang dan menjatuhi hukuman yang seharusnya tidak layak diberikan kepada penduduk kelas bawah. Novel ini juga pernah di filmkan tahun 1976 yang berlatar pada 1850-an saat Belanda
masih menjadi penguasa. Tetapi tidak sedetail novelnya karena durasi yang hanya 170 menit, ada beberapa bagian yang tidak ditayangkan di film-nya. Tak jauh berbeda dengan keadaan saat pemerintahan Hindia Belanda dulu, saat ini oknum pemerintah yang berkuasa terkadang sewenang-wenang terhadap masyarakat. Kepentingan politik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sering digunakan. Tak jarang ditemukan kasus-kasus yang merugikan masyarakat. Padahal seharusnya pemerintah mengayomi masyarakat dan membuat sejahtera kehidupannya. Novel ini berbahasa cukup berat yang kadang sulit dicerna apabila hanya membaca satu kali. Karena novel sastra tidak semua orang dapat mengerti maksud dari penulisannya. Dalam cerita ini Multatuli menempatkan dirinya sebagai orang ketiga. Sehingga Batavus Droogstoppel yang seolah-olah pembuat cerita, setelah itu Batavus menceritakan tentang Sjaalman yang sebenarnya adalah Max Havelaar. Lalu pengalaman Max Havelaar yang sebenarnya merupakan pengalaman Multatuli sendiri sebagai penulis. Banyaknya tokoh juga membuat pembaca terkadang sulit untuk mengingat peran masing-masing tokoh dan sudut pandang seperti apa
Ilustrasi Oleh: Lutfani/Keadilan
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 71
RESENSI
yang digunakan oleh penulis. Hal ini dikarenakan alur cerita yang campuran, serta penempatan tokoh, penulis dan tokoh yang berperan sebagai penulis. Kekuasaan tidak selamanya bertindak baik, meskipun yang berkuasa orang dari pribumi itu sendiri. Tetapi masih bisa dipertahankan untuk kemaslahatan umat melalui perjuangan. Serta masih banyak orang-orang yang menjabat di pemerintahan, mempunyai hati nurani untuk membela rakyat. Permasalahannya tidak banyak yang berani membela untuk kepentingan bersama. Karena selalu ada kepentingan yang untuk kalangan tertentu, tetapi berseberangan dengan hak-hak yang seharusnya didapat oleh masyarakat. Perlu diingat, di zaman sekarang sangat berbeda dengan saat pemerintahan Hindia Belanda dahulu dimana masyarakat kalangan bawah tidak dapat berbuat apa-apa karena salah
satu faktor, yaitu kebodohan. Lain halnya dengan sekarang, kemajuan teknologi dan pengetahuan yang sudah berkembang harus membuat masyarakat sadar akan ketertindasan. Melawan karena hal-hal yang merugikan, serta menuntut persamaan tanpa membedakan asal golongan. Indonesia bukan lagi bangsa yang terjajah, bahkan oleh saudara serumpun sendiri. Karena kebodohan seperti dahulu sudah harus ditinggalkan agar tidak ada lagi segala bentuk penindasan, oleh siapapun, kepada siapapun. Novel ini layak dibaca karena mengajarkan masyarakat untuk lebih kritis terhadap pemerintah. Karena, untuk saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangatlah rendah. Kapitalisme birokrat cenderung menindas rakyatnya meskipun tidak sekejam masa Hindia Belanda. Lemahnya kesadaran kolektif membuat rakyat ter-
kesan pasrah terhadap segala bentuk penindasan. Oleh karenanya, buku ini mampu menjadi ‘lilin’ untuk menerangi kegelapan yang menyelimuti permasalahan di dunia ini. Kaum intelektual harusnya mampu untuk mentransformasikan ilmu terhadap kaum yang ditindas agar terbebas dari segala bentuk penindasan.
Redaksi menerima kontribusi tulisan berupa: Artikel, Opini dan Resensi Redaksi berhak mengubah tulisan tanpa mengubah esensinya. Facebook: LPM Keadilan Twitter: @keadilanpress Website: www.lpmkeadilan.com E-mail: lpmkeadilan@yahoo.co.id Alamat: Jl. Taman Siswa No 158 Yogyakarta 55151
72 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
RESENSI
Sang Aktivis Revolusioner dari Kauman “Orang yang mengaku dirinya Islam, tetapi tidak setuju dengan adanya komunisme, saya berani mengatakan dia bukan Islam sejati� -H. M Misbach Kisah Haji Merah.
N Oleh:
Aussy Nurbani Dihar
or Hiqmah merupakan seorang lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada membuat sebuah skripsi yang menceritakan tentang pemikiran-pemikiran Mohammad Mis[bach. Sering disebut Haji Misbach—begitu namanya disebut ketika dia sudah menunaikan ibadah haji—seseorang aktivis pergerakan yang berkarakter militan dan progresif revolusioner dan sekaligus mubalig. Kemudian skripsi tersebut menjadi cikal-bakal buku berjudul H.M Misbach, Kisah Haji Merah. Pada buku cetakan kedua ini juga menunjukkan tulisan-tulisan hasil karya yang dibuat oleh Misbach terkait dengan pendapatnya mengenai ajaranajaran agama disertai dengan surat-surat yang ada di dalam Alquran. Meskipun dalam buku ini tercantum 19 daftar karyanya dari tahun 1917 hingga 1926, tetapi tidak semua dijelaskan. Penulis membuat buku ini berangkat dari pengalaman tokoh Karl Marx yang melawan kapitalisme di Be-
nua Eropa. Marx sama-sama melihat bukti konkret di mana-mana tentang penindasan yang dilakukan para pendeta gereja dan kaum kapitalis. Marx melihat seluruh lahan pertanian dikuasai para pendeta gereja atau tuan-tuan tanah, yang dipertahankan dengan mengandalkan kekuatan para budak. Dukungan politik bagi penguasa membuat rakyatnya tertindas. Marx bukanlah seorang ahli agama, tetapi menurutnya agama bisa menjadi senjata untuk melawan penjajahan. Berawal dari keadaan Indonesia pada abad ke-20, kondisi sosial politik saat itu mengalami perkembangan yang ditujukan untuk melawan kolonial Belanda. Sehingga dimulailah zaman Etis, sebuah zaman baru dalam politik sosial. Kemajuan demi kemajuan mulai timbul pada zaman ini, terutama pada pendidikan. Ada pendidikan gaya barat dan tradisional. Pada pendidikan gaya barat akan berdampak kepada seseorang yang akan terseret pada pemikiran kolonial
Belanda. Namun, pada saat itu Misbach sempat merasakan sekolah Bumi Putera atau pendidikan gaya barat pada saat kelas dua, dan hanya bertahan selama delapan bulan, kemudian melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Penulis mengisahkan di Indonesia dengan dua tokoh penting di pulau Jawa, yaitu H.O.S Tjokroaminoto dan Semaoen. Namun pada buku ini lebih banyak memaparkan mengenai pemikiran Haji Misbach yang disebut dengan pelopor teologi pembebasan. Kemudian muncul Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI) merupakan organisasi Islam yang menentang kolonialis Belanda, diketuai oleh Samanhoedi dan Tjokroaminoto. Namun yang terjadi justru perpecahan SI, karena konflik internal yang disebabkan politik kanalisasi atau adu domba oleh pemerintahan Belanda yaitu Dirk Fock, sehingga terbagilah SI Tjokroaminoto (SI Putih) dan SI Semaoen (SI Merah). Fock mengeluarkan kebijak-an
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 73
RESENSI
yang mengakibatkan krisis pergerakan- tepat untuk membebaskan manusia dari baskan kaum tertindas yang diperpergerakan dengan melarang pemo- ketertindasan dan itu merupakan ideo- lakukan seperti benda, bahkan munggokan, mempersempit hak berserikat loginya. kin binatang. Sebagaimana yang pernah dan berkumpul serta memperkeras pe- Ideologi lain mengatakan bah- dikatakan Max Havelaar, “Tugas raturan mengenai pers dan pergerakan wa pada hakikatnya semua agama itu manusia adalah menjadi manusia”. aktivis. sama, yaitu petunjuk Tuhan yang satu. Maksudnya, pembebasan tersebut bisa Maka, Misbach berpendapat Namun, agama Islam dikatakan sebagai dikatakan untuk memanusiakan dirinya mengenai keberadaan SI yang diang- agama keselamatan yang ditulisnya pada sendiri. Manusia haruslah tetap menjadi gapnya ‘mandul’ dan bersifat kooperatif karya yang berjudul Islam dan Atoerannja. manusia, jangan sampai dipengaruhi terhadap pemerintah. Dia lebih memilih Dia juga menginginkan bah- oleh suatu sistem masyarakat. Sudah bergabung dengan Partai Komunis In- wa seorang muslim harus bergerak banyak perjuangan yang dilakukan saat donesia yang dianggapnya sesuai dengan melawan kekejian orang-orang serakah mengalami ‘jatuh bangun’ sampai kacita-citanya dan menganggap sebagai yang disebutnya sebagai kaum kapitalis lah atau menang dengan metode dari pergerakan anti-pemerintah kolonial. yang menyimpang dari Islam sejati. berbagai varian agama, seperti Budha Haji kelahiran Kauman, Sura- Menurut Misbach Islam sejati adalah dan Katolik. karta ini juga aktif dalam organisasi Islam yang mengikuti kebenaran dari Tidak hanya menimbulkan proTentara Kanjeng Nabi Muhammad ajaran komunisme. Dia mempertegas paganda dan melakukan pergerakan(TKNM) dan juga mendirikan perkum- pemikirannya melalui tulisan yang pergerakan, Misbach juga sering mepulan Sidiq Amanah Tabligh Vatonah berjudul Semprong Wasiat. Tulisan ini lakukan aksi-aksi yang membuat dia (SATV), serta sekolah Ze School Met Den berisikan tugas seorang muslimin yang ditangkap dengan alasan memotori aksi Qur’an. diperintahkan sesuai dengan agama Is- pemogokan buruh dan petani. Misbach yang Adapun pada tanggal aktif dalam pergerakan Judul Buku : H.M Misbach Kisah Haji Merah 20 Oktober 1923 dia dan organisasi memelopo- Penulis dipenjara dengan tuduhan : Nor Hiqmah ri surat kabar Islam Medan aksi-aksi revolusioner, seMoeslim (1915), kemudian Cetakan : Pertama, September 2008 perti pembakaran bangsal, berganti menjadi Islam Tebal penggulingan kereta api, : 118 halaman Bergerak (1917) yang telah pengeboman. Hal tersePenerbit : Komunitas Bambu menjadi propaganda mebutlah yang membuat penentang kolonialisme merintahan Belanda ingin Belanda. Hal tersebut dimembuangnya. lakukan untuk merespon surat kabar lam. Maka tergabunglah antara ajaran Pada akhirnya Misbach ditangKristen Mardi Rahardjo. Selain itu dia agama Islam dan ideologi komunis ter- kap dan dibuang ke Manokwari, Pajuga sering mengupas ajaran Islam la- sebut di dalam diri Misbach. pua, bersama istrinya. Di tempat pemlu membenturkan dengan ideologi ko- Pada saat itu Misbach dapat buangan dia masih berjuang. Misbach munisme. merasakan penderitaan rakyat Indo- tetap menulis dengan harapan bantuan Dia ingin membebaskan ma- nesia yang ditindas, dijajah, dan dihisap teman-teman untuk menyampaikan tusyarakat dalam menghadapi imperialis oleh kapitalisme serta penguasa atau lisannya kepada rakyat Indonesia. Belanda. Bahkan dia tak segan mengajak elite politiknya. Mereka hanya sibuk Namun, suatu saat istrinya masyarakat yang tertindas untuk ber- memperkaya diri sendiri sebagai mu- terserang penyakit malaria hingga perang melawan kapitalis karena dia suhnya dan menjadikan mereka musuh akhirnya meninggal. Tak lama setelah yakin bahwa Tuhan akan melindunginya. bersama. Misbach tidak ragu mengajak itu, Misbach juga meninggal karena Buku yang tertulis secara per- kaum mukmin untuk melakukan pe- penyakit yang sama. Dia meninggalkan bab ini juga menjelaskan mengenai rang dengan kapitalisme yang membuat dua anak laki-laki, Masdoeki dan KaIslam dan komunisme yang menurut- kesengsaraan bagi umat muslim. Hal ini robet, serta satu anak perempuan, nya apabila keduanya dipadukan akan jelas tertulis pada tanggal 10 Maret 1919 Samatoen. menjawab persoalan rakyat dalam tentang partydiesipline. Ditambah dengan Maka, berakhirlah perjalanan menghadapi imperalisme Belanda. Ka- tulisannya pada 20 November 1922 yang aktivis pergerakan ini. Namun, segala rena, ajaran komunisme merupakan berjudul Assalamoeae’ Alaikoem, Misbach perjuangan dan pengorbanan dia lakunyawa pergerakan untuk mewujudkan menginginkan keselamatan hidup untuk kan untuk memenuhi kewajibannya semasyarakat tanpa kelas, yang maksudnya hidup bersama secara damai dari jajahan bagai makhluk Tuhan. Karena, dia ingin ‘sama rata-sama rasa’. Dia memercayai Hindia Belanda. mencapai kemenangan manusia yang bahwa komunisme adalah sarana yang Kemudian, dia ingin membe- bebas dari kaum tertindas dan hidup
74 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
RESENSI
Ilustrasi Oleh: Lutfani/Keadilan
damai. Sangat disayangkan, pada buku yang ber-cover sebuah pabrik gula tua di Jawa pada awal abad ke-20 ini tidak tercantum semua tulisan dari Haji Misbach, sehingga pembaca harus mencari literatur tambahan tentang Haji Misbach. Kalaupun semua tulisannya sudah terkumpul, pembaca harus kritis juga dalam membaca. Karena menurut Nor Hiqmah sebagai penulis, Haji Misbach merupakan seorang yang pragmatis yang tidak mengetahui konsep Islam dan komunisme secara mendalam. Maka dari itu, pembaca perlu pemahaman tentang pemikiran Marx dan juga keislaman agar pembaca tidak langsung terperangkap oleh pemikiran dari Haji Misbach. Perlu dikaji lagi secara kritis apa yang sebenarnya diinginkan olehnya dengan menggabungkan antara agama Islam dengan ideologi komunis, karena agama tidak bisa disamakan dengan ideologi. Memang benar, komunis dengan Islam memiliki kesamaan pandangan untuk melawan segala bentuk penindasan. Akan tetapi, saat ini di Indonesia keduanya termasuk isu yang sangat sensitif untuk didiskusikan, apalagi
dianalisis secara mendalam—antara Islam dan komunis. Terlebih, saat ini justru banyak pandangan yang mengatakan bahwa komunis itu identik dengan orang-orang kafir yang tidak mengakui keberadaan Tuhan karena paham materialismenya. Sedangkan beberapa umat Islam yang membuat sebuah organisasi massa, ada yang bertindak di luar akidah dengan anggapan bahwa orang yang bukan muslim adalah musuh. Haji Misbach, seperti yang dituliskan oleh Nor Hiqmah, justru menggambarkan sosok seorang muslim dan juga komunis yang peduli dengan permasalahan manusia. Terlebih jika sudah menyangkut penindasan. Karena, secara langsung penindasan dianggap seperti merendahkan umat manusia. Dengan hadirnya buku ini, diharapkan mampu membuka cakrawala berpikir bagi masyarakat Indonesia, terlebih para intelektual muda. Meskipun isu-isu yang terkait dengan komunis masih dianggap berbahaya di Indonesia, namun buku ini mampu menjadi pengantar untuk lebih mendalami apa sebetulnya komunisme itu. Para pemikir seperti Karl
Marx, Friedrich Hegel, Friedrich Engels dari yang klasik hingga yang mo-dern seperti Vladimir Lenin dan Mao Zedong sekali pun perlu untuk diketahui. Setidaknya dengan memahami paham komunis, kita dapat menemukan kebenaran di balik stigma yang sudah terlanjur melekat sejak zaman Orde Baru kepada para komunis di Indonesia. Yang harus dipahami, negara tidak mempunyai hak untuk membatasi ilmu pengetahuan yang ada. Membaca buku tentang komunis pun tidak dapat kita berikan label bahwa dia adalah seorang komunis. Justru sebagai seorang intelektual, buku ini wajib dibaca. Rakyat Indonesia tidak boleh terpenjara oleh ketidaktahuannya. Salah satu tindakan Haji Misbach dapat dicontoh yakni bagaimana caranya melawan penindasan oleh para penguasa tanpa menyerah dan dilandasi oleh ajaran-ajaran agama. Selain menggerakkan kaum yang tertindas, dia juga tidak takut untuk menulis sebagai alat untuk menyindir politik sebagai bentuk ekspresinya pada masa itu. Selain itu, dia juga mengorganisasi rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dengan slogan Misbach “Ja-ngan Takut� sebagai teriakan ajakan agar masyarakat terus maju menuju jalan tauhid yang menjadi pilihannya. Dia bermaksud untuk membebaskan diri dari pengisapan oleh kapitalisme.
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 75
NARKOBA = JALAN BUNTU !
IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LPM KEADILAN
MIMBAR
Lifestyle “Masalahnya ialah bahwa kemiskinanku membuat inderaku semakin tajam” -Knut Hamsun.
Oleh: Jefrei Kurniadi*
H
amsun telah menelan membuat manusia berjaya atas manusia ludah sampai habis. Melainnya. remas kuat lambung Demi kepentingan tertentu, monya yang kosong dan dernisasi ingin menyeragamkan kekempis. Tiga hari perut tanpa isi pribadian menjadi egoistis. Menghapus membuat mata sayu. Ketika itu, sekat antara privat dan publik. Meracudia bersandar pada kursi taman di ni pikir lewat pengaruh-pengaruh seStortorvet menahan sakit. Menyenmu. Nalar manusia ingin dikuasai agar diri merasakan kehidupan sekitar. mudah dibodohi, dikendalikan, dan diMengingat-ingat ada seseorang yang manipulasi. Jika ingin bertahan hidup, sama sulitnya mendapat makanan, sermanusia yang satu harus menguasai mata yang mengambil keuntungan atas nusia yang lain. Jika tidak ingin ditindas, keadaan mendesak orang-orang yang maka menindaslah. Jika ingin pintar, bernasib buruk. maka membodohilah. Jika ingin untung, Setiap merasa kesakitan, dia manipulasilah jalan pilihannya. Ilustrasi Oleh: Faluthi/Keadilan akan benar-benar menginsafi pahitnya Kondisi yang telah ditanamkan penderitaan. Setiap waktu dijalani, setiap tempat dilewati, dalam pikiran yakni hidup yang sentimental. Kata ‘aku’ dan setiap orang ditemui, membuatnya merasakan dua kea- adalah yang utama. Menjadikan status—identik dengan modaan sekaligus. Keadaan yang didapat dari pemaknaan atas dernisme—yang melekat pada pribadi sebagai sesuatu yang penderitaan. Apa yang didapatnya ialah menderita sekaligus sangat penting. Hal-hal yang menyinggung kebersamaan bahagia. Menderita karena kelaparan yang mematikan, se- ditinggalkan karena tiada keuntungannya. Politik, hukum, hingga seluruh indra dan perasaannya menjadi lebih peka, itu dan ekonomi menjadi alat untuk memuaskan ke-aku-an momembuat dia berbahagia. dernisasi. Dia percaya, orang cerdas yang miskin jauh lebih Sampai berkembang slogan I shop therefore I am, aku peka terhadap keadaan sekitarnya, dari pada orang cerdas yang berbelanja maka aku ada. Bila semuanya berpikiran seperkaya. Orang cerdas yang miskin sangat berhati-hati dalam ti itu maka jegal-menjegal, rebut-merebut, ataupun jatuhmelangkah dan mendengar penuh curiga pada tiap kata yang menjatuhkan akan menjadi kebiasaan. Kepentingan publik didengar. Mudah menangkap arti suatu kata, serta ungkapan tereduksi oleh kepentingan individu. Apalah pengaruhnya sesuatu perasaan. Keputusan yang diambilnya merupakan karya potong ayam goreng, kecuali perkataan iklan di media bahwa jika ingin menjadi manusia modern, makanlah ayam goreng dari perseteruan pikiran dan perasaan. seperti ini. Juga terhadap teknologi yang memaksa bahwa *** orang modern harus menggunakan teknologi ini itu, jika tidak Kebodohan ditimbulkan dari pribadi yang keliru me- ingin disebut kuno. Sebenarnya, yang mereka jual bukanlah ayam golakukan apa, kapan, di mana, bagaimana, dan kepada siapa. reng renyah, barang mewah, teknologi tinggi, pakaian trendi, Kebodohan tersebut terus membayangi manusia masa kini. Manusia yang sulit melihat diri sendiri dan orang lain, karena ataupun ilmu yang mumpuni. Namun, mereka menyemtak ada proses mengenal secara serius. Banyak yang tergelincir bunyikan dalam jualannya adalah gaya hidup. Gaya hidup yang oleh mimpi kehidupan adisempurna. Hasutan-hasutan untuk merusak kepribadian hingga tata kehidupan sosial. Sendi-sendi
Keadilan Edisi I/XXXIX/2015 77
MIMBAR
kebersamaan masyarakat akan tercerai-berai ketika semua egoistis. Nafsu egoisnya dimunculkan keluar. Dia takut disebut kuno, purba, dan ketinggalan zaman. Emosinya dipermainkan sedemikian rupa, hingga kebijaksanaannya sebagai manusia terperosok. Dia harus menjadi sama seperti iklan yang ‘banyak omong’ agar memperoleh pengakuan. Penyeragaman tersebut yang membuat orang takut untuk berbeda, takut untuk menemukan dirinya sendiri. Hal ini membuatnya gelisah. Menjadikan pikiran tidak mandiri, tak menemukan rasa kemanusiaan, hingga ketergantungan akan hasutan-hasutan modernisasi. Hanya untuk sendiri dan modernisasi. Indra dan perasaannya dijadikan tumpul. Lalu, bagaimana kabarnya saudara-saudara seperti Hamsun jika kita hanya sibuk meraup gemerlap dunia? Revrisond Baswir pernah berkata, “Jika ingin menguasai sebuah negara, maka kuasai pikirannya”. Ketika pikiran sudah dikuasai dan diagung-agungkan, kebudayaan yang santun, logika yang arif, ataupun norma yang adil akan disalahgunakan untuk kepentingan tamak. ‘Ingat’ zaman modernisasi adalah pertarungan antarindividu. Hukum hewan berlaku. Siapa yang kuat, dia yang berdaulat. Akibatnya, tak ada lagi sebutan harmonis. Betapa pikiran menjadi alat yang sadis untuk merekayasa suatu interaksi. Meraih gelar setinggi-tingginya tidaklah ada apaapanya. Manusia yang dibutuhkan ialah yang mengerti situasi.
Tepat secara pikir dan benar sesuai nurani. Dia mengenal antara kebutuhan utama dan kebutuhan mendesak. Mengerti secara pikiran sekaligus memahami secara perasaan. Itulah kenapa manusia harus menggunakan pikiran dan perasaannya untuk mengambil suatu keputusan, bukan untuk membenarkan suatu keputusan. Kebahagiaan akan ada, jika pernah ada penderitaan. Tidak hanya Knut Hamsun, Vincent van Gogh, Tirto Adhi Soerjo, Mahatma Gandhi, dan banyak yang lain pun telah menginsafi makna penderitaan. Mereka benar-benar mendekati dan menyentuh langsung. Apa yang mereka dapati adalah pembatasan terhadap sifat egois. Mereka menekan sedalam-dalamnya hingga membuat yang lain tenteram. Karena semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain, begitulah kata Pramoedya A. Toer. Dia tidak hanya bertahan hidup, tetapi membuat diri, orang lain, dan alam saling beriringan. Proses pencarian selalu dilakukan Hamsun dengan penuh pemaknaan. Melangkah ke setiap belas kasih dan ketakacuhan manusia. Berusaha menangkap hal detail dari waktu yang dilewati. Karena, manusia yang berkepribadian adalah yang telah menemukan indra dan nuraninya. *Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Keadilan Periode 2013-2014
VONIS
Sudah 50 tahun lebih Papua bergabung dengan NKRI. Tapi kok pemerintah belum bisa mengindonesiakan Papua? Enggak apa-apa kok. Pemerintah sudah ‘mengindonesiakan’ emas Papua. Bahkan ‘meluarnegerikan’. Yogya istimewa ya? Istimewa hotelnya. Kok Yogya penuh sampah, ya? Iya. Sampah visual iklan yang bikin pemandangan Yogya ‘berhenti nyaman’. Pernikahan Raffi dan Gigi disiarkan di televisi? Ashanty ngelahirin? Unduh mantu Raffi juga disiarin? Duh! Perampasan hak frekuensi publik kok dibiarkan. Harga BBM turun lagi! Yeeey! Jangan seneng dulu. Kabarnya subsidi buat premium, solar, dan elpiji mau dicabut, lho.
78 Keadilan Edisi I/XXXIX/2015
Ilustrasi Oleh: Ina/Keadilan
DPR tandingan, gubernur tandingan, munas Golkar tandingan. 2014 memang trennya begitu. Semoga 2015 enggak ada lagi tandingan-tandingan kayak gitu #Resolusi2015. Rezeki, jodoh, dan maut sudah ada yang ngatur. Bukan cuma itu, skor sepak bola juga #SepakBolaGajah. Film Senyap dituduh berpotensi mengganggu stabilitas negara. Tapi FPI demo anarki dibiarkan. Akhir zaman sudah dekat, saudara-saudaraku.