23 minute read

KOLOM Disuit-suit- 08 Perguruan

Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang marak akhir-akhir ini adalah rahasia umum yang telah banyak diketahui. Namun sayangnya, perguruan tinggi masih belum punya prosedur dan regulasi yang jelas terkait penanganannya.

BACA SELENGKAPNYA DI

Advertisement

LAPORAN UTAMA Abu-Abu Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi -12

DAFTAR ISI

Dari Kami - 01 Surat Pembaca - 02 Daftar Isi - 04 Edusket - 05 & 21

FOKUS Tindak Tegas Predator Kampus- 06 KOLOM Disuit-suit- 08 Perguruan Tinggi untuk Penyandang Disabilitas- 50

MUKADIMAH - 11 LAPORAN UTAMA

Abu-Abu Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi -12 Pandemi Uji Pendidikan ABH-22

ARTIKEL Bayang-Bayang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi- 18 Kematian Kecil Sekolah- 26 Rantai Diskriminatif di Instansi Pendidikan-44 SEMARANGAN Makam Sunan Kuning yang Kian Terlupa 30 KAJIAN ISLAM Islam dan Upaya Menjaga Lingkungan Dari Meja Makan - 36 LAPORAN KAMPUS Pembangunan Akbar Sepanjang Sejarah UIN Walisongo Semarang - 39 LENSA Tembakau-47 SUARA MAHASISWA Dilema Aktivis Mahasiswa dan Mahalnya biaya Kuliah - 52 BUDAYA Batik Tiga Negeri - 54 PUJANGGA Subagio Sastrowardoyo Pernah Menyair Dulu - 57 SASTRA Ikatan Kecil - 62 Insomnia - 74 DIORAMA - 66 RESENSI Merayakan Keremehtemehan - 68 Tuhan dan Perbudakan - 69 NUSANTARA Bimbel Online - 72 SILUET Mereka Masih Sendirian - 75

RISMA | EDUKASI

TINDAK TEGAS PREDATOR KAMPUS!

Pada akhir 2018 publik digemparkan dengan kasus yang dikuak oleh Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BP2M) Balairung Universitas Gajah Mada (UGM). Balairung menelusuri desas-desus kekerasan seksual yang terjadi saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dari penelusuran tersebut, mereka menemukan fakta bahwa kasus kekerasan seksual itu benar dialami oleh salah satu mahasiswi, dan pelakunya sesama mahasiswa peserta KKN lainnya. Yang kemudian diterbitkan dalam sebuah laporan dengan judul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.

Dari laporan itu dapat dilihat ada nalar pincang yang dipakai UGM dalam menangani kasus kekerasan seksual. Ini juga membuktikan UGM tidak tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual.

Selain kasus di UGM tersebut masih ada banyak kasus kekerasan seksual di kampus lain yang tidak diketahui oleh publik. Hal ini mengundang banyak simpati media untuk menelusuri lebih jauh. Kemudian Tirto.id, The Jakarta Post dan Vice membuat proyek bersama dengan sebuah tagar #NamaBaikKampus. Mereka berupaya mengumpulkan testimoni dari para penyintas kekerasan seksual di kampus.

Ketiga media itu mengacu RUU PKS untuk mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam sebuah testimoni. Bentuk-bentuk tersebut di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Lewat formulir testimoni yang telah dibuka akses ke publik dan disebar ke masing-masing media sosial yang terlibat kolaborasi, sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019, terdapat 207 orang yang memberikan testimoni. Dari 207 testimoni itu, tidak semuanya masuk ke dalam kategori kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Ditemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Yang mengkhawatirkan adalah di antara para penyintas, sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus: hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen. Sementara separuh dari 174 penyintas lebih memilih bungkam.

Ini menunjukkan bahwa kampus tidak menjadi ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Para penyintas hanya bisa bungkam dan menutupi kejadian yang dialami. Pengalaman buruk itu disimpan sendiri, tak ada yang tahu. Alasan utamanya karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir dianggap berlebihan. Selain itu, relasi kuasa yang timpang juga menjadi pemicu, apabila yang menjadi pelaku memiliki jabatan lebih tinggi atau senior dalam sebuah organisasi, otomatis penyintas tidak memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya.

Semua itu karena Perguruan Tinggi tidak mempunyai regulasi yang jelas terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual. Bahkan tak jarang kampus masih menganggap bahwa kasus kekerasan seksual merupakan hal yang tabu dan harus diselesaikan dalam ranah privat. Seringkali pihak kampus sengaja menutupi agar tidak mencoreng nama baik kampus. Alhasil alih-alih melindungi korban, kampus lebih terkesan melindungi pelaku.

Sementara itu Kemenristekdikti sebagai pemangku kebijakan paling tinggi absen terhadap permasalahan ini. Mereka masih beralasan bahwasanya sistem pendidikan tinggi yang dianut Indonesia bersifat otonom. Artinya, penyelesaian persoalan kemahasiswaan, termasuk kekerasan seksual, merujuk pada statuta kampus masing-masing, yang di dalamnya berisi kode etik seluruh civitas academica, seolaholah mereka saling lempar tangan. .

Dari laporan-laporan yang kami kaji ada tiga faktor yang membuat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus terus terjadi. Pertama, pihak kampus tidak memiliki posko pengaduan untuk melapor terkait kasus kekerasan seksual. Kedua, tidak ada sanksi yang jelas terhadap pelaku. Dan ketiga, tidak ada pendokumentasian. Ketiga hal inilah yang absen di perguruan tinggi.

Harusnya Kemenristekdikti bersama dengan civitas academika kampus mulai mengisi kekosongan aturan tersebut. Dari membuat regulasi yang jelas hingga advokasi terhadap para penyintas. Karena perlindungan korban dan penindakan secara tegas predator kekerasan seksual adalah kunci utama untuk menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan aman. [E]

LAPORAN UTAMA:

Ada dua penyintas kekerasan seksual yang redaktur LPM Edukasi temui di UIN Walisongo. Penyintas pertama adalah mahasiswa, sedangkan pelakunya merupakan mahasiswa kakak tingkat yang juga seniornya di sebuah organisasi. Akibatnya penyintas mengalami trauma, dan akhirnya sudah tidak lagi aktif di organisasi yang diikuti. Penyintas kedua adalah mahasiswa yang dilecehkan oleh dosen pembimbingnya pada pertengahan 2019 ketika bimbingan skripsi. Sayangnya, karena kedua korban tidak tahu regulasi yang jelas terkait penanganan kasus kekerasan seksual di UIN Walisongo keduanya belum mendapatkan keadilan hingga kini.

Selain laporan utama tersebut kami juga memperkaya bahasan tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi dengan jenis tulisan lain. Selamat membaca!

DISUIT-SUIT

DOK. INTERNET

“Suit-suit, cewek, mau ke mana?, duh manisnya, senyum dong”. Apakah kamu pernah dilontari ungkapan semacam itu oleh orang yang tidak kamu kenal? Di jalan atau di mana saja. Jika pernah, itu namanya catcalling. Dalam hidup saya pernah mengalaminya lebih dari sepuluh kali. Bahkan terkadang tidak hanya disuitsuit, diberi siulan, dipanggil Mbak, Mbak, diminta tersenyum atau dikedipi saja, tapi juga pernah dilempari kata-kata cabul.

Yang getir dan pahit memang sulit dilupakan. Begitulah, luka psikis korban pelecehan seksual mungkin akan diingat seumur hidup. Sampai sekarang, saya masih ingat betul kalimat demi kalimat itu. Saya paling banyak mengalami catcalling di jalan, di bus, saat bepergian menggunakan motor juga saat berbelanja ke toko kelontong yang hanya sepelemparan batu dari indekos. Padahal saya tidak pernah mengundang untuk dilecehkan. Saya menutup semua tubuh saya kecuali wajah, tangan dan kaki.

Saya rasa-rasa, akan ada dua kemungkinan jika saya bercerita tentang kejadian itu pada orang lain. Kemungkinan pertama, seseorang akan berada di pihak saya. Mereka akan berkata, perbuatan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Kemungkinan kedua, saya akan dinasehati, “makanya jadi perempuan jangan pergi sendiri, dan bla bla, bla”. Bahkan tidak menutup kemungkinan, saya akan disalahkan.

Hingga pada suatu hari, saat minum kopi bersama salah satu teman perempuan semasa kuliah, saya menceritakan tumpukan pengalaman pahit itu padanya. Teman saya memberi respon yang tak terduga. Ia malah menceritakan kejadian pahit yang dialaminya. Ia juga pernah mengalami catcalling saat pulang kerja, dan bukan itu saja, pelecehan verbal itu disusul dengan pelecehan secara fisik. Tentu kejadian itu menimbulkan trauma. Ia terpukul. Tapi karena malu dan takut, ia tak pernah menceritakan kejadian tersebut pada siapapun sebelumnya

Malu dan takut itu tentu saja beralasan, kita tahu bersama bahwa masyarakat memang masih sering melakukan victim blaming atau menyalahkan korban. Tak jarang masyarakat juga masih mengaitkan pelecehan seksual itu terjadi karena gaya pakaian yang dikenakan oleh korban, fenomena ini biasa disebut dengan culture rap.

Faktanya, pada sebuah eksebisi yang dilakukan oleh Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman (KITABISA) pada 2019 lalu, menunjukkan tidak ada korelasi antara gaya berpakaian dengan penyebab seseorang bisa mengalami pelecehan seksual. Gelaran tersebut menunjukkan pakaian korban pelecehan seksual, ada yang saat itu memakai rok mini, kemeja, baju kerja, seragam sekolah, juga pakaian muslimah dengan kerudungnya.

Mundur beberapa waktu, Belgia juga telah

melakukan eksebisi semacam. Rata-rata pakaian korban pelacehan seksual adalah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan, bahkan ada juga pakaian anak-anak. Hal itu juga ditegaskan oleh survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (2019), bahwa memang tak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan dengan pelecehan seksual.

Gap Antar Gender

Dari pembicaraan itu, kami sepakat bahwa catcalling tidak bisa dianggap enteng. Apalagi pelecahan dan kejahatan seksual. Hal itu dibenarkan oleh sebuah data bahwa, hampir semua perempuan pernah mengalami pelecehan verbal.

Catcalling paling sering terjadi di jalanan dan ruang publik, atau istilahnya street harassment. Tentu bukan iseng, bukan canda, bukan ungkapan menunjukkan kekaguman melainkan pelecehan. Hal itu tentu sangat mengganggu. Di sisi lain, bisa saja menimbulkan ancaman bagi korban.

Lantas siapa yang bisa menjadi korban? Catcalling memang paling banyak dialami oleh perempuan. Tapi tidak menutup kemungkinan, bahwa kejatahan verbal itu dapat dialami oleh laki-laki, mesti kasusnya sangat jarang. Bahkan, ketika hal itu terjadi, korban yang seringkali perempuan merasa tidak tahu bagaimana mereka harus bereaksi. Lebih banyak dari mereka memilih diam.

Seseorang melakukan catcalling karena ada ketimpangan relasi kuasa dalam suatu masyarakat tersebut. Alasan lain, karena ada dorongan hasrat untuk mencari perhatian. Ditambah lagi Indonesia masih lekat dengan budaya machoisme dan patriarki. Sehingga catcaller, pelaku catcalling, dengan enteng menganggap perbuatannya sebagai suatu keisengan dan itu sah-sah saja dilakukan. Bahkan diujarkan secara spontan dan setelah itu mereka akan segera melupakan perbuatannya. Ironisnya mereka melakukannnya dengan sangat bangga.

Catcalling merenggut rasa nyaman dan aman di ruang publik, serta menimbulkan was-was jika bepergian sendiri. Perempuan sebagai korban yang paling banyak akan merasa paling dirugikan, karena kebebasannya berada di ruang publik menjadi lebih sempit dibanding dengan laki-laki. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan hak semua orang terhadap ruang publik, baik laki-laki maupun perempuan. Di sini dapat kita lihat ketimpangan gender atau juga disebut sebagai diskriminasi terhadap kesetaraan gender masih saja tumbuh subur di Indonesia.

Payung Hukum di Indonesia

Jika diam-diam saja, bukan tidak mungkin jika catcalling berisiko menjadi kebiasaan dalam lingkungan sosial di Indonesia. Maka dari itu pekerjaan rumah kita bersama adalah bagaimana negara bisa membuat payung hukum yang tegas dan khusus.

Kita semua mungkin bisa sebentar menengok bagaimana negara seperti Belgia, Portugal, Argentina, Kanada, New Zeeland, Amerika Serikat menaggapi serius kejahatan ini. Sederet negara tersebut menetapkan tindakan catcalling sebagai bentuk kejahatan pidana. Tak tanggung-tanggung, negara seperti Perancis juga menetapkan denda bagi pelaku.

Lantas bagaimana di Indonesia? Permasalahan ini menjadi kompleks karena catcalling tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan dan kejahatan seksual sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 289-296. Perundang-undangan tersebut masih sangat terbatas bentuk dan lingkupnya.

Rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang digadang dapat menjawab fakta kekerasan seksual yang makin berkembang di masyarakat tak kunjung juga diteken dan disahkan. Dirasarasa negara memang terkesan setengah hati

Jika ada seseorang berjalan sendirian jangan diganggu atau diperkosa, jika memberikan seseorang tumpangan jangan memerkosa, selalu bepergian bersama teman Anda! agar mereka mengingatkan Anda untuk tidak memerkosa

untuk melindungi dan memberi keadilan korban pelecehan seksual.

Dalam rancangan undang-undang tersebut kekerasan seksual dibagi menjadi sembilan jenis tindak pidana, salah satunya adalah pelecehan seksual yang di dalamnya terdapat pelecehan secara verbal atau non fisik. Siulan, kedipan mata, ucapan dan komentar yang bernada sensual, dan lainnya merupakan bentuk dari pelecehan seksual yang dikategorikan sebagai tindakan non fisik. Hal itu tertuang dalam pasal 11 ayat 2, kemudian dijabarkan pada pasal 12 ayat 1.

Namun, RUU tersebut dianggap liberal oleh beberapa kubu. Mereka menganggap bahwa ada pasal-pasal yang tidak sesuai norma ketimuran. Hal itu berbanding terbalik dengan fakta makin menggunungnya kasus kekerasan seksual yang terjadi. RUU PKS genting untuk segera disahkan. Butuh digodok lagi, begitu kabar terakhir. Doa baiknya, semoga yang berwenang tidak jumud, lalu pelan-pelan rancangan RUU yang menurut Yenny Wakhid bisa melindungi perempuan itu tidak hilang perlahan.

Lalu kita tunggu saja, bagaimana negara ini akan mengurus soal itu. Sambil menunggu, kita mungkin punya alternatif untuk menyerukan penolakan terhadap segala macam bentuk pelecehan secara verbal. Contoh saja Noa Jansma, seorang remaja asal Amsterdam yang selalu mengajak catcaller berswafoto lalu mengunggahnya ke media sosial. Dalam unggahannya ia menjelaskan bahwa mereka (catcaller) telah melakukan pelecehan padanya. Semoga saja saat kamu membaca tulisan ini, RUU PKS sudah selesai diteken.

Yang kadang jadi anekdot, satu dua suara mengajak agar kita semua melakukan upaya preventif untuk menghindari catcalling pun kekerasan seksual lainnya. Misalnya nasihat lama ini, perempuan jangan keluar sendiri, perempuan jangan keluar malam, perempuan jangan pakai baju ketat-ketat. Lagi-lagi perempuan disudutkan.

Coba sekarang kita ubah. Beberapa kali saya menemukan meme menampar tapi dibuat lucu tentang tips menghindari pelecehan seksual. Begini bunyinya, jika ada seseorang berjalan sendirian jangan diganggu atau diperkosa, jika memberikan seseorang tumpangan jangan memerkosa, selalu berpergian bersama teman Anda! Agar mereka mengingatkan Anda untuk tidak memerkosa. Memang begitulah semestinya. Jadi orientasinya bukan ke korban yang mayoritas perempuan, melainkan titik fokusnya ke pelaku. Tabik untuk pembuat meme itu.

Tidak ada pemakluman untuk pelaku, catcaller,predator dan entah apa sebuatan yang pantas. Karena setiap bentuk kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.

Jadi, jika RUU PKS sudah disahkan, besok-besok jika kamu pergi sebentar untuk membeli gula di gang sebelah, kemudian segerombolan orang bersiul, menyeru suitsuit sambil tertawa merendahkan dan kamu merasa terganggu, kamu bisa menuntut keadilan untuk itu. Sekali lagi, bukan semata iseng, disuit-suit, catcalling atau semacamnya itu pelecehan, perbuatan itu melanggar HAM. Titik. [E]

DOK. PRIBADI Fitri Ulya Dewi

Lulusan sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Pernah menjabat sebagai sekertaris LPM Edukasi.

MUKADIMAH

Mendapat rasa aman adalah hak yang mutlak harus didapatkan oleh setiap orang. Hak merupakan segala sesuatu yang harus diperoleh dan melekat pada individu sejak lahir. Oleh sebab itu, hak seseorang untuk merasa tetap aman di mana pun ia berada adalah sesuatu yang mesti dilindungi. Tanpa terkecuali di lingkungan perguruan tinggi yang harusnya aman dari segala bentuk kekerasan seperti ancaman, paksaan, dan serangan dari predator seksual.

Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan seksual merupakan segala tindakan yang bertujuan dan diarahkan pada seksualitas seseorang dengan paksaan tanpa memandang status korban. Maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku tidak melalui consent atau persetujuan dari korban. Sehingga, korban mengalami kerugian dan merasa menderita baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosialnya.

Berdasarkan catatan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dari tahun ke tahun laporan terkait kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami kenaikan. Pada 2015 tercatat ada 3 laporan kasus kekerasan seksual. Meningkat pada 2016 menjadi 10 laporan, dan pada 2019 ada 15 aduan yang terlapor. Meskipun demikian, mereka mengamini bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lingkungan perguruan tinggi yang tidak dilaporkan. Indikasi lain bahwa perguruan tinggi belum menjadi tempat aman adalah temuan dari survei Mendikbud Ristek pada 2019, perguruan tinggi menempati urutan ke 3 lokasi yang sering terjadi kekerasan seksual setelah di jalanan dan transportasi dengan persentase 15 persen.

Kekerasan seksual di perguruan tinggi sering diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Di mana kasus yang mencuat di permukaan tak sebanding dengan yang berada di dalam. Artinya masih ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan. Lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi disebabkan pelaku merupakan orang terdekat, seperti dosen, mahasiswa, maupun karyawan. Mengatasnamakan “nama baik kampus”, kasus-kasus kekerasan seksual sering berakhir dengan ancaman dan agresi dari pelaku yang memiliki relasi kuasa untuk diselesaikan secara kekeluargaan alih-alih di jalur hukum. Terlebih lagi, budaya masyarakat yang misoginis dan seksis membuat penyintas yang kebanyakan adalah perempuan memilih diam dan tidak melapor atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Selain itu, sebab tidak adanya regulasi hukum yang jelas untuk mengatur kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi turut memperumit penyelesaian kasus. Tidak semua perguruan tinggi memiliki aturan terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Minimnya tempat pengaduan yang memihak penyintas, serta sering disamakannya kekerasan seksual dengan pelanggaran kode etik di perguruan tinggi membuat aturan semakin tidak jelas.

Akibatnya, penyintas tak memiliki akses untuk melakukan pemulihan atau penanganan psikologis atas trauma yang dialaminya. Apalagi tekanan dan teror yang diterima penyintas sebab relasi kuasa pelaku menimbulkan ketidakberdayaan dari para penyintas. Tentu saja ini berdampak dan menganggu penyintas ketika mengikuti proses perkuliahan yang berlangsung. Dalam hal ini, pelaku kekerasan seksual telah melanggar dan merebut ruang aman bagi penyintas sebagai hak asasinya dan sebagai peserta didik.

Sebab-sebab itulah, perlu adanya regulasi atau aturan yang mengatur tentang tindak kekerasan seksual khususnya di perguruan tinggi. Sehingga, perguruan tinggi yang merupakan lembaga pendidikan tempat para civitas academica berhak mendapatkan ruang belajar dan ruang aman yang bebas dari kekerasan dan predator seksual.[E]

Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang banyak disorot akhir-akhir ini adalah rahasia umum yang telah banyak diketahui. Namun sayangnya, perguruan tinggi masih belum punya prosedur dan regulasi yang jelas terkait penanganannya.

Di suatu waktu yang sudah ia lupakan, sekitar awal tahun 2016, M-bukan nama sebenarnya- mendapatkan pesan dari seseorang. Pesan itu berisi ajakan untuk bertemu di sebuah gedung kegiatan mahasiswa. Si pemberi pesan adalah kakak tingkatnya yang merupakan seniornya di salah satu organisasi yang diikuti oleh M.

Malam itu--tidak seperti biasanya--M pulang les privat sendirian. Biasanya ia bersama dengan seorang teman: sebab arah pulang dan tempat memberi les yang kebetulan sama. Dengan tak menaruh curiga apapun, ia pergi menemui senior yang baru saja memberinya sebuah pesan.

Gedung tempat berjanji bertemu adalah sebuah gedung dengan dua lantai. Gedung itu selalu ramai, meski di malam hari sekalipun. M memarkir motornya di depan gedung dan melihat banyak mahasiswa sedang bersenda gurau di sekitar gedung.

Berdasar pesan, si pemberi pesan meminta bertemu di lantai dua dan di ruangan paling pojok sebuah kantor organisasi. M mulai timbul curiga. Tapi karena M menganggap si pemberi pesan adalah seniornya yang harus dihormati, ia menyakinkan diri dan menepis sedikit keraguan yang ada di pikirannya. “Mengapa bertemu di ruangan pojok?” M hanya membatin.

Tidak berbeda dengan lantai satu, lantai dua juga ramai dengan mahasiswa di masing-masing ruangan. Tapi di ruangan paling pojok kala itu sepi. M mulai raguragu, akan tetapi lagi-lagi ia menepis segala keraguan. Tanpa rasa khawatir, ia masuk ruangan.

Pada awalnya, M dan seniornya hanya berbincang-bincang dalam keadaan berdiri berhadaphadapan. Selang beberapa waktu, seniornya mulai memegang tangan M dan

menggenggamnya. M mencoba menepis. Namun karena genggamannya begitu erat, M tidak bisa melepaskan diri. Berkalikali, M menolak dan ingin melepaskan genggaman. Karena genggamannya yang kuat, M tidak bisa melepaskan diri. M kemudian berpaling, ingin pergi dari ruangan.

Penolakan dari M malahan ditanggapi seniornya dengan memeluknya dari belakang. M ingin berteriak. Akan tetapi ia urungkan. Sebab ia masih merasa kasihan kepada seniornya. Karena jika berteriak, para mahasiswa di lantai satu dan dua bakalan beramairamai mendatanginya dan kemungkinan akan menghakimi seniornya. M tidak tega.

Dengan sepenuh tenaga, M kemudian memberontak dari pelukan seniornya. M

DOK. INTERNET bersyukur akhirnya bisa lepas dari genggaman dan pelukan seniornya. Ia lalu berlari ke bawah sembari meneneteskan air mata. Dengan tergesa-gesa, M menstarter motornya langsung pulang ke indekos.

Begitulah kronologi kejadian yang digambarkan oleh M sewaktu berbincang dengan redaksi. Sampai saat ini, ia masih mengalami trauma atas kejadian itu. Setelah kejadian yang menimpanya, ia sudah tidak ingin lagi mendengar atau melihat apapun tentang seniornya itu.

M merupakan salah satu mahasiswa di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang angkatan 2014. Kejadian yang menimpanya itu, ia simpan rapat-rapat hingga sekarang. Ia hanya bercerita kepada beberapa temannya. Dan karena kejadian yang dialaminya tersebut, M memilih untuk tidak aktif lagi mengikuti organisasi yang ada pelaku.

Sebenarnya M ingin membalas pelaku, akan tetapi ia urungkan. Karena ia ingin melupakan itu semua. “Biar dibalas sama Tuhan,” katanya. Apalagi, M juga tidak tahu-menahu prosedur melaporkan pelecehan seksual di UIN Walisongo.

Kasus serupa tidak hanya dialami oleh M, D mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Walisongo mengaku pernah mengalami tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya pada pertengahan 2019. D mengalami trauma setelah kejadian tersebut. Ia mengaku tidak lagi menemui dosen tersebut untuk meneruskan bimbingan.

Atas perlakuan dosen tersebut D memutuskan untuk melaporkannya. Karena, ia tidak ingin kejadian ini dialami juga oleh mahasiswa lain. “Mosok saya tahu kejadiannya tapi aku diem,” kata D.

Namun, karena tidak tahu prosedur pelaporan kasus pelecehan seksual, ia meminta pertolongan kepada dosen FST lain yang dianggapnya mampu menolongnya. Setelah menemui dosen itu, D kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya.

Mencoba membantu D, dosen tersebut kemudian melaporkannya kepada Dekan Fakultas Saintek, Ruswan. Yang lantas ditanggapi oleh dekan dengan meminta D untuk bisa bertemu. Namun,

lantaran kesibukan Ruswan, hingga berbulan-bulan pertemuan tersebut tidak pernah terjadi.

Selang beberapa waktu, ia kemudian mendapatkan pesan dari Dekannya yang menjelaskan bahwa pelaku sudah diingatkan. “Dari Pak Dekan katanya sudah menegur yang bersangkutan,” ungkap D.

Sebenarnya kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) sudah diatur melalui Surat Keputusan (SK) Pendis Dirjen No 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual. Namun sayangnya, menurut Lift Anis Ma’sumah, Dekan FITK UIN Walisongo, secara teknis UIN Walisongo memang belum pernah membahasnya secara detail. Namun, pihaknya menyarankan, ketika terjadi kasus kekerasan seksual bisa disampaikan kepada pimpinan fakultas.

Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Walisongo, Titik Rahmawati menyatakan bahwa dengan adanya SK Pendis tersebut menjadi angin segar terciptanya payung hukum dan ruang aman di perguruan tinggi. “Sementara saat ini SK tersebut masih dalam kajian seperti diskusi, survei, pembuatan SOP (Standar Operasional ProsedurRed) dengan para dosen yang memiliki pemahaman gender. Setelah itu kita akan ajukan kepada rektor untuk dijadikan sebagai aturan resmi kampus,” ungkapnya seperti dilansir dari majalah Missi Edisi 44 yang berjudul Runtuhnya Ruang Aman Perempuan.

Penyintas yang Terus Bertambah

Selain M dan D ada banyak kasus pelecehan seksual lain yang terjadi di berbagai Perguruan Tinggi. Tirto.Id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia mencoba mengungkap itu melalui kerja sama bertajuk #NamaBaikKampus. Media itu membuat suatu testimoni yang berisi aduan-aduan para korban.

Dalam kolaborasi bertajuk #NamaBaikKampus Tirto.Id, The Jakarta Post dan VICE Indonesia menyebar formulir testimoni yang disebar melalui media sosial masingmasing. Dari formulir yang disebar tersebut, terdapat 207 yang memberikan testimoni. Dan kasus yang terjadi di Perguruan Tinggi ada sebanyak 174.

Berdasarkan riset dari #NamaBaikKampus tersebut, pelakunya rata-rata adalah civitas academica baik di dalam ataupun di luar kampus yang masih dalam acara-acara resmi kemahasiswaan. Pelakunya beragam dari mulai dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus.

Berdasarkan data dari #NamaBaikKampus di antara para penyintas sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus. Mereka lebih memilih bungkam. Alasan utamanya adalah karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir secara berlebihan.

Dilansir dari Tirto.id Nadia Karima Melati, pegiat organisasi pendamping korban kekerasan seksual di Universitas Indonesia menjelaskan, penyebab korban minim melaporkan

DOK. INTERNET

kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah: pertama, pihak kampus tidak ada posko untuk melapor. Kedua, tidak ada sanksi, sehingga tidak akan ada timbal balik kepada pelaku ketika sudah melapor. Ketiga tidak ada bukti/pendokumentasian.

Ironisnya, menurut Komisi Nasional Perempuan menyebutkan kasus pelecehan seksual di lingkungan, termasuk perguruan tinggi dianggap minim. Sepanjang tahun 2018, lembaga ini mencatat ada 406.178 laporan kasus pelecehan seksual, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Namun, data itu secara makro hanya memisahkan kejadian di ruang publik dan privat. Padahal data yang mereka punya belum menggambarkan sebaran persoalan yang sebenarnya terjadi di tingkat perguruan pinggi. Karena masih ada banyak korban yang memilih bungkam terhadap kejadian pelecehan dan/ kekerasan seksual yang dialaminya.

Minimnya Pengetahuan Gender

Kekerasan seksual di perguruan tinggi penyebab utamanya adalah tidak adanya pengetahuan terkait kesetaraan gender. Hal ini disampaikan oleh Nur Laila Khafidoh, Ketua Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) Semarang.

“Karena mindset dan belum paham terkait pengetahuan gender. Masih menganggap perempuan suatu objek untuk

DOK. INTERNET

diperlakukan seperti itu. Jadi tidak memandang orang itu berpendidikan (berilmu) tidak akan melakukan pelecehan dan/kekerasan seksual,” jelasnya.

Tidak hanya minimnya pengetahuan terkait gender, Sri Nurhewati, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan mengatakan bahwa persoalan utama pelecehan dan/kekerasan seksual yaitu tidak memiliki pengetahuan tentang seksualitas dan pentingnya perlindungan pada organ seksual, organ reproduksi, dan kesehatan reproduksi.

Sri, sapaan akrabnya, juga menganggap selama ini berbicara soal seksualitas masih dianggap tabu. Hal ini berakibat pada pengetahuan soal seksualitas menjadi sangat minim, semua mencari tahu sesuai dengan caranya masingmasing. “Pihak yang paling punya akses, pihak yang diberi privilege kuasai pengetahuan seksualitas,” ungkapnya.

“Minimnya pengetahuan akan seksualitas juga berakibat pada masyarakat tidak dapat mengendalikan adanya perlakuan salah dan melanggar norma kesusilaan. Namun kesalahan dan dampak ditimpakan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan,” katanya yang redaksi kutip dari Koran Kompas.

Harus Ada Rumah Aduan

Menurut data yang dihimpun redaksi, rata-rata para penyintas tidak berani melaporkan kejadian yang sedang dialaminya. Ada yang karena tidak tahu prosedurnya dan ada juga yang karena takut. Beberapa hal tersebut menjadikan mahasiswa urung untuk

Menurut Saras, perguruan tinggi harus menyediakan rumah aduan yang berfungsi sebagai tempat mengadu kekerasan seksual.

melapor. Padahal untuk kejadian pelecehan dan/ kekerasan seksual harus di laporkan agar tidak terjadi pada korban lain. Nur Laila Khafidhoh menjelaskan, sebaiknya korban melapor. ”Jika kampus sudah ada wadah yang menangani maka akan lebih mudah penyelesaianya, namun jika yang tidak ada boleh melapor ke Polisi dengan syarat kampus tidak menghilangkan hak-hak dari korban,” katanya. ”Kemudian pihak kampus juga harus bergerak, tidak hanya diam saja dengan tujuan tidak ada korban lagi yang mengalami kasus yang sama. Yang perlu dilakukan bagaimana menguatkan pengetahuan kesehatan reproduksi dan upaya kesetaraan gender serta sistem informasi dan layananan terpadu yang memenuhi hak-hak korban,” papar Nur Laila

Menanggapi banyaknya kejadian kekerasan di lingkungan perguruan tinggi, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Ismunandar seperti dilansir dari Tirto.id mengatakan bahwa Kemenristek dikti belum memiliki regulasi yang jelas untuk menangani kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual. Menurutnya, kasus demikian dapat diselesaikan di ranah peguruan tinggi saja.

Lebih lanjut Ismunandar menjelaskan, sistem pendidikan tinggi yang dianut Indonesia bersifat otonom, maksudnya penyelesaian persoalan kemahasiswaan termasuk kekerasan seksual, merujuk pada kebijakan kampus masing-masing, yang di dalamnya berisi kode etik seluruh sivitas akademika.

Pelaku Harus Ditindak Dengan Tegas

Nur Laila khafidhoh memberi masukan untuk publik agar segera menerapkan pendidikan seks, terutama gender agar nantinya mampu menanggulangi kasus pelecehan dan/kekerasan seksual. Pembiasaan terkait penjelasan seks dan gender nantinya mampu memahamkan masyarakat terkait kasus pelecehan dan/ kekerasan seksual, karena disini tidak ada yang tahu atau mungkin bahkan dari kita bisa berpotensi menjadi pelaku atau korban.

Selain itu, seperti dilansir dalam Tirto.id perlu adanya regulasi penanganan dan sanksi yang jelas bagi pelaku, membentuk tim investigasi independen dan impersial yang melibatkan seluruh elemen perguruan tinggi, menyediakan pendampingan bagi korban yang melapor, juga menyediakan jasa psikolog/psikiater, penanganan kesehatan fisik dan keamanan jika korban diancam.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Saras Dewi, dilansir dari Magdalene.com bahwa penting sekali institusi pendidikan punya upaya dalam jangka panjang dan langgeng. Bukan hanya sekadar menyikapi namun juga mencegah kejadiankejaadian kekerasan seksual.

Menurut Saras, perguruan tinggi harus menyediakan rumah aduan yang berfungsi sebagai tempat mengadu kekerasan seksual. Ia mengatakan bahwa hal yang paling utama dilakukan adalah membicarakan dan membuka percakapan, lebih baik lagi membuat sistem tertulis melalui aturan-aturan agar suasana akademik lebih ramah dan berspektif gender.

Dengan M dan D bercerita kepada redaksi, mereka berharap, tidak ada lagi yang mengalami kejadian serupa. Begitu pula, harap mereka, akan ada tindakan tegas dan kejelasan terkait prosedur penanganan kasus kekerasan seksual. Karena jika prosedur penanganan kasus kekerasan seksual masih abu-abu dan tumpul, maka tak mengherankan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi terus bertambah dan tidak akan pernah ada ruang aman di perguruan tinggi. [E]

BayangBayang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Asmahan Aji Rahmania, mahasiswa

pendidikan bahasa inggris angkatan 2017. Saat ini sedang merawat kaktus dan lain sebagainya.

Kampus, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa dalam menjalankan aktivitas akademik, ternyata bisa menjadi tempat di mana kekerasan seksual menghantui. Isu kekerasan seksual di kampus bukanlah isu baru bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Dilansir dari Kompas, sebanyak 27 persen dari pengaduan yang ada, kekerasan seksual terjadi di kampus, menurut data Komisi Nasional Perempuan tahun 2015-2020. Selain itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga telah melakukan survei pada tahun 2020. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa 77% dosen mengiyakan kekerasan seksual pernah terjadi di dalam kampus mereka. Fakta ini tentu sangat berlawanan dengan citra kampus yang semestinya dipenuhi dengan kaum-kaum yang bermoral dan dikenal masyarakat sebagai wadah untuk mencetak cendekiawan.

Merujuk data dari Komisi Nasional Perempuan, berdasarkan terstimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89% penyintas kekerasan seksual di kampus adalah perempuan. Adapun pelaku pelecehan bisa datang dari mahasiswa sendiri atau bahkan dosen. Angka yang bisa kita lihat dari data tersebut hanyalah permukaan. Artinya, pada kenyataannya masih banyak kekerasan seksual di kampus yang masih belum terungkap, entah karena korban tidak melapor atau pihak kampus sendiri yang menutup-nutupi kasus tersebut.

Adanya Relasi Kuasa Hingga Bungkamnya Penyintas

Pada April 2019, Lembaga Pers Mahasiswa (LPMS)-Ideas Universitas Jember mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) berinisial HSN kepada mahasiswinya. Korban yaitu CA, mahasiswi FIB angkatan 2012 pada awalnya diminta untuk bimbingan skripsi di rumah pelaku. Di sanalah kejadian kekerasan seksual terjadi. Pelaku kemudian meminta korban untuk tidak memberitahu siapa pun tentang hal yang dialaminya. CA akhirnya melaporkan hal tersebut, akan tetapi laporan itu mendapat respon yang kurang baik dari fakultas, dan pelaku tidak mendapat sanksi apapun. Korban akhirnya harus berjuang dengan dilema. CA harus

This article is from: