Opini
Pendidikan Sebagai Pencarian Ilmu atau Pengejaran Popularitas (?) oleh Margo Teguh Sampurno
P
10 | Komunikasi Edisi 329
endidikan telah menunjukkan status sosial dalam masyarakat untuk sekadar menjaga nilainilai moralis yang dikonstruksi melalui proses pembelajaran. Kecenderungan ilmu pengetahuan yang dilembagakan, seolah terjadi kuasa atas ilmu pengetahuan yang diatur secara metodis dan paradigmatik dalam menciptakan kultur akademis. Pergeseran makna pencarian ilmu yang tujuannya untuk memperoleh kemuliaan, telah didistorsi berupa kemuliaan atas pencapaianpencapaian materiil semata. Sehingga, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa keberhasilan suatu pendidikan dengan tujuan akhirnya adalah kesuksesan pencapaian materiil (kaya). Cara berpikir semacam ini hampir menyeluruh dalam tiap lapisan masyarakat, dan tidak mengherankan jika pendidikan telah menciptakan kelas sosial melalui gelar-gelar akademik dan pengakuan pendapat ilmiah. Generasi milenial saat ini yang cenderung kehilangan semangat keilmuan dengan ‘minimnya’ kontribusi aktif dalam science for science. Ilmu justru hanya dijadikan ladang prestise, kewibawaan, dan kemuliaan di hadapan orang lain. Lalu, muncullah kalimat satire yang menyatakan, “jika kalian menganggap pendidikan adalah sekolah, lantas mengapa saya tidak melihat orang bersekolah tetapi tak berpendidikan�. Mari sejenak menilik lingkungan pendidikan tinggi yang mencetak cendekiawan bangsa dalam berbagai sektor. Dalam beberapa kasus, mahasiswa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi setelah lulus sekolah
menenagan untuk mengisi kekosongan status moral di masyarakat. Kuliah seolah hanya dijadikan tren masyarakat agar tidak dicap pengangguran dan mendapat prestise lebih tinggi daripada bekerja atau menikah. Dalam bahasa lain, kebutuhan kuliah hanya dilandasi karena keterpaksaan sosial. Beberapa orang juga melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan tujuan untuk memperoleh ijazah dan mendapatkan pekerjaan yang bergaji tinggi. Boleh-boleh saja, tetapi sebagai umat beragama, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seharusnya juga disertai niat untuk meraih keberkahan ilmu dan dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketakutan akan kondisi masa depan seperti kemiskinan, kehilangan duniawi, dapat dikatakan telah melecehkan Tuhan. Demikianlah konsep mencari ilmu yang hanya berwujud fisik, tanpa menyentuh substansi ilmu yang diperoleh. Lulus hanya sekedar lulus, tetapi menjadi asing di masyarakat. Akibatnya, ribuan sarjana menumpuk dan lapangan pekerjaan yang tersedia tidak bisa menampung seluruhnya. Pengejaran popularitas hidup yang dibingkai dalam nuansa keilmuan memang justru merusak esensi ilmu itu sendiri karena terkadang terdapat kekeringan spiritualitas yang diakibatkan oleh nikmatnya dunia. Tujuan pendidikan nasional yang memuat nilai luhur bangsa Indonesia dalam menempuh proses pendidikan akhirnya perlu diterjemahkan ulang dengan kondisi kekinian. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan nilai-nilai dan