Rancak Budaya
Bapak Penjual Nasi Goreng Saja Tahu Oleh Gusti B’tari Artichah
M
ataku terbuka tepat pukul 10 malam di posisi yang sama. Rupanya aku terbangun setelah tertidur pulas di tengah menyiapkan surat lamaran pekerjaan. Entah berapa malam kuhabiskan mengerjakan kegiatan yang sama. Kurasa akan berhenti ketika sampai aku diterima bekerja di suatu tempat. Aku memutuskan bangun dan mengambil jaket hitam andalanku, bergegas pergi untuk mencari penjual makanan yang semoga masih buka di jam-jam kritis seperti saat ini. Rumah kos tempat tinggalku tepat berada di ujung gang sempit. Tidak heran jika pedagang keliling jarang masuk dan hanya menunggu di luar gang. Aku perlu berjalan sekitar 15 meter untuk bisa sampai ke jalan utama. Sepi, persis seperti dugaanku. Aku berjalan santai ke arah kiri gang. Dari tempatku berdiri, kira-kira 10 meter tepat di depanku ada pedagang nasi goreng keliling yang terlihat sedang membereskan dagangannya. Aku mempercepat langkahku, takut-takut penjualnya sudah kabur lebih dulu. “Nasi gorengnya masih ada, Pak?” tanyaku cepat. “Masih, Mas. Mau makan di sini atau dibungkus?” jawab beliau yang terlihat kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba. “Dibungkus saja, Pak. Satu, yang pedas, ya,” ucapku sambil meraih kursi plastik merah dan duduk di atasnya. Bapak penjual nasi goreng dengan sigap menyiapkan bahan dan bumbu untuk membuat nasi gorengnya. Terdengar suara alat yang dimainkan beliau yang cukup nyaring di telinga. “Nge-kos, Mas? Kosnya di mana?” tanya bapak penjual basa-basi. “Iya, Pak. Di ujung gang yang paling sempit dan gelap, Gang Rosella,” jawabku sekenanya yang kemudian disusul tawa bapak yang rupanya mengira aku sedang membuat lelucon. “Panggil saya Pak Amin aja, Mas. Biar akrab, siapa tahu bisa jadi langganan,” celetuk beliau sambil tertawa kecil. Aku mengangguk dan membalas senyuman beliau. “Kerja apa kuliah, Mas?”. “Masih nganggur, Pak. Lulus tahun lalu tapi sampai sekarang masih bingung mondar-mandir cari kerjaan,” ucapku spontan, sepersekian detik kemudian langsung menepuk pelan mulutku. Kebiasaan, kalau sedang putus asa begini mulutku susah untuk
34 | Komunikasi Edisi 335
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
dikendalikan. Bicara tanpa ada jeda, seperti burung jalak yang gemar berceloteh memekakkan telinga. Pak Amin tertawa melihat tingkahku, “nggak apa-apa, Mas. Gusti Allah masih kepingin lihat sampean berjuang lagi. Anggap saja Gusti Allah masih nyiapin tempat kerja yang nyaman khusus buat sampean. Kalau memang sudah waktunya nanti akan dipertemukan,” ucap beliau sambil terus bergelut dengan wajannya, bau harum nasi goreng sudah mulai tercium. Aku masih menghayati kata demi kata yang diucapkan Pak Amin. Sungguh, sudah ribuan kali aku menerima kalimat penyemangat dari banyak orang, dari yang memang berniat menyemangati sampai yang sekedar basa basi. Tapi kali ini aku rasa ucapan Pak Amin sangat tulus, seperti kalimat yang diucapkan oleh ayah kepada anaknya. “Aamiin, semoga demikian, Pak,” ucapku. “Bagaimanapun, sampean sudah hebat lho, Mas,” celetuk Pak Amin di tengah ribut suara spatula dan wajan yang sedang beradu. Suaranya seakan menjadi tandingan bagi para jangkrik yang sedang berisik di balik semak. “Hebat apanya, Pak? Di luar sana banyak orang seumuran saya yang sudah dapat kerjaan yang mapan. Kalau hebat ya justru lebih hebat mereka,” ucapku yang sekali lagi tanpa pikir panjang, bukankah ucapan bodohku barusan justru terlihat sangat menyedihkan? Pak Amin menoleh ke arahku sebentar, kemudian lanjut menyelesaikan pesananku. “Bukan hebat dalam masalah itu, Mas. Maksud saya adalah kegigihan dan kerja keras sampean dalam mencari pekerjaan. Saya sudah membayangkan perjuangan sampean setahun ke sana ke mari melamar pekerjaan. Pasti berat, tapi mental sampean kuat jadi nggak gampang nyerah. Coba sampean bayangkan orang lain yang nggak kuat mental ada di posisi sampean. Setahun terombang-ambing apa nggak stress dia? Iya kalo cuma stress, kalo bunuh diri gimana? Bahkan di kondisi seperti itu banyak orang jadi lewat jalan pintas, menghalalkan segala cara demi dapat kerjaan. Ada yang memanfaatkan ‘orang pintar’, ada yang memanfaatkan ‘orang dalam’. Kalau sudah kehabisan cara biasanya langsung menghubungi kerabat, dimintai tolong biar bisa diajak kerja di sana juga biar gampang. Kalau sudah seperti itu kan wes nggak bener to?” jawab Pak Amin Serius. ‘Benar juga’ batinku. “Saya tahu betul susahnya cari kerja, Mas. Cari kerja dari jaman saya masih muda sudah jadi momok menakutkan bagi para fresh graduate. Saya cuma lulusan SMP, bisa bikin keluarga bertahan hidup sampai detik ini sudah alhamdulillah,” ucap Pak Amin sambil tertawa pelan. “Anak saya yang pertama juga begitu, sarjana