![](https://assets.isu.pub/document-structure/210905122851-c943e19322f2adbaf9ad56dfbe10c820/v1/1897793660ac66fde7c8e71ad08a2f27.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
8 minute read
RANCAK BUDAYA
Bapak Penjual Nasi Goreng Saja Tahu
Oleh Gusti B’tari Artichah
Advertisement
Mataku terbuka tepat pukul 10 malam di posisi yang sama. Rupanya aku terbangun setelah tertidur pulas di tengah menyiapkan surat lamaran pekerjaan. Entah berapa malam kuhabiskan mengerjakan kegiatan yang sama. Kurasa akan berhenti ketika sampai aku diterima bekerja di suatu tempat. Aku memutuskan bangun dan mengambil jaket hitam andalanku, bergegas pergi untuk mencari penjual makanan yang semoga masih buka di jam-jam kritis seperti saat ini.
Rumah kos tempat tinggalku tepat berada di ujung gang sempit. Tidak heran jika pedagang keliling jarang masuk dan hanya menunggu di luar gang. Aku perlu berjalan sekitar 15 meter untuk bisa sampai ke jalan utama. Sepi, persis seperti dugaanku. Aku berjalan santai ke arah kiri gang. Dari tempatku berdiri, kira-kira 10 meter tepat di depanku ada pedagang nasi goreng keliling yang terlihat sedang membereskan dagangannya. Aku mempercepat langkahku, takut-takut penjualnya sudah kabur lebih dulu.
“Nasi gorengnya masih ada, Pak?” tanyaku cepat.
“Masih, Mas. Mau makan di sini atau dibungkus?” jawab beliau yang terlihat kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba.
“Dibungkus saja, Pak. Satu, yang pedas, ya,” ucapku sambil meraih kursi plastik merah dan duduk di atasnya.
Bapak penjual nasi goreng dengan sigap menyiapkan bahan dan bumbu untuk membuat nasi gorengnya. Terdengar suara alat yang dimainkan beliau yang cukup nyaring di telinga.
“Nge-kos, Mas? Kosnya di mana?” tanya bapak penjual basa-basi.
“Iya, Pak. Di ujung gang yang paling sempit dan gelap, Gang Rosella,” jawabku sekenanya yang kemudian disusul tawa bapak yang rupanya mengira aku sedang membuat lelucon.
“Panggil saya Pak Amin aja, Mas. Biar akrab, siapa tahu bisa jadi langganan,” celetuk beliau sambil tertawa kecil. Aku mengangguk dan membalas senyuman beliau. “Kerja apa kuliah, Mas?”.
“Masih nganggur, Pak. Lulus tahun lalu tapi sampai sekarang masih bingung mondar-mandir cari kerjaan,” ucapku spontan, sepersekian detik kemudian langsung menepuk pelan mulutku. Kebiasaan, kalau sedang putus asa begini mulutku susah untuk dikendalikan. Bicara tanpa ada jeda, seperti burung jalak yang gemar berceloteh memekakkan telinga.
Pak Amin tertawa melihat tingkahku, “nggak apa-apa, Mas. Gusti Allah masih kepingin lihat sampean berjuang lagi. Anggap saja Gusti Allah masih nyiapin tempat kerja yang nyaman khusus buat sampean. Kalau memang sudah waktunya nanti akan dipertemukan,” ucap beliau sambil terus bergelut dengan wajannya, bau harum nasi goreng sudah mulai tercium.
Aku masih menghayati kata demi kata yang diucapkan Pak Amin. Sungguh, sudah ribuan kali aku menerima kalimat penyemangat dari banyak orang, dari yang memang berniat menyemangati sampai yang sekedar basa basi. Tapi kali ini aku rasa ucapan Pak Amin sangat tulus, seperti kalimat yang diucapkan oleh ayah kepada anaknya.
“Aamiin, semoga demikian, Pak,” ucapku.
“Bagaimanapun, sampean sudah hebat lho, Mas,” celetuk Pak Amin di tengah ribut suara spatula dan wajan yang sedang beradu. Suaranya seakan menjadi tandingan bagi para jangkrik yang sedang berisik di balik semak.
“Hebat apanya, Pak? Di luar sana banyak orang seumuran saya yang sudah dapat kerjaan yang mapan. Kalau hebat ya justru lebih hebat mereka,” ucapku yang sekali lagi tanpa pikir panjang, bukankah ucapan bodohku barusan justru terlihat sangat menyedihkan?
Pak Amin menoleh ke arahku sebentar, kemudian lanjut menyelesaikan pesananku. “Bukan hebat dalam masalah itu, Mas. Maksud saya adalah kegigihan dan kerja keras sampean dalam mencari pekerjaan. Saya sudah membayangkan perjuangan sampean setahun ke sana ke mari melamar pekerjaan. Pasti berat, tapi mental sampean kuat jadi nggak gampang nyerah. Coba sampean bayangkan orang lain yang nggak kuat mental ada di posisi sampean. Setahun terombang-ambing apa nggak stress dia? Iya kalo cuma stress, kalo bunuh diri gimana? Bahkan di kondisi seperti itu banyak orang jadi lewat jalan pintas, menghalalkan segala cara demi dapat kerjaan. Ada yang memanfaatkan ‘orang pintar’, ada yang memanfaatkan ‘orang dalam’. Kalau sudah kehabisan cara biasanya langsung menghubungi kerabat, dimintai tolong biar bisa diajak kerja di sana juga biar gampang. Kalau sudah seperti itu kan wes nggak bener to?” jawab Pak Amin Serius. ‘Benar juga’ batinku.
“Saya tahu betul susahnya cari kerja, Mas. Cari kerja dari jaman saya masih muda sudah jadi momok menakutkan bagi para fresh graduate. Saya cuma lulusan SMP, bisa bikin keluarga bertahan hidup sampai detik ini sudah alhamdulillah,” ucap Pak Amin sambil tertawa pelan. “Anak saya yang pertama juga begitu, sarjana
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210905122851-c943e19322f2adbaf9ad56dfbe10c820/v1/9f4971523a67a48d6b9285345c44bee9.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
elektro. Sempat nganggur dua tahun. Ibunya sampai jarang keluar rumah karena malu jadi omongan tetangga. Saya bilang ke anak kalau ‘nggak usah mikirin omongan tetangga, kamu jauh lebih hebat dari mereka yang masuk karena ditarik orang dalam atau memanfaatkan kerabat yang kerja di sana. Jangan bangga bisa masuk bukan karena kemampuan tapi karena koneksi. Kamu yang berjuang, bapak dan ibu yang berdoa’. Alhamdulillah sekarang sudah dapat kerja yang enak, bahkan sekarang bisa bantu saya nyekolahin adik-adiknya,” sambung Pak Amin.
“Saya nggak suka yang model-model seperti itu, Mas. Apa itu namanya? Saya lupa. Nepotisme, ya? Nepotisme menyusahkan bagi rakyat kecil seperti saya, Mas. Banyak di luar sana orang yang dapat kerjaan bagus bukan dari kemampuan tapi dari koneksi. Terus rakyat yang kemampuannya bagus tapi koneksinya kurang, ya, bakal ditendang. Mbok ya kalau rekrut pekerja itu yang bener, dilihat dari kemampuannya. Kalau begitu kan adil. Malah jaman sekarang kayaknya makin bergeser. Saya denger anak-anak muda bilang ‘kita harus punya koneksi di samping kemampuan’. Ya ada benarnya, tapi dari situ sudah terlihat kalau ada pergeseran. Dulu yang diutamakan bener-bener kemampuan, Mas. Malah sekarang orang-orang berlomba untuk memperbanyak koneksi biar nanti bisa dimanfaatkan di masa-masa genting. Anehnya itu sudah dianggap lumrah,” ucap Pak Amin sambil geleng-geleng kepala. Terlihat kalau beliau sangat geram dengan praktik nepotisme yang ada di sekitarnya. Memang sudah menjadi rahasia umum nepotisme digunakan di saat yang genting seperti ini.
Teringatku dengan cerita Andi pekan lalu. Dia yakin kualifikasinya lebih bagus dibandingkan Fajar, teman kami di kelas saat kuliah. Mereka melamar pekerjaan di perusahaan yang sama. Namun berujung Fajar yang diterima di perusahaan tersebut bahkan dengan posisi yang lumayan bagus, sedangkan Andi ditolak. Usut punya usut ternyata ada kerabat dekat Fajar yang menjadi supervisor senior di sana. Sungguh miris.
Aku menelan ludah. Ngeri juga jika kita sendiri yang menjadi korban dari praktik nepotisme. Pak Amin terlihat tengah memindahkan nasi goreng buatannya dari wajan ke bungkus kertas yang dilapisi daun pisang.
“Sayangnya, Mas, orang yang perhatian dengan hal-hal semacam ini justru rakyat kecil seperti saya. Orang dengan jabatan tinggi dan berkehidupan layak justru abai dan tidak peduli. Asal perut kenyang, hati senang, mungkin begitu prinsipnya,” ucap Pak Amin tertawa getir. “Mereka apa nggak peduli, ya, dengan orang yang sudah pontang-panting, jungkir-balik, yang punya kemampuan mumpuni tapi terhalang karena ada orang yang punya koneksi? Apa nggak malu juga merebut hak orang lain yang lebih pantas? Kalau sudah begitu, bisa dilihat pasti selama kerja dia bingung karena nggak bisa apa-apa. Lha wong masuknya karena orang dalam kok. Bukan kemampuannya,” lanjut Pak Amin diakhiri dengan tawa.
Nasi goreng pesananku sudah jadi. Berakhir pula pembicaraan menarikku dengan Pak Amin, sayang sekali. Pak Amin pun menyerahkan nasi goreng yang sudah dibungkus dan dimasukkan di kantong plastik. Aku pun memberikan selembar uang Rp 20.000 kepada Pak Amin sambil mengucapkan terima kasih.
“Terima kasih kembali, Mas. Semoga sampean cepat dapat kerjaan. Ingat, sampean belum kalah. Lebih baik sekarang waktu senggangnya digunakan untuk mempertajam skill dan mengasah kemampuan biar bisa bersaing dengan mereka di luar sana dan yang terpenting, jangan lupa berdoa, minta sama Gusti Allah. Pesan saya nggak usah pakai cara nepotisme macam itu, bahaya. Tukang nasi goreng seperti saya saja tahu,” ucap Pak Amin sambil tertawa renyah. Aku pun membalas tawanya, sambil mengucapkan ‘terima kasih’ sekali lagi.
Aku berjalan kembali menuju kos sambil membawa kantong plastik berisi nasi goreng Pak Amin. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Pak Amin benar-benar memenuhi otakku. Benar juga, sayang sekali bahaya praktik nepotisme hanya terpikirkan oleh rakyat kecil seperti kami. Andai orang kaya, jabatan tinggi, berpengaruh, dan lain-lain juga memikirkan hal yang sama, pasti negara makin sejahtera karena diisi dengan orang-orang yang berintegritas.
“Mas, kos sampean ada di Gang Rosella, ya?” tanya Pak Amin sedikit berteriak.
“Iya, Pak,” jawabku
“Setiap sore saya ada di situ. Semoga bisa ketemu lagi,” teriak Pak Amin bersemangat. Aku pun tertawa, kemudian mengangguk. Aku kembali meneruskan perjalanan hingga tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo, Vin,” ucap seseorang di balik telepon.
“Aku mau kasih tahu kalau kamu besok dipanggil interview di tempat kakakku. Tenang, dia udah kuberitahu kalau kamu teman baikku. Pokoknya kamu tinggal siapin aja berkas-berkasnya terus berangkat pagi-pagi. Aku juga udah minta tolong biar kamu bisa diterima kerja di sana,” ucap Rafi, temanku di bangku SMA, saat ini dia sudah menjadi Manajer Produksi di perusahaan tekstil cabang Bandung milik pamannya.
Tiba-tiba ucapan Pak Amin melintas di kepalaku. Aku diam sejenak.
“Anu, Fi. Hmmm... Kayaknya aku nggak bisa berangkat. Di-cancel aja deh,” ucapku sedikit tidak enak. Aku berharap Rafi tidak kecewa, sebab pekan lalu dia dengan senang hati mendengarkan keluhkesahku karena tak kunjung diterima bekerja. Dia yang pintar berbicara tiba-tiba dengan mantap berkata padaku, ‘Tenang, Vin. Aku bantu cari kerja. Nanti biar aku hubungi semua kenalanku yang ada di Bandung’. Aku yang saat itu sedang lemas karena putus asa tak menggubris ucapan Rafi. Yang kupikirkan hanya kesedihan.
“Hah, kenapa? Kamu nggak nyesel? Perusahaan punya teman kakakku, posisi di sana juga bagus, sesuai sama jurusanmu. Dipikirpikir dulu aja deh,” ucap Rafi meyakinkan.
“Nggak, Fi. Beneran. Minta tolong sampaikan ke kakakmu buat di-cancel aja, ya. Ngomong-ngomong, lain kali cukup kasih tau aku informasi lowongan pekerjaannya aja, biar aku cari tahu sendiri. Aku tutup dulu. Terima kasih banyak, ya, udah dibantu. Assalamualaikum,” ucapku cepat dan segera menutup sambungan telepon dari Rafi. Sekali lagi, semoga Rafi tidak kecewa.
“Memang, harus dimulai dari diri sendiri,” ucapku lirih.
Aku meneruskan sisa perjalananku. Memang benar kata orang, inspirasi bisa datang dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Sepertinya kali ini aku harus ekstra bekerja keras. Tidak ada yang bisa diandalkan melainkan diri kita sendiri. Meningkatkan kualitas diri itu keharusan. Menjaga integritas diri juga patut dipertahankan. Bapak penjual nasi goreng saja tahu.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Kontributor Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang
Tahun 42 Juli - Agustus 2021 | 35