6 minute read
KAJIAN ISLAM Islam dan Upaya Menjaga Lingkungan Dari Meja Makan -
kini tidak bisa membedakan antara pendidikan, belajar, dan pengajaran. Orangorang menyamakan ihwal: pendidikan adalah sekolah, belajar adalah pengajaran, dan ilmu adalah tugas-tugas tak ada habisnya.
Sekolah nyatanya tergagap-gagap pada masa pandemi ini. Pelaku dan pemangku kebijakan pendidikan kelimpungan.
Advertisement
Selain masalah di atas, pangkalnya menurut saya adalah sekolah tak mampu menjadikan manusia sebagai subjek belajar. Sekolah masih mendudukkan manusia sebagai objek belajar, dan ketakmampuan berpikir mandiri adalah imbasnya.
Ketika sampai sekarang sekolah tak mampu memerdekakan manusia menjadi subjek belajar, mestinya ia telah ditinggalkan sejak lama. Ia seharusnya umpama barang-barang antik yang layak dimuseumkan. Setiap orang lantas menjadikannya kenangan masa lalu yang dapat sesekali diingat kembali dan diziarahi.
Namun, kenyataan berbicara lain.
Sekolah hari ini masih saja dianggap penentu belajar atau tidak belajarnya seorang manusia. Roem Topatimasang tak berlebihan mengatakan, “Sekolah itu candu,” seolah-olah orangorang demikian bergantung dengan sekolah. Dengan begini sekolah sama persis dengan nasi bagi orang Jawa: tidak makan nasi berarti tidak makan. Sekolah menjelma dewa. Dengan adanya pandemi, semua itu terlihat seperti gajah di pelupuk mata; jelas sekali.
Ivan Illich, pemikir pendidikan, berpuluh tahun lalu telah menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku Deschooling Society—yang telah tersedia terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Dalam bukunya, ia ingin melucuti sekolah dari kemapanannya. Harihari ini mungkin pandemi tengah membantu gagasan itu dengan memperlihatkan kegagapan-kegagapan sekolah.
Bila sekolah telah dilucuti dari kemapanannya, Illich menawarkan alternatif lain yang dirangkum dalam terma “empat jaringan”: pertama, jasa referensi pada objekobjek pendidikan; kedua, pertukaran keterampilan; ketiga, mencari teman sebaya yang cocok; dan keempat, jasa referensi pada pendidik pada umumnya.
Penjelasan sederhana terma itu begini: Dzihan hanya perlu bertemu dengan teman sebaya yang memiliki minat yang sama dengannya. Misalnya, ia berkeinginan menjadi pelukis; ia cukup bertemu dengan temanteman yang sama-sama belajar melukis seraya saling berbagi keterampilan. Bila dirasa perlu, ia bisa menemui orang-orang yang kemampuan melukisnya telah masyhur. Begitu pula Dzihan, dibebaskan seluasluasnya mengakses referensi berkaitan dengan melukis.
Lalu, di masa pandemi ini, Dzihan tak perlu lagi menggarap tugas-tugas “aneh” itu dan memaksa diri membeli perangkat teknologi (sebuah paksaan dari sekolah) yang tak mampu dibeli—Satu contoh kekerasan simbolik disebabkan oleh sekolah. Ia bisa belajar di mana, kapan, dan dengan siapa saja, tak harus lewat “sekolah”.
Akhirnya belajar menjadi kata umum yang bisa dirasakan seluruh manusia, sebab tak lagi dimonopoli sekolah. Begitu pula tak bakal lagi ada kesenjangan ekonomi dan kekerasan simbolik yang disebabkan oleh sekolah.
Dengan demikian, sekolah lebih baik dibubarkan saja. Dan bubarnya sekolah semestinya hanya menjadi kematian kecil yang tak perlu ditangisi sepanjang masa. [E]
Rembang, 24 Juli 2020
Tulisan ini terbit pertama kali di https://www.bacabukumu. id/2020/08/kematian-kecilsekolah.html?m=1
DI sebuah bukit dekat permukiman padat penduduk berjejal batu nisan. Bukit bernama Pekayangan itu memang jadi kompleks pemakaman umum. Kawasan ini menjadi istimewa karena di punggung bukit terdapat pusara tokoh berpengaruh bernama Sunan Kuning.
Makam tersebut berbeda dibandingkan yang lain. Dari kejauhan tampak mencolok. Bahkan ada gapura berornamen khas Tiongkok yang menjadi penanda sekaligus sekat antara makam Sunan Kuning dengan makam warga setempat.
Di dalam area makam Sunan Kuning terdapat tiga bangunan utama. Bangunan paling dekat dengan gapura difungsikan untuk musala dan tempat menginap para peziarah.
Bangunan di tengahtengah, di dalamnya terdapat tiga makam. Masing-masing makam Kiai Sekabat, makam Kiai Djimat, dan makam Kiai Majapahit. Ketiganya adalah para pembantu setia Sunan Kuning.
Sementara yang paling ujung adalah bangunan utama yang memayungi tiga makam, yakni makam Sunan Kuning, makam Sunan Kali, dan makam Sunan Ambarawa. Ketiga makam diberi rumah-rumahan dari kelambu dan di depannya ada empat patung.
Pekuburan Sunan Kuning dan rekannya terletak di bukit dekat Jalan Taman Sri Kuncoro III, Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat. Berjarak sekitar 4,5 kilometer dari pusat Kota Semarang.
Akses menuju tempat itu sebenarnya cukup mudah. Hanya saja ada momen di mana harus melewati jalan perkampungan. Salah belok bisa ribet karena berpotensi melewati lokalisasi yang berisi tempat karaoke dan prostitusi.
Lokalisasi dan makam Sunan Kuning posisinya bersebelahan, hanya berjarak sekitar 100 meter. Katakanlah kalau tempat karaoke tidak dipasang peredam suara, kemungkinan nyanyian pemandu lagu akan terdengar dari makam.
Kondisi tersebut ternyata berdampak besar. Penyebutan kedua tempat yang mempunyai orientasi berbeda itu kerap disamakan. Selain merujuk pada sebuah makam, sebutan Sunan Kuning juga dikenal sebagai nama lokalisasi tempat para penjaja seks.
Kalah Pamor
Juru kunci makam Sunan Kuning, Ki Sentun Songgo Bawono mengaku sedih lantaran branding makam Sunan Kuning kalah tenar dengan lokalisasi. Selama ini pengelola makam berupaya meluruskan kesalahan tersebut.
“Padahal tidak ada hubungannya antara makam dengan lokalisasi. Cuma tempatnya saja yang kebetulan berdekatan,” ujar Ki Sentun saat ditemui di pemakaman pada 2 Mei 2020.
Banyak yang menganggap penyebutan lokalisasi Sunan Kuning berawal dari kesalahpahaman. Jalan masuk menuju lokalisasi adalah Sri Kuncoro yang jika disingkat menjadi SK. Begitupun Sunan Kuning, disingkat SK. Lambat laun SK menjadi julukan
IFTAH, BAIHAQI | EDUKASI
SAKRAL: Juru kunci makam, Ki Sentun Benowo menunjukkan pusara Sunan Kuning beserta pusara para pengikutnya.
lokalisasi, tetapi artinya dipukul rata menjadi Sunan Kuning.
Namun tampaknya alasan tersebut diragukan. Alasan yang lebih kuat bisa dilihat dari sejarah panjang penamaan lokalisasi yang sudah diganti berulang kali.
Sejarawan Bambang Iss Wirya dalam bukunya yang berjudul “Ough! Sunan Kuning” (1966-2019) menyebut, sebelum mendapat legalitas, lokalisasi ini bernama Sri Kuncoro, sesuai dengan nama jalan masuk menuju area ini.
Namun warga setempat keberatan, sehingga namanya diganti menjadi Lokalisasi Sunan Kuning. Pencatutan nama Sunan Kuning kembali ditolak karena dianggap mencoreng nama tokoh penyebar agama Islam di Semarang.
Saat diresmikan pada tahun 1966, lokalisasi terbesar di Jawa Tengah ini dinamakan Resos Argorejo. Belakangan ada perubahan lagi menjadi Resosialisasi dan Rehabilitasi Argorejo.
Dari kilas balik itu diketahui, ternyata penyebutan lokalisasi dengan diksi Sunan Kuning ada hubungan kesejarahan. Hanya saja, masyarakat tidak mengikuti perkembangan dan kadung nyaman dengan pelafalan lama.
Penyebar Islam
Jika dirunut dari sejarahnya, keberadaan makam jauh lebih dulu daripada lokalisasi. Konon, makam Sunan Kuning ditemukan sekitar tahun 1700-an oleh Mbah Bayat Sabirin, sementara lokalisasi baru diresmikan pada 1966.
IFTAH, BAIHAQI | EDUKASI
Tokoh Islam keturunan Tionghoa tersebut mempunyai nama asli Soen An Ing. Kata storyteller dari Semarang Jongkie Tio, orang Jawa kesulitan mengucap Soen An Ing, sehingga dipelesetkan menjadi Sunan Kuning.
Sunan Kuning ini dikenal sebagai pendakwah yang menyebarkan agama Islam di Semarang serta kawasan pantai utara (pantura) Jawa Tengah. Dia juga dijuluki tabib karena ahli dalam pengobatan tradisional Tiongkok.
Saat mengobati pasien, Sunan Kuning sembari berdakwah. Berkat kemampuannya, banyak masyarakat yang kagum dan akhirnya tertarik memeluk agama Islam.
Kepopuleran Sunan Kuning tidak hanya tersebar di tanah Jawa, tetapi sudah menyebar ke Sumatera, Kalimantan, bahkan negeri Tiongkok.
Dalam buku berjudul “9 Oktober 1740; Drama Sejarah, Liem Thian Joe” menyebut Sunan Kuning memiliki nama populer Raden Mas Garendi.
Buku itu juga menyebutkan bahwa Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Cun Ling adalah
salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan.
Fakta tersebut dikuatkan dengan pernyataan Daradjadi Gondodiprodjo dalam buku “Geger Pacinan 1740--1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC”. Daradjadi mengungkapkan, Raden Mas Garendi mengobarkan perlawan sengit terhadap persekutuan dagang Belanda (VOC), khususnya di wilayah kekuasaan Mataram.
Perlawanan yang dikomandoi Sunan Kuning ini diklaim sebagai pemberontakan terbesar
FOTO-FOTO OLEH: BAIHAQI DAN IFTAH KETERANGAN FOTO:
1. PUSARA KANDJENG SUNAN KUNING DARI SUDUT DEPAN 2. HALAMAN DEPAN PUSARA KANDJENG SUNAN KUNING 3. PUSARA KANDJENG SUNAN KUNING BESERTA PARA PENGIKUTNYA 4. KRU LPM EDUKASI BERFOTO BERSAMA JURU KUNCI MAKAM DI GAPURA DEPAN PUSARA KANDJENG SUNAN KUNING.