Buletin pendidikan dan pengembangan ekonomi jemaat

Page 1

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Ucapan Syukur Atas Keberhasilan Pendidikan

PARTISIPASI IMAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN

G

ereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Siloam melalui seksi pendidikan dan pengembangan ekonomi jemaat melaksanakan keputusan Rapat Umum Jemaat untuk memobilisasi jemaat berpartisipasi dalam iman melalui pemberian dana pendidikan sebesar Rp. 20.000/tahun sejak tahun 2017 hingga 2021. Seksi pendidikan telah membagi kartu partisipasi kepada jemaat yang telah menjadi anggota baptis pada GKII jemaat Siloam. Sejak bulan Maret 2017-Juni 2017, telah ada 18 anggota baptis yang telah berpartisipasi secara nyata. Jemaat ada yang memberikan dana sesuai dengan nilai partisipasi iman yakni Rp. 20.000/tahun. Bahkan ada yang memberikan lebih dari permintaan yakni Rp. 500.000 dan Rp. 250. 000 untuk lima tahun. Hingga saat ini dana yang sudah terkumpul Rp. 1. 650. 000,-. Dana ini juga akan dipakai bagi pengembangan pendidikan secara khusus membantu pengembangan nara didik Paud Kasih Siloam mengambil Program Strata Satu Pendidikan Anak Usia Dini. Bagi jemaat Tuhan yang telah mengambil bagian dalam pelayanan ini Tuhan memberkati.

Jemaat GKII Siloam Oebobo pada tahun ajaran ini bersyukur kepada Tuhan oleh anugerahNya telah menolong anak-anak dalam pendidikan sehingga menyelesaikan jenjang pendidikan usia dini ke SD, SD-SMP, SMPSMA dan SMA - Pendidikan Tinggi.

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

HEMATETE TON KRISTON “BELAJAR PADA YESUS “ Media Pendidikan dan Pelayanan Gereja Kemah Injil Indonesia Jemaat Siloam Oebobo MEMBANGUN KESATUAN, WUJUDKAN PERUBAHAN

KETERPISAHAN DALAM JEMAAT Keterpisahan Tuhan isinkan terjadi dalam GKII Jemaat Siloam dalam tahun pelayanan 2017 sejak Pebruari –Juni 2017. 5 orang jemaat yang Tuhan berkenan memanggil mendahului yakni: 1. Bapak Drs. Hendrik Karnen pada tanggal 21 Pebruari 2017. 2. Ibu Pdt. Martha Laubila Langke pada tanggal 14 Aprl 2017 3. Nenek Hana Oupada di Alor pada tanggal 7 Mei 2017 4. Bapak Lewi Praden pada tanggal 29 Mei 2017 5. Bapak Salmon Laupra pada tanggal 12 Juni 2017. Tuhan menghiburkan dan menguatkan keluarga dan jemaat ( Mz. 116:15 )

11 Orang Jemaat Menerima Baptisan Selam Pdt. Yuliana Gabriel dan Pdt. Imanuel Tubulau, bergantian melaksanakan pembaptisan bagi 11 orang jemaat pada hari Minggu 4 Juni 2017. Pembaptisan dilaksanakan pada awal ibadah sehingga dapat langsung mengikuti perjamuan kudus .

12

PAUD KASIH SILOAM MELEPASKAN 23 ANAK Paud Kasih Siloam pada hari Jumat tanggal 16 Juni 2017 bertempat di ruang ibadah GKII Siloam Oebobo melepaskan 23 tamatan angkatan ke-IV, melalui ibadah pengucapan syukur bersama. Pdt. Yunus Laukapitang dalam khotbah menekankan mengenai arah pendidikan Kristen bagi anak usia dini yakni: 1. Membentuk pribadi yang bertumbuh secara holistik sesuai pertumbuhan Yesus dalam Lukas 2:54 yakni pertumbuhan secara fisik (kesehatan), pengetahuan (hikmat) ini berhubungan erat dengan kecerdasan intektual, sosial –emosional, makin disukai oleh manusia ini berhungan erat dengan kecerdasan emosional dan sosial. bersambung hal.10

Renungan

B

PROFIL PAUD KASIH SILOAM

Belajar Pada Yesus

elajar pada Yesus, adalah suatu perintah yang diberikan oleh Yesus dalam Injil Matius pasal 11:28-29,”... Belajarlah dari padaKu sebab Aku lemah lembut dan rendah hati”. Belajar pada Yesus menunjukkan bahwa Yesus menjadi tujuan dan inti dari suatu proses pembelajaran. Sebagai seorang Kristen, rasul Paulus menegaskan pada jemaat di Kolose dan Efeus bahwa tujuan pendidikan yang dilaksanakan oleh dirinya adalah mencapai kesempurnaan dalam Kristus (Kolose 1:28-29; Efesus 4:11-16). Belajar pada Yesus secara khusus rasul Paulus tekankan bagi jemaat Efesus tengah penyembahan dewi Artemis.. Bersambung halaman 9

1

P

aud Kasih Siloam hadir sebagai perwujudan dari panggilan gereja dalam bidang pelayanan diakonia gereja yang bersifat transformatif. Panggilan ini dinyatakan dalam pendidikan usia dini yang berhubungan dengan penanaman nilai-nilai spiritual, moral, sosial dan kebangsaan bagi anak sejak dini. Keberadaan Paud Kasih Siloam telah memperoleh pengakuan dari Dinas pendidikan dan kebudayaan kota Kupang sejak tahun 2013 –2016 dan perpanjangan isin penyelenggaran 2016-2019. Bersambung hal. 9


Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang Tema: Bertolong-tolonganlah dalam Menanggung Bebanmu untuk Membangun Bangsa dengan Kasih Kristus. Sub-tema: Dengan Semangat Kebangkitan Nasional, Gereja Meningkatkan Peran Pendidikan Kristen dalam Mewujudkan Generasi Emas Indonesia

pada tahun 2045. Tindakan nyata inilah yang semoga muncul dalam Konas ini, akan merupakan wujud komitmen gereja dalam ikut menentukan arah bangsa kita menggapai masa depan yang lebih baik; dapat dilakukan melalui pendidikan formal, misalnya lewat sekolah, maupun informal antara lain lewat pembinaan di gereja dan dalam keluarga. Pendidikan sebagai bentuk kesaksian Kristiani Sejak awal kehadiran gereja di Indonesia, pendidikan merupakan salah satu bidang pelayanan yang dianggap utama yang bertolak dari nilai-nilai Injil Kerajaan Allah yang menyelamatkan, yang membebaskan manusia dan dunia ini dari genggaman dosa yang berwujud dalam pelbagai bentuk. Gereja meniru jejak Yesus yang melayani dunia ini melalui preaching (memberitakan Firman Allah), teaching (mengajar) dan healing (menyembuhkan). Lembaga-lembaga penginjilan sejak awal pelayanannya di Indonesia membuka sekolah-sekolah sampai ke desa-desa sebagai sarana untuk memberitakan Injil Kristus tentang pembebasan dari kegelapan dan kebodohan. Upaya ini dilanjutkan oleh gereja-gereja hingga saat ini, sebagai upaya untuk ikut mencerdaskan anak bangsa. Adalah tugas kita semua sebagai gereja untuk terus-menerus merefleksikan pola dan bentuk-bentuk partisipasi gereja yang relevan bagi upaya mencerdaskan naradidik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk yang mengalami perubahan yang sangat cepat serta pergeseran nilai yang cukup signifikan. Berdasarkan uraian di atas, cukup mendesak bagi kita untuk merumuskan VISI Pendidikan Kristiani hingga tahun 2045, yang bertolak dari analisis kita mengenai perobahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia di bawah sorotan Firman Tuhan (refleksi teologis alkitabiah). Visi ini akan menjadi guiding star kita bersama dalam mengembangkan dan merencanakan pendidikan yang memberdayakan naradidik

Pengantar erima kasih kepada Panitia Penyelenggara yang mengundang saya untuk berbagi refleksi menyangkut Tema dan Sub-tema Konsultasi Gereja dan Pendidikan Nasional ini. Konsultasi ini, yang dihadiri oleh saudara-saudara para pimpinan gereja, wakil lembaga atau yayasan yang mengelola pendidikan Kristen, para pendidik dan pakar di bidang pendidikan dan pemerhati pendidikan Kristen – sangat penting dan strategis. Konsultasi ini merupakan kesempatan bagi kita untuk merenungkan ulang peran gereja dalam bidang pendidikan di tengah pergumulan nyata yang sedang dihadapi bangsa kita. Di samping itu terbersit harapan, sedikitnya dari saya, semoga Konsultasi ini mengembangkan pemikiran yang bernas dan strategis mengenai sumbangsih gereja melalui pendidikan Kristen dalam mempersiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik, di tengah konteks masyarakat majemuk yang sedang berubah cepat. Pertanyaan penting bagi Konsultasi ini adalah hal-hal apakah yang dapat secara nyata dilakukan secara bersama oleh gereja-gereja di Indonesia melalui pendidikan, khususnya untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia? Mereka yang kini berusia dini, sedang belajar di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar, namun mereka yang akan menjadi penata dan pemimpin negara kesatuan republik Indonesia yang kita cintai ini, ketika bangsa kita merayakan ulang tahunnya yang ke-100

T

2

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Gereja dan Dunia Pendidikan | Jumat, 20 Mei 2016 ~ 10:20 PM | Penulis: PGI ~ Opini Oleh: Pdt. Gomar Gultom, MTh Kebangkitan Nasional itu dimulai dari Gedung STOVIA, dari dunia pendidikan tinggi ketika itu. Ketika perjuangan suku-suku dan daerah melawan penjajahan dinilai tidak efektif dan bahkan stagnan, tampillah barisan mahasiswa dengan terobosannya: nasionalisme yang melampaui sekat-sekat etnis, wilayah dan pendekatan sektarian lainnya. Kebangkitan sebuah bangsa memang tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan. Itu sebabnya kekristenan selalu menempatkan pendidikan dalam skala prioritasnya. Saya meragukan kecurigaan sementara pihak, yang menilai bahwa kekristenan menjadikan pendidikan melulu sebagai entry point bagi sebuah proses kristenisasi. Walau mungkin pada kurun tertentu– atau bahkan mungkin kini oleh kelompok tertentu–pendekatan seperti itu diterapkan, saya tetap menilai bahwa pendidikan menjadi prioritas bagi gereja bukanlah soal terkait dengan survivalnya gereja, apalagi menjadi sekedar entry point. Melalui pendidikanlah seseorang dimanusiakan, dengan menyadari diri dan sekitarnya. Sang Guru sendirilah yang memulai tugas pendidikan itu. Narasi Injil mengungkapkan, Sang Guru keliling dari desa ke desa untuk mengajar banyak orang. Dia adalah guru yang agung, yang pengajarannya memukau ribuan orang. Tak terbersit di situ upaya untuk “merekrut� orang, apalagi untuk pindah agama. Narasi kitab Injil juga berkali-kali menyebutkan, Sang Guru menjalankan pelayanannya dalam tiga hal menonjol: mengajar, menyembuhkan orang sakit dan berkotbah. Saya kira itu juga sebabnya, sejarah pekabaran Injil meneruskan ketiga pelayanan tersebut secara simultan. Sejarah mencatat, dimana pos perkabaran Injil berdiri, pada saat yang sama di sana berdiri sekolah, balai pengobatan dan ruang ibadah. Itulah esensi gereja yang sebenarnya. Dan lewat

11

ketiga dimensi itu juga terlihat peran transformatif gereja yang menyejarah itu. Dan gereja meneruskan tradisi itu, hingga kini. Tugas mengajar diteruskan lewat katekisasi, tugas menyembuhkan diteruskan dengan konseling dan tugas berkotbah diteruskan dengan adanya mimbar. Pertanyaannya adalah, pertama: apakah pelayanan pendidikan itu kini cukup hanya dalam bentuk kehadiran kelas katekisasi, dan menyerahkan selebihnya kepada negara? Dan kedua: ketika gereja masih menjalankan pendidikan dalam bentuk sekolah kristen, apakah itu masih dalam terang pelayanan atau sudah menjadi komoditi dagang? Dalam terang itulah MPK dan PGI menyelenggarakan Konsultasi Nasional Gereja dan Pendidikan, 19-21 Mei 2016 di Surabaya. Konas ini diharapkan akan membicarakan, antara lain: 1. Bagaimana gereja dan sekolah kristen ikut serta dalam menciptakan gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh negara; 2. Bagaimana memperbanyak dan meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini dan guru sekolah minggu. 3. Bagaimana memperlengkapi para pengurus yayasan, kepala sekolah, guru dan orangtua murid sesuai dengan panggilan dan peran masing-masing; 4. Bagaimana mendorong dan menggerakkan anak-anak muda agar sedia menjadi guru, terutama menjadi volunteer, untuk jangka pendek maupun panjang; dan 5. Upaya menggalang dana pendidikan dan memberdayakan sekolah-sekolah kristen yang ada. Konas ini diikuti oleh 280 peserta dari unsur pimpinan gereja dan lembagalembaga pendidikan kristen (TK hingga sekolah menengah). Selamat berkonsultasi! Penulis adalah Sekretaris Umum PGI (dikutip dari web. PGI Pusat).


Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Paud Kasih Siloam.. Sambungan hal. 1 Selanjutkan perkembangan spiritual/ rohani –Makin disukai oleh Allah. Ini berhubungan erat dengan kecerdasan spiritual. 2. Kristus sebagai tujuan akhir Pendidikan Kristen (Kolose 1:28-29). 3. Menekankan dua aspek penting secara rohani bagi pertumbuhan anak yang memberi dampak secara utuh (Amsal 9:10), yakni hidup takut akan Allah dan hidup dalam pengenalan akan Allah yang benar dalam Yesus Kristus. Aspek-aspek inilah dalam pendidikan anak usia dini perlu ditanamkan baik oleh guru, orang tua sehingga anak bertumbuh menjadi pribadi yang mengenal dirinya dengan baik, menerima dan dapat mengembangkan diri secara optimal untuk menjadi berkat bagi banyak orang dan bagi kemuliaan Allah. Ibu Aryanti Lobo, mewakili orang tua anak memberikan apresiasi atas kemajuan yang telah diperoleh anak-anak, mereka sudah dapat belajar mengenal angka dan huruf bahkan ada anak yang sudah dapat membaca., “saya mewakili orang tua sampaikan banyak terimakasih kepada pihak gereja dan guru yang telah mendampingi anak-anak kami. Kalau gereja mempunyai rencana untuk pengembangan sarana pendidikan dapat disampaikan sehinga walaupun kecil kami dapat juga menolong,” pintanya. Ibu Marselina Mangngi sebagai ketua berterimakasih kepada orang tua, atas kerja keras mereka anak-anak ada yang dapat membaca dan menulis. , “saya harap orang tua tetap men-jaga dan menghargai anak-anak, dan mem-beri kesempatan kepada mereka untuk me-ngembangkan diri,” demikian pesan yang disampaikan. Acara ini diakhir dengan pem-berian ijasah dan ramah tamah bersama anak-anak dan orang tua. Hadir dalam acara syukur ini, Ibu Pdt. Yuliana Gabiel, S.Th gembala sidang, Vic. Hemdan Elia, Pdt. Steven Tomatala, Staf PPA IO 628 yang turut membantu acara ini berlangsung dengan baik.

23 Anak Mengakhir Pendidikan Anak Usia Dini 23 anak yang menyelesaikan pendidikan pada Paud Kasih Siloam tahun ajaran 2016/2017 berjumlah 23 orang yang merupakan angkatan keempat. Anak-anak itu yakni: 1. Ricardo Julio Djula 2. Inne Meysha Lobo 3. Rizky Natun 4. Jesica Zhefanya J. Punga 5. Damasusgio Kamerio Rihi 6. Eugenia Atlantya Chelonica 7. Margaret virginia L. Wangge 8. Jhosua Gabriel C. Kadja Koroh 9. Gilberd Bule C. Kadja Koroh 10. Vanesa Shalom Lobo 11. Delfino Leonardo B. Muskanan 12. Rini Natun 13. Michale David Loe 14. Yeri Manuel Koro 15. Ivin Shantia Bunga 16. Gresela Sepriani Thenu 17. Teresia Pradiva Amora Nahak 18. Gabriello P. Humpri Weo Mata 19. Trinito Gidion I. Kamengko 20. Nathania M.M. T. Langmau 21. Alengra Belicia Nenobais 22. Dompak Goklas Simamora 23. Inri Natalia Rihi Dari 23 anak, ada 6 anak yang berprestasi dan 2 anak yang mendapat penilaian sebagai anak teladan dalam kelas. Masing-masing diberi bingkisan oleh sekolah dan diserahkan oleh ibu Pdt. Yuliana Gabriel dan Pdt. Yunus Laukapitang.

10

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

untuk menjadi agen transformasi dalam keluarga, gereja dan masyarakat, serta pembawa damai sejahtera bagi semua anak bangsa dan tanah air Indonesia. Dengan demikian Visi ini berwawasan kebangsaan dan oikoumenis (oikos= rumah; menein=yang didiami), peduli kepada kemaslahatan semua anak bangsa yang mempunyai pelbagai latar belakang sosial, etnis, budaya, agama, dan menopang kelanjutan kehidupan (sustainable life) di planit bumi ini. Bertolong-tolonganlah kamu… Nampaknya rumusan tema Konsultasi ini “Bertolong-tolonganlah dalam Menanggung Bebanmu untuk Membangun Bangsa dengan Kasih Kristus” bertolak dari Galatia 6:2 yang dikaitkan dengan „beban‟ bersama atau tugas bersama untuk membangun bangsa berporos pada kasih Kristus. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” “Bertolong-tolongan” adalah sebuah kualitas hidup kristiani yang bersumber dari kasih Kristus yang peduli terhadap keselamatan manusia dan dunia ini. Injil kerajaan Allah bukan hanya menyangkut urusan surga nanti, tetapi justru kehendak Allah harus terwujud dalam kehidupan kita di sini, di dunia ini, sebagaimana doa yang Tuhan Yesus ajarkan: “Jadilah kehendakmu di bumi seperti di surga.” Sebagai murid Kristus, kita sungguh-sungguh telah merdeka (Gal. 5:1). Jika kita meyakini hal ini, semestinya kita bebas dari pemikiran yang membelenggu diri kita, tradisi maupun praktik hidup yang sebenarnya memenjara diri kita dan menghalangi kita untuk hidup sebagai manusia citra Allah. Dalam konteks surat Galatia, Paulus berhadapan dengan orang-orang yang memandang rendah orang lain dengan menjadikan Hukum Taurat sebagai pembenaran atas sikap tersebut. Mereka yang bersunat (keturunan Yahudi) melecehkan mereka yang tidak bersunat (non-Yahudi) sehingga ada ke-

3

cenderungan kelompok non-Yahudi yang menjadi Kristen untuk menyunatkan dirinya. Paulus menegur orangorang ini katanya: “Kristus telah memerdekakan kamu…. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan. Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih.” (Gal. 5:1, 5-6) Sejalan dengan itu, dalam praktik dan relasi antar sesama dalam komunitas, terjadi pengkotak-kotakan berdasarkan latar belakang suku bangsa (Yahudi – Yunani), status sosial (tuan – hamba), gender (laki-laki – perempuan). Bahkan terjadi penindasan orang Yahudi terhadap Yunani; tuan yang merasa diri orang merdeka terhadap hamba; laki-laki terhadap perempuan. Paradigma berpikir yang dualistik hirarkhis ini – yakni paham yang menekankan bahwa realitas terdiri dari dua bagian, yang satu lebih penting atau tinggi kedudukannya daripada yang lain, ditentang oleh rasul Paulus, dengan menggarisbawahi bahwa: “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal. 5:26-28) Kemerdekaan di dalam Kristus mengatasi semua perbedaan buatan manusia, hal yang membuat terciptanya sebuah komunitas manusia baru. Ciri komunitas itu adalah hidup bertolong-tolongan, saling memperdulikan, saling mendukung, saling mendampingi; termasuk mendampingi dengan lembah lembut mereka yang melakukan pelanggaran, “sambil menjaga dirimu sendiri, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Gal. 6:1) Dengan


Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

kata lain, yang kuat semestinya tidak jatuh ke dalam pencobaan, misalnya menghakimi yang lemah. Apalagi meninggalkannya! Melainkan membuka diri untuk menolong dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Tema Konas ini mengingatkan sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan Kristen di Indonesia untuk saling peduli satu terhadap yang lain. Kita menyadari bahwa belakangan ini perjalanan sekolah-sekolah Kristen tidak semuanya mulus. Bahkan tantangan dan hambatan cukup besar. Kita saksikan cukup banyak sekolah Kristen yang “mati segan, hidup tak bisa”, terutama karena terbatasnya kesediaan tenaga pendidik yang handal dan minimnya dukungan dana. Tema dari Konsultasi ini mengajak semua stakeholder pendidikan Kristen untuk saling bahu membahu demi panggilan membangun bangsa dalam kasih Kristus, atau karena kasih Kristus yang menjadikan kita teman sekerjaNya untuk mendatangkan kebaikan di bumi ini. Yang kuat hendaknya membagi pengalaman, ketrampilan manajemen, bahkan sumber daya dan dana untuk mendukung yang lemah. Sementara yang lemah secara ekonomi dapat juga membagi talentanya kepada semua, termasuk mereka yang kuat secara ekonomis. Perlu dicatat bahwa kurangnya dukungan dana dan SDM yang handal hanya merupakan salah satu faktor saja yang menyebabkan merosotnya pelayanan banyak sekolah Kristen. Jika menganalisis situasi sekolah-sekolah kita, sebenarnya ada beberapa faktor lain yang dibutuhkan untuk kelanjutan pelayanan sekolah-sekolah Kristen di Indonesia. Antara lain adanya Visi yang jelas dan Komitmen gereja serta yayasan pengelola pendidikan untuk mendukung usaha pendidikan tersebut. Dengan Semangat Kebangkitan Nasional, Gereja Meningkatkan Peran Pendidikan Kristen dalam Mewujudkan Generasi Emas Indonesia Sub-tema Konas ini hendak mengajak

kita sebagai penyelenggara dan pemerhati pendidikan Kristen di Indonesia untuk meningkatkan peran pendidikan Kristen dalam membangun dan memperlengkapi Generasi Emas Indonesia sehingga mampu memberi diri dan komitmennya untuk membangun masyarakat majemuk Indonesia yang lebih baik, dimana damai sejahtera sebagai inti nilai Injil, dapat dinikmati oleh semua anak bangsa dan mengalir menyejukkan segenap bagian tanah air tercinta ini. Sekalipun sebagian sekolahsekolah Kristen sepertinya sedang berjalan tertatih-tatih, kita tidak patah semangat. Konas ini kita adakan ketika bangsa kita memperingati hari Kebangkitan Nasional, dengan sebuah harapan bahwa momentum ini dapat memperkuat semangat kebangsaan kita dan dalam kerangka itu, merevitalisasi pendidikan Kristen di Indonesia. Sikap ini adalah bagian dari realisme yang berpengharapan. Walau kita merasa lemah, namun di dalam Dia yang empunya pekerjaan kita merasa kuat dengan mengandalkan bimbingan Roh Kudus, tetap bermimpi untuk ikut menciptakan masa depan bangsa yang lebih nyaman dan dinamis lewat dunia pendidikan, sehingga kemuliaan Allah menjadi nyata di tanah air tercinta ini, sebagaimana harapan pemazmur 85: “Sesungguhnya keselamatan dari padaNya dekat pada orang-orang yang takut akan Dia, sehingga kemuliaan diam di negeri kita. Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman. Kesetiaan akan tumbuh dari bumi, dan keadilan akan menjenguk dari langit. Bahkan Tuhan akan memberikan kebaikan dan negeri kita akan memberikan hasilnya.” (Maz. 85:10-13) Tantangan yang kita hadapi Kita hidup dalam masyarakat majemuk Indonesia yang berubah cepat. Akibat perubahan sosial yang cepat itu, banyak nilai yang menunjang kehidupan bersama mengalami pergeseran. Munculnya berbagai ketegangan

4

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Selamat merenungkan, selamat berkonsultasi, selamat berkarya semoga Roh Allah menguatkan dan membarui kita, sambil kita yakin akan nasehat Firman Tuhan: “…berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (I Kor. 15:58) Penulis adalah Ketua Umum PGI (Dikutip dari web. PGI) ++++++++++++++++++++++++++++++ Sambungan halaman 1.. Yakni dalam Efesus 4:20-32. Ini menunjukkan dua kebenaran berhubungan dengan belajar pada Yesus. I. Proses belajar pada Yesus (ay. 20-24) Proses ini meliputi mendengar tentang Yesus, Menerima pengajaran di dalam Yesus. Isi pengajaran dalam Yesus berhubungan erat dengan menanggalkan manusia lama, mengalami pembaharuan di dalam roh dan pikiran dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. Ini dapat disebut sebagai kurikulum pembelajaran. II. Dampak belajar pada Yesus (ay, 25-32) Ini berhubungan dengan interaksi secara sosial dalam kehidupan bersama yakni, berkata benar seorang kepada yang lain, tidak memberi kesempatan kepada Iblis melalui kemarahan, mengunakan perkataan yang baik dimana perlu untuk saling membangun dan bekerja keras untuk dapat membantu orang lain. Hidup tidak mendukacitakan Roh Kudus, tetapi ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni. Kehidupan ini adalah ciri kehidupan baru di dalam Kristus (II Kor. 5:17). Hidup belajar pada Yesus adalah suatu proses pembelajaran seumur hidup. Orang yang belajar pada Yesus adalah tanda kehidupan yang ada di dalam Yesus. Belajar pada Yesus akan membawanya setiap hari untuk hidup seperti Yesus telah hidup (I Yohanis 2:6).

Propil .. Sambugan hal 1. Perpanjangan ijin operasioanl yakni nomor: Dis PPO . 073.3/PLS/3171/ 2016. Puad Kasih Siloam mulai sejak tahun 2013, telah menamamatkan 4 angkatan, yakni:

No

Angkatan

Jumlah anak

1.

2014

17

2.

2015

14

3.

2016

13

4.

2017

23

Jumlah

67 Anak

PAUD Kasih Siloam dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar melibatkan 3 orang guru yang juga merangkap untuk pelaksanaan administrasi sekolah yakni: 1. Marselina Mangngi, S.Pd.K (Kepala Sekolah). 2. Novi Ariance Makankama (Sekretaris) 3. Sarlota Naema Aramakh (Bendahara). Penerimaan murid untuk tahun ajaran 2017/2018, menurut ibu Kepala sekolah ditargetkan paling banyak 30 anak untuk tiga kelas. “Saat ini sudah mendaftar 12 anak ditambah 8 anak yang ada maka sudah ada 20 anak untuk tahun ajaran ini. Masih butuh 10 orang lagi”, jelasnya. Ia menambahkan 30 orang anak sudah cukup berat karena keterbatasan ruang belajar yang ada. Pihak gereja merencanakan untuk pembangunan gedung serbaguna yang dapat difungsikan juga untuk kegiatan PAUD, Pelayanan Pusat Pengembangan Anak dan kegiatan gereja lainnya.

Gembala Sidang GKII Siloam Oeboob Pdt. Yuliana Gabriel bersama staf pengajar Paud Kasih Siloam

9


Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

yang menolong naradidik untuk bertumbuh mengembangkan diri secara holistik (intelektual, spiritualitas maupun moral), dengan memanfaatkan kekayaan budaya lokal serta menghargai perbedaan. Pada gilirannya naradidik seperti ini akan memberikan sumbangan bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Kita perlu sadar akan beratnya tantangan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan dewasa ini. Pendidikan tidak lagi melulu dianggap sebagai sarana memfasilitasi naradidik untuk mengembangkan diri dan pemikirannya, tetapi semakin dianggap sebagai sebuah komoditas atau investasi yang harus dibayar tinggi. Penekanan yang sering kita dengar bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan pasar, adalah dampak dari globalisasi yang menekankan ekonomi pasar. Di tengah situasi ini, mampukah pendidikan Kristen menawarkan alternatif pendidikan yang membebaskan semua anak bangsa, tetapi terutama mereka yang tersingkirkan karena tidak lemah secara ekonomi. Di tengah godaan komersialisasi pendidikan, kita sebagai pendidik Kristen dan pengelola lembaga pendidikan Kristen diingatkan oleh nasihat rasul Paulus dalam Roma 12:2: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Hal ini sejalan dengan gagasan Presiden Jokowi mengenai “revolusi mental.” Hanya jika kita mampu membarui diri di bawah sorotan Firman Tuhan sambil meminta tuntunan Roh Kebenaran, kita dapat menjadi agen pendidikan transformatif yang dapat dipercaya. Pendidikan adalah upaya bersengaja untuk mendampingi dan menopang naradidik menjadi manusia yang mandiri berpikir sehingga mengalami pertumbuhan intelektual, moral dan

spiritual yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi masyarakat di mana ia hadir dan berkarya. Termasuk menjadi agen transformasi bagi kemajuan bangsa dan tanah air kita. Kita perlu mencari alternatif-alternatif baru untuk tetap menyelenggarakan pendidikan Kristiani yang tidak harus selalu terbatas pada pendidikan formal yang dibatasi oleh temboktembok kelas. Saya terinspirasi oleh sebuah tulisan dalam Kompas 17 Mei 2016, yang berjudul “Berbagi rasa Merdeka” dan ingin saya bagikan pada kesempatan Konas ini. “Ada juga penggerak yang terus berjalan kaki memanggul noken mencari dan membujuk anak-anak membaca, sekalipun anak-anak yang belum mengenalnya kerap menghindar sebelum akhirnya teryakinkan. Untuk mencapai anak-anak di pulau yang kekurangan buku, ada penggerak yang tak keberatan melaut dan meninggalkan keluarganya berhari-hari. Semuanya bergerak dengan sejenis dendam agar jangan sampai masa kanak-kanak mereka yang paceklik buku terus beulang sampai ke generasi berikut: cukup para penggerak itu sajalah yang tak beruntung karena bacaan yang tak memadai. Meski tak selalu terungkap jelas, dendam itu menyertai langkah para penggerak yang beraneka ragam ini, dari kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah hingga pantai Pambusuang di Sulawesi Barat, dari Danau Toba di Sumatera Utara hingga Teluk Cenderawasih di Papua. Tanpa gembar-gembor mereka terus mendatangi pembaca, menyodorkan dan mengenalkan sejumpat nikmat membaca, setitik rasa merdeka. Pustaka Bergerak memang belum bisa membawa listrik ke tempattempat yang jauh, hanya negara dan perusahaan besar yang sanggup melakukan itu. Namun, dengan pustaka yang bergerak, rakyat kecil pun bisa menunjukkan bahwa mereka juga sanggup berbagi rasa merdeka kepada sesama.” (Kompas 17 Mei 2016, hal. 6)

8

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

bahkan konflik sosial memperlihatkan bahwa masyarakat kita yang majemuk (suku, budaya, agama, dsb), yang tadinya hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kini semakin memperlihatkan pola hidup yang semakin mementingkan diri dan kelompok nya. Motto bangsa kita, “bhineka tunggal ika” nampaknya semakin diabaikan oleh banyak orang. Hal ini dapat menggoyahkan sendi-sendi keutuhan bangsa kita. Persaingan yang tidak sehat, yaitu situasi di mana warga masyarakat tidak segan lagi menyingkirkan atau menyikut orang lain terutama mereka yang lemah atau yang dianggap sebagai saingan, semakin meningkat di era globalisasi ini yang menekankan ekonomi pasar. Manusia Indonesia berlomba dan bersaing mengejar keuntungan dengan menghalalkan berbagai cara yang secara moral tidak bertanggungjawab. Nilai individualisme dan materialisme semakin subur dalam masyarakat. Penyalahgunaan wewenang dan kuasa serta berbagai bentuk korupsi semakin marak, merasuki seluruh sendi kehidupan masyara kat. Kepentingan bangsa dan kesejahteraan sosial bagi semua, sebagaimana yang ditekankan dalam Pancasila dan UUD 45, semakin diabaikan. Sidang Raya ke-16 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengindentifikasi 4 (empat) masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa kita, yaitu: Kemiskinan, Ketidakadilan, Radikalisme dan Kerusakan Lingkungan. Lanjut digarisbawahi bahwa keempat masalah ini mempunyai akar yang sama yaitu terletak dalam Kerakusan manusia, yakni nafsu ingin memperoleh materi, kedudukan dan kuasa tanpa batas. Dalam kaitan ini kita teringat pada ungkapan Mahatma Gandhi: “The world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed.” (Dunia yang Tuhan ciptakan ini memiliki kekayaan yang cukup untuk kebutuhan semua orang, tapi

5

tidak cukup untuk keserakahan manusia.) Walaupun kita melihat mol-mol semakin tumbuh di mana-mana bagai cendawan di musim hujan, namun tidak semua warga masyarakat mempunyai daya beli yang cukup untuk menikmati dagangan di sana. Pada pihak lain, hadirnya mol-mol itu ikut memupuk gaya hidup konsumtif terutama di kalangan generasi muda. Dengan kata lain, kita masih berhadapan dengan masalah kemiskinan dan ketidakadilan, jurang kaya dan miskin semakin melebar. Ketidakadilan sosial ini tidak jarang menjadi pesemaian benih-benih kecemburuan sosial yang bermuara dalam radikalisme. Dorongan mengejar keuntungan yang besar, membuat manusia mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas, yang berakibat pada kerusakan ekologis yang sudah sulit untuk diperbaiki, yang tentu mempunyai dampak bagi kehidupan yang layak (sustainable life) bagi generasi yang akan datang. Perkembangan tehnologi komunikasi yang luar biasa telah memungkinkan hadirnya informasi dan komunikasi jarak jauh dalam rumah kita lewat satelit lewat televisi atau melalui telepon genggam yang ada di tangan kita. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi lain dapat kita ikuti pada saat yang bersamaan. Namun berbagai kemajuan tehnologi komunikasi ini acap “mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat,” yaitu ketika masing-masing kita asyik dengan gadget kita, terhubung lewat facebook atau wa dengan orang lain, menembusi jarak jauh, namun melupakan orang-orang dekat (istri, suami, anak, tetangga) yang ada di sekitar kita. Bisa saja kita duduk bersama sebagai keluarga di depan tv, “nonton bareng, namun hati kita tidak bareng” karena dikuasai oleh jaringan komunikasi yang lebih luas. Akibatnya, tidak sedikit keluarga yang mengalami relasi yang hambar dan dingin dalam rumahnya, karena didesak oleh kepentingan pribadi anggotanya.


Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

Kebersamaan (holy family time), kehangatan dan kepentingan bersama sebagai keluarga makin terpinggirkan oleh sikap egoisme masing-masing anggota. Menghadapi masalah -masalah ini pertanyaan yang muncul adalah dimanakah peran pendidikan formal di sekolah pada berbagai jenjang, dan pendidikan non-formal yang diselenggarakan di rumah atau di gereja? Headline koran Kompas 18 Mei 2016 mengangkat hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan topik: “Anggaran Pendidikan Jadi Sasaran Korupsi: Pengawasan Keuangan Lemah”. Dijelaskan bahwa: “Anggaran pendidikan menjadi sasaran empuk untuk dikorupsi. Selama 10 tahun terakhir, korupsi di sektor pendidikan menyebabkan kerugian negara senilai Rp. 1,3 triliun. Para pelaku mulai dari kepala dinas pendidikan, staf dinas pendidikan, hingga kepala sekolah.” Selanjutnya dikatakan bahwa dana yang paling rentan di korupsi pada sektor pendidikan, adalah dana alokasi khusus (DAK). Korupsi juga terjadi pada dana BOS, dana infrastruktur sekolah, sarana dan prasarana, serta buku pelajaran.” Keadaan ini memperlihatkan bahwa krisis moral juga telah merasuki dunia pendidikan. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang dan kepercayaan telah meracuni kehidupan para pendidik. Kalau demikian, contoh apa yang dapat dipelajari oleh naradidik dari penyelenggara pendidikan? Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah apa peran pendidikan Kristen berhadapan dengan nilai-nilai individualisme, egoisme dan suburnya korupsi yang melanda masyarakat kita? Apakah kita sebagai pendidik Kristen dan lembaga pendidikan Kristen yang kita kelola masih tidak terpengaruh dengan nilai-nilai individualisme, penyalahgunaan wewenang dan kuasa, serta praktik korupsi, ataukah sudah terkontaminasi juga dengan virus yang dahsyat ini? Apakah lembaga pendidikan Kristen termasuk pendidik Kristen dan semua pemerhati pendidikan masih mampu memainkan peranan

yang positif, kreatif tapi juga kritis dan transformatif dalam ikut serta memajukan pendidikan nasional yang berwawasan kebangsaan sesuai dengan nilainilai Pancasila dan UUD 45? Pertanyaan ini mendesak untuk kita jawab bersama agar arah kita ke depan menjadi jelas, termasuk hal-hal yang ingin kita capai lewat jerih dan juang kita untuk tetap menyelenggarakan sekolahsekolah Kristen sekalipun kita berhadapan dengan berbagai keterbatasan (dana, SDM, dsb)? Arah ke depan: Pendidikan yang membebaskan Prof. H.A.R. Tilaar dalam bukunya: “Sowing the Seed of Freedom: Ki Hajar Dewantara As a Pioneer of Critical Pedagogy” (2014) menekankan bahwa sebagai bangsa Indonesia kita menjadi korban dari dua bentuk kemiskinan. Yang pertama adalah kemiskinan ekonomi karena kekayaan alam Nusantara yang telah dieksploitasi oleh kekuasaan penjajah asing di masa lampau. Sebagaimana yang tadi saya jelaskan, kemiskinan ini masih terus berlangsung bahkan ketidakadilan makin merebak oleh dominasi dan manipulasi para pemegang kuasa dan uang, yang diperkokoh oleh berkembangnya neoliberalisme yang menekankan pentingnya persaingan demi keuntungan materi. Yang kedua, menurut Prof Tilaar, kemiskinan intelektual sebagai akibat pembatasan kebebasan berpikir dan bertumbuh bagi perkembangan intelektual manusia. Prof. Tilaar mengulas dengan sangat mendalam peranan Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidik Indonesia di awal abad ke-20, dalam mempromosikan pendidikan nasional yang memberi ruang bagi pertumbuhan kebebasan berpikir bagi naradidik. Konsep pendidikan yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa (didirikan tahun 1922) lahir dari kesadaran akan pembodohan yang telah terjadi dalam masyarakat pada saat itu, yang didalangi oleh kepentingan kaum

6

Hematete ton Kriston Edisi I/Juni 2017

Alamat Redaksi : Jln. Palapa No. 9 Oebobo

penjajah. Bapak pendidik ini menggarisbawahi pentingnya membangun kesadaran naradidik dan kesadaran masyarakat agar dapat bebas dari pelbagai kekuatan luar yang menghalangi kebebasan berpikir seseorang. Paradigma pendidikan ini menempatkan naradidik sebagai subyek dari proses pembelajarannya, mampu mengembangkan kebebasan berpikirnya, kritis terhadap realitas di sekitarnya, sehingga mampu menolak hal-hal yang tidak benar dan memilih hal-hal yang membangun dirinya dan masyarakatnya. Naradidik bukan gelas kosong yang siap diisi oleh pendidik dengan apa saja (termasuk ideologi dan pola pikir yang merugikan bangsa), sebuah pendekatan pendidikan yang menjadikan naradidik semata menjadi obyek. Berbeda dengan pola pendidikan pada jamannya, Ki Hajar Dewantara menekankan penghargaan (respect) terhadap naradidik terutama sensitivitas atas kebutuhan naradidik untuk bertumbuh dalam kebebasan sebagai bagian dari hukum alam. Paradigma berpikir serupa dikembangkan oleh Paolo Freire dari Amerika Latin sekitar tahun 70-an melalui judul bukunya: “Pedagogy of the Oppressed” (1970). Prof. Tilaar menggarisbawahi: The principle concept stated by Ki Hajar Dewantara in the praxis of education implies the close relations between education and politics, between education and the society, between education and culture of the people. This extraordinary concept provided a new dimension to education unknown to the world at the time.” (Tilaar 2014, xii) Tilaar menggarisbawahi bahwa pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat dan budayanya, tapi juga dengan politik. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam konteks Indonesia, pendidikan nasional semestinya terarah kepada membangun masyarakat Indonesia yang majemuk, yang memegang nilai-nilai Pancasila dan UUD 45 serta menghargai motto

7

negara “bhineka tunggal ika.” Pendidikan nasional semestinya akrab dengan kearifan budaya lokal, warisan nenek moyang kita yang mempunyai nilai-nilai yang menunjang kehidupan bersama, seperti kebiasaan berbagi dan saling menghargai, hal-hal yang dapat menangkal sikap individualisme dan egoisme yang makin subur di tengah arus globalisasi yang ditandai dengan neoliberalisme. Namun tidak jarang terjadi bahwa pendidikan dan kebijakan menyangkut pendidikan diwarnai oleh kepentingan politik tertentu yang bisa saja menjauhkan bangsa ini dari tujuannya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang dinikmati oleh semua. Perubahan kurikulum yang sudah terjadi sebelas kali selama Indonesia merdeka dapat saja memperlihatkan pergeseran-pergeseran konsep pendidikan maupun praktik pendidikan yang menjauh dari jiwa pendidikan nasional yang digagas oleh tokoh pendidik nasional kita seperti Ki Hajar Dewantara. Pertanyaan bagi kita sebagai peneyelenggara dan pemerhati pendidikan Kristen di Indonesia, khususnya di tengah pengaruh neo-liberalisme dalam masyarakat kita adalah bagaimanakah kita mengembangkan pendidikan Kristen yang berporos pada kasih Kristus yang memerdekakan, sehingga mereka yang mengecap pendidikan lewat sekolah-sekolah Kristen dapat memancarkan kasih itu dalam cara berpikir dan bertindaknya. Walaupun sekolah Kristen mempunyai kekhasan yakni digerakkan oleh nilai-nilai kristiani, tetapi justru nilai inilah yang dapat menolong kita untuk tidak terjatuh ke dalam eksklusifisme, yakni menganggap agama atau budaya atau suku kitalah yang paling benar. Kita percaya sebagaimana bahwa: “Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikanNya.” (Maz. 145:9) Sekolah Kristen di Indonesia semestinya berorientasi kepada pendidikan yang berwawasan kebangsaan


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.