7 minute read

RANCAK BUDAYA

Next Article
SEPUTAR KAMPUS

SEPUTAR KAMPUS

Sejuta Cara Membawa Teori di Luar Kepala

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Advertisement

“Totalnya tiga ratus dua puluh ribu, Mas.” “Tiga ratus? Nggak salah, Pak?” Petugas perpustakaan menarik napas. “Nama Anda Muhammad Sunu, kan?” Yang ditanya mengangguk cepat. “Nah, tiga ratus dua puluh ribu,” lanjut petugas itu lagi, yakin dan penuh percaya diri menunjuk layar komputer. Sunu mendekat dan mencondongkan kepalanya agar detail denda pengembalian buku yang tertera pada layar dapat dia baca dengan jelas. Dia menelan ludah. “Memangnya kenapa, kok sampai setahun lebih tidak dikembalikan?” “Saya sudah berkali-kali mau mengembalikan buku ini, Pak. Namun, ia tidak mau dikembalikan.” “Maksudnya?” “Iya, buku ini tidak mau dikembalikan, seperti punya nyawa dan kehendak sendiri.” “Saya sedang tidak bercanda, Mas.” “Saya juga sedang tidak bercanda, Pak. Setahun belakangan ini saya selalu mencari cara agar buku ini lepas dari saya. Beberapa hari lalu saya bahkan menguburnya di taman makam pahlawan.” “Mengubur ... apa?” “Buku ini,” Sunu melirik sebuah buku di samping komputer, sumber malapetaka di hidupnya selama setahun terakhir. “Saya tidak mengerti maksud Anda.” “Akan saya ceritakan tapi Bapak harus janji untuk tidak meragukan saya.” Petugas perpustakaan itu diam dan melihat sekeliling: Para rekan kerjanya yang sendu dan bosan di meja masing-masing. Di antara sekian banyak cara kematian di dunia ini, mati bosan adalah cara yang paling tidak elegan, pikirnya. “Pak?” “Egh, ya?” Petugas perpustakaan itu setengah kaget. “Oke, saya coba dengarkan.” “Bapak belum berjanji,” “Berjanji apa?” “Berjanji untuk tidak meragukan saya,” Petugas perpustakaan itu terdiam sebentar. “Oke, saya janji.” “Ngomong-ngomong, nama Bapak siapa?” “Panggil saja Hamukti.” “Baik, Pak Hamukti. Begini, saya meminjam buku ini setahun yang lalu—” “Sudah lebih dari setahun, Mas.” “Ya, itu maksud saya. Saya meminjam buku ini lebih dari setahun yang lalu. Tidak biasanya saya ke kampus malam-malam. Saya ingat betul, itu hari Kamis. Saya tidak banyak berkeliling dan langsung menuju ke deretan rak tempat buku ini disimpan. Setelah ketemu, saya mengambilnya dan langsung menuju ke petugas peminjaman. Tidak ada hal aneh yang terjadi sampai keesokan paginya, saya tiba di kampus—” “Saya kira semua orang juga mengalami hal serupa, Mas,” potong Pak Hamukti. “Tunggu dulu, Pak. Cerita saya belum selesai. Bapak sudah janji tidak akan meragukan saya,” Pak Hamukti mendengus. “Ya, ya, lanjutkan.” “Ketika saya tiba di kampus keesokan paginya, buku ini ada di tas saya. Padahal saya ingat betul bahwa malam sebelumnya saya sudah mengeluarkan buku ini, membacanya sebentar, kemudian pergi tidur tanpa memasukkan buku ini ke tas lagi. Pagi itu saat saya di kelas, buku ini malah ada di dalam tas ….” “Mungkin ingatan Mas Sunu salah.” “Ya, itu bisa saja terjadi. Saat itu pun saya berpikiran seperti Bapak. Namun, kejadian itu berulang terus. Saya tidak berencana membawa buku ini dan tidak pernah memasukkannya ke tas, tapi begitu saya di kampus, buku ini selalu terbawa.” Pak Hamukti menatap iba. “Oh, jangan tatap saya begitu, Pak.” Sunu mendengus. “Bapak salah besar jika mengira saya gila. Mungkin sampai di sini, keanehannya belum seberapa. Suatu hari, saya membawa buku ini ke tempat fotokopi karena memang itulah tujuan awal saya meminjamnya. Namun, karyawan fotokopi bilang bahwa mesinnya bermasalah. Kertas yang keluar hanyalah kertas kosong, alih-alih kopian buku ini. Saya belum curiga. Saya membawa buku ini ke beberapa tempat lain, dan hasilnya sama saja, Pak. Mesin fotokopi mereka mengeluarkan kertas kosong! Seolah-olah buku ini tak mau digandakan,” Pak Hamukti berdeham, memperbaiki posisi kacamatanya.

34

| Komunikasi Edisi 334

Kacamata berantai yang mengingatkan Sunu kepada mendiang neneknya. Sunu cemas, tengkuknya berkeringat. Dia tak hentihentinya melirik buku sialan itu, memastikan bahwa buku tersebut masih ada di sana. “Buku ini juga pernah membuat saya merasa bersalah, Pak.” “Oh, ya? Bagaimana persisnya?” “Terjadi beberapa bulan lalu, saat malam minggu. Saya dan seorang teman jalan-jalan naik sepeda motor milik saya. Kami menonton di bioskop kemudian makan gorengan di pinggir jalan. Dia bertanya apakah saya punya tisu ... saya bilang tidak punya. Saya membuka jok dan berniat mencari apa pun yang dapat menggantikan tisu, sekadar basa-basi agar terlihat perhatian. Betapa terkejutnya saya ketika mendapati buku ini ada di sana! Di dalam jok! Saya tak pernah meletakkannya di sana. Lagipula untuk apa saya bawa-bawa buku saat malam mingguan? Sialnya lagi, teman saya tadi amat girang melihat buku ini. Seperti orang kesurupan, dia mengambilnya lalu merobek halaman belakangnya, halaman di mana terdapat biografi penulis. Saya panik dan marah seketika. Saya bilang, buku ini milik perpustakaan kampus. Tidak biasanya saya marah. Saya benar-benar tertekan akibat buku menyebalkan ini. Kemarahan saya ternyata berbuntut panjang. Teman saya balik marah dan tidak mau menemui saya lagi. Setelah itu, saya merasa menjadi laki-laki paling menyedihkan di dunia ini.” “Teman Anda itu perempuan?” “Ya,” “Pacar?” “Bukan, dia sudah punya pacar.” “Anda pergi nonton film dan makan gorengan bersama pacar orang lain?” “Oh, ayolah, Pak, bukan itu yang ingin kita bahas.” “Anda yang memulai semua cerita ini, Mas Sunu.” “Oleh sebab itu saya harus cepat menyelesaikannya.” “Baiklah, lanjutkan.” “Sesudah beberapa pekan meminjam buku ini, saya berkalikali berusaha menginjakkan kaki di perpustakaan ini untuk mengembalikannya. Saya tidak tahu kekuatan apa yang selalu mencegah saya. Setiap saya menuju kemari, saya selalu mengalami hal-hal menyebalkan: Ban sepeda motor saya gembos, bensin habis, mogok, sampai puncaknya ... saya kecelakaan. Bokong saya retak hingga saya harus absen kuliah selama lebih dari dua bulan. Teman-teman dan beberapa dosen saya tahu soal itu.” Pak Hamukti menatap wajah Sunu dengan serius. Sejujurnya, dia berniat membuktikan soal bokong yang retak itu; memastikan apakah mahasiswa ini memang serius, setengah gila, atau justru benar-benar gila. Namun, rasa tidak enak hati segera mengurungkan niatnya. “Jadi, apa yang Anda lakukan selama tidak kuliah?” “Menunggu bokong saya pulih sembari menjernihkan pikiran, Pak. Saya berharap itu semua mimpi tapi setiap pagi saat bangun tidur, saya selalu merasakan nyeri yang sama. Tidak ada yang bisa saya lakukan.” Pak Hamukti mengangguk-ngangguk. “Saya mengerti kesulitan Mas Sunu,” “Terima kasih, Pak. Boleh saya lanjutkan? Sedikit lagi,” Pak Hamukti mengangguk. “Setelah benar-benar pulih, saya tidak menyerah. Saya melakukan berbagai cara agar buku ini pergi: Meninggalkannya di kelas, membuangnya di sembarang tempat, memberikannya pada teman, menyumbangkannya ke perpustakaan jalanan, membawanya pulang kampung ... tapi sungguh, buku ini selalu kembali kepada saya lewat berbagai macam cara yang bahkan tidak saya ingat lagi.” “Saya tidak mengira jika masalah Mas Sunu akan menjadi seserius ini ....” “Saya juga tidak pernah mengiranya, Pak.” “Ah, tadi Mas Sunu sempat bilang buku ini dikubur, saya tidak salah dengar?” “Betul, pendengaran Bapak masih bagus.” Sunu tersenyum masam. “Seminggu yang lalu, karena putus asa, saya menguburkan buku ini di samping kos. Cara itu juga tidak berhasil. Esok paginya buku ini kembali. Oleh karena kejadian itu saya berpikir, buku ini mungkin tersinggung. Mungkin, ia mau pergi jika saya menguburkannya di tempat yang lebih terhormat. Seperti manusia, sebuah buku mungkin juga tidak ingin mati konyol maka upaya terakhir saya adalah menguburkannya di taman makam pahlawan.” “Jadi, Anda benar-benar ke sana dan menguburkannya?” “Ya, sembunyi-sembunyi, Pak. Akhir-akhir ini di televisi, banyak berita pembongkaran kuburan dan pencurian mayat. Saya takut dicurigai begitu, jadi saya kuburkan buku ini diam-diam saat malam hari.” “Lalu, hasilnya?” “Tentu saja gagal, Pak. Buku ini kembali lagi.” Sunu dan Pak Hamukti sama-sama melirik buku itu.

“Hingga sampailah saya di hari ini, di hadapan Bapak. Tadi pagi, saya masukkan buku ini ke tas, bersama kitab suci. Saya bahkan menimpuk resleting tas dengan selotip,” Sunu memperlihatkan tasnya. “Gara-gara ini, semua orang di jalan memandangi saya. Biarlah, yang penting buku ini aman. Ah, hari ini saya juga berpuasa, lho, Pak,” Pak Hamukti menghela napas. Kini dia merasa dirinyalah yang sudah gila. Dia berpikir, buku ini harus dipisahkan dan dihapus dari daftar. Jangan sampai ada orang yang meminjamnya lagi. “Soal denda, bagaimana?” tanya Pak Hamukti. Sunu menghela napas. “Saya bayar, Pak. Sudah risiko ....” “Ada keringanan denda, kalau Mas Sunu mau mengurusnya di bagian administrasi.” “Tidak perlu, Pak. Saya hanya ingin buku ini cepat-cepat pergi.” Pak Hamukti mengangguk-ngangguk. Dia buka halaman depan buku itu untuk memindai barcode-nya—sebuah prosedur yang biasa dilakukan. Sunu mengeluarkan dompetnya dan menyiapkan uang sejumlah tiga ratus dua puluh ribu. Kedua orang itu lega karena sebuah malapetaka akan berakhir sebentar lagi. Ya, sebentar lagi, tadinya, sebelum layar komputer Pak Hamukti tiba-tiba mati. Kedua orang itu menelan ludah. “Tuh kan, apa saya bilang, Pak. Buku ini punya kehendak sendiri!” Pak Hamukti memandang buku itu dan membaca judulnya: Sejuta Cara Membawa Teori di Luar Kepala “Mungkin ... harus menunggu sampai dendanya sejuta dulu, Mas.”

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Kontributor Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang

Tahun 42 Mei - Juni 2021 | | 35

This article is from: