Suburkan Taman Jiwa
/
Beranda Sastra Edukasi (BSE): Perempuan dalam Dunia Sastra © LPM Edukasi UIN Walisongo
Edisi xxi, tahun 2018 68 hlm., 14 x 20 cm
Pemimpin Redaksi: Nila Rustiyani
Redaktur Pelaksana: Aziz Afifi, Agung Prayoga, Ardyon Steville, Asmahan Aji R., Wirda Ulhayati
Kontributor: Nurul Isnaeni Putri, Widyanuari Eko Putra, Umar Qadafi
Penata isi: Ahmad Aam
Penyelaras akhir: Umar Qadafi
Dikeluarkan oleh: Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi
Univeritas Islam Negeri Walisongo
Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan, Kota Semarang Jawa Tengah 50185
Daftar IsI
5 — Sekapur Sirih
EsaI
— Kisah Para Wanita dalam Sastra yang Sendu
— Menjumpai Karakter Perempuan pada Sastra
— Membaca Sahia, Menengok Kembali Realisme Sosialis
CErpEn
— Sari dan Kisah Telanjangnya
— Sang Pelajar
— Di Halte Bus
rEsEnsI
— Lelaki Harimau dan Kisah Cinta Tak Setia
— Wajah Erotisme Novel Korea
puIsI
— Di Ujung Bulan Hujan
— Mati
— Lampu Teplok
— Kepada Narti
SEKAPUR SIRIH KAU TAHU, bahwa apa-apa yang kau bawa ketika lahir memberikan kemungkinan terhadap hal-hal yang dalam ke hidupan sehari-hari tak mungkin terjadi. Kau menjadi bagian dari dirimu jauh sebelum kau memberi janji. Mengira-ngira dan menyepakati tanggal kematian dengan masa depan. Dan aku, akan menyapu helai-helai rambutmu seperti menyisir riak di kepala sungai sambil menghitung seberapa panjang lagi harus bertahan atau merontokkan diri.
Melalui ucapan hamdalah dan atas kehendak-Nya kami dapat menghadirkan buletin Beranda Sastra Edukasi (BSE); Suburkan Taman Jiwa Edisi XXI dengan penuh rasa bahagia kepada pembaca. Pada penerbitan kali ini redaksi mengusung tema “Perempuan Buana Sastra”.
Sastra selalu menyediakan ruang terbuka pada setiap objek
yang diperbincangkan. Salah satu objek yang tak pernah habis menjadi sajian adalah perempuan. Keberadaan perempuan se bagai menu hidangan yang tak pernah basi memiliki kedudukan tersendiri dalam banyak karya sastra. Dalam sejarah kesusas traan Indonesia, roman Siti Nurbaya milik Marah Rusli yang terbit pada 1922 merupakan novel pertama yang membuka cakrawala mengenai dunia perempuan. Selanjutnya disusul den gan novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Merantau ke Deli (Hamka, 1939), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940). Karya sastra pada masa ini menggambarkan bagaimana citra perempuan dalam teks-teks yang ditulis oleh laki-laki, dan bagaimana konstruksi sosial turut membentuk citra tersebut. Perempuan dan citra stereotip yang melingkupinya secara tidak langsung memberikan ciri khas bagi perspektif feminis. Pada generasi sastra 2000-an, banyak muncul pengarang wanita yang dengan tajam dan bebas berani menampilkan nuansa-nu ansa erotik. Hal-hal yang sensual bahkan seksual yang selama ini tabu untuk diperbincangkan dikemas secara apik. Sebut saja Ayu Utami, perempuan sebagai tokoh yang reaktif dan emosional di kupas dengan intim pada Saman dan Larung. Lalu Djenar Mae sa Ayu melalui Mereka Bilang Saya Monyet menggambarkan bagaimana perempuan seringkali menjadi bahan eksploitasi pria.
Para penulis perempuan ini memunculkan perspektif femi nis, tapi tidak ditujukan untuk berbicara mengenai moral namun lebih berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan. Pemberian ruang untuk mengutarakan keinginan dan kebutuhan sehingga ia mampu menjadi subyek dalam kehidupannya. Berbeda den
gan teks yang ditulis oleh laki-laki, mereka–seringnya dan ham pir selalu–menempatkan perempuan di bawah kaumnya. Mereka cenderung menulis dengan perspektif laki-laki, dan itu membuat mereka melihat masalah perempuan dengan sikap superioritas. Karena itu teks sastra yang ditulis laki-laki dan perempuan akan memiliki perbedaan yang kentara. Para penulis perempuan be ranggapan kalau laki-laki tidak dapat mewakili perempuan ka rena laki-laki bukan perempuan. Hanya perempuan yang paham dunia macam apa yang ada dalam pikiran dan diinginkannya. Melalui sepenggal pemaparan di atas, BSE berupaya menyuguhkan wacana mengenai bagaimana sastra mengulik perempuan dengan harapan terjadi pertemuan ide dan paham dari redaksi kepada pembaca. Selain esai dan ulasan sastra yang sudah tercuplik pada pembahasan di atas, pula kami hadirkan beberapa cerpen, puisi, serta resensi. Semoga karya-karya yang tersaji mampu menghibur dan menggenapi ketiadaan yang len gang. Sebab begitu banyak ruang kosong di kota ini, seperti juga kepala yang harus diisi. Selamat membaca. Jaya kesusastraan In donesia. []
Esai
KISAH PARA WANITA DALAM SASTRA YANG SENDU
Aziz Afifi
“GABO BERSANDAR PADA URSULA ,” suatu hari Arman Dhani memujinya dalam buku Twitwar Ke Twitwar. Memang dalam Seratus Tahun Kesunyian, Gabo—nama lain penulis Gabriel Garcia Marquez—bersandar pada wanita yang berumur panjang. Dari umur yang panjang itulah Gabo mencoba bercerita tentang kesunyian Amerika Latin. Cerita lain, Gabo seolah tak ingin lari dari kaum perempuan. Melalui cerita Para Pelacurku yang Sendu Gabo bercerita hal serupa, yakni potret Amerika Latin melalui cerita seorang kakek tua yang jatuh cin ta pada pelacur saat ulang tahunnya kesembilan puluh. Tapi la gi-lagi Gabo bersandar pada para wanita untuk mengungkapkan semua.
Seperti halnya sesuatu yang unik, kakek tua tokoh rekaan Gabo menemui beberapa penghuni rumah bordil itu berbicara
perihal skandal orang-orang pemerintahan yang berkunjung ke sana. Mereka berbicara perihal pemerintahan yang busuk.
Hal serupa juga dilakukan oleh penulis Memoirs of A Geisha, skandal pangeran kerajaan Jepang terlintas begitu saja dalam narasi si penulis. Narasi yang ada hanya mendapat porsi kecil, mungkin bisa dibilang hanya cuap-cuap. Kedua karya tersebut memang tidak ingin berbicara tentang pemerintahan lewat persenggamaan.
Melompat ke negara sendiri. Ahmad Tohari dalam Beki sar Merah menulis hal serupa. Topik dengan porsi kecil ala Gabo dan Arthur Golden mendapat sorotan lebih banyak. Sep erti menghidupkan cerita oral tentang gadis desa terjebak dalam lingkaran prostitusi kemudian dinikahi oleh pejabat sebagai istri kedua. Lewat itulah Tohari berkisah tentang keburukan pemerintah. Apa yang membuat orang buka mulut selain uang dan persenggamaan? Begitu pula cerita ini, pejabat rekaan Tohari sering melantur terkait pemerintah saat melakukannya bersama sang istri muda. Mulai dari lobi politik sampai rencana penggelapan uang negara. Semua dituturkan oleh Tohari melalui sang istri.
Karya lain dari Indonesia yang mewakili adalah Saman karya Ayu Utami. Ayu Utami lebih vokal dalam hal selangkan gan. Ia mencoba bercerita soal perkebunan kelapa sawit dan zaman orba melalui narasi ekploitasi tubuh wanita.
Apa yang dilakukan para penulis ini, setidaknya tewakili oleh Cep Subkan dalam epilog salah satu cerpen Puthut EA berjudul Perempuan Tanpa Nama. “Tidaklah ini menyaran pada
perbedaan pemahaman yang seringkali terjadi antara merekayang-di-atas dengan mereka-yang-di-bawah,” katanya dalam memaparkan hubungan antara narasi pelacur dengan kekuasaan yang ditulis Puthut EA. Pelacur—yang biasanya dianggap sam pah dalam masyarakat—berfungsi sebagai alat komunikasi dan pembongkar hipokrisi dalam tatanan kekuasaan.
Atas Nama Tubuh
Melalui tubuh wanita, pandangan sastra dunia ketiga membangun dirinya. Tubuh wanita seolah merupakan komod itas yang terus diproduksi ulang. Tubuh yang dipaparkan beber apa novel tampak terbentur oleh konstruksi patriarki dan faktor ekonomi. Bagaikan gula yang menarik semut, keduanya adalah tema yang empuk untuk digasak oleh para pengarang yang pada akhirnya bermuara pada kritik akan kemunafikan kekuasaan. Namun bukan masalah tema yang empuk, bisa saja tema itu ter us bergulir dalam masyarakat kita. Dalam beberapa novel, konstruksi patriarki membawa wanita harus merumuskan kembali apa makna kecantikan dan apa yang harus dilakukan olehnya. Karena dalam sisi patriar ki kecantikan selalu berada dalam sudut pandang lelaki. Fungsi sastra “sebagai institusi” sosial menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam Teori Kesusastraan mampu menyajikan sebagian besar kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini berupa rumusan kecantikan dari sudut pandang laki-laki. Karya Han Kang, Vegetarian menunjukkan kontruksi tersebut. “Aku menikahi dia karena dia tampak tak memiliki daya pesona atau kekurangan khusus,” begitulah ucapan sang
suami dari tokoh utama. Selain ingin menunjukkan ironi dan rumusan kembali kecantikan di lingkungan Korea Selatan, Han Kang seolah ingin menunjukkan bahwa konstruksi kecantikan selalu dalam sudut para lelaki.
Konstruksi kecantikan semacam ini dipengaruhi oleh ekonomi-politik. Kecantikan di dunia kapitalis merupakan ko moditas yang terus dipamerkan. Tubuh sebagai pameran bisa dilihat bagaimana produksi dalam beberapa media, mulai dari televisi, reklame, dan lain sebagainya. Semua menjual eksot isme tubuh.
Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Sadawi secara jelas menerangkan itu. Bagaimana wanita selalu dihadapkan pada penjualan dan ekploitasi tubuh. Perempuan Mesir bernama Fir daus harus menanggung hidup berpindah-pindah untuk bertahan hidup. Ironisnya, latar belakang yang dilekatkan kepada Firdaus adalah kemiskinan. Seolah Nawal ingin mengamini bagaimana sebuah kemiskinan menjadi penjara bagi kaum wanita. Hing ga akhirnya pembaca mengetahui, tokoh yang diceritakan oleh Nawal adalah kisah nyata dan tragedi dalam masyarakat Mesir. Kemiskinan juga menjerat pada kisahnya Gabo. Tokoh da lam cerita Para Pelacurku yang Sendu menempatkan Degaldina selain menjadi pelacur juga bekerja sebagai penata kancing di siang hari untuk memenuhi kebutuhannya. Sisi mengenaskan ditambahkan oleh Gabo pada tokoh pelacurnya adalah seorang imigran. Melalui kelemahan itu perempuan dituntut menjadi seorang yang pasrah akan keadaan. Hingga akhirnya kita memper oleh bahwa tubuh para wanita dipoles dan disajikan se-”ideal”
mungkin melalui konstruksi lelaki dalam kepasrahan. Melalui inilah, tubuh wanita menjalin relasi dengan kekua saan. Gabriella Beni Benedicta mengutip perkataan Foucault bahwa wacana seksualitas tidak mungkin terlepas dari wacana kekuasaan dan pengetahuan. Tidak lain tujuan dari itu semua semata-mata melanggengkan wacana patriarki yang ada. Seh ingga kita menemukan pengawasan-pengawasan yang ketat akan setiap individu. Hingga akhirnya kepasrahan bagi wanita dalam dunia patriarki benar-benar terjadi. Namun dalam relasi kekuasaan bukan berarti wanita dalam karya sastra selalu tampak sendu. Sebaliknya, karya sastra sela lu ingin menampilkan kisah wanita bebas dan merdeka dalam dunia patriarki ini. Dalam kajian Dinamika Otonomi Tubuh Per empuan karya Gabriella Beni Benedicta terdapat konsep pula otonomi tubuh. Melalui itulah wanita dapat menjadi bebas dan merdeka. Seorang dikatakan mempunyai otonomi tubuh jika ia mendapat kontrol akan tubuhnya. Narasi yang membuktikan ini adalah sikap Degaldina yang diam saja saat melakukan per setubuhan atau pilihan Firdaus menjadi pelacur untuk merdeka. Sehingga keduanya mempunyai peran dalam lingkar kekuasaan serta sistem yang menindas mereka. Selain itu pula wanita da lam karya sastra menjadi pembongkar hipokrisi sebuah tetanan negara dan masyarakat yang ada. []
MENJUMPAI KARAKTER PEREMPUAN PADA SASTRA
Agung Prayoga
PERJUMPAAN ITU tak disangka. Akibat dari pembacaan ulasan yang serampangan, bertemulah saya dengan kar ya sastra ini. Saya tidak yakin harus menyebutnya dengan karya sastra apa. Entah sastra stensil, sastra dewasa, atau bahkan sastra saru. Yang jelas, mereka tak bisa didefinisikan dengan gampangan, dengan ‘karya yang memuat konten mesum’ atau definisi semacamnya. Agar tulisan ini memiliki pokok pembicaraan yang jelas, maka saya akan menyebutnya dengan sastra perempuan. Lalu agar lebih jelas, saya akan mengatakan bahwa sastra perempuan yang saya maksud ialah karya sastra yang menjadikan atau mel ibatkan perempuan dalam penceritaannya. Banyak sekali karya yang menjadikan perempuan menjadi objek cerita atau hanya menjadi pemanis atau pelengkap.
Namun saya akan menceritakan apa yang bisa diceritakan. Dalam pembacaan selama ini, saya menjumpai berbagai macam karakter dari berbagai macam cara dan gaya penceritaan. Dalam novel Vegetarian, saya menjumpai banyak tokoh perempuan. Dengan gaya bercerita sudut pandang kedua, tokoh utama bernama Young Hye dikisahkan menjadi seorang vegetarian akibat dari mimpi-mimpi aneh yang ia alami. Seakan-akan mimpi itu adalah suatu aturan, ia memutuskan menjadi vegetarian selama hidupnya. Meski tak bicara banyak soal vegetarianisme—bah kan tak bicara apa pun soal itu, novel ini mengisahkan tentang hal yang sepatutnya tidak diusik. Keputusan untuk menjadi apa dan bagaimana, meski akan menyakiti atau merugikan diri sendi ri adalah mutlak milik pribadi. Sehingga ketika orang-orang di sekitar Young Hye panik, marah, dan tidak terima, timbul arah penceritaan yang lebih suram dan memikat sekaligus. Novel ini memberikan sedikit gambaran bahwa untuk menjadi berbeda, meski untuk diri sendiri, akan menimbulkan gejolak sosial.
Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Haruki Murakami dalam novel pertamanya, Kaze No Uta O Kike atau dapat dikenali oleh pembaca Indonesia dengan judul dengan Dengarlah Nyanyian Angin menceritakan kisah kehidupan tiga orang pemuda mele wati delapan belas hari di suatu musim panas. Novel ini berhasil memberi gambaran bagaimana kehidupan pemuda Jepang pada masa 60-an melalui tokoh Aku, Nezumi, dan pacarnya. Dalam novel ini, kedua tokoh perempuannya (Nezumi dan pacar tokoh Aku) memiliki kebiasaan yang tak sesuai dengan budaya timur. Hal ini dapat dirasakan saat membacanya, begitu kental nuansa
kebarat-baratan baik dari segi latar maupun karakter dan tingkah laku tokoh yang tak bersesuai dengan adat ketimuran. Mulai dari budaya seks bebas hingga minum-minuman keras dilakoni oleh mereka. Dalam novel ini ditunjukkan karakter perempuan yang liar dan sembarangan. Meski saya tak bisa mengatakan bahwa sang tokoh Aku lebih baik, dalam hemat saya yang bersifat pa triarkis, hal-hal yang dilakoni oleh kedua tokoh perempuan itu tak pantas dilakukan oleh perempuan. Bagaimana dengan cerita pendek? Saya pernah mem baca beberapa cerpen yang berkaitan erat dengan perempuan. Satu cerpen yang menarik perhatian saya adalah cerpen karya Clara Ng yang berjudul Malaikat Jatuh. Dalam cerpen ini di tunjukkan bagaimana hubungan seorang ibu dengan anaknya. Dikemas dengan unsur magis, saya melihat bagaimana sang ibu harus bergulat dengan konflik yang ia alami. Cerpen ini den gan sungguh-sungguh berusaha menarik simpati pembaca. Sang tokoh ibu, Louissa Manna yang telah hidup beratus tahun dan kehilangan beratus perihal yang ia cintai merasa tak sanggup lagi kehilangan seorang anak, Mae yang terkena penyakit ganas. Karena itu, Louissa Manna melakukan hal yang tak seharusn ya dilakukan dan dituliskan dalam tulisan ini. Jika saya melihat ada kegigihan seorang ibu, lain hal-nya dengan Milan Kundera dalam novelnya yang berjudul Pesta Remeh-Temeh. Saya diper lihatkan kegigihan yang lain. Jika dalam cerpen Malaikat Jatuh diperlihatkan sebuah kegigihan untuk mempertahankan, maka dalam novelnya Milan Kundera memperlihatkan sebuah kegigi han untuk membinasakan. Yang bisa diketahui jika telah mem-
PEREMPUAN PADA SASTRA
baca novelnya. Seluruh tokoh perempuan yang saya temui dalam pem bacaan selama ini memiliki karakter yang berbeda. Ada kompleksitas dalam diri perempuan yang ingin ditunjukkan dalam Vegetarian, yang meski tak sepenuhnya setuju, sejalan dengan pernyataan ‘wanita itu sulit dipahami’. Lalu kenakalan-kenakal an perempuan coba ditunjukkan dalam Dengarlah Nyayian Angin. Dari novel ini saya dapat melihat bahwa perkembangan zaman yang begitu pesat dan merebak bagai virus dapat men gubah wajah suatu bangsa. Saya mengenal negeri Jepang, da lam buku-buku pegangan sewaktu sekolah menengah, bahwa Jepang merupakan negara yang erat dengan unsur tradisional. Dan masih banyak lagi macam karakter perempuan yang pernah dan belum saya temui dalam karya sastra.
Dalam pembacaan selama ini, saya menemukan bahwa karakter perempuan dalam karya sastra memiliki satu kesamaan, yaitu mereka tak pernah sama. Mereka selalu tampil dengan gaya dan penampilan masing-masing. Dan begitu juga dengan karakter lelaki, mereka juga tak pernah sama. Namun yang me narik dalam penceritaan perempuan dalam karya sastra adalah mereka tak pernah sama! Ya, setidaknya dalam pembacaan saya selama ini. []
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
Widyanuari Eko Putra
TIDAK ADA SALAHNYA seorang pengarang menja dikan cerita sebagai “sebuah gagasan tentang”. Lewat karyanya pengarang boleh-boleh saja menyajikan pandangan hidup yang tengah ia yakini betul. Karena sebuah teks pada dasarnya “rupa lain” dari alam pikir penulisnya. Acuan semacam ini perlu sekali kita sadari sejak mula membaca sebuah teks, apalagi berhadapan dengan cerita-cerita Alexandru Sahia yang terhimpun di buku Revolt in the Harbour yang kemudian terbit dalam bahasa Indo nesia menjadi Pemberontakan di Pelabuhan (Pataba Press, 2017) atas prakarsa penerjemahan dari Koesalah Soebagyo Toer. Sebagai seorang jurnalis komunis berkebangsaan Rumania, Sahia lebih banyak memberi perhatian pada kehidupan para bu ruh tani dan kaum pekerja—setidaknya bertolak dari buku ini. Sebagaimana cerpen realis lainnya, Sahia tak banyak berakro bat dengan teknik dan gaya. Ia bercerita dengan teknik sewa jarnya cerita realis. Buku ini pun, seiya penjelasan Soesilo Toer,
KEMBALI REALISME SOSIALIS
“dibiayai secara politik” dan karenanya mengusung semangat realisme sosialis ala Maxim Gorky. Sastra bermahzab realisme sosialis, seturut Pramoedya Ananta Toer (2003:146), menyaran agar karya sastra “setidak-tidaknya memberikan optimisme, ke percayaan bahwa kemenangan hanya bagi mereka yang berjuang di pihak keadilan”.
Itu ditegaskan pula oleh Koesalah dalam pengantarnya: karya-karya Sahia “bergandengan dengan hasrat rakyat yang terbanyak, yang hidupnya dilukiskan juga di dalam cerita-cerita pendeknya.” Pengantar ini mungkin berasal dari buku cetakan pertama. Kita tahu, Koesalah berpulang pada 2016, setahun se belum versi anyar buku ini cetak ulang. Kehadiran terjemahan buku ini di Indonesia pada tahun 1960an membarengi masa ketika gontok-gontokan ideologis sedang berlangsung sengit, antara penyokong Kiri dengan pembela Kanan. Sahia menulis cerpennya pada kisaran 1930an, saat sebuah karya lebih dipan dang dan dimaknai sebagai bagian dari representasi sikap dan pandangan hidup sang pengarang. Cerpen dibayangkan sebagai “cara lain” dari mengungkapkan pilihan politik, keberpihakan, dan acuan ideologi. Apalagi Secara politik Sahia memang bersepakat dengan Partai Komunis Rumania.
Dalam bingkai realisme sosialis, Sahia nyaris menerapkan secara tertib konsep tersebut. Sahia bersandar pada isi: sikap dan pandangannya dalam melihat realitas sosial yang ia temui. Cerpen Hujan Juni, misalnya, menghadirkan kehidupan petani buruh yang, meski telah mati-matian bekerja menggarap sawah, kehidupannya tak pernah membaik. Tanah garapan yang sedikit
dan pajak negara penyebabnya. Buruh tani bernama Petre dan istrinya Anna sehari-hari mati-matian menggarap ladang demi pemenuhan kebutuhan mereka bersama tujuh orang anak. Harihari berladang berpeluh keringat. Anna yang saat itu tengah hamil tua hampir-hampir tak peduli lagi dengan keadaan kand ungannya. Tanah ladang mesti terus digarap agar lekas dipanen dan bisa untuk menghidupi anak-anak mereka. Anna tetap kerja dan kerja, hingga pada suatu siang yang mendung ia melahirkan dua anak kembar, sendirian tanpa bantuan sesiapa, di ladang, di atas tumpukan jerami, di sebuah gerobak. Biarpun sehabis melahirkan, Anna sadar ia tak boleh lama-lama bermanja. Suaminya tak boleh meladang sendiri. “Kemudian, seolah-olah tiada sesuatu yang terjadi, ia mengikat kan sabuk pada pinggangnya, lalu pergi mendapatkan suaminya, untuk bekerja,” tekad Anna. Lewat cerpen ini Sahia menyurung kan personifikasi tokoh yang memiliki semangat hidup tinggi. Namun, di sisi lain ia juga menderita tersebab sistem feodal yang memberatkan hidupnya. Tanah yang ia garap sedemikian sempit luasnya sedangkan jumlah keluarganya begitu banyak.
Sahia tegas menjadikan cerpen-cerpennya terkhusus men yorot keadaan masyarakat yang dirugikan oleh sistem yang menindas. Sistem semacam itu bisa terjadi kepada siapa pun, baik kepada petani maupun para pekerja. Cerpen Pemberontakan di Pelabuhan, misalnya, mengambil satu topik perihal pelaran gan bagi para pekerja untuk mengambil izin untuk menghadiri upacara kematian seorang rekan sesama pekerja yang mening gal dunia. Mereka yang tergabung dalam serikat pekerja lantas
KEMBALI REALISME SOSIALIS
bereaksi melawan kebijakan tersebut. Mereka ngotot menghad iri pemakaman meski beroleh tentangan dari polisi pengawal pabrik.
Cerpen ini eksplisit menyerukan semangat pergerakan bu ruh lewat organisasi. Tokoh kepala serikat pekerja unjuk badan sebagai penyeru agar para pekerja berani melawan kebijakan pabrik yang dianggapnya tak adil itu. Solidaritas adalah mazhab kaum pekerja. Para pekerja itu pun dengan lantangnya mempro vokasi rekan-rekannya agar tetap kukuh dan berani melawan se andainya polisi datang membubarkan iring-iringan peti jenazah yang akan dikuburkan. Kata ketua serikat, “aku setuju dengan engkau bahwa hanya suatu gerakan pemberontakan dari kaum buruhlah yang dapat membela nasib proletariat.” Perkataan ini terucap dari bibir ketua serikat pekerja namun pembaca boleh menduga inilah suara pengarang yang ‘masuk’ ke dalam cerita. Gairah perlawanan kepada pemilik pabrik yang tak adil menemukan puncaknya dalam cerpen Pabrik yang Bernyawa. Bozan adalah pekerja yang sial. Ia mengalami kecelakaan saat bekerja. Akibatnya, sebelah kakinya terluka parah hingga mes ti diamputasi. Beberapa bulan lamanya Bozan mesti melewat kan hari-hari di rumah sakit sampai kesehatannya benar-benar membaik. Ia pun kini cacat, dan kekhawatiran segera menyer gap. Satu-satunya harapan agar Bozan masih berpeluang bekerja kembali ialah kaki palsu. Ia pun menaruh harap agar pemilik pabrik turut bertanggungjawab dengan memberinya kaki palsu agar ia bisa kembali bekerja. Sayang seribu sayang, pabrik tak memberikan kompensasi
apa pun terkait kecelakaan itu. Undang-undang perlindungan pekerja hanya tipu-tipu. Bozan tak pernah diberi kaki palsu dan itu artinya ia tak lagi diberi kesempatan untuk bekerja kemba li. Masa suram segera menghadang hidup Bozan. Nasib buruk Bozan pun dengan cepat menyebar seperti kilat. Solidaritas di antara mereka menyulut reaksi. “Cara satu-satunya untuk menyelamatkannya adalah dengan mengadakan pemogokan. Majikan kita harus mengerti dengan sebaik-baiknya bahwa tenaga lengan kita mengatasi tenaga sekalian motor yang ada. Kita adalah pabrik yang sebenarnya, kitalah pabrik yang bernya wa,” begitulah para pekerja berseru. Pemogokan terjadi meski tak mengubah nasib Bozan. Membaca cerpen-cerpen Sahia pada akhirnya adalah membaca rentetan propaganda perlawanan terhadap segala sistem yang bisa merugikan kaum lemah. Terutama sekali kaum pekerja dan petani penggarap. Sahia membabar satu lanskap kondisi sosial masyarakat yang tengah berlangsung di Rumania, tahun 1930an. Kerangka realisme sosialis yang Sahia terapkan di cerpen-cerpennya mulus menunaikan misinya. Ada seman gat perlawanan yang hendak disuntikkan kepada tokoh-tokoh rekaannya agar sampai ke pembaca. Ada pesan-pesan agar pem baca berani menghadapi pelbagai sistem yang berpotensi meru gikan. Bersamaan dengan itu, pembaca juga diberikan satu gam baran persoalan-persoalan yang hadir dalam suatu masyarakat yang menyenderkan hidupnya pada industri dan pertanian. Sebagai teks yang dimaksudkan sebagai representasi ide ologis atas sikap pengarangnya, apalagi dibarengi konteks yang
KEMBALI REALISME SOSIALIS
sebegitu jelas dan terukur, Sahia tentu pantas dikatakan berhasil. Ia telah menulis karya sastra berhaluan realisme sosialis yang se demikian jitu. Pertanyaannya kemudian ialah, sejauh mana buku cerita yang ditulis pada tahun 1930an dan memuat sebegitu ken tal misi ideologis ini menarik minat pembaca muda atau penulis muda yang barangkali tak lagi ambil pusing persoalan benturan antara komunisme dan kapitalisme? Selain misi penerbit yang ingin mendokumentasikan “tulisan-tulisan lama keluarga Toer”, sanggupkah terjemahan karya Sahia dan sejenisnya bisa hadir sebagai teks yang mempersilakan dirinya dicomot ilmu dan ket erampilan teknik penceritaannya? Apa pula relevansi membaca teks realisme sosialis dengan kondisi kesusastraan Indonesia kita hari ini?
Secara teknis, cerpen-cerpen Sahia telah berhenti pada satu bentuk ajek yaitu realisme yang sudah selesai. Artinya, teknik bercerita semacam itu sudah begitu banyak ditinggalkan oleh mereka para penulis muda yang kini tengah menekuni menu lis prosa. Saya ambil misal, satu hal yang kerap menjadi sorotan ialah cara pengarang di masa lalu membuka tulisan-tulisannya.
Di buku ini, Sahia menyorot latar tempat dan suasana sebagai pembuka cerita. Pantau saja: Bulan Juni matahari sedang mem bakar, dan di sana-sini rumput sudah mulai melayu (Hujan Juni); Di sisi pangkalan kapal-kapal mengaum dan mengerang penuh putus asa diberati oleh muatan (Pemberontakan di Pelabuhan); Di atas tanah di atas batu-batu, di atas ternak dan manusia, panas musim kering yang membakar itu dengan sengitnya menyebar seperti gas beracun (Pabrik yang Bernyawa); Lapisan-lapisan sal
ju telah jatuh ke atas atap-atap barak (Matinya Seorang Rekrut). Ini yang saya maksud ajek sebagai khas “realisme yang sudah selesai”—tak ada lagi kejutan.
Lantas, apakah dengan demikian tak ada lagi prosais yang menulis dengan pola realisme? Oh, tentu saja masih ada, dan sangat banyak. Tetapi mereka tak lagi sesederhana seperti yang Sahia dan penulis realis sosialisme sezamannya lakukan. Peng arang sekarang lebih terampil dan sadar betapa teks-teks mere ka akan sebegitu ketat bersaing. Apalagi di zaman digital yang memungkinkan pelbagai jenis teks bisa kita baca hanya melalui telepon genggam. Dan yang utama dari semua itu ialah pembaca dan penulis muda Indonesia hari ini punya gairah pada bacaan atau teks-teks yang memiliki semangat dan mencoba keluar dari ‘perangkap’ bentuk dan konsep lama. Imbasnya tentu mereka cenderung memberi perhatian pada teks-teks yang secara ben tuk dan isi melakukan terobosan-terobosan. Kemenangan novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya kritikus Martin Suryajaya se bagai novel terbaik pilihan Tempo 2016 adalah membukti itu. Masyarakat (pembaca) sastra di Indonesia pada kenyataannya begitu terbuka pada teks-teks dengan komposisi dan bentuk yang berani melakukan lompatan alih-laih terobosan. Namun, ada satu hal yang agaknya tetap akan menjadikan terjemahan teks-teks sastra berhaluan realisme sosialis mesti ter us diterbitkan. Ini semata demi menghadirkan sastra Indonesia menjadi lebih ‘adil’ dan egaliter. Kita tahu, Tragedi 1965 telah berdosa memotong habis satu generasi intelektual Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh telah melaku
MEMBACA SAHIA, MENENGOK KEMBALI REALISME SOSIALIS
kan kudeta pada akhirnya dilenyapkan oleh militer dengan cara paling tidak manusiawi. Banyak intelektual kita yang mati ter bunuh. Bahkan setelah tragedi ini berlalu, masih banyak karya dari tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan PKI diberangus dan dilarang terbit dan beredar. Segala yang dianggap buku “kiri” tak boleh ambil bagian dalam kesusastraan Indonesia. Dampak buruknya ialah estetika dan selera kesusastraan Indonesia selama 32 tahun era Presiden Soeharto berkuasa menjadi berat sebelah. Cerita yang berhubungan dengan perlawanan masyarakat selalu dianggap kelas dua dan terlarang. Nah, pada konteks semacam inilah penerbitan buku karya Sahia (realisme sosialis) menempa ti posisi kuatnya. Mereka harus mendapat tempat dalam pereda ran sastra Indonesia mutakhir.[]
Widyanuari Eko Putra, penggiat Kelab Buku Semarang.
Cerpen
SARI DAN KISAH TELANJANGNYA
Ardyon Steville
NAMAKU SARI. Kalian boleh memanggilku utuh atau sepotong, Sar atau Ri. Aku bukan jenis makhluk yang sempurna seperti kalian manusia, mungkin aku sebangsa hewan; kucing, ayam, atau kecoa. Aku dibuat dengan serampangan oleh si penu lis bualan ini, yang kata orang-orang kerjanya suka melek tengah malam mengarang cerita dan tokoh-tokoh lusuh seperti aku. Saking serampangannya atau karena memang dia bodoh, ia hendak menamaiku Agus padahal jelas-jelas dia menciptakanku lebih seperti perempuan. Jadi aku memilih nama untuk diriku sendiri. Aku sebenarnya tidak terlalu yakin, itu kata orang-orang, mereka bilang dua benjolan besar pada dadaku adalah sepasang susu yang dimiliki oleh setiap perempuan. Padahal awalnya aku berpikir itu sejenis reaksi penyakit dan aku akan mati di akh ir cerita karena penyakit itu. Penulis menyebalkan, bagaimana kalau aku mau dinamai Agus? Pasti akan menjadi bahan ter
tawaanmu.
Tapi ya tidak apa-apa. Aku ikuti saja kemauannya, masih untung dia melibatkanku dalam ceritanya. Terlebih lagi kata orang-orang itu, dua benjolan di dadaku ini adalah aset yang berharga, aku tidak mengerti apa maksudnya tapi kupikir aku akan kaya karena itu.
Sekarang akan kuberitahu dari mana aku berasal, kali ini bukan kata orang-orang melainkan dari si penulis langsung. Aku ditemukan di ujung lipatan selimut yang sudah kuning, penuh bekas liur, dan berbau apek dalam kamarnya saat ia hendak ti dur dengan selimut itu. Keadaanku setengah sadar dan tubuhku separuh basah dengan separuh pakaian pula yang sudah tertang gal. Dan kau tahu siapa yang menanggalkan pakaianku? Tidak ada. Itu seperti terlucuti dengan sendirinya. Tapi bagiku itu ti dak cukup, seperti ada bagian yang hilang. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai kisah yang sebenarnya. Mereka menambahkan kalau waktu itu aku tengah merintih dengan mata merem-melek sambil meremas-remas dua benjolan besar pada dadaku.
Aku merasa itu masuk akal.
Sehabis menceritakan asal-usulku, ia bilang dengan san gat terpaksa harus mengosongkan separuh akalku. Ini sebabnya di awal tadi aku menyebutkan bahwa aku bukan jenis makhluk yang sempurna, banyak sebagian dariku yang hilang. Kekoson gan ini terus terjadi, saat aku menuliskan ini untuk kalian baca pun sewaktu nanti kalian membacanya, mungkin besok atau lusa atau lusa lagi.
Sebelum ia mengembalikan separuh akalku lalu kesada ranku pulih dan terpaksa kembali mengerjakan pekerjaan sesuai aturan beserta perihal rasional lainnya, aku sangat berkeinginan untuk menanggalkan baju, celana, juga celana dalamku. Satu lagi, yang menutupi kedua benjolan besar pada dadaku juga. Aku ingin telanjang.
Ah, kau jangan membelalakkan mata atau mengernyitkan alis begitu. Telanjang yang aku maksud ini bukan telanjang di depan orang-orang. Memang akalku hilang separuh tapi aku masih punya rasa malu, si penulis tidak menghilangkannya. Meski jika aku benar telanjang di depan orang-orang itu pun tidak akan jadi masalah yang berarti, kan orang tidak waras be bas. Tapi bukan itu, aku mau telanjang untuk memastikan bahwa aku ini benar perempuan atau tidak. Aku ingin melihat pantulan diriku dalam cermin dan memeriksa satu per satu perkakas yang ada pada tubuhku, terutama dua benjolan besar pada dadaku ini. Aku ingin meremasnya sekali lagi seperti saat aku ditemukan oleh si penulis.
Bukan keinginan yang aneh, kan? Telanjang untuk melihat bagian tubuhmu sendiri kan wajar, tidak perlu terlalu diperma salahkan. Kau bisa melakukan apapun dengan tubuhmu sendiri. Baik buruk segala risiko kau yang tanggung.
Namun keinginan ini ditentang oleh penulis. Ia mengan cam akan mengosongkan seluruh akalku kalau aku melakukan itu. Bukan telanjang yang dilarangnya tetapi perihal meremas dua benjolan besar pada dadaku, ia bilang itu akan berdampak buruk. Aku mengiyakan saja untuk membuatnya tidak rewel,
tapi aku akan tetap melakukannya.
Aku masuk ke kamar si penulis sewaktu ia pergi dan men gunci pintu dari dalam. Hanya ada aku, dipan reot dengan selim ut kekuningan tempat aku ditemukan, komputer dengan kursor yang kedap-kedip, dan tentu saja sebuah cermin besar seukuran tubuh manusia menempel pada dinding. Beberapa ekor tikus mencicit di langit-langit, aku tak peduli. Kuusir dengan tepukan tangan dan mereka buru-buru pergi.
Cermin itu memantulkan cahaya dari celah pintu dan lan git-langit. Bias tubuhku terlihat jelas, rambut sebahu, pinggang yang berlekuk, dan tentu saja dua benjolan besar pada dada ku. Benar kata orang-orang, aku perempuan. Aku tersenyum, ini menyenangkan. Tanpa pikir panjang lagi segera tanganku menanggalkan satu per satu pakaian—kalau kau yang memb aca ini adalah laki-laki boleh saja ikut membayangkan, seper tinya tanpa intruksi pun otomatis akan kalian lakukan—mulai dari baju oblong putih transparan tanpa lengan, celana selutut kedodoran dan selanjutnya kau bisa mengiranya sendiri. Aku berhenti pada apa yang menutupi dua benjolan be sar pada dadaku, seperti dua buah mangkuk telungkup yang disambung tali dan memiliki pengait pada bagian belakangn ya. Benda ini agaknya sedikit membuatku sesak napas. Heran, apa fungsinya benda seperti ini? Nanti akan kutanyakan kepada si penulis kalau dia sudah pulang. Ah, ya, ia melarangku untuk bermain-main dengan benda aneh ini dan apa yang ditutupinya. Sebenarnya aku sudah penasaran setengah mati ingin meremas dua benjolan ini, tapi aku khawatir bagaimana kalau rusak dan
aku terancam ditendang keluar dari cerita ini.
Sewaktu melepas kaos tadi aku jadi ingat dengan ke biasaan—yang kata orang-orang buruk—yang penulis berikan padaku. Aku selalu merasa tidak nyaman ketika mengenakan baju, pun dalam lemari si penulis sedikit sekali baju yang ia pu nya. Aku tidak tega, jadi aku hanya mengenakan kaos-kaos tipis yang ada. Karena ini orang-orang itu meneriakiku, “Kenakan baju dengan benar, macam telanjang saja, tidak sopan” atau “Hey, lihat itu susumu kelihatan, nanti digondol kucing. Perempuan tidak boleh begitu.”
Tanpa sadar selama ini aku sudah sering telanjang. Ya mes ki tak sepenuhnya telanjang.
Aku jadi menerka-nerka kenapa si penulis memberikan kebiasaan yang kata orang membuatku telihat seperti telanjang ini. Padahal kan aku perempuan, apa-apa dalam tubuhku tidak boleh diperlihatkan begitu saja. Bagaimana kalau ada yang di gondol kucing? Atau digigiti tikus yang tinggal pada tingkap ru mah dan membuatku gatal-gatal? Hish, si penulis benar-benar serampangan, bodoh.
Kembali kepada persoalan dua benjolan dadaku dan benda yang menutupinya. Jantungku jadi berdetak kencang dan napa sku naik turun, membuat dua benjolan ini ikut naik turun juga. Cukup lama bertahan pada posisi itu, aku sudah gemas sekali. Kuputuskan saja untuk segera membuka pengait benda yang menutupi dua benjolan itu. Terletak sedikit di atas punggung dan agak susah diraih. Setelah berusaha keras dengan meliuk-li ukkan badan sedemikian rupa pengait itu terlepas juga. Ah, ada
rasa lega. Benar adanya benda ini membuat pernapasanku tidak lancar.
Selang sedikit saja sampai benda itu bisa kulepas sepenuhn ya, pintu kamar didobrak. Rupanya si penulis, dengan mata melotot, keringat sebesar biji jagung pada jidatnya, dan napas terengah-engah. Aku kaget setengah mati.
“Apa yang akan kau lakukan dengan benda itu, Sari?”
“Melepaskannya, ini membuat napasku sesak.”
“Berhenti bermain-main!”
“Tapi napasku benar-benar sesak.”
“Jangan coba-coba menyentuh benda itu dan isinya. Kait kan kembali.”
Si penulis merangsek masuk dan memaksaku memperbai ki letak pengait benda yang menutupi dua benjolan besar pada dadaku. Dengan mata yang terus melotot juga ia menyodorkan celana dan baju untuk kukenakan kembali. Jangan pernah telan jang dengan maksud seperti itu, katanya berteriak mendorongku keluar kamar lalu membanting pintu. Aku kebingungan, ia jelek sekali saat sedang marah seperti itu. Aku masuk lagi ke kamar dan duduk di sampingnya. Napasnya sudah tidak terengah-en gah.
“Aku minta maaf. Aku hanya penasaran. Orang-orang ber kata aku ditemukan sedang merintih karena meremas dua ben jolan pada dadaku ini, aku cuma mau merasakannya sekali lagi.”
“Berhenti membicarakan orang-orang. Mereka berbohong soal asal-usulmu. Kau tidak kutemukan sedang merintih karena meremas susumu. Tapi kedua susu itu pecah, kau bersimbah da
rah dan nyaris sekarat. Itu sebab kau merintih dan merem melek. Lalu, dua buah susu yang sekarang ada di dadamu itu milikku, kuberikan agar kau tetap hidup.”
Hening. Aku bingung harus berbicara apa kepada si penulis. Dia emosional sekali dan aku tidak merasakan apa-apa. Ini pasti karena separuh akalku hilang, sial. “Jangan membuatku melakukannya untuk yang kedua kali.”
Tampaknya, sebaik-baik makna telanjang yang dapat dire nungi ketimbang cerita melantur ini adalah bagian lagu Ebiet G. Ade yang cukup familiar: kita mesti telanjang dan benar-benar bersih suci lahir dan di dalam batin tengoklah ke dalam sebelum bicara singkirkan debu yang masih melekat ... Itu masih tampaknya, teman, kau jangan bingung, tersing gung, apalagi marah. Nanti aku coba tanyakan pada si penulis perihal lirik lagu di atas, tapi tidak dalam waktu dekat ini sebab aku takut ia akan memarahiku karena membahas telanjang lagi. Tapi teman, terkadang untuk menjelaskan makna hidup, apalagi di tengah kemelaratan, kau harus pandai berandai-andai agar ti dak mati dicabik-cabik ketidakpastian.
Namaku Sari. Selesai sudah tugasku untuk mengantarkan mu ke bagian akhir cerita ini. Namun kau bisa sesekali mencoba telanjang memperhatikan anggota tubuhmu satu persatu hingga kau teringat kebiasaan burukmu, atau dengan telanjang, kau jadi dapat mengenang masa lalumu yang lucu. []
SANG PELAJAR
Anton Chekov(Dialihbahasakan oleh Umar Qadafi)
MULA-MULA CUACANYA CERAH, tenang. Burung sikatan berkicau, dan di rawa-rawa terdekat, sesuatu yang hidup memekik menyedihkan, seolah ditiup ke botol kosong. Seekor berkik bercicit, dan suara tembakan meletus nyaring di udara musim semi. Namun ketika hutan mulai gelap, angin timur bertiup tanpa permisi, dingin dan menusuk, dan semuanya menyunyi. Jarum es menyentuh permukaan genangan air, dan hutan menjadi tak ramah, ditinggalkan, sunyi. Rasanya seperti musim dingin.
Ivan Velikopolsky, pelajar seminari, putra seorang penjaga gereja, pulang dari berburu burung sepanjang jalan yang melintasi padang rumput basah. Jemarinya kebas, dan mukanya hangus oleh angin. Tampak olehnya bahwa serangan dingin yang mendadak ini melanggar aturan dan keharmonisan segalanya,
bahkan alam sendiri merasa kecewa, dan karena itu kegelapan malam turun lebih cepat dari biasanya. Sekitarnya telah sunyi dan entah mengapa begitu muram. Hanya di kebun janda dekat sungai terdapat nyala api; tetapi jauh di sekeliling dan di mana desa itu terhampar, sekitar dua mil jauhnya, semuanya benarbenar tenggelam dalam dinginnya kegelapan malam. Pelajar itu teringat bahwa ketika ia meninggalkan rumah, ibunya tengah duduk di lantai di ruang depan, bertelanjang kaki, memoles samovar, dan ayahnya berbaring di atas tungku dan terbatukbatuk; karena hari Jumat Agung tidak ada masakan di rumah, dan ia lapar sekali. Dan sekarang, menggigil oleh hawa dingin, pelajar itu berpikir bahwa angin yang sama telah bertiup pada masa Rurik, dan Ioann Mengerikan, dan Peter, dan di masanya juga terjadi kemiskinan dan kelaparan yang parah; atap-atap jerami bocor, kejahilan, dan penderitaan yang sama, kehampaan dan kesuraman yang sama di sekelilingnya, rasa penindasan— semua kengerian ini telah terjadi, dan tengah terjadi, dan akan terjadi, dan ketika seribu tahun telah berlalu, hidup tak akan lebih baik. Dan ia tak ingin pulang ke rumah.
Kebun-kebun itu disebut janda punya karena dijaga oleh dua orang janda, seorang ibu dan anak perempuan. Unggun membara begitu panas, disertai percikan, menebar cahaya di sekitar tanah yang dibajak. Janda Vasilisa, seorang wanita tua berbadan tinggi dan sintal mengenakan mantel pria, berdiri di situ dan memandangi api; Lukerya putrinya, kecil, bopeng, dengan raut wajah agak dungu, tengah duduk di tanah mencuci kuali dan sendok. Kebetulan mereka baru saja selesai makan
malam. Terdengar suara laki-laki; para buruh setempat sedang memandikan kuda mereka di sungai.
“Nah, sekarang musim dingin lagi,” kata sang pelajar, mendekati unggun. “Selamat malam!”
Vasilisa mengawali, seketika mengenalinya dan tersenyum ramah.
“Aku tak menyadari anda. Tuhan memberkatimu,” katanya, “kau akan menjadi orang kaya.”
Mereka mengobrol. Vasilisa ada di dekatnya, sekali waktu pernah melayani bangsawan sebagai inang, kemudian sebagai pengasuh, dan ucapannya lembut, dan senyum ramah juga mulia tak pernah meninggalkan wajahnya; Lukerya putrinya, seorang perempuan desa, dihajar suaminya, hanya melirik pelajar itu dan tetap terdiam, dan ekspresinya aneh, seperti seorang bisu-tuli.
“Dengan cara yang sama, rasul Petrus menghangatkan diri dengan unggun pada malam yang dingin,” kata sang pelajar sambil mendekatkan telapak tangannya ke atas api. “Jadi kala itu juga dingin. Ah, betapa mengerikannya malam itu, Nek! Malam yang sangat panjang dan suram!”
Ia melihat sekeliling kegelapan, kepalanya menggigil, dan bertanya:
“Kutebak kau pernah pergi ke daerah Dua Belas Ayat (Twelve Gospels)?”
“Ya,” jawab Vasilisa.
“Pada saat Perjamuan Terakhir, kau ingat, Petrus berkata kepada Yesus: ‘Aku siap pergi bersamamu, baik ke penjara atau kematian.’ Dan Tuhan berkata kepadanya: ‘Aku memberitahumu,
Petrus, ayam jantan tak akan berkokok hari ini, sebelum engkau menyangkal tiga kali bahwa engkau mengenalku.’ Setelah makan malam, Yesus berdoa di taman, sangat bersedih, dan Petrus yang malang menjadi lelah jiwanya, dia menjadi lemah, matanya terlihat berat, dan ia tak bisa melawan kantuknya. Ia tertidur. Lalu malam itu juga, seperti yang kau dengar, Yudas mencium Yesus dan menyingkapkannya kepada para algojo. Ia diikat dan dibawa ke pendeta agung, dan dihajar, dan Petrus, kelelahan, menderita dalam kesedihan dan penderitaan, kau lihat, tak cukup tidur, merasa sesuatu yang buruk akan terjadi di bumi, setelahnya … Ia begitu mencintai Yesus, untuk mengalihkan perhatian, dan kini dari jauh ia melihat bagaimana mereka menghajarnya …” Lukerya mengabaikan sendok dan mengalihkan pandangannya ke sang pelajar.
“Mereka mendatangi pendeta agung,” lanjutnya, “Yesus diinterogasi, sementara para abdi membuat unggun di halaman, karena sedang dingin, dan mereka menghangatkan diri. Petrus berdiri di dekat unggun bersama mereka dan juga menghangatkan diri, seperti yang kulakukan sekarang. Seorang wanita melihatnya dan berkata: ‘Orang ini juga bersama Yesus,’ yang berarti bahwa ia juga harus diinterogasi. Dan semua abdi yang berada di dekat unggun pasti memandangnya dengan curiga dan garang, karena ia menjadi bingung dan berkata: “Aku tak kenal pria itu.” Sesaat kemudian seseorang kembali mengenalinya sebagai salah satu murid Yesus dan berkata: ‘Kamu adalah salah satu dari mereka.’ Namun ia menyangkalnya lagi. Dan ketiga kalinya seseorang berpaling padanya: ‘Bukankah
aku melihatmu hari ini di taman bersamanya?’ Ketiga kalinya ia menyangkal hal itu. Dan tepat setelah itu ayam berkokok, dan Petrus, memandang Yesus dari kejauhan, teringat kata yang diucapkan kepadanya pada jamuan makan malam ... Teringat, menyadarinya, keluar dari halaman, dan menangis dengan memilukan. Injil mengatakan: ‘Dan ia keluar, dan menangis dengan memilukan.’ Aku membayangkannya: sebuah taman yang sangat-sangat sunyi dan gelap, dan, nyaris tak terdengar suara dalam keheningan, suara terisak yang tersedu-sedu …”
Sang pelajar menghela napas lalu berpikir. Masih tersenyum, Vasilisa mendadak tersedak, dan air mata yang besar dan berlimpah bergulung di pipinya. Ia menutupi wajahnya dari api dengan lengan bajunya, seolah malu akan air matanya, dan Lukerya, memandangi sang pelajar, ronanya memerah, dan ekspresinya memberat, tegang, seperti pada seseorang yang mencoba menahan rasa sakit yang hebat.
Para buruh kembali dari sungai, dan salah satu dari mereka, dengan menunggang kuda, telah mendekat, dan cahaya api berkibar padanya. Sang pelajar mengucapkan selamat malam pada si janda dan melanjutkan. Dan lagi-lagi gelap, dan tangannya dingin. Angin yang sangat kencang bertiup, dan musim dingin benar-benar kembali, dan tampaknya tak sampai dua hari akan terjadi Paskah.
Sekarang pelajar itu berpikir tentang Vasilisa: jika ia menangis, itu berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi dengan Petrus pada malam yang mengerikan itu ada hubungan dengannya …
Ia melihat ke belakang. Api tunggal meliuk dengan tenang di kegelapan, dan orang-orang di sekitarnya tak terlihat lagi. Sang pelajar berpikir lagi bahwa jika Vasilisa menangis dan putrinya menjadi resah, maka jelaslah apa yang baru saja ia katakan kepada mereka, sesuatu yang telah terjadi sembilan belas abad lalu, memiliki hubungan dengan masa kini—bagi kedua wanita, dan barangkali bagi desa yang sunyi ini, bagi dirinya sendiri, bagi semua orang. Jika wanita tua itu menangis, itu bukan berarti ia mampu menceritakannya secara menghanyutkan, tetapi karena Petrus dekat dengannya dan ia tertarik dengan pribadi seutuhnya pada apa yang terjadi dalam jiwa Petrus.
Dan kegembiraan sekonyong-konyong bergelora dalam jiwanya, dan ia bahkan berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Masa lalu, pikirnya, terhubung dengan masa kini dalam rantai kejadian tak terputus yang mengalir dari satu ke yang lain. Dan tampaknya ia telah melihat kedua ujung rantai itu: ia sentuh salah satu ujungnya, dan ujung lainnya bergerak.
Dan ketika ia menyeberangi sungai dengan feri, lalu naik ke bukit, memandang desa asalnya dan ke arah barat, di mana garis tipis matahari kirmizi terbenam dan bersinar, ia terus berpikir bagaimana kebenaran dan keindahan yang telah membimbing kehidupan manusia ke sana, di kebun dan halaman rumah pendeta agung, berlangsung tak terputus hingga hari ini dan rupanya selalu menjadi hal utama dalam kehidupan manusia dan bumi pada umumnya; dan perasaan muda, sehat, kuat—ia baru dua puluh dua tahun—dan penantian kebahagiaan yang tak terkira, kebahagiaan misterius, berangsur menghampirinya, dan
kehidupan baginya tampak sangat menyenangkan, menakjubkan, dan dipenuhi dengan nilai luhur.
APRIL 1894
Catatan:
Cerpen ini diterjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris oleh
Richard Pevear & Larissa Volokhonsky berjudul The Student karya Anton Chekov.
DI HALTE BUS Agung Prayoga DARI UJUNG JALAN, tepat di arah barat, Fatso muncul dari tikungan. Kepalanya menunduk seolah ada seseorang yang mendudukinya. Anehnya, langkah kakinya mantap menuju halte bus. Ketika itu pula, aku sedang berdiri di ujung halte, bersandar pada penyangga paling barat, dan bus yang baru saja lewat tidak berhenti untukku.
Di barat, awan-awan menggantung menutupi matahari sore yang siap tenggelam. Halte bus yang sedari tadi aku bersan dar padanya, mendapat seseorang lagi untuk dinaungi. Aku ma sih jengkel terhadap bus yang baru saja lewat. Mungkin sang su pir tak melihatku. Tapi ia melewati genangan air yang ada tepat di depanku. Celana panjang dan sepatu hitam mengilatku basah. Setelan bagusku jadi tak bagus lagi. Aku tak ingin menunggu sampai hujan kedua agar bisa pulang. Hujan pertama yang baru
saja usai sudah cukup untuk menunda kepulangan. Aku tak tahu harus bagaimana kepada Fatso. Setelah sam pai di halte, ia duduk di ujung timur halte. Kepalanya yang berat ia sandarkan pada dinding halte. Sebuah iklan perusahaan asu ransi tersemat di sana. Di sana tertulis: untuk kehidupan yang lebih baik. Kalau saja gereja di seberang halte ini punya kuasa meruntuhkan, iklan itu tak akan ada. Fatso duduk persis seper ti orang yang sedang duduk di kursi santai. Semua orang tahu bagaimana bentuk halte, dan tempat duduknya tak nyaman un tuk duduk santai semacam itu. Ia kelelahan. Dari matanya, aku tahu ia telah mendapat hujan pertama tadi. Aku tak tahu harus bagaimana kepada Fatso. Orang yang lelah mungkin tidak suka diajak bicara. Ia lebih suka beristirahat. Dengan posisi persis seperti apa yang ia lakukan, namun ditam bah secangkir teh hangat. Jika bisa, aku ingin sekali mengatakan padanya agar pergi saja ke aula utama gereja dan duduk di sana. Mungkin pastor akan menawarinya secangkir teh hangat sem bari mengobrol tentang betapa bahagianya hidup jika dekat den gan sang kuasa. Bahkan ia bisa berbaring. Aku tak punya secan gkir teh bahkan sebotol air. Jika mau, ia bisa mendapat genangan air yang ada di depanku. Namun orang lelah rentan emosinya. Fatso bisa saja mengajakku berkelahi jika aku tawarkan genan gan itu. Kami saling diam satu sama lain.
“Mengapa kau lelah?”
“Aku baru saja bekerja seharian. Suatu hal yang biasa.”
Kepalanya menoleh, matanya bersitatap dengan mataku. “Setelan jasmu bagus. Kau dapat dari mana?”
“Keluargaku memberikannya padaku untuk sebuah acara. Sebuah acara yang hanya ada sekali untuk seumur hidupku.”
“Sekali?”
“Ya. Sepertinya kau juga akan mengatakan hal yang sama jika aku balik bertanya padamu.”
“Mungkin saja. Setelanmu sama dengan milikku. Tapi ti dak dengan dasimu.”
“Benar. Mengingat kita dari keluarga yang berbeda. Aku tak beranggapan kita akan memiliki dasi yang sama.”
“Apa kau berharap memiliki setelan yang sama denganku?”
“Entahlah. Mungkin tidak. Kepalaku sakit jika digunakan untuk mengingat-ingat. Istrimu yang memberikan dasi itu?”
“Ya. Dia memberikannya ketika aku pertama kali masuk kerja. Ia tak memiliki selera bagus soal dasi. Kau bisa lihat bu kan? Berwarna hitam persis seperti setelan kita.”
“Hitam? Oh, tentu.”
“Lalu bagaimana dengan milikmu? Istrimu yang member ikannya?”
“Seorang teman memberikannya untukku. Aku tak punya istri. Dia seorang teman yang baik. Namun sesuatu yang buruk terjadi hingga kami bertengkar. Setidaknya itu yang aku ingat.”
“Apa yang terjadi?”
Awan-awan masih menggantung menutupi matahari yang hampir tenggelam. Dari barat, sebuah bus mendekat ke halte. Lonceng gereja berdentang tiga kali. Percakapan imajiner itu sirna dan aku tersadar. Lagi-lagi bus lewat dan tidak berhenti untukku. Aku berpikir mengapa ketika pagi tadi aku tak men
gendarai mobil milikku atau naik taksi. Sepertinya keluar dari jam kerja duabelas jam sehari bukanlah sesuatu yang mungkin. Sama halnya dengan bersantai sejenak sebelum pergi bekerja sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan menyenangkan dalam duabelas jam ke depan. Dan aku berpikir untuk pergi ke aula dan mengobrol dengan pastor bersama teh hangat di sana. Aku pergi ke sana. Memasuki pintu yang besar dan lebar, lalu berhadapan dengan deretan-deretan bangku panjang. Lil in-lilin yang aku bayangkan menyala di dinding-dinding berga ya pertengahan ini digantikan lampu-lampu yang lebih murah dan efisien. Di paling depan sebuah jendela besar berlukiskan mozaik seorang wanita menggendong seorang bayi laki-laki. Ini adalah tipikal gereja yang biasanya, pikirku. Seorang berjubah panjang menyambutku, dua gelas teh hangat di atas nampan, segelas ia angsurkan padaku yang telah duduk di bangku paling depan. “Ingin tambah gula?”
Peliturannya terlihat baru di mataku. Aku baru tersadar ada sebuah lampu gantung di tengah atas ruang. Langit-langit gereja yang abu-abu cocok dengannya. Ketika aku selesai mengamati untuk kesekian kali, ia berkata lagi: “Lampu gantung itu baru saja dipasang beberapa bulan lalu.”
Aku meneguk tehku. Terasa sepat. Aku lupa kapan terakhir kali berkunjung ke gereja. Ketika aku bercerita soal kunjungan terakhirku, ia mulai bicara panjang lebar, berceramah soalan yang aku tahu. Ketaatan, dosa, surga, neraka, apa saja. “Sekarang, orang lebih suka membahayakan hidupnya,” ia menyeruput teh. “Kau ingin dengar sebuah cerita?”
Lalu ia bercerita panjang lebar tanpa persetujuanku. Aku tak betul-betul mendengar karena aku tak peduli. Namun ia bic ara soal gerejanya yang setiap minggu, tak lebih dari dua baris kursi yang terisi penuh. Ia mengeluhkan soal derma yang juga menurun. Aku meminta gula untuk tehku.
“Apa kau ingin sedikit berderma?”
Ia beranjak dan mengambil sebuah kotak. “Kau boleh mengisi berapapun. Semakin besar, semakin baik.”
“Aku akan mengisi seratus jika kau membuatkanku secan gkir kopi yang enak.” Ketika ia pergi untuk membuatnya, aku pergi untuk mencegat bis terakhir. Aku tak lupa menghabiskan teh sepat itu.
Ketika aku selesai dengan pikiranku, ternyata Fatso sudah tak ada. Hari sudah gelap. Sialnya, hujan kedua sedang turun. Gereja terlihat terang di malam hari. Aku berpikir untuk mengi nap.
“Sejak pertama kali kau berkunjung, kau selalu bercerita soal halte bus. Kau punya kenangan dengannya.”
“Entah,” jawabku. “Kursi panjang ini membuatku gugup.”
Resensi
LELAKI HARIMAU DAN KISAH CINTA TAK SETIA
Nurul Isnaeni PutriMENDING TUKU SATE timbang tuku wedhuse, mending gendakan timbang dadi bojone. Lirik dari lagu Wiwik Sagita ber judul Whedus itu, jika kita perhatikan ada beberapa pesan yang bisa dijadikan bahan kontemplasi untuk pendengarnya. Sekilas lirik di atas mengandung makna negatif. Karena mengajak pen dengar khususnya kaum wanita, menjadi selingkuhan dari pada menjadi istri yang sah. Akan tetapi, ada hubungan sebab akibat yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis, kenapa wanita memilih jalan untuk selingkuh? Berdasarkan hasil survei faktor dominan munculnya perselingkuhan yang dilakukan oleh Sucip tawati dan Susilawati (2005), disebutkan bahwa alasan perse lingkuhan terjadi karena kurangnya ketentraman dalam rumah tangga pelaku selingkuh.
Dari lagu Wedhus bila dikaitkan dengan novel Lelaki Ha
rimau karya Eka Kurniawan, ada beberapa fragmen di novel yang memiliki pandangan sama dengan lagu Wedhus. Keduanya menceritakan alasan kuat mengapa wanita selingkuh. Sebuah perspektif unik di mana biasanya lagu-lagu atau sebuah novel lebih mengisahkan derita perempuan diselingkuhi, di lagu Wed hus dan novel Lelaki Harimau justru sebaliknya. Jika menengok lagu Wedhus, wanita memilih selingkuh disebabkan karena kepuasan materi belum didapatkan. Namun di novel Lelaki Harimau, alasan wanita memilih selingkuh lebih pada kurangnya kepuasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami wanita. Maka pada akhirnya ada ke mungkinan Wiwik Sagita menggugat posisi perempuan yang selalu dianggap lemah, dengan membuat lagu Wedhus, dan Eka Kurniawan melukiskan penderitaan wanita yang mengantarkan nya pada keberanian berselingkuh, melalui novelnya yang ber judul Lelaki Harimau. Kedigdayaan suami dalam keluarga terlihat sangat riil mel alui novel Lelaki Harimau. Bukan berarti dilihat dari judulnya, melainkan dari isi novel yang secara rinci mengulas penderitaan istri atas suami dalam kehidupan rumah tangga. Jika dibanding kan dengan novel Eka yang lain, yakni Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, hanya menampilkan nafsu bejat laki-laki, novel Lelaki Harimau lebih dari itu, selain menampilkan kebe jatan laki-laki, Eka menjelaskan dengan gamblang problematika rumah tangga yang seringkali pelik dan penuh konflik. Konflik yang terjadi di dalam novel, mulai dari perlakuan kasar suami terhadap istri, keengganan istri melayani suami, sua
mi yang memaksa istrinya untuk berhubungan intim, perseling kuhan, pembunuhan, sampai pada kekerasan orang tua terhadap anak. Eka mampu meramu konflik-konflik tersebut menjadi novel yang sederhana tapi seksi. Serta banyak petuah yang secara tersirat dimunculkan di novel tersebut. Yang lebih menarik dari karya Eka, walaupun novel Lelaki Harimau karya fiksi, namun seluruh konflik yang dimunculkan merupakan fenomena yang sering terjadi sehari-hari di dalam rumah tangga. Adegan Margio membunuh Anwar Sadat jadi pembuka kisah. Dalam novel ini, Margio menjadi tokoh utama yang ber tindak sebagai lelaki harimau. Sedangkan Anwar Sadat adalah ayah dari Maharani, perempuan yang disukai oleh Margio. Pem bunuhan yang dilakukan oleh Margio secara abstrak diceritakan oleh penulis. Bagaimana tidak, di dalam novel dikisahkan, Mar gio tanpa alat bantu pisau, pedang, atau bahkan pistol bisa mem bunuh Anwar Sadat hingga lehernya hampir putus, dan daging nya terkoyak, berserakan di lantai. “Ia bergidik membayangkan bagaimana bocah itu memeluk Anwar Sadat dan rahangnya kuat mencengkeram leher” (hal 6). Adegan yang digambarkan pada saat Margio membunuh Anwar Sadat menjadi hal surre al di hadapan pembaca. Terlebih penulis menuturkan pada saat Margio membunuh lawannya, ada seekor harimau putih yang memasuki tubuh Margio. Kebencian Margio terhadap Anwar Sadat berawal dari perselingkuhan yang dilakukan Nuraeni, ibu kandung Margio dengan lelaki yang telah dibunuhnya itu. Perselingkuhan terjadi bukan karena kegatalan Nuraeni, akan tetapi lebih pada kebrin
gasan Anwar Sadat. Setiap kali Nuraeni datang ke rumah Anwar Sadat untuk menjadi pembantu, Anwar Sadat kerap menggoda Nuraeni ketika di rumah tersebut hanya ada mereka berdua. Memang sikap mata keranjang Anwar Sadat sudah diketahui banyak orang, meskipun beristrikan bidan dan mempunyai tiga putri yang cantik jelita, Anwar Sadat dikenal sebagai lelaki pe malas yang tidak bekerja tetapi suka meniduri berbagai wanita tanpa menikahinya.
Sikap Nuraeni yang pasrah ketika dijamah oleh Anwar Sa dat bukan tanpa alasan. Ia melakukan hal itu karena sepanjang hidup bersama Komar suaminya, tidak pernah merasakan sentu han selembut perlakuan Anwar Sadat. Justru sebaliknya, Nurae ni kerap dipukuli dan disabet pakai rotan hingga babak belur jika tidak mau melayani birahi suaminya. Dan, ia lebih tepat nya sering diperkosa suaminya sendiri, karena hubungan intim keduanya dilakukan bukan atas dasar suka sama suka. Ternyata tindakan kejam Komar bin Syueb kepada Nurae ni bukan hal yang asing lagi bagi Margio. Perlakuan kasar yang sering menimpa ibunya sudah menjadi hal biasa di rumah Mar gio. Karena, tingkah laku Komar yang tidak waras menimbul kan perasaan benci Margio terhadap ayah kandungnya sendiri. Sampai ayahnya meninggal Margio tidak sedikitpun merasa berkabung. Suasana di keluarganya yang tidak pernah tentram menjadikan Margio menjadi sosok pendiam dan kerap mabuk di malam hari.
Kekerasan
Ada banyak adegan kekerasan yang disuguhkan penulis
dalam novel Lelaki Harimau. Korban dari kekerasan itu sendiri adalah orang-orang terdekat. Dari tingkah bengis tokoh Komar melahirkan konflik berkepanjangan dalam novel. Watak sadis Margio yang telah membunuh Anwar Sadat, barangkali tertular dari sikap ayahnya yang kejam terhadap istri dan anak. Sedang kan perselingkuhan yang dilakukan Nuraeni merupakan pelari an dirinya dari jerat kekerasan dari suaminya sendiri. Deskripsi yang penuh kekerasan menjadikan novel Lelaki Harimau benar-benar menyeramkan, namun tidak perlu ditaku ti, justru adegan-adegan di dalamnya menjadi bahan perenun gan. Bahwa ketentraman keluarga adalah aset yang berharga bagi kehidupan seseorang, bila asset berharga itu hilang maka akan datang kekacauan yang bertubi-tubi. Dari pengisahan yang detail dengan penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, novel ini bisa menja di bacaan masyarakat umum, tidak harus terpelajar. Selain itu, setelah membaca novel setebal 191 halaman, pembaca akan terdorong untuk menengok sebentar kondisi keluarganya dan lingkungannya. Apakah yang dialami Margio terjadi pada kel uarganya sendiri? Ataukah peristiwa tersebut kerap terjadi di lingkungannya? []
Buku:
Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama, 2015).
WAJAH EROTISME NOVEL KOREA
Wirda Ulhayati
MUNGKIN SAATNYA KITA
tidak hanya melihat Ko rea lewat K-Pop atau Drama Korea-nya saja, tapi juga lewat ke susastraan mereka. Han Kang tidak perlu datang ke Indonesia untuk mendunia. Penulis kelahiran Gwangju, Korea Selatan itu cukup menulis sebuah novel untuk benar-benar dikenal dunia. Setelah novelnya Vegetarian diterjemahkan ke dalam bahasa In ggris di tahun 2016, pada saat itu juga nama Han Kang mulai terdengar di mana-mana.
Di tahun yang sama, tahun 2016, novel Vegetarian berhasil memenangkan Man Booker International Prize, sebuah penghar gaan untuk novel terjemahan terbaik dari seluruh dunia. Men galahkan karya para pengarang terkemuka dunia lainnya seperti Orhan Pamuk, Kenzabura Oe, dan Eka Kurniawan. Banyak ko mentar dan pujian dari berbagai pihak atas prestasi Han Kang pada novel yang ditulisnya di tahun 2007 lalu ini. Salah satun
ya komentar yang dilontarkan oleh De groene Amsterdamer, “Godaan Erotis buku ini tercipta dari adegan-adegan puitis di dalamnya. Adegan-adegan itu menggairahkan sekaligus mence kam; novel ini seperti sekamar penuh bunga raksasa yang mer upakan aroma merangsang”.
Novel Vegetarian berhasil mengecoh pembaca dengan judul yang melabelinya. Pembaca akan dibuat kecewa apabila berharap mendapat wejangan hidup sehat ala vegetarisme usai membaca novel ini. Karena novel tidak fokus berkisah soal vegetarisme. Alih-alih menjumpai vegetarisme sebagai gaya hidup sehat, kita justru akan dipertontonkan oleh peristiwa mengejutkan perihal obsesi seorang perempuan untuk menjadi seorang vegetarian.
Novel dibuka dengan kisah kehidupan rumah tangga yang sederhana dan biasa-biasa saja. “Aku menikahi dia karena dia tampak tak memiliki pesona ataupun kekurangan khusus. Aku merasa nyaman dengan sifatnya yang biasa-biasa saja, yang tan pa daya pukau atau kesegaran”. Hingga suatu ketika vegetarisme atau lebih tepatnya obsesi untuk menjadi vegetarian datang pada Yeong Hye, menyebabkan rumah tangga Yeong Hye dan suami bermasalah. Dan berujung pisah.
Kekacauan berawal dari mimpi buruk yang dialami oleh Kim Yeong Hye. Mimpi yang menjadikannya terobsesi untuk menjadi seorang vegetarian. Mimpi yang berkisah pada pem bunuhan, daging, dan darah. “Tanganku berlumur darah. Bibirku berlumur darah. Mungkin aku memakan bongkahan daging yang terjatuh di lumbung itu. Mungkin darah merah dari daging mentah yang empuk melumuri gusi dan langit-langit mulutku.”
Vegetarianisme yang dialami Yeong Hye memang tidak lazim. Berasal dari mimpi, tidak menoleransi makanan apapun selain nabati, hingga alergi pada bau daging. Alergi pada bau daging juga ia gunakan sebagai dalih untuk berhenti berhubun gan badan dengan suaminya. Malang betul suami Yeong Hye. Hal tersebut diperparah dengan kondisi tubuh yang semakin buruk. “Ia semakin kurus hari demi hari. Padahal, sebelumnya tulang pipinya sudah menyembul dengan menyedihkan. Kulitn ya terlihat pucat seperti orang sakit jika tidak sedang berdandan.” Peristiwa mencekam selanjutnya terjadi di meja makan keluarga, kegilaan Yeong Hye semakin menjadi-jadi. Keluarga sangat prihatin terhadap kondisi Yeong Hye, hingga akhirnya ayahnya yang temperamental memaksa menjejalkan daging babi asam manis ke mulut Yeong Hye yang memberontak dengan penuh penderitaan. Peristiwa mengejutkan terjadi di hadapan keluarga besar. “Istriku memperhatikan tatapan-tatapan orang yang memandanginya dengan rahang terkatup. Istriku menga cungkan pisau. Darah menyembur dari pergelangan istriku sep erti air mancur.” Tidak tahan dengan tingkah aneh istrinya, nov el bagian pertama ini berakhir pada menghilangnya jejak suami di cerita ini.
Godaan Erotisme
Memasuki bagian kedua novel, pengisahan soal keganjilan vegetarianisme Yeong Hye mulai memudar. Sudut pandang ka kak ipar Yeong Hye memiliki peran utama pada kisah-kisah se lanjutnya. Kakak ipar Yeong Hye adalah seorang seniman yang memiliki obsesi besar untuk membuat sebuah video eksperi
KOREA
mental. Kakak ipar Yeong Hye dibayangi oleh tanda lahir biru di bokong adik iparnya yang ia dengar dari istrinya. Ia berpikir tubuh indah Yeong Hye adalah model paling sempurna untuk videonya. Dengan tanda lahir serupa bunga di bokongnya. Ia membayangkan sepasang tubuh berlukis bunga-bunga meliuk, menari, dan berhubungan seksual sangat indah. Imaji nasi berujung nyata, sepasang tubuh bunga-bungaan yang berse nang-senang itu adalah Yeong Hye. Sedang pemeran laki-laki pada akhirnya adalah kakak Ipar Yeong Hye sendiri. Bunga-bungaan adalah citra erotisme yang dimasukkan Han Kang pada novelnya. Pantas jika De groene Amsterdam er di awal berkomentar, “novel ini seperti sekamar penuh bunga raksasa yang merupakan aroma merangsang.” Adegan-adegan puitis-erotis yang dikisahkan Han Kang dalam novel Vegetarian akhirnya menjadikan novel ini layak jika diberi label ‘novel de wasa atau untuk pembaca 21+'. []
Buku: Vegetarian karya Han Kang (Penerbit Baca, 2017).
Puisi
Di Ujung Bulan Hujan Ardyon Steville
Kau datang tepat jam sepuluh malam, matamu lelah, lengan dan dadamu penuh luka. Luka bakar, luka tikaman, luka puku lan, luka-luka yang diakibatkan oleh keramaian musim hujan yang panjang. Kau katakan kalau jalan-jalan sepanjang kota ini telah luruh, kekeliruan ditulis dan ditiru secara serampangan lalu kau tersenyum lebar. “Aku akan sangat berbahagia,” katamu, sebab kau tak akan lagi melihat kelabu pada sepasang mata mendungku dan senja yang teramat lelah pada kita hingga membuat langit kelam. Kau mendoakanku bahagia di bawah kaki langit di ujung bulan hujan ini, sebab aku akan jadi murba di musim kemarau yang terus membuat warta rindu sebuah pintu yang tak lagi terden gar suara ketukan untuk mengatakan, “aku pulang.”
Kau biarkan sekujur tubuh dirundung kuyub, lalu kau memba kar api dan tersedu, “jika tidak karena lukanya kita telah sirna, menua, dan sia-sia.”
Kau menarik lengan bajuku dan berbicara lirih, berdamailah dalam segala ketiadaan kita, dengan takdir yang bergurau pada ranah paling hirau dan bercelaru yang sesungguhnya itu adalah gurauan tuhan pada satu bentuk kebaikan yang pernah kita tertawakan.
Mati Asmahan Aji Rahmania
Rindu bertamu
Susah bertemu
Kau teka-teki
Aku buntu
Kau di utara
Aku peta bodoh
Kau lautan
Aku mengapung
Aku memarahi kematian
Apakah ia menciptakan atau justru menghilangkan jarak?
Jepara, 28-07-2018
Lampu Teplok
Agung Prayoga
Dahulu emak suka meniup api korek sebelum redup lampu teplok menyala kadang, lampu teplok suka lupa diisi minyak oleh emak sehingga nyala tidak sampai habis sumbu, sebelum habis cahaya mataku.
Barangkali, telah tumpah minyak di keluasan mata laut emak. 2017
68
Kepada Narti
Aziz Afifi
Kepada Narti
Saat aku murung
Kau tiba-tiba pergi
Dan aku kehilangan namamu
Jadi segera kabar-kabar menuntut pisah
Aku mencatat semua hal yang kumau dan kubisa
Di pualam, orang-orang sibuk menyelesaikan namamu
Mengeja dengan wajah murung yang serupa.
Dari yasin
Dari segala panca angin
Dan ingin segera saat kau di sana
Aku meneleponmu
“apa kabarmu di surga, mbak?”
2018
Perempuan dalam Dunia Sastra
Teks sastra yang ditulis laki-laki dan perempuan akan memiliki perbedaan yang kentara. Para penulis perempuan beranggapan kalau laki-laki tidak dapat mewakili perempuan, karena laki-laki bukan perempuan. Hanya perempuan yang paham dunia macam apa yang ada dalam pikiran dan diinginkannya. BSE berupaya menyuguhkan wacana mengenai bagaimana sastra mengulik perempuan. Dengan harapan, terjadi pertemuan ide dan paham dari redaksi kepada pembaca
Dikeluarkan oleh: Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi Univeritas Islam Negeri Walisongo Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan, Kota Semarang
Beranda Sastra Edukasi Suburkan Taman Jiwa