4 minute read

Meroketnya Berobat Keluar Negeri: Pelarian

demi Perawatan?

Belum mumpuninya kualitas pelayanan Indonesia di mata masyarakat memicu eksodus pengobatan masyarakat ke luar negeri

Advertisement

“Hampir 2 juta orang Indonesia masih memilih berobat ke luar negeri setiap tahun. Gara-gara ini, kita kehilangan devisa 165 triliun rupiah karena modal keluar,” demikian ujar Presiden Republik

Indonesia Joko Widodo pada Maret lalu ketika meresmikan Rumah Sakit Mayapada Bandung yang berstandar internasional. Fenomena masyarakat Indonesia yang memilih berobat keluar negeri menjadi sorotan dunia kesehatan dan menimbulkan berbagai pertanyaan terhadap pelayan kesehatan Indonesia.

Kondisi Saat Ini

Preferensi ini bukanlah berita baru. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, Ketua Ikatan Ahli Ekonomi

Kesehatan Indonesia, mengatakan bahwa hal ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Masyarakat yang umumnya melakukan hal ini adalah pasien yang tinggal di Riau dan Sumatera di mana rumah sakit mereka tidak memiliki alat kesehatan yang memadai untuk menyembuhkan mereka, sedangkan rumah sakit besar di Jakarta terlalu jauh untuk dicapai. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari perawatan di Singapura atau Malaysia yang lebih dekat. Tak hanya masyarakat biasa yang dalam jarak lebih dekat dengan negeri tetangga, pejabat publik pun tak jarang menunjukkan preferensi untuk berobat di luar negeri. Publikasi ini seolah menguatkan persepsi bahwa kualitas pengobatan di luar negeri lebih baik. Kemudian, apakah hal ini hanyalah sebuah masalah persepsi atau memang ada kekurangan fundamental dalam sistem pelayanan kesehatan dalam negeri?

Kekhawatiran Dokter: Berdasarkah?

Pandemi Covid-19 sejatinya menyingkap kondisi dualisme sistem kesehatan kita bahwa kualitas rumah sakit kita belum merata, terutama di daerah luar Jabodetabek, tetapi sekaligus adaptif dan mampu bangkit dari keterpurukan. Kenyataan ini bila disandingkan dengan fenomena masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri, tentunya menyesakkan sekaligus memvalidasi kekhawatiran masyarakat yang menginginkan hasil terbaik. Akibatnya, tak jarang dokter merasa tak selevel dengan kualitas pelayanan koleganya di negeri seberang.

Kendati demikian, kenyataan akan kekhawatiran dan persepsi masyarakat itu ada dan berdasar. Rumah sakit, dokter, dan keraguan masyarakat menjadi setidaknya trias faktor yang mendasari kekhawatiran tersebut. Seakan tak ada harga pasti, alihalih menekan harga, banyak rumah sakit dan dokter yang mematok harga tak terstandardisasi bahkan di pelayanan primer sekalipun. Hal ini merupakan imbas kurang sertanya peran pemerintah dalam menentukan harga jasa dan pengobatan. “Pemerintah harus lebih realistis membuka layanan obat-obat(an) dalam jumlah sedikit harus dilonggarkan cara izinnya, kualitas tidak boleh dilonggarkan, tetapi administrasi bisa dilonggarkan,” demikian tutur Hasbullah, yang menggarisbawahi bahwa setingkat obat kanker masih dikenai pajak barang mewah hingga 100%. Alhasil, masyarakat memilih kepastian akan perawatan demi keselamatan.

Ketidakmerataan sebaran dokter di Indonesia juga turut berdampak pada kualitas yang tak maksimal. Tak ayal, seorang dokter, entah untuk memenuhi kebutuhan finansialnya atau kesehatan daerahnya, harus berpraktik di lebih dari satu rumah sakit. Lantas, susah rasanya untuk mencurahkan kualitas maksimal pada tiap pasien, lebih-lebih menjawab pertanyaan tambahan bahkan konseling. Kembali, masyarakat dihadapkan pada peruntungan mendapatkan dokter dengan pemaparan holistik atau sekadarnya–demi pasien lainnya–, sebuah opsi yang seharusnya tidak ada.

Dokter di Indonesia: Mau Dibawa ke Mana?

Mengingat semakin mendekatnya Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA), sebuah sistem perdagangan bebas yang dilakukan oleh seluruh negara ASEAN, dampaknya pada sektor kesehatan menjadi hal yang tak terelakkan. Dokter di Indonesia dalam melihat fenomena ini seakan dihantui oleh free movement of labour–kebebasan bagi siapa pun untuk bekerja di mana pun. Apabila dokter luar negeri berbondong-bondong masuk,tinggal menunggu waktu hingga Indonesia menjadi pasar yang padat akan persaingan dokter. Akan tetapi, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PDKEMD, PhD, Wakil Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, menegaskan, “Saya harus sampaikan kualitas dokter di Indonesia tidak kalah dengan dokterdokter di luar negeri.” Baginya, hal ini tidak untuk diinterpretasikan sebagai menang-kalah, tetapi sebagai koridor perkembangan kesehatan Indonesia.

Akan dibangunnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang mengusung health-tourism di Sanur, Bali menjadi salah satu cara pemerintah untuk menyiapkan dan memfasilitasi kebutuhan kelompok masyarakat Indonesia yang masih berobat ke luar negeri. Dengan berafiliasi bersama dokter mancanegara atau bahkan menggandeng raksasa kesehatan Amerika Serikat, Mayo Clinic, dokter di Indonesia dapat belajar sekaligus mempelajari model kesehatan terbarukan sehingga mampu berkompetisi dan meyakinkan persepsi masyarakat.

Di balik polemik besarnya kerugian negara, Hasbullah menarik tanggapan yang berbeda. Menurutnya, perbandingan angka belanja medis yang tinggi oleh masyarakat Indonesia harus disandingi pula dengan peningkatan produktivitas pascapengobatan yang signifikan. Artinya, masih terdapat laba yang diperoleh dalam kondisi ini. Namun demikian, sebagian masyarakat beserta pemangku kepentingan masih enggan untuk mempersepsikan kondisi ini sebagai sebuah investasi. Bukannya berinvestasi pada persiapan dokter, sumber daya kesehatan, dan kualitas pelayanan yang semakin baik supaya masyarakat bisa lebih sehat dan produktif, sebagian rakyat masih harus dibebani pajak pungutan yang besar.

Menatap ke Depan

Hak masyarakat dalam mencari kesembuhan dan menjaga kesehatan dirinya patutlah dihargai, meski harus memilih pengobatan di luar negeri. Mungkin memang terdapat faktor psikologis dari masyarakat untuk mencari “kepastian” dalam kesembuhannya, tetapi kondisi ini dapat berhulu pula dari kemampuan komunikasi tenaga medis kita yang masih belum terasah secara optimal. Dante menjelaskan bahwa salah satu hal yang masih menjadi “PR” bagi tenaga medis di Indonesia ialah persoalan komunikasi dan hospitality–keramahan. Seorang pasien, di tengah hiruk-pikuk memperoleh kesehatan terbaik, tentu membutuhkan “jaminan” yang jelas akan kondisi yang menimpanya atau sanak keluarganya. Perbedaan inilah yang dapat dokter dan tenaga kesehatan lainnya perbaiki.

Di samping itu, tren maraknya publikasi kesehatan secara global seharusnya turut ditunggangi dengan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia sebanding atau bahkan lebih baik dalam beberapa bidang. “Komunikasi pada bukti keberhasilan sebuah pengobatan atau tindakan harus diangkat,” terutama dalam menegasi hoaks yang tersebar dalam bidang kesehatan. Perubahan inilah yang bisa dimulai oleh setiap tenaga kesehatan Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan kepercayaan masyarakat.

Akhir kata, kehendak untuk memilih pengobatan di dalam ataupun luar negeri pada hakikatnya adalah keputusan pasien yang patut dihargai demi memperoleh kesehatan paripurnanya. Persepsi negatif yang hadir di masyarakat muncul akibat belum terstandardisasinya pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit beserta kualitas pelayanan dan penyampaian dokter yang belum merata dan memfasilitasi kebutuhan pasien. Persoalan ini tidak dapat semata-mata diserahkan dan diatasi oleh pemerintah saja sebagai pemangku kepentingan, apalagi menunjuk dan menyalahkan biangnya. Akan tetapi, dibutuhkan peran serta dari seluruh elemen yang terlibat, baik pihak rumah sakit, dokter, maupun masyarakat itu sendiri. Harapannya, dalam proses penyelesaian polemik ini, kita tidak hanya berfokus dalam meningkatkan kepercayaan akan sistem kesehatan di Indonesia, tetapi juga bersama-sama mengerahkan usaha untuk meningkatkan pelayanan dan kualitas untuk kita bersama. arnold, aisyah

This article is from: