5 minute read

DANYANG

DANYANG oleh Muhlil Rofiki

Berita tentang Farul yang kesurupan menyebar cepat hingga pelosok desa. Kabar-kabarnya ia sudah tidak sadar selama seminggu, terbaring di kasur dan berbicara ngelantur. Sudah banyak orang pintar yang datang bermaksud menyembuhkannya, tapi kepintarannya tidak terbukti. Warga desa mengaitkan kejadian yang menimpa Farul dengan acara dangdutan yang diadakan seminggu sebelumnya di tanah lapang di samping komplek punden. Suatu waktu pernah ditanya siapa yang ada di tubuh Farul dan dia menyebut nama Mbah Gading.

Advertisement

“Aku… nggak mau keluar… kalau orangnya… cuma mikir… duit,” kata Mbah Gading mengerang dengan suara khas orang tua.

Perkataan Mbah Gading menyentak Sri’ah. Pasalnya dia berani memasang berapapun imbalan yang orang pintar itu minta asalkan anaknya bisa kembali seperti semula. Tampaknya Mbah Gading memang tahu niatan dari orang-orang pintar yang mencoba mengeluarkannya. Semuanya datang demi mendapatkan imbalan dari Sri’ah, sampai-sampai ada juga yang mengaku orang pintar padahal tidak tahu apa pun.

Sri’ah dan Darto selalu dihantui ketakutan kepada anaknya. Mereka selalu tidak tenang berada di rumah. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain mempersilakan siapa saja orang yang hendak menyembuhkan Farul.

Suatu malam Mbah Gading memanggil qaSri’ah dan Darto untuk mendengarkan perkataannya. Ia meminta satu hal sebagai syarat agar bisa keluar dari tubuh Farul. Dia meminta dibangunkan sebuah langgar di komplek punden agar tidak lagi diadakan lagi pertunjukan-pertunjukan yang tidak senonoh. Berharap masyarakat tahu tempat untuk melaksanakan segala sesuatu.

Esok paginya Darto berangkat menemui Pak Karto, selaku kepala desa untuk menyampaikan permintaan Mbah Gading. Sri’ah sangat berharap permintaan itu dapat dipenuhi pihak desa. Dengan menyembunyikan wajah sedihnya, ia sedikit memberi semangat pada Darto. “Semoga dipenuhi orang desa, Pak.”

Darto segera mengambil sepeda Onthel yang tiap hari dipakainya bekerja. Walaupun satu desa, rumah kepala desa berada di dukuh yang berbeda dengan rumahnya. Ia harus menempuh jalan makadam yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah ada usaha dari pihak desa untuk memperbaikinya. Jalan itu seakan memisahkan dukuh tempat tinggal Darto dari peradaban desa yang ramai.

Rumah Pak Karto berada di tepi jalan raya yang ramai. Rumah itu berpagarkan batu bata dengan tralis besi berwarna keemasan, dengan halaman yang luas, dan tanaman di kanan kiri. Dengan dinding berwarna putih tulang dan tiang rumahnya yang dicat hingga terkesan terbuat dari batu marmer.

“Assalamualaikum, Pak Kades,” ujar Darto. “Waalaikumussalam, eh Pak Darto,” ujar Pak karto yang sedang asyik merawat burung kenari peliharaannya. “ Ada apa, Pak, pagipagi sudah ke sini?” lanjut Pak Karto. “Begini, Pak Kades. Kemarin malam Mbah Gading minta sesuatu.” “Siapa Mbah Gading?” tanya Pak Karto. “Yang masuk ke tubuh Farul, anak saya itu,” jawab Pak Darto. “Oh, anak sampean belum sembuh?” “Belum, Pak. Makanya saya ke sini, siapa tahu kalau permintaannya Mbah Gading dipenuhi, anak saya bisa sembuh,” “Minta apa dia, Pak?” “Anu, minta dibangunkan langgar di komplek punden,” “Waduh, mintanya aneh-aneh. Kalau mintanya seperti itu, nanti saya omongkan dulu ke orang-orang di desa, Pak. Gak mungkin kalau saya tiba-tiba ambil uang desa terus bangun langgar di sana. Repot nanti laporannya.”

Mendengar jawaban yang belum pasti dari Pak Karto, Darto memutuskan untuk pulang. Sambil bersepeda, dia memasang wajah yang murung karena merasa tidak menemukan titik terang. “Belum dikasih kepastian, Buk,” katanya kepada Sri’ah sesampainya di rumah.

Sudah dua minggu Mbah Gading berdiam di tubuh Farul. Dia masih setia menunggu sampai permintaannya dipenuhi oleh pihak desa. Pun tidak ada kabar baik yang sampai di telinga Darto sejak seminggu kunjungannya ke rumah Pak Karto. Sama-sama tidak ada kepastian. Sri’ah sampai-sampai pernah berkata jika permintaan keluarganya tidak dipenuhi oleh pihak desa, maka ia akan membangun sendiri langgar di komplek punden itu.

Ternyata memang tidak ada kabar dari pihak desa. Darto memutuskan untuk memastikan sekali lagi ke Pak Karto, kalau-kalau memang Darto sendiri belum mendengar persetujuan dari pihak desa. Dan hasilnya memang permintaan Darto tidak dapat dipenuhi oleh pihak desa lantaran kendala biaya. Dengan berani, Darto menantang Pak Karto kalau ia akan membangun sendiri langgar di komplek punden agar anaknya bisa kembali seperti semula.

Siangnya Darto berkeliling ke rumah-rumah tetangganya, menyampaikan permintaan bantuan untuk membangun langgar di komplek punden. Pembangunan langgar ini pun memakai dana dari keluarga Darto itu sendiri. Dia memang sengaja menolak bantuan dana dari tetangganya lantaran ia juga ingin sekalian bersedekah. Memang keluarga Darto bukan keluarga yang kaya, dia menyewakan satu-satunya tanah sawah agar dia mendapat tambahan uang.

Esoknya Darto mengajak warga untuk segera berkumpul di komplek punden. Darto sendiri mengonsep langgar ini tidak terlalu mewah, hanya merencanakan terbuat dari bambu dan kayu, asalkan bisa dipakai untuk beribadah siapa pun yang singgah di sana. Langgar tersebut dibangun di pelataran punden yang masih cukup luas. Dibangun di setengah luas halaman.

“Kok bisa ya orang-orang pejabat desa nggak perhatian sama hal yang begini? Toh ini juga demi kebaikan semuanya,” ujar Sentot kepada Darto yang saat itu sedang bersama-sama menggali tanah untuk pondasi.

“Jangankan langgar ini, wong jalan makadam iku wae gak segera diperbaiki, jalan juga jalannya desa sendiri,” ujar Darto. “Lah iyo, Pak, kok bisa, ke mana yo duite?” ujar Sentot. “Dimakan tikus paling,” balas Darto sambil tersenyum sinis.

Beberapa jam kemudian Pak Karto datang menghampiri orangorang yang bekerja membangun langgar di punden. Dengan melangkah penuh kehati-hatian untuk melindungi pakaian seragam dinasnya agar tetap bersih, dia menghampiri Darto. “Gimana, Pak Darto? Lancar?” tanya Pak Karto. “Alhamdulillah lancar, Pak Kades,” balas Darto. “Nanti aku kirimi makan siang, Pak. Rokok juga buat sampean dan kawan-kawan.” “Gak usah Pak, gak usah. Sudah saya siapkan semua. Istri saya sudah masak di rumah, sebentar lagi pasti diantar ke sini,” ujar Darto.

“Bapak lanjut saja bekerja di kantor, di sini kotor, kapan-kapan saja kalau mau membantu,” sambung Darto dengan berharap Pak Karto segera meninggalkannya.

Pak Karto segera meninggalkan pembangunan langgar itu. Di pergi dengan tetap tersenyum dengan maksud menjaga wibawanya di depan rakyat-rakyatnya.

Langgar itu akhirnya selesai dalam lima hari. Dengan perasaan bangga, Darto dan Sri’ah akhirnya dapat memenuhi syarat yang diajukan Mbah Gading. Walaupun dari kayu dan bambu, langgar itu berdiri kokoh. Tiang-tiang dan dindingnya dicat dan dipelitur sehingga tampak bagus dan mengkilat. Langgar ini tidak terlalu luas, paling-paling mampu menampung 10-15 orang saja. Beberapa sejadah, sarung, dan mukena sudah disediakan dan dapat digunakan di dalamnya.

Segera setelah langgar itu selesai, akhirnya Farul kembali seperti sedia kala, walaupun kini ia tampak lebih kurus karena kehilangan beberapa kilogram berat badannya. Tampaknya syarat yang diajukan Mbah Gading berhasil dipenuhi. Darto dan Sri’ah pun menangis terharu atas keadaan anaknya tersebut.

Kebahagiaan Darto seketika hilang saat Sentot datang ke rumahnya dengan memberikan kabar kalau pihak desa akan mengadakan Jaran Kepang di tanah lapang di samping komplek punden.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Juara 1 Kompetisi Penulisan Cerpen majalah Komunikasi

This article is from: