3 minute read

Peretasan Bank untuk Palestina dan Korban Berita Bohong

Peretasan Bank untuk Palestina dan Korban Berita Bohong

Peretasan Bank untuk Palestina dan Korban Berita Bohong

Advertisement

Rezky Dina Indasari

Mendapatkan informasi bukan lagi menjadi hal yang sulit di era modern karena hampir segala hal mengalami digitalisasi termasuk sistem informasi. Bisa dilihat dari mulai berkurangnya orang yang membaca berita melalui surat kabar atau media cetak lainnya dan lebih memilih membaca berita online melalui alat elektronik yang dimilikinya. Berdasarkan survei GlobalWebIndex yang diselenggarakan sejak tahun 2014-2018 terhadap 391.130 responden di seluruh dunia, media cetak seperti koran dan majalah, rata-rata hanya dibaca 43 menit per hari sedangkan media online dikonsumsi 6 jam 45 menit per hari.

Perkembangan yang pesat menyebabkan membludaknya informasi, baik melalui media online ataupun media sosial sehingga masyarakat sangat perlu dibekali dengan kemampuan literasi digital. Dalam Seri Buku Literasi Digital: Kerangka Literasi Digital Indonesia, literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengkomunikasikan konten atau informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal.

Saya berksempatan melakukan sebuah riset pada salah satu kedai di Jalan Sahabat Raya bernama Batagor Siomay Bandung yang dimiliki oleh Hamid Al Mashuri (25) dan berdomisili di Jalan Pajaiang. Riset yang saya lakukan bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemahaman dan kemampuan masyarakat mengenai literasi digital, khususnya masyarakat yang berada di sekitaran kampus. Saat itu, kedainya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang yang singgah membeli. Saya sempat menjeda beberapa bentuk pertanyaan saat melakukan proses wawancara karena pembeli yang mulai berdatangan.

Saya memulai riset dengan bertanya mengenai sumber bacaan. Apakah Hamid, sapaan akrabnya biasa membaca di media sosial atau di media online? Hamid kemudian menjawab bahwa ia sering membaca berita melalui media sosial, seperti Facebook dan sesekali membaca di media online. Hamid juga berkata bahwa ia biasanya menyimpulkan berita hanya dengan membaca judul berita dan hanya membaca berita tertentu secara menyeluruh. Selanjutnya, saya menanyakan mengenai isu “Terkutuk Israel Hamza Dalj di Hukum Mati Gara-gara Meretas Bank Israel untuk Membantu Palestina”. Hamid

mengetahuinya, ia pernah melihat berita tersebut di Facebook dan langsung percaya bahwa berita merupakan sebuah fakta. Menurutnya, jika menyangkut Palestina dan Israel tidak mungkin tidak benar.

Berita “Terkutuk Israel Hamza Dalj di Hukum Mati Gara-gara Meretas Bank Israel untuk Membantu Palestina” muncul pertama kali pada 17 Juli 2019, ketika sebuah akun Facebook dengan nama pengguna Budak_Tanjong mengunggah sebuah meme yang menyebut bahwa hacker asal Aljazair, Hamza Dalj dihukum mati setelah membobol 217 bank di Israel untuk membantu warga Palestina. Setelah melakukan pengecekan ulang dan membaca berbagai sumber, ternyata berita itu tidak benar. Menggunakan reverse image total tool milik Yandex ditemukan fakta bahwa pria yang ada di gambar berita tersebut bukanlah Hamza Dalj, melainkan Majid Kavoosifar, seorang terpidana kasus pembunuhan yang berasal dari Teheran, Iran.

Informasi yang diperoleh dari Daily Mail tersebut menyertakan delapan foto dan lima di antaranya memperlihatkan proses hukuman gantung yang dijatuhkan pada Majid. Wajah, baju, tali gantungan, dan posisi tangan Majid sebelum dieksekusi terlihat sama persis dengan foto yang beredar. Hamid terkejut ketika mengetahui bahwa berita tersebut merupakan hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoaks bukan sekadar mis-leading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolaholah sebagai serangkaian fakta. Saya juga sempat menanyakan bagaimana cara Hamid membedakan keaslian atau kredibilitas dari sebuah berita. Hamid menjawab ia banyak mendengar rekaman video ceramah ulama di Facebook dan membandingkannya dengan berita yang ia baca. Selain itu, ia juga jarang melakukan pengecekan ulang atau mencari sumber-sumber lain mengenai berita yang terkait dan hanya terpaku pada satu sumber saja.

Di akhir wawancara, saya melanjutkan pembicaraan dengan topik literasi digital. Hamid belum pernah mendengar kata literasi digital sebelumnya dan setelah saya memberi tahu, ia tertawa kecil dan menyadari kalau ia sering melakukannya hanya saja ia belum paham. Menurut pandangannya, berita di media online memiliki keunggulan secara praktis dibandingkan koran yang harus dibawa kemana-mana. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kemampuan literasi digital ternyata sangat diperlukan karena memudahkannya mengetahui berita terkini di tengah-tengah banyaknya hoaks yang beredar seperti saat ini.

Setelah melakukan riset, dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang paham dan sadar akan pentingnya kemampuan literasi digital. Maka dari itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya dalam memberikan edukasi terhadap masyarakat mengenai literasi digital, terkhusus generasi milenial, dengan harapan dapat memberi wawasan untuk lebih bijak serta cerdas dalam mengakses, membuat, mengelola, dan memanfaatkan informasi yang ada di media online maupun media sosial. Dengan begitu masyarakat bisa terjaga dari hoaks dan kejahatan siber, serta perilaku berinternet yang sehat dan aman dapat membudaya di Indonesia.

This article is from: