![](https://assets.isu.pub/document-structure/210905122851-c943e19322f2adbaf9ad56dfbe10c820/v1/470ca9cd939872af5f7fda4fa5c881a0.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
4 minute read
0PINI
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
Penegakan Hukum, Perlindungan HaKI
Advertisement
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210905122851-c943e19322f2adbaf9ad56dfbe10c820/v1/46994451e1d087bb4f6879b3bfea7956.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
oleh Djajusman Hadi
D
alam rangka memperingati hari Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sedunia pada 26 April 2021, momen yang tepat adalah merefleksikan penegakan hukum dan perlindungan paten di Indonesia. Peringatan Hari Kekayaan Intelektual merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HAKI. HAKI merupakan hak atas kekayaan yang dimiliki karena kemampuan intelektual seseorang. Dalam pemenuhan sandang, pangan, dan papan, manusia menggunakan alat penunjang yang kesemuanya memiliki nilai kekayaan intelektual yang diciptakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Oleh karena itu, kekayaan intelektual perlu dilindungi untuk melindungi paten para penciptanya sendiri. Bertolak dari rasa bangga di atas, tentu turut mengingatkan kita akan raibnya kesenian Reog Ponorogo dari Indonesia yang mendadak heboh karena diklaim telah dipatenkan di Malaysia. Secara frontal mengundang emosi dan keprihatinan yang mendalam bagi bangsa Indonesia khususnya masyarakat Ponorogo sendiri. Pertanyaannya, apakah jauh sebelum itu kita tidak mendaftarkan paten tersebut lalu memprosesnya ke UNESCO? Haruskah kita relakan temuan kita yang diduplikasi negara lain? Tragisnya, Reog Ponorogo telah “dicuci” dan “dicuri” sehingga menjadi trademark tersendiri, seolah-olah merupakan warisan budaya nenek moyang negara lain.
Ada anggapan bahwa perlindungan HAKI bertentangan dengan perlindungan usaha nasional, terutama Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Walaupun anggapan ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi jika berpikir positif maka penerapan HAKI diharapkan akan membantu UKM untuk mengamankan hasil inovasi dan penemuannya walaupun sifatnya hanya “paten sederhana”. Pengalaman menunjukkan banyak sekali hasil UKM dari
negeri kita yang dipatenkan oleh negara lain, contohnya tempe oleh Jepang dan berbagai produk lokal lainnya. Padahal yang tertera dalam Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 1997 terkait perubahan UU No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, menunjukkan bahwa tanpa didaftarkan pun hak cipta merupakan hak intelektual dari pembuat.
Untuk itu, tanpa berpretensi buruk tentang penerapan perlindungan HAKI di Indonesia, kita harus menyambut penerapan peraturan internasional Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) dengan mempersiapkan diri melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan infrastruktur pendukung seperti lembaga HAKI, peraturan, sumber informasi paten, prosedur yang tidak berbelit, biaya pendaftaran yang murah, dan kemudahan lainnya. Hal ini diharapkan akan merangsang pihak peneliti dan perekayasa serta UKM untuk dapat mematenkan produk dan hasil penelitiannya.
Untuk mengurai masalah paten, Indonesia telah menandatangani persetujuan TRIPs di Marrakesh pada 14 April 1994. Dengan ditandatanganinya persetujuan tersebut maka Indonesia memiliki keterikatan dan kewajiban untuk menjalankan persetujuan. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan TRIPs, sejak 1997 Indonesia telah menghasilkan 3 (tiga) UU di bidang HAKI yaitu UU tentang Hak Cipta, UU tentang Merk, dan UU tentang Paten. Dengan diundangkannya ketiga paket UU tentang HAKI tersebut maka sistem penegakan HAKI di Indonesia mulai terbentuk.
Sosialisasi Perlindungan Paten
Dalam upaya melindungi kekayaan intelektual di Indonesia maka sebagai evaluasi diri, perlu diberikan catatan tentang masih rendahnya permohonan paten yang diajukan para inventor nasional. Jika dievaluasi, apakah para inventor atau penemu tidak mengerti prosedur dan mekanisme pengurusan usulan paten? Atau sudah tahu tapi justru enggan mengurus karena dianggap terlalu “rebyek” dengan alasan butuh pembiayaan dan rumitnya membuat deskripsi dalam bahasa hukum paten sehingga mereka menyimpulkan paten tidak terlalu bermanfaat.
Rendahnya permohonan pendaftaran paten di Indonesia dapat disebabkan karena paling tidak dua hal, yakni karena bangsa Indonesia memang bukan bangsa inovator atau karena informasi tentang paten sangat minim. Dari dua kemungkinan tersebut, rasanya sangat tidak mungkin bangsa Indonesia tidak kreatif dan inovatif. Hanya saja mereka tidak mempatenkan penemuannya tersebut, dan sekarang kita tinggal gigit jari menyesal karena tempe sebagai temuan anak negeri ternyata telah dipatenkan oleh Jepang. Dengan demikian, kemungkinan kedualah yang menjadi penyebab minimnya permohonan pendaftaran paten di Indonesia. Hal ini disebabkan minimnya informasi bagi masyarakat termasuk kurangnya pengetahuan para inovator tentang temuan apa saja yang sudah dipatenkan dan bagaimana cara mempatenkan temuannya.
Sosialisasi mengenai kegunaan paten, prosedur pendaftaran, dan informasi terkait paten yang telah ada diharapkan akan banyak membantu peneliti dan perekayasa agar dapat menciptakan berbagai penemuan baru tanpa mengulang penemuan yang telah ada atau soft copy. Dapat kita ketahui bersama bahwa untuk mencapai suatu hasil penemuan, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Dengan mengetahui penemuan yang telah ada maka kita tidak perlu lagi mengulang penelitian yang telah ada patennya. Sebagai contoh ide, kita bisa melihat kondisi dunia yang sedang dilanda krisis Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik maka kreativitas dapat kita gali melalui temuan energi terbarukan guna mengganti energi minyak bumi.
Kita ketahui bersama bahwa pendaftaran HAKI berada di bawah wewenang Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sosialisasi mengenai prosedur dan persyaratan HAKI berada pada lembaga maupun Departemen Teknis Pemerintah. Kenyataannya, lembaga yang melakukan sosialisasi HAKI belum berjalan optimal, terutama yang berkaitan dengan peranan perguruan tinggi. Pembangunan Pusat Informasi Paten diperlukan untuk memberikan informasi yang aktual terhadap paten yang telah ada serta prosedur pendaftaran paten baru. Sosialisasi pentingnya HAKI khususnya paten akan sangat berguna bila lebih dini diperkenalkan pada jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi.
Bagaimana pun, strategi sosialisasi perlindungan HAKI sangat diperlukan guna memuluskan jalan Indonesia agar diterima masyarakat internasional. Pelanggaran atas HAKI yang semakin hari semakin memprihatinkan merupakan akibat dari rendahnya penegakan hukum. Solusinya, hal yang harus dikedepankan adalah implementasi penegakan hukum yang tegas dan adil. Memang kita sudah memiliki perangkat perundang-undangan tentang HAKI, tetapi perundang-undangan ini akan menjadi mandul tanpa implementasi yang konsisten. Sinergi antara sistem informasi HAKI dan penegakan hukum yang integral, pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghormati hasil karya cipta orang lain.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210905122851-c943e19322f2adbaf9ad56dfbe10c820/v1/83ad5addcc487802aa358d2a04fff0ec.jpeg?width=720&quality=85%2C50)