Rancak Budaya
DANYANG
B
oleh Muhlil Rofiki
erita tentang Farul yang kesurupan menyebar cepat hingga pelosok desa. Kabar-kabarnya ia sudah tidak sadar selama seminggu, terbaring di kasur dan berbicara ngelantur. Sudah banyak orang pintar yang datang bermaksud menyembuhkannya, tapi kepintarannya tidak terbukti. Warga desa mengaitkan kejadian yang menimpa Farul dengan acara dangdutan yang diadakan seminggu sebelumnya di tanah lapang di samping komplek punden. Suatu waktu pernah ditanya siapa yang ada di tubuh Farul dan dia menyebut nama Mbah Gading. “Aku… nggak mau keluar… kalau orangnya… cuma mikir… duit,” kata Mbah Gading mengerang dengan suara khas orang tua. Perkataan Mbah Gading menyentak Sri’ah. Pasalnya dia berani memasang berapapun imbalan yang orang pintar itu minta asalkan anaknya bisa kembali seperti semula. Tampaknya Mbah Gading memang tahu niatan dari orang-orang pintar yang mencoba mengeluarkannya. Semuanya datang demi mendapatkan imbalan dari Sri’ah, sampai-sampai ada juga yang mengaku orang pintar padahal tidak tahu apa pun. Sri’ah dan Darto selalu dihantui ketakutan kepada anaknya.
34 | Komunikasi Edisi 330
Mereka selalu tidak tenang berada di rumah. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain mempersilakan siapa saja orang yang hendak menyembuhkan Farul. Suatu malam Mbah Gading memanggil qaSri’ah dan Darto untuk mendengarkan perkataannya. Ia meminta satu hal sebagai syarat agar bisa keluar dari tubuh Farul. Dia meminta dibangunkan sebuah langgar di komplek punden agar tidak lagi diadakan lagi pertunjukan-pertunjukan yang tidak senonoh. Berharap masyarakat tahu tempat untuk melaksanakan segala sesuatu. Esok paginya Darto berangkat menemui Pak Karto, selaku kepala desa untuk menyampaikan permintaan Mbah Gading. Sri’ah sangat berharap permintaan itu dapat dipenuhi pihak desa. Dengan menyembunyikan wajah sedihnya, ia sedikit memberi semangat pada Darto. “Semoga dipenuhi orang desa, Pak.” Darto segera mengambil sepeda Onthel yang tiap hari dipakainya bekerja. Walaupun satu desa, rumah kepala desa berada di dukuh yang berbeda dengan rumahnya. Ia harus menempuh jalan makadam yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah ada usaha dari pihak desa untuk memperbaikinya. Jalan itu seakan memisahkan dukuh tempat tinggal Darto dari peradaban desa yang
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah