3 minute read

Pendidikan Sebagai Pencarian Ilmu atau Pengejaran Popularitas (?)

Next Article
Gubuk Cendana

Gubuk Cendana

oleh Margo Teguh Sampurno

Advertisement

Pendidikan telah menunjukkan status sosial dalam masyarakat untuk sekadar menjaga nilainilai moralis yang dikonstruksi melalui proses pembelajaran. Kecenderungan ilmu pengetahuan yang dilembagakan, seolah terjadi kuasa atas ilmu pengetahuan yang diatur secara metodis dan paradigmatik dalam menciptakan kultur akademis. Pergeseran makna pencarian ilmu yang tujuannya untuk memperoleh kemuliaan, telah didistorsi berupa kemuliaan atas pencapaianpencapaian materiil semata. Sehingga, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa keberhasilan suatu pendidikan dengan tujuan akhirnya adalah kesuksesan pencapaian materiil (kaya). Cara berpikir semacam ini hampir menyeluruh dalam tiap lapisan masyarakat, dan tidak mengherankan jika pendidikan telah menciptakan kelas sosial melalui gelar-gelar akademik dan pengakuan pendapat ilmiah.

Generasi milenial saat ini yang cenderung kehilangan semangat keilmuan dengan ‘minimnya’ kontribusi aktif dalam science for science. Ilmu justru hanya dijadikan ladang prestise, kewibawaan, dan kemuliaan di hadapan orang lain. Lalu, muncullah kalimat satire yang menyatakan, “jika kalian menganggap pendidikan adalah sekolah, lantas mengapa saya tidak melihat orang bersekolah tetapi tak berpendidikan”.

Mari sejenak menilik lingkungan pendidikan tinggi yang mencetak cendekiawan bangsa dalam berbagai sektor. Dalam beberapa kasus, mahasiswa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi setelah lulus sekolah menenagan untuk mengisi kekosongan status moral di masyarakat. Kuliah seolah hanya dijadikan tren masyarakat agar tidak dicap pengangguran dan mendapat prestise lebih tinggi daripada bekerja atau menikah. Dalam bahasa lain, kebutuhan kuliah hanya dilandasi karena keterpaksaan sosial. Beberapa orang juga melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan tujuan untuk memperoleh ijazah dan mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi. Boleh-boleh saja, tetapi sebagai umat beragama, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seharusnya juga disertai niat untuk meraih keberkahan ilmu dan dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketakutan akan kondisi masa depan seperti kemiskinan, kehilangan duniawi, dapat dikatakan telah melecehkan Tuhan.

Demikianlah konsep mencari ilmu yang hanya berwujud fisik, tanpa menyentuh substansi ilmu yang diperoleh. Lulus hanya sekedar lulus, tetapi menjadi asing di masyarakat. Akibatnya, ribuan sarjana menumpuk dan lapangan pekerjaan yang tersedia tidak bisa menampung seluruhnya. Pengejaran popularitas hidup yang dibingkai dalam nuansa keilmuan memang justru merusak esensi ilmu itu sendiri karena terkadang terdapat kekeringan spiritualitas yang diakibatkan oleh nikmatnya dunia.

Tujuan pendidikan nasional yang memuat nilai luhur bangsa Indonesia dalam menempuh proses pendidikan akhirnya perlu diterjemahkan ulang dengan kondisi kekinian. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan nilai-nilai dan wujud implementasinya. Begitupun kajian kurikulum yang dilaksanakan harus dijalankan secara tertib dan profesional. Pendidikan nasional harus mencegah praktik kapitalisasi pendidikan yang menyatakan pendidikan hanya diperuntukkan kaum-kaum tertentu dan dijadikan barang dagangan.

Hal yang tidak disadari bagi sebagian orang dalam menempuh pendidikan adalah tujuan dan proses. Dua hal tersebut perlu dikonsepsikan di awal karena kaitannya dengan esensi ilmu itu sendiri. Seseorang dapat menjadi mulia karena ilmu, tetapi dapat juga menjadi hina karena ilmu yang diwujudkan dengan profesi keilmuan masing-masing. Sungguh risau kiranya ketika melihat banyaknya para lulusan akademik dengan keilmuan masing-masing, justru menjadi hina karena ketika implementasi ilmu yang diwujudkan dalam sebuah lembaga dilakukan secara tidak benar. Contohnya, masih banyaknya kasus korupsi yang justru menjerat para sarjana di instansi pemerintahan. Hal tersebut dapat dikategorikan praktik penyelewengan keilmuan yang hanya dilandasi oleh pemenuhan nafsu pribadi.

Keputusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seharusnya dibarengi dengan kebergunaan diri, baik secara pemikiran maupun sosial. Sehingga, lulusan perguruan tinggi bisa menyumbang berkontribusi yang besar bagi masyarakat. Para sarjana terdidik sudah saatnya berinovasi dan tergerak untuk mengatasi problematika masyarakat sekitar dengan bekal keilmuan masing-masing. Sebagai pengingat, mari kita renungkan kembali sajak Seonggok Jagung karya W.S. Rendra, “Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, jika pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, ia berkata: di sini aku merasa asing dan sepi!”

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sejarah

This article is from: