3 minute read
Peduli Urusan Perut, Abai Urusan Beberes
Hampir di setiap waktu istirahat makan siang, kantin selalu menjadi tujuan mengisi perut yang keroncongan. Sebut saja Kantin Kudapan yang letaknya dikelilingi oleh banyak fakultas. Kantin ini didatangi oleh ratusan mahasiswa silih berganti. Ada kalanya pelanggan harus mengantre agar bisa dapat tempat duduk.
Sayangnya, meja kerap kali berantakan setelah digunakan oleh pelanggan sebelumnya. Sampah dan piring kotor berserakan, lantas siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk membereskannya? Penjual? Pelanggan? atau petugas kebersihan?
Advertisement
Salah satu yang merasakannya ialah Puput, mahasiswa Fakultas Kedokteran, mengeluhkan banyaknya sampah yang berserakan di atas meja makan kantin bekas pelanggan sebelumnya. Saat diwawancarai (14/10), ia mengaku dirinya sering kali harus membersihkan sendiri sampah dengan mengumpulkannya di satu titik.
“Seharusnya kalau sudah punya kesadaran sendiri untuk jaga lingkungan, maka harus bisa dibuang sendiri karena sudah ada tempat sampah yang disediakan,” keluhnya.
Ketika dimintai pendapat, pemilik Kedai Metro menyayangkan hal ini. Sekalipun ada petugas kebersihan, harusnya mahasiswa bisa bertanggung jawab membereskan sampahnya sendiri, setidaknya mengumpulkannya di satu titik. “...kan sebagai mahasiswa seharusnya sudah tahu, masa dikalah sama anak TK, anak TK kan juga tau mana tempat buang sampah,” ungkapnya.
Peristiwa di atas menjadi bukti kuat tentang masih rendahnya kesadaran soal pentingnya budaya beberes. Secara psikologis, hal ini disebabkan oleh adanya pola pikir bahwa membereskan sampah bekas makanan merupakan hal yang bukan kewajiban atau tanggung jawab dari suatu individu, khususnya pelanggan kantin kudapan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Dosen Psikologi Unhas, Triani Arfah S Psi M Psi (18/10).
“Dia merasa itu bukan tanggung jawabnya dan bisa saja di pemahamannya mengatakan bahwa membersihkan itu tanggung jawab orang lain seperti cleaning service,” tuturnya.
Triani menambahkan bahwa penyebab lain dari munculnya perilaku abai beberes juga dipengaruhi kondisi individu, misalnya sedang terburu-buru, kondisi emosi yang tidak stabil, hingga soal etika di ruang publik.
“Jika tidak tahu bagaimana beretika di ruang publik itu kan gampang saja, bisa diberi tahu. Tapi, kalau sekelas mahasiswa, apa betul mereka tidak tahu informasi umum seperti itu?” ungkapnya.
Rendahnya kesadaran akan budaya beberes juga dipengaruhi oleh kecenderungan individu dalam meniru sehingga terus terjadi secara berulang. Pengulangan terjadi karena tidak adanya konsekuensi negatif atau sanksi yang didapat. Triani memaparkan bahwa faktor yang menjadi alasan munculnya perilaku tersebut yaitu kurangnya nilai-nilai pro-environmental behavior pada mahasiswa. Pembentukan nilai tersebut ditentukan oleh lingkungan sekitarnya seperti keluarga maupun teman karena telah ditumbuhkan sejak dini tanpa adanya intervensi khusus dalam memunculkan nilai pro-environmental behavior.
Sosiolog Lingkungan Unhas, Sultan S Sos M Si berpendapat bahwa individu atau mahasiswa patut memiliki kesadaran terhadap lingkungannya, serta mampu bertanggung jawab atas sampah yang diproduksi sendiri. Meja yang ditinggalkan dalam kondisi berantakan setelah digunakan tidak mencerminkan perilaku pro-social dan pro-environmental behavior. Dengan kata lain, suatu individu hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri tanpa mempedulikan sekitar.
“Jadi, perilaku tersebut harus dibuang. Itu disebut dengan mental ‘dilayani’ sehingga setelah makan akan mengharapkan orang lain untuk membersihkan seperti cleaning service,” pungkasnya (20/10).
Lebih lanjut, Sultan menerangkan budaya beberes adalah salah satu bentuk melatih rasa tanggung jawab dan sangat ideal untuk ditanamkan. Menurutnya, budaya beberes perlu untuk menjadi tren, sehingga individu yang tidak melakukannya akan merasa malu.
“Menurut saya, hal itu merupakan salah satu bentuk intervensi yang cukup bagus untuk menumbuhkan nilai-nilai kesadaran pada individu bahwa ada perilaku yang punya konsekuensi terhadap lingkungan sosialnya maupun alam,” jelasnya.
Budaya beberes sebelumnya telah dikampanyekan oleh salah satu perusahaan makanan cepat saji yaitu KFC dan pernah trending pada salah satu media sosial yaitu Twitter. Akan tetapi, sangat disayangkan masih banyak yang tidak menyetujui kampanye tersebut dengan alasan bahwa beberes bukan merupakan tanggung jawab pelanggan.
Upaya dalam menumbuhkan budaya beberes dapat dilakukan dengan cara membangun empati yang berkaitan dengan nilai pro-sosial. Misalnya, aktif berinteraksi dengan lingkungan sehingga dapat memahami perasaan orang tanpa terbawa oleh emosi. Selain itu, Sultan juga menambahkan bahwa dalam menumbuhkan budaya beberes diperlukan motor penggerak atau seorang role model. Motor penggerak seperti tokoh yang memiliki pengaruh bagi mahasiswa. Ia menjelaskan bahwa budaya dimulai dari satu atau dua orang yang akhirnya semua orang merasa perlu melakukan budaya beberes.
Sampah bekas makanmu tanggung jawab siapa?
Pemandangan indah matahari terbenam di sepanjang Jalan Metro Tanjung Bunga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Terkadang siluet jingga yang menyasar di ujung Makassar ini jadi tempat nongkrong para pemuda.
Namun, keindahan ini berbanding terbalik dengan keadaan para nelayan yang hidup berdampingan dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali.
Pada 2002, Jalan Metro Tanjung Bunga dibangun sebagai penghubung antara Makassar dengan Takalar. Akibat pembangunan reklamasi tersebut, bibir pantai makin menjauh sehingga nelayan harus mengeluarkan usaha lebih untuk bisa sampai ke laut.
Jembatan yang dekat dengan permukaan air menghalangi kapal besar untuk memasuki area TPI Rajawali. Kondisi ini diperparah dengan air laut yang cenderung membentuk kubangan penuh sampah ketika pasang surut terjadi, menimbulkan aroma yang kurang sedap.