11 minute read

Edusket - 05

Next Article
Surat Pembaca

Surat Pembaca

DOK. INTERNET

Korban kekerasan seksual di kampus juga belum bisa mendapat ruang aman setelah mereka melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.

Advertisement

berhadapan dengan trauma yang dialaminya sekaligus harus menyelesaikan tugas akhir dengan orang yang telah melecehkannya, yang merupakan dosen pembimbingnya sendiri.

Kasus yang dialami CA di atas membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak akan berdampak apapun terhadap dirinya sendiri. Pelaku memiliki kuasa atas korban, sehingga korban tidak memiliki daya untuk melawannya. Posisi pelaku sebagai dosen pembimbing korban juga akan membuat korban dalam posisi yang serba salah dan harus menyimpan traumanya sendiri.

Pada kasus lain di tahun 2017, kekerasan seksual diungkap oleh Balairung Press Universitas Gajah Mada (UGM) dengan laporan berjudul “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan.” Laporan ini membuktikan bahwa korban kekerasan seksual di kampus juga belum bisa mendapat ruang aman setelah mereka melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami. Dalam kronologi kasus yang dialami penyintas, kekerasan seksual terjadi saat korban sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pasca melaporkan pelecehan itu, penyintas disarankan oleh orang-orang di sekitarnya agar menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Bahkan, Dewan Pembimbing Lapangan (DPL) malah menyalahkan penyintas bahwa ia juga turut bersalah atas pelecehan tersebut, atau dengan kata lain mereka melakukannya karena suka sama suka. Selain itu, penyintas menyayangkan

bahwa pelaku, yaitu HS, tidak langsung dikenai sanksi drop out oleh pelecehan yang dilakukannya. Hingga saat KKN-nya telah selesai, ia mendapat nilai C. Pihakpihak yang mengetahui kasusnya tidak sepenuhnya memihak kepada penyintas. Banyak yang menyalahkan dan menganggap bahwa kasus ini bukanlah kasus yang berat sehingga tidak bisa membuat pelaku dikeluarkan secara tidak terhormat dari kampus.

Hal ini menunjukkan bahwa penyintas kekerasan seksual di kampus juga bisa menjadi korban victim blaming; pelaku bisa memutarbalikkan fakta dan membuat penyintas seolaholah juga bersalah dan turut andil dalam terjadinya pelecehan tersebut. Tidak adanya respon oleh pihak kampus, ancaman, dan bahkan hinaan orang-orang sekitar harus menjadi hal yang mau tidak mau harus dihadapi oleh penyintas ketika melaporkan pelecehan. Oleh karena itu, tidak sedikit penyintas kekerasan seksual di perguruan tinggi memilih untuk bungkam.

Kampus Harus Menjadi Ruang yang Aman

Amat disayangkan jika kampus ternyata tidak bisa menjadi ruang aman dan tidak mampu melindungi mahasiswa dari predator seksual. Baik pelecehan secara fisik maupun secara verbal tetaplah hal yang dapat membuat penyintas trauma dan menganggap bahwa kampus adalah tempat yang menakutkan. Dalam hal ini, regulasi perihal kekerasan seksual di perguruan tinggi harus segera ditindaklanjuti. Menyediakan perlindungan yang seaman-amannya bagi penyintas adalah kewajiban. Begitu pula, pelaku kekerasan seksual harus mendapat sanksi yang berat terhadap apa yang telah dilakukannya. [E]

Penyintas kekerasan seksual di kampus juga bisa menjadi korban victim blaming; pelaku bisa memutarbalikkan fakta dan membuat penyintas seolaholah juga bersalah dan turut andil dalam terjadinya pelecehan tersebut.

RISMA | EDUKASI

Pandemi Uji Pendidikan ABH

Oleh: Novi Karisma, Kru LPM Edukasi 2017

AZZAM merengek di hadapan ibunya. Anak berkebutuhan khusus itu mengaku bosan setiap hari harus belajar meski sedang berada di rumah. Yang dia tahu, namanya belajar ya di sekolah. Padahal, sejak kasus Covid-19 semakin tinggi, pembelajaran tatap muka di lembaga pendidikan ditiadakan.

Meskipun begitu bukan berarti sekolah libur. Pada masa pandemi ini, proses pembelajaran dilakukan secara online, di mana guru dengan siswa tidak bertemu secara langsung demi mencegah penularan virus. Pembelajaran jarak jauh mengandalkan pemanfaatan teknologi digital.

Namun, tidak semua sekolah mampu menyesuaikan sistem pembelajaran tersebut dengan cepat. Apalagi bagi sekolah luar biasa (SLB) yang mempunyai anak didik dengan keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Saat pandemi, SLB dihadapkan pada banyak permasalahan baru. Antara lain ketidaksiapan guru sebagai pembimbing anak dalam melaksanakan pembelajaran online yang inovatif. Juga orang tua yang kurang menguasai teknologi untuk menunjang belajar di rumah serta minimnya pemahaman mereka terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Salah satu guru di SLB Negeri Semarang, Sklera mengaku sempat kesulitan pada masamasa awal ditetapkannya pembelajaran jarak jauh. Kata dia, saat pembelajaran masih dilakukan dengan gaya konvensional saja, butuh kerja ekstra untuk mendampingi anak memahami suatu materi pelajaran, apalagi pada masa transisi sistem belajar seperti sekarang.

Beruntung sedikit demi sedikit keterbatasan guru mampu teratasi setelah mengikuti beberapa pelatihan yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Guru diajari bagaimana menggunakan teknologi digital sebagai media pendukung pembelajaran jarak jauh.

“Lewat pelatihan itu kami mulai memahami fitur penunjang pembelajaran seperti Google Form, Google Classmeet, Ms teems, dan Zoom Meeting. Terakhir diajari membuat video untuk variasi pembelajaran,” ujar Sklera saat diwawancarai pada 24 Februari 2020.

Selama pandemi, pembuatan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) di SLB Negeri Semarang tetap mengacu pada kurikulum nasional. Namun, karena pembelajaran dilangsungkan di rumah, terpaksa kurikulum lebih disederhanakan.

SLB Swasta Miris

Problem yang lebih besar dirasakan SLB swasta. Seperti yang diceritakan guru SLB Dharma Mulia

DIGENDONG: Joko Widodo, Presiden Indonesia, menggendong siswa penyandang disabilitas dari Sukabumi, Mukhlis Abdul Halik di sela-sela Peringatan Hari Disabilitas Internasional Tahun 2018 di Bekasi, Jawa Barat (03/12/2018) ANTARA-Puspa Perwitasari

Semarang, Yudo Waskito. Menurutnya, sekolah tempatnya mengajar mengalami banyak kendala dalam penerapan pembelajaran jarak jauh.

“Permasalahan sejak awal itu banyaknya guru yang kurang menguasai aplikasi pendukung terkait pembelajaran online,” ungkapnya.

Yudo tidak menampik adanya pelatihan yang difasilitasi dinas pendidikan setempat. Namun, pelatihan tersebut sifatnya terbatas, tidak menjangkau semua guru. Apalagi ada guru yang meskipun sudah mendapat pelatihan tetapi masih kesulitan menerapkan metode belajar gaya baru.

“Kemampuan minim, tidak bisa menyesuaikan. Kebanyakan guru di sini sudah tua-tua jadi penyesuaian teknologi tidak bisa dipaksa,” ujarnya.

Praktis, pembelajaran jarak jauh di SLB Dharma Mulia Semarang lebih mengandalkan aplikasi pesan singkat WhatsApp, kadang memakai Google Form. Sekolah tersebut menyadari pembelajaran seperti itu tidak bisa maksimal, apalagi melihat siswa-siswanya yang butuh pendampingan lebih.

Demi mengantisipasi ketimpangan itu, pihak sekolah melakukan home visit atau kunjungan guru ke rumah-rumah siswa. Sebenarnya terobosan ini bisa menjawab masalah yang ada, hanya saja visit home tidak bisa berjalan maksimal.

“Sesekali kami para guru melakukan kunjungan jika ada tugas dan pembelajaran yang belum maksimal pada anak-anak. Namun, itu tidak ada anggarannya dari pihak yayasan, sementara guru tetap butuh uang bensin dan lain-lain,” ucap Yudo.

Kepala Bagian Pembinaan Pendidikan Khusus pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Djoko N. Witjaksono menegaskan selama ini telah berupaya mendorong kelancaran proses pembelajaran jarak jauh, baik di SLB negeri maupun swasta.

Upaya itu antara lain diwujudkan dengan memberi guru pelatihan menyongsong pembelajaran berbasis digital serta memastikan gaji guru tidak

DOK. INTERNET

Dalam surat edaran itu, Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.

terhambat. “Home visit yang dilakukan guru itu sebenarnya juga kami beri akomodasi,” papar Djoko.

Ortu Jadi Guru

Selain guru, pihak yang juga harus memahami konsep pembelajaran jarak jauh adalah orang tua siswa. Apalagi siswa berkebutuhan khusus yang dalam proses belajar membutuhkan pendampingan. Saat pembelajaran dilangsungkan di rumah, otomatis orang tua yang paling direpotkan.

Sebagai orang tua sudah saatnya berperan aktif menjadi garda terdepan dalam menjalankan roda pendidikan dalam proses pembelajaran di rumah, menjadi nahkoda yang andal dalam mendampingi buah hati mengarungi masa-masa darurat virus ini.

Penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Siti Mubarokatut Darojati mengungkapkan, peran orang tua sebagai pendidik dalam proses pembelajaran jarak jauh belum dapat direalisasikan secara maksimal. Beberapa orang tua terkendala karena harus bekerja.

Namun, hasil penelitian itu juga mengemukakan bahwa ada orang tua yang masih bisa berperan dengan baik dalam kegiatan belajar anaknya meskipun mereka mempunyai kesibukan bekerja. Kuncinya adalah komitmen orang tua untuk meluangkan waktu.

Siap tidak siap, orang tua memang harus menjadi guru di rumah. Namun bukan berarti mereka kudu memaksakan diri untuk menguasai semua pelajaran anak. Yang harus dilakukan adalah menemani anak belajar dan mengomunikasi dengan pihak sekolah jika dirasa ada yang kurang maksimal.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah membuat kebijakan agar pembelajaran jarak jauh bisa berjalan lancar tanpa membuat guru, siswa, dan orang tua siswa terbebani secara berlebihan.

Pada 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Di dalamnya ada pembahasan yang fokus mengenai kebijakan pembelajaran dari rumah.

Dalam surat edaran itu, Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.

Pembelajaran jarak

jauh difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa mengenai pandemi Covid-19. Adapun aktivitas dan tugas pembelajaran dapat bervariasi, sesuai minat dan kondisi masingmasing siswa. Bukti aktivitas belajar diberi umpan balik yang bersifat kualitatif, tanpa diharuskan memberi nilai kuantitatif.

Pacu Prestasi

Pentingnya peranan guru dan orang tua dalam mendidik anak menjadi kunci suksesnya pembelajaran jarak jauh. Haerudin dkk dalam Pembelajaran di Rumah sebagai upaya Memutus Covid-19 mengungkap, peran orang tua bahkan turut andil dalam meningkatkan prestasi siswa.

Kata Haerudin, orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan buah hatinya dapat menyebabkan anak kurang berhasil dalam belajar. Sebaliknya, orang tua yang selalu memberi perhatian, dapat membuat anak lebih giat dan hasil belajarnya optimal.

Tidak bisa dipungkiri, keterbatasan secara kognitif menjadi hambatan terberat bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat menangkap materi yang diajarkan. Belum lagi jika lingkungan pendidiknya kurang mendukung.

Anak yang kadang dipandang sebelah mata ini sebenarnya mempunyai keistimewaan. Namun, guru hingga orang tua harus benar-benar memahami apa kebutuhan mereka serta potensi bakat apa yang bisa dikembangkan. Pendidikan yang tepat dapat mengantarkan anak berkebutuhan khusus mencapai puncak prestasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Di Jawa Tengah, ada SLB yang berhasil menyalurkan siswanya yang berkebutuhan khusus menuai prestasi meski di tengah pandemi Covid-19. Ialah SLB Ma’arif Muntilan, Magelang. Ada siswa yang meraih juara 3 hafalan Al-Qur’an MTQ tingkat Jawa Tengah, ada yang juara vokal nasional tingkat SD tahun 2020, ada pula yang mewakili kejuaraan sepak bola putri sampai di India.

Pada ajang Lomba Keterampilan Siswa Nasional Anak Berkebutuhan Khusus (LKSN-ABK) Tahun 2020 yang digelar Pusat Prestasi Nasional Kemendikbud RI, ada beberapa siswa dari Jawa Tengah yang berhasil menggondol juara.

Siswa SLB Negeri Cilacap menjadi juara 1 cabang lomba membatik; siswa SLB Negeri Kota Magelang meraih juara 1 lomba kecantikan; siswa SLB Negeri Tamanwinangun Kebumen juara 1 lomba merangkai bunga; tiga siswa SLB Negeri Sukoharjo meraih juara 1 cabang lomba kreasi barang bekas, juara 1 lomba hantaran, dan juara harapan 2 lomba teknologi informasi.

Perlu diketahui, para pemenang LKSN-ABK periode sebelumnya telah diikutsertakan dalam kompetisi internasional. Pada ajang 10th Penang International Halal Chefs Challenge 2019 di Malaysia, mereka meraih 3 medali perak dan 1 perunggu. Sedangkan di Chicago Amerika Serikat, satu peserta mendapatkan penghargaan pada acara Education Summit Cidesco World Congress.

Namun, tidak semua hal harus diukur dengan capaian prestasi. Menyitir penyataan Mendikbud Nadiem Makarim, tak hanya prestasi yang membuat seseorang menjadi sukses meraih cita-cita tetapi juga karakter yang kuat, karater dalam bernalar kritis, kreatif, mandiri, gotong royong serta bertakwa, dan berakhlak mulia.[E]

DOK. INTERNET

Kematian Kecil Sekolah

Ahmad Aam, Lulusan sarjana Manajemen Pendidikan Islam. Kini sedang bergiat di bacabukumu.id

Dzihan, adik saya paling kecil, yang kini tengah duduk di kelas tiga sekolah dasar selalu punya beragam alasan untuk tidak menggarap setiap tugas pemberian gurunya; ia bisa tiba-tiba sakit perut, kakinya pegal, punya janji bertemu kawan, dan masih banyak lagi. Pagi ini, tak hanya berdalih janji bertemu kawan, bahkan baru rampung satu nomor soal, air matanya telah menjadi mata air. Tentu saja itu senjata ampuh betul: tak seorang pun akan memaksanya lagi.

Semenjak pandemi, telah berbulanbulan sekolahnya diliburkan dan beralih “belajar di rumah”. Daring dipilih sebagai alternatif belajar. Namun, negara ini begitu pelit (atau miskin?); tak satu pun bantuan teknologi penunjang belajar daring diberikan.

Dzihan masih kelas dua ketika itu, dan selama ujian kenaikan kelas, setiap orang di rumah adalah pengingat: “Besok ujian, kau mesti bangun pagi.” Tapi itu hanya pengingat bernasib sama seperti dering alarm yang sengaja tak diacuhkan. Esoknya ia masih molor hingga pukul sepuluh pagi. Barulah, selepas ribut-ribut kecil, ia mulai menggarap pekerjaannya—tepatnya menuliskan jawaban yang didikte mbakyunya. Tapi ia masih mending mau menulis sendiri; tugas-tugas salah satu temannya malah dikerjakan dan dituliskan sekaligus oleh orang lain.

Meski semasa ujian kenaikan kelas terjadi sedikit “drama”, Dzihan tetap naik ke kelas tiga dengan mudah, semacam beroleh give away—semua berkat Covid-19.

Di kelas tiga—lewat daring—ini, ia dijejali tugas terus-menerus oleh gurunya. Slogan guru itu barangkali seperti ini: “Tidak diberi tugas, maka murid tidak belajar.”

Namun, belajar daring tak semulus yang dibayangkan.

Dzihan cukup beruntung, ada tiga ponsel pintar di rumah, jadi ia tak kesulitan beroleh info tugas-tugas dari sekolah. Berbeda dengan murid lain yang betul-betul tak punya ponsel pintar di rumah; tentu saja ia bakal kesulitan,

DOK. INTERNET

Kesenjangan di sekolah amat nyata. Dan kekerasan simbolik— sebuah pemikiran Pierre Bourdieu—itu memang nyata adanya. Meski demikian, sekolah telah kadung digadanggadang menjadi penjamin belajar manusia.

ditambah solusi sang guru yang tak membantu, “Bila tak punya ponsel pintar bisa pinjam milik teman.” Aneh betul kata-kata itu. Ia sertamerta lepas tangan, seperti pemerintah.

Di rumah Dzihan, setiap orang ialah lulusan sekolah— minimal sekolah menengah atas. Itu keberuntungannya yang lain dan sedikit-banyak membantunya memahami setiap apa yang ditugaskan. Namun, bagaimana dengan murid lain, yang orang tua atau kerabatnya tak sekolah sama sekali? Tentu saja urusannya bakal pelik.

Sementara di daerah lain, tak jauh dari rumah saya, ada Dimas, seorang siswa sekolah menengah pertama yang lebih tidak beruntung. Ihwal persoalannya, orang tuanya tak mampu membeli kuota internet—mereka tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Walhasil, ia mesti berangkat ke sekolah untuk belajar tatap muka, seorang diri, tanpa temantemannya.

Telah memiliki ponsel beserta kuota internet, tetapi tak ada sinyal, merupakan masalah lain yang dialami banyak murid di belahan pulau lain—sesuatu yang tampaknya tak diketahui oleh Nadiem Makarim.

Barangkali Dzihan, Dimas, dan banyak murid lain tak seberuntung orangorang kaya—pastilah masalah-masalah di atas tak dirasakan sama sekali—yang enteng saja membeli segala penunjang belajar.

Kesenjangan di sekolah amat nyata. Dan kekerasan simbolik—sebuah pemikiran Pierre Bourdieu—itu memang nyata adanya. Meski demikian, sekolah telah kadung digadanggadang menjadi penjamin belajar manusia. Dan pada hari ini, setiap orang takut tidak sekolah.

Peliknya lagi, orang-orang

This article is from: