10 minute read
Gubuk Cendana
oleh Fatima Tuzzahro
Advertisement
“Suatu hari kau akan masuk ke dalam sana” itu kata-kata terakhir kakek sebelum dia masuk ke dalam gubuk cendana di belakang rumah. Gubuk cendana, salah satu hal menarik dari rumahku. Letaknya di sejak usiaku 10 tahun. Ngaben adalah upacara agung yang membutuhkan biaya tinggi. Bisa seharga rumah minimalis di deretan perumahan ibu kota. Biaya yang mustahil dicapai keluarga kami. Keluarga kami hidup dengan sederhana, mendekati kata miskin. Tertutup bayangan kasta membuat keluarga kami belakang rumah dengan ukuran seluas rumah kecil kami. tunduk pada sikap Brahmana yang sesungguhnya. Waktu Seluruh bangunannya dibuat dari kayu cendana. Pada yang dihabiskan merawat pura bisa lebih panjang daripada malam-malam tertentu aromanya akan menguar hingga merawat wortel di kebun. Kitab Wedha bisa dibaca sepanjang ke sudut desa. Membuat anak-anak mengintip penuh hari, sementara kebun disiram seadanya. Tingkah ini yang penasaran dari balik pagar. “Hanya orang-orang pilihan yang membuat nasib keluarga kami menjadi begitu malang. boleh memasukinya” itu omongan yang santer di desa. Pada Hampir setiap tahun kebun kami mengalami gagal panen. kenyataannya tidak seperti itu. Hutang menumpuk untuk mengelola kebun. Terkadang
Gubuk cendana hanya bisa dimasuki oleh anggota keluarga warga memberi sedekah kepada kami. kami. Itu pun dengan syarat tertentu. Keluarga kami berasal dari kasta Brahmana di kalangan masyarakat Bali. Memimpin doa di pura milik desa sudah menjadi suatu kewajiban tak terbantahkan. Dari kakeknya kakekku, entah canggah atau buyut, hingga ayahku, lalu suatu hari nanti aku, serta anak cucuku. Kami yang menjaga pura di desa. Kami dihormati meski hidup seadanya. Kasta keluargaku membuat kami menjadi panutan warga desa. Seolah segala hal yang berasal dari keluargaku adalah sesuatu yang suci, termasuk gubuk cendana.
Seringkali mereka bertanya usai sembahyang di pura, “Bisakah kami menengok gubuk cendana?” Ayahku akan tersenyum dan menolak lembut. “Ya, suatu hari nanti.” Suatu hari yang tidak akan pernah tercapai. Warga desa hanya mampu menelan mimpi palsu mereka. Gubuk cendana dibangun hanya untuk keluarga kami sebagai bentuk fanatisme terhadap upacara Ngaben yang utuh.
“Ngaben harus dilaksanakan dengan tubuh yang utuh, melalui upacara besar dengan menara api yang menjulang tinggi ke langit. Kaum Brahmana harus melalui itu untuk mencapai kemuliaan akhirat yang sesungguhnya.” Itu wejangan yang telah diwariskan keluarga kami kepada keturunannya.
Sama seperti warga desa yang bermimpi memasuki gubuk cendana, keluargaku bermimpi merasakan kehangatan Ngaben. Mimpi yang kusadari tak akan pernah tercapai sejak usiaku 10 tahun. Ngaben adalah upacara agung yang membutuhkan biaya tinggi. Bisa seharga rumah minimalis di deretan perumahan ibu kota. Biaya yang mustahil dicapai keluarga kami.
Keluarga kami hidup dengan sederhana, mendekati kata miskin. Tertutup bayangan kasta membuat keluarga kami tunduk pada sikap Brahmana yang sesungguhnya. Waktu yang dihabiskan merawat pura bisa lebih panjang daripada merawat wortel di kebun. Kitab Wedha bisa dibaca sepanjang hari, sementara kebun disiram seadanya. Tingkah ini yang membuat nasib keluarga kami menjadi begitu malang.
Hampir setiap tahun kebun kami mengalami gagal panen. Hutang menumpuk untuk mengelola kebun. Terkadang warga memberi sedekah kepada kami.
Dapat dikatakan kami hidup seperti pengemis yang terhormat. Istilah yang cukup membuatku begidik setiap malam membayangkan diriku akan mewarisi kehidupan yang sama. Terkadang, sedekah dari warga tak mencukupi. Hal ini membuat bapak mencuri sesaji di pura untuk kami makan.
“Kita sudah sangat berbakti kepada mereka. Sudah sewajarnya mereka membantu kita di kala susah. Sesaji mereka adalah milik kita juga.” Begitu penjelasan bapak ketika kukatakan bahwa dia telah mencuri. Dalam hati aku teriakkan bahwa bapakku munafik. Keluarga kami munafik dengan fanatisme terhadap Ngaben dan surga. Aku percaya, tak ada seorang pun yang senang jika barangnya dicuri, termasuk para dewa di pura. Aku percaya Ngaben keluarga kami akan terasa seperti neraka dunia.
******
Fanatisme keluarga kami terkurung di dalam gubuk cendana. Keluarga kami merawat gubuk cendana seperti merawat seorang bayi kecil. Kayu cendana yang lapuk akan segera diganti. Rumput liar disekitar gubuk akan selalu dicabuti. Atap yang rusak akan segera digantikan dengan yang baru. Bisa kukatakan rumah kami tak seindah gubuk cendana. Tiap bulan, ibu bisa menghabiskan ratusan ribu untuk membeli dupa, juga bunga-bunga. Semua itu untuk memastikan gubuk cendana selalu wangi.
Mungkin kalian akan bertanya-tanya mengapa gubuk cendana kami itu harus selalu wangi. Ya, di dalam gubuk cendana keluarga kami menyimpan rahasia besar. Warga desa tidak pernah tahu. Gubuk yang mereka agungkan itu menyimpan kebusukan keluarga kami. Aku sampaikan kebusukan ini dalam makna sesungguhnya, bukan sebagai suatu kiasan.
Gubuk cendana adalah tempat menyimpan mayat kering anggota keluarga kami. Mayat-mayat itu tak boleh hancur sebelum mereka terima Ngaben yang sakral dan bermartabat. Lalu, bagaimana mayat-mayat itu mengering tanpa membusuk? Entahlah, aku juga tak paham. Sepertinya rahasia pengeringan mayat ini hanya diwariskan pada para wanita di keluarga kami. Ambil contoh ibuku sebagai satu-satunya wanita di keluarga kami saat ini. Sebulan sekali, ibu akan membeli banyak rempah di pasar dan mengolahnya menjadi pasta kuning dengan aroma Wangi. Pasta yang aku yakini sebagai ramuan pengering tubuh manusia.
Lebih mengerikan lagi, pengeringan mayat itu dimulai sebelum mereka menjadi mayat. Aku tahu hal ini sebulan setelah kakek dimasukkan ke gubuk cendana. Seminggu sekali tiap malam ayah akan mengendap ke dalam gubuk dengan semangkuk pasta rempah dan sepiring makanan. Bermodalkan rasa penasaran, aku mengintip dari balik cela yang tak pernah mereka ketahui keberadaannya.
Dalam pendar lilin, terlihat bapak menyuapi kakek makan malam. Di dalam sana tubuh kakek terbaring kaku mengering. Hanya wajahnya yang terlihat hidup. Tanpa perlu menunggu bapak mengoleskan pasta rempah ke sekujur tubuh kakek, aku sudah dapat mengambil kesimpulan. Tubuh kakek dibunuh perlahan, hanya kepalanya yang dibiarkan hidup.
Kekonyolanku malam itu membuatku bermimpi buruk tiap malam. Dapat kubayangkan suatu hari nanti tubuhku terbaring kaku di sana. Menjadi kaku secara perlahan sementara wajahku merintih. Tak perlu menunggu tua. Bisa saja karena tingkah nakalku, bapak ibu dengan tega mengurungku di sana. Menjadikan tubuhku serupa tubuh kakek.
Berkat trauma itu aku belajar mati-matian di sekolah. Akan kupastikan gubuk itu menghilang pada masaku. Akan kupastikan tubuhku bapak, aku, bahkan cucu-cucuku tak pernah merasakan dinginnya gubuk cendana. Ngaben keparat itu harus segera digelar sebelum kematian menyongsongku. Fanatisme gila atas impian Ngaben yang sesungguhnya harus berakhir di telingaku. Tak boleh tiba pada keturunanku.
Pada akhirnya aku tumbuh dalam kengerian dan angan-angan kehancuran gubuk cendana. Aku belajar seperti orang kesetanan. Aku raih banyak prestasi hingga dapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Pada masa-masa itu aku dapat melupakan sejenak bayangan gubuk cendana. Meski beberapa kali sempat teringat sebab orang luar negeri sana begitu gila dengan budaya nusantara, khususnya Bali. Jika terpaksa, aku akhirnya bercerita singkat tentang budaya di Bali. Tentu saja dengan catatan, aku tak akan pernah membahas Ngaben sedikit pun!
Tinggal di luar negeri seperti oase bagiku. Adatnya berbeda dan tak mengekang. negera liberal seperti Amerika memang luar biasa. Tak ada adat istiadat aneh yang diwariskan untuk mengurung anak turun keluarga. Tak ada hal-hal mistis seperti aroma dupa. Hanya ada aroma parfum Perancis yang dijajakan di pertokoan. Di sana aku terhipnotis dan hampir melupakan jati diri.
Bayangan rumah sebenarnya masih menghantuiku. Aku berkencan dengan gadis Jerman di sini. Meski banyak kawankawan dari Indonesia, aku dengan sengaja lebih mendekati gadis asing. Dalam bayanganku, berkencan atau bahkan menikahi gadis negeri sendiri akan membawaku pulang ke tanah air, membawaku ke tempat mengerikan seperti gubuk cendana.
Masa libur kuliah pun kuhabiskan di sana. Bapak terkadang menelepon dan mengeluhkan berbagai hal. Dia mengeluhkan tubuhnya yang mulai renta seperti kakek dulu. Dia juga menceritakan kondisi pura. Di antara semua keluhan, dia paling mengeluhkan kondisi gubuk cendana. Biaya merawat gubuk sialan itu meningkat dua kali lipat. Kondisi bapak yang memburuk memaksanya mempekerjakan pembantu untuk mengurus keperluan gubuk. Perawatan puluhan mayat di dalamnya juga membutuhkan biaya lebih. “Sepertinya bapak dan ibu akan segera tinggal dalam gubuk. Sebaiknya lepaskan studimu dan pulang ke rumah.”
Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar aku sudah paham keinginan bapak. Dia butuh pewaris gubuk cendana, juga mantu yang siap menggantikan tugas ibu membuat ramuan pengering tubuh. Fakta bahwa diriku terlahir sebagai anak tunggal sangatlah menyedihkan. Seandainya aku punya kakak atau adik, mungkin aku bisa lari dari beban mengerikan ini. Beban yang senantiasa membawaku dalam bayang-bayang kematian dan panas api Ngaben.
Sejak telepon terakhir bapak itu, aku tidak bisa hidup dengan tenang. Harusnya aku bisa kabur dari genggaman fanatisme Ngaben itu. Toh, bapak tak mungkin menyusulku ke Amerika. Aku sudah punya kerja sampingan di sini. Biaya kuliah dan hidup sehari-hari juga ditanggung penuh oleh pemberi beasiswa. Aku hanya perlu belajar lebih giat, lulus dengan sempurna, cari kerja, dan menjadi kaya. Dengan kekayaan itu aku bisa membakar habis isi gubuk cendana sekaligus fanatisme Ngaben di dalamnya.
Bapak bisa masuk gubuk itu sendirian dan meminta ibu mengoleskan ramuan pengering ke tubuhnya. Semisal ibu harus masuk ke dalam gubuk itu juga, mereka bisa sewa orang untuk mengoleskan ramuan pengering itu. Tugasku hanya satu, mengumpulkan uang dan membakar habis segalanya. Keputusanku bulat, aku tak akan pulang sebelum mampu membakar gubuk cendana itu. Usai ambil keputusan itu, segera kuhubungi bapak. Kusampaikan bahwa aku tidak akan kembali ke rumah sebelum menjadi orang sukses, menghasilkan banyak uang, lalu memenuhi mimpi besar keluarga kami, ‘merasakan kehangatan api Ngaben dengan menara yang menjulang tinggi ke langit.’
Bisa kudengar hembusan napas berat bapak di seberang telepon. Hembusan yang membunyikan lonceng kemenanganku dengan merdu. “Tidak, kau pasti akan pulang ke rumah secepatnya.” Itu jawaban bapak atas keputusan bulatku. Sialnya, tiga hari setelah itu aku mengalami kecelakaan lalu lintas. Sebuah Bus yang Dibajak Pemabuk Bersenjata Menabrak Mahasiswa Asing di Jalanan Kota Los Angeles. Itu kalimat pembuka berita yang aku baca di koran saat berada di rumah sakit.
Korban kecelakaan itu adalah aku. Kakiku remuk dan mengalami kelumpuhan total. Sementara, lidahku kelu membisu karena syarafnya terputus. Dalam kondisi mengenaskan itu, aku dipulangkan ke tanah air. Pihak pemberi beasiswa mengatakan bahwa berada di dekat keluarga akan menjadi obat terbaik bagiku. Aku tak memprotes sebab telah bisu. Toh, siapa yang mau meneruskan beasiswa untuk penyandang cacat.
Begitu tiba di rumah ibu menyambutku dengan tangis dan memelukku erat-erat. Sementara, bapakku itu tersenyum di balik tubuh ibu. “Sudah kukatakan kau akan pulang ke rumah cepat atau lambat.” Dia berbisik dengan nada riang.
Dibanding ibu, bapak yang paling perhatian merawatku. ‘Merawat’ dalam artian yang berbeda. Mungkin ibu akan melihat bapak sebagai sosok yang menyayangi anaknya. Padahal yang dilakukannya padaku hanyalah memberi siksaan batin. Setiap jam makan tiba dia akan menyuapiku dan memberikan wejangan-wejangan terkait gubuk cendana dan mimpi keluarga kami. Lalu, ketika tiba waktu tidur tiba dia akan kembali mendongeng, memberikan saran-saran kehidupan untukku. Sarannya yang paling kelewatan adalah memintaku tinggal di dalam gubuk cendana.
Saran itu pada akhirnya dia laksanakan. Tanpa memedulikan penolakan ibu, aku dikurung dalam gubuk cendana. Bapak bahkan dengan sengaja mengoleskan ramuan pengering tubuh ke kakiku. Terkadang dia ikat aku dengan tali tambang ketika memberontak. Malam di dalam gubuk sangatlah memuakkan. Aroma cendana bercampur dupa, juga apek mayat. Anggota keluarga yang sepenuhnya telah menjadi mayat akan ditumpuk di bagian ujung gubuk cendana. Tubuhnya kering tak bernyawa, tapi utuh seperti hidup. Aku bahkan masih mengenali wajah kakek di antara tumpukan mayat itu.
Semakin hari, bapak mulai tidak waras. Seolah impian terbesarnya saat ini adalah membunuhku. Ramuan itu mulai dioleskan di bagian tubuhku yang lain. Perut, dada, juga tangan. Ukuran tubuhku menyusut drastis, tanganku mulai lumpuh. Mimpiku semakin mengerikan di tiap malam. Aku bisa membayangkan hari ketika tubuhku mati dan ditumpuk di atas tubuh leluhur akan segera tiba. Gubuk cendana adalah simbol kutukan keluarga kami, itu simpulan terakhirku sebelum jatuh dalam jurang keputusasaan.
Tidak! Hyang Widhi, Tuhan, atau apa pun itu sepertinya masih peduli dengan sebuah mimpiku. Membakar habis gubuk cendana dan fanatisme di dalamnya itu tiba melalui ibuku. Malam itu bapak ada urusan di pura sehingga urusan merawatku diserahkan kepada ibu. Seperti bapak, dia masuk ke dalam gubuk cendana dengan membawa sepiring makan malam, semangkuk ramuan pengering tubuh, dan sebatang lilin. Wanita tua itu tersedu-sedu melihat kondisiku. Dia menyuapiku penuh kasih, mengoles tubuhku dengan ramuan biadab itu dengan lemah lembut. Jauh berbeda dengan perlakuan bapak selama ini. Hal berbeda lainnya adalah dia meninggalkan sebatang lilin sebab tak tega melihatku dikurung dalam kegelapan.
Lilin dengan pendar api yang kecil. Gubuk cendana yang serupa menara Ngaben. Juga mayat-mayat yang utuh di dalamnya. Semua syarat seolah terpenuhi untuk laksanakan Ngaben. Malam itu, kuseret tubuhku mendekati tumpukan mayat leluhur dengan susah payah. Kubakar jari-jari kakiku yang tak bernyawa, kering sempurna seperti ranting pohon di hutan belakang pura. Api dengan cepat menjalar, membesar. Mayat-mayat terbakar seperti ranting di perapian dapur ibu. Aku tertawa dalam bisu. Membayangkan muka bapak menangisi gubuk cendana yang tinggal arang. Membayangkan akulah yang telah lakukan Ngaben secara utuh kepada para leluhur biadab.
“Ngaben harus dilaksanakan dengan tubuh yang utuh, melalui upacara besar dengan enara api yang menjulang tinggi ke langit. Kaum Brahmana harus melalui itu untuk mencapai kemuliaan akhirat yang sesungguhnya.” Aku teringat wejangan itu dan tersenyum untuk terakhir kalinya. Sebelum api menjilat wajahku dengan sempurna.