Majalah Komunikasi UM | Edisi 329 Juli - Agustus 2020

Page 34

Rancak Budaya

Gubuk Cendana

“S

oleh Fatima Tuzzahro

uatu hari kau akan masuk ke dalam sana” itu kata-kata terakhir kakek sebelum dia masuk ke dalam gubuk cendana di belakang rumah. Gubuk cendana, salah satu hal menarik dari rumahku. Letaknya di belakang rumah dengan ukuran seluas rumah kecil kami. Seluruh bangunannya dibuat dari kayu cendana. Pada malam-malam tertentu aromanya akan menguar hingga ke sudut desa. Membuat anak-anak mengintip penuh penasaran dari balik pagar. “Hanya orang-orang pilihan yang boleh memasukinya” itu omongan yang santer di desa. Pada kenyataannya tidak seperti itu. Gubuk cendana hanya bisa dimasuki oleh anggota keluarga kami. Itu pun dengan syarat tertentu. Keluarga kami berasal dari kasta Brahmana di kalangan masyarakat Bali. Memimpin doa di pura milik desa sudah menjadi suatu kewajiban tak terbantahkan. Dari kakeknya kakekku, entah canggah atau buyut, hingga ayahku, lalu suatu hari nanti aku, serta anak cucuku. Kami yang menjaga pura di desa. Kami dihormati meski hidup seadanya. Kasta keluargaku membuat kami menjadi panutan warga desa. Seolah segala hal yang berasal dari keluargaku adalah sesuatu yang suci, termasuk gubuk cendana. Seringkali mereka bertanya usai sembahyang di pura, “Bisakah kami menengok gubuk cendana?” Ayahku akan tersenyum dan menolak lembut. “Ya, suatu hari nanti.” Suatu hari yang tidak akan pernah tercapai. Warga desa hanya mampu menelan mimpi palsu mereka. Gubuk cendana dibangun hanya untuk keluarga kami sebagai bentuk fanatisme terhadap upacara Ngaben yang utuh. “Ngaben harus dilaksanakan dengan tubuh yang utuh, melalui upacara besar dengan menara api yang menjulang tinggi ke langit. Kaum Brahmana harus melalui itu untuk mencapai kemuliaan akhirat yang sesungguhnya.” Itu wejangan yang telah diwariskan keluarga kami kepada keturunannya. Sama seperti warga desa yang bermimpi memasuki gubuk cendana, keluargaku bermimpi merasakan kehangatan Ngaben. Mimpi yang kusadari tak akan pernah tercapai

sejak usiaku 10 tahun. Ngaben adalah upacara agung yang membutuhkan biaya tinggi. Bisa seharga rumah minimalis di deretan perumahan ibu kota. Biaya yang mustahil dicapai keluarga kami. Keluarga kami hidup dengan sederhana, mendekati kata miskin. Tertutup bayangan kasta membuat keluarga kami tunduk pada sikap Brahmana yang sesungguhnya. Waktu yang dihabiskan merawat pura bisa lebih panjang daripada merawat wortel di kebun. Kitab Wedha bisa dibaca sepanjang hari, sementara kebun disiram seadanya. Tingkah ini yang membuat nasib keluarga kami menjadi begitu malang. Hampir setiap tahun kebun kami mengalami gagal panen. Hutang menumpuk untuk mengelola kebun. Terkadang warga memberi sedekah kepada kami.

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

34 | Komunikasi Edisi 329


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Majalah Komunikasi UM | Edisi 329 Juli - Agustus 2020 by Majalah Komunikasi UM - Issuu