6 minute read

Reaktualisasi Jejak Cinta Ibrahim as di Tengah Pandemi

Oleh Muslihati

Bulan Dzulhijjah, bulan bertabur kasih sayang. Rangkaian ibadah haji, perayaan Iduladha dan ibadah kurban menjadi buktinya. Ketika umat Islam tetamu Allah sedang khusyuk bermunajat dalam wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah, sebagian umat Islam di belahan bumi lainnya sedang bersiapsiap menyongsong Iduladha dan berkurban. Meski prasyarat setiap ibadah tersebut berbeda, tetapi semuanya memerlukan modal yang tidak sederhana, khususnya modal kekuatan cinta.

Advertisement

Jejak Cinta Nabi Ibrahim as.

Ibadah haji dan kurban berakar dari sejarah Nabiyullah Ibrahim as. Masyhur cerita dari generasi ke generasi menuturkan kesalehan dan keikhlasan pemuda belia Ismail yang merelakan dirinya disembelih ayahnya sendiri demi mematuhi perintah Allah SWT. Keiklasan itu pun berbuah manis karena Allah SWT mengganti dirinya dengan hewan berupa domba. Peristiwa ini diabadikan sebagai ibadah Kurban. Kita juga sering mendengar narasi perjuangan Siti Hajar yang berlari-lari tujuh kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah demi mencari air untuk bayi buah hatinya yang sedang kehausan. Perjuangan ini diabadikan menjadi salah satu rukun ibadah haji dan umrah yaitu sa’i. Jejak luar biasa keluarga Ibrahim tidak berhenti sebatas itu saja. Beliau bersama Siti Hajar dan Ismail belia secara heroik berjibaku melempar batubatu kecil demi mengusir setan yang terus berupaya menggoyahkan iman dan keikhlasan mereka ketika akan mengorbankan sang anak kesayangan. Peristiwa ini juga diabadikan dalam ibadah haji yaitu lempar tiga jumroh. Pendek kata, seluruh situs penting dan bersejarah berikut rangkaian ritual ibadah haji tidak lepas dari jejak penuh karomah dari sosok mulia Nabi Ibrahim as. Saya menyebutnya sebagai jejak cinta.

Lalu, bagaimana relevansi jejak cinta Ibrahim as dengan situasi penuh perjuangan di masa pandemi Covid-19 ini? bagaimana pula umat manusia khususnya umat Islam dapat menyerap inspirasi dari jejak cinta sang bapak para nabi agar survive dan produktif di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai ini?

Tidak lengkap rasanya mengulas dua hal tersebut tanpa membuka kembali ihwal kehadiran keluarga Ibrahim di tanah Arab. Jejak cinta Ibrahim yang berabad kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW berawal dari keikhlasan beliau menempatkan istrinya Siti Hajar dan bayi Ismail di lembah tak berpenghuni di sisi Baitullah. Kisah ini tergambar jelas dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37 yang artinya,“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. Ayat ini menggambarkan betapa Ibrahim as dan istri beliau memiliki keikhlasan, kepasrahan, keimanan, dan cinta yang sangat kuat pada Allah SWT, hingga apa pun yang diperintahkan-Nya akan dilakukan tanpa tawar-menawar.

Tampaknya, kedahsyatan resonansi iman Ibrahim as. terinternalisasi kuat ke dalam nurani Siti Hajar. Ketika ditinggal berdua dengan bekal seadanya di tempat asing demi mematuhi perintah Allah SWT, wanita mulia itu menjalani dengan ikhlas, gagah, dan penuh keyakinan akan pertolongan Sang Khalik. Sungguh gambaran kualitas iman dan cinta yang luar biasa. Bagi manusia kebanyakan, tinggal berdua di tempat sunyi saja sudah pasti menghadirkan ketakutan, belum lagi ancaman kehabisan pasokan bahan makanan dan gangguan binatang buas. Namun, Hajar bukan wanita sembarangan, dia pejuang penuh iman. Bayangkan saja bagaimana kesanggupannya berlari tujuh kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah yang jaraknya sekitar 500 meter dalam kondisi panas terik di medan terjal. Hanya wanita luar biasa dengan motivasi baja saja yang mampu menjalaninya tanpa keluh kesah. Buah manis karomahnya dapat dinikmati hingga detik ini, air zamzam yang menyegarkan dan penuh khasiat mengalir tiada henti beratus-ratus tahun lamanya.

Jangan bandingkan bebukitan Mekkah di masa lampau dengan kondisi saat ini, perbedaannya ibarat langit dan bumi. Kala itu Makkah sangat gersang dan panas, sementara saat ini jalur sa’i—monumen perjuangan—Siti Hajar ra. telah berubah drastis berlantai marmer, beratap beton, berpendingin ruangan, juga lebih landai. Bukit Shafa dan bukit Marwah telah dipapras dan dikondisikan agar memudahkan para jamaah haji dan umrah ketika melintasinya.

Edukasi iman dan cinta Allah SWT juga meresap kuat ke jiwa Ismail as anak kesayangan Ibrahim as. Terbukti ketika beliau menyampaikan perihal mimpi perintah Allah SWT untuk menyembelihnya, sang Nabi belia menyatakan kesediaan tanpa ragu sedikitpun. Dalam Al-Qur’an Surat As-Shaaffat ayat 102 disebutkan ”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kerelaan hati untuk mengorbankan nyawa menjadi bukti betapa kokohnya rasa cinta putra Ibrahim as. pada Allah SWT tentu saja bukan sekedar cinta biasa.

Memaknai Jejak Cinta Nabi Ibrahim as di Tengah Pandemi

Kisah-kisah dalam jejak cinta Ibrahim as, sejatinya mengajarkan pada umat manusia agar mampu mencapai kualitas kemanusiaannya yang hakiki yaitu menghamba dan beribadah dengan penuh cinta tanpa syarat. Ibrahim as menginspirasi kita semua untuk menerima dan mematuhi perintah Allah SWT walau terlihat sangat sulit dan di luar kewajaran. Tidak mudah bagi seorang suami dan ayah yang penyayang meninggalkan anak istrinya di lembar gersang, tapi Ibrahim melakukannya dengan ikhlas. Ditinggal berdua di tempat asing juga bukan hal yang ringan bagi seorang perempuan, tapi Hajar menjalani dengan gagah. Tidaklah gampang mempercayai isyarat mimpi yang memerintahkan untuk menyembelih buah hati yang sangat dicintai, tapi Ibrahim as mampu memenuhinya. Bukanlah sesuatu yang sederhana bagi seorang anak untuk merelakan nyawa sebagai persembahan kepatuhan sang ayah pada Tuhannya, tapi Ismail menyanggupinya.

Bandingkan dengan kondisi saat ini. Deraan ancaman pandemi Covid-19 telah membuat hati kita semua kecut dan kerdil. Kondisi yang tak lagi sama dengan sebelumnya, menumbuhkan deretan keluh kesah tiada henti. Padahal kita tinggal di tengah-tengah keluarga dan tetangga, yang insyaallah akan membantu jika kita mengalami kondisi susah. Padahal Hajar telah memberi teladan dalam menghadapi ancaman kelapangan dan kehausan. Teladan juang inilah yang perlu kita rujuk untuk memompa semangat dan tegar menghadapi risiko akibat pandemi. Salah satu pesan cinta yang dapat dipetik adalah jangan mudah menyerah, teruslah berusaha. Doa Nabi Ibrahim ketika meninggalkan anak istrinya patut menjadi sumber inspirasi untuk terus berhusnuzon, beribadah shalat sekaligus memohon keberkahan dan kemampuan bersyukur dalam menghadapi kondisi seberat apa pun.

Bagi calon jamaah haji yang tertunda karena kebijakan pemerintah Arab Saudi, ketabahan Ibrahim as dan Ismail as menerima perintah kurban perlu menjadi sumber inspirasi dalam menerima takdir Allah SWT. Yakinlah bahwa setiap keikhlasan akan berbuah manis, sebagai yang telah ditunjukkan dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Bagaimanapun juga, pandemi Covid-19 adalah takdir Allah SWT, tunduk pada takdir berarti mengimani dan mematuhi ketentuan Allah SWT. Menerima takdir tertundanya ibadah haji bagi mereka tentu menjadi wujud implementasi dari rasa iman itu sendiri. Mudahkan hati dan jiwa untuk meyakini takdir Allah SWT tentang haji tahun 2020, pasrahkan pada Sang Penentu segala kejadian.

Sementara itu, jejak cinta yang tidak kalah pentingnya adalah esensi kurban dan lempar jumroh. Kedua ibadah ini adalah teladan pembersihan jiwa dari kontaminasi karakter negatif. Ibadah kurban sejatinya adalah detoksifikasi jiwa manusia dari pengaruh negatif sifat-sifat hewani: tamak, rakus, suka mengeluh, tidak bersyukur. Sedangkan lempar jumroh merupakan upaya pembersihan diri dari karakter setan: ingkar, kufur, tidak patuh, dan pembangkang yang sering menyusup mencemari karakter manusia. Jiwa dan hati yang bersih memungkinkan bersemainya iman dan cinta Allah SWT dengan subur.

Subhanallah, setiap perintah ibadah bertujuan memuliakan manusia, sebagaimana teladan jejak cinta dari nabi-nabi Allah dan keluarganya yang diutus untuk memaklumatkan Keesaan Allah sebagaimana Nabi Ibrahim as., Nabi Ismail as., dan Siti Hajar ra. Memang terbukti, tiada yang lebih mulia dari cinta luar biasa pada Sang pencipta.

Penulis adalah dosen Jurusan Bimbingan Konseling dan anggota penyunting majalah Komunikasi

This article is from: